ANALISIS INPUT-OUTPUT BIDANG KELAUTAN TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS INPUT-OUTPUT BIDANG KELAUTAN TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL"

Transkripsi

1 DEWAN KELAUTAN INDONESIA ANALISIS INPUT-OUTPUT BIDANG KELAUTAN TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL Kementerian Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satker Dewan Kelautan Indonesia 2012

2 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan karunia-nya laporan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional yang merupakan salah satu kegiatan dari Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) pada tahun 2012 dapat diselesaikan dengan baik. Sumber daya kelautan yang terkandung dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indinesia mempunyai peranan yang cukup besar untuk pembangunan. Hal ini karena memang bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau (terbanyak di dunia) dan panjang garis pantai kurang lebih kilometer (terpanjang ke-4 di dunia), dimana sekitar 70 persen wilayah teritorialnya berupa laut. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pembangunan dibutuhkan informasi dan perencanaan pembangunan yang matang. Salah satu informasi yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan tersebut adalah Analisis Input-Output Bidang Kelautan. Maksud dari penyusunan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah untuk menyediakan data Tabel Input Output Kelautan yang cukup rinci dan up to date sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan dalam pembangunan bidang kelautan di Indonesia. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan saran dan masukan demi sempurnanya laporan ini. Semoga dengan adanya penyusunan Analisis Input- Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional dapat bermanfaat dalam menunjang proses pembangunan dan penerapan kebijakan khususnya bidang kelautan. Tentunya, masih banyak kekurangan di sana-sini dalam pelaksanaan kegiatan ini, dan kami tetap mengharapkan saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya ke depan. Tim Penyusun Dewan Kelautan Indonesia Kementerian Kelautan dan Perikanan

3 Republik Indonesia

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i...ii...iv...vi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Maksud dan Tujuan Sasaran Ruang Lingkup Keluaran Hasil yang Diharapkan Manfaat...5 BAB II LANDASAN TEORI DAN KEBIJAKAN Kerangka Dasar Model Input-Output Asumsi Dasar Model Input-Output Konsep dan Definisi dalam Tabel Input-Output Output Input Antara Input Primer (Nilai Tambah) Permintaan Akhir dan Impor Dasar Hukum Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Bidang Kelautan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kelautan...16 BAB III METODOLOGI Kerangka Pikir Konseptual Metode Analisa...21

5 Analisa Keterkaitan Antar Sektor Analisa Pengganda Analisa Dampak Cakupan Sektor Bidang Kelautan Metode Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan Data Tabel Input-Output Indonesia dan Klasifikasi Sektor untuk Bidang Kelautan...34 BAB IV ANALISA INPUT-OUTPUT UNTUK BIDANG KELAUTAN Peranan Bidang Keluatan dalam Perekonomian Nasional Analisis Keterkaitan Antar Sektor Bidang Kelautan Analisis Pengganda Bidang Kelautan...51 BAB V KONDISI SAAT INI, MASALAH DAN POTENSI PENGEMBANGAN Kondisi Saat Ini Ekonomi Kelautan Masalah yang Dihadapi Produktivitas Kualitas Sumber Daya Manusia Iklim Investasi dan Usaha Infrastruktur dan Teknologi Pengendalian dan Pelestarian Lingkungan Hidup Potensi Pengembangan Sektor Prioritas Identifikasi Pelaku Investasi Perkiraan Kebutuhan Investasi Dampak Investasi Bidang Kelautan terhadap Perekonomian...89 BAB VI PENUTUP Kesimpulan Saran...94 DAFTAR PUSTAKA...97

6 LAMPIRAN...99

7 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kerangka Dasar Model Input-Output...6 Tabel 2.2. Simplifikasi Tabel Input Output...8 Tabel 3.1. Rumus Perhitungan Indeks Keterkaitan Menggunakan Tabel I-O...21 Tabel 3.2. Rumus Perhitungan Pengganda Menurut Jenis Pengganda dan Tipe Dampak...22 Tabel 3.3. Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan...34 Tabel 3.4. Klasifikasi Sektor Tabel I-O Kelautan Tahun 2008: 85 x 85 Sektor...39 Tabel 4.1 Kontribusi Output dari Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.2 Kontribusi Pendapatan Masyarakat dari Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.3 Kontribusi Tenaga Kerja dari Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.4 Kontribusi Sektor Kelautan dalam PDB Nasional Tahun Tabel 4.5 Kontribusi Sektor Kelautan dalam PDB Nasional Tahun Tabel 4.6 Keterkaitan Ke Belakang Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.7 Keterkaitan Ke Depan Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.8 Sektor Kunci Bidang Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.9 Pengganda Output Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.10 Pengganda Pendapatan Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 4.11 Pengganda Tenaga Kerja Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun Tabel 5.1 Produksi Perikanan Tangkap Komoditas Utama Tahun Tabel 5.2 Luas Lahan Budidaya Ikan di Indonesia Tahun Tabel 5.3 Produksi Perikanan Budidaya Tabel 5.4 Jumlah Unit Pengolahan Menurut Jenis Pengolahan Ikan Utama...64 Tabel 5.5 Jumlah Unit Pengolahan dan Jenis Produk Skala Besar

8 Tabel 5.6 Lokasi Pengembangan Usaha Garam Nasional...69 Tabel 5.7 Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di Indonesia...75 Tabel 5.8 Jumlah Pelabuhan Yang Dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I IV Menurut Kelas Pelabuhan Tahun...76 Tabel 5.9 Jumlah Armada Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran Tahun (unit)...77 Tabel 5.10 Daftar Keberadaan Pelabuhan...77 Tabel 5.11 Prioritas Penanganan Sektor Kelautan...82 Tabel 5.12 Sektor Prioritas Jangka Pendek...84 Tabel 5.13 Sektor Prioritas Jangka Panjang...84 Tabel 5.14 Pola Pelaku Investasi di Indonesia...85 Tabel 5.15 Indikator Kinerja Utama (IKU)...86 Tabel 5.16 Perkiraan Kebutuhan Investasi Tahun (Rp. Milyar)...89

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Kerangka Pikir Konseptual...20 Gambar 4.1 Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional Tahun (Persen)...47 Gambar 4.2. Perkiraan Kontribusi Bidang Kelautan terhadap PDB Nasional Tahun (Persen)...48 Gambar 5.1 Peta Lingkungan Laut Indonesia...55 Gambar 5.2 Wilayah Perairan Large Marine Ecosystem (LME) di Seluruh Dunia...56 Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Investasi Asing (PMA) dan Dalam Negeri (PMDN) Sektor Perikanan...58 Gambar 5.4 Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Ikan Triwulan Gambar 5.5 Pertumbuhan PDB pada Sektor Perikanan Tahun (persen)...60 Gambar 5.6 Kontribusi Sektor Kelautan Terhadap PDB Tahun (persen)...60 Gambar 5.7 Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Sektor Kelautan Triwulan I 2012 (US $ juta)...61 Gambar 5.8 Cekungan Minyak Bumi di Indonesia...66 Gambar 5.9 Peta Sebaran Kilang LNG di Indonesia...67 Gambar 5.10 Potensi Mineral di Provinsi Sulawesi Selatan...69 Gambar 5.11 Sebaran Energi Panas Laut...70 Gambar 5.12 Jumlah Armada Laut Menurut Kepemilikan Tahun Gambar 5.13 Peta Pelabuhan Perikanan...78 Gambar 5.14 Produksi Perikanan Dunia dan Indonesia...79 Gambar 5.15 Produksi perikanan Tangkap Dunia dan Posisi Indonesia Gambar 5.16 Perkiraan Pelaku Investasi di Sektor Prioritas...86 Gambar 5.17 Proyeksi dan Target Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Tanpa Migas Tahun (Persen)...87 Gambar 5.18 Proyeksi dan Target Nilai Sektor Perikanan dalam PDB Nasional Tahun (Rp. Milyar)...88 Gambar 5.19 Pertumbuhan Ekonomi Sektor Perikanan dalam PDB Nasional...88

10 Gambar 5.20 Dampak Investasi terhadap Pendapatan Masyarakat Tahun (Rp. Milyar)...90 Gambar 5.21 Dampak Investasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Tahun (Ribu Orang Tenaga Kerja)...90 Gambar 5.22 Dampak Investasi terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan Penyerapan Tenaga Kerja Tahun (Persen)...91

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi negara ini. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasari hal tersebut. Pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau dan kilometer garis pantai, dimana sekitar 70 persen wilayah teritorialnya berupa laut (Simanungkalit, 1999). Kedua, di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas itu terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo, et.al., 2000). Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya pembangunan di daratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan akan meningkat (Resosudarmo, et.al., 2000). Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta km 2 (berdasarkan Konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit, 1999). Namun pemanfaatannya sebagai salah satu sistem sumber daya hingga saat ini dirasakan belum optimal. Sektor perikanan misalnya, dari 6,7 juta ton perkiraan potensi perikanan per tahun, baru sekitar 65% yang dieksploitasi, walaupun di beberapa tempat kemungkinan besar telah terjadi penangkapan secara berlebihan (NRM News, 1999). Apabila dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, potensi sumberdaya kelautan Indonesia dapat menjadi modal utama pembangunan nasional di masa yang akan datang. Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sudah selayaknya memberikan perhatian khusus terhadap potensi kelautan dan perikanan untuk selanjutnya menerapkan program-program pengembangan berbagai jenis kegiatan di sektor-sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Salah satunya adalah mendorong terjadinya investasi di beberapa sektor kelautan dan perikanan yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia secara umum. Sebagai langkah pertama, perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai jenis kegiatan di sektor-sektor kelautan dan perikanan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui melalui peranan dari sektor kelautan dan perikanan

12 terhadap perekonomian nasional. Dari kegiatan tersebut selanjutnya ditentukan sektor-sektor di kelautan dan perikanan yang diprioritaskan untuk dikembangkan. Langkah kedua adalah memperkirakan pelaku-pelaku ekonomi yang akan melakukan investasi di sektor-sektor prioritas tersebut untuk kemudian menciptakan sistem insentif yang mendorong mereka agar segera berinvestasi. Dengan nilai perkiraan investasi yang dapat diketahui nantinya, dapat juga diperkirakan dampaknya terhadap perekonomian, baik terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan penciptaan lapangan kerja. Pengembangan program untuk merangsang investasi di sektor-sektor kelautan dan perikanan penting dilakukan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, sering terjadinya informasi asimetris di pasar membuat para calon pelaku investasi tidak dapat melihat manfaat besar yang akan diterimanya jika melakukan investasi di suatu sektor. Kedua, kalaupun informasi di pasar sempurna, seringkali pilihan untuk melakukan investasi jatuh di sektor-sektor yang sangat menguntungkan bagi investor, tapi manfaatnya bagi kebanyakan orang relatif kecil. Memperkirakan siapa pelaku investasi perlu dilakukan sebelum perumusan suatu sistem insentif. Perhatikan, umumnya, setiap pemberian insentif kepada satu pihak akan memberikan konsekuensi beban kepada pihak pemberi insentif, dalam hal ini pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, insentif berupa penyederhanaan proses perijinan. Baik langsung maupun tidak langsung, ada biaya yang perlu dikeluarkan oleh lembaga pemberi ijin untuk mengubah proses perijinan yang diaturnya menjadi lebih sederhana. Pemberian insentif yang tidak tepat sasaran hanya menimbulkan biaya pada pemberi insentif, sementara itu pihak yang diberi insentif belum tentu terdorong untuk melakukan investasi Perumusan Masalah Dalam konteks kelautan, terdapat cukup banyak jenis kegiatan/aktivitas yang masuk dalam kategori sektor ekonomi yang tercakup di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa sektor ekonomi yang dimaksud antara lain adalah perikanan (perikanan tangkap, udang, dan lain-lain), energi (minyak dan gas bumi), dan sumber daya mineral (garam, timah, dan lain-lain), pelayaran (angkutan laut), pariwisata bahari, industri (perikanan, kapal, dan lain-lain) dan jasa maritim, dan lain-lain. Tentunya masing-masing maupun secara bersama-sama berkontribusi terhadap perekonomian, baik terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan masyarakat, maupun penyerapan tenaga kerja. Selain berkontribusi terhadap perekonomian, setiap jenis aktivitas tersebut juga memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor ekonomi, baik dalam sektor itu sendiri maupun sektor yang lain. Dengan keterkaitan tersebut, kondisi suatu sektor akan mempengaruhi kondisi sektor-sektor yang lain, baik sektor yang sebagai penyedia inputnya (sektor

13 hulu) maupun sektor pengguna outputnya (sektor hilir). Besar kecilnya pengaruh tersebut tergantung dari nilai pengganda (multiplier) yang dimiliki oleh setiap sektor. Dalam upaya pengembangan sektor kelautan, dikarenakan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, maka tidak semua aktivitas ekonomi yang terkait akan mendapatkan perhatian yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan prioritas dalam upaya pengembangannya dengan mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya adalah nilai pengganda yang dimiliki oleh setiap sektor. Dengan potensi kelautan yang cukup besar, maka terdapat banyak pihak juga yang terkait dalam pengembangan sektor kelautan. Agar terjadi kesinergian dalam pengembangannya, maka perlu dilakukan identifikasi berbagai pihak yang terkait dan peranannya dalam pengembangan sektor kelautan. Salah satu peran masing-masing pihak yang terkait adalah berupa investasi. Dengan mengetahui target-target yang ada dalam pengembangan sektor kelautan, maka dapat diperkirakan pula kebutuhan investasi yang diperlukan. Atau dengan logika yang sebaliknya, komitmen masingmasing pihak dalam pengembangan sektor kelautan, khususnya melalui investasi dalam beberapa tahun ke depan juga dapat diketahui juga dampaknya terhadap perekonomian. Hal-hal tersebut dapat dianalisis dan dijelaskan, salah satunya dengan analisa Input-Output yang disusun khusus untuk analisis perencanaan kebijakan pembangunan kelautan. Terkait dengan penjelasan di atas, maka kegiatan tentang penyusunan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut, antara lain: a. Jenis kegiatan/aktivitas ekonomi apa sajakah yang termasuk dalam sektor kelautan dalam perekonomian Indonesia? b. Berapakah kontribusi sektor kelautan terhadap perekonomian Indonesia? c. Bagaimana keterkaitan antar sektor, khususnya sektor kelautan, dalam perekonomian Indonesia? d. Berapakah nilai pengganda, baik output, pendapatan, maupun tenaga kerja dari sektor kelautan, dalam perekonomian Indonesia? e. Sektor apa sajakah yang prioritas untuk dikembangkan melalui investasi di sektor kelautan; f. Siapa sajakah pelaku investasi yang potensial dan peranaannya dalam pengembangan sektor kelautan di Indonesia?; dan g. Berapakah perkiraan kebutuhan investasi yang diperlukan untuk pengembangan sektor kelautan dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional.

14 1.3. Maksud dan Tujuan Maksud dari penyusunan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah untuk menyediakan data Tabel Input Output Kelautan yang cukup rinci dan up to date sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan dalam pembangunan sektor kelautan di Indonesia. Sementara itu, tujuan dari Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini secara rinci adalah: a. Mengidentifikasi berbagai jenis kegiatan/aktivitas ekonomi yang termasuk dalam sektor kelautan dalam perekonomian Indonesia; b. Mengetahui kontribusi sektor kelautan terhadap perekonomian Indonesia; c. Mengetahui keterkaitan antar sektor, khususnya sektor kelautan, dalam perekonomian Indonesia; d. Mengetahui nilai pengganda, baik output, pendapatan, maupun tenaga kerja dari sektor kelautan, dalam perekonomian Indonesia; e. Mengetahui sektor-sektor yang prioritas untuk dikembangkan melalui investasi di sektor kelautan; f. Mengidentifikasi para pelaku investasi yang potensial dan peranaannya dalam pengembangan sektor kelautan di Indonesia; dan g. Memperkirakan kebutuhan investasi yang diperlukan untuk pengembangan sektor kelautan dan mengukur dampaknya terhadap perekonomian nasional Sasaran Sasaran dari kegiatan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini antara lain: a. Tersusunnya Tabel Input-Output Indonesia yang rinci dan up to date, sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan dalam pembangunan sektor kelautan di Indonesia; b. Teridentifikasinya jenis kegiatan/aktivitas ekonomi dalam sektor kelautan dan terukur kontribusinya dalam perekonomian Indonesia; c. Tersedianya nilai perkiraan kebutuhan investasi di sektor kelautan dan analisa dampaknya terhadap perekonomian nasional; dan d. Tersedianya bahan/referensi sebagai dasar penentuan kebijakan dalam pembangunan sektor kelautan di Indonesia;

15 1.5. Ruang Lingkup Cakupan dari pelaksanaan kegiatan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah: a. Penyusunan Tabel Input-Output (IO) Kelautan Indonesia Tahun 2008, dimana sektor kelautan dirinci se-detil mungkin sebagai upaya untuk mengakuratkan analisa kebijakan; b. Melakukan perjalanan ke beberapa daerah dalam upaya untuk menginventarisasi data dan berbagai rencana pengembangan sektor kelautan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; c. Menyelenggarakan kegiatan rapat/koordinasi yang melibatkan seluruh stakeholders yang terkait dalam upaya penyempurnaan penyusunan Tabel Input-Output dan rencana kebijakan pembangunan di sektor kelautan; d. Melakukan perhitungan perkiraan kebutuhan investasi di sektor kelautan dan melakukan analisa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia; dan e. Melakukan penyusunan, pembahasan, dan penyempuranaan terhadap perencanaan kebijakan pembangunan kelautan di Indonesia dengan menggunakan Tabel Input- Output Keluaran (Output) Keluaran dari pelaksanaan kegiatan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah tersusunnya perencanaan kebijakan pembangunan kelautan di Indonesia dengan menggunakan analisa Input-Output Hasil (Outcome) yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah termanfaatkannya alternatif usulan kebijakan pembangunan kelautan di Indonesia yang dilakukan dengan menggunakan analisa Input-Output dalam perumusan program dan kegiatan dalam pembangunan di sektor kelautan Manfaat Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari pelaksanaan kegiatan Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini adalah: a. Menjelaskan tentang berbagai jenis kegiatan/aktivitas ekonomi yang terkait dengan sektor kelautan dan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia;

16 b. Menjelaskan tentang berbagai permasalahan dalam upaya pengembangan sektor kelautan di Indonesia; c. Mengintegrasikan berbagai upaya pengembangan sektor kelautan di Indonesia, yang mencakup berbagai pihak, baik di tingkatan nasional maupun daerah, khususnya dalam perencanaan kebijakan pembangunan di sektor kelautan; dan d. Sebagai bahan/referensi dan masukkan bagi berbagai pihak, khususnya para pengambil kebijakan terkait dengan pengembangan sektor kelautan di Indonesia.

17 BAB II LANDASAN TEORI DAN KEBIJAKAN 2.1. Kerangka Dasar Model Input-Output Hubungan antara susunan input dan distribusi output merupakan teori dasar yang melandasi model I-O. Secara sederhana, model I-O menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar-satuan kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Isian sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut kolom menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi. Sebagai model kuantitatif, model I-O mampu memberi gambaran menyeluruh tentang: (1) struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah (2) struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah (3) struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor, dan (4) struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Tabel 2.1 Kerangka Dasar Model Input-Output Kuadran I : Transaksi antar kegiatan (nxn) Kuadran III : Input primer sektor produksi (pxn) Kuadran II : Permintaan akhir (nxm) Kuadran IV : Input primer permintaan akhir (pxm) Kerangka dasar model I-O terdiri atas empat kuadran seperti disajikan pada Tabel 2.1. Kuadran I: Menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektorsektor ekonomi dalam proses produksi di suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk suatu

18 proses produksi sehingga disebut juga sebagai transaksi antara (intermediate transaction). Kuadran II: Menunjukkan permintaan akhir (final demand) dan impor. Permintaan akhir yaitu penggunaan barang dan jasa bukan untuk proses produksi yang biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan persediaan (stock), dan ekspor. Kuadran III: Memperlihatkan input primer dari sektor-sektor produksi, yaitu semua balas jasa setiap faktor produksi yang biasanya meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Kuadran IV: Memperlihatkan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi ini digunakan dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau dikenal dengan sebutan data Social Accounting Matrix (SAM). Dalam penyusunan Tabel I-O, kuadran ini tidak disajikan. Tiap kuadran dinyatakan dalam bentuk matriks, masing-masing dengan dimensi seperti tertera pada Tabel 2.1. Bentuk seluruh matriks ini menunjukkan kerangka model I-O yang berisi uraian statistik mengenai transaksi barang dan jasa antar berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu periode tertentu. Kumpulan sektor produksi pada kuadran pertama, yang berisi kelompok produsen, memanfaatkan berbagai sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa yang secara makro disebut sebagai sistem produksi. Sektor di dalam sistem produksi ini dinamakan sektor endogen. Sedangkan sektor di luar sistem produksi, yaitu yang berada di kuadran kedua, ketiga dan keempat dinamakan sektor eksogen. Dengan demikian, dapat dilihat secara jelas bahwa model I-O membedakan dengan tegas sektor endogen dengan sektor eksogen. Output, selain digunakan dalam sistem produksi dalam bentuk permintaan antara, juga digunakan di luar sistem produksi dalam bentuk permintaan akhir. Input yang digunakan dalam sistem produksi ada yang berasal dari dalam sistem produksi berupa input antara dan juga ada yang berasal dari luar sistem produksi yang disebut input primer. Tabel I-O pertama kali diperkenalkan oleh W. Leontief pada tahun 1930-an. Tabel I-O adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa yang terjadi antar sektor produksi di dalam suatu ekonomi dengan bentuk penyajian berupa matriks. Angka-angka di dalam Tabel I-O menunjukkan hubungan dagang antar sektor yang berada dalam perekonomian suatu wilayah. Setiap baris menunjukkan secara rinci jumlah penjualan dari sebuah sektor, yang tertera pada kolom penjual, ke berbagai sektor, yang tertulis di bawah label pembeli. Karena sebuah sektor tidak menjual barangnya kepada semua sektor yang ada, maka

19 umum dijumpai angka nol dalam sebuah baris di dalam Tabel I-O. Adapun kolom dalam Tabel I-O mencatat berbagai pembelian yang dilakukan sebuah sektor terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor yang ada di dalam wilayah tersebut. Jika angka-angka yang berada pada kolom suatu sektor juga banyak dijumpai angka nol, hal ini karena sebuah sektor tidak selalu membeli barang dan jasa dari seluruh sektor yang ada di perekonomian negara tersebut. Selain transaksi antar sektor, ada lagi beberapa transaksi yang dicatat dalam sebuah Tabel I- O. Perusahaan-perusahaan di dalam suatu sektor menjual hasil produknya ke konsumen (rumahtangga), pemerintah, dan perusahaan di luar negeri, ditambah lagi sebagian hasil produksi juga dijadikan bagian dari investasi oleh sektor lainnya. Penjualan-penjualan yang baru saja disebutkan ini dapat dikelompokkan ke dalam satu neraca yang disebut konsumsi akhir. Dalam hal pembelian, selain barang dan jasa dari berbagai sektor, perusahaan juga membutuhkan jasa tenaga kerja dan memberikan kompensasi pada pemilik modal atau kapital. Pembayaran jasa kepada tenaga kerja dan pemilik modal disebut pembayaran untuk nilai tambah. Selain itu perusahaan juga membeli barang dan jasa dari luar negeri, dengan kata lain, perusahaan mengimpor barang dan jasa. Transaksi impor barang dan jasa ini dicatat pada baris impor. Dengan demikian, lengkaplah transaksi-transaksi perdagangan dari berbagai sektor yang ada di dalam suatu negara. Secara sederhana simplifikasi dari Tabel I-O dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut : Tabel 2.2. Simplifikasi Tabel Input Output Sektor Sektor Pembeli Konsumsi Total Penjual N Akhir Produksi N Nilai Tambah x 11 x x 1n f 1 X 1 x 21 x x 2n f 2 X x n1 x n2... x nn f n X n V 1 v 2... v n Impor M 1 m 2... m n Total Input X 1 X 2... X n

20 Dari Tabel I-O pada Tabel 2.2 dapat dibuat dua persamaan neraca yang berimbang: n Baris : x f X i 1,..., n j 1 n ij i i Kolom: xij v j mj X j j 1,..., n i 1 dimana x ij adalah nilai aliran barang atau jasa dari sektor i ke sektor j; f i adalah total konsumsi akhir; v j adalah nilai tambah dan m j adalah impor. Definisi neraca yang berimbang adalah jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan. Aliran antar industri dapat ditransformasi menjadi koefisien-koefisien dengan mengasumsikan bahwa jumlah berbagai pembelian adalah tetap untuk sebuah tingkat total keluaran (dengan kata lain, tidak ada economies of scale) dan tidak ada kemungkinan substitusi antara sebuah bahan baku masukan dan bahan baku masukan lainnya (dengan kata lain, bahan baku masukan dibeli dalam proporsi yang tetap). Koefisien-koefisien ini adalah: aij xij / X j atau x a X ij ij j Dengan menggabungkan kedua persamaan di atas diperoleh: n j 1 a X f X i 1,..., n ij j i i Atau dalam notasi matriks persamaan tersebut dapat ditulis sebagai AX f X dimana a ij Anxn ; f i f nx1; dan X i X nx 1. Dengan memanipulasi persamaan di atas didapat hubungan dasar dari Tabel I-O adalah : (I - A) -1 f = X dimana (I - A ) -1 dinamakan sebagai matriks kebalikan Leontief (matriks multiplier masukan). Matriks ini mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (industri) akan menyebabkan berkembangnya sektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memiliki pola (pembelian dan penjualan dengan sektor lain) yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier ( ij ). Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks (I A) Asumsi Dasar Model Input-Output Secara konsepsional, ada 3 (tiga) asumsi dasar yang melandasi penyusunan model I-O dan model-model ekonomi yang diturunkan dari Tabel I-O berangkat dari asumsi-asumsi sebagai berikut:

21 1. Asumsi homogenitas, yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi satu jenis output dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor. 2. Asumsi proporsionalitas, yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier, yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding (berbanding lurus) dengan kenaikan atau penurunan output sektor yang dihasilkan. 3. Asumsi aditivitas, yaitu suatu asumsi yang menyebutkan bahwa efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti bahwa di luar sistem Tabel I-O semua pengaruh luar diabaikan. Dengan asumsi-asumsi tersebut, model analisis I-O mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain: karena rasio input-output konstan sepanjang periode analisis, produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses peroduksi. Selain itu, hubungan yang tetap ini berarti bahwa apabila input suatu sektor diduakalikan maka outputnya akan dua kali juga. Asumsi semacam ini menolak adanya pengaruh perubahan teknologi ataupun produktivitas yang berarti perubahan kuantitas dan harga input sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output Konsep dan Definisi dalam Tabel Input-Output Dalam penyusunan Tabel I-O maupun analisis ekonomi yang menggunakan model I-O, terdapat beberapa besaran (variable) yang perlu dijelaskan. Besaran tersebut menyangkut output, input antara, input primer (nilai tambah), permintaan akhir, dan impor Output Output merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh sektor-sektor ekonomi yang ada di dalam suatu system ekonomi. Ada tiga jenis produksi yang dicakup dalam penyusunan output setiap sector, yaitu: 1) Produk utama (main product), adalah produk yang memiliki nilai dan atau kuantitas paling dominan di antara produk-produk yang dihasilkan, atau dengan kata lain adalah produksi yang memberikan nilai terbesar pada keseluruihan kegiatan usaha perusahaan 2) Produk ikutan (by product) adalah produk yang secara otomatis terbentuk pada saat menghasilkan produk utama, dengan kata lain adalah produksi yang dihasilkan bersama produksi utama dalam suatu proses yang tunggal. Teknologi yang digunakan untuk mendapatkan produk utama dan produk ikutan merupakan teknologi tunggal. 3) Produk sampingan (secondary product) adalah produk yang dihasilkan sejalan dengan produk utama tetapi menggunakan teknologi yang berbeda, dengan kata lain adalah produksi yang dihasilkan bersama produksi utama tetapi tidak dari suatu proses yang sama. Untuk lebih jelasnya diberikan ilustrasi sebagai berikut: Andaikan seseorang berusaha di bidang penggilingan padi. Dari penggilingan padi ini dihasilkan beras, merang, dan dedak, selain itu

22 mesin penggilingan padi tersebut dapat membangkitkan listrik. Listrik ini dijual ke lingkungan sekitar. Listrik yang dijual ini dimasukkan sebagai produk sampingan karena teknologinya berbeda. Sedangkan beras dimasukkan sebagai produk utama, dan untuk merang dan dedaknya dimasukkan sebagai produk ikutan karena teknologinya menyatu dengan teknologi produk beras. Untuk menghitung output suatu sektor, produk ikutan dimasukkan sebagai bagian dari output sektor yang bersangkutan, sedangkan produksi sampingan dihitung di sektor yang sesuai dengan karakteristiknya. Dalam contoh ini, listrik yang dihasilkan oleh penggilingan padi dan dijual digolongkan ke dalam sektor listrik. Secara umum pengertian mengenai output dan acara memperkirakan output telah dijelaskan. Namun untuk beberapa sektor, agak berbeda atau bersifat khusus seperti sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor keuangan, dan sektor pemerintahan. Dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Output sektor bangunan adalah seluruh nilai proyek yang telah diselesaikan selama periode perhitungan tanpa memperhatikan apakah bangunan tersebut sudah selesai seluruhnya atau belum dan berlokasi pada wilayah domestik. Oleh karena itu, output dari sektor ini pada umumnya diperoleh berdasarkan parkiraan b. Output sektor perdagangan mencakup seluruh margin perdagangan yang timbul dari kegiatan perdagangan pada suatu wilayah domestik. Margin perdagangan adalah selisih antara nilai penjualan dengan nilai pembelian dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan dikurangi dengan biaya pengangkutan yang dikeluarkan dalam rangka memperdagangkan komoditas-komoditas tersebut. c. Output sektor bank terdiri dari jasa pelayanan di bidang perbankan (service charge) dan imputasi jasa bank (imputed service charge) yaitu selisih antara bunga yang diterima dengan bunga yang harus dibayar. d. Output sektor pemerintahan terdiri atas belanja pegawai dan penyusutan barang-barang modal milik pemerintah Dalam kerangka model I-O, output biasanya dinotasikan dengan X (Xi atau Xj) sedangkan dalam penyajian Tabel I-O biasanya, output diberikan kode Input Antara Input antara mencakup penggunaan berbagai barang dan jasa oleh suatu sektor dalam kegiatan produksi. Barang dan jasa tersebut berasal dari produksi sektor-sektor lain, dan juga produksi sendiri. Barang-barang yang digunakan sebagai input antara biasanya habis sekali pakai, seperti bahan baku, bahan penolong, bahan bakar, dan sejenisnya. Dalam model I-O, pengggunaan input antara diterjemahkan sebegai keterkaitan antara sektor dan dinotasikan sebagai Xij, yaitu input antara yang berasal dari produksi sektor I yang digunakan oleh sektor j dalam rangka

23 menghasilkan output Xj. Σxij disebut sebagai total input antara sektor j, dan dalam Tabel I-O biasanya diberikan kode 190. Dalam suatu Tabel I-O, input antara dinilai dengan dua jenis harga. Input antara atas dasar harga pembeli menggunakan harga beli konsumen sebagai dasarnya. Dan dalam harga tersebut tentunya margin distribusi (keuntungan pedagang dan ongkos angkut) sudah termasuk di dalamnya. Sebaliknya input antara atas dasar harga produsen menggunakan harga pabrik sebgai dasarnya, yang tentunya margin distribusi tidak termasuk di dalamnya. Margin distribusi selanjutnya diperlukan sebagai input yang berasal dari sektor perdagangan dan angkutan. Input antara juga sebenarnya mencakup dua komponen, komponen input yang berasal dari produksi suatu wilayah/daerah sendiri dan komponen impor (dari kota lain dan luar negeri). Oleh karena itu suatu Tabel I-O yang ingin menggambarkan secara langsung hubungan produksi domestik dengan berbagai sektor pemakai, harus memisahkan komponen impor dari setiap unit antara. Dalam model I-O, analisis dengan menggunakan input antara domestik lebih sering dipakai Input Primer (Nilai Tambah) Input primer atau lebih dikenal dengan nilai tambah merupakan balas jasa yang diciptakan/diberikan kepada faktor-faktor produksi yang berperan dalam proses produksi. Balas jasa tersbut mencakup upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Upah dan gaji merupakan balas jasa yang diberikan kepada buruh/karyawan, baik dalam bentuk uang maupun barang, termasuk dalam upah dan gaji juga adalah semua tunjangan (perumahan, kendaraan, dan kesehatan) dan bonus, uang lembur yang diberikan perusahaan kepada pekerja. Semua pendapatan pekerja tersebut masih dalam bentuk bruto atau sebelum dipotong pajak penghasilan. Surplus usaha mencakup sewa properti (tanah, hak cipta/patent), bunga neto (bunga yang diterima dikurangi bunga yang dibayar) dan keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan dalam bentuk bruto, yaitu sebelum dibagikan kepada pemilik saham berupa deviden dan sebelum dipotong pajak perusahaan/perseroan. Penyusutan merupakan nilai penyisihan keuntungan perusahaan untuk akumulasi pengganti barang modal yang habis dipakai. Sedangkan pajak tak langsung merupakan pajak yang dikenakan pemerintah untuk setiap transaksi penjualan yang dilakukan oleh perusahaan seperti pajak pertambahan nilai (PPn). Dalam model I-O, nilai tambah biasanya dinotasikan dengan V j, dan untuk setiap komponennya menggunakan notasi h. Jadi V hj merupakan nilai tambah yang diciptakan di sektor j untuk komponen h. Untuk dalam Tabel I-O, umumnya komponen nilai tambah berkode 201 sampai dengan 204 dan jumlah nilai tambah untuk setiap sektor diberi kode 209.

24 Permintaan Akhir dan Impor Permintaan akan barang dan jasa dibedakan antara permintaan oleh sektor-sektor produksi untuk proses produksi disebut permintaan antara, dan permintaan oleh konsumen akhir disebut permintaan akhir. Dalam Tabel I-O, permintaan akhir mencakup pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, ekspor, dan impor. Pengeluaran konsumsi rumah tangga (kode 301) mencakup semua pembelian barang dan jasa oleh rumah tangga, baik untuk makanan maupun non-makanan. Termasuk pula pembelian barang-barang tahan lama (durable goods) seperti perlengkapan rumah tangga, kendaraan bermotor, dan sebagainya. Satu-satunya pembelian yang tidak termasuk dalam konsumsi rumah tangga adalah bangunan tempat tinggal, karena dianggap sebagai pembentukan modal di sektor persewaan bangunan. Konsumsi rumah tangga mencakup pula barang-barang hasil produksi sendiri dan pemberian pihak lain. Pengeluaran konsumsi pemerintah (kode 302) mencakup semua pembelian barang dan jasa oleh pemerintah yang bersifat rutin (current expenditure), termasuk pembayaran gaji para pegawai (belanja pegawai). Sedangkan pengeluaran pembangunan untuk pengadaan sarana dan berbagai barang modal, termasuk dalam pembentukan modal. Pembentukan modal tetap (kode 303) mencakup semua pengeluaran untuk pengadaan barang modal baik dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta (bisnis). Barang modal dapat terdiri dari bangunan/konstruksi, mesian dan peralatan, kendaraan dan angkutan serta barang modal lainnya. Sedangkan perubahan stok (kode 304) sebenarnya juga merupakan pembentukan modal (tidak tetap) yang diperoleh dari selisih antara stok akhir dan stok awal periode perhitungan. Stok biasanya dipegang oleh produsen merupakamn hasil produksi yang belum sempat dijual, oleh pedagang sebagai barang dagangan yang belum sempat dijual dan oleh konsumen sebagai bahanbahan/inventory yang belum sempat digunakan. Ekspor dan impor (kode 305 dan 409) merupakan kegiatan atau transaksi barang dan jasa antara penduduk suatu wilayah/daerah dengan penduduk luar wilayah/daerah, baik penduduk kota lain maupun luar negeri. Perbandingan ekspor dan impor baik keseluruhan maupun untuk setiap kelompok komoditi menunjukkan terjadinya surplus atau defisit perdagangan antara suatu wilayah/daerah dengan kota lain atau luar negeri Dasar Hukum Kegiatan tentang Analisis Input-Output Bidang Kelautan terhadap Pembangunan Nasional ini didasarkan atas beberapa regulasi/peraturan perundang-undangan, antara lain:

25 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut 1982); 3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati); 5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009; 6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008; 7) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; 8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal; 9) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 10) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun ; 11) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 12) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut; 13) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan; 14) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 15) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; 16) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan; 17) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; 18) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 19) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun ; 20) Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

26 21) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia ; 22) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Dewan Kelautan Indonesia; 23) Keputusan Presiden Nomor 84/M Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; 24) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan Dan Perikanan; 25) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER06/MEN/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun ;. 26) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan; 27) Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 120/M-Ind/Per/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan; 28) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 13/M-Dag/Per/5/2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan Untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan 2.5. Arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kelautan Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ((RPJPN), maka Visi Pembangunan Nasional tahun adalah: Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Penjelasan mengeanai visi pembangunan nasional tahun , yaitu: Mandiri : Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Maju : Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Adil : Sedangkan Bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Makmur : Kemudian Bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.

27 Sedangkan untuk mewujudkan visi tersebut, maka salah misi yang diemban RPJMN , adalah Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan pada masa yang akan datang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. 1) Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a) pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi. 2) Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan. 3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi. 4) Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja

28 pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut. 5) Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan. 6) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut. 7) Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin Arah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 Bidang Kelautan ( ) Pengembangan wilayah laut dilaksanakan melalui pendekatan kewilayahan terpadu dengan memperhatikan aspek-aspek geologi, oseanografi, biologi atau keragaman hayati, habitat, potensi mineral dan energi, potensi perikanan, potensi wisata bahari, potensi industri maritim, potensi transportasi, dan teknologi. Pendekatan ini merupakan sinergi dari pengembangan pulau-pulau besar dalam konteks pengembangan wilayah dan pemerataan pembangunan. Pendekatan ini memandang wilayah laut Indonesia atas dua fungsi: (i) sebagai perekat integrasi kegiatan perekonomian antarwilayah, dan (ii) sebagai pendukung pengembangan potensi setiap wilayah. a) Wilayah Pengembangan Kelautan Sumatera Wilayah pengembangan kelautan Sumatera terletak di sebelah barat Pulau Sumatera yang memanjang dari Sabang di bagian utara hingga Lampung di bagian selatan. Potensi perikanan meliputi ikan hias di Pulau Breuh dan Sibolga, ikan kakap, kerapu, kerangkerangan, teripang, dan tiram merata di bagian barat Sumatera. Di samping itu juga terdapat potensi rumput laut di pesisir Painan dan Lampung. Aneka jenis terumbu karang dapat ditelusuri di Kepulauan Simeulue dan Mentawai. Potensi migas ditemukan di Cekungan Busur Muka lepas pantai Bengkulu serta potensi pasir besi di sepanjang pantai Padang. Potensi wisata bahari dan budaya sangat potensial dikembangkan di Kepulauan Nias dan Mentawai. Wilayah ini hanya dilewati oleh satu jalur pelayaran nasional dan nusantara, namun wilayah perbatasan internasional di bagian barat merupakan jalur pelayaran internasional yang cukup sibuk.

29 Arah kebijakan pengembangan wilayah kelautan Sumatera adalah pengembangan industri berbasis kelautan, khususnya pengolahan hasil laut, dengan memperkuat keterkaitan dengan wilayah Jawa. Strategi yang ditempuh adalah: (1) penyiapan sumber daya manusia terampil di bidang kelautan; (2) pembangunan transportasi laut dan wilayah pesisir; (3) peningkatan kapasitas energi listrik; (4) pengembangan skema pembiayaan perbankan yang mudah diakses nelayan dan pelaku usaha kecil menengah di kawasan pesisir; (5) dan fasilitasi pengembangan sistem jaminan atau perlindungan risiko. b) Wilayah Pengembangan Kelautan Selat Malaka Secara geografis wilayah pengembangan kelautan Selat Malaka terbentang dari perairan Selat Malaka hingga Kepulauan Riau, serta berbatasan dengan perairan Aceh di utara, perairan Malaysia dan Singapura di timur, wilayah pengembangan kelautan Natuna di selatan, dan daratan Sumatera di barat. Wilayah ini merupakan jalur pelayaran internasional yang padat dan wilayah yang berisiko tinggi terjadinya konflik dengan negara tetangga. Potensi granit tua dan endapan pasir ditemukan di Kepulauan Riau. Potensi timah terdapat di Kepulauan Singkep, sedangkan pasir kuarsa yang cukup besar ditemukan di lepas pantai Riau dekat Pulau Rupat. Wilayah ini memiliki potensi perikanan budidaya (kakap putih, kerapu, kerang-kerangan, teripang, tiram, dan rumput laut. Potensi perikanan tangkap (ikan hias) juga ditemukan di sekitar Pulau Sabang dan Pulau Bintan. Keragaman hayati di perairan ini dicirikan oleh keluarga Moluska dan Teripang serta spesies penyu. Habitat terumbu karang didominasi oleh terumbu karang tepi (fringing reef). Namun, padatnya aktivitas pelayaran dan eksplorasi migas di wilayah ini menghadirkan ancaman polusi pencemaran minyak dan limbah lainnya. Pengembangan wilayah kelautan Selat Malaka diarahkan pada peningkatan keamanan dan ketertiban serta keberlanjutan ekosistem laut sehingga pemanfaatan sumber daya alam bisa dilakukan secara optimal. Untuk itu strategi yang diperlukan adalah: (1) penegasan batasbatas teritorial dan yuridiksi wilayah dengan negara tetangga; (2) peningkatan pengawasan kawasan perbatasan untuk menghindari penyelundupan, perompakan, illegal fishing, dan perdagangan pasir ilegal; (3) penegakan peraturan terkait dengan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan laut; (4) pemanfaatan pulau-pulau terdepan sebagai kawasan wisata atau pusat konservasi satwa laut. c) Wilayah Pengembangan Kelautan Jawa Wilayah pengembangan kelautan Jawa terletak di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Di sebelah timur wilayah ini berbatasan dengan wilayah pengembangan kelautan Makassar dan di barat berbatasan dengan Pulau Sumatera. Karena lerletak di wilayah laut dalam di

30 antara pulau-pulau besar, perairan ini merupakan jalur pelayaran nasional dan nusantara yang padat. Pelayaran internasional juga melintasi bagian timur perairan ini. Ancaman turunnya kualitas lingkungan berasal dari pencemaran minyak dan limbah yang dialirkan sungai-sungai di Pulau Jawa. Pengembangan wilayah perairan ini diarahkan pada penguatan fungsi wilayah kelautan sebagai perekat integrasi ekonomi antarwilayah (antarpulau) dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem laut. Untuk itu strategi yang diterapkan adalah: (1) peningkatan sistem transportasi laut untuk mempermudah arus barang antarpulau khususnya ke wilayah timur Indonesia; (2) penegakan peraturan terkait dengan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan laut; (3) pengendalian pembuangan limbah industri dan rumah tangga melalui sungai-sungai yang bermuara di perairan Jawa; (4) pengendalian erosi di wilayah daerah aliran sungai (DAS) untuk menghindari pendangkalan pelabuhan ikan dan pelabuhan laut; (5) pengembangan perikanan budidaya; dan (6) minimalisasi risiko pencemaran perusakan habitat laut oleh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas lepas pantai. d) Wilayah Pengembangan Kelautan Makassar-Buton Secara geografis, wilayah pengembangan kelautan Makassar diapit oleh Pulau Sulawesi di sebelah timur dan Pulau Kalimantan di sebelah barat. Kecuali Selat Makassar, tingkat pemanfaatan potensi perikanan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Dari sisi sistem transportasi, wilayah ini dilalui jalur pelayaran nasional dan Nusantara yang cukup aktif. Di samping itu Selat Makassar juga dilintasi jalur pelayaran internasional yang cukup padat. Kebijakan pengembangan wilayah ini diarahkan pada optimalisasi peran strategis kelautan dalam meningkatkan interaksi perdagangan intra pulau (antar provinsi di Sulawesi) maupun dalam mendukung peran wilayah Sulawesi sebagai penggerak Kawasan Timur Indonesia. Untuk itu strategi yang diterapkan adalah: (1) peningkatan sistem transportasi laut yang menghubungkan provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi; (2) pemantapan sistem transportasi laut untuk memperkuat fungsi intermediasi Sulawesi bagi KBI dan KTI; (3) pembangunan pelabuhan-pelabuhan ikan dalam klaster-klaster industri pengolahan hasil laut; (4) pengembangan pelabuhan hub ekspor komoditas unggulan; (5) peningkatan pengawasan jalur pelayaran internasional untuk mencegah aktivitas penyelundupan; (6) pengembangan lembaga pendidikan dan kurikulum berbasis kelautan (perikanan, pariwisata, perkapalan); (7) pengembangan industri angkutan laut (perkapalan); dan (8) pengembangan wisata bahari. e) Wilayah Pengembangan Kelautan Banda-Maluku

31 Wilayah pengembangan kelautan Banda-Maluku terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI), berbatasan dengan wilayah pengembangan kelautan Papua di utara, dengan daratan Pulau Papua di timur, dengan wilayah pengembangan kelautan Sawu di selatan, dan dengan wilayah pengembangan kelautan Makassar di barat. Potensi migas ditemukan di daerah kepala burung, Seram dan Halmahera. Bahan semen juga ditemukan di Pulau Misool. Namun demikian wilayah ini baru dilayani beberapa jalur pelayaran nasional dan nusantara. Dengan demikian ancaman pencemaran laut masih rendah, terlihat dari relatif terjaganya keragaman hayati yang tinggi. Wilayah ini merupakan tempat bertelur beberapa spesies seperti penyu-penyuan. Potensi perikanan dan budidaya rumput laut juga sangat tinggi dengan tingkat pemanfaatan yang relatif rendah. Karakter gugus-gugus pulau yang khas juga merupakan potensi wisata alam wilayah ini seperti ditemukan di perairan Raja Ampat. Arah kebijakan pengembangan wilayah kelautan Banda-Maluku adalah perintisan pengembangan industri berbasis sumber daya kelautan dan wisata bahari. Sejalan dengan arah ini, strategi yang diperlukan meliputi: (1) pengembangan sumber daya manusia berketrampilan tinggi di bidang kelautan (pendidikan dan pelatihan); (2) pengembangan komoditas unggulan bernilai tinggi berbasis kelautan seperti kerang mutiara dan ikan hias; (3) pengembangan industri angkutan laut (perkapalan); (4) pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat khususnya wilayah pesisir untuk memperkuat modal sosial; (5) peningkatan akses permodalan bagi nelayan; (6) pengembangan wisata bahari.

32

33 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Konseptual Penyusunan Tabel Input-Output untuk perencanaan kebijakan pembangunan kelautan ini dilaksanakan dengan kerangka pikir konseptual sebagai berikut: Potensi dan Aktivitas Sektor Kelautan Sektor Sektor Industri Sektor Perhubungan/ Sektor Jasa Perikanan Maritim Angkutan Laut Kelautan Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor Bangunan Kelautan Sektor Pariwisata Bahari Sektor Kelautan Tabel IO Kelautan Kontribusi dalam Perekonomian Keterkaitan Antar Sektor Nilai Pengganda Sektor Kelautan Prioritas Identifikasi Stakeholders Perkiraan Kebutuhan Investasi Dampak terhadap Perekonomian Saran/Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan

34 Gambar 3.1 Kerangka Pikir Konseptual 3.2. Metode Analisa Analisa Keterkaitan Antar Sektor Model I-O telah secara luas digunakan untuk meneliti keterkaitan antar sektor produksi dalam suatu perekonomian. Misalnya, Sritua Arief (1981) telah menggunakan model I-O untuk meneliti sektor-sektor kunci (key sectors) dalam ekonomi Indonesia. Alaudin (1986) telah mengidentifikasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian Bangladesh dengan pendekatan keterkaitan antar sektor. Muchdie dan M.Handry Imansyah (1995) menerapkan analisis keterkaitan dalam analisis sektor-sektor unggulan pada perekonomian Indonesia. Analisis indeks keterkaitan mulanya dikembangkan oleh Rasmussen (1956) dan Hirschman (1958) untuk melihat keterkaitan antar sektor, terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Konsep ini kemudian diperbaiki oleh Cella (1984) dan diterapkan oleh Clements dan Rossi (1991). Dikenal dua jenis keterkaitan, yaitu (1) keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang merupakan keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom, dan (2) keterkaitan ke depan (forward linkages) yang merupakan keterkaitan penjualan barang jadi dan dihitung menurut baris. Tabel 3.3 menyajikan rumus perhitungan keterkaitan ke depan (langsung, total terbuka dan total tertutup) dan keterkaitan ke belakang (langsung, total terbuka dan total tertutup). Tabel 3.1 Rumus Perhitungan Indeks Keterkaitan Menggunakan Tabel I-O Keterkaitan Output Pendapatan Tenaga kerja Ke Depan Langsung (1/n j a ij )/ (1/n 2 i j a ij ) Total terbuka (1/n j b ij )/ (1/n 2 i j b ij ) Total tertutup (1/n j b * ij)/ (1/n 2 i j b * ij) Langsung (1/n i a ij )/ (1/n 2 i j a ij ) Total terbuka (1/n i b ij )/ (1/n 2 i j b ij ) (1/n j (a ij p i ))/ (1/n 2 i j (a ij p i )) (1/n j (b ij p i ))/ (1/n 2 i j (b ij p i )) (1/n j (b * ij p i ))/ (1/n 2 i j (b * ij p i )) Ke Belakang (1/n i (a ij p i ))/ (1/n 2 i j (a ij p i )) (1/n i (b ij p i ))/ (1/n 2 i j (b ij p i )) (1/n i (a ij t i ))/ (1/n 2 i j (a ij t i )) (1/n j (b ij t i ))/ (1/n 2 i j (b ij t i )) (1/n j (b * ij t i ))/ (1/n 2 i j (b * ij t i )) (1/n i (a ij t i ))/ (1/n 2 i j (a ij t i )) (1/n i (b ij t i ))/ (1/n 2 i j (b ij t i ))

35 Catatan : Total tertutup (1/n i b * ij)/ (1/n 2 i j b * ij) (1/n i (b * ij p i ))/ (1/n 2 i j (b * ij p i )) (1/n i (b * ij t i ))/ (1/n 2 i j (b * ij t i )) n adalah jumlah sektor dalam perekonomian, p i koefisien pendapatan rumah tangga; t i adalah koefisien tenaga kerja; a ij adalah koefisien input langsung ; b ij adalah koefisien matriks kebalikan terbuka ; dan b* ij adalah koefisien matriks kebalikan tertutup Analisa Pengganda Analisis keterkaitan antar sektor yang telah dibahas hanya menunjukkan nilai indeks pemusatan dan indeks penyebaran dari koefisien-koefisien pada matriks koefisien langsung, matriks kebalikan terbuka dan matriks kebalikan tertutup. Teknik analisis tersebut tidak memperlihatkan rangkaian pengaruh suatu sektor terhadap sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Oleh karenanya, analisis pengganda (ada yang menyebutnya sebagai analisis dampak berganda) perlu diperkenalkan karena analisis ini mampu menelusuri rentetan pengaruh suatu sektor, baik secara langsung, secara tidak langsung ataupun imbasan, terhadap sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Analisis pengganda merupakan analisis yang paling populer dalam analisis I-O. Pada dasarnya, pengganda merupakan ukuran respon terhadap rangsangan perubahan suatu perekonomian, yang dinyatakan dalam hubungan sebab-akibat. Pengganda pada model I-O diasumsikan sebagai respon meningkatnya permintaan akhir suatu sektor. West dan Jensen (1980) dan West dkk (1989) membedakan kategori pengganda menjadi: dampak awal (initial impact), dampak imbasan kegiatan produksi (production induced impact), yang terdiri atas: pengaruh langsung (direct effect) yang juga kadang-kadang disebut dengan pengaruh putaran pertama (firstround effect), dan pengaruh tidak langsung (indirect effect) yang merupakan pengaruh putaran kedua dan seterusnya, yang juga dikenal dengan pengaruh dukungan industri (industrial support effect) dan dampak imbasan konsumsi (consumption induced effect). Selain itu, juga ada kategori lain yang disebut dampak luberan (flow-on impact). Tabel 3.4 menyajikan rumus perhitungan pengganda, menurut tipe dampak dan output, pendapatan dan tenaga kerja. Tabel 3.2 Rumus Perhitungan Pengganda Menurut Jenis Pengganda dan Tipe Dampak

36 Tipe Dampak Output Pendapatan Tenaga Kerja Dampak Awal 1 p j t j Pengaruh Langsung a ij a ij p i a ij t i Pengaruh Tdk b ij b ij p i - p i - b ij t i - t i - Langsung a ij a ij p i a ij t i Dampak Imbasan (b* ij - (b* ij p i - b ij (b* ij t i - b ij Kons b ij ) p i ) t i ) Dampak Total b* ij b* ij p i b* ij t i Dampak Luberan b* ij - 1 b* ij p i - p i b* ij t i - t i Catatan: p i koefisien pendapatan rumah tangga; t i adalah koefisien tenaga kerja; a ij adalah koefisien input langsung ; b ij adalah koefisien matriks kebalikan terbuka ; dan b* ij adalah koefisien matriks kebalikan tertutup. 1) Pengganda Output (Output Multiplier) Ide dasar dari pendekatan ini mirip dengan kerangka multiplier Keynesian. Jika misalnya ada perubahan pada variabel eksogen (dalam hal ini unsur dari permintaan akhir), maka dapat dilihat berapa besar pengaruh perubahan tersebut pada peningkatan output di seluruh sektor. Adapun proses dari penghitungan pengganda produksi ini dapat disimak pada penjelasan berikut. Dengan menggunakan matriks koefisien input dari a ij, sama seperti cara penghitungan matriks kebalikan Leontief sebelumnya, maka jika kita ingin mengetahui pengaruh dari perubahan permintaan akhir (sebagai contoh pengeluaran pemerintah pada sektor 1) dan jika elemen-elemen matriks tersebut diberi simbol ij, maka matriknya menjadi: X k... 1n F 1 X k... 2n 0 : = : : : : : X b b1 b2... bk... bn 0 : : : : : : X n n1 n2... nk... nn 0 Atau dapat dituliskan dalam bentuk rangkaian persamaan-persamaan : X 1 = 11. F 1 X 2 = 21. F 1

37 : X b = n1. F 1 : X n = n1. F 1 Koefisien 11, 21, sampai dengan n1 pada rangkaian persamaan di atas menunjukkan pengaruh total, baik langsung maupun tidak langsung dari setiap unit perubahan F 1 terhadap hasil produksi di sektor X 1, X 2, sampai dengan X n. Dengan demikian rumus dari pengganda output (produksi) total ini adalah n OM k = bk b 1 Penghitungan nilai pengganda output total di masing-masing sektor dihasilkan dengan menjumlahkan nilai-nilai pada setiap kolom matriks kebalikan Leontief. Hasil penjumlahan itulah yang akan menjadi nilai pengganda produksi di sektor tersebut. Di sini berarti bahwa semakin besar nilai pengganda yang dihasilkan oleh suatu sektor, maka dapat disimpulkan bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian. Output multiplier yang diperoleh dari matriks kebalikan Leontief I-O terbuka disebut pengganda output Tipe I, dan bila diperoleh dari matriks kebalikan Leontief I-O tertutup disebut dengan pengganda output Tipe II. 2) Pengganda Pendapatan (Income Multiplier) Analisis pengganda pendapatan di sini merupakan suatu alat analisis untuk melihat pengaruh dari perubahan-perubahan permintaan akhir di dalam satu sektor terhadap pendapatan di sektor tersebut di dalam perekonomian (yang tercermin dalam nilai tambah bruto pada Table I-O). Jadi nilai angka pengganda pendapatan sektor j menunjukan jumlah pendapatan rumah tangga total yang tercipta akibat adanya tambahan satu unit permintaan akhir disektor j tersebut. Pengaruh disebut dengan pengganda pendapatan rumah tangga (household income multiplier) yang sering disebut juga dengan efek pendapatan (income effect). Pengukuran besarnya pengganda pendapatan ini dapat digolongkan menjadi 4 jenis yaitu pengganda pendapatan biasa, pengganda pendapatan total, pengganda pendapatan tipe I dan pengganda pendapatan tipe II. Perbedaan dari keempat jenis tersebut akan dibahas dalam sub bab berikut ini:

38 Pengganda Pendapatan Biasa Angka pengganda pendapatan jenis ini adalah angka pengganda pendapatan rumah tangga yang didapatkan dari analisis model dengan rumah tangga sebagai faktor yang eksogen, artinya rumah tangga tidak dimasukan menjadi salah satu faktor dalam analisa. Sering disebut juga analisa angka pengganda pendapatan jenis terbuka biasa, karena diperoleh dari matriks koefisien yang terbuka. Untuk tambahan output di setiap sektornya, tambahan pendapatan rumah tangga yang diakibatkan oleh adanya perubahan dalam permintaan akhir ditunjukan oleh baris ke (n+1) di matriks koefisien input-outputnya. Angka pengganda pendapatan dapat dihitung sebagai berikut : Jika vj = Vj / Xj maka Hj = vj. (I A) -1 dimana : vj : koefisien nilai tambah (berupa upah/gaji) sektor j Vj : nilai tambah (berupa upah/gaji) sektor j Xj : total output sektor j Hj : angka pengganda pendapatan biasa sektor j (I A) -1 : matriks kebalikan Leontief Pengganda Pendapatan Total Pengganda pendapatan jenis ini menjadikan rumah tangga sebagai salah satu faktor (sektor) yang endogen dalam analisa modelnya. Angka pengganda jenis ini akan menghasilkan angka yang lebih besar dari angka pengganda pendapatan biasa, karena telah memasukkan dampak langsung, dampak tidak langsung, dan efek tambahan yaitu induced effect dari masuknya rumah tangga sebagai faktor endogen di dalam model input-output. Persamaan matematisnya hampir sama dengan pengganda pendapatan biasa, hanya ditambah dengan sektor rumah tangga. Sering juga disebut dengan pengganda pendapatan jenis tertutup, karena diperoleh dari matriks koefisien yang tertutup (memasukkan rumah tangga sebagai salah satu sektor). Pengganda Pendapatan Tipe I (Income Multiplier Type I) Kedua jenis pengganda pendapatan di atas dihasilkan atas anggapan bahwa efek awal dari perubahan permintaan akhir adalah sebesar satu unit uang. Pendapat lain mangatakan bahwa efek awal pendapatan rumah tangga tersebut adalah seperti yang ditunjukan oleh

39 proporsi upah atau gaji dalam total output setiap sektornya. Sehingga nilai perubahan pendapatan rumah tangga nantinya harus dibagi dengan proporsi upah atau gaji yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output sektor yang bersangkutan. Angka pengganda macam ini, bila dilakukan pada model input-output terbuka, disebut dengan angka pengganda pendapatan tipe I, dan apabila diterapkan pada suatu model input-output tertutup, disebut dengan angka pengganda pendapatan rumah tangga tipe II. Angka pengganda pendapatan tipe I didapatkan dengan membagi direct dan indirect income changes dengan direct income changes. Direct dan indirect income changes diperoleh dari hasil perkalian Leontief invers dengan proporsi bagian upah dan gaji di dalam pembentukan output (wages share) suatu sektor. Sedangkan direct income changes adalah proporsi/bagian upah dan gaji per sektor tersebut terhadap total output. Untuk lebih jelasnya nilai pengganda pendapatan tipe I dapat dihitung melalui persamaan: Income Multiplier type 1 = v ( I A) v 1 Dimana: v : bagian nilai tambah bagian upah/gaji per total output (I A) -1 : matriks kebalikan Leontief Pengganda Pendapatan Tipe II (Income Multiplier Type II) Sama seperti tipe I, angka pengganda pendapatan tipe II juga menghitung besarnya pengaruh terhadap total pendapatan di keseluruhan sektor, jika terjadi peningkatan pendapatan dalam suatu sektor perekonomian. Yang membedakannya dengan tipe I adalah asumsinya yang menyatakan bahwa jika pendapatan rumah tangga di suatu sektor mengalami peningkatan, maka rumah tangga di sektor tersebut juga akan meningkatkan konsumsinya. Dengan demikian uang yang dibelanjakan tersebut akan masuk kembali ke dalam circular flow pada perekonomian tersebut. Penyelesaian secara matriks dilakukan dengan menambahkan satu kolom untuk bagian (share) konsumsi rumah tangga terhadap total konsumsi rumah tangga dan satu baris untuk bagian upah dan gaji per sektor (balas jasa TK/wages) pada matriks teknologi (biasanya dinotasikan dengan matriks A).Cara ini menghasilkan matriks koefisien teknologi dan Leontief inverse yang baru. Tafsiran di belakangnya dengan demikian berarti ada sumbangan dari sektor rumah tangga terhadap multiplier yang digambarkan pada efek penganda pendapatan tipe I, yang dikenal dengan istilah induced income.

40 Besarnya nilai pengganda pendapatan tipe II ini merupakan rasio antara penjumlahan indirect, direct dan induced income changes dengan direct income changes. Besaran yang menjadi pembilang dalam hal ini berasal dari matrik Leontief invers yang baru (dimana induced income masuk). Untuk lebih jelasnya, formula penghitungannya adalah sebagai berikut: Income Multiplier type II = v ( I A*) v 1 dimana v : bagian nilai tambah per total output (I A*)-1 : matriks kebalikan leontief yang baru. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa angka pengganda pendapatan tipe II akan lebih besar bila dibandingkan dengan tipe I. Hal ini dikarenakan tambahan pendapatan di satu sektor tersebut, dimasukkan kembali ke dalam perekonomian dalam bentuk konsumsi Sebagai catatan tambahan, analisis ini hanya menekankan diri pada pertumbuhan pendapatan di keseluruhan sektor tanpa melihat pemerataan pendapatan di masing-masing sektor. Tetapi sebagai alat analisis, pengganda pendapatan ini dapat digunakan untuk memilih sektor-sektor mana yang dapat dijadikan andalan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Karena tidak tersedianya data untuk bagian pertemuan kolom (konsumsi rumah tangga) dan baris (nilai tambah berupa upah/gaji), untuk membentuk matriks koefisien yang tertutup, maka untuk melakukan perhitungan jenis pengganda pendapatan total dan tipe II data tersebut dianggap nol (Bambang PS Brodjonegoro, 2001). 3) Pengganda Tenaga Kerja (Labor Multiplier) Untuk mencari nilai pengganda tenaga kerja perlu ditambahkan baris baru pada Tabel I-O yang memuat informasi tenaga kerja yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam melakukan proses produksinya. Dan data tenaga kerja sektoral tidak terdapat di dalam Tabel I-O, sehingga diperoleh dari sumber eksternal. Umumnya, satuan jumlah tenaga kerja sektoral yang digunakan adalah orang. Jumlah tenaga kerja per satuan output untuk sektor i ditulis w i.

41 Analisis pengganda tenaga kerja ini digunakan untuk melihat peran suatu sektor dalam hal meningkatkan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap oleh perekonomian. Jika nilai pengganda tenaga kerja disuatu sektor lebih besar dari satu menunjukkan daya serap tenaga kerja di sektor yang bersangkutan cukuptinggi. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai pengganda tenaga kerja biasa adalah: Jika wj = Lj / Xj maka lj = wj. (I A) -1 dimana wj : koefisien tenaga kerja (berupa orang/output) sektor j Lj : jumlah tenaga kerja (berupa orang) sektor j Xj : total output sektor j lj : pengganda tenaga kerja Berbagai analisis tipe lain, seperti pengganda tenaga kerja total, Tipe I, dan Tipe II dapat dilakukan seperti halnya dalam menganalisis pengganda pendapatan masyarakat Analisa Dampak Pada dasarnya, pengganda merupakan ukuran respon terhadap rangsangan perubahan suatu perekonomian, yang dinyatakan dalam hubungan sebab-akibat. Pengganda pada model I-O diasumsikan sebagai respon meningkatnya permintaan akhir suatu sektor. West dan Jensen (1980) dan West dkk (1989) membedakan kategori pengganda menjadi: dampak awal (initial impact), dampak imbasan kegiatan produksi (production induced impact), yang terdiri atas: pengaruh langsung (direct effect) yang juga kadang-kadang disebut dengan pengaruh putaran pertama (firstround effect), dan pengaruh tidak langsung (indirect effect) yang merupakan pengaruh putaran kedua dan seterusnya, yang juga dikenal dengan pengaruh dukungan industri (industrial support effect) dan dampak imbasan konsumsi (consumption induced effect). Selain itu, juga ada kategori lain yang disebut dampak luberan (flow-on impact). a) Dampak Awal Dampak awal mengacu kepada nilai permintaan akhir yang diasumsikan meningkat. Ini merupakan perangsang atau penyebab terjadinya suatu dampak. Untuk dampak awal output nilainya sama dengan satu karena dampak awal dihitung berdasarkan satuan output. Berkaitan langsung dengan peningkatan output adalah peningkatan pendapatan rumah tangga dari sektor yang bersangkutan yang berupa upah dan gaji yang dibayarkan oleh

42 sektor tersebut untuk menghasilkan satu satuan output. Juga, berkaitan dengan peningkatan output adalah peningkatan kesempatan kerja pada sektor yang bersangkutan, ditunjukkan oleh besarnya koefisien tenaga kerja, t i. Koefisien tenaga kerja ini mencerminkan perbandingan tenaga kerja dengan output yang dalam contoh ini satuannya adalah tenaga kerja per Rp 1 juta output. b) Pengaruh Langsung (Pembelian Putaran Pertama) Pengaruh langsung, atau sering disebut sebagai pengaruh putaran pertama, mengacu kepada pembelian putaran pertama oleh sektor yang mengalami peningkatan permintaan. Dalam hal dampak berganda output, ini ditunjukkan oleh nilai sel pada matriks koefisien langsung (sebelumnya sudah dijelaskan). c) Pengaruh Tidak Langsung (Pengaruh Dukungan Industri) Pengaruh tidak langsung mengacu kepada pengaruh putaran kedua dan seterusnya sebagai gelombang beruntun peningkatan output dalam suatu perekonomian untuk penyediaan dukungan produksi sebagai suatu respon meningkatnya permintaan akhir suatu sektor. Dalam pengertian ini, peningkatan output tidak termasuk peningkatan yang disebabkan oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga. Dalam hal output, pengaruh tidak langsung dihitung dari matriks kebalikan terbuka (sebelumnya telah dijelaskan) sebagai ukuran respon industri terhadap pengaruh pembelian putaran pertama. Dukungan output industri yang dibutuhkan dihitung sebagai sel pada kolom matriks kebalikan dikurangi dampak awal dan pengaruh pembelian putaran pertama, (b ij a ij ). Pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan dapat dihitung secara konsisten dengan mengalikan sel-sel pada matriks kebalikan terbuka, b ij, dengan koefisien pendapatan rumah tangga, p i. Pengaruh tidak langsung terhadap perekonomian secara total dihitung sebagai ( i b ij p i i a ij p i ), sedangkan pengaruhnya terhadap sektor tertentu dihitung sebagai (b ij p i a ij p i ). Pengaruh tidak langsung terhadap kesempatan kerja karena meningkatnya permintaan akhir suatu sektor juga dapat dihitung dengan mengalikan sel-sel pada matriks kebalikan terbuka, b ij, dengan koefisien tenaga kerja, t i. Pengaruh tidak langsung kesempatan kerja secara total dihitung sebagai ( i b ij t i i a ij t i ), sedang pengaruhnya secara rinci menurut sektor dihitung sebagai (b ij t i a ij t i ). Pengaruh langsung (pembelian putaran pertama) dan pengaruh tidak langsung (pengaruh dukungan industri) secara bersama-sama disebut sebagai dampak imbasan produksi (production-induced impact).

43 d) Dampak Imbasan Konsumsi Dampak imbasan konsumsi (consumption-induced impact) didefinisikan sebagai imbasan karena meningkatnya pendapatan rumah tangga sebagai akibat meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor. Dalam hal output, dampak imbasan konsumsi dihitung dengan cara menghitung selisih sel pada matriks kebalikan tertutup (sebelumnya sudah dijelaskan) dengan sel pada matriks kebalikan terbuka (sebelumnya sudah dijelaskan). Pengaruh imbasan konsumsi secara total dihitung sebagai ( i b * ij - i b ij ), sedangkan pengaruh imbasan konsumsi secara rinci menurut sektor dihitung sebagai ( b * ij - b ij ). Dampak imbasan konsumsi terhadap pendapatan dihitung dengan cara mengalikan sel-sel pada matriks kebalikan, b * ij dan b ij, dengan koefisien pendapatan rumah tangga, p i. Dampak imbasan konsumsi terhadap pendapatan seluruh perekonomian dihitung sebagai ( i (b * ij p i )) - i (b ij p i )), sedangkan terhadap pendapatan secara rinci menurut sektor dihitung sebagai (b * ij p i ) - (b ij p i ). Dampak imbasan konsumsi terhadap kesempatan kerja dihitung dengan cara mengalikan sel-sel pada matriks kebalikan, b * ij dan b ij, dengan koefisien tenaga kerja, t i. Dampak imbasan konsumsi terhadap kesempatan kerja seluruh perekonomian dihitung sebagai ( i (b * ij t i )) - i (b ij t i )), sedangkan terhadap kesempatan kerja secara rinci menurut sektor dihitung sebagai (b * ij t i ) - (b ij t i ). e) Dampak Total Dampak total merupakan penjumlahan semua dampak, termasuk dampak awal, pengaruh langsung (pembelian putaran pertama), pengaruh tidak langsung (pengaruh dukungan industri) dan dampak imbasan konsumsi. f) Dampak Luberan Dampak luberan didefinisikan sebagai dampak bersih yang terjadi di semua sektor perekonomian karena adanya dampak awal. Oleh karenanya, dampak luberan dianggap lebih mencerminkan ukuran suatu dampak karena dampak ini mengukur dampak bersih (net impact) yang dihitung sebagai selisih dampak total dengan dampak awal. Pengukuran dampak luberan memungkinkan pemisahan secara jelas faktor-faktor sebab dan akibat pada konsep dampak berganda. Sebab dari suatu dampak ditunjukkan oleh dampak awal (yaitu meningkatnya permintaan terhadap output suatu sektor), sedangkan akibat dicerminkan oleh pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan dampak imbasan konsumi yang kesemuanya merupakan dampak luberan. Perlu dicatat bahwa dampak luberan juga terjadi pada sektor penyebab dampak walaupun seringkali lebih besar terjadi pada sektor lain.

44 Dalam hal output, dampak luberan dihitung sebagai selisih antara dampak total dengan dampak awal. Dampak luberan terhadap output perekonomian secara keseluruhan dihitung sebagai i (b * ij - 1), sedangkan dampak luberan yang terinci menurut sektor dihitung sebagai (b * ij - 1). Dampak luberan terhadap pendapatan dengan mudah dapat dihitung sebagai selisih dampak total dengan dampak awal. Dampak luberan pendapatan untuk seluruh perekonomian dirumuskan sebagai i (b * ij p i - p i ), sedangkan dampak luberan pendapatan secara rinci menurut sektor dirumuskan sebagai (b * ij p i - p i ). Dengan cara yang sama, dampak luberan terhadap kesempatan kerja dirumuskan sebagai selisih dampak total dengan dampak awal, dihitung sebagai i (b * ij t i - t i ) untuk dampak perekonomian secara keseluruhan, dan (b * ij p i - p i ) untuk dampak luberan yang dirinci menurut sektor Cakupan Sektor Bidang Kelautan Menurut Kusumastanto (2007), bidang kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya non-konvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Berdasarkan uraian tersebut, maka bidang kelautan dapat dibagi menjadi 2 sub bidang yakni sub bidang sumberdaya primer yakni (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya dan (3) pertambangan dan sub bidang jasa kelautan yang meliputi (1) industri bioteknologi, farmasi dan sumberdaya genetika, (2) energi, (3) pariwisata bahari, (4) industri maritim : galangan kapal, garam dll; (5) angkutan laut dan pelabuhan; (6) jasa perdagangan; (7) sumberdaya non konvensional (deep sea water); (8) bangunan kelautan (kontruksi dan rekayasa); (9) pulau-pulau kecil; (10) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (11) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007disebutkan bahwa salah satu arah pembangunan bidang kelautan adalah berupa pengembangan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan. Selain itu, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun disebutkan bahwa pengembangan wilayah laut dilaksanakan melalui pendekatan kewilayahan

45 terpadu dengan memperhatikan aspek-aspek geologi, oseanografi, biologi atau keragaman hayati, habitat, potensi mineral dan energi, potensi perikanan, potensi wisata bahari, potensi industri maritim, potensi transportasi, dan teknologi. Oleh karena itu, setidaknya terdapat 7 (tujuh) sektor perekonomian yang terkait langsung dengan bidang kelautan, yaitu sektor perikanan, sektor energi dan sumber daya mineral, sektor industri maritim, sektor bangunan, sektor pelayaran/perhubungan laut, sektor pariwisata bahari, dan sektor jasa kelautan. Dalam analisis Input Output (IO), agar diperoleh data yang akurat terkait dengan peranan bidang kelautan terhadap perekonomian nasional, maka diperlukan pemisahan (disagregasi) terhadap sektor-sektor yang memang terkait secara langsung dengan bidang kelautan dengan sektor-sektor yang tidak terkait secara langsung atau yang tidak terkait sama sekali. Masing-masing sektor dalam bidang kelautan, seperti sektor energi dan sumber daya mineral dan bangunan laut perlu dipisahkan dari sektor-sektor energi dan sumber daya mineral dan bangunan bukan di laut. Oleh karena itu, diperlukan perincian terhadap masing-masing sektor dalam bidang kelautan untuk mengetahui kegiatan atau aktivitas apa saja yang menjadi bagian dari bidang kelautan. Sektor yang menjadi bagian dari bidang kelautan secara rinci dengan kegiatan atau aktivitas ekonominya antara lain adalah: 1. Sektor Perikanan, terdiri dari: Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang Jasa Perikanan (dari Jasa Pertanian) mencakup: o o o o o o Jasa Sarana Produksi Perikanan Laut Jasa Produksi Perikanan Laut Jasa Pasca Panen Perikanan Laut Jasa Sarana Produksi Perikanan Darat Jasa Produksi Perikanan Darat Jasa Pasca Panen Perikanan Darat 2. Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral (Pertambangan dan Penggalian) Kelautan terdiri dari: Sektor Penambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi (Sektor 25), yang terdiri dari: o Minyak Bumi di Laut o Gas dan Panas Bumi di Laut Sektor Penambangan Mineral, terdiri dari : o Bijih Timah o Tembaga o Nikel o Bouksit o Mangan

46 o o o o Bijih dan Pasir Besi Air Laut Dalam (Deep Sea Water) Garam Kasar (Ekstraksi Garam) Penggalian Pasir Laur Sumber Daya Energi Terbarukan/Non Konvensional, antara lain: o Energi Pasang Surut o Energi Gelombang Laut o Energi Panas Laut o Energi Ganggang (Algae) Laut sebagai Bahan Biomas 3. Sektor Industri Maritim terdiri dari: Pengilangan Minyak Bumi (di laut) Gas Alam Cair (LNG) Sektor Industri Ikan Kering dan Ikan Asin Sektor Industri Ikan Olahan dan Awetan Industri Pengolahan Garam Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya Industri Bioteknologi, Farmasi, dan Sumber Daya Genetika 4. Sektor Bangunan, yaitu Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan: Pelabuhan/Bangunan Dermaga Konstruksi Telekomunikasi Sarana Bantu Navigasi Laut dan Rambu Sungai Instaslasi Navigasi Laut dan Sungai Pengerukan 5. Sektor Pelayaran/Perhubungan Laut yaitu: Sektor Angkutan Laut Sektor Angkutan Sungai dan Danau Jasa Pelayanan Bongkar Muat Barang Jasa Pelayanan Kepelabuhanan Jasa Biro Perjalanan Wisata Agen Perjalanan Wisata Jasa Pramu Wisata Jasa Konsultasi Pariwisata Jasa Informasi Pariwisata Jasa Ekspedisi Muatan Kapal (EMKL) 6. Sektor Pariwisata Bahari, yaitu Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut, tergiri dari : Wisata Alam Jasa Perhotelan (di pantai) Jasa Restoran/Rumah Makan (di pantai) Pemancingan Berenang, Selancar Berlayar Terumbu Karang Ikan Hias

47 Rekreasi Pantai Wisata Pesiar Sumber Daya Pulau-pulau Kecil 7. Sektor Jasa Kelautan, yaitu terdiri dari Pendidikan dan Pelatihan Penelitian Arkeologi Laut dan Benda Muatan Kapal Tenggelam Benda Berharga dan Warisan Budaya (Cultural Heritage) Perdagangan (Perdagangan Besar dan Eceran Hasil Laut) Pengamanan Laut Jasa-jasa Lingkungan, yang meliputi: o o o o o Konservasi Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas) Penyerapan Karbon Pengolahan Limbah secara alamiah Keindahan Alam dan Udara Bersih 3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk pelaksanaan kegiatan Penyusunan Tabel Input-Output untuk Perencanaan Kebijakan Pembangunan Kelautan ini dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Desk Study Desk study dilaksanakan untuk me-review berbagai regulasi dan kebijakan, tinjauan literatur, dan identifikasi stakeholders terkait sektor kelautan. Selain regulasi dan kebijakan, desk study juga dilakukan dengan pengumpulan dan analisa terhadap data-data sekunder yang terkait dengan sektor kelautan. b. Observasi Lapangan dan Survei Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi aktual dari gambaran kondisi sektor kelautan di beberapa daerah. Selain itu, observasi dilakukan dalam rangka untuk mengkonfirmasi dari penyusunan Tabel Input-Output yang disusun. Sementra survei dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang ada terkait sektor kelautan serta harapan penanganannya ke depan dapat membantu dalam memformulasikan kebijakan pembangunan sektor kelautan. Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dengan sifat pertanyaan tertutup dan terbuka, terhadap stakeholders yang menjadi tujuan dalam penelitian ini.

48 c. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang berbagai permasalahan yang ada terkait sektor kelautan dengan kemungkinan alternatif solusi pemecahan serta strategi dan kebijakan yang dimungkinkan untuk dapat diterapkan. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai stakeholders yang terkait, baik dalam jajaran pemerintahan maupun masyarakat/swasta yang terkait. Wawancara mendalam dilakukan dengan meggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur. d. Kelompok Diskusi Terarah (FGD) Kelompok diskusi terarah (focus group discussion-fgd) dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang berbagai permasalahan, strategi, dan kebijakan yang dimungkinkan (feasible) untuk diterapkan dalam upaya pengembangan dan perencanaan kebijakan pembangunan sektor kelautan di Indonesia Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan Untuk pelaksanaan kegiatan Penyusunan Tabel Input-Output untuk Perencanaan Kebijakan Pembangunan Kelautan ini diperlukan beberapa jenis data sekunder yang bersumber dari berbagai lembaga/institusi yang terkait dan berwenang, antara lain seperti yang terinci dalam tabel berikut ini: Tabel 3.3 Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan No. Jenis Sumber 1 Statistik Indonesia Badan Pusat Statistik 2 Statistik Perikanan dan Kelutan Kementerian Kelautan dan Perikanan 3 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2005 dan Badan Pusat Statistik Statistik Industri Sedang dan Besar Badan Pusat Statistik 5 Jumlah Perusahaan Perikanan Menurut Provinsi Badan Pusat Statistik Tahun Direktori Budidaya Perikanan Badan Pusat Statistik/ Kementerian Kelautan dan Perikanan 7 Direktori Perikanan Tangkap Badan Pusat Statistik/ Kementerian Kelautan dan Perikanan 8 Daerah Dalam Angka (Beberapa Provinsi) Badan Pusat Statistik 9 Ekspor dan Impor Perikanan Kementerian Perdagangan/Kementerian

49 No. Jenis Sumber Kelautan dan Perikanan/UN Comtrade 10 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nasional Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Kementerian Keluatan dan Perikanan Perikanan 13 Rencana Strategis Dewan Kelautan Indonesia Dewan Kelautan Nasional 14 Neraca Sumber Daya Kelautan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional 15 Rencana dan Realisasi Penanaman Modal Asing Badan Koordinasi Penanaman Modal (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 16 Jumlah Tenaga Kerja Sektoral Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 3.6. Data Tabel Input-Output Indonesia dan Klasifikasi Sektor untuk Bidang Kelautan Dalam pedoman penyusunan Tabel IO yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (2009), Tabel IO adalah suatu sistem penyajian data perekonomian yangvmenyeluruh.voleh karenavitu,vsuatu Tabel IO dituntut untuk mampu mencakup seluruh komoditi dan kegiatan perekonomian,baik komoditi yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dalam negeri (domestik) maupun komoditi yang berasal dari produksi luar negeri (impor) Pada kenyataannya, barang dan jasa atau komoditi yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dapat terdiri dari berbagai jenis dan bentuk fisik yang sangat beragam. Akibatnya jika setiap barang dan jasa yang berbeda tersebut dimunculkan sebagai satu sektor tersendiri, maka proses penyusunan Tabel IO akan menjadi sangat rumit. Oleh karena itulah dalam proses penyusunan Tabel IO diperlukan suatu tahapan untuk mengelompokan barang dan jasa ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Proses pengelompokan barang dan jasa inilah yang dikenal sebagai proses klasifikasi sektor. Dalam praktek penyusunan Tabel IO, klasifikasi sektor harus dilakukan pada tahap awal. Untuk menyusun klasifikasi sektor, sifat dan jenis komoditi yang ada harus dipelajari dengan seksama. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini antar lain adalah teknologi pembuatan dan prospek masa depan dari peranan dan kegunaan setiap komoditi dalam kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Jika penyusunan klasifikasi sektor dibuat secara rinci, maka akan lebih mendalam pula pengenalan terhadap anatomi fisik berbagai barang dan jasa yang dicakup oleh masing-masing sektor. Oleh karena itu proses penyusunan klasifikasi sektor selain dapat mempermudah pekerjaan penyusunan Tabel IO, dapat pula dimanfaatkan dalam melakukan analisis. Selain itu, klasifikasi sektor juga sangat diperlukan sebagai dasar dalam penyusunan konversi dari suatu sistem ke sistem lainnya.

50 Selain untuk keperluan Tabel IO, sebenarnya telah banyak pula klasifikasi yang disusun untuk keperluan lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Klasifikasi-klasifikasi tersebut jenisnya tergantung dari bidang-bidang yang mengunakannya sebagai klasifikasi jabatan, klasifikasi lapangan usaha, klasifikasi komoditi, klasifikasi tarif ekspor-impor dan sebagainya. Prinsip utama dalam penyusunan klasifikasi sektor adalah keseragaman (homogenitas) dari setiap kelompok/sektor. Maksudnya barang dan jasa atau kegiatan perekonomian yang dicakup oleh suatu sektor harus memiliki sifat yang relatif homogen /seragam. Klasifikasi sektor yang diperlukan untuk Tabel IO adalah suatu klasifikasi yang mampu merekam semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa, oleh karena itu penyusunan klasifikasi sektor untuk Tabel IO harus memenuhi dua kriteria, yaitu (a) asa kesatuan komoditi dan (b) asas kesatuan kegiatan. Maksud dari masing-masing kriteria tersebut adalah: 1. Asas Kesatuan Komoditi Asas kesatuan komoditi adalah suatu asas klasifikasi yang mendasarkan pengelompokan pada keseragaman wujud fisik komoditi. Wujud fisik ini antara lain ditinjau dari jenis, macam, susunan kimiawi, kandungan gizi dan sebagainya. Dalam praktek, ternyata sulit ditemukan dua macam komoditi yang sama dan serupa dalam segala hal secara sempurna. Namun demukian dalam pengelompokannya, harus diusahakan sebanyak mungkin unsur-unsur yang sama antar komoditikomoditi yang berada disatu kelompok/sektor. Disamping memperhatikan unsur kesamaan dari komoditi-komoditi tersebut, penyusunan suatu sektor juga harus mempertimbangkan peranan, prospek masa depan dan kegunaan setiap komoditi bagi hajat hidup orang banyak. Maksudnya, jika suatu komoditi ternyata peranannya relatif kecil tidak perlu dimunculkan sebagai suatu sektor tersendiri, walaupun mungkin wujud fisiknya relatif khusus. Itulah sebabnya, dalam praktek, sektor-sektor yang dibentuk oleh lebih dari satu jenis komoditi jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan sektor yang hanya terdiri dari satu komoditi (tunggal). Contoh dari sektor-sektor yang dibentuk berdasarkan asa kesatuan komoditi adalah padi dan buah-buahan. Sektor padi dalam hal ini merupakan sektor tunggal yang hanya terdiri dari komoditi padi. sedangkan sektor buah-buahan adalah sektor majemuk, yang antara lain mencakup komoditi pepaya, pisang, jeruk, mangga dan sebagainya. Asas kesatuan komoditi ini pada umumnya digunakan untuk penyusunan klasifikasi sektor pada lapangan usaha primer sebagai pertanian, pertambangan, penggalian, gas, air bersih dan sebagainya.

51 2. Asas Kesatuan Aktivitas Asas kesatuan aktivitas/kegiatan adalah proses penyusunan klasifikasi sektor yang mendasarkan pada kesamaan aktivitas/kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu barang/jasa. Dalam praktek ternyata sulit ditemukan dua macam kegiatan yang benar-benar sama dan serupa. Bahkan sering ditemui suatu jenis kegiatan yang menghasilkan berbagai jenis komoditi. Kegiatan penggilingan, misalnya, selain dapat digunakan untuk menggiling kopi, coklat dan biji-bijian lain sejenisnya. Dalam hal ini karena kegiatan penggilingan tersebut pada dasarnya merupakan satu jenis kegiatan, walaupun komoditi yang dihasilkannya beraneka ragam, maka penggilingan dapat dimunculkan sebagai satu sektor sendiri. Sama halnya pada asas kesatuan komoditi, penyusunan klasifikasi sektor berdasarkan asas kesatuan aktivitas/kegiatan juga lebih banyak menghasilkan sektor-sektor yang dibentuk oleh lebih dari satu jenis aktivitas/kegiatan. Asas kesatuan aktivitas/kegiatan ini paling sesuai digunakan untuk penyusunan klasifikasi sektor pada lapangan usaha industri. Asumsi utama yang digunakan dalam penyusunan klasifikasi sektor adalah bahwa satu sektor hanya akan menghasilkan satu macam barang dan jasa/komoditi. Namun demikian satu kegiatan ternyata dapat menghasilkan lebih dari satu macam komoditi. Dalam hal ini maka harus diusahakan agar komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh suatu sektor memiliki kelas yang sama atau setara. Misalnya sektor buah-buahan, sektor ini mencakup berbagai jenis komoditi buah-buahan seperti apel, jeruk, mangga, pepaya dan sebagainya. Walaupun apel berbeda dengan jeruk, jeruk berbeda dengan mangga dan seterusnya,namun demikian karena komoditi-komoditi tersebut masih berada satu kelas yaitu rumpun buah-buahan,maka komoditinya dapat dikelompokan menjadi satu sektor. Namun demikian jika ternyata dari kegiatan di suatu sektor dihasilkan pula suatu komoditi yang sangat berbeda dengan sifat komoditi di sektor yang bersangkutan, maka komoditi ini harus dikeluarkan dari sektor tersebut dan dimasukan ke kelompok/sektor yang sesuai. Sebagai contoh dari sektor buah-buahan dihasilkan pula komoditi kayu yang berasal dari pohon buah-buahan yang diusahakan. Dalam hal ini maka komoditi kayunya harus dikeluarkan dari sektor buah-buahan dan selanjutnya dikelompokan ke dalam sektor kau-kayuan. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa suatu sistem klasifikasi harus mampu menampung semua jenis produksi yang dihasilkan, yaitu buah-buahan sebagai produk utama maupun kayu yang merupakan produk ikutan. Untuk memudahkan penyusunannya, klasifikasi sektor dapat dibuat berdasarkan klasifikasi lain yang sudah ada. BPS, untuk keperluan Tabel IO Updating 2008, penyusunan sektor didasarkan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Konsistensi antara sektor-sektor dalam Tabel

52 IO Updating 2008 dengan tabel-tabel IO terdahulu tetap dipertahankan, kecuali bila muncul teknologi baru yang dapat menggeser struktur komoditi. Sebagaimana diketahui, di Indonesia, Tabel I-O mulai dikenal pada akhir Pelita I. LIPI merupakan lembaga yang pertama kali menyusun Tabel I-O untuk Indonesia, yaitu dengan metode non-survai. Kemudian, Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Institute of Developing Economies (IDE) menyusun Tabel I-O Indonesia untuk data tahun 1971 dengan menggunakan metode survai. Sejak itu, BPS menyusun Tabel I-O Indonesia secara berkala setiap 5 tahun sekali (BPS, 1995). Tabel IO Indonesia Updating disusun setiap dua atau tiga tahun diantara tahun berakhiran 5 atau 0 seperti Tabel IO Updating Tahun Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa level dan nominal (current price) sektor-sektor ekonomi untuk proses produksi barang dan jasa mengalami perubahan cukup berarti, meskipun secara struktur ekonomi tidak berubah secara nyata. Data utama yang digunakan untuk penyusunan Tabel IO Updating seperti tahun 2008 adalah data dasar yang digunakan dalam penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan data pendukung lainnya adalah data tentang rasio struktur input yang diperoleh melalui data perekonomian yang berkaitan dengan produksi dan distribusi output yang dihasilkan oleh sektorsektor ekonomi dari Tabel IO Tahun 2005 sebagai basis penyusunannya. Tabel IO hasil Updating, seperti tahun 2008, disusun berdasarkan klasifikasi 66 sektor, hal ini mengingat keterbatasan sumber data dan metode non-survei yang digunakan. Berbeda dengan Tabel IO Tahun 2005 berdasarkan klasifikasi 175 sektor yang menjelaskan sektor/komoditi secara rinci dan ditunjang sumber data yang memadai. Terkait dengan penyusunan Tabel IO Bidang Kelautan, sektor yang menjadi concern dalam pembangunan kelautan, sesuai dengan Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 (klasifikasi 66 sektor) dan akan di-break down sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan datanya adalah: 1. Sektor Perikanan (Sektor 23), akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Ikan Laut dan Hasil-hasilnya (Sektor 23a) Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat (Sektor 23b) Udang (Sektor 23c) 2. Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral (Pertambangan dan Penggalian) Kelautan: Sektor Penambangan Batubara dan Bijih Logam (Sektor 24), akan sipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Batubara (24a) Bijih Timah (24b) Barang Tambang Logam Lainnya (24c) Penambangan Bijih logam Lainnya (24d)

53 Selain itu, Sektor Penambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi (Sektor 25), akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Minyak Bumi di Laut (25a) Minyak Bumi di Darat (25b) Gas dan Panas Bumi di Laut (25c) Gas dan Panas Bumi di Darat (25d) Selain Sektor Penambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi (Sektor 25), Sektor Penambangan dan Penggalian Lainnya (Sektor 26) juga akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Barang Tambang Mineral Bukan Logam (26a) Garam Kasar (26b) Barang Galian Segala Jenis (26c) 3. Sektor Industri Maritim: Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan (Sektor 27) akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Sektor Industri Ikan Kering dan Ikan Asin (27a) Sektor Industri Ikan Olahan dan Awetan (27b) Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan Lainnya (27c) Selain itu, terdapat juga Sektor Industri Alat Pengangkutan dan Perbaikannya (Sektor 49) yang akan dipecah menjadi: Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya (Sektor 49a) Industri Alat Pengangkutan dan Perbaikan Lainnya (Sektor 49b) 4. Sektor Bangunan (Sektor 52a), akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Sektor Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan (52a) Sektor Bangunan Lainnya (52b) 5. Sektor Pelayaran/Perhubungan Laur: Sektor Angkutan Air (Sektor 57), akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Sektor Angkutan Laut (Sektor 57a) Sektor Angkutan Sungai dan Danau (Sektor 57b) 6. Sektor Pariwisata Bahari: Sektor Jasa Lainnya (Sektor 65), akan dipecah menjadi beberapa sektor, yaitu: Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut (Sektor 65a) Sektor Hiburan, Rekreasi, dan Kebudayaan Swasta (Darat) (Sektor 65b) Sektor Jasa Lainnya (Sektor 65c) 7. Sektor Jasa Kelautan: Sektor Penunjang Angkutan (Sektor 59), yang akan dipecah menjadi: Jasa Kepelabuhanan (Sektor 59a) Jasa Penunjang Angkutan Lainnya (Sektor 59b)

54 Setidaknya terdapat tambahan 19 (delapan belas) sektor dari data Tabel I-O Tahun 2008 yang berukuran 66 x 66 sektor. Oleh karena itu, Tabel I-O kelautan yang akan disusun nantinya adalah Tabel I-O Tahun 2008 yang berukuran 85 x 85 sektor, dimana rincian klasifikasinya adalah seperti dalam tabel berikut ini: Tabel 3.4 Klasifikasi Sektor Tabel I-O Kelautan Tahun 2008: 85 x 85 Sektor Kode I-O Kode I-O Kode I-O Sektor 85 Sektor 66 Sektor 175 Sektor 1 1 Padi Tanaman kacang-kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan , Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan a Ikan Laut dan Hasil-hasilnya b Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 32

55 Kode I-O Kode I-O Kode I-O Sektor 85 Sektor 66 Sektor 175 Sektor 25 23c Udang Penambangan batubara dan bijih logam 35, a Batubara b Bijih Timah c Barang Tambang Logam Lainnya d Penambangan Bijih Logam Lainnya Penambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi a Minyak Bumi di Laut 36a 31 25b Minyak Bumi di Darat 36b 32 25c Gas dan Panas Bumi di Laut 37a 33 25d Gas dan Panas Bumi di Darat 37b 26 Penambangan dan penggalian lainnya a Barang tambang mineral bukan logam b Garam kasar c Barang galian segala jenis Industri pengolahan dan pengawetan makanan a Ikan kering dan ikan asin b Ikan olahan dan awetan c Industri pengolahan dan pengawetan makanan Lainnya Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenis Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri pupuk dan pestisida Industri kimia 94, Pengilangan minyak bumi a Barang-barang hasil kilang minyak 104

56 Kode I-O Kode I-O Kode I-O Sektor 85 Sektor 66 Sektor 175 Sektor 54 41b Gas alam cair (LNG) Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam , Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya a Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya b Industri Alat Pengangkutan dan Perbaikan Lainnya Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas, dan air bersih Bangunan a Sektor Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan b Sektor Bangunan Lainnya , Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air a Jasa Angkutan Laut b Jasa Angkutan Sungai dan Danau Angkutan udara Jasa penunjang angkutan a Jasa Kepelabuhanan 157a 76 59b Jasa Penunjang Angkutan Lainnya 157b Komunikasi Lembaga keuangan Real estat dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya a Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 172a

57 Kode I-O Kode I-O Kode I-O Sektor 85 Sektor 66 Sektor 175 Sektor 83 65b Sektor Hiburan, Rekreasi, dan Kebudayaan Swasta (Darat) 172b 84 65c Sektor Jasa Lainnya 171, Kegiatan yang tidak jelas batasannya Jumlah Permintaan Antara Jumlah Input Antara Input Antara Impor Upah Dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tidak Langsung Subsidi Nilai Tambah Bruto Jumlah Input Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Inventory Ekspor Barang Dagangan Ekspor Jasa Jumlah Permintaan Akhir Jumlah Permintaan Impor Barang Dagangan Pajak Penjualan Bea Masuk Impor Jasa Subsidi Impor Bbm Jumlah Impor Margin Perdagangan Besar Margin Perdagangan Eceran Biaya Pengangkutan Jumlah Margin Perdagangan Dan Biaya Pengangkutan Jumlah Output Jumlah Penyediaan 700

58 BAB IV ANALISA INPUT-OUTPUT UNTUK BIDANG KELAUTAN 4.1. Peranan Bidang Kelautan dalam Perekonomian Nasional Dalam penyusunan Input-Output untuk Bidang Kelautan, dibutuhkan kehati-hatian dan kerincian dari berbagai sektor yang menjadi bagian dari sektor kelautan. Sehingga nantinya analisis yang dilakukan dapat seakurat mungkin dalam menggambarkan kondisi yang ada terkait dengan sektor kelautan. Terkait dengan hal tersebut, dalam kajian ini upaya tersebut telah dilakukan sedapat mungkin agar menghasilkan output yang terbaik. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang belum dapat dimasukkan dalam sektor kelautan dikarenakan tidak tersedianya data yang digunakan sebagai dasar untuk mendisagregasikan sektor, untuk memisahkan sektor darat dan sektor kelautan. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan, kontribusi output dari sektor kelautan secara keseluruhan dalam perekonomian nasional pada tahun 2008 adalah sekitar 13,02 persen. Output yang dimaksudkan adalah berupa output (input) antara dan output (permintaan) akhir. Dengan membandingkan potensi kelautan yang dimiliki Indonesia, maka kontribusi tersebut dapat dibilang masih cukup rendah, baik di sisi hulu (produksi) maupun di sisi hilir (penciptaan nilai tambah). Tabel 4.1 Kontribusi Output dari Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional 2008 Tahun Kode Sektor Nilai Output Persentase (Rp. Milyar) (%) Peringkat I Perikanan 183, Ikan Laut dan Hasil-hasilnya 96, Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 29, Udang 57, II Energi dan Sumber Daya Mineral 146, Bijih Timah 14, Penambangan Minyak Bumi di Laut 104,

59 Kode Sektor Nilai Output Persentase (Rp. Milyar) (%) Peringkat 32 Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 27, Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 509, Industri Ikan kering dan ikan asin 28, Industri Ikan olahan dan awetan 63, Industri Barang-barang hasil kilang minyak 257, Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) 150, Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 9, IV Angkutan/Perhubungan Laut 74, Angkutan: Jasa Angkutan Laut 63, Angkutan: Jasa Angkutan Sungai & Danau 10, V Pariwisata Bahari 20, Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 20, VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 423, Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 423, VII Jasa Kelautan 13, Jasa Kepelabuhanan 13, Total Kelautan 1,371, Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Bila dilihat lebih rinci, kontribusi terbesar dalam sektor kelautan disumbang oleh sektor Industri Maritim yaitu sebesar 4,84 persen dan disusul oleh Sektor Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan yang sebesar 4,02 persen terhadap perekonomian nasional. Sektor Jasa Kelautan menempati urutan terakhir dari tujuh sektor yang menjadi bagian dari sektor kelautan. Sementara itu, bila dilihat dari kontribusi pendapatan masyarakatnya, sektor kelautan berkontribusi sekitar 11,67 persen terhadap keseluruhan pendapatan masyarakat dakam perekonomian nasional. Dan bila dirinci lebih lanjut, urutan sektor yang manjadi bagian dari sektor kelautan dalam berkontribusi terhadap perekonomian nasional dari sisi pendapatan masyarakatnya memiliki urutan yang sama dengan kontribusinya dalam sisi output, dimana sektor Industri Maritim adalah yang terbesar, dan disusul oleh Sektor Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan serta. Sektor Jasa Kelautan menempati urutan terakhir dari tujuh sektor yang menjadi bagian dari sektor kelautan.

60 Tabel 4.2 Kontribusi Pendapatan Masyarakat dari Sektor Kelautan Perekonomian Nasional Tahun 2008 dalam Nilai Persentase Kode Sektor Pendapatan Peringkat (%) (Rp. Milyar) I Perikanan 26, Ikan Laut dan Hasil-hasilnya 13, Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 3, Udang 9, II Energi dan Sumber Daya Mineral 12, Bijih Timah 2, Penambangan Minyak Bumi di Laut 8, Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 1, Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 67, Industri Ikan kering dan ikan asin 1, Industri Ikan olahan dan awetan 3, Industri Barang-barang hasil kilang minyak 58, Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) 2, Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 1, IV Angkutan/Perhubungan Laut 8, Angkutan: Jasa Angkutan Laut 6, Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau 2, V Pariwisata Bahari 2, Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 2, VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 67, Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 67, VII Jasa Kelautan 2, Jasa Kepelabuhanan 2, Total Kelautan 187, Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Hal yang cukup berbeda dengan kontribusi dalam sisi output dan sisi pendapatan, kontribusi sektor kelautan dari sisi ketenagakerjaan justru masih sangat kecil, yaitu hanya sekitar 5,11 persen dari keseluruhan tenaga kerja dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat ditafsirkan menjadi 2 hal, yaitu di satu sisi dapat diartikan belum optimalnya pemanfaatan sektor kelautan, dan di sisi yang lain

61 dapat diartikan bahwa secara umum sektor kelautan merupakan sektor yang padat modal (membutuhkan modal yang cukup besar untuk pengelolaannya, dibandingkan dengan kebutuhan akan tenaga kerja). Bila dirinci lebih lanjut, sektor Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan merupakan sektor yang berkontribusi terbesar dalam ketenagakerjaan di sektor kelautan yaitu sebesar 1,79 persen terhadap perekonomian nasional, dan disusul oleh sektor perikanan yang berkontribusi sebesar 1,63 persen terhadap perekonomian nasional. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Kelautan merupakan sektor terkecil dalam sektor kelautan yang berkontribusi terhadap ketenagakerjaan nasional. Tabel 4.3 Kontribusi Tenaga Kerja dari Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun 2008 Kode Sektor Jumlah Tenaga Persentase Kerja (Orang) (%) Peringkat I Perikanan 1,687, Ikan Laut dan Hasil-hasilnya 888, Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 273, Udang 525, II Energi dan Sumber Daya Mineral 69, Bijih Timah 14, Penambangan Minyak Bumi di Laut 39, Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 10, Penambangan dan Penggalian garam kasar 5, III Industri Maritim 302, Industri Ikan kering dan ikan asin 67,

62 38 Industri Ikan olahan dan awetan 148, Industri Barang-barang hasil kilang minyak 39, Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) 22, Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 23, IV Angkutan/Perhubungan Laut 840, Angkutan: Jasa Angkutan Laut 717, Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau 122, V Pariwisata Bahari 343, Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 343, VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 1,850, Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 1,850, VII Jasa Kelautan 190, Jasa Kepelabuhanan 190, Total Kelautan 5,283, Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Perlu ditekankan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara output dan Produk Domestik Bruto (PDB). Output mencakup permintaan antara (intermediete goods) dan permintaan akhir (final goods). PDB merupakan permintaan akhir, sehingga PDB merupakan bagian dari output dan tidak semua output adalah PDB. Oleh karena itu, secara nilai besarannya, PDB umumnya lebih kecil dibandingkan dengan output. Dengan menggunakan Tabel IO 2008, dapat juga dilihat seberapa besar kontribusi bidang kelautan terhadap PDB dengan melihat Nilai Tambah Bruto (NTB). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2008, kontribusi bidang kelautan terhadap perekonomian nasional adalah sebesar 10,96 persen dari PDB keseluruhan atau senilai Rp. 569,12 triliun. Bila melihat nilai dan persentasenya, maka kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nilai dan persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi bidang kelautan terhadap output dalam perekonomian nasional. Bila melihat 7 sektor dalam bidang kelautan, maka kontribusi terbesar terhadap PDB dilakukan oleh sektor Industri Maritim, dimana sektor tersebut berkontribusi sebesar 5,20 persen terhadap PDB. Sektor kedua terbesar adalah sektor bangunan penunjang kegiatan kelautan yang kontribusinya adalah sebesar 3,10 persen terhadap PDB. Sementara itu, sektor perikanan yang merupakan tugas utama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan berada di urutan ketiga, yaitu berkontribusi sebesar 2,61 persen terhadap PDB. Sementara itu, bila dilihat dari sub sektornya, sektor bangunan penunjang kegiatan kelautan merupakan sub sektor yang berkontribusi terbesar dalam bidang kelautan. Sub sektor selanjutnya

63 adalah sub sektor barang-barang hasil kilang minyak dan sub sektor pengilangan gas alam cair (LNG). Sedangkan sub sektor ikan laut dan hasil-hasilnya, udang, dan ikan darat dan hasil perairan darat masing-masing menempati urutan ke 5, 6, dan 8. Secara rinci hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.4. Tabel 4.4 Kontribusi Sektor Kelautan dalam PDB Nasional Tahun 2008 Kode Sektor Nilai Output Persentase (Rp. Milyar) (%) Peringkat I Perikanan 135, Ikan Laut dan Hasil-hasilnya 79, Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 21, Udang 34, II Energi dan Sumber Daya Mineral 123, Bijih Timah 11, Penambangan Minyak Bumi di Laut 88, Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 22, Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 270, Industri Ikan kering dan ikan asin 11, Industri Ikan olahan dan awetan 16, Industri Barang-barang hasil kilang minyak 155, Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) 82, Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 3, IV Angkutan/Perhubungan Laut 23, Angkutan: Jasa Angkutan Laut 18, Angkutan: Jasa Angkutan Sungai & Danau 4, V Pariwisata Bahari 9, Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 9, VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 161, Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 161, VII Jasa Kelautan 6, Jasa Kepelabuhanan 6, Total Kelautan 569, Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012

64 Bila data tersebut dilakukan cross check dengan data PDB Nasional, khususnya pada sektor perikanan, memang terdapat sedikit perbedaan, dimana data menurut PDB nasional lebih besar kontribusinya, khususnya untuk sektor perikanan. Pada tahun 2008, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB (menggunakan data PDB dari BPS) adalah sebesar 3,10 persen atau lebih tinggi sebesar 1,19 kalinya dibandingkan pada angka kontribusi terhadap PDB bila menggunakan data Input-Output Tahun 2008 (lihat Gambar 4.1). Apabila disesuaikan dengan menggunakan koefisien pengali sebesar 1,19, maka diperolehlah kontribusi bidang kelautan dalam PDB sebesar 13,01 persen, yaitu 10,96 persen dikali dengan nilai 1,19. Sumber: Data PDB Nasional , BPS, 2012 Gambar 4.1 Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional Tahun (Persen) Berikut ini adalah hasil perhitungan kontribusi sektor kelautan dalam PDB nasional menurut Tabel Input-Output yang telah disesuaikan dengan data PDB nasional menurut data dari BPS (2012): Tabel 4.5 Kontribusi Sektor Kelautan dalam PDB Nasional Tahun 2008 Kode Sektor Nilai Output Persentase (Rp. Milyar) (%) Peringkat I Perikanan 160, Ikan Laut dan Hasil-hasilnya 93, Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat 26, Udang 40, II Energi dan Sumber Daya Mineral 146,

65 Kode Sektor Nilai Output Persentase (Rp. Milyar) (%) Peringkat 27 Bijih Timah 14, Penambangan Minyak Bumi di Laut 105, Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 26, Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 320, Industri Ikan kering dan ikan asin 14, Industri Ikan olahan dan awetan 20, Industri Barang-barang hasil kilang minyak 184, Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) 98, Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 4, IV Angkutan/Perhubungan Laut 27, Angkutan: Jasa Angkutan Laut 22, Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau 5, V Pariwisata Bahari 11, Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut 11, VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 191, Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 191, VII Jasa Kelautan 7, Jasa Kepelabuhanan 7, Total Kelautan 675, Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Apabila kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional selama tahun mengikuti perkembangan kontribusi sektor perikanan, maka dapat diperkirakan bahwa kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional untuk tahun adalah seperti pada Gambar 4.2, dimana kontribusinya mencapai 14,07 persen pada tahun Nilai tersebut cenderung meningkat dibandingkan pada tahun 2008, namun cenderung menurun apabila dibandingkan dengan kontribusi pada tahun 2009 dan 2010.

66 Sumber: Hasil Perkiraan Tim DEKIN, 2012 Gambar 4.2. Perkiraan Kontribusi Bidang Kelautan terhadap PDB Nasional Tahun (Persen) 4.2. Analisis Keterkaitan Antar Sektor Bidang Kelautan Keterkaitan ke belakang (backward linkage) merupakan keterkaitan suatu sektor dengan sektor penyedia inputnya (hulu). Dalam bidang kelautan, sektor-sektor yang memiliki keterkaitan tinggi dibandingkan dengan sektor yang lain dalam perekonomian adalah sektor udang, sektor industri ikan kering dan ikan asin, sektor industri ikan olahan dan awetan, sektor angkutan jasa laut, sektor hiburan dan rekreasi laut, sektor bangunan penunjang kelautan, dan jasa kepelabuhan. Dari 17 sektor yang diidentifikasi, terdapat 7 sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang tinggi. Tabel 4.6 Keterkaitan Ke Belakang Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional 2008 Tahun Kode Sektor Keterkaitan Indeks Total Keterkaitan ke ke Belakang Belakang I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah Penambangan Minyak Bumi di Laut Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut Penambangan dan Penggalian garam kasar

67 Kode Sektor Keterkaitan Indeks Total Keterkaitan ke ke Belakang Belakang III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Industri Ikan olahan dan awetan Industri Barang-barang hasil kilang minyak Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau V Pariwisata Bahari 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Keterkaitan ke depan (forward linkage) adalah keterkaitan suatu sektor dengan sektor pemakai outputnya (hilir). Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa 5 sektor dari 17 sektor dalam bidang kelautan memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi dibandingkan dengan sektor lain dalam perekonomian nasional. Sektor tersebut adalah sektor ikan laut dan hasil-hasilnya, sektor udang, sektor penambangan minyak bumi di laut, sektor industri barang-barang hasil kilang minyak, dan sektor bangunan penunjang kelautan. Tabel 4.7 Keterkaitan Ke Depan Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional 2008 Tahun Kode Sektor Keterkaitan Indeks Total Keterkaitan ke Depan ke Depan I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah

68 Kode Sektor Keterkaitan Indeks Total Keterkaitan ke Depan ke Depan 30 Penambangan Minyak Bumi di Laut Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Industri Ikan olahan dan awetan Industri Barang-barang hasil kilang minyak Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau V Pariwisata Bahari 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Dari analisis keterkaitan ke belakang dan ke depan, sektor yang memiliki nilai indeks keterkaitan yang lebih besar atau sama dengan satu (kedua-duanya, baik ke belakang maupun ke depan) disebut dengan sektor kunci. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam perekonomian nasional, sektor di bidang kelautan yang menjadi sektor kunci adalah sektor udang dan sektor bangunan penunjang kelautan.

69 Tabel 4. 8 Sektor Kunci Bidang Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun 2008 Indeks Total Kode Sektor Keterkaitan ke Belakang Indeks Total Keterkaitan ke Keterangan Depan I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Bukan Sektor Kunci 24 Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Bukan Sektor Kunci 25 Udang Sektor Kunci II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah Bukan Sektor Kunci 30 Penambangan Minyak Bumi di Laut Bukan Sektor Kunci 32 Penambangan Gas & Panas Bumi di Laut Bukan Sektor Kunci 35 Penambangan dan Penggalian garam kasar Bukan Sektor Kunci III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Bukan Sektor Kunci 38 Industri Ikan olahan dan awetan Bukan Sektor Kunci 53 Industri Barang-barang hasil kilang minyak Bukan Sektor Kunci 54 Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Bukan Sektor Kunci 62 Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya Bukan Sektor Kunci IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut Bukan Sektor Kunci 73 Angkutan: Jasa Angkutan Sungai & Danau Bukan Sektor Kunci V Pariwisata Bahari Bukan Sektor Kunci 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut Bukan Sektor Kunci VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan Sektor Kunci VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Bukan Sektor Kunci Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, Analisis Pengganda Bidang Kelautan Analisis pengganda di bidang kelautan dilakukan dengan melihat pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja. Besaran nilai pengganda mencerminkan urutan prioritas investasi apabila ingin mendapatkan nilai dampak yang optimal, khususnya dampak positif untuk setiap jenis penggandanya.

70 Bila dilihat dari nilai pengganda output sektor dalam bidang kelautan, maka tiga sektor utama yang memiliki dampak pengganda output terbesar adalah sektor industri ikan olahan dan awetan, sektor ikan kering dan ikan asin, dan sektor hiburan dan rekreasi laut. Nilai pengganda sektor ikan olahan dan awetan yang sebesar 2,08 menunjukkan bahwa apabila ada shock di sektor tersebut sebesar Rp. 1 juta, maka dampak outputnya adalah sebesar Rp. 2,08 juta dalam seluruh perekonomian nasional. Tabel 4.9 Pengganda Output Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional Tahun 2008 Kode Sektor Pengganda Output Prioritas I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah Penambangan Minyak Bumi di Laut Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Industri Ikan olahan dan awetan Industri Barang-barang hasil kilang minyak Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau V Pariwisata Bahari 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012

71 Sementara itu, bila dilihat dari nilai pengganda pendapatan, tiga sektor terbesarnya agak berbeda dengan pengganda outputnya. Pengganda pendapatan terbesar dalam, bidang kelautan dimiliki oleh sektor jasa angkutan sungai dan danau, sektor bangunan penunjang kelautan, dan sektor udang. Nilai pengganda pendapatan sebesar 0,29 yang dimiliki oleh sektor jasa angkutan sungai dan danau memiliki arti bahwa apabila ada peningkatan permintaan akhir sebesar Rp. 1 juta pada sektor tersebut, maka akan berdampak terhadap pendapatan masyarakat seluruh sektor dalam perekonomian nasional sebesar Rp. 0,29 juta atau sebesar Rp. 290 ribu. Tabel 4.10 Pengganda Pendapatan Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional 2008 Tahun Kode Sektor Pengganda Pendapatan Prioritas I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah Penambangan Minyak Bumi di Laut Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Industri Ikan olahan dan awetan Industri Barang-barang hasil kilang minyak Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut

72 Kode Sektor Pengganda Pendapatan Prioritas 73 Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau V Pariwisata Bahari 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012 Bilai ditinjau dari nilai pengganda tenaga kerja, tiga sektor utama di bidang kelautan yang memiliki nilai pengganda tertinggi relatif berbeda dengan sektor-sektor yang memiliki pengganda output dan pendapatan terbesar. Tiga sektor yang memiliki nilai pengganda tenaga kerja tertinggi adalah sektor hiburan dan rekreasi laut, sektor jasa angkutan laut, dan sektor ikan darat dan hasil perairan darat. Sektor hiburan dan rekreasi laut yang memiliki nilai pengganda sebesar 0,02 menunjukkan bahwa apabila sektor tersebut mengalami peningkatan akhir sebesar Rp. 100 juta, maka akan meningkatkan atau menciptakan lapangan kerja baru untuk 2 orang tenaga kerja. Tabel 4.11 Pengganda Tenaga Kerja Sektor Kelautan dalam Perekonomian Nasional 2008 Tahun Kode Sektor Pengganda Tenaga Kerja Prioritas I Perikanan 23 Ikan Laut dan Hasil-hasilnya Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Udang II Energi dan Sumber Daya Mineral 27 Bijih Timah Penambangan Minyak Bumi di Laut Penambangan Gas dan Panas Bumi di Laut 0 16

73 35 Penambangan dan Penggalian garam kasar III Industri Maritim 37 Industri Ikan kering dan ikan asin Industri Ikan olahan dan awetan Industri Barang-barang hasil kilang minyak Industri Pengilangan Gas alam cair (LNG) Industri Kapal dan Jasa Perbaikannya 0 12 IV Angkutan/Perhubungan Laut 72 Angkutan: Jasa Angkutan Laut Angkutan: Jasa Angkutan Sungai dan Danau V Pariwisata Bahari 82 Sektor Hiburan dan Rekreasi Laut VI Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan 66 Bangunan Penunjang Kegiatan Kelautan VII Jasa Kelautan 75 Jasa Kepelabuhanan Sumber: Tabel IO 2008, Hasil Pengolahan, 2012

74 BAB V KONDISI SAAT INI, MASALAH DAN POTENSI PENGEMBANGAN 5.1. Kondisi Saat Ini Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan pernyataan Pemerintah yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU PRP No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.

75 Sumber: Bakosurtanal.go.id Gambar 5.1 Peta Lingkungan Laut Indonesia Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi negara ini. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasari hal tersebut. Pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau dan kilometer garis pantai, dimana sekitar 70 persen wilayah teritorialnya berupa laut (Simanungkalit, 1999). Kedua, di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas itu terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo, et.al., 2000). Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya pembangunan di daratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan akan meningkat (Resosudarmo, et.al., 2000). Pulau di Indonesia terdiri dari tiga gugusan besar yaitu kepulauan Sunda Besar yang terdiri dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, kemudian yang kedua adalah gugusan Sunda Kecil yang meliputi Bali, Nusa Tenggara, dan yang terakhir adalah gugusan Maluku dan Irian. Indonesia berada diantara benua Asia dan Australia mengakibatkan hanya memiliki 2 musim yaitu musin hujan dan kemarau. Hal ini menyebabkan hasil dari alam bangsa kita mempunya spesifikasi tersendiri, dan jika hal ini bisa dimanfaatkan maka akan menjadi peluang bangsa kita untuk bisa menjadi penyokong sumberdaya di pasar internasional. Indonesia mempunyai lokasi geografis yang sangat strategis (memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia) karena Indonesia dilewati oleh satu Sea Lane of Communication (SLoC),

76 yaitu Selat Malaka, di mana jalur ini menempati peringkat pertama dalam jalur pelayaran kontainer global (lihat Gambar 4.2). Gambar 5.2 Wilayah Perairan Large Marine Ecosystem (LME) di Seluruh Dunia 5.2. Ekonomi Kelautan Sebagai negara kepulauan, kondisi ekonomi pada bidang kelautan mempunyai peran strategis terhadap kegaitan perekonomian secara nasional. Kondisi ekonomi kelautan tercermin dari berbagai kegaitan ekonomi yang termasuk dalam dimensi kegiatan bidang kelautan. Kegiatan pekonomi yang mencerminkan ekonomi bidang kelautan, antara lain, yaitu perikanan, Energi dan Sumberdaya Mineral Kelautan, Pelayaran, Pariwisata Bahari, Industri dan Jasa Maritim. a) Perikanan Menurut laporan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) bahwa Pembangunan ekonomi perikanan pada triwulan pertama tahun 2011 menunjukan belum adanya perbaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun Bahkan dalam triwulan I 2011 ini terlihat kekuatan asing semakin menguasai sektor perikanan. Hal ini dapat ditunjukan dengan beberapa indikator, yaitu investasi asing di sektor perikanan, tingginya laju impor ikan dan produk perikanan, belum berkembangnya industri perikanan nasional, dan

77 kesejahteraan nelayan serta pembudidaya ikan yang tidak tidak kunjung membaik. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2011 menunjukan bahwa total investasi di sektor perikanan pada triwulan I tahun 2011 mencapai 1,2 US $ juta. Selain itu juga, data BKPM (2011) menunjukan bahwa total investasi sektor perikanan triwulan I tahun 2011 tersebut seratus persen merupakan investasi asing (PMA), hal ini sama dengan kondisi pada periode yang sama tahun Hal ini menunjukan minat investor dalam negeri belum membaik sejak triwulan II tahun 2009, sementara kepercayaan investor asing cenderung meningkat sejak triwulan ke IV tahun Memburuknya minat investor dalam negeri tersebut hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah agar potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia sendiri. Hal ini pun sesuai dengan amanat Pasal 33 (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Meningkatnya investasi asing di sektor perikanan sudah terjadi sejak awal tahun Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa investasi asing (PMA) tahun 2010 meningkat 71,67 persen dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu dari 5,1 juta US $ tahun 2009 meningkat menjadi 18 juta US $ tahun Hal yang berbeda terjadi pada penanaman modal dalam negeri (PMDN). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2011) menunjukan bahwa PMDN tahun 2010 turun 23,7 milyar rupiah dibandingkan dengan tahun 2009, dimana pada tahun 2010 investasi dalam negeri hanya mencapai 1 milyar rupiah sementara tahun 2009 investasi dalam negeri mencapai 24,7 milyar rupiah (Lihat Gambar 5.3).

78 Sumber: pk2pm, 2011 Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Investasi Asing (PMA) dan Dalam Negeri (PMDN) Sektor Perikanan Pertumbuhan nilai impor ikan dan produk perikanan Indonesia periode Januari - Pebruari 2011 mencapai 54,68 persen jika dibandingkan pada periode yang sama pada tahun Nilai impor ikan periode Januari Pebruari 2011 tercatat sebesar US $, sementara nilai impor ikan pada periode yang sama tahun 2010 mencapai US $. Sementara itu pertumbuhan nilai ekspor produk perikanan periode Januari - Pebruari tahun 2011 hanya mencapai 15,17 persen jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 (BPS 2011). Data Badan Pusat Statistik (2011) menunjukan bahwa nilai ekspor ikan dan produk perikanan Indonesia periode Januari - Pebruari 2011 tercatat hanya mencapai US $, sementara pada periode yang sama tahun 2010 nilai ekspor ikan dan produk perikanan mencapai US $ (Lihat Gambar 5.4).

79 Gambar 5.4 Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Ikan Triwulan Pertumbuhan ekonomi pada sektor perikanan pada tahun 2011 sebesar 6,72 persen atau lebih besar dari pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto, yaitu sebesar 6,46 persen. Krisis global globala yang terjadi pada tahun 2008 juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan. Pertumbuhan ekonomi sektor perikanan pada tahun 2008 hanya tumbuh sebesar 5,07 persen lebih rendah dari pada pertumbuhan PDB nasional sebesar 6,01 persen. Selama sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi sektor perikanan sampai menembus angka 6,90 persen pada tahun 2006 dengan total angka sebesar Rp ,3 miliar. Tingginya laju Impor tahun 2011 ternyata tidak berdampak nyata terhadap peningkatan kapasitas Industri perikanan yang terpakai. Data Bank Indonesia (2011) menunjukan bahwa rata-rata kapasitas industri perikanan yang terpakai pada triwulan ,82 persen. Hal ini menunjukan bahwa ikan dan produk perikanan yang masuk ke Indonesia bukan merupakan sumber bahan baku bagi Industri pengolahan perikanan nasional akan tetapi lebih didominasi oleh ikan dan produk perikanan yang siap konsumsi.

80 Sumber: Bank Indonesia, 2012 Gambar 5.5 Pertumbuhan PDB pada Sektor Perikanan Tahun (persen) Rata-rata kontribusi sektor perikanan dari tahun 2000 hingga tahun 2011 dari total PDB hanya mencapai angka 2,44 persen. Kontribusi sektor perikanan tertinggi sebesar 3,15 persen atau sebesar Rp ,0 miliar dari total PDB sebesar Rp miliar. Sedangkan kontribusi sektor perikanan terkecil selama sepuluh tahun terakhir terjadai pada tahun 2001 yang hanya mencapai 1,97 persen atau sebesar Rp miliar dari total PDB Rp ,1 miliar. Dari tahun 2009 hingga 2011 kontribusi sektor perikanan terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011 kontribusi sektor perikanan sebesar Rp miliar dari total PDB sebesar miliar. Pada tahun 2010 kontribusi sektor perikanan lebih besar dari pada tahun setelahnya, yaitu sebesar Rp miliar atau 3,10 persen.

81 Sumber: Bank Indonesia, 2012 Gambar 5.6 Kontribusi Sektor Kelautan Terhadap PDB Tahun (persen) Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau yang terbasi oleh lautan, dimana sekitar 70 persen wilayah teritorialnya berupa laut (Simanungkalit, 1999). Sektor perikanan ternyata tidak mendapatkan perhatian yang baik dari para pemangku kepentingan dan pemodal dalam negeri. Pemerintah terlihat belum dapat menyakinkan para pemodal dalam negeri untuk menanamkan investasinya di sektor perikanan. Data BKPM (2009) menunjukkan pertumbuhan nilai realisasi investasi sektor perikanan dalam kurun waktu 2006-Pebruari 2009 mengalami penurunan sebesar 5,39 persen per tahun. Nilai investasi sektor perikanan tahun 2006 mencapai Rp. 33 milyar dengan 99,39 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA). Sementara tahun 2008 nilai investasi sektor hanya mencapai Rp. 2,4 milyar dengan hampir 100 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA). Pada tahun 2010 total investasi pada sektor kelautan mencapai US$ 18 juta dengan jumlah proyek yang dikerjakan sebanyak 19 unit. Meskipun mengalami kenaikan, jumlah proyek yang dikerjakan pada tahun 2011, yakni 29 proyek namun demikian nilai proyeknya turun menjadi US$ 10 juta. Dengan demikian bila dibandingkan dengan dengan tahun sebelumnya maka pada tahun 2011 terjadi penurunan nilai investasi meskipun jumlah pengerjaan proyek meningkat. Sampai dengan tahun Pada kwartal I di tahun 2012 niklai investasi pada sektor kelautan masih menunjukan angka US$ 5,6 juta dengan jumlah pengerjaan proyek sebanyak 8 unit.

82 Sumber: BKPM, 2012 Gambar 5.7 Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Sektor Kelautan Triwulan I 2012 (US $ juta) Perikanan Tangkap Pada tahun 2010 sudah telah melakukan produksi perikanan tangkap sebesar ton, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 4,72 persen. Produk komoditas unggulannya, yaitu Tuna mencapai ton pada tahun 2009 atau naik rata-rata sekitar 3,31persen dari tahun Produksi Tongkol, dan Cakalang mencapai ton pada tahun 2009 atau naik rata-rata sekitar 7,11persen dari tahun Total produksi Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TTC) mencapai ton pada tahun Produksi udang tangkapan sekitar ton pada tahun 2009, naik rata-rata 3,6 persen dari tahun Tabel berikut menujukkan distribusi produksi sumberdaya ikan menurut WPP. Tabel 5.1 Produksi Perikanan Tangkap Komoditas Utama Tahun

83 Sumber: Laporan Kebijakan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, 2012 Perikanan Budidaya Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen perikanan budidaya pada tahun berdasarkan pada dari FAO, penghitungan volume produksi ini tidak memasukkan komoditas rumput laut. Pada tahun 2007 volume produksi perikanan budidaya Indonesia sebesar 3,9 juta ton dan pada tahun 2008 sebesar 3,8 juta ton. Dari lahan budidaya perikanan ha pada tahun 2010 telah diproduksi ikan sebesar ton. Produksi budidaya ikan sejak tahun 2006 telah mengalami peningkatan yang signifikan, sedangkan produksi perikanan budidaya menurut jenis ikan pada Tahun 2010 disajikan pada. Dari sisi volume produksi, penyumbang terbesar produksi perikanan budidaya adalah rumput laut, diikuti oleh nila dan bandeng. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2009 mencapai 4,7 juta ton, naik menjadi 6,3 juta ton pada tahun Produksi perikanan budidaya lainya dihasilkan dari budidaya laut yang mencapai 3,51 ton lebih pada tahun 2010, kemudian menyusul budidaya tambak dan kolam, masingmasing 1,4 juta ton dan 818,8 ribu ton. Tabel 5.2 Luas Lahan Budidaya Ikan di Indonesia Tahun No. Jenis Budidaya Luas Lahan (ha)

84 1. Budidaya Laut Budidaya Tambak Budidaya Kolam Budidaya Keramba Budidaya Jaring Apung Budidaya Sawah Jumlah Sumber: Laporan Kebijakan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, 2012 Pada tahun 2009 produk utama perikanan budidaya didominasi oleh rumput laut ( ton), udang ( ton), Bandeng ( ), Nila ( ton), dan ikan mas ( ton) dengan kenaikan rata-rata masing-masing 36,66%, 5,73%, 7,79%, 21,41%, dan 3,86%. Nilai produksi udang (Rp ), rumput laut (Rp ), nila (Rp ), bandeng (Rp ), dan ikan mas (Rp ). Komoditas perikanan budidaya laut, yaitu kerapu ton dengan nilai produksi Rp ,- Tabel 5.3 Produksi Perikanan Budidaya Produksi (ton) No Jenis Budidaya Laut Tambak Kolam Keramba Jaring Apung Sawah Jumlah Sumber: Laporan Kebijakan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, 2012 Pada tahun 2009 produk utama perikanan budidaya didominasi oleh rumput laut ( ton), udang ( ton), Bandeng ( ), Nila ( ton), dan ikan mas ( ton) dengan kenaikan rata-rata masing-masing 36,66%, 5,73%, 7,79%, 21,41%, dan 3,86%. Nilai produksi udang (Rp ), rumput laut (Rp ), nila (Rp ), bandeng (Rp ), dan ikan mas (Rp ). Komoditas perikanan budidaya laut, yaitu kerapu ton dengan nilai produksi Rp ,-

85 Pengolahan Ikan Jumlah unit pengolahan ikan mencapai , yang terdiri dari usaha pengalengan sebanyak 114 unit, pembekuan sebanyak 556 unit, penggaraman sebanyak unit, pemindangan sebanyak unit, pengasapan sebanyak unit, dan peragian sebanyak unit. Unit Pengolahan Ikan (UPI) telah terealisasi 504 unit sampai September 2010, meninggalkan target tahun ini yang hanya 444 unit. Tetapi tingkat kemampuan (utilisasi) unit pengolahan ikan skala menengah dan besar sekitar 30% karena pasokan bahan baku perikanan, baik dari sektor budi daya maupun hasil tangkapan laut, tidak mencukupi keekonomian industri besar. Rendahnya utilisasi UPI dikarenakan pasokan bahan baku kurang. Data menunjukkan unit pengolahan skala besar yang sampai saat ini masih beroperasi mencapai 658 unit, sementara industri pengolahan ikan skala kecil tercatat unit. Sejumlah unit pengolahan yang tersebar di seluruh Indonesia berkapasitas ,4 ton per tahun. Namun, hingga kini hanya terpakai kurang dari 50 persen atau hanya sekitar 9.324,16 ton per tahun. Keberadaan unit pengolahan ikan tersebut menyerap orang tenaga kerja yang dilibatkan di bidang industri pengolahan dan pemasaran. Saat ini industri pengolahan tidak maksimal menjalankan pabrik karena tidak adanya bahan baku udang untuk diolah. Saat produksi udang turun, para pengusaha berharap pemerintah membuka keran impor untuk kebutuhan industri pengolahan yang berorientasi ekspor saja. Industri hilir perikanan laut Indonesia masih terkendala pasokan bahan baku. Meski memiliki sumber daya alam kelautan yang melimpah, Indonesia belum mampu menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. Akibatnya, banyak perusahaan perikanan yang tutup. Industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini membutuhkan bahan baku ribu ton per tahun. Dari kebutuhan itu, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 40%, sedangkan 60% masih impor. Industri pengalengan cakalang, misalnya, membutuhkan bahan baku 300 ribu ton per tahun, sedangkan pasokan dari dalam negeri hanya ribu ton. Kapasitas terpasang industri pengalengan sarden berkisar 150 ribu ton dan pasokan bahan baku lokal hanya ribu ton per tahun. Tabel 5.4 Jumlah Unit Pengolahan Menurut Jenis Pengolahan Ikan Utama PROVINSI JUMLAH JENIS PENGOLAHAN IKAN YANG UTAMA

86 UPI PEM- PENG- PERE- PENGO- PENGA- PEMINDA- PENGA- PERA- PRODUK LAIN- BEKU- GARA- DUK- LAHAN LENGAN NGAN SAPAN GIAN SEGAR NYA AN MAN SIAN SURIMI Aceh Sumater Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Jumlah Sumber: Statistik Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan 2010 Tabel 5.5 Jumlah Unit Pengolahan dan Jenis Produk Skala Besar 2011 NO. PROPINSI UNIT PRODUK*) NO. PROPINSI UNIT PRODUK 1. Aceh Kalbar 7 1,2

87 2. Summut 52 1,2,3,4,5 17. Kaltim Sumbar Kalsel 10 1,5 4. Kepri Kalteng Sumsel 3 1,7 20. Sulut 34 2,3,6 6. Babel Gorontalo 3 1,2 7. Lampung 6 1,7, 8, Sulsel 67 1,2,4,8,11 8. Banten 12 1,2,4,5,8, Sultra 6 1,2,5 9. Jabar 31 1,2, 3, 4,5, 9, Sulteng 5 1,2,5 10. DKI Jakarta 57 1,2,4,5 25. Maluku 15 1,2 11. Jateng 25 1,2,3,4,8,9 26. Malut 4 2,5 12. Jatim 126 1,2,3,4,5,8,10,12, Irjabar 8 1,2,3 13. Bali 57 2,3,4,5,6 28. Papua NTB 1 2 Jumlah NTT 16 1,2,4,6 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Keterangan : Tidak ada UPI: Riau, Jambi, Bengkulu, DIY, NTB, dan Sulbar Produk : Udang Beku (1), Ikan Segar & Beku (2), Ikan Kaleng (3), Ikan Kering (4) Ikan Hidup (5), Ikan Asap (6), Paha Kodok (7), Rajungan (8), Surimi (9), Keong (10), Telur Ikan Terbang (11), Belut (12), lainnya (13) b) Energi dan Sumberdaya Mineral Kelautan Minyak dan Gas Sumber daya minyak dan gas bumi merupakan sektor penting dalam pembangunan nasional baik dalam hal pemenuhan kebutuhan energi dan bahan baku industri di dalam negeri maupun sebagai penghasil devisa negara sehingga pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin. Sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Energi Sumber Daya Mineral, (2009) saat ini terindikasi sedikitnya 66 cekungan migas di seluruh Indonesia. 16 cekungan sudah berproduksi, 8 cekungan berpotensi, dan 42 cekungan belum dieksplorasi. Menurut Dahuri, (2009) dari 60 cekungan potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi di perkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik. Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai barat Sumatera dan selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar (Richardson, 2008).

88 Gambar 5.8 Cekungan Minyak Bumi di Indonesia Di Indonesia, kegiatan eksplorasi ESDM telah dilakukan pada cekungan migas di laut dalam yang sebelumnya dianggap tidak memiliki prospek, dan saat ini beberapa diantaranya telah dieksploitasi. Daerah-daerah yang telah di eksploitasi antara lain Ujungkulon (Banten) dengan luas 3.706,47 km 2 ; Enrekang dengan luas ,47 km 2 ; Rote I (Selatan NTT) dengan luas ,58 km 2 ; Biga dengan luas km 2 ; Segaf (utara Seram) km 2 ; Babar dengan luas ,09 km 2 ; dan Selaru (selatan Tanimbar-Kai) dengan luas ,42 km 2 ; AmboripI s/d VI (Akimeugah-Papua) dengan luas km 2. Upaya lainnya adalah peningkatan status cekungan migas Cekungan Gorontalo yang mengindikaskan adanya indikasi struktur cekungan dan antiklin sebagai perangkap hidrokarbon. Sedangkan data potensi mineral di laut dalam dengan indikasi gunung api bawah laut adalah Ekspedisi Bandamin 1 dan 2 bekerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan dengan Jerman di perairan Komba, Flores-Wetar, dengan kedalam 200 meter. Hasil yang diperoleh adalah delapan unsur mineral sulfida yaitu : Au, Ag, Cu, Pb, Mn, Zn, As dan Fe203. Dari beberapa contoh, terdapat kandungan Au (emas) sebesar 5,12 ppm dan Ag (perak) sebesar 5,17 ppm. Selain itu kandungan ferromangan ditemukan di daerah lain yaitu di sebelah barat Pulau Enggano, Utara Banggai, utara Kepala Burung-Papua dan utara Halmahera.

89 Gambar 5.9 Peta Sebaran Kilang LNG di Indonesia Pertambangan Mineral Bahan tambang/mineral yang telah diketahui ada di perairan Indonesia antara lain: biji besi, pasir besi, dan timah. Disamping itu, dengan ditemukannya nodul-mangan yang berserakan di dasar laut pada kedalaman meter, di daerah Pasifik dan Samudera Hindia, maka Indonesia pun berpotensi memiliki nodul-mangan tersebut. Nodul-mangan merupakan batu-batuan yang terdiri atas nikel, perak, cobalt, mangan, tembaga, seng dan besi. Beberpa tambang mineral telah ditemukan di beberapa daerah laut, misalnya di Sulawesi Selatan. Selain di daratan, ditemukan sumber daya mineral di Teluk Bone, yakni berupa endapan sedimen laut yang mengandung emas, tembaga, khromit, nikel dan magnesium sebagai hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Eksplorasi Kapal Baruna Jaya III (1992). Terdapat dua blok migas yang masuk kedalam kabupaten/kota di Sul-Sel yang berbatasan dengan Teluk Bone tersebut, yaitu : Blok Sengkang, meliputi : Kabupaten Wajo, Sidrap, Enrekang, Soppeng dan Bone; Blok Bone, meliputi : Kabupaten Luwu, Wajo, Bone, Sinjai dan Bulukumba; Hingga saat ini blok migas yang sdh dikelola adalah Blok Bone yang dieksplorasi oleh PT. Mitra Energi Ltd; dan Blok Sengkang sedang diproduksi oleh Energy Equity Epic Ltd. Selanjutnya Peta Blok Migas yang masuk kedalam wilayah kabupaten/kota di Sul-Sel yang berbatasan dengan Teluk Bone adalah sebagai berikut:

90 Sumber: Dinas Enerdi dan Sumber Daya Mineral di Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 5.10 Potensi Mineral di Provinsi Sulawesi Selatan Garam Laut Garam merupakan komoditi strategis baik untuk kepentingan konsumsi maupun industri. Sebelum tahun 2000 kebutuhan garam konsumsi dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, namun sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan industri kebutuhan garam meningkat secara signifikan sehingga produksi garam nasional dalam satu dekade terakhir ini tidak mampu dipenuhi produksi dalam negeri. Pada tahun 2010 produksi usaha garam rakyat hanya mencapai ton karena terjadinya anomali cuaca yang berimplikasi pada rendahnya produktifitas lahan garam dan produksi per hektar per musim. Ditinjau dari sisi kebutuhan, pada tahun 2011 diperkirakan kebutuhan garam konsumsi

91 sebanyak 1,4 juta ton, yang mencakup kebutuhan rumah tangga; industri aneka pangan; industri pengolahan dan pengawetan ikan. Kebutuhan garam untuk kegiatan industri, pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 1,8 juta ton yang mencakup kebutuhan industri Chlor Alkaline Plan (CAP) seperti pemurnian air, pengolahan air limbah, bubuk pemutih, pembuatan pulp kayu dan pembuatan lilin, dan industri Non Chlor Alkaline Plan (Non CAP) seperti penyamakan kulit, tekstile, dan sabun. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri, maka pasokan garam diperoleh dari produksi dalam negeri yang sebagian besar garam rakyat dan garam impor terutama dari Australia, India, Selandia Baru dan Jerman. Tabel 5.6 Lokasi Pengembangan Usaha Garam Nasional No. Total luas Total luas Total luas Kabupaten Kabupaten/ lahan (Ha) No. Kabupaten/kota lahan (Ha) No. lahan (Ha) /kota kota PUGAR Cirebon* Pamekasan* Kupang Indramayu* Sampang* Alor Brebes Sumenep* Sumba Timur Jepara Bangkalan Manggarai Demak Karangasem Kota Palu Rembang* Buleleng Jeneponto Pati* Bima Pangkep Tuban Sumbawa Takalar Lamongan Kota Bima Aceh Utara Pasuruan Lombok Timur Aceh Timur Kota Pasuruan Lombok Barat Karawang Gresik Nagekeo Lombok Tengah Probolinggo Ende Kota Surabaya Timor Tengah Utara 25 Total Target produksi garam nasional dalam mendukung swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 adalah sebesar ton. Dalam mewujudkan target dimaksud, secara bertahap pada tahun 2011 Ditjen KP3K melalui PUGAR memiliki target produksi garam sebesar ton melalui intensifikasi lahan seluas 9.117,07 hektar. Dalam pelaksanaan Program PUGAR tahun 2011 di 40 Kabupaten/Kota, jumlah penerima BLM sebanyak Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) yang terdiri dari petambak garam rakyat di 229 desa pada 85 kecamatan. Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Program PUGAR pada akhir Nopember 2011, luas lahan produksi PUGAR mencapai ha yang menghasilkan produksi sebanyak ton dengan produktifitas lahan sebesar 73,73 ton/ha yang meningkat dari rata-rata 55 ton/ha. Total produksi garam nasional yang

92 berasal dari PUGAR dan Non PUGAR di 40 Kab./Kota penerima mencapai ton dengan kualitas yang berbeda. Sumber Daya Energi Terbarukan Secara umum, potensi energi samudra sebagai energi kelautan terbarukan dan mineral laut yang dapat menghasilkan listrik dapat dibagi kedalam 3 jenis potensi energi fisik, yaitu energi pasang surut (tidal power), energi gelombang laut (wave energy) dan energy panas laut (ocean thermal energy). Energi pasang surut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan air laut akibat perbedaan pasang surut. Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Sedangkan energi panas laut memanfaatkan perbedaan temperatur air laut di permukaan dan di kedalaman. Meskipun pemanfaatan energi jenis ini di Indonesia masih memerlukan berbagai penelitian mendalam, tetapi secara sederhana dapat dilihat bahwa probabilitas menemukan dan memanfaatkan potensi energi gelombang laut dan energi panas laut lebih besar dari energi pasang surut. Gambar 5.11 Sebaran Energi Panas Laut Untuk wilayah Indonesia, energi yang mempunyai prospek baik adalah energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Selain itu, Indonesia adalah tempat pertemuan arus laut yang diakibatkan oleh konstanta pasang surut M2 yang dominan di Samudra Hindia dengan periode sekitar 12 jam dan konstanta pasang surut K1 yang dominan di Samudra Pasifik dengan periode lebih kurang 24 jam. M2 adalah konstanta pasang surut akibat gerak Bulan mengelilingi Bumi, sedangkan K1 adalah konstanta pasang surut yang diakibatkan oleh kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi.

93 Kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat menghasilkan daya sekitar MW. Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6-9 lintang selatan dan bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28 C dan didapatkan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8 C. Sedangkan perbedaan suhu rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20 C. Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia. Di Indonesia, potensi energi samudra sangat besar karena Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari pulau dan garis pantai sepanjang km dan terdiri dari laut dalam dan laut dangkal. Biaya investasi belum bisa diketahui di Indonesia tetapi berdasarkan uji coba di beberapa negara industri maju adalah berkisar 9 sen/kwh hingga 15 sen/kwh. Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kw, lokasi di Bali Utara. c) Pelayaran Industri Pelayaran di Indonesia sampai saat ini masih terpuruk, karena 95 persen pelayaran dikuasai oleh kapal berbendera asing. Permasalahan yang dihadapi dibidang industri pelayaran selama ini pada umumnya meliputi beberapa faktor antara lain tidak mampu mengembangkan armada akibat kurangnya modal, belum adanya dukungan perbankan karena usaha pelayaran belum digolongkan sebagai usaha yang layak mendapat kredit dari bank. Praktek pengoperasian kapal asing banyak merugikan pelayaran nasional karena pelayaran nasional tidak mampu bersaing menghadapi kapal asing, tidak saja di luar negeri tetapi juga di dalam negeri dan kemudahan perusahaan asing mencarter kapal nasional untuk mengangkut muatan antar pulau di bawah bendera perusahaan pelayaran nasional. Meskipun Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi oleh lautan namun belum menunjukan negara maritim yang tangguh. Hingga saat ini Indonesia masih belum menjadi negara maritim, meski sebagian besar wilayahnya adalah lautan (Hermawan, 20012). Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain adalah lemahnya investasi pada infrastruktur di bidang kelautan dan pelayaran. Sebanyak 75 persen kapal-kapal Indonesia yang belayar di perairan nusantara sudah berumur tua. Meski demikian, armada tersebut masih layak pakai dan tidak berbahaya untuk pelayaran (Hartoto, 2012). Selain itu, infrastruktur pelabuhan di Indonesia juga

94 belum mampu melayani kapal-kapal berteknologi terkini. Hartoto, (2012) mengatakan kapal-kapal berteknologi terkini membutuhkan pelabuhan dengan kedalaman tinggi, sedangkan pelabuhanpelabuhan di Indonesia rata-rata dangkal sehingga Indonesian National Shipowner Association (INSA) belum bisa digunakan kapal-kapal baru. Menurut laporan INSA bahwa selain kapal-kapal tua, pelabuhan yang tak layak, dan saat ini belum adanya Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG) untuk mendukung kegiatan angkutan eksport dan import nasional yang saat ini sebanyak 96 persen menggunakan angkutan laut dan 56 persen angkutan domestik kita masih dilayani oleh kapal-kapal berbendera Asing. Sebagai negara yang terdiri dari pupu-pulau yang dikelilingi laut, kondisi pelayaran khususnya armada laut nasional berada pada urutan ke-27 di dunia, kalah dari Cina (urutan ke-5), Hongkong (urutan ke -6), dan Negara kecil Singapura (urutan ke -9). Oleh sebab itu industri pelayaran nasional sangat perlu dikembangkan. Menurut catatan ISSA bahwa jumlah yang harus dikeluarkan untuk membayar armada asing dalam kegiatan pelyaran tersebut harus mengeluarkan devisa US$ 14 miliar per tahun. Sumber: Statistik Perhubungan, 2011 Gambar 5.12 Jumlah Armada Laut Menurut Kepemilikan Tahun d) Pariwisata Bahari Pembangunan pariwisata, potensi dan peranannya sebagai salah satu sektor penghasil devisa utama senantiasa terus ditingkatkan. Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat mempunyai efek berganda (multiplier effect) yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi negara, dan dapat mendorong konservasi lingkungan serta mendorong terwujudnya negara maritim yang tangguh. Menurut laporan Menteri

95 Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sampai dengan bulan Juli 2012 sumbangan sektor pariwisata secara langsung adalah empat persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan sembilan persen terhadap PDB jika dihitung dampak multiplier dan tidak langsungnya. Meskipun pulau-pulau yang berjumlah ribuan di Indonesia merupakan modal bagi pengembangan dunia pariwisata bahari di Indonesia, namun pemerintah belum serius untuk mengembangkannya, minimnya perhatian pemerintah tersebut terlihat dari tidak adanya dukungan perbankan, pembangunan infrastruktur maupun akses ke kawasan wisata terpencil serta promosi. Indonesia sebenarnya memiliki banyak wilayah yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari, namun karena tiadanya dukungan pemerintah maka kegiatan wisata bahari kawasan tersebut tidak berkembang dengan baik. Dengan kondisi tersebut, kontribusi wisata bahari terhadap dunia pariwisata di Indonesia secara umum masih sangat minim padahal di negara tetangga seperti Malaysia wisata bahari mampu menyumbang 60 persen terhadap sektor kepariwisataan karena dukungan pemerintah setempat yang maksimal. Pada tahun 2008 sumbangan sektor pariwisata Indonesia terhadap PDB yakni 4,70 persen, di tahun 2010 turun menjadi 4,06 persen. Sementara kontribusi sektor pariwisata Malaysia tahun 2008 adalah 12,3 persen dan di tahun 2010 sebesar 12,7 persen. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias. Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan swasta, diantaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar, berlayar, rekreasi pantai dan wisata pesiar. Pariwisata bahari dipercaya telah berkembang sangat pesat, dan bahkan lebih cepat dari pada pertumbuhan pariwisata di sektor lain (Miller, 1990). Pertumbuhan ini tidak hanya merefleksikan pertumbuhan peluang di rekreasional bahari, tetapi juga pertumbuhan secara general pada level ketertarikan terhadap apapun yang berhubungan dengan lingkungan bahari (Shackly, 1990). Sebuah penelitian di New Zealand menyebutkan bahwa labih dari 60% operator wisata bahari menjadi lebih sibuk dari pada 5 tahun yang lalu (McKegg, Probert, Baird, dan Bell, 1996). Di Bermuda lebih dari 40% public revenue berasal dari pariwisata bahari (Archer, 1989). Demikian juga dengan pantai-pantai di Amerika yang telah menjadi destinasi utama mengalahkan situs sejarah dan taman rekreasi. Objek wisata bahari lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Pada umumnya, Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya adalah pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu. Nusa Dua Bali dan pantai terjal berbatu di selatan Pulau Lombok. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat pemandian yang bersih dan

96 juga tempat untuk melakukan kegiatan berselancar air atau surfing. Terutama pada pantai yang landai, memiliki ombak yang besar dan berkesinambungan. Di samping itu pengalaman di berbagai negara maritim menunjukan bahwa pariwisata bahari dapat menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi, maka atas dasar itu Indonesia harus mampu mewujudkan daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada, antara lain di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean, Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Ampat. Indonesia mempunyai daerah-daerah unggulan wisata bahari yang terbentang dari Indonesia bagian timur sampai ke Indonesia bagian barat, seperti Raja Ampat di Irian Jaya Barat, di Takabonarate Sulawesi dan Togean di Sulawesi, Derawan di Kabupaten Berau Kalimantan, di Natuna, dan Indonesia timur misalnya di Alor, Pulau Komodo dan Flores. Sebagai negara maritim dengan 75% wilayahnya adalah laut yang terdiri dari ribuan pulau, diperkirakan sekitar buah di antaranya tidak berpenghuni (Prof. J. Rais, pers.com, April 2009). Indonesia berpotensi sebagai salah satu negara tujuan atau destinasi wisata bahari kelas dunia. Dengan banyaknya pulau yang sangat indah seharusnya dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Artinya, pulau-pulau tersebut ditetapakan sebagai pulau pariwisata bahari karena memiliki keindahan dan estetika laut yang unik. Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna serta tanaman laut yang tersebar di kepulauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang. Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) Tujuan pengelolaan BMKT selain mendukung upaya pelestarian dan pengkayaan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahari Indonesia adalah untuk meningkatkan pengelolaan potensi BMKT yang tersebar di berbagai wilayah perairan Indonesia diharapkan agar dapat memberikan manfaat yang optimal dan seimbang antara ekonomis dan non ekonomis. Pengelolaan BMKT yang meliputi ruang lingkup kegiatan survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT agar dapat dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan negara. Pemerintah membentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan kapal yang tenggelam (PANNAS BMKT) yang melibatkan instansi pemerintah terkait sesuai Keppres No. 19 tahun Sampai dengan tahun 2009, langkah yang telah ditempuh antara lain : Pendistribusian BMKT yang tidak terjual ke Museum Negeri Adityawarman, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, dan Badan Pelestarian Sejarah

97 dan Nilai Tradisional (BPSNT) Sumatera Barat untuk mendukung pengkayaan koleksi museum, pemeliharaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam lingkup pemanfaatan nonekonomis, disamping itu telah dilakukan pemilihan terhadap BMKT tertentu yang langka untuk kepentingan sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan sebagai koleksi negara. Penjualan BMKT untuk mengoptimalkan nilai ekonomisnya dilaksanakan dengan cara lelang oleh Kantor Lelang Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta berdasarkan rekomendasi penjualan/ lelang BMKT dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada tanggal 21 November Penerbitan rekomendasi survei sebanyak 11 buah dan rekomendasi pengangkatan sebanyak 2 buah. Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Konservasi merupakan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan suatu wilayah atau sumber daya ikan dan ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan keseimbangan sumber daya ikan dan ekosistemnya di dalam suatu kawasan tertentu. Upaya yang dilakukan adalah dengan menetapkan Kawasan Konservasi Perairan baik perairan laut, pesisir maupun perairan tawar dan payau. Sampai akhir tahun 2009 telah tercapai 13,529, ha, sebagaimana tersebut pada tabel 10 berikut: Tabel 5.7 Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di Indonesia No. Kawasan Konvervasi Jumlah Kawasan Luas (Ha) A Inisiasi Dephut 40 5,426, Taman Nasional Laut 7 4,045, Taman Wisata Alam Laut , Suaka Marga Satwa 7 339, Cagar Alam Laut 9 274,215 B Inisiasi Pemda dan DKP 36 20,270, Kawasan Konservasi Perairan Nasional 1 3,521, Kawasan Konservasi Laut Daerah 24 3,155, Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah 19 13,591, Daerah Perlindungan Laut/Mangrove 2 2, Suaka Perikanan 3 453

98 No. Kawasan Konvervasi Jumlah Kawasan Luas (Ha) Jumlah Total 89 Sumber : Diolah dari Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2009 Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu seluas 3,5 juta hektar dideklarasikan berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38 tahun 2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Perairan Laut Sawu mencakup (1) wilayah perairan Selat Sumba dan sekitarnya dan (2) Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya. Pencadangan kawasan seluas 3,5 juta hektar tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan ilmiah diantaranya, kawasan ini merupakan tempat migrasi 14 spesies dari 27 spesies Cetacean di dunia, termasuk paus jenis rare blue whale dan sperm whales, habitat hidup 4 spesies penyu, 336 spesies ikan, dan 500 spesies karang. e) Industri dan Jasa Maritim Industri galangan kapal Indonesia juga masih belum berkembang sedemikian rupa. Padahal peranan industri galangan kapal sangat besar karena mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang. Identifikasi akar masalah industri perkapalan, menunjukkan, pajak kapal terlalu besar dibandingkan negara tetangga terdekat seperti Singapura dan Malaysia. Dukungan perbankan terhadap pengembangan industri perkapalan pun masih sangat rendah, misalnya dikenakan suku bunga tinggi terhadap kredit investasi dan kredit modal kerja. Di tataran kebijakan pun sama saja, belum mampu mendorong industri galangan kapal berikut industri penunjangnya. Sektor lain terasa tak memberikan dukungan, padahal industri perkapalan merupakan bagian integral dari keseluruhan industri kelautan. Persoalan yang sama terjadi pada sistem pelabuhan di Indonesia, hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari Singapura atau lainnya. Sistem pelabuhan Indonesia masih tidak efisien, tidak aman, dan tidak produktif. Daya saing sumber daya manusia pelayarannya pun relatif rendah, baik itu pelaut maupun di industri pelayaran. Persoalan yang dihadapi sistem pelabuhan Indonesia, antara lain, kurang dari separuh pelabuhan di Indonesia yang sudah memperoleh sertifikat International Ship and Port Facilities Security (ISPS), port days kapal-kapal nasional masih terlalu tinggi, terdapat kegiatan yang tidak ada pelayanan tetapi dikenakan biaya, dan belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi pemerintah (regulator) dan fungsi pengusahaan (operator). Juga belum terjadi kompetisi antar terminal dan antar pelabuhan, lemahnya pengawasan, penegakan hukum belum efektif, serta belum tersedia terminal khusus karena rendahnya arus barang.

99 Tabel 5.8 Jumlah Pelabuhan Yang Dikelola PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I - IV Menurut Kelas Pelabuhan Tahun No. Uraian Satuan A PT. Pelabuhan Indonesia I Kelas Utama cabang Kelas I cabang Kelas II cabang Kelas III cabang Kelas IV cabang Kelas V cabang WILKER cabang B PT. Pelabuhan Indonesia II Kelas Utama cabang Kelas I cabang Kelas II cabang Kelas III cabang Kelas IV cabang Kelas V cabang WILKER cabang C PT. Pelabuhan Indonesia III Kelas Utama cabang Kelas I cabang Kelas II cabang Kelas III cabang Kelas IV cabang Kelas V cabang WILKER cabang D PT. Pelabuhan Indonesia IV Kelas Utama cabang Kelas I cabang Kelas II cabang Kelas III cabang Kelas IV cabang Kawasan dan UPK Pelabuhan WILKER cabang Jumlah Unit Sumbe: Statistik Perhubungan, 2011

100 Tabel 5.9 Jumlah Armada Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran Tahun (unit) No. Uraian Pelayaran (Angkutan Laut) 3,597 3,950 4,578 5,054 5, Pelayaran Rakyat 1,232 1,279 1,287 1,293 1, Perintis Non Pelayaran (AL Khusus) 1,547 1,872 2,244 2,759 2,759 Jumlah 6,428 7,154 8,165 9,164 9,164 Sumber: Statistik Perhubungan, 2011 Sebagai negara yang mayoritas adalah laut maka tidak heran jika ketersediaan komoditas perikanan tangkap begitu melimpah. Dengan demikian ketersediaan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan di Indonesia memberikan peran yang strategis terhadap produktivitas perikanan tangkap. Pelabuhan perikanan berbeda dengan pelabuhan transportasi umum. Dermaga pelabuhan transportasi berfungsi sebagai tempat keluar-masuk kapal-kapal berpenumpang manusia yang datang dan pergi berikut kendaraan dan barang bawaannya. Sedangkan dermaga pelabuhan perikanan merupakan tempat keluar-masuk kapal-kapal pengangkut ikan hasil tangkapan atau produk perikanan lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, maka pelabuhan perikanan di Indonesia terbagi menjadi empat (4) kategori utama, yaitu: a) PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) b) PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) c) PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) d) PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Keberadaan pelabuhan perikanan mempunyai peran yang vital bagi kinerja sektor perikanan Indonesia, terutama untuk produk perikanan tangkap. Wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas serta jumlah rumah tangga penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan yang cukup banyak membutuhkan jumlah layanan pelabuhan perikanan yang cukup banyak. Saat ini, jumlah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) hanya terdapat lima (5) unit, yaitu terdapat di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan dengan kondisi kewilayahan laut Indonesia maka keberadaan PPS masih terlalu sedikit untuk menopang kegiatan produksi perikanan tangkap. Padahal pelabuhan tersebut memiliki peran dalam meningkatkan kinerja eksport produk perikanan Indonesia yang akan menghasilkan devisa negara.

101 Tabel 5.10 Daftar Keberadaan Pelabuhan No. Jenis Pelabuhan Jumlah (unit) 1. Pelabuhan Perikanan Samudera 5 2. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Pantai Pengkalan Pendaratan Ikan 904 Jumlah 968 Sumber: KKP, 2006/Media Data, 2008 Sementara itu, pelabuahan kategori PPN saat ini hanya terdapat dua belas (12) unit pelabuhan perikanan nusantara. Kedua belas pelabuhan tersebut tersebar di beberapa wilayah, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Utara, Jawa Barat (2 unit), Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku (2 unit), dan di Provinsi Jawa Timur (2 unit). Sedangkan untuk Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Indonesia telah memiliki 47 unit pelabuhan perikanan pantai yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan pelabuhan dengan kategori pangkalan pendaratan ikan (PPI) memiliki 904 unit. Gambar 5.13 Peta Pelabuhan Perikanan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 27 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Kebutuhan untuk menggunakan I-O Regional dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal 39 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari Tabel Input-Output Kota Bontang Tahun 2010 klasifikasi 46 sektor yang diagregasikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian yang digunakan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitatif, yaitu penelitian yang sifatnya memberikan gambaran secara umum bahasan yang diteliti

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini mencakup perekonomian nasional dengan obyek yang diteliti adalah peranan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional dan perubahan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 19 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Konseptual Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membuka ruang bagi penyelenggara pemerintah Kota Bandung untuk berkreasi dalam meningkatan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar 2.1.1 Distribusi Input dan Output Produksi Proses produksi adalah suatu proses yang dilakukan oleh dunia usaha untuk mengubah input menjadi output. Dunia usaha

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai April 2010 di PPS Nizam Zachman Jakarta. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 18/MEN/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 18/MEN/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 18/MEN/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 7805851, Fax. 62 21 7810280 http://www.anri.go.id, e-mail: info@anri.go.id PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 7805851, Fax. 62 21 7810280 http://www.anri.go.id, e-mail: info@anri.go.id PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing Model Tabel Input-Output (I-O) Regional Tabel Input-Output (Tabel IO) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Menurut Sugiyono (2005:129) pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan nasional

Lebih terperinci

Analisis Input-Output (I-O)

Analisis Input-Output (I-O) Analisis Input-Output (I-O) Di Susun Oleh: 1. Wa Ode Mellyawanty (20100430042) 2. Opissen Yudisyus (20100430019) 3. Murdiono (20100430033) 4. Muhammad Samsul (20100430008) 5. Kurniawan Yuda (20100430004)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Sumber Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu

METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Sumber Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data Tabel Input-Output Propinsi Kalimantan Timur tahun 2009 klasifikasi lima puluh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.15/MEN/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 21 III KERANGKA PEMIKIRAN 31 Kerangka Operasional Berdasarkan perumusan masalah, pembangunan daerah Provinsi Riau masih menghadapi beberapa masalah Permasalahan itu berupa masih tingginya angka kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun 2005. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN KONTRIBUSI INVESTASI SWASTA TERHADAP PEMBENTUKAN MODAL TETAP BRUTO (PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN 2010 2014 Pendahuluan Dalam perhitungan PDRB terdapat 3 pendekatan, yaitu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur pada bulan Mei sampai dengan Juli 2004. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km 2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang terpadu merupakan segala bentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan non ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana. MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: SUMBER DAYA ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP I Prioritas: Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan A Fokus Prioritas:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN Pembangunan nasional tahun 2015-2017 menekankan kepada penguatan sektor domestik yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia, yaitu ketahanan pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Penelitian Terdahulu BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sejumlah peneltian terdahulu diambil untuk memperkuat penelitian ini dan sekaligus sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT PELATIHAN UNTUK STAF PENELITI Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT Oleh Dr. Uka Wikarya Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universtas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT)

M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) M-3 SEKTOR TERSIER DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA (ANALISA INPUT OUTPUT) Arif Rahman Hakim 1), Mita Adhisti 2), Rifki Khoirudin 3), Lestari Sukarniati 4), Suripto 5) 1,2,3,4,5) Prodi Ekonomi Pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci