PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG"

Transkripsi

1 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat) DIANA FITHRIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011 Diana Fithriah NIM. A

3 ABSTRACT DIANA FITHRIAH. Land Use Change and It s Effect on The Land Carrying Capacity for Spatial Planning (Case Study in Kota Bima Municipality, West Nusa Tenggara Province). Under direction of KHURSATUL MUNIBAH and WIDIATMAKA. In regional development, there are at least 3 aspects that affect each other: land cover/land use (LCLU), environmental carrying capacity, and socioeconomic factors, including population, economic activity development, and institutional. The aims of this study are: (1) to identify land capability, (2) to identify the change of LCLU in the Kota Bima Municipality, (3) to evaluate the suitability of land use with land capability, (4) to identify the status of the land carrying capacity based on productivity in 2005 and 2010, and (5) to set a space pattern based on environmental carrying capacity. The analytical method used are onscreen digitizing to identificate land cover/land use (LCLU). The analytical method used consisted of: operating attributes and processing thematic maps using ArcGIS 9.3, Location Quotient analysis, and regression analysis with binomial logit model. The result in land capability aspect, most areas in Kota Bima Municipality belong to Class IV (l, e), covering 28,5% of the municipality areas, and there is no Class I. During 2005 to 2010 there is a change of LCLU in Kota Bima Municipality, covering an area of hectares or 30,6% of the area of Kota Bima Municipality. Trends in change of LCLU that occurred was the forest to cropland and cropland into the settlements. Cultivated land area has increased significantly, effects on the increased value of production. This causes changes in the status of land carrying capacity based on productivity, which is in 2005 the status of land carrying capacity is deficit, but by 2010 the status of the land carrying capacity is surplus. However, increasing of land carrying capacity status is also followed by increasing of land use that is not suitable based on land capability. The suitabilty of land cover regarding to land capabilty show that in 2005 there is 3,7% areas categorized as not suitable, and in 2010 there is 7,4% area categorized as not suitable. Based on land capability, there is hectares or 74,8% of the area that can be used as cultivation land, hectares or 21,5% of the area can be used as forest, and hectares or 12,7% of the area should serve as a protected area. Keywords: land use change, land capability, land carrying capacity

4 RINGKASAN DIANA FITHRIAH. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan WIDIATMAKA. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Beberapa faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan akan dipengaruhi dan berpengaruh terhadap perubahan daya dukung lingkungan. Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat diketahui pusat-pusat terjadinya perubahan penggunaan lahan. Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Ada beberapa aspek terkait kondisi ini, misalnya aspek potensi lahan dan penggunaan lahan. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi kemampuan lahan Kota Bima; (2) Menganalisis perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun dan faktor fisik lahan yang mempengaruhinya; (3) Menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan Kota Bima; (4) Menganalisis daya dukung lahan Kota Bima pada tahun 2005 dan tahun Daya dukung lahan yang dimaksud adalah daya dukung lahan berbasis produktivitas, yaitu kemampuan lahan dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Metode perhitungan daya dukung mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009.; dan (5) Membuat arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan. Metode analisis yang digunakan terdiri atas: operasi atribut dan pengolahan peta-peta tematik menggunakan ArcGIS 9.3, analisis Location Quotient, dan analisis regresi dengan model binomial logit. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa di Kota Bima tidak terdapat lahan kelas I. Kelas kemampuan lahan terdiri atas 6 kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Selanjutnya masing-masing kelas kemampuan lahan tersebut dibagi lagi berdasarkan faktor penghambat sehingga menghasilkan 14 sub kelas kemampuan lahan. Luas yang terbesar adalah sub kelas IV (l, e), dengan luasan hektar atau 28,46% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di bagian utara, timur, dan tenggara Kota Bima.

5 Lahan yang mengalami perubahan penggunaan selama periode tahun adalah seluas hektar atau 30,6% dari luas wilayah Kota Bima, sementara yang tidak mengalami perubahan adalah seluas hektar atau 69,4% dari luas wilayah Kota Bima. Hutan primer yang pada tahun 2005 masih terdapat seluas 283 hektar, pada tahun 2010 telah hilang sama sekali beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering, padang rumput penggembalaan ternak, sawah dan semak belukar. Dari hasil analisis LQ, wilayah kecamatan yang menjadi pusat aktifitas perubahan penggunaan lahan adalah Kecamatan Mpunda dan Raba, yaitu yang memiliki nilai LQ>1. Dari kelima faktor fisik lahan yang dianalisis, yaitu (1) jenis tanah; (2) aksesibilitas; (3) penggunaan lahan pada tahun sebelumnya, yaitu penggunaan lahan tahun 2005; (4) kelas lereng; dan (5) kemampuan lahan, kelima faktor tersebut berpengaruh nyata sebagai penyebab perubahan penggunaan lahan. Pada tahun 2005, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan adalah sebesar 810 hektar (3,7%). Namun pada tahun 2010 luasan ini meningkat menjadi hektar (7,4%). Peningkatan luasan mencapai 100%. Secara spasial, penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan terletak di bagian timur wilayah Kota Bima, pada area yang memiliki kelas lereng >30%. Area ini sebelumnya merupakan hutan, namun pada tahun 2010 telah beralihfungsi menjadi pertanian lahan kering dan tanah terbuka/kosong. Mempertimbangkan lahan permukiman Kota Bima yang terletak di daerah hilir, maka kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Rusak atau berkurangnya daerah tangkapan air di kawasan hulu mulai dirasakan dampak buruknya, antara lain dengan kejadian banjir yang terjadi setiap tahun. Kecederungan perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah hutan menjadi lahan budidaya serta lahan budidaya menjadi permukiman. Luasan lahan budidaya mengalami peningkatan secara signifikan, yang berpengaruh pada meningkatnya nilai produksi. Hal ini menyebabkan berubahnya status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dimana pada tahun 2005 status daya dukung lahan adalah defisit, namun pada tahun 2010 status daya dukung lahan menjadi surplus. Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput, dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Berdasarkan kemampuan lahan, terdapat hektar atau 74,8% dari wilayah Kota Bima yang dapat dijadikan sebagai lahan budidaya berupa pertanian intensif, hektar (12,5%) sebagai hutan produksi, dan hektar (12,7%) yang perlu dipertahankan sebagai kawasan lindung.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN PENATAAN RUANG (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat) DIANA FITHRIAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.

9

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 sampai dengan Maret 2011 ini ialah perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap daya dukung lahan, dengan judul Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan Untuk Mendukung Perencanaan Penataan Ruang (Studi Kasus di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, rekan-rekan PWL angkatan 2009 atas segala kebersamaan selama pendidikan, dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang. Bogor, April 2011 Diana Fithriah

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bima pada tanggal 22 Agustus 1983 dari pasangan H. Sirajuddin H. Umar dan Hj. St. Maemunah. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di Bima, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknik Informatika Institut Sains dan Teknologi AKPIND Jogjakarta dan lulus tahun Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2009 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Penulis tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Sekretariat Pemerintah Daerah Kota Bima sejak tahun 2006 sampai saat ini.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR.... iii iv I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Penggunaan dan Penutupan Lahan Perubahan Pengggunaan Lahan Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis Evaluasi Lahan Kemampuan Lahan Daya Dukung Lingkungan III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Pengumpulan Data Analisis Data Perubahan Penggunaan Lahan Kemampuan Lahan Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas i

13 3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan Batasan Penelitian IV V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun Pusat-pusat Perubahan Penggunaan Lahan Karakteristik Fisik Lahan Kemiringan Lereng Jenis Tanah Bentuk Lahan Jenis Bahan Induk Tanah Kemampuan Lahan Kemampuan Lahan Tingkat Kelas Kemampuan Lahan Tingkat Sub Kelas Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas Penentuan Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 75 LAMPIRAN ii

14 DAFTAR TABEL 1. Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas Contoh perhitungan nilai produksi total Penggunaan lahan Kota Bima tahun Penggunaan lahan Kota Bima tahun Matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan Kota Bima periode tahun Kelas lereng dan relief Kota Bima Luas masing-masing jenis tanah Jenis bahan induk tanah Kota Bima Drainase tanah Kota Bima Tekstur tanah Kota Bima Kedalaman efektif tanah Kota Bima Erosi efektif tanah Kota Bima Kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas Kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas Matriks keputusan kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tingkat sub kelas Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan Perubahan status kesesuaian terhadap kemampuan lahan Daya dukung lahan berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan Nilai produksi per penggunaan lahan Peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan penggunaan lahan aktual.. 66 iii

15 DAFTAR GAMBAR 1. Bagan alir kerangka pemikiran Peta administrasi Kota Bima Bagan alir pengolahan data Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 17/ Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun Peta perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun Peta tingkat aktifitas perubahan penggunaan lahan per kecamatan di Kota Bima periode tahun Laju pertumbuhan penduduk Kota Bima per kecamatan periode tahun Contoh perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi lahan terbangun Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM Peta tanah Kota Bima Peta bentuk lahan Kota Bima Peta bahan induk tanah Kota Bima Peta drainase tanah Kota Bima Peta tekstur tanah Kota Bima Peta kedalaman efektif tanah Kota Bima Peta erosi tanah Kota Bima Peta kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas Peta kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas Peta kesesuaian penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 berbasis kemampuan lahan Peta kesesuaian penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 berbasis kemampuan lahan Peta arahan penggunaan lahan Kota Bima berbasis kemampuan lahan Peta kesesuaian arahan peruntukan penggunaan lahan dengan penggunaan lahan aktual iv

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bima terletak di tepi Teluk Bima yang sebagian besar area permukiman terletak di dataran rendah muara sungai Sori Dodu dan Sori Nae, yang secara alami merupakan daerah yang rawan banjir. Sejak tahun 2003, banjir terjadi setiap tahun dengan ketinggian air rata-rata hingga 25 cm dan area genangan yang meluas dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 terjadi banjir bandang yang merupakan banjir terbesar selama 15 tahun terakhir dan menggenangi hampir seluruh wilayah di tiga kecamatan di Kota Bima, yaitu Asakota, Rasanae Barat, dan Rasanae Timur. Tahun 2008 banjir kembali terjadi dan menggenangi 13 kelurahan 1). Banjir merupakan peristiwa yang alami pada daerah dataran banjir, karena dataran banjir terbentuk akibat dari peristiwa banjir. Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat dari sedimentasi (pengendapan) banjir (Wiradisastra at al. 2002). Faktor penyebab banjir dibedakan menjadi dua, yaitu penyebab alami dan penyebab yang tidak alami. Penyebab alami adalah lokasi, sementara penyebab tidak alami adalah perubahan penggunaan lahan (Suripin 2004). Kota Bima, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bima, terbentuk pada tanggal 10 April 2002 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima. Sebagai sebuah kota yang baru terbentuk, ada beberapa isu terkait perkembangan wilayah Kota Bima, yaitu (1) perkembangan wilayah, baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun aspek sosial budaya masyarakat, dan (2) pertumbuhan jumlah penduduk. Kota yang sedang berkembang pada umumnya berusaha untuk mengembangkan dirinya dari suatu keadaan dan sifat masyarakat tradisional dengan keadaan ekonomi terbelakang, menuju ke arah keadaan yang lebih baik. Dari sudut pandang ekonomi, pengembangan wilayah ditujukan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi perhatian terhadap pembangunan ekonomi saja tidak akan memberikan jaminan untuk suatu proses pembangunan yang stabil dan berkelanjutan apabila mengabaikan aspek lain seperti lingkungan (Dardak 2005). 1) Lombok Pos 15 September 2009

17 2 Pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pembangunan yang terpusat pada daerah perkotaan kemudian memacu perpindahan penduduk dari daerah sekitarnya sehingga berpengaruh terhadap jumlah dan penyebaran penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan aktifitas ekonomi, maka akibatnya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang dan/atau lahan untuk pengembangan permukiman serta kebutuhan lain, misalnya prasarana dan sarana. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini, maka terjadi perubahan penggunaan lahan, umumnya dari lahan pertanian kepada penggunaan non pertanian. Peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan yang terbatas akan berakibat terhadap menurunnya kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan, baik lahan, air, maupun udara (Aliati 2007). Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), pemerintah daerah kabupaten harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW Kabupaten), dan pemerintah daerah kota harus menyusun Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 17 Tahun 2009 (Permen LH 17/2009), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam Permen LH tersebut telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumberdaya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas sumberdaya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 pendekatan, yaitu (1) kemampuan lahan untuk alokasi

18 3 pemanfaatan ruang, (2) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan, dan (3) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Ketiga aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan penggunaan lahan, karena itu dengan sendirinya perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh pada daya dukung lingkungan. Perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dengan melihat penggunaan lahan yang terjadi dimasa lalu dan masa sekarang. Beberapa perubahan penggunaan lahan ini disebabkan oleh berbagai aspek yang saling berhubungan, antara lain peningkatan jumlah penduduk (aspek sosial), perkembangan ekonomi (aspek ekonomi), arah kebijakan penggunaan lahan (aspek kebijakan) dan ketersediaan aksesibilitas/jaringan jalan yang semuanya memerlukan ketersediaan lahan yang cukup (Winoto at al. 1996). Masalah ketersediaan lahan sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi luasan secara umum dan ketersediaan lahan untuk penggunaan tertentu. Dari segi luasan, ketersediaan lahan adalah tetap. Misalnya untuk suatu wilayah administrasi luasan lahan yang tersedia adalah sebatas luas wilayah administrasi tersebut, kecuali jika ada pemekaran atau pemisahan sub wilayah. Dari segi ketersediaan untuk penggunaan tertentu, ketersediaan lahan bersifat dinamis. Misalnya pada suatu wilayah administrasi, ketersediaan lahan untuk sawah adalah dinamis, karena dapat bertambah atau berkurang karena terjadi perubahan penggunaan lahan. Lahan sawah dapat bertambah jika lahan yang penutupan/penggunaan sebelumnya adalah semak/belukar atau rumput, misalnya, dikonversi menjadi sawah, sebaliknya luasan lahan berkurang jika lahan sawah aktual dikonversi menjadi permukiman. 1.2 Perumusan Masalah Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan

19 4 hidup. Ada beberapa aspek terkait kondisi ini, di antaranya aspek potensi lahan dan penggunaan lahan. Untuk lebih memahami kedua aspek tersebut, maka dibuat rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan Kota Bima dari tahun 2005 hingga 2010? 2. Bagaimana kemampuan lahan Kota Bima? 3. Bagaimana kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan Kota Bima? 4. Bagaimana daya dukung lahan pada tahun 2005 dan tahun 2010? 5. Bagaimana arahan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun Menganalisis kemampuan lahan. 3. Menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan. 4. Menganalisis daya dukung lahan yang berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan tahun Membuat arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahannya. 1.4 Manfaat Penelitian Informasi tentang dinamika penggunaan lahan, kemampuan lahan, dan daya dukung lahan berbasis produktivitas, dapat digunakan sebagai masukan dalam penataan dan penyusunan kebijakan pemanfaatan/penggunaan lahan bagi pemerintah daerah serta mengarahkan ke penggunaan lahan sesuai peruntukan.

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Bidang kajian perencanaan pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin keilmuan, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi, geofisik), ilmu sosial ekonomi (sosiologi, ekonomi), ilmu manajemen, hingga seni/estetika. Menurut Rustiadi at al. (2009), perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek politik, manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Proses kajian perencanaan dan pembangunan wilayah memerlukan pendekatanpendekatan yang mencakup: (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem sebagai alat (tools) untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah. Selanjutnya (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknikteknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan, dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Dengan demikian bidang kajian ini ingin menjawab tidak saja pertanyaan mengapa keadaan wilayah demikian adanya, tetapi juga menjawab bagaimana wilayah dibangun. Oleh karenanya akan mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat spasial (spatial planning), tataguna lahan (land use planning), hingga perencanaan kelembagaan (structural planning) dan proses perencanaan itu sendiri (Rustiadi at al. 2009). Adanya kesadaran kritis tentang semakin terbatasnya sumber daya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam konteks perencanaan dan pengembangan

21 6 wilayah, konsep ini dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi at al. 2009). 2.2 Penggunaan dan Penutupan Lahan Penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) mengandung aspek menyangkut aktifitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik (Rustiadi at al. 2009). Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; dan (2) penggunaan lahan nonpertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi, dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Dengan demikian, sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu, selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy). Menurut FAO (1976) dalam Arsyad (2010), penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land

22 7 use), adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi; dan (2) penggunaan lahan secara terperinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT), adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya: tanaman pangan tadah hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan ternak, banyak tenaga kerja, lahan kecil 2-5 hektar. 2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan suatu wilayah sifatnya tidak permanen. Suatu lahan memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dengan adanya kemampuan lahan yang dapat diterapkan untuk berbagai tujuan inilah suatu lahan tidak terbatas penggunaannya pada suatu tujuan tertentu saja. Bentuk penggunaan lahan dapat berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Perubahan pola pemanfaatan lahan ini akan memunculkan suatu fenomena dimana satu pemanfaatan lahan dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya. Misalnya pemanfaatan lahan yang pada awalnya sebagai lahan pertanian berubah sebagai lahan permukiman. Dalam hal ini dikatakan lahan pertanian dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya yaitu sebagai lahan permukiman. Bentuk penggunaan lahan terjadi dalam dua bentuk yaitu perubahan dengan perluasan atas suatu penggunaan tertentu dan perubahan tanpa perluasan untuk penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan pada suatu lokasi dapat terjadi dengan berubahnya penggunaan lahan tersebut dari suatu penggunaan tertentu ke penggunaan lainnya. Perluasan penggunaan lahan untuk tujuan tertentu sering terjadi di daerah pinggiran atau pedesaan dimana lahan masih tersedia dalam jumlah yang luas. Sedangkan perubahan tanpa perluasan wilayah sering disebut dengan pemadatan, dan terjadi pada wilayah perkotaan atau daerah-daerah tertentu dengan adanya faktor-faktor pembatas. Pemadatan terjadi atas suatu penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat

23 8 permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al. 1996). Informasi perubahan lahan pada suatu wilayah tertentu sangat penting artinya dalam perencanaan wilayah tersebut dimasa yang akan datang. Informasi penggunaan lahan dapat memberikan penjelasan pada pengguna tentang apa yang harus dilakukan terhadap lahan tersebut untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Disamping itu, angka kecepatan perubahan lahan pertanian kearah lahan pemukiman merupakan gambaran umum perbaikan taraf hidup dan kemampuan daya beli. 2.4 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Pendeteksian data penggunaan lahan dan perubahannya dengan metode penginderaan jauh berupa citra satelit sudah umum dilakukan oleh berbagai kalangan, karena berbagai manfaat yang dimilikinya antara lain: 1. Membantu mengumpulkan informasi dari daerah yang sulit dijangkau dan memungkinkan untuk meneliti daerah yang luas sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan (synoptic view), sehingga hubungan antarwilayah dapat dianalisis;

24 9 2. Memungkinkan dilakukan ulangan pengamatan (repetitive) dengan cermat, dimana rekaman mengenai obyek, area atau kejadian yang sama dapat diulang dengan hasil yang dapat diperbandingkan; 3. Mampu merekam informasi secara kontinyu dan real time dimana informasi tersebut dikirimkan ke stasiun pengolahan bumi menghasilkan data foto dan digital, sehingga memungkinkan dapat diolah secara statistik; 4. Mempunyai kemampuan melihat lebih baik dari pada mata manusia, karena dapat menangkap panjang gelombang tak tampak oleh mata; dan 5. Biaya operasional relatif murah (cost effective) dibandingkan dengan survei secara langsung ke lapangan. Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya, sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990). Oleh karena itu kegiatan mengindera obyek di permukaan bumi memerlukan peralatan seperti kamera, radiometer, skener (scanner) atau sensor lainnya yang diterima oleh suatu wahana pengangkut (platform). Salah satu aplikasi teknik penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penggunaan lahan adalah data penginderaan jauh dari satelit Geoeye. Geoeye merupakan satelit dari Amerika Serikat yang menyediakan citra multispektral (MS) dan pankromatik (PAN) secara komersil. Salah satu produknya adalah citra Ikonos yang memiliki resolusi 1 4 meter. Dengan resolusi yang dikategorikan tinggi, penggunaan citra Ikonos dapat dilakukan untuk pengenalan obyek atau pemetaan yang sangat detail. Pada tanggal 8 September 2008, diluncurkan satelit Geoeye-1 yang diorientasikan sebagai satelit sumber daya alam dengan ketinggian 478 mil (700 km). Satelit ini mampu menyajikan resolusi spasial terbaik untuk saat ini, yaitu 0,41 m. Kemampuan yang sejenis juga telah dirancang untuk satelit OrbView-4. Resolusi spasial 0,41 m itu lebih baik dibanding dengan satelit yang telah masuk di pasaran citra dunia, yaitu QuickBirds (0,64 m), yang citranya telah banyak digunakan di Indonesia. Citra

25 10 Geoeye-1 memiliki 3 jenis resolusi temporal, yaitu tinggi (<24 jam - 3 hari), sedang (4-16 hari), dan rendah (>16 hari). Demikian juga resolusi spektralnya ada 3 jenis, yaitu tinggi (220 band), sedang (3-15 band), dan rendah (3 band) 2). 2.5 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005), Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya, yaitu: 1. Data input: komponen ini bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain, atau dari bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG. 2. Data manajemen: Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun nonspasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, updating dan editing. 3. Data manipulasi dan analisis: Komponen ini melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. 4. Data output: Komponen ini berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahanbahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik, dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat dibaca oleh komputer. Menurut Barus dan Wiradisatra (2000) aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti pengelolaan dalam penggunaan 2)

26 11 lahan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan; dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan, seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru; dan dalam bidang logistik dan transportasi, untuk pergerakan subyek/obyek (makanan dan minuman) dikaitkan dengan infrastruktur dan rutenya. Dalam bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis, dan analisis kesenjangan. Seperti juga penginderaan jauh yang telah diaplikasikan oleh berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain: kewenangan di bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, kesehatan, perpajakan, infrastuktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi), informasi kependudukan, pengelolaan darurat, dan pemantauan lingkungan. 2.6 Evaluasi Lahan Lahan didefinisikan sebagai kesatuan sumber daya daratan yang merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural, yaitu karakteristik lahan, dan komponen fungsional, yaitu kualitas lahan (Worosuprodjo 2005). Sifat dan karakteristik yang berbeda pada lahan akan ditentukan oleh interaksi komponen sumber daya yang ada pada suatu lahan sehingga lahan yang satu dengan yang lain akan berbeda, baik dalam segi ruang dan waktu (Notohadiprawiro 1991). Oleh karena itu, lahan sebenarnya memiliki sifat yang dinamis yang akan selalu berkaitan dengan kepentingan dan keperluan manusia seiring dengan perubahan aktifitas manusia seperti perubahan sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Cara pandang akan lahan antara satu lokasi dengan lokasi lain tentu berbeda, terutama dalam peruntukan lahan, walaupun mungkin lahan memiliki karakteristik yang sama. Hal ini disebabkan oleh komponen pendamping dari lahan berbeda sehingga interaksinya pun berbeda (Notohadiprawiro 1992). Ruang lingkup sumber daya lahan meliputi segala kondisi, sifat, prosesproses karakteristik dan fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi

27 12 kebutuhan manusia (Worosuprodjo 2005). Kondisi sumber daya lahan yang berbeda akan menentukan potensi lahan itu sendiri sehingga akan berpengaruh terhadap pemanfaatan/penggunaan lahan. Keberagaman sumber daya lahan akan sangat kompleks dalam susunan ruang dan waktu sehingga sumber daya lahan akan selalu bersifat dinamis. Untuk itu, evaluasi lahan sangat diperlukan agar sumber daya lahan dapat di inventarisasi sehingga potensi sumber daya lahan dapat diketahui dan dimanfaatkan sesuai porsinya. Evaluasi lahan dapat diartikan sebagai upaya menilai sumber daya lahan untuk penggunaan atau tujuan tertentu untuk memberikan masukan berupa arahan dalam perencanaan penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Sitorus (1985) menjelaskan bahwa dalam evaluasi lahan ada tiga aspek utama yang dibutuhkan yaitu lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Evaluasi lahan dilakukan pada kondisi sekarang yang memungkinkan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada lahan dan bisa dimanfaatkan untuk perencanaan penggunaan lahan kedepan (FAO 1976 dalam Worosuprodjo 2005). Cara-cara dalam evaluasi lahan dibagi menjadi dua, yaitu cara langsung dan tidak langsung (Sitorus 1985). Cara langsung dilakukan dengan melihat kenampakan di lapangan, namun hal ini akan terkendala dengan data. Data yang tidak lengkap menyebabkan evaluasi secara langsung sukar dilakukan sehingga cara langsung ini sudah banyak ditinggalkan. Cara tidak langsung dinilai memiliki keunggulan baik dari segi biaya maupun waktu, karena dalam cara ini digunakan suatu pembatas yaitu satuan pemetaan tanah dengan asumsi bahwa pada satu karakteristik akan menghasilkan produk yang sama ketika lahan digunakan untuk kepentingan tertentu. Penilaian lahan dapat dilakukan menggunakan tiga kriteria, yaitu kemampuan lahan, kesesuaian, dan nilai lahan (Sitorus 1985). 2.7 Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Lahan diklasifikasikan kedalam delapan kelas, yang ditandai

28 13 dengan huruf Romawi I sampai dengan VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang cocok untuk penggunaan pertanian dan 2 kelas terakhir (kelas VII dan kelas VIII) merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Kelas III sampai dengan kelas VI dapat dipertimbangkan untuk berbagai pemanfaatan lainnya. Meskipun demikian, lahan kelas III dan kelas IV masih dapat digunakan untuk pertanian. Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan kedalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, berarti risiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Selanjutnya kemampuan lahan dalam tingkat sub kelas adalah pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor penghambat yang sama. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, yaitu: bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), dan iklim (c). Sub kelas erosi (e) terdapat pada lahan dimana erosi merupakan problema utama. Kepekaan erosi dan erosi yang telah terjadi merupakan petunjuk untuk penempatan dalam sub kelas ini. Sub kelas kelebihan air (w) terdapat pada lahan dimana kelebihan air merupakan faktor penghambat utama. Drainase yang buruk, air tanah yang dangkal, dan bahaya banjir merupakan faktor-faktor yang digunakan untuk penentuan sub kelas ini. Sub kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (s) meliputi lahan yang dangkal, banyak batu-batuan, daya memegang air yang rendah, kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, serta garam dan Na yang tinggi. Sub kelas iklim (c) terdiri dari lahan dimana iklim (suhu dan curah hujan) merupakan penghambat utama. Jenis-jenis faktor penghambat ini ditulis di belakang angka kelas seperti berikut: IIIe, IIw, IVs, dan sebagainya, yang masing-masing menyatakan lahan kelas III yang disebabkan oleh faktor erosi (e), lahan kelas II yang disebabkan oleh faktor air (w) dan lahan kelas IV yang disebabkan oleh terhambatnya perakaran tanaman (s). Untuk penyederhanaannya, dalam penentuan kemampuan lahan pada tingkat kelas, karakteristik yang paling berpengaruh signifikan adalah relief.

29 14 Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Sifat-sifat tanah yang umumnya berhubungan dengan relief adalah (Hardjowigeno 1993): 1. tebal solum; 2. tebal dan kandungan bahan organik horison A; 3. kandungan air tanah (relative wetness); 4. warna tanah; 5. tingkat perkembangan horison; 6. reaksi tanah (ph); 7. kandungan garam mudah larut; 8. jenis dan tingkat perkembangan padas; 9. suhu; dan 10. sifat dari bahan induk tanah (initial material). 2.8 Daya Dukung Lingkungan Salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu ekosistem adalah ecological footprint (tapak ekologi). Ecological footprint mengukur perminaan penduduk atas alam dalam satuan metrik, yaitu area global biokapasitas. Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam disertasi yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun Saat ini, pendekatan tersebut menjadi satu referensi yang paling penting untuk analisis keberlanjutan global (Rees dan Wackernagel 1996 dalam Rustiadi at al. 2010). Dengan mengemukakan mengenai bagaimana mengurangi dampak penduduk terhadap alam, konsep ecological footprint menjadi isu dunia yang penting, setidaknya dalam dua cara pandang (McDonald dan Patterson 2003 dalam Rustiadi at al. 2010). Pertama, ecological footprint mengukur total biaya ekologis (dalam area lahan) dari suplai seluruh barang dan jasa kepada penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk tidak hanya secara langsung memerlukan lahan untuk produksi pertanian, jalan, bangunan dan lainnya, akan tetapi secara tidak langsung lahan pun turut mewujudkan barang dan jasa yang dikonsumsi

30 15 penduduk. Dalam cara pandang ini, ecological footprint dapat digunakan untuk membuat nyata biaya ekologis dari aktifitas penduduk. Kedua, ecological footprint sebagai indikator keberlanjutan, yaitu carrying capacity. Carrying capacity dalam ekologi adalah jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh area lahan tertentu. Konsep ini merujuk untuk semua anggota ekosistem. Menjadi sangat menarik apabila populasi di sini adalah populasi manusia atau penduduk. Ecological footprint menghitung semua aktivitas manusia, baik yang menghasilkan barang produktif maupun limbah. Jika dipadankan dengan sektorsektor ekonomi, ecological footprint adalah semua bentuk pemanfaatan materi, informasi dan energi di alam. Oleh karena itu, ecological footprint harus dapat dikonversikan pada nilai yang setara dengan area bioproduktif yang bersesuaian dengannya. Dengan demikian, ecological footprint diekspresikan dalam satuan yang sama dengan biokapasitas, yaitu global hektar (gha). Atas dasar itu pula, ecological footprint merupakan apa yang diminta manusia untuk mendukung kehidupannya. Hasil dari permintaan itu adalah penggunaan barang, jasa, dan limbah yang terbuang di alam (Lenzen dan Murray 2003). Di sinilah konsep ecological footprint mendapatkan titik temunya dengan konsep daya dukung lingkungan (Rustiadi at al. 2010). Ecological footprint digunakan salah satunya untuk menghitung daya dukung lingkungan. Konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity) dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep kepadatan penduduk (population density). Kepadatan penduduk menunjukkan hubungan kuantitatif antara jumlah penduduk dan unit luas lahan. Untuk suatu daerah agraris, yang penting adalah kepadatan penduduk agraris yang menunjukkan jumlah penduduk yang tergantung hidupnya pada pertanian (jumlah petani dan keluarganya) per luas lahan pertanian. Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingakt kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Dengan demikian, kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumber daya oleh suatu organisme. Dihubungkan dengan jumlah manusia (penduduk) yang mampu didukung

31 16 (ditampung) oleh lingkungan hidup di suatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia. Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah (Ranganathan dan Daily 2003 dalam Rustiadi at al. 2010), yaitu: 1. Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumber daya yang dikonsumsi; 2. Perubahan yang cepat dalam hal pola konsumsi sumber daya; dan 3. Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya. Di Indonesia, secara legal konsep daya dukung sudah diperkenalkan dalam Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini membedakan konsep daya dukung lingkungan atas daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial, dimana pengertian dari masingmasing konsep tersebut adalah sebagai berikut. 1. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumbernya untuk menunjang perikehidupan manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan. 2. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk. 3. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib, dan aman.

32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3 (tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung lingkungan fisik. Interaksi antara ketiga aspek ini selanjutnya akan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Beberapa faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah faktor biofisik wilayah, faktor sosial ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan akan dipengaruhi dan berpengaruh terhadap perubahan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi salah satu pertimbangan terpenting dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang. Pengintegrasian pertimbangan daya dukung lingkungan hidup diperlukan dalam penataan ruang agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan kapasitas sumber daya wilayah. dengan demikian, lahan yang misalnya cocok untuk pertanian tetap dipertahankan untuk berlangsungnya kegiatan pertanian, sehingga ketahanan pangan dapat dijaga dan kerusakan tanah akibat pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dicegah. Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan dengan daya dukung lingkungan hidup.

33 18 Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan mengenai daya dukung lingkungan dibatasi pada aspek kelas kemampuan lahan dan daya dukung lahan berbasis produktivitas, yaitu kemampuan lahan dalam hal penyediaan kebutuhan pangan masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan daya dukung lahan di Kota Bima. Pembangunan dan pengembangan wilayah Pertambahan jumlah penduduk Perkembangan aktifitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur Penggunaan lahan aktual Peningkatan kebutuhan terhadap lahan Alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya Penggunaan lahan sesuai daya dukung? Perubahan daya dukung lingkungan Perubahan penggunaan lahan Ya Tidak Arahan penetapan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan Penurunan kualitas lingkungan, bisa terjadi bencana alam Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Kota Bima, yang merupakan kota hasil pemekaran wilayah Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri atas 5 kecamatan dan 38 kelurahan. Kota Bima memiliki luas wilayah hektar (BPS 2006) atau hektar (hasil perhitungan dari peta administrasi Bakosurtanal 2009). Luas yang dipakai dalam pengolahan data dalam penelitian ini adalah angka hasil analisis spasial tersebut. Secara geografis Kota Bima

34 19 terletak pada Bujur Timur dan Lintang Selatan. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk Kota Bima berjumlah jiwa, terdiri atas jiwa laki laki atau 49,03% dan jiwa perempuan atau 50,97% dari jumlah penduduk (BPS 2011). Peta administrasi Kota Bima disajikan dalam Gambar 2. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama delapan bulan, yang dimulai bulan Juli tahun 2010 hingga bulan Februari tahun Gambar 2 Peta administrasi Kota Bima 3.3 Bahan dan Alat Bahan penelitian terdiri atas citra Geoeye-1 Kota Bima tahun 2010, citra ASTER GDEM, peta tanah, peta lereng, dan peta landform. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software Google Earth, Global Mapper 11, ArcGIS 9.3, Statistica 8.0, Microsoft Word, dan Microsoft Excell. Peralatan penunjang lainnya adalah alat tulis dan kamera.

35 Pengumpulan Data Data yang digunakan terdiri dari data primer berupa hasil pengecekan lapang untuk memverifikasi hasil interpretasi penutupan lahan dari citra Geoeye-1 dan data harga beberapa komoditas pada tingkat produsen; serta data sekunder berupa peta-peta tematik, data kependudukan, dan data produksi. Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu, maupun dari beberapa instansi terkait, baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat, atau instansi/lembaga independen lainnya. Gambaran mengenai kondisi fisik wilayah, khususnya mengenai penggunaan lahan aktual, diperoleh dari hasil survei/cek di lapangan. Pada data yang terkait dengan aspek spasial, standarisasi mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari setiap tahapan penelitian disajikan dalam Tabel Analisis Data Analisis data meliputi: (1) analisis perubahan penggunaan lahan, (2) analisis kemampuan lahan, (3) evaluasi kesesuaian penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan, (4) analisis status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dan (5) penyusunan arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan. Bagan alir pengolahan data disajikan pada Gambar 3.

36 Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 Citra Geoeye Tahun 2010 Interpretasi citra Peta tanah, peta kelas lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan Kota Bima Dalam Angka (Tahun 2005 dan 2010) Overlay Peta Perubahan Penggunaan Lahan Pengecekan Lapang Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 Peta Kemampuan Lahan Tingkat Sub kelas Data Produksi semua komoditas hasil pertanian (Tahun 2005 dan 2010) Ketersediaan Lahan (Tahun 2005 dan 2010) Jumlah Penduduk, kebutuhan lahan per orang (Tahun 2005 dan 2010) Kebutuhan Lahan (Tahun 2005 dan 2010) Tahap 4 Overlay Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010 dengan Kemampuan Lahan Status Daya Dukung Lahan berbasis produktivitas (Tahun 2005 dan 2010) Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif Tahap 5 Arahan penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan Gambar 3 Bagan alir pengolahan data

37 22 Tabel 1 Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil 1 Menganalisis penutupan/ penggunaan lahan tahun 2010 Interpretasi citra menggunakan 9 kunci interpretasi Data yang dibutuhkan: Citra Satelit Geoeye-1 imagery date 30 April 2010 Peta penggunaan lahan tahun 2010 Sumber data: Open source Google Earth 2 Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun Analisis SIG: Overlay peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Analisis LQ Analisis deskriptif Data yang dibutuhkan: Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Peta administrasi Sumber data : BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya Mengetahui dinamika dan pusat-pusat aktifitas perubahan penggunaan lahan selama periode tahun Menganalisis kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas Analisis SIG: Operasi overlay berbagai peta tematik Analisis kualitatif mengacu pada kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub-kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Data yang dibutuhkan: Peta tanah, peta kelas lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM Sumber data : Puslittanak Diunduh dari Mengetahui kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas

38 23 Lanjutan Tabel 1 No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil 4 Mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahan Analisis SIG: Operasi overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan Data yang dibutuhkan: Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Peta kemampuan lahan Peta kesesuaian penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 dengan kemampuan lahan Sumber data: BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya 5 Menentukan status daya dukung lahan pada tahun 2005 dan 2010 Perbandingan antara total ketersediaan lahan dan total kebutuhan lahan (Supply Side vs Demand Side) Metode penghitungan merujuk pada Permen LH 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah Data yang dibutuhkan: Jumlah penduduk Produksi padi/beras Produksi non padi Harga satuan beras Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen Sumber data: BPS dan BAPPEDA Kota Bima Status daya dukung lahan berbasis produktivitas

39 24 Lanjutan Tabel 1 No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil 6 Membuat peta arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya (Arsyad 2010) Hasil tahapan analisis sebelumnya Peta arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan

40 3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan Peta penggunaan lahan tahun 2005 skala 1 : diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima. Sementara peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este dan Simonett (1975), interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan, misalnya dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data secara global, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Deteksi merupakan penentuan ada tidaknya suatu obyek, misalnya obyek berupa hutan. Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop. Dalam kegiatan interpretasi citra, ada tujuh karakteristik dasar yang menjadi pertimbangan (Lillesand dan Kiefer 1990), yaitu: 1. Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian khas sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya berdasarkan kriteria ini. 2. Ukuran, adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi, dan volume. Ukuran obyek pada citra adalah berupa skala. Contohnya: lapangan olah raga sepak bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar m. 3. Pola, adalah hubungan susunan spasial obyek. Pola dapat digunakan untuk membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya pola aliran sungai yang berkelok-kelok berbeda dengan pola jalan raya yang umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur. 4. Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari

41 26 beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas. 5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto. 6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan kasar, sedang dan halus. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona. 7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam, atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran rendah. Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto (1992) menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang). Munibah (2008) menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi. Menurut Sutanto (1992), pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari (a) menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda; (b) ditarik garis batas/deliniasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama; (c) setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya; (d) obyek yang sudah dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; (e) digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara; (f) dilakukan pengecekan medan (lapangan) untuk verifikasi; dan (g) interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan keruangan (obyek) untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.

42 27 Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan ArcGIS 9.3. Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ (Location Quotient) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sebagai contoh adalah pemusatan aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan aktifitas di level kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian seterusnya. Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi basis. Dalam perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai dari unit administrasi terkecil (kecamatan) untuk setiap wilayah kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten (Rustiadi et al. 2009). Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah: Dimana: X IJ LQ IJ X X IJ. J / / X X : luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i X I. : total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima X.J X.. : luas kecamatan ke-i : total luas wilayah Kota Bima I... (1) Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: - Jika nilai LQ ij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan. - Jika nilai LQ ij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.

43 28 - Jika nilai LQ ij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan, jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi. Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003). Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1: yang bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). Atribut peta mencakup jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian (altitude). Peta ini kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman adalah: (1) konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; (2) meng-overlay peta tanah dengan DEM hillshade; dan (3) mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan landform yang serupa. Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik.

44 29 Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas No. Faktor Kelas Kemampuan I II III IV V VI VII VIII 1. Tekstur tanah (t) a. lapisan atas (40 cm) b. lapisan bawah t2/t3 t2/t4 t1/t4 t1/t4 t1/t4 t1/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 2. Lereng permukaan l0 l1 l2 l3 (*) l4 l5 l6 (%) 3. Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (**) (*) (*) (*) 4. Kedalaman efektif k0 k0 k1 k2 (*) k3 (*) (*) 5. Keadaan erosi e0 e1 e1 e2 (*) e3 e4 (*) 6. Kerikil/batuan b0 b0 b0 b1 b2 (*) (*) b3 7. Banjir o0 o1 o2 o3 o4 (*) (*) (*) (*) = dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah (**) = permukaan tanah selalu tergenang air. Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai berikut (Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). a. Tekstur tanah (t) berikut: Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai - t 1 (halus: liat berdebu, liat) - t 2 (agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir) - t 3 (sedang: debu, lempung berdebu, lempung) - t 4 (agak kasar: lempung berpasir) - t 5 (kasar: pasir berlempung, pasir) b. Lereng permukaan (l) Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: - l 0 (0-3%: datar) - l 1 (3-8%: landai/berombak) - l 2 (8-15%: agak miring/bergelombang) - l 3 (15-30%: miring/berbukit) - l 4 (30-45%: agak curam)

45 30 - l 5 (45-65%: curam) - l 6 (>65%: sangat curam) c. Drainase tanah (d) Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut: - d 0 (baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat bercak-bercak. - d 1 (agak baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah. - d 2 (agak buruk): lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-bercak terdapat pada seluruh lapisan bawah. - d 3 (buruk): bagian atau lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan. - d 4 (sangat buruk): seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan kekuningan. d. Kedalaman efektif (k) Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut: - k 0 (dalam: >90 cm) - k 1 (sedang: cm) - k 2 (dangkal: cm) - k 3 (sangat dangkal: <25 cm) e. Keadaan erosi (e) Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut: - e 0 (tidak ada erosi) - e 1 (ringan: <25% lapisan atas hilang) - e 2 (sedang: 25-75% lapisan atas hilang) - e 3 (berat: >75% lapisan atas hilang, <25% lapisan bawah hilang) - e 4 (sangat berat: >75% lapisan atas hilang, >25% lapisan bawah hilang)

46 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan Untuk memperoleh peta kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, peta kemampuan lahan tingkat sub kelas di-overlay dengan peta penggunaan lahan tahun 2005 dan Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Total Produksi aktual seluruh komoditas setempat Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 17/2009 Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Lahan Rumus: Ketersediaan Lahan Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas Kebutuhan Lahan Populasi Penduduk Kebutuhan lahan per orang yang diasumsikan dengan luas lahan untuk menghasilkan 1 ton setara beras/tahun (2) Dimana: SL = Ketersediaan lahan (ha) P i = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan ton). Komoditas yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

47 32 H i = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/kg) di tingkat produsen. Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen. Ptvb = Produktivitas beras (ton/ha). Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah harga. b. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Lahan Rumus:.(3) Dimana: D L = Total kebutuhan lahan setara beras (ha) N = Jumlah penduduk (orang) KHL L = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk: a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktivitas beras lokal. b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun. c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal, dapat menggunaan data rata-rata produktivitas beras nasional sebesar 2400 kg/ha/tahun atau 2,4 ton/ha/tahun. c. Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL). Bila SL>DL, daya dukung lahan dinyatakan surplus. Bila SL<DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit. Sumber: Permen LH 17/2009 Terkait standar kebutuhan hidup layak dalam penghitungan kebutuhan lahan, di dalam Permen LH 17/2009 tidak didefinisikan kebutuhan layak yang dimaksud.

48 33 Tabel 3 Contoh perhitungan nilai produksi total No. Komoditas Produksi (Pi) Harga Satuan (Hi) Nilai Produksi (Pi Hi) 1. Padi dan palawija, antara.. lain: padi, jagung, dan seterusnya. 2. Buah-buahan, antara lain:.. mangga, jeruk, dan seterusnya. 3. Sayur mayur, antara lain:.. bawang merah, bawang putih, dan seterusnya. 4. Tanaman obat-obatan, antara.. lain: jahe, lengkuas, dan seterusnya. 5. Produksi daging, antara lain:.. sapi, kambing, dan seterusnya. 6. Produksi telur, antara lain:.. ayam kampung dan ras. 7. Perikanan Perkebunan, antara lain:.. kelapa, kopi, dan seterusnya. 9. Kehutanan :.. kayu dan non kayu TOTAL Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan Arahan penggunaan lahan ini hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan agar dapat berproduksi secara lestari (Worosuprodjo 2005). Analisis kemampuan lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan lahan yang optimal yang tujuannya harus berkesinambungan dan berkelanjutan. Lahan diklasifikasikan menggunakan faktor penghambat, sehingga dengan mengetahui faktor penghambatnya maka potensi yang menghambat pemanfaatan dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki pengelolaan yang sudah ada sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat (Notohadiprawiro 1991).

49 Hambatan/ancaman meningkat, Kesesuaian dan pilihan penggunaan berkurang Cagar alam/ Hutan lindung Hutan Produksi Terbatas Penggembalaan Terbatas Penggembalaan Sedang Penggembalaan Intensif Garapan Terbatas Garapan Sedang Garapan Intensif Garapan Intensif 34 Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput, dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat Kelas kemampuan lahan I II III IV V VI VII VIII Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan Sumber: Arsyad Batasan Penelitian Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis daya dukung lingkungan hanya dilakukan terhadap aspek lahan, mencakup analisis kemampuan lahan dan neraca lahan berbasis produk

50 35 biohayati, yaitu perbandingan ketersediaan lahan untuk menghasilkan produk hayati (bioproduct) dengan kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk. 2. Hutan tidak dihitung sebagai lahan produktif, karena dalam hal Kota Bima tidak terdapat data produksi hasil hutan. 3. Arahan penggunaan lahan hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa dalam perencanaan penataan ruang secara garis besar alokasi ruang dibagi dalam dua jenis, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk deliniasi kawasan lindung, kriteria evaluasi lahan yang paling sesuai untuk digunakan adalah kemampuan lahan.

51 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penggunaan Lahan dan Dinamika Perubahannya Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010 Berdasarkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 skala 1: yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima, terdapat sebelas kelas penggunaan lahan di Kota Bima, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Air 63 0,3 Hutan Mangrove Sekunder 6 0,02 Hutan Primer 283 1,3 Hutan Sekunder ,9 Permukiman ,6 Pertanian Lahan Kering ,1 Rumput (Savanna) 56 0,3 Sawah 834 3,8 Semak/Belukar ,2 Tambak 105 0,5 Tanah Terbuka/Kosong 3 0,01 Jumlah ,0 Penggunaan lahan yang dominan adalah hutan sekunder, mencakup hektar atau 48,9%, sebagian besar terletak di Kecamatan Asakota dan Rasanae Timur, dimana kedua kecamatan ini memiliki topografi yang umumnya miring berbukit hingga curam. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah tanah terbuka, yaitu hanya 3 hektar atau 0,01% luas wilayah. Secara keruangan, lahan permukiman umumnya berada di tengah kota. Pertanian lahan kering mendominasi bagian selatan Kota Bima. Pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk keperluan budidaya adalah seluas hektar atau 36,7% dari total wilayah Kota Bima. Lahan budidaya mencakup pertanian lahan kering, padang rumput untuk penggembalaan, sawah, dan tambak. Penggunaan lahan untuk permukiman adalah seluas hektar atau 5,6% dari total wilayah Kota Bima. Permukiman terpusat pada lahan yang memiliki relief datar.

52 38 Gambar 6 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 Peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari hasil interpretasi citra Geoeye-1 resolusi 0,41 meter imagery date 30 April 2010 pada Google Earth. Jenis penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 disajikan sebagai berikut. Tabel 5 Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2010 Luas Persentase Penggunaan Lahan (ha) (%) Air 63 0,3 Hutan Mangrove Sekunder 16 0,07 Hutan Sekunder ,3 Permukiman ,7 Pertanian Lahan Kering ,8 Rumput (Savanna) 11 0,1 Sawah ,9 Semak/Belukar ,6 Tambak 94 0,4 Tanah Terbuka/Kosong 191 0,8 Jumlah

53 39 Pada tahun 2010 tinggal tersisa 10 kelas penggunaan lahan, yaitu air, hutan mangrove sekunder, hutan sekunder, permukiman, pertanian lahan kering, rumput (padang penggembalaan), sawah, semak/belukar, tambak, dan tanah terbuka/kosong. Pertanian lahan kering menempati luasan terbesar yaitu hektar atau 35,8% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di semua wilayah kecamatan, namun luasan terbesar adalah di Kecamatan Rasanae Timur. Gambar 7 Peta penggunaan lahan Kota Bima tahun Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun Hasil analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan dari tahun 2005 hingga 2010 menunjukkan bahwa lahan yang mengalami perubahan penggunaan adalah seluas hektar atau 30,6% dari luas wilayah Kota Bima, sementara yang tidak mengalami perubahan adalah seluas hektar atau 69,4% dari luas wilayah Kota Bima. Hutan primer yang pada tahun 2005 masih terdapat seluas 283 hektar, pada tahun 2010 telah hilang sama sekali beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering, padang rumput penggembalaan ternak, sawah dan semak belukar. Di Kota Bima terdapat beberapa perubahan penggunaan lahan yang mungkin tidak biasa, misalnya hutan mangrove sekunder menjadi pertanian lahan

54 40 kering dan semak belukar. Pertanian lahan kering tersebut adalah kebun kelapa, dan hal tersebut terjadi di daerah pantai yang mengalami pendangkalan sehingga akhirnya menjadi lahan terbuka yang selanjutnya dijadikan kebun kelapa dan tertutup semak belukar. Matriks perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 8 Peta perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun Gambar 8 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan terjadi merata di hampir seluruh wilayah Kota Bima, namun demikian paling banyak terjadi di bagian utara dan bahkan sampai ke daerah berbukit. Perubahan penggunaan lahan pada daerah datar relatif kecil karena sebagian besar area pada lahan datar sudah merupakan daerah terbangun.

55 41 Tabel 6 Matriks perubahan penggunaan lahan Kota Bima periode tahun Penggunaan Lahan Tahun 2005 Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Sekunder Permukiman Penggunaan Lahan Tahun 2010 Pertanian Lahan Kering Rumput (savanna) Sawah Semak/Belukar Tambak Tanah Terbuka (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) Air Hutan Mangrove Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Permukiman Pertanian Lahan Kering Rumput Sawah Semak Tambak Tanah Terbuka 1 1 Jumlah Jumlah

56 Pusat-pusat Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan nilai LQ, dapat dibuat tipologi wilayah kecamatan berdasarkan aktifitas perubahan penggunaan lahan dengan membagi kecamatankecamatan tersebut kedalam dua kelompok, yaitu yang memiliki nilai LQ>1 dan nilai LQ<1. Nilai LQ>1 menunjukkan terjadinya konsentrasi aktifitas perubahan penggunaan lahan pada suatu kecamatan secara relatif dibandingkan dengan aktifitas perubahan penggunaan lahan di wilayah Kota Bima secara umum. Nilai LQ<1 menunjukkan bahwa di kecamatan tersebut aktifitas perubahan penggunaan lahan yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas perubahan penggunaan lahan di seluruh wilayah Kota Bima. Dari hasil perhitungan, yang memiliki nilai LQ>1 adalah Kecamatan Mpunda (1,45) dan Raba (1,37), sementara yang memiliki nilai LQ<1 adalah Kecamatan Rasanae Timur (0,95), Rasanae Barat (0,70), dan Asakota (0,56). Gambar 9 Peta tingkat aktifitas perubahan penggunaan lahan per kecamatan di Kota Bima periode tahun Berdasarkan nilai LQ, pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan terjadi di Kecamatan Mpunda. Kecamatan Mpunda memiliki jumlah penduduk jiwa (BPS 2011), merupakan pemekaran dari Kecamatan Rasanae Barat

57 43 dan diproyeksikan sebagai pusat pendidikan di Kota Bima. Sebagai kecamatan baru, Mpunda mengalami aktifitas pembangunan infrastruktur yang cukup tinggi, antara lain pembangunan kantor pemerintahan dan Puskesmas. Perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Mpunda mencapai 44,2% dari total luas wilayah kecamatan, mencakup perubahan dari pertanian lahan kering dan sawah menjadi lahan permukiman serta semak belukar menjadi sawah. Faktor lain yang mempengaruhi adalah laju pertumbuhan penduduk. Selama sepuluh tahun terakhir atau periode dua sensus (periode tahun ), rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Kota Bima adalah sebesar 2% per tahun. Kecamatan yang mengalami laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Mpunda sebesar 4,54%, jauh diatas pertumbuhan rata-rata Kota Bima. Sedangkan, Kecamatan Raba meskipun mempunyai jumlah penduduk tertinggi di Kota Bima namun laju pertumbuhan penduduknya terendah, yaitu 0,58% (BPS 2011). Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Mpunda menyebabkan pesatnya pertambahan luas lahan terbangun, baik berupa pembangunan kompleks perumahan, kantor pemerintahan dan fasilitas kesehatan, maupun kos-kosan pelajar dan mahasiswa. Gambar 10 Laju pertumbuhan penduduk Kota Bima per kecamatan periode tahun Gambar 11 Contoh perubahan penggunaan lahan pertanian sawah menjadi lahan terbangun

58 Karakteristik Fisik Lahan Kemiringan Lereng Kondisi kemiringan lereng di Kota Bima beragam dari 0-3% hingga lebih dari 65%. Kemiringan lereng Kota Bima terbagi kedalam tujuh kelas yaitu: kelas lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 30-45%, 45-65%, dan >65%. Kelas lereng 15-30% menempati luasan terbesar, yaitu hektar atau 28,5% dari luas wilayah Kota Bima. Luas dan penyebaran masing-masing kelas lereng disajikan dalam Tabel 7. Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM, disajikan dalam Gambar 12. Gambar 12 Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM Tabel 7 Kelas lereng dan relief Kota Bima Kelas Persentase Relief Luas (ha) Lereng (%) 0-3% Datar ,2 3-8% Berombak ,8 8-15% Bergelombang , % Miring/berbukit , % Agak curam , % Curam ,2 > 65% curam 522 2,3 Jumlah ,0

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Bidang kajian perencanaan pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin keilmuan, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan TINJAUAN PUSTAKA Penutupan dan Penggunaan Lahan Rustiadi et al. (2009), penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3 (tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Konsep lahan memiliki arti yang berbeda untuk setiap orang, tergantung pada pandangan dan ketertarikan mereka pada suatu waktu. Konsep lahan yang

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

DINAMIKA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH N I I N

DINAMIKA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH N I I N DINAMIKA SPASIAL PENGGUNAAN LAHAN DI KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH N I I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai ilmu yang

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1997 TENTANG PEMETAAN PENGGUNAAN TANAH PERDESAAN, PENGGUNAAN TANAH

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability LOGO Contents Potensi Guna Lahan AY 12 1 2 Land Capability Land Suitability Land Capability Klasifikasi Potensi Lahan untuk penggunaan lahan kawasan budidaya ataupun lindung dengan mempertimbangkan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional berupa perencanaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP Study of Spatial Pattern of Environmental Carrying Capacity in Garut Ardhy Firdian 1), Baba Barus 2) *, Didit Okta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Baba Barus, Dr Staf Pengajar : Atang Sutandi, Dr Baba Barus, Dr

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

KONSEP EVALUASI LAHAN

KONSEP EVALUASI LAHAN EVALUASI LAHAN KONSEP EVALUASI LAHAN Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI PENERAPAN EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI Pengertian Daya Dukung Kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas sampai pada level tertentu Pengertian Daya

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] [ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] AY 11 LOGO Pendahuluan Perencanaan Tata Guna lahan pada hakekatnya adalah Pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu permukaan tertentu. Permasalahan yang mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan dalam hal

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013 APLIKASI DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK ANALISIS KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KEMAMPUAN LAHAN (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Karang Mumus) Dwi Agung Pramono (*), Teguh Hariyanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk (reservoir) merupakan bangunan penampung air pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian, perikanan, regulator air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Lahan Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci