HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering (PLK), dengan luasan mencapai hektar atau meliputi 45,4% wilayah Kabupaten Garut, sedangkan penutupan terkecil terdapat pada pemanfaatan penambangan seluas 200 hektar atau hanya meliputi 0,1% wilayah Kabupaten Garut yang dimanfaatkan sebagai areal penambangan pasir. Pemanfaatan lahan lain yang cukup dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah (PLB), dengan masingmasing luasan sebesar hektar dan hektar. Secara terperinci luas dan persentase penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 No. Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Persen (%) 1. Hutan ,8 2. Padang Rumput 230 0,1 3. Perkebunan ,2 4. Permukiman ,6 5. Penambangan 200 0,1 6. Pertanian Lahan Basah ,9 7. Pertanian Lahan Kering ,4 8. Tanah Terbuka ,7 9. Tubuh Air 790 0,3 Jumlah Total ,00 100,0 50

2 Secara spasial, seperti terlihat pada Gambar 20, sebaran pertanian lahan kering, menyebar merata hampir di semua wilayah kabupaten. Namun secara visual, proporsi penyebarannya terlihat lebih banyak berada di wilayah Selatan Kabupaten Garut, sedangkan pada wilayah Garut bagian Utara, pemanfaatan lahannya lebih didominasi oleh pertanian lahan basah. Gambar 20 Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 Pemanfaatan lahan hutan termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder sedangkan pemanfaatan perkebunan, berdasarkan hasil interpretasi umumnya didominasi oleh jenis komoditas kelapa sawit, karet dan teh sedangkan jenis komoditas perkebunan lainnya tidak dapat teridentifikasi dengan jelas. 51

3 Gambar 21 Perkebunan sawit Gambar 22 Perkebunan karet 52

4 Gambar 23 Perkebunan teh Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan kering, umumnya didominasi oleh jenis komoditas palawija dan banyak ditemukan di wilayah Selatan seperti kecamatan Caringin, Bungbulang, Pakenjeng, Cikelet, Pameungpeuk dan Cibalong, sedangkan untuk sebagian wilayah Utara, jenis tanaman yang umum dibudidayakan pada areal pertanian lahan kering umumnya palawija dan sayuran dataran rendah. Di beberapa kecamatan yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah sayuran dataran tinggi. Kondisi ini dapat ditemukan di kecamatan Cikajang, Cigedug, Cisurupan, Pasirwangi dan Samarang. Penyebaran pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, hampir dapat ditemukan di semua wilayah di Kabupaten Garut. Pada jenis pemanfaatan lahan ini termasuk pertanian lahan basah yang ditunjang oleh pengairan irigasi teknis, irigasi perdesaan maupun areal sawah tadah hujan. Varietas yang umum diusahakan adalah IR-64 dan varietas Ciherang pada sawah yang memiliki pengairan teknis maupun perdesaan, sedangkan pada areal sawah tadah hujan varietas yang diusahakan adalah Situ Bagendit dan Situ Patenggang dan banyak dibudidayakan pada lahan-lahan di wilayah Selatan yang memiliki jumlah curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan daerah Tengah maupun Utara. 53

5 Gambar 24 Pertanian lahan kering Gambar 25 Pertanian lahan basah Perbedaan yang sangat nyata dari penampakan ketiganya dapat dilihat dari bentuk dan pola penutupannya. Pada pertanian lahan basah yang ditunjang oleh 54

6 jaringan irigasi teknis, penampakan secara spasial membentuk hamparan yang luas dan berkesinambungan dan berada pada wilayah dengan topografi datar sampai landai. Hal ini dapat dilihat pada pemanfaatan pertanian lahan basah yang ada di wilayah Tengah sampai Utara Kabupaten Garut. Sedangkan pada areal pertanian lahan basah yang ditunjang oleh jaringan irigasi perdesaan maupun sawah tadah hujan, umumnya memiliki bentuk dan pola spasial yang terpisah dengan bentuk hamparan yang relatif lebih kecil dan umumnya banyak ditemukan di daerah yang berbukit atau bergelombang. Areal permukiman, seperti halnya pemanfaatan lahan pertanian lahan basah dan kering, juga hampir dapat ditemukan di semua wilayah. Perbedaan antara pola dan bentuk areal permukiman menunjukkan karakteristik suatu wilayah. Pada areal permukiman yang memiliki bentuk luas dan pola yang lebih kompak umumnya terdapat pada daerah perkotaan sedang di wilayah perdesaan pola dan bentuk areal permukiman lebih tersebar dalam bentuk yang lebih kecil. Gambar 26 Permukiman Pemanfaatan lahan tanah terbuka berdasarkan hasil interpretasi berada di kaki gunung Guntur. Luas areal ini mencapai Hektar atau meliputi 0,7% wilayah Kabupaten Garut. Areal ini sebenarnya termasuk ke dalam wilayah Hutan 55

7 Lindung yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Kehutanan, namun karena memiliki deposit pasir yang cukup banyak, material ini banyak digali oleh masyarakat sebagai bahan bangunan. Gambar 27 Tanah terbuka Secara umum berdasarkan interpretasi citra satelit, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Garut (70,4%) dimanfaatkan untuk aktifitas yang berkaitan dengan pertanian, yaitu pertanian lahan kering (45,4%), pertanian lahan basah (16,9%) dan perkebunan (8,2%). Kondisi ini ditunjang oleh jenis tanah yang umumnya cocok dimanfaatkan bagi kegiatan pertanian seperti aluvial, andosol, regosol dan podsolik. Selain itu kondisi topografi yang sebagian besar merupakan daerah yang datar sampai dengan landai (48,1%) dan agak curam (32,1%) serta curah hujan yang cukup tinggi (> mm/tahun) merupakan faktor yang sangat mendukung untuk budidaya pertanian. Hampir semua jenis komoditas pertanian dapat dibudidayakan pada wilayah ini. Berdasarkan data statistik pertanian, terdapat 104 komoditas yang ditanam dan dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut, diluar komoditas kehutanan, ternak dan perikanan. Namun hanya beberapa komoditas yang proporsi produksinya cukup besar antara lain: ubi kayu, padi dan jagung pada kelompok padi dan palawija serta beberapa komoditas kelompok biofarmaka (jahe, kunyit, laos dan kapolaga). 56

8 Dilihat dari segi pemanfaatan lahan, pada areal pertanian lahan basah, umumnya ditanami oleh padi, palawija atau sayuran. Padi merupakan tanaman yang dominan ditanam pada areal pertanian lahan basah dimana intensitas penanamannya dapat dilakukan sampai dengan 3 kali musim tanam setiap tahunnya. Namun kondisi ini dapat tercapai hanya pada areal pertanian lahan basah yang telah ditunjang oleh pengairan teknis, maupun semi teknis. Palawija atau sayuran yang ditanam pada areal lahan basah umumnya merupakan tanaman penyela musim sebelum kembali ditanami padi pada musim berikutnya. Pada areal pertanian lahan kering, komoditas yang ditanam jauh lebih beragam. Hampir semua komoditas termasuk komoditas perkebunan rakyat ditanam pada areal pertanian lahan kering. Namun demikian dominasi komoditas yang ditanam umumnya di manfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran. Pada komoditas palawija, penanaman umumnya dilakukan pada areal pertanian lahan kering yang berada pada dataran rendah (ketinggian kurang dari 800 m dpl), sedangkan komoditas sayuran selain pada areal pertanian lahan kering dataran rendah juga ditanam pada dataran tinggi. Dibandingkan dengan areal pertanian lahan kering pada dataran rendah, pertanian lahan kering pada dataran tinggi umumnya berada pada areal yang memiliki bentuk wilayah agak curam sampai curam. Karakteristik tanaman sayuran yang umumnya sangat sensitif terhadap kelembaban menyebabkan para petani di areal ini sering mengabaikan aspek konservasi tanah sehingga sangat berpotensi terjadinya erosi pada musim penghujan. Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan indikator yang digunakan dalam penilaian kesesuaian penggunaan lahan secara umum. Pelaksanaan penilaian terhadap kemampuan lahan dilakukan sebelum dilakukan evaluasi kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Di dalam penelitian ini, penentuan kemampuan lahan dilakukan sampai ke tingkat sub kelas sehingga dapat diketahui faktor penghambat utama untuk semua penggunaan secara umum pada setiap kelas kemampuan lahan. Secara rinci, informasi penyebaran dan luas setiap kelas kemampuan dapat dilihat pada Gambar 28 dan Tabel 16, sedangkan luas dan 57

9 penyebaran setiap sub kelas kemampuan dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 29. Tabel 16 Luas dan persentase kelas kemampuan lahan No. Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) 1. Kelas II ,5 2. Kelas III ,0 3. Kelas IV ,4 4. Kelas V 170 0,1 5. Kelas VI ,7 6. Kelas VII ,8 7. Kelas VIII ,4 8. Unclassified 160 0,1 Jumlah Total ,0 Gambar 28 Kelas kemampuan lahan 58

10 Berdasarkan informasi yang terdapat pada Tabel 16 dan Gambar 28 di Kabupaten Garut tidak terdapat lahan yang memiliki kelas kemampuan I. Luas kelas kemampuan terbesar terdapat pada kelas kemampuan IV seluas hektar sedangkan kelas kemampuan dengan luasan terendah terdapat pada kelas kemampuan V. Wilayah yang termasuk dalam Unclassified merupakan daerah permukiman kota dan kaldera gunung Papandayan. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV dengan faktor penghambat utama kelerengan (l) dan batuan (b). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian Selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil merupakan sub kelas kemampuan V dengan faktor penghambat utama ancaman banjir (o). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Gambar 29 Sub kelas kemampuan lahan 59

11 Dilihat dari aspek faktor pembatas utama, kelerengan (l) merupakan faktor pembatas dominan ditemukan di semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan merupakan faktor terberat yang dapat menjadi penghambat utama dalam pemanfaatan suatu lahan khususnya pemanfaatan pertanian. Selain faktor kelerengan, faktor erosi (e) juga cukup menjadi penghambat yang ditemukan hampir disemua kelas kemampuan. Faktor kedalaman tanah, batuan, tekstur dan bahaya banjir walaupun bukan merupakan penghambat yang berat, namun pada beberapa kelas kemampuan lahan, faktor ini merupakan faktor pembatas utama. Tabel 17 Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan No. Sub Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) Keterangan 1 II-k ,4 Faktor Pembatas : 2 II-lk ,1 b = Batuan 3 III-be ,7 e = Erosi 4 III-k ,3 k = Kedalaman Tanah 5 III-l ,6 l = Lereng 6 III-lbe ,7 t = Tekstur Tanah 7 III-lk ,3 o = Bahaya Banjir 8 III-lt 870 0,3 d = Drainase 9 III-lte ,5 10 III-t ,2 11 III-te ,5 12 III-tk ,8 13 IV-b ,4 14 IV-e ,9 15 IV-k 910 0,3 16 IV-l ,8 17 IV-lb ,9 18 IV-le ,2 19 IV-lk ,9 20 V-o 170 0,1 21 VI-e ,2 22 VI-l ,0 23 VI-le ,5 24 VII-e ,7 25 VII-l ,2 26 VIII-l ,5 27 VIII-lt ,0 28 Unclassified 150 < 0,1 Jumlah Total ,0 60

12 Berdasarkan deskripsi tersebut, sebagian besar lahan (55,9%) merupakan areal yang cocok dimanfaatkan untuk berbagai macam penggunaan. Lahan ini terdapat pada kelas kemampuan lahan II (1,5%), kemampuan lahan III (18,0%) dan kemampuan lahan IV (36,4%). Sedangkan pada kelas kemampuan lahan V (0,1%) dan kemampuan lahan VI (28,7%) masih dapat digunakan untuk penggunaan yang terbatas dengan memperhatikan faktor penghambat pada tiap kelas kemampuan lahan. Pada kelas kemampuan lahan V, secara alamiah terdapat faktor ancaman banjir sebagai penghambat utama. Namun faktor ini dapat menjadi penghambat yang berat jika wilayah tersebut merupakan wilayah dengan frekwensi kejadian banjir tinggi atau pada periode waktu tertentu sering dilanda banjir. Pada kelas kemampuan lahan VI, dominasi faktor penghambat yang terluas terdapat pada faktor erosi. Hal ini menunjukkan secara umum, karakteristik lahan yang ada rentan terhadap terjadinya erosi. Dalam jangka pendek dampak erosi tidak akan terlalu terasa, namun dalam jangka panjang, erosi akan menurunkan kesuburan tanah akibat hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Arsyad (2010) secara rinci membagi dampak erosi menjadi empat golongan, yaitu: (1) berbentuk langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, (2) berbentuk langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi, (3) berbentuk tidak langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, dan (4) berbentuk tidak langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi. Memperhatikan dampak tersebut, penanganan erosi merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian yang utama, diantaranya melalui penerapan metode konservasi tanah dan air. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan Tahapan penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauhmana kesesuaian pemanfaatan aktual lahan terhadap kelas kemampuannya, rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuannya dan rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Evaluasi ketiga aspek tersebut dilakukan dengan 61

13 menggunakan tabel keputusan yang dibuat untuk mempermudah dalam menentukan keputusan kesesuaian ketiga aspek tersebut. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kemampuan Lahan Berdasarkan hasil analisis, kesesuaian pemanfaatan lahan aktual dengan kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 30, sedangkan distribusi luasan untuk masing-masing kelas kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 18. Kriteria yang disusun meliputi dua kondisi kesesuaian, yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (TS). Pemanfaatan lahan hutan dan tubuh air dikatakan sesuai untuk semua kelas kemampuan. Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pada Tabel 17 terlihat bahwa, hektar (49,6%) lahan yang ada di Kabupaten Garut, pemanfaatannya telah sesuai dengan kemampuan lahan 62

14 sedangkan hektar (50,4%) dikatakan pemanfaatannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Pemanfaatan lahan tidak sesuai merupakan potensi terjadinya degradasi lahan. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengendalikan dan mengurangi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tabel 18 Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Sesuai Tidak Sesuai Jumlah Total Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Hutan , ,8 Padang Rumput 49 0, , ,1 Perkebunan , , ,2 Permukiman , , ,6 Pertambangan 17 0, , ,1 Pertanian Lahan Basah , , ,9 Pertanian Lahan Kering , , ,4 Tanah Terbuka , ,7 Tubuh Air 793 0, ,3 Jumlah Total , , ,0 Lahan yang tidak sesuai pemanfaatannya terhadap kemampuan lahan umumnya berada pada lahan yang terdapat aktifitas manusia, antara lain: pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman. Pertanian lahan kering merupakan pemanfaatan yang paling tinggi persentase ketidaksesuaiannya, yaitu seluas hektar (38,4%), sedangkan pertanian lahan basah seluas hektar (9,0%). Hasil analisis pada Lampiran 4 menunjukkan, ketidaksesuaian pertanian lahan kering sebagian besar terdapat pada kelas kemampuan lahan VI sampai dengan VIII. Secara umum, lahan yang memiliki kelas kemampuan lebih dari VI, memiliki faktor penghambat utama kelerengan dan bahaya erosi. Lereng yang agak curam sampai dengan sangat curam merupakan areal yang rawan terhadap timbulnya longsor dan erosi, apabila dibiarkan dalam kondisi yang sangat terbuka. Pada lahan yang terbuka, tanah menjadi sangat mudah terkikis oleh air, terutama 63

15 pada saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi serta berpotensi mengalami longsor. Gambar 31 Pertanian lahan kering pada daerah berbukit Karakteristik budidaya pertanian lahan kering, seperti terlihat pada Gambar 31, umumnya didominasi oleh tanaman palawija dan sayuran. Komoditas sayuran yang banyak mendominasi pertanian pada lahan kering umumnya adalah sayuran dataran tinggi yang banyak ditanam pada daerah-daerah dengan kelerengan di atas 30%. Pada kondisi demikian, para petani umumnya tidak menerapkan metode konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi yang ada. Hal ini akan menyebabkan tanah secara perlahan akan tererosi dan menurunkan kesuburannya. Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, ketidaksesuaian terbesar terdapat pada kelas kemampuan lahan VI sampai dengan VIII. Kondisi demikian akan menyebabkan areal pertanian lahan basah, menjadi rawan terhadap bahaya longsor. Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Pemanfaatan Lahan Aktual Hasil analisis, kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 32, sedangkan luas dan persentase kondisi 64

16 kesesuaian pada masing-masing pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Tabel 19. Gambar 32 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Gambar 32 menunjukkan secara keruangan kondisi kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Secara visual kondisi sesuai lebih dominan dibandingkan kondisi tidak sesuai, namun jika dilihat dari aspek lokasional, kondisi sesuai lebih banyak ditemukan di wilayah Garut bagian Utara, sedangkan di wilayah Garut bagian Selatan secara lokasional kondisinya lebih didominasi oleh areal pemanfaatan lahan aktual yang tidak sesuai. Tabel 19 menunjukkan bahwa luas kondisi sesuai mencapai hektar atau 65,4% dari pemanfaatan lahan aktual. Kondisi sesuai bersyarat seluas 202 hektar atau 0,1% dari pemanfaatan lahan aktual dan kondisi tidak sesuai seluas hektar atau sebesar 34,6% dari pemanfaatan lahan aktual. Besarnya nilai kondisi sesuai, menunjukkan struktur pola ruang yang dibuat, dibentuk berdasarkan pemanfaatan lahan aktual yang ada. 65

17 Tabel 19 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) Sesuai Hutan Konservasi ,6 Hutan Lindung ,0 Hutan Produksi 126 0,0 Hutan Produksi Terbatas ,2 Perikanan Budidaya 39 0,0 Perkebunan ,2 Permukiman ,5 Pertanian Lahan Basah ,1 Pertanian Lahan Kering ,5 Peternakan 431 0,1 Sempadan Sungai/Pantai ,1 Jumlah ,4 Sesuai Bersyarat Hutan Konservasi 78 0,0 Hutan Lindung 4 0,0 Perkebunan 26 0,0 Pertanian Lahan Basah 10 0,0 Pertanian Lahan Kering 76 0,0 Peternakan 7 0,0 Jumlah 202 0,1 Tidak Sesuai Hutan Konservasi ,3 Hutan Lindung ,6 Hutan Produksi 45 0,0 Hutan Produksi Terbatas ,8 Perkebunan ,7 Perlindungan Geologi Karst 34 0,0 Permukiman 9 0,0 Pertanian Lahan Basah ,0 Pertanian Lahan Kering ,5 Peternakan 6 0,0 Sempadan Sungai/Pantai ,5 Jumlah ,6 Jumlah Total ,0 Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kemampuan Lahan Secara umum hasil analisis ini menunjukkan sejauhmana rencana yang telah dibuat telah sesuai dengan aspek kemampuan lahan. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang bersifat tetap dalam luasan sehingga pemanfaatannya harus dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Hasil analisis menunjukkan, bahwa hektar (58,4%) lahan, dalam perencanaannya telah sesuai dengan kemampuan lahannya, hektar 66

18 (17,2%) dalam kondisi sesuai bersyarat dan hektar (24,2%) perencanaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya yang secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 20. Informasi pada Gambar 33 menunjukkan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan didominasi oleh kondisi sesuai. Kondisi tidak sesuai dapat ditemukan pada wilayah Garut bagian Selatan, sebagian di ujung Utara dan di wilayah komplek pegunungan pada daerah perbatasan bagian Barat dan Timur yang memanjang dari Utara ke Selatan. Gambar 33 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kemampuan lahan meliputi hutan lindung, hutan konservasi, sempadan sungai/pantai, perlindungan geologi karst, hutan produksi terbatas, hutan produksi, perkebunan, perikanan budidaya, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Kondisi sesuai bersyarat ditemukan pada rencana pemanfaatan ruang hutan 67

19 produksi terbatas, perkebunan dan pertanian lahan kering, sedangkan kondisi tidak sesuai terdapat pada rencana pemanfaatan ruang hutan produksi, perikanan budidaya, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Tabel 20 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana Pemanfaatan Ruang Kesesuaian terhadap Kemampuan Lahan (Ha) Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Jumlah Total Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Perikanan Budidaya Perkebunan Perlindungan Geologi Karst Permukiman Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Peternakan Sempadan Sungai/Pantai Jumlah Total Persen (%) 58,4 17,2 24,4 100,0 Secara umum, berdasarkan hasil analisis kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan, dapat dikatakan perencanaan yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan aspek kemampuan lahan. Pada kondisi tidak sesuai seperti terlihat pada Tabel 20, bahwa sebagian area tidak sesuai rencana pemanfaatannya akan digunakan sebagai pertanian lahan kering dan lahan basah. Jika dikaitkan dengan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dikatakan bahwa, dari 34,6% areal rencana 68

20 pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan pemanfaatan lahan, 24,4% merupakan areal rencana pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Daya Dukung Lingkungan Hidup Daya Dukung Lahan Perhitungan daya dukung lahan dilakukan dengan melihat ketersedian lahan dan kebutuhan lahan. Ketersediaan lahan dipengaruhi oleh aspek kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan bioproduk sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Pada dasarnya metode ini dibuat untuk memudahkan penilaian status daya dukung suatu wilayah yang secara prinsip mengadopsi konsep Ecological Footprints. Perhitungan ketersediaan dilakukan dengan menghitung jumlah nilai produksi dari seluruh bioproduk yang dihasilkan pada wilayah tersebut terhadap nilai produksi beras. Konversi yang digunakan untuk menyetarakan antara produk beras dengan non beras adalah harga (Rustiadi et al. 2010). Sedangkan pada perhitungan kebutuhan lahan asumsi yang digunakan adalah kebutuhan hidup layak untuk setiap penduduknya sebesar kg beras. Tabel 21 Perhitungan ketersediaan lahan No. Faktor Satuan Nilai 1. Total Nilai Produksi Rp ,50 2. Harga Beras Rp/Kg Total Beras dari Padi Sawah dan Ladang Kg ,00 4. Luas Panen Padi Ha ,25 5. Produktivitas Beras Kg/Ha 3.298,63 Ketersediaan Lahan Ha ,38 Berdasarkan perhitungan seperti terlihat pada Tabel 21, ketersediaan lahan di Kabupaten Garut sebesar ,8 hektar pada harga beras Rp /Kg. Secara matematis, sensitifitas nilai ketersediaan lahan sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) jumlah produksi seluruh komoditas dan (2) harga. Kedua faktor 69

21 tersebut secara umum memiliki karakteristik nilai yang sangat dinamis, dipengaruhi oleh musim dan permintaan pasar. Oleh sebab itu interpretasi dari nilai ketersedian lahan yang diperoleh berdasarkan perhitungan ini perlu melihat aspek lainnya, seperti ketersediaan komoditas di pasaran serta harga komoditas yang digunakan. Total nilai produksi diperoleh dari perhitungan nilai produksi 11 (sebelas) kelompok komoditas yaitu (1) padi dan palawija, (2) kelompok sayur mayur, (3) biofarmaka, (4) bunga-bungaan, (5) buah-buahan, (6) perkebunan rakyat, (7) kehutanan, (8) daging, (9) telur, (10) susu dan (11) perikanan. Secara terperinci nilai produksi masing-masing komoditas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai produksi setiap kelompok komoditas No. Kelompok Komoditas Jumlah Komoditas Nilai Produksi (Rp) Persen (%) 1. Padi dan Palawija 7 Komoditas ,- 43,01 2. Sayur Mayur 21 Komoditas ,- 33,28 3. Biofarmaka 14 Komoditas ,- 0,70 4. Bunga-bungaan 20 Komoditas ,- 0,01 5. Buah-buahan 21 Komoditas ,- 8,29 6. Perkebunan Rakyat 21 Komoditas ,- 2,98 7. Kehutanan 19 Komoditas ,- 2,48 8. Daging 7 Komoditas ,- 1,26 9. Telur 2 Komoditas ,- 0, Susu 1 Komoditas ,- 0, Perikanan 9 Komoditas ,- 7,30 Jumlah Nilai Produksi ,- 100,00 Persentase nilai produksi terbesar terdapat pada kelompok padi dan palawija sebesar 43,01% dari total nilai produksi, sedangkan nilai terkecil terdapat pada kelompok bunga-bungaan, yaitu sebesar 0,01% dari total nilai produksi. Kelompok komoditas lain yang memiliki kontribusi cukup tinggi adalah sayur mayur dengan persentase sebesar 33,28%. Kontribusi kelompok komoditas lain di luar padi dan palawija serta sayur mayur umumnya kurang dari 10%, bahkan 70

22 kelompok komoditas biofarmaka, bunga-bungaan, telur dan susu memiliki kontribusi di bawah satu persen. Berdasarkan perhitungan, kebutuhan lahan di Kabupaten Garut dengan jumlah penduduk jiwa sebesar ,97 hektar. Mengacu kepada nilai ini, dimana nilai kebutuhan lahan ( ,97 hektar) lebih besar daripada nilai ketersediaan lahan ( ,96 hektar) dapat dikatakan kondisi ketersediaan lahan dalam keadaan defisit. Kondisi defisit berdasarkan hasil pehitungan menggunakan metode ini dapat dikatakan sebagai keadaan ketersediaan bioproduk yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dimana kebutuhan tersebut diasumsikan setara dengan kebutuhan satu ton beras perkapita setiap tahunnya. Namun metode perhitungan ini sangat dipengaruhi oleh produksi dan harga bioproduk yang dicatat pada saat pengambilan data. Pengambilan dan perhitungan data pada waktu yang berbeda sangat mungkin akan mengakibatkan perbedaan kondisi status daya dukung lahan sehingga perlu dipertimbangkan pula faktor musim dan kondisi pasar pada saat perhitungan. Besarnya peluang perbedaan tersebut akan menyebabkan status daya dukung lahan yang dihasilkan melalui perhitungan ini bersifat sangat dinamis. Informasi pada Tabel 22 juga menunjukkan bahwa, terdapat dua kelompok komoditas, yaitu padi dan palawija serta sayur mayur yang memiliki kontribusi nilai bioproduk cukup besar terhadap total nilai bioproduk yang dihasilkan, yaitu sebesar 76,3%. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok komoditas tersebut merupakan kelompok komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut. Selain itu kontribusi nilai yang cukup besar akan berpengaruh terhadap sensitifitas status daya dukung lahan atau dapat dikatakan, perubahan produksi dan harga pada kedua kelompok komoditas tersebut akan mempengaruhi status daya dukung lahannya. Terminologi defisit dalam perhitungan menggunakan metode ini, menurut Rustiadi et al. (2010) lebih tepat diartikan sebagai kondisi ketersedian pangan pada suatu wilayah yang tertutup. Kondisi ini berarti suatu wilayah dianggap tidak memperoleh aliran keluar dan aliran masuk bioproduk dari wilayah lain sehingga dalam keadaan yang sebenarnya hal ini bisa bertolak belakang dengan 71

23 kenyataan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Christina (2011) menunjukkan bahwa dilihat dari ketersedian bahan makanan pokok, Kabupaten Garut berada dalam kondisi yang surplus sampai dengan 20 tahun yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa, dilihat dari ketersediaan bahan makanan pokok, Kabupaten Garut dikatakan dalam kondisi yang surplus, sedangkan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan kebutuhan seluruh bioproduk dapat dikatakan defisit. Kondisi defisit dalam penelitian diduga berasal dari kebutuhan lain diluar kebutuhan pangan pokok yang tidak terpenuhi, hal ini beradasarkan analisa, jika kebutuhan pangan pokok sudah terpenuhi maka kondisi defisit terdapat pada ketersediaan bioproduk selain pangan pokok. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut antara lain meningkatkan produktifitas, penerapan sistem budidaya tanaman sesuai anjuran, pemeliharaan tanaman dan penggunaan benih atau bibit bermutu. Daya Dukung Air Perhitungan dilakukan dengan memperhitungkan aspek ketersediaan dan kebutuhan air. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan air adalah koefisien limpasan, curah hujan dan luas wilayah sedangkan kebutuhan air dipengaruhi oleh jumlah penduduk serta kebutuhan air untuk hidup layak bagi setiap penduduk. Tabel 23 Perhitungan status daya dukung air Faktor Rumus Nilai Satuan A. KETERSEDIAAN AIR Koefisien Limpasan Tertimbang 0,27 Curah Hujan Tahunan R 1.975,08 mm/tahun Luas Wilayah A ,45 Ha Ketersediaan Air SA = 10 x C x R x A ,12 m 3 /tahun B. KEBUTUHAN AIR Jumlah Penduduk N ,00 Jiwa Kebutuhan Air untuk Hidup Layak KHLA 1.600,00 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA = N x KHLA ,00 m 3 /tahun 72

24 Faktor Rumus Nilai Satuan C. STATUS DDA Ketersediaan Air SA ,12 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA ,00 m 3 /tahun Status Daya Dukung Air Defisit Suplus SA > DA Defisit SA < DA Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 23, kondisi ketersediaan air di Kabupaten Garut mencapai sebesar ,12 m 3 /tahun sedangkan kebutuhan air mencapai ,00 m 3 /tahun, status daya dukung air dianggap dalam keadaan defisit. Nilai koefisien limpasan tertimbang sebesar 0,27 menunjukkan besarnya air hujan mengalir di permukaan yang dapat dimanfaatkan, yaitu sebesar 27% dari keseluruhan air hujan. Rustiadi et al. (2010) menyatakan bahwa penentuan status daya dukung air dengan menggunakan metode ini tidak tepat. Hal ini disebabkan ketersediaan air yang ada tidak mencerminkan ketersediaan air yang sesungguhnya. Departemen Pekerjaan Umum (1994) dalam Kodoatie dan Sjarief (2008) memperhitungkan besarnya ketersedian air berdasarkan besaran aliran mantap, yaitu air yang tertampung dalam waduk, danau, sungai dan air yang masuk ke dalam tanah. Sedangkan kebutuhan air dilihat dari penggunaan air untuk kebutuhan domestik dan pertanian. Penggunaan indikator nilai limpasan air sebagai penentu ketersediaan akan membawa kepada pemahaman semakin besar limpasan air akan meningkatkan ketersediaan air sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah terhadap makna dari ketersediaan air itu sendiri. Limpasan air lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi aliran permukaan yang dikaitkan dengan kondisi tutupan suatu wilayah. Semakin besar areal terbuka atau terbangun di suatu wilayah akan meningkatkan nilai koefisien limpasan air. Hal ini secara langsung akan berdampak kepada peningkatan debit puncak. Akumulasi aliran permukaan yang mengalir dalam jumlah besar serta waktu bersamaan akan menimbulkan bencana banjir. 73

25 Permasalahan air yang utama sesungguhnya bukan terletak pada seberapa besar ketersediaan air, tetapi lebih menekankan kepada bagaimana pengelolaan terhadap air yang tersedia. Letak geografis Indonesia yang berada pada daerah beriklim tropika basah, menjadikan wilayah ini mendapat pasokan air hujan yang cukup berlimpah, namun demikian hanya 25% air hujan yang mampu diserap oleh tanah sedangkan sisanya mengalir kembali ke laut dalam bentuk aliran permukaan (Kodoatie dan Sjarief 2008). Peningkatan serapan air oleh tanah perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air sebagai cadangan yang akan dimanfaatkan pada musim kemarau. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya meningkatkan daerah-daerah yang berfungsi sebagai resapan air serta membuat bangunan fisik penampung air limpasan permukaan sehingga tidak langsung mengalir ke laut. Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup Ditinjau dari aspek kemampuan lahan, areal yang dapat dimanfaatkan dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu (1) kawasan budidaya, (2) kawasan budidaya terbatas dan (2) kawasan lindung. Kawasan budidaya meliputi lahan-lahan yang memiliki kelas kemampuan II sampai dengan IV dan kawasan budidaya terbatas meliputi lahan dengan kelas kemampuan V dan VI, sedangkan kawasan lindung adalah lahan yang memiliki kelas kemampuan VII dan VIII. Luas dan persentase masing-masing pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Luas dan persentase pemanfaatan pemanfaatan ruang No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung ,4 2. Kawasan Budidaya Terbatas ,3 3. Kawasan Budidaya ,3 Jumlah Total ,0 Informasi pada Tabel 23 menunjukkan bahwa, luas areal kawasan lindung yang dianalisis berdasarkan kemampuan lahan seluas hektar (17,4%), kawasan budidaya terbatas seluas hektar (27,3%) sedangkan kawasan 74

26 budidaya seluas hektar (55,3%). Kawasan lindung merupakan areal yang secara fisik memiliki hambatan yang cukup berat dan sulit untuk dimodifikasi sehingga perlu dipertahankan kondisinya secara alami. Terminologi kawasan lindung dalam skenario ini merupakan kawasan yang memiliki vegetasi cukup rapat sehingga mampu meminimalkan dampak yang terjadi terhadap lahan berupa erosi dan longsor akibat kondisi wilayah yang sangat curam. Kawasan budidaya terbatas, secara kemampuan masih memungkinkan untuk dilakukan budidaya, namun pemanfaatannya perlu memperhatikan faktor penghambat utama. Pada kawasan ini faktor penghambat utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan secara keseluruhan adalah faktor kelerengan dan erosi. Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan menjadi sangat penting disamping teknik budidaya digunakan dengan meminimalkan areal yang terbuka. Sedangkan pada kawasan budidaya, tidak memiliki faktor pembatas yang berarti sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal. Secara spasial penyebaran arahan pemanfaatan ruang menurut skenario I dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34 Arahan pemanfaatan ruang skenario I. 75

27 Gambar 34 memperlihatkan bahwa secara spasial penyebaran kawasan budidaya relatif merata pada semua wilayah sedangkan kawasan budidaya terbatas, berada di wilayah selatan, dimana pada wilayah ini berdasarkan hasil identifikasi merupakan daerah yang berbukit dengan karakteristik lahan yang memiliki faktor penghambat utama erosi. Pola penanaman yang tepat dengan memperhatikan aspek konservasi tanah sangat dianjurkan untuk menjaga agar lahan tidak mengalami degradasi akibat erosi. Analisis kedua dilakukan dengan menggunakan skenario II, yaitu dengan menambahkan aspek kawasan hutan negara yang berfungsi lindung (hutan lindung dan hutan konservasi). Secara keruangan hasil analisis arahan pemanfaatan ruang skenario II dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Arahan pemanfaatan ruang skenario II Berdasarkan analisis, areal kawasan budidaya yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya sebesar 61,2% atau setara dengan luasan 76

28 hektar, sedangkan areal yang memungkinkan untuk diarahkan pemanfaatannya sebagai kawasan lindung sebesar 38,8% atau setara dengan luasan hektar. Kedua hasil analisis tersebut memperlihat bahwa dalam kondisi yang optimal pemanfaatan lahan yang diarahkan sebagai kawasan lindung hanya sebesar 38,82% dari keseluruhan wilayah yang ada. Kondisi ini jauh berbeda dengan rencana pola pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam RTRW Kabupaten Garut Tahun , yaitu sebesar 74,16%. Secara rinci perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut No. Skenario Arahan Pemanfaatan Ruang Fungsi Luas (Ha) Persen (%) Luas Minimal menurut UU (%) Rancangan RTRW Garut (%) 1. I (Pertama) Kawasan Lindung ,4 30,0 74,16 Kawasan Budidaya Terbatas ,3 - - Kawasan Budidaya , II (Kedua) Kawasan Lindung ,8 30,0 74,16 Kawasan Budidaya ,2 - - Tabel 24 menunjukkan, skenario I tidak memungkinkan digunakan karena memiliki luasan kawasan lindung dibawah kondisi yang dipersyaratkan dalam undang-undang sebesar 30%. Penambahan kawasan lindung pada skenario I masih memungkinkan dengan memanfaatkan kawasan budidaya terbatas yang dapat difungsikan sebagai kawasan lindung. Penambahan ini akan menambah proporsi kawasan lindung menjadi sebesar 44,7%. Menurut konteks peraturan perundangan, luasan ini dianggap telah sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, namun proporsi ini masih jauh dibawah nilai yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Garut sebesar 74,16%. 77

29 Hasil analisis menggunakan skenario II sebagaimana terlihat pada Tabel 24 juga menunjukkan bahwa penetapan kawasan lindung dengan mempertahankan areal kawasan hutan negara yang berfungsi lindung hanya menambah proporsi kawasan lindung menjadi 38,8% atau meningkat 21,4% dibandingkan penetapan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan kemampuan lahan. Kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa, penetapan kawasan lindung di kawasan lindung berdasarkan kemampuan lahan sebesar 17,4 44,7% sedangkan jika ditambahkan dengan faktor kawasan hutan negara yang berfungsi lindung sebesar 38,8%. Hal ini menjadikan penetapan kawasan lindung sebesar 74,16% merupakan angka yang tidak realistis dilihat dari aspek kemampuan lahan maupun kondisi hutan yang ada sehingga perlu bagi pemerintah daerah untuk melakukan revisi ulang terhadap target capaian luas kawasan lindung yang direncanakan. Alternatif lain yang mungkin dapat digunakan adalah dengan menetapkan kawasan budidaya yang juga memiliki fungsi lindung. Kawasan ini dalam wujud fisik pemanfaatan lahan dapat berbentuk hutan (rakyat), perkebunan dan atau pertanian lahan kering yang dilakukan perubahan terhadap komoditas yang dibudidayakan. Pembentukan kawasan lindung yang berfungsi lindung dapat dilakukan berdasarkan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario I dengan kawasan budidaya bersyarat ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sedangkan kawasan budidaya berfungsi lindung diperoleh dari hasil analisis terhadap kawasan budidaya pada skenario I dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatan lahan aktual yang ada. Hasil analisis spasial skenario diperoleh arahan pemanfaatan alternatif sebagaimana terlihat pada Tabel 26 sedangkan penyebaran areal secara keruangan dapat dilihat pada Gambar 36. Tabel 26 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung ,8 2. Kawasan Budidaya berfungsi Lindung ,3 3. Kawasan Budidaya ,9 Jumlah Total ,0 78

30 Tabel 26 menunjukkan bahwa penetapan kawasan budidaya sebagai kawasan yang juga berfungsi lindung menambah proporsi areal yang berfungsi lindung sebesar 61,1% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Garut yang secara langsung akan berdampak terhadap semakin luasnya areal yang berfungsi sebagai resapan air. Gambar 36 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif Selain itu struktur arahan tersebut telah memperhitungkan aspek kemampuan lahan, yang mengarahkan pemanfaatan lahan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun penambahan ini tetap tidak dapat memenuhi capaian kawasan lindung yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun sebesar 74,16%. Hasil analisis ini memperkuat analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa sulit bagi Kabupaten Garut untuk mencapai target penetapan kawasan lindung seluas 74,16% dari keseluruhan wilayah, baik dilihat dari aspek kemampuan lahan, status kawasan hutan maupun kondisi tutupan yang ada. 79

31 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang terbatas dan memiliki sifat dan karakteristik mudah mengalami degradasi namun sulit untuk mengembalikan kondisi awal. Pemanfaatan sumber daya lahan dalam konteks keruangan perlu memperhatikan aspek kemampuan lahan serta daya dukung lahan dan air. Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diperoleh, yaitu : 1. Terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual, yaitu : (1) hutan, (2) perkebunan, (3) pertanian lahan kering, (4) pertanian lahan basah, (5) permukiman, (6) pertambangan, (7) padang rumput, (8) tanah terbuka, dan (9) tubuh air. Pemanfaatan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering seluas hektar (45,5%) sedangkan pemanfaatan lahan terkecil berupa tambang pasir seluas 202 hektar (0,1%). 2. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan, dengan luas terbesar adalah sub kelas kemampuan IV dengan faktor penghambat kelerengan (l) dan batuan (b) seluas hektar (22,9%), dan sub kelas kemampuan terkecil adalah sub kelas kemampuan V yang memiliki faktor penghambat terberat bahaya banjir (o) dengan luasan 171 hektar (0,1%). 3. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kemampuan lahan menunjukkan kondisi ketidaksesuaian pemanfaatan aktual terhadap kemampuan lahan sebesar 50,4%, ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan aktual sebesar 34,6% dan ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan sebesar 24,2%. 4. Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan menunjukkan potensi wilayah yang secara fisik terancam mengalami penurunan kualitas secara fisik. Pada kondisi ini perlu dilakukan upaya perbaikan sehingga punurunan kualitas tidak berdampak merugikan. Aspek kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual, menunjukkan wilayah yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan perencanaan yang ada. Nilai kesesuaian yang cukup besar pada evaluasi ini juga

32 menunjukkan bahwa perencanaan yang disusun, dibuat berdasarkan pemanfaatan lahan aktual yang ada. Secara umum dapat rencana pemanfaatan ruang dan pemanfaatannya belum sesuai dengan kemampuan lahan yang ada, dimana 24,2% ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan. 5. Pada aspek daya dukung lahan, status daya dukung lahan menunjukkan kondisi defisit. Kondisi ini terutama oleh rendahnya nilai produksi bioproduk yang diperhitungkan sehingga perlu upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan nilai produksi yang dihasilkan. 6. Selain itu kondisi daya dukung air juga menunjukkan nilai yang defisit. Keadaan ini dilihat dari aspek besarnya ketersediaan air yang didekati dengan perhitungan air limpasan. Pada konteks ini perhatian utama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengelola air limpasan yang tersedia sehingga mampu diresapkan ke dalam tanah. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbesar area vegetasi sehingga mampu berfungsi sebagai area resapan air. 7. Hasil analisis ketiga aspek daya dukung lahan, yaitu aspek kemampuan lahan, daya dukung lahan dan daya dukung air menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang ada saat ini tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Hal ini apabila dibiarkan akan berakibat semakin menurunnya produktifitas lahan yang berdampak kepada penurunan daya dukung lahan dan air. 8. Analisis spasial yang dilakukan untuk mendapatkan arahan pemanfaatan ruang, diperoleh hasil secara umum ditinjau dari aspek kemampauan lahan, status hutan yang berfungsi lindung maupun kondisi pemanfaatan lahan aktual yang ada, kawasan lindung yang dimungkinkan untuk dialokasikan di Kabupaten Garut sebesar 60,1% dari keseluruhan wilayah. Berdasarkan arahan pemanfaatan ruang ini, diharapkan kesesuaian pemanfaatan lahan lebih sesusai dengan aspek kemampuan lahan, dan meningkatkan daya dukung lahan dan air pada wilayah tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa capaian rencana kawasan lindung sebagaimana tertuang dalam rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun merupakan hal yang sulit dicapai. 81

33 Saran Berdasarkan analisis daya dukung lingkungan hidup yang dilakukan pada wilayah ini dapat disarankan beberapa hal, yaitu : 1. Berdasarkan analisis kesesuaian yang dilakukan, perlu dilakukan tindakantindakan perbaikan terhadap fisik lahan dengan melakukan pemanfaatan yang sesuai dengan kemampuan lahannya. 2. Pada aspek daya dukung lahan, peningkatan produktifitas melalui optimalisasi pemanfaatan lahan harus dilakukan untuk meningkatkan nilai produksi yang diperoleh. 3. Terkait dengan aspek daya dukung air, besarnya ketersediaan air limpasan perlu upaya pengelolaan yang lebih baik melalui pembuatan bangunan penampung air (embung) atau memperbanyak wilayah-wilayah yang dapat difungsikan sebagai resapan air. 4. Terhadap hasil analisis spasial terhadap arahan pemanfaatan ruang, Pemerintah Kabupaten Garut perlu melakukan revisi capaian rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun yang mengalokasikan kawasan lindung sebesar 74,16%. Analisis yang dilakukan beradasarkan aspek kemampuan lahan, status kawasan hutan maupun kondisi pemanfaatan lahan yang ada menunjukkan capaian tersebut sulit untuk dicapai. 82

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP Study of Spatial Pattern of Environmental Carrying Capacity in Garut Ardhy Firdian 1), Baba Barus 2) *, Didit Okta

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang terbagi menjadi beberapa golongan antara lain berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam merupakan suatu bentuk kekayaan alam yang pemanfaatannya bersifat terbatas dan berfungsi sebagai penunjang kesejahteraan makhluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

Gambar 22. Peta Kabupaten Kutai Timur

Gambar 22. Peta Kabupaten Kutai Timur 71 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Kutai Timur terdiri atas 18 Kecamatan dengan luas wilayah 3.877.21 ha. Luas wilayah tersebut

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan 68 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan KEADAAN UMUM LOKASI Keadaan Wilayah Kabupaten Jepara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di ujung utara Pulau Jawa. Kabupaten Jepara terdiri dari 16 kecamatan, dimana dua

Lebih terperinci

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN berikut : FAO dalam Arsyad (2012:206) mengemukakan pengertian lahan sebagai Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996).

I. PENDAHULUAN. mengalami peremajaan secara berkesinambungan (Alibasyah, 1996). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi semacam itu

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumber daya yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanah menjadi media utama manusia mendapatkan pangan, sandang, papan, tambang, dan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang 70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Fisik Daerah Geografi Kabupaten Garut secara geografis terletak di antara 6 0 56 49-7 0 45 00 Lintang Selatan dan 107 o 25 8-1088 o 7 30 Bujur Timur dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman apabila kekurangan air akan menderit (stress)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Disusun Oleh : Ridha Chairunissa 0606071733 Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran 151 Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran V.1 Analisis V.1.1 Analisis Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Dalam analisis alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan dibatasi pada tanaman pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah dengan bentangan Utara ke Selatan 34,375 Km dan Timur ke Barat 43,437 Km. kabupaten Temanggung secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci