KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI"

Transkripsi

1 KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Imelda Kartini Tefi NIM B

4 RINGKASAN IMELDA KARTINI TEFI. Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan UMI CAHYANINGSIH. Importasi sapi bakalan sebagai pemenuhan kebutuhan daging sapi meningkatkan risiko masuknya penyakit. Beberapa penyakit disebabkan oleh parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) dapat menyebabkan penurunan produksi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi parasit darah dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi bakalan impor serta menduga prevalensi penyakit. Desain penelitian adalah kajian lintas seksional dengan besaran sampel sebanyak 280 sampel. Pengambilan sampel dilakukan Agustus hingga September berupa sampel ulas darah, darah dan data kondisi fisiologis sapi bakalan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana pada Instalasi Karantina Hewan (IKH) di wilayah pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok. Preparat ulas darah dibuat pada gelas objek, difiksasi dengan metanol, diberi pewarnaan Giemsa 10% dan diperiksa dengan mikroskop perbesaran 1000x. Jumlah parasit dihitung pada 500 eritrosit. Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi dihitung pada saat pengambilan sampel darah. Profil hematologi yang terdiri dari nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit dihitung dengan menggunakan automated hematology analyzer. Data yang diperoleh berupa prevalensi dan kondisi fisiologis sapi bakalan. Analisis statistik dilakukan secara deskriptif dan digunakan uji T untuk membandingkan data kontinyu berdasarkan dua kategori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria (62.14%), kemudian Anaplasma (60.36%) dan Babesia (42.86%) dengan tingkat parasitemia berkisar antara 0.2% - 1% dan terjadi multi infeksi (62.45%). Analisis statistik untuk membandingkan data temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas, berat badan, nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit antara sapi bakalan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Kejadian penyakit bersifat subklinis namun sapi bakalan tersebut dapat menjadi pembawa agen penyakit.. Kata kunci: kondisi fisiologis, parasit darah, prevalensi

5 SUMMARY IMELDA KARTINI TEFI. Study The Existence of Blood Parasites (Anaplasma, Babesia, Theileria) and Physiological Profiles of Australian Imported Feeder Cattle. Supervised by FADJAR SATRIJA and UMI CAHYANINGSIH. Feeder cattle importation as a solution for the fulfillment of beef demand increases risk of entry the disease. Some diseases caused by blood parasites (Anaplasma, Babesia, Theileria) resulted production losses in livestocks. This study aimed to identify blood parasites and its influence on the physiological condition of Australian imported feeder cattle and also to estimate the prevalence of diseases. Cross-sectional study was performed in this research with 280 samples of sample size. Sampling was conducted in August to September and form of sample was blood smear, whole blood, and physiological condition data. Simple random sampling was performed at the Animal Quarantine Installation in entrance area of Tanjung Priok Port. Blood smear were made on a glass object, fixated in methanol, stained with 10% Giemsa and observed using a microscope with 1000x magnification. The amount of blood parasites were counted on 500 red blood cells. Body temperature, heart rates, respiratory rates and body weight were measured when collecting blood sample. Blood profiles consist of hemoglobine values, erythrocytes count and hematocrit values were measured by automated hematology analyzer. Obtained data were prevalence of diseases and physiological condition of feeder cattle. Statistical analysis was done descriptively and two categories of continuous data were compared using t test Results of the study revealed that the highest prevalence caused by Theileria (62.14%), followed by Anaplasma (60.36%) and Babesia (42.86%) with the level of parasitemia ranged from 0.2% to 1% and occured multi infection (62.45%). Statistical analysis to compare the body temperature, heart rates, respiratory rates, body weight, hemoglobine values, erythrocytes and hematocrit values showed no significant differences (p>0.05) between infected and uninfected cattle. Disease were proceeded sub clinically while the feeder cattle were capable of carrying disease agents. Key words: blood parasites, physiological conditions, prevalence

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (ANAPLASMA, BABESIA, THEILERIA) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA IMELDA KARTINI TEFI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi

9 Judul Tesis : Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia Nama : Imelda Kartini Tefi NIM : B Disetujui oleh Komisi Pembimbing Drh Fadjar Satrija, MSc PhD Ketua Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 12 Februari 2015 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-nya sehingga tesis yang berjudul Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia berhasil diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus hingga Oktober 2014 yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan parasit darah dan gambaran fisiologis pada sapi impor yang berasal dari Australia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Fadjar Satrija, MSc PhD dan Ibu Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS selaku pembimbing yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengorbankan waktu dalam memberi bimbingan bagi penulis sampai selesainya tesis ini. Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku penguji luar komisi yang telah meluangkan waktunya untuk menelaah tesis ini. Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi arahan serta nasehat kepada kami dan seluruh staf pengajar dan pegawai di Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing dan memberikan semangat penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa, Bapak Drh Sriyanto, MSi PhD sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan beserta seluruh pegawai Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah membantu selama pengumpulan data. Temanteman KMV angkatan 2013 (Anin, Yasmin, Hanif, Zulfikhar, Rifky, Intarti, Syahdu, Saimah, Citra, Ambar, Leo, Kamil, Sumitro, Aditya, Heru, Santo, Winda, Doni, Isti) yang telah bersama-sama dalam pembelajaran kita. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Mathias Tefi, Ibu Suwarni, suamiku Yunus, anakku Laras, adik-adikku Tesar, Lia dan Fajar, atas segala doa dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2015 Imelda kartini Tefi

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Anaplasmosis 3 Babesiosis 4 Theileriosis 5 Pemeriksaan Kondisi Fisiologis 6 3 METODE 7 Waktu dan Tempat Penelitian 7 Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel 7 Metode Pengambilan Darah 8 Metode Deteksi Parasit Darah 8 Metode Pemeriksaan Profil Hematologis 8 Metode Pengambilan Data Kondisi Fisiologis Sapi 8 Kerangka Konsep 9 Analisis Data 9 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Pengambilan Sampel 9 Identifikasi Parasit Darah 10 Prevalensi Anaplasmosis, Babesiosis dan Theileriosis 11 Proporsi Infeksi Parasit Darah 12 Persentase Parasitemia 13 Kondisi Fisiologis Sapi 14 5 SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan 17 Saran 17 DAFTAR PUSTAKA 17 LAMPIRAN 21 RIWAYAT HIDUP 23 vi vi vi

12 DAFTAR TABEL 1 Pengambilan sampel darah dari enam Instalasi Karantina Hewan (IKH) 9 2 Prevalensi anaplasmosis, babesiosis, theileriosi pada sapi bakalan asal Australia Agustus-September Proporsi infeksi tunggal dan multi infeksi pada sapi bakalan asal Australia Agustus-September Proporsi multi infeksi parasit darah pada sapi bakalan asal Australia Agustus-September 2014Hasil uji komparatif uji cepat 12 komersial dengan uji konvensional 5 Persentase parasitemia pada sapi bakalan asal Australia Agustus -September Nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan hematokrit sapi bakalan asal Australia 14 7 Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi bakalan asal Australia 15 DAFTAR GAMBAR 1 Parasit darah dalam eritrosit 10 DAFTAR LAMPIRAN Prevalensi anaplasmosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Prevalensi babesiosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Prevalensi theileriosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Proporsi parasit darah pada sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Proporsi multi infeksi parasit darah pada sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Hasil uji T tidak berpasangan

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang penting bagi manusia. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan daging sapi dan kerbau nasional tahun 2012 untuk konsumsi dan industri sebanyak ton, sedangkan ketersediaannya sebanyak ton (82.5%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar ton (17.5%). Kekurangan ini dipenuhi dari impor berupa sapi bakalan sebanyak ekor (setara dengan daging ton) dan impor daging sapi beku sebanyak ton. Ketersediaan untuk memenuhi konsumsi tersebut diperoleh dari pemotongan ternak sapi dan kerbau lokal dari sentra utama populasi dan produksi Indonesia khususnya Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung dan Sulawesi Selatan. Kekurangan penyediaan konsumsi dicukupi melalui impor sapi bakalan dari Australia dan daging beku terutama dari Australia dan Selandia Baru (DITJEN PKH 2012). Indonesia pada tahun 2013 telah mengimpor sapi bakalan dan sapi siap potong melalui Pelabuhan Tanjung Priok sejumlah ekor sapi. Menurut Kementrian Pertanian (Kementan) dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 113 tahun 2013, sapi bakalan adalah sapi bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara selama kurun waktu tertentu guna tujuan produksi daging dan sapi siap potong adalah sapi potong yang layak untuk dipotong. Jumlah rincian importasi adalah ekor sapi bakalan dan ekor sapi siap potong (BBKP Tanjung Priok 2013). Importasi sapi ke Indonesia dapat meningkatkan risiko masuknya penyakit akibat Anaplasma, Babesia dan Theileria. Kementan lewat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238 tahun 2009 menggolongkan ketiga agen penyakit tersebut dalam Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) golongan II. Ketiga agen penyakit tersebut meskipun telah dinyatakan ada dalam wilayah Republik Indonesia dan telah diketahui penanganannya, namun tetap harus dicegah pemasukan dan penyebarannya. Anaplasmosis pada sapi disebabkan oleh rickettsia intraeritrositik dari genus Anaplasma yang dapat terjadi pada ternak baik pada domba dan sapi. Gejala yang terjadi, demam selama 4 sampai 10 hari, anoreksia, penurunan berat badan, lesu, batuk dan peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut nadi, aborsi, stillbirth, penurunan produksi susu dan kualitas semen (CFSPH 2013). Babesiosis adalah penyakit akibat infeksi protozoa parasitik genus Babesia dengan gejala pada hewan adalah anoreksia, demam, anemia, peningkatan frekuensi pernafasan dan denyut nadi, ikterus, diare dan konstipasi, gangguan pernafasan. Demam yang terjadi dapat mengakibatkan aborsi dan penurunan fertilitas sperma (CFSPH 2008). Theileriosis adalah penyakit akibat infeksi protozoa dari genus Theileria. Theileria merupakan parasit intraseluler obligat. Gejala klinis yang terjadi adalah demam, anoreksia, penurunan produksi susu dan berat badan, gangguan saluran pernafasan, terhambatnya pertumbuhan badan dan produksi, terjadi ikterus, anemia dan aborsi (CFSPH 2009). Anaplasma, Babesia dan Theileria merupakan parasit darah yang penyebarannya didistribusikan oleh caplak (tickborne disease) yang secara global

14 2 berdampak pada kesehatan ternak dan perekonomian. Hasil penelitian parasit darah dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi yang diimpor dari Australia diperlukan untuk memberikan informasi tentang kejadian penyakit dan untuk penetapan tindakan karantina yang diperlukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya penyakit. Perumusan Masalah Importasi sapi bakalan asal Australia dapat meningkatkan risiko pemasukan agen penyakit seperti Anaplasma, Babesia dan Theileria yang termasuk dalam HPHK golongan II yang telah dinyatakan ada dalam wilayah Republik Indonesia. Anaplasma, Babesia dan Theileria merupakan parasit darah yang keberadaannya dapat berpengaruh pada kesehatan ternak. Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Apakah agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria terdapat pada sapi bakalan impor? 2. Berapakah prevalensi kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor? 3. Apa pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi bakalan impor yang terinfeksi oleh Anaplasma, Babesia dan Theileria? Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria pada sapi bakalan impor. 2. Menduga prevalensi kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor. 3. Mengidentifikasi pengaruh akibat infeksi Anaplasma, Babesia dan Theileria pada kondisi fisiologis sapi bakalan impor. Manfaat Penelitian 1. Memperoleh data tentang kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor. 2. Memberikan informasi tentang gambaran fisiologis sapi bakalan impor yang terinfeksi parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria). 3. Sebagai acuan dalam penetapan tindakan karantina yaitu upaya pencegahan masuk dan menyebarnya agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria. Hipotesis Australia merupakan negara yang belum bebas dari anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis. Adanya parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) akan berpengaruh pada kondisi fisiologis sapi bakalan impor. Masuknya sapi bakalan

15 impor yang terinfeksi parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) akan berdampak pada status kesehatan dan penyakit ternak di Indonesia. 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Anaplasmosis Menurut National Center for Biotechnology Information (NCBI) Taxonomy Database (2014), Anaplasma termasuk dalam bakteri, filum Proteobacteria, kelas AlphaProteobacteria, ordo Rickettsiales dan famili Anaplamataceae. Spesies dari genus Anaplasma yaitu Anaplasma phagocytophilum, A.platys (sebelumnya E.platys), A.marginale (dan A.marginale subsp. Centrale), A.bovis (sebelumnya E.bovis) dan A.ovis (CFSPH 2013). A.marginale dan A.centrale menginfeksi hewan ruminansia besar dan dikenal sebagai penyebab umum anaplasmosis pada sapi dan tersebar luas di seluruh dunia terutama pada daerah tropis dan subtropis. A.bovis menginfeksi sapi dan juga hewan mamalia lainnya, terdeteksi di Brazil, Amerika utara, Afrika dan Jepang. A.phagocytophilum merupakan penyebab anaplasmosis pada manusia, A.platys penyebab umum anaplasmosis pada anjing dan A.ovis penyebab anaplasmosis pada hewan ruminansia kecil seperti kambing dan domba (Rymaszewska & Grenda 2008). Eritrosit merupakan predileksi genus Anaplasma dan di dalam sel terdapat benda inklusi berisi empat hingga delapan rickettsia. Masa inkubasi bervariasi tergantung jumlah organisme yang menginfeksi dan biasanya berkisar dari 7 hingga 60 hari dengan rata-rata 28 hari. Saat eritrosit terinfeksi terdeteksi terlihat jumlah eritrosit yang berisi parasit meningkat. Eritrosit terinfeksi akan difagosit oleh sel retikuloendotelial sehingga gejala yang terjadi adalah anemia dan ikterus ringan atau berat tanpa hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Gejala klinis lain adalah demam, penurunan berat badan, aborsi, lesu, dan terjadi kematian hewan berumur lebih dari 2 tahun. Sapi carrier memiliki imunitas dan tahan terhadap penyakit dan pendedahan. Sapi carrier akan menjadi reservoir bagi caplak untuk melakukan transmisi mekanik maupun biologik. Transmisi Anaplasma dapat dilakukan secara mekanis yaitu lewat gigitan lalat dan biologis melalui caplak. Transmisi mekanik juga sering terjadi melalui sisa darah yang terkontaminasi lewat jarum, gergaji dehorning, penjepit hidung, instrumen tato, alat tagging telinga dan instrumen pengebirian. Transmisi mekanik oleh Arthropoda telah dilaporkan yaitu transmisi oleh Diptera pengisap darah dari genus Tabanus, Stomoxys dan nyamuk. Transmisi oleh caplak dapat terjadi pada tahap ke tahap dalam siklus hidup caplak (transstadial) atau beberapa kali di dalam suatu tahap siklus hidup caplak (intrastadial). Siklus perkembangan Anaplasma pada caplak kompleks dan dikoordinasikan dengan siklus makan caplak. Eritrosit yang terinfeksi dibawa caplak melalui darah. Setelah perkembangan Anaplasma dalam sel usus caplak maka banyak jaringan caplak terinfeksi termasuk kelenjar ludah. Pada setiap lokasi infeksi pada caplak, Anaplama berkembang dalam vakuola atau koloni. Bentuk pertama dari Anaplasma dalam koloni adalah bentuk sel retikulat (bentuk vegetatif) yang berkembang biak dengan pembelahan biner membentuk koloni besar yang dapat berisi ratusan organisme. Bentuk sel retikulat kemudian berubah dalam

16 4 bentuk sel berinti padat yang merupakan bentuk infektif dan dapat bertahan hidup di luar sel inang. Sapi terinfeksi Anaplasma ketika dalam bentuk sel berinti padat yang ditransmisikan saat proses makan caplak melalui kelenjar ludah (Kocan et al. 2003). Identifikasi agen dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis preparat ulas darah atau organ yang diwarnai dengan Giemsa yang merupakan metode yang paling umum untuk mengidentifikasi Anaplasma pada hewan yang secara klinis menunjukkan gejala. A.marginale tampak padat, bulat, diameter intraeritrosit sekitar µm terletak di atau dekat margin eritrosit. Untuk A.centrale mirip dalam penampilan namun sebagian besar organisme terletak jauh dari margin eritrosit. Sulit untuk membedakan A.marginale dan A.centrale dalam preparat, terutama dengan rendahnya tingkat rickettsiaemia. Preparat ulas darah dari ternak hidup sebaiknya disiapkan dari darah yang diambil dari vena jugularis atau vena besar lain. Diagnosis post mortem disiapkan dari organ internal (termasuk hati, ginjal, jantung dan paru-paru) dan dari darah yang tersimpan dalam pembuluh perifer (OIE 2012). Hanya sejumlah antibiotik yang efektif untuk mengobati anaplasmosis dan antibiotik seperti oxytetracycline dan doxycycline merupakan antibiotik pilihan dalam pengobatan (CFSPH 2013). Pengendalian anaplasmosis tergantung dari lokasi geografi dan pengendalian caplak dengan aplikasi akarisida, pengaturan antibiotik dan vaksinasi. Vaksinasi secara ekonomis dan efektif mengendalikan anaplasmosis pada sapi. Vaksin dapat dibedakan yaitu vaksin live dan killed. Vaksin live menggunakan A.centrale karena kurang patogen dengan reaksi penyakit lebih ringan daripada A.marginale namun dapat memberikan resistensi terhadap infeksi A.marginale. Negara-negara yang memproduksi dan menggunakan vaksin live untuk anaplasmosis adalah Afrika, Australia, Amerika Selatan dan Israel (Kocan et al. 2013). Akarisida yang digunakan untuk pengendalian caplak tidak sepenuhnya dapat menghilangkan caplak. Pengendalian biologis, modifikasi habitat dan penyediaan padang rumput bebas caplak dapat menghilangkan dan dapat menurunkan populasi caplak dan risiko penyakit (CFSPH 2013). Babesiosis Babesiosis dikenal sebagai penyakit penting pada hewan di seluruh dunia terutama pada sapi namun terdapat juga pada kuda, domba, babi dan anjing, dan telah menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir sebagai infeksi zoonosis pada manusia seperti Babesia microti dan B.duncani (Blaschitz et al. 2008). Genus Babesia merupakan protozoa hemoparasit yang ditransmisikan oleh caplak dan merupakan parasit darah umum kedua setelah genus Trypanosoma (Hunfeld et al. 2008). Menurut NCBI Taxonomy Database (2014), genus Babesia termasuk dalam Eukariota, filum Apicomplexa, kelas Aconoidasida, ordo Piroplasmida dan famili Babesiidae. Terdapat tiga spesies yang paling sering ditemukan pada sapi yaitu adalah Babesia bovis, B.bigemina dan B.divergens. Spesies tambahan yang dapat menginfeksi ternak termasuk B.major, B.ovata, B.occultans dan B.jakimovi (CFSPH 2008). Filum Apicomplexa atau Sporozoa termasuk genus Babesia dan Theileria pada umumnya memiliki tiga stadium reproduksi yaitu gamogoni (pembentukan

17 dan fusi gamet dalam usus caplak), sporogoni (reproduksi aseksual pada kelenjar ludah caplak) dan merogoni (reproduksi aseksual di inang vertebrata) (Homer et al. 2000). Infeksi terjadi saat sporozoit ditransfer oleh caplak pada proses makan caplak. Sporozoit kemudian menyerang eritrosit dan berkembang menjadi trofozoit. Trofozoit berkembang dengan pembelahan biner dan menghasilkan merozoit yang terus menginfeksi dan bereplikasi pada inang. Beberapa trofozoit berkembang menjadi gametosit yang dapat memulai infeksinya pada vektor caplak. Pada usus caplak, gametosit berkembang dan berfusi untuk membentuk zigot dan berkembang menjadi kinet. Kinet akan menuju ke hemolymph dari caplak, kemudian menduplikasi dan menyerang berbagai organ. Spesies Babesia dapat menginfeksi ovarium dan dapat ditransmisikan secara transovarial melalui telur sehingga semua tahapan (larva, nimfa dan dewasa) berpotensi infektif. Sporogoni dimulai ketika kinet menyerang kelenjar ludah kemudian membentuk sporoblast berinti. Sporozoit yang baru dikembangkan akan masuk ke dalam inang vertebrata dengan air liur caplak pada proses makan selanjutnya (Hunfeld et al. 2008). Penyakit akut umumnya berjalan dari 3 sampai 7 hari dan demam lebih dari 40 0 C yang diikuti oleh hilangnya nafsu makan, depresi, meningkatnya frekuensi pernapasan, kelemahan dan keengganan untuk bergerak. Hemoglobinuria sering terjadi sehingga dikenal sebagai red water disease. Anemia dan ikterus berkembang pada kasus kronis. Demam selama infeksi dapat menyebabkan sapi aborsi dan terjadi infertilitas. Lesi dapat dilihat pada pembengkakan limpa dan hati. Organ lain seperti usus menunjukkan kongesti atau pendarahan petekie dan adanya edema paru-paru (Bock et al. 2004). Identifikasi agen dalam hewan hidup digunakan preparat ulas darah tipis yang diambil dari kapiler. Pada hewan mati dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari preparat ulas darah perifer, otak, ginjal, otot jantung, limpa dan hati. Fiksasi dilakukan dengan metanol, diwarnai dengan larutan Giemsa 10% selama menit, dan diperiksa di bawah perbesaran x memakai minyak emersi. Uji polymerase chain reaction (PCR) sensitif dan dapat mendeteksi dan membedakan spesies Babesia pada sapi (OIE 2010). Pengobatan dapat digunakan babesiasida seperti diminazene aceturate dan imidocarb dipropionate namun dalam literatur tidak banyak merujuk sejumlah babesiasida yang efektif. Pengendalian dilakukan dengan vaksinasi selain itu dilakukan pengendalian lainnya berupa pengendalian vektor caplak dan genetika hewan. Pengendalian terpadu mengintegrasikan strategi penggunaan akarisida, penerapan vaksin di daerah endemik yang stabil dan penggunaan vaksin rekombinan (Bock et al. 2004). 5 Theileriosis Theileriosis merupakan kejadian infeksi protozoa dari genus Theileria dari subordo Piroplasmorina. Theileria adalah parasit obligat intraseluler. Dua spesies yang paling penting pada sapi dan kerbau adalah T.parva, yang menyebabkan East Coast Fever dan T.annulata, yang menyebabkan Tropical theileriosis. Sejumlah spesies Theileria lainnya termasuk T.mutans, T.buffeli, T.velifera, T.taurotragi dan T.sergenti juga dapat menginfeksi ruminansia domestik dan liar. Gejala yang terjadi asimptomatis namun beberapa dapat menyebabkan anemia dan mengarah pada infeksi seperti East Coast Fever dan Tropical theileriosis (CFSPH 2009). Parasit

18 6 Theileria benigna termasuk T.sergenti, T.buffeli dan T.orientalis, yang didistribusikan di Jepang, Australia dan tempat lain menyebabkan penyakit yang ditandai dengan anemia ringan dan hipertermia namun keparahan dan kematian dapat terjadi. Anemia yang terjadi karena adanya parasit intraeritrosit dapat menginduksi aborsi dan kematian pada ternak yang terinfeksi (Tan ariyaa et al. 2001). Menurut NCBI Taxonomy Database (2014), genus Theileria termasuk dalam Eukariota, filum Apicomplexa, kelas Aconoidasida, ordo Piroplasmida dan famili Theileriidae. Transmisi dilakukan secara transstadial dan secara transovarian seperti pada tranmisi Babesia. Sporogoni terjadi di kelenjar ludah caplak. Sporozoit infektif dilepaskan dari 3 hingga 7 hari dari saat proses caplak makan. Satu sel yang terinfeksi dapat mengandung sporozoit. Beberapa hewan mengalami penyakit ringan dan terjadi reaksi pemulihan akibat respon imun seluler. Setelah masuk, sporozoit Theileria menyerang sel inang dan mampu menginfeksi monosit atau makrofag. Terdapat stadium pada kelenjar ludah caplak, stadium pada sel inang vertebrata dan stadium rekombinasi seksual pada usus caplak (Bishop et al. 2004). Identifikasi agen dilakukan dengan diagnosis berbagai gejala penyakit yang disebabkan oleh parasit. Prinsipnya didasarkan pada gejala klinis, pengetahuan tentang penyakit, distribusi vektor dan identifikasi parasit dalam preparat ulas darah dan kelenjar getah bening yang diwarnai dengan Giemsa. Adanya multinukleat intrasitoplasmik dan skizon bebas pada preparat ulas kelenjar getah bening adalah diagnostik karakteristik dari infeksi akut Theileria. Hewan yang terinfeksi Theileria menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening, demam, peningkatan frekuensi pernapasan secara bertahap dan diare sesekali. Lesi post-mortem yang diamati adalah edema paru-paru dan trakea berbuih, pembesaran kelenjar getah bening dan limpa, pendarahan organ dalam, erosi abomasum, adanya limfosit berinklusi dan infiltrasi limfosit pada jaringan viseral dan menyebabkan anemia dan ikterus (OIE 2008). Theileriosis tidak ditularkan melalui kontak biasa dan apabila infeksi tersebut baru di suatu daerah dapat dikendalikan dengan pemusnahan hewan yang terinfeksi dan dengan mencegah caplak yang terinfeksi. Di daerah endemik, caplak dapat dikurangi dengan akarisida dan metode lain pengendalian caplak seperti sistem rotasi tempat penggembalaan. Obat antiparasit yaitu buparvaquone efektif pada hewan dengan tanda-tanda klinis. Pengobatan paling efektif dilakukan pada tahap awal penyakit (CFSPH 2009). Pemeriksaan Kondisi Fisiologis Kondisi fisiologis merupakan respon fungsional tubuh dan reaksi dari metabolisme tubuh secara sistematis yang bertujuan mencapai homeostatis tubuh atau keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Pemeriksaan klinis bertujuan untuk mengidentifikasi kelainan klinis yang hadir dan faktor risiko yang menentukan terjadinya penyakit pada individu atau populasi. Dari informasi ini penyebab paling mungkin dapat ditentukan. Organ atau sistem organ yang terlibat, lokasi, jenis lesi dan proses patofisiologis yang terjadi serta tingkat keparahan penyakit dapat disimpulkan dari informasi yang diperoleh selama pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis berlangsung melalui beberapa langkah. Keluhan pemilik, sejarah pasien, sejarah peternakan dan signalment pasien harus diketahui pada saat yang sama

19 melalui wawancara dengan pemilik atau penjaga hewan. Pengamatan pasien dan lingkungan dilakukan sebagai langkah berikutnya. Pemeriksaan klinis pasien diikuti oleh investigasi tambahan jika diperlukan. Signalment mencakup nomor identifikasi, jenis/ras, usia, jenis kelamin, warna dan berat badan hewan. Beberapa penyakit spesifik untuk beberapa kelompok hewan dan informasi ini berguna dalam mempertimbangkan suatu penyakit (Jackson & Cockroft 2002). 7 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober Pengambilan sampel ulas darah, darah dan data fisiologis dilakukan mulai tanggal 20 Agustus hingga 17 September Pengambilan sampel dan data dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Instalasi Karantina Hewan (IKH) di wilayah pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok. Pendeteksian parasit darah dan profil darah dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Desain penelitian adalah kajian lintas seksional. Menurut Budiharta (2002) berdasarkan perhitungan/rumus kajian lintas seksional dengan memperhatikan asumsi prevalensi sebesar 50 %, dengan tingkat kepercayaan 95 % dan galat yang diinginkan 6 % maka di dapat besaran sampel sebanyak: n = 4PQ L 2 Keterangan n = besaran sampel P = asumsi prevalensi Q = 1 P L = galat yang diinginkan, sehingga n = 4x0.5x n = 278 Sampel diambil sebanyak 278 pada enam kali pemasukan sapi bakalan impor dalam bulan Agustus hingga September berupa preparat ulas darah, darah dan data kondisi fisiologis. Pengambilan sampel pada IKH dilakukan secara acak sederhana pada sapi dalam satu kandang IKH.

20 8 Metode Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan tabung venoject 3 ml yang berisi antikoagulan EDTA dan jarum ukuran 18 G dari vena coccygea media. Metode Deteksi Parasit Darah Pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah tipis dengan menggunakan sampel darah yang akan diperiksa, metanol, larutan pewarna Giemsa, aquades dan gelas objek. Setetes darah diletakkan pada tepian gelas objek 1 dan dengan perlahan ujung gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 45 0 sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan selama 1 menit dan difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10% dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011). Pemeriksaan ulas darah dilakukan dengan perbesaran 1000x. Jumlah parasit intraseluler darah akan dihitung untuk tiap 500 butir eritrosit dalam lima bidang pandang (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus : jumlah parasit darah 500 x 100 % Metode Pemeriksaan Profil Hematologis Pemeriksaan hematologis yang dilakukan pada penelitian ini terhadap sampel darah adalah pemeriksaan jumlah sel eritrosit, jumlah hemoglobin (Hb), dan nilai Packed Cell Volume (PCV/hematokrit). Pemeriksaan dengan menggunakan automated hematology analyzer. Metode Pengambilan Data kondisi Fisiologis Sapi bakalan Impor Pemeriksaan kondisi fisiologis pada sapi bakalan impor yang dilakukan adalah pengukuran temperatur tubuh, frekuensi pulsus, frekuensi nafas dan berat badan. Pengukuran temperatur tubuh dilakukan perrektal dengan menggunakan termometer. Pengukuran frekuensi pulsus dilakukan dengan palpasi dan menghitung denyut pada vena coccygea media. Pengukuran frekuensi nafas dengan menghitung gerak nafas pada abdomen. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital pada kandang jepit.

21 9 Kerangka Konsep Keberadaan agen penyakit (Anaplasma, Babesia, Theileria) Kondisi fisiologis sapi (suhu, pulsus, frekuensi nafas, berat badan, hematologi) Analisis Data Data yang diperoleh adalah prevalensi parasit darah dan data kondisi fisiologis sapi. Data dianalisis secara deskriptif dan uji t (t-test) untuk analisa perbandingan data kontinyu berdasarkan dua kategori. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan Sampel Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi selain dari dalam negeri juga memasok dari luar negeri berupa importasi daging dan sapi. Sapi yang masuk ke Indonesia dapat berupa sapi indukan, sapi bakalan dan sapi siap potong. Importasi sapi melalui Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2014 berupa sapi bakalan dan sapi siap potong. Penelitian ini menggunakan sapi bakalan yang berumur 1-2 tahun, baik jantan maupun betina berbobot 250 hingga 350 kg dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan produksi daging. Penelitian ini mengambil sampel dari enam kali pemasukan (shipment) sapi bakalan selama satu bulan (20 Agustus hingga 17 September 2014). Berdasarkan penelitian sebelumnya terhadap babesiosis dan theileriosis pada sapi potong asal Australia, maka dengan asumsi prevalensi 50%, tingkat kepercayaan 95% dan galat 6%, jumlah sampel yang diambil adalah sebagai berikut : Tabel 1 Pengambilan sampel darah dari enam Instalasi Karantina Hewan (IKH) No Lokasi IKH Asal pelabuhan muat Jumlah Sapi Bakalan Impor (ekor) Jumlah sampel (ekor) 1 Cianjur Darwin Cileungsi Darwin Jonggol Darwin Subang Darwin Tangerang Darwin Bandung Fremantle Broome Total 280

22 10 Identifikasi Parasit Darah Anaplasma merupakan mikroorganisme intraseluler obligat, bakteri Gram negatif dan hidup pada sel darah mamalia (Rymaszewska & Grenda 2008). Anaplasma memiliki dua bentuk morfologi yaitu sel berinti padat ( µm) dan sel retikulat ( µm hingga µm). Sel berinti padat mendominasi 24 jam awal setelah infeksi dan merupakan bentuk infektif bakteri. Sel retikulat yang membelah diri mendominasi kejadian infeksi setelah 48 jam. Sel retikulat setelah 72 jam menjadi sel berinti padat dan dilepas untuk memulai siklus baru (Ismail et al. 2010). Babesia dan Theileria merupakan protozoa patogen penting pada peternakan. Babesia pada umumnya dibedakan berdasarkan morfologi, karakteristik DNA penyusun dan inang yang spesifik (Hunfeld et al. 2008). Babesia berbentuk buah pir, terletak berpasangan, bulat, lonjong atau tidak teratur tergantung stadium perkembangan parasit dalam eritrosit. Babesia dibedakan berdasarkan ukuran yaitu Babesia kecil (1-2.5 µm) dan Babesia besar (3-5 µm). Theileria berukuran 1-2 µm dan berbentuk batang, oval atau koma dalam eritrosit (Yabsley & Shock 2013). a b Gambar 1 Parasit darah dalam eritrosit (anak panah menunjukkan (a) Anaplasma sp., (b) Babesia sp. dan (c) Theileria sp.) c Hasil identifikasi parasit darah pada sampel ulas darah untuk genus Anaplasma, Babesia dan Theileria dari 280 sampel terdapat 253 (90.35%) sampel

23 positif parasit darah dan 27 (9.65%) sampel negatif parasit darah. Hal ini menunjukkan bahwa pada sampel sapi bakalan impor asal Australia hampir keseluruhan terinfeksi oleh parasit darah. 11 Prevalensi Anaplasmosis, Babesiosis dan Theileriosis Hasil identifikasi parasit darah dapat diduga prevalensi masing-masing parasit darah di enam IKH dan total keseluruhan sebagai berikut: Tabel 2 Prevalensi anaplasmosis, babesiosis, theileriosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 No Lokasi IKH Prevalensi anaplasmosis (%) Prevalensi babesiosis (%) Prevalensi theileriosis (%) 1 Cianjur Cileungsi Jonggol Subang Tangerang Bandung Total sampel Prevalensi kejadian penyakit akibat parasit darah pada sapi ditunjukkan pada Tabel 2 dan prevalensi kejadian theileriosis lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi kejadian anaplasmosis dan babesiosis pada penelitian ini. Dari data prevalensi tahun 2009 terdapat kecenderungan meningkat pada kejadian babesiosis dan theileriosis. Prevalensi babesiosis dari 10.5% (Dewi 2009) menjadi 42.86% dan Prevalensi theileriosis dari 55.01% (Silitonga 2009) menjadi 62.14%. Secara global terjadi peningkatan kejadian tick-borne disease yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim, perubahan sosiodemografi dan perubahan penggunaan fungsi lahan. Perubahan - perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi keseimbangan segitiga epidemiologi. Perubahan iklim yang terjadi dapat mempengaruhi daya tahan hidup caplak sebagai vektor, daya tahan hidup agen patogen, daya tahan vertebrata dan adanya lingkungan yang dinamis. Perubahan sosiodemografi yang terjadi antara lain disebabkan adanya migrasi hewan dan manusia melalui perjalanan dan perdagangan, dukungan dalam penanganan penyakit yang diberikan oleh suatu negara, terjadinya resistensi obat karena kesalahan prosedur penggunaan dan malnutrisi yang dapat mengakibatkan kematian. Perubahan penggunaan fungsi lahan seperti penggundulan lahan juga dapat mengakibatkan suatu kejadian penyebaran penyakit yang tidak diinginkan seperti migrasi suatu populasi hewan liar yang membawa caplak dari suatu daerah ke daerah lain (Dantas-Torres et al. 2012). Australia mengalami peningkatan kejadian anemia pada sapi yang diakibatkan oleh infeksi parasit dan menyebabkan penurunan produksi daging dan susu, kematian sapi dan peningkatan biaya dalam manajemen pencegahan dan pengobatan. Infeksi secara umum terjadi akibat adanya mobilisasi sapi yang terinfeksi ke daerah bebas penyakit, musim panas yang disertai hujan selama dua

24 12 tahun terakhir yang memfasilitasi daya tahan hidup caplak dan kondisi alam seperti banjir yang mempengaruhi kesehatan sapi (Bailey 2012). Proporsi Infeksi Parasit Darah Sampel ulas darah sebanyak 253 menunjukkan hasil positif parasit darah dan diidentifikasi terjadi infeksi tunggal dan multi infeksi. Proporsi multi infeksi lebih tinggi kejadiannya daripada infeksi tunggal seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Proporsi infeksi tunggal dan multi infeksi parasit darah pada sapi Bakalan asal Australia Agustus - September 2014 No Lokasi IKH Jumlah sampel positif parasit darah Jumlah sapi terinfeksi tunggal 1 Cianjur (40.54%) 2 Cileungsi (34.04%) 3 Jonggol (62.16%) 4 Subang 38 9 (23.68%) 5 Tangerang (35.85%) 6 Bandung (31.71%) Total sampel (37.55%) Jumlah sapi multi infeksi 22 (59.46%) 31 (65.96%) 14 (37.84%) 29 (76.32%) 34 (64.15%) 28 (68.29%) 158 (62.45%) Tabel 4 Proporsi multi infeksi parasit darah pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 Jumlah sampel multi infeksi Anaplasma- Babesia (15.19%) Anaplasma- Theileria 47 (29.75%) Babesia- Theileria 34 (21.52%) Anaplasma- Babesia- Theileria 53 (33.54%) Proporsi multi infeksi masing-masing parasit darah ditunjukkan pada Tabel 4 dan multi infeksi dari Anaplasma, Babesia dan Theileria lebih sering terdapat pada kejadian infeksi. Multi infeksi disebut juga poliparasitisme yaitu infeksi beberapa parasit dalam satu inang. Parasit yang menginfeksi dapat berasal dari satu spesies parasit yang berbeda genotipe ataupun beberapa spesies parasit yang berbeda. Multi infeksi yang terjadi pada umumnya mengakibatkan adanya kompetisi diantara parasit. Kompetisi yang terjadi terutama pada sumber bahan untuk kehidupan parasit seperti darah dan sistem imun seperti imunosupresi dan reaksi silang. Karakteristik parasit, adanya sumber bahan untuk hidup dan sistem imun akan mengakibatkan beberapa interaksi antar parasit dalam inang. Interaksi yang terjadi

25 dapat berupa interaksi yang saling mendukung (interaksi sinergis) dan interaksi yang saling kontra atau menekan kehidupan parasit lain (interaksi antagonis). Interaksi parasit juga berkaitan dengan risiko infeksi yaitu pada jumlah parasit, umur inang dan keadaan lingkungan (Bordes & Morand 2011). 13 Persentase Parasitemia Persentase parasitemia pada sapi bakalan asal Australia pada kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis berkisar antara 0.2% hingga 1%. Menurut Ndungu et al. (2005) tingkat parasitemia dibagi menjadi tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia <1% yang ditandai dengan tidak adanya demam atau demam sementara dalam 4 hari, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia 1-5% yang ditandai dengan adanya demam dalam beberapa hari dan sembuh, dan tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia >5% yang ditandai dengan demam persisten dan dibutuhkan terapi hingga eutanasi. Pada penelitian ini sapi bakalan mengalami tingkat parasitemia rendah pada babesiosis dan theileriosis namun pada kejadian anaplasmosis mengalami tingkat parasitemia rendah hingga sedang. Tabel 5 Persentase parasitemia parasit darah pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014 No Lokasi IKH Rata-rata Anaplasma (%) Rata-rata Babesia (%) Rata-rata Theileria (%) 1 Cianjur Cileungsi Jonggol Subang Tangerang Bandung Total 0.34 ( ) 0.24 ( ) 0.36 ( ) Dalam Animal Health in Australia (AHA) tahun 2013, anaplasmosis dan babesiosis terbatas pada wilayah Australia bagian utara dan Australia bebas theileriosis yang disebabkan oleh T.parva dan T.annulata. Caplak pada sapi sebagai vektor agen penyakit diketahui sejak akhir abad ke 19 di Australia melalui Darwin dan terdistribusi di Australia bagian utara dan timur. Penelitian ini mendapatkan data bahwa anaplasmosis dan babesiosis terdapat pada sapi bakalan yang berasal dari pelabuhan muat di Australia Utara (Darwin) dan di Australia Barat (Fremantle dan Broome). Australia endemis Theileria penyebab infeksi ringan pada sapi dimana Theileria jarang diasosiasikan dengan suatu gejala penyakit. Diagnosa terhadap theileriosis dilakukan apabila penyebab penyakit lain telah dieliminasi (Kamau et al.2011). Theileriosis benigna pada sapi disebabkan oleh T.sergenti, T.buffeli dan T.orientalis yang mengakibatkan penyakit asimtomatik pada sapi (Aktas et al. 2006). Anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis endemis pada daerah beriklim tropis dan sub tropis. Namun demikian, telah dilaporkan adanya kejadian

26 14 penyakit pada daerah beriklim sedang. Prevalensi penyakit lebih tinggi pada daerah berhawa panas dan lembab yang berkaitan dengan banyaknya caplak (Bock et al. 2004; Perera et al. 2014; Sajid et al. 2014). Kondisi Fisiologis Sapi Pengambilan sampel darah dan kondisi fisiologis pada penelitian ini dilakukan pada kandang jepit IKH dengan temperatur lingkungan C hingga C dengan kelembaban udara 60% hingga 80%. Anaplasma memiliki masa inkubasi 7 hingga 60 hari dan rata-rata yaitu 28 hari. Selama masa inkubasi, eritrosit yang terinfeksi meningkat dan difagosit oleh sel retikuloendotelial sehingga menimbulkan anemia dan ikterus tanpa hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Selanjutnya tejadi gejala klinis berupa hipertermia, penurunan berat badan, aborsi dan letargi (Rymaszewska & Grenda 2008). Babesia menginfeksi dalam bentuk sporozoit lewat gigitan caplak. Sporozoit akan berkembang menjadi piroplasma dalam eritrosit yang terinfeksi dan menghasilkan 2 hingga 4 sel dan akan menginfeksi eritrosit lain. Gejala yang terjadi hipertemia, anemia, ikterus serta letargi. Sporozoit Theileria akan masuk dan menginfeksi limfosit atau makrofag dan membentuk skizon (Hunfeld et al. 2008). Limfosit akan melepas merozit yang menginfeksi eritrosit dan menjadi trofozoit. Saat Theileria menginfeksi limfosit terjadilah gejala seperti trombositopenia dan panleukopenia (Homer et al. 2000). Gejala lain yang timbul adalah hipertermia, anemia, ikterus, aborsi, letargi hingga kematian (Perera et al. 2014). Okon et al. (2012) dalam suatu penyelidikan penyakit akibat parasit darah menunjukkan bahwa penyakit memiliki dampak negatif pada fungsi fisiologis hewan yang terinfeksi. Data yang diperoleh berupa pemeriksaan darah dan kondisi fisiologis dibandingkan antara sampel positif dan sampel negatif parasit darah pada Tabel 6 dan Tabel 7 sebagai berikut : Tabel 6 Nilai hemoglobin,jumlah eritrosit dan hematokrit sapi bakalan asal Australia Sampel (n) Rata-rata Hemoglobin (g/dl) Rata-rata Eritrosit (x10 6 /µl) Rata-rata hematokrit (%) Negatif parasit 12.77± ± ±0.93 darah Positif parasit 12.97± ± ±0.32 darah Kisaran normal* * Sumber: Merck Veterinary Manual (2013) Analisis data untuk membandingkan profil hematologi antara darah sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Pemeriksaan darah rutin dilakukan dengan memeriksa jumlah eritrosit, jumlah hemoglobin dan hematokrit. Eritrosit berdiameter sekitar 5 sampai 7 µm. Berbentuk pipih cekung ganda dengan tepian melingkar dan pusatnya tipis. Bentuk cekung ganda memberikan luasan permukaan untuk pertukaran gas di sel membran.

27 Eritrosit tidak memiliki inti dan beberapa organel. Jumlah eritrosit dinyatakan sebagai jumlah sel per mikroliter darah secara keseluruhan dan hewan domestik memiliki 7 x 10 6 permikroliternya. Protein hemoglobin adalah konstituen utama intraseluler eritrosit. Fungsi hemoglobin terutama dalam transportasi oksigen dan karbon dioksida. Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 ml darah, dan jumlah normal umum konsentrasi hemoglobin berkisar antara 11 hingga 13 g/100 ml pada hewan domestik. Hematokrit (packed cell volume) adalah persentase eritrosit dalam seluruh volume darah. Hematokrit biasanya berkisar untuk sebagian besar spesies mamalia dan umumnya dianggap menjadi indikator jumlah total eritrosit (Frandson et al. 2007). Pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah terjadi gejala klinis berupa anemia pada sapi. Dalam penelitian ini antara sapi positif dan negatif parasit darah menunjukkan rerata hematologis masih dalam kisaran normal sehingga tidak terjadi gejala klinis. Tabel 7 Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi bakalan asal Australia Sampel Rata-rata Temperatur tubuh ( 0 C) Rata-rata Pulsus (/menit) Rata-rata Frekuensi Nafas (/menit) 15 Berat Badan (Kg) Negatif parasit 37.54± ± ± ±3.84 darah Positif parasit 37.77± ± ± ±1.89 darah Kisaran normal* * Sumber: Merck Veterinary Manual (2013), Jackson & Cockroft (2002) Analisis data untuk membandingkan temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan antara sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Status fisiologis dapat diketahui dari beberapa indikator yaitu temperatur tubuh, pulsus dan frekuensi nafas. Temperatur tubuh merupakan ekspresi kemampuan tubuh melepaskan dan menerima panas. Temperatur tubuh adalah data klinis awal dan harus diukur secara rutin pada hewan saat sakit. Berbagai penyakit dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan temperatur tubuh. Temperatur tubuh diukur paling akurat dan konsisten secara perrektal. Peningkatan temperatur dapat terjadi akibat adanya paparan lingkungan, peningkatan aktivitas, infeksi dan inflamasi. Pulsus merupakan jumlah denyut jantung per satuan waktu, biasanya per menit. Denyut jantung didasarkan pada jumlah kontraksi ventrikel. Pulsus dapat terjadi secara cepat (takikardia) atau lambat (bradikardia). Frekuensi pernafasan adalah jumlah frekuensi inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menit. Proses inspirasi dan ekspirasi terjadi akibat selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus disebabkan kerja mekanik otot-otot di wilayah rongga thoraks. Peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan merupakan respon fisiologis tubuh untuk menyesuaikan perubahan suhu tubuhnya terhadap keadaan lingkungan (Frandson et al. 2007). Pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah terjadi perubahan gejala klinis terhadap temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan pada sapi.

28 16 Dalam penelitian ini antara sapi positif dan negatif parasit darah menunjukkan rerata fisiologis masih dalam kisaran normal sehingga tidak terjadi gejala klinis. Beberapa kondisi pada saat pengambilan sampel data fisiologis sapi antara lain adanya temperatur lingkungan yang tinggi, tempat pengambilan sampel di lapangan tanpa atap, tidak adanya ketersediaan air minum dan kondisi stres pada sapi karena proses pengambilan data dilakukan rata-rata pada hari ke 4-5 dari kedatangan di Pelabuhan Tanjung Priok. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi temperatur tubuh, pulsus dan frekuensi nafas. Mekanisme fisiologis akibat meningkatnya temperatur lingkungan dapat meningkatkan frekuensi nafas, pulsus dan pengeluaran saliva (Atrian & Shahryar 2012). Hasil penelitian pada sapi bakalan asal Australia mendapatkan adanya parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) namun tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini disebabkan oleh tingkat parasitemia rendah hingga sedang. Anaplasma, Babesia dan Theileria merupakan parasit darah penyebab penyakit yang ditularkan lewat caplak yang menyebabkan penurunan produksi dan kematian ternak. Tickborne disease menyerang 80% populasi ternak dunia dan terdistribusi luas. Kurangnya data prevalensi dan insidensi tentang penyakit menyebabkan sulitnya menentukan dampak penyakit (Estrada-Pena & Salman 2013). Penelitian lebih lanjut harus dilakukan pada tick-borne disease untuk mengurangi kerugian, pencegahan dan strategi pengendalian (Alemu et al. 2014). Australia memiliki beberapa rekomendasi manajemen penanganan untuk mengurangi kejadian penyakit akibat parasit darah yaitu dengan penglokasian daerah tertular, pencegahan mobilisasi sapi pada daerah tertular, manajemen peternakan berupa manajemen pemberian pakan yang baik, pemeliharaan kesehatan dan pengendalian stres pada sapi dengan menciptakan lingkungan dan penanganan sapi yang tepat, mencegah tranmisi parasit lewat penggunaan alat-alat dalam kastrasi, jarum suntik, dan alat lainnya. Selain itu ada pengendalian caplak walaupun terdapat vektor lainnya seperti lalat dan nyamuk yang dapat menularkan penyakit. Pemerintah Australia menjamin kesehatan sapi bakalan yang diekspor dengan sertifikat kesehatan. Sertifikat kesehatan hewan menyatakan bahwa sapi bakalan tersebut bebas dari ektoparasit dan mendapat perlakuan dengan akarisida 14 hari sebelum ekspor serta tidak terjadi wabah ataupun gejala klinis anaplasmosis, babesiosis, theileriosis pada 6 bulan sebelum pengapalan. Sapi yang sembuh dari infeksi penyakit parasit darah akan menjadi pembawa agen (carrier) karena dapat menularkan penyakit dari darah baik melalui transmisi biologis maupun mekanis. Pemeriksaan terhadap sapi carrier diperlukan untuk pencegahan penularan penyakit (Kocan et al. 2003). Sapi bakalan impor yang masuk ke Indonesia melalui proses karantina untuk mengetahui kondisi kesehatan terutama adanya HPHK yang menginfeksi sapi. Anaplasma, Babesia dan Theileria terdapat pada sapi dan harus dicegah penyebarannya. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan tambahan prasyarat impor sapi berupa adanya pengobatan yang dilakukan pada sapi yang terinfeksi parasit darah di negara pengekspor. Pencegahan lainnya adalah dengan menjalankan kebijakan teknis yang telah ditetapkan seperti pembuatan Instalasi Karantina Hewan untuk sapi impor yang sesuai, mengadaptasi rekomendasi untuk menanggulangi infeksi parasit darah seperti yang dilakukan di Australia terutama dalam manajemen pakan, pengendalian stres dan pencegahan transmisi baik mekanis maupun biologis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS ~.. Dan kami bersyukur kepada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa. Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kasih sepenuh

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X TRYPANOSOMIASIS PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN TERNAK (Trypanosomiasis in Bali Cattle Seedlings and Live Stock Reaserch Center) NKH Saraswati, Ketut Mastra, Made Sutawijaya,

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan sapi-sapi lainnya.

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO KAJIAN PENYAKIT PROTOZOA DARAH PADA SAPI DI KABUPATEN GORONTALO 1 Tri Ananda Erwin Nugroho ababil.nugroho@gmail.com 2 Rinaldi Usman rinaldyusman01@yahoo.com 3 Risman A. Kasim risman.kasim@yahoo.com 4 Muhammad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebab Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk anopheles betina. 5,15 Ada lima spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kambing kacang, eritrosit, Denpasar Barat

ABSTRAK. Kata kunci : kambing kacang, eritrosit, Denpasar Barat ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pada 40 ekor kambing kacang betina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sitologi sel darah abnormal pada kambing kacang yang berada di Rumah Potong Kambing

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017 SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI Bogor, 8-9 Agustus 2017 Latar Belakang Pertambahan populasi lambat Penurunan performa

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus)

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) R. DANG PINA MANGGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila

JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila SKRIPSI JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DI INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila Oleh : ADHITYA KURNIAWAN NIM 061111214 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Malaria masih menjadi masalah kesehatan di daerah tropis dan sub tropis terutama Asia dan Afrika dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Patel

Lebih terperinci

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI

BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI BABESIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RITA SARI DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN BIDANG KARANTINA HEWAN BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN BELAWAN TAHUN 2014 PERSYARATAN

Lebih terperinci

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD 8 II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD 3.1 Penyebaran Virus DBD DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Penyebaran virus demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk. Nyamuk Aedes

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan Novryzal Dian Abadi Ade Margani Ferriyanto Dian K M. Amriyan N Ovilia Zabitha Uswatun Hasanah Widya Alif S Tri Cahyo D. Yessy Puspitasari

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Rita Shintawati Pendahuluan Relapsing fever (RF) demam berulang infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Gejala klinis yg khas timbulnya demam berulang diselingi periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1070, 2013 KEMENTERIAN PERTANIAN. Sapi. Bakalan. Induk Potong. Pemasukan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/Permentan/PD.410/8/2013

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983)

TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) TRYPANOSOMIASIS DAN THEILERIOSIS DI KENYA (Suatu tinjauan dari hasil kunjungan ke Kenya, 1983) Ismu Prastyawati Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor PENDAHULUAN Tulisan ini merupakan hasil kunjungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 mencapai 237,64 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 1 Post Graduate Student of Veterinary Science, Faculty of Veterinary Medicine, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Babesiosis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Ketua Program Studi/Koordinator Mayor: Staf Pengajar: Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi Dr. drh., MS Dr. drh. Agustin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba yang berasal dari persilangan

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/Permentan/PD.410/10/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/Permentan/PD.410/10/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/Permentan/PD.410/10/2013 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN SAPI INDUKAN, SAPI BAKALAN, DAN SAPI SIAP POTONG KE DALAM WILAYAH NEGARA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium. Ada lima jenis Plasmodium yang sering menginfeksi manusia, yaitu P. falciparum,

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci