SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN"

Transkripsi

1 SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

3 ABSTRAK VICTOR MAHAN. Simulasi Penyebaran Gas SO 2 dari Emisi Cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Dibawah bimbingan ANA TURYANTI dan FADILAH HASIM. Gas SO 2 merupakan salah satu polutan yang bersumber dari emisi cerobong industri, khususnya yang berbahan bakar batubara. Penyebaran polutan tersebut perlu dipelajari guna melakukan pemantauan kualitas udara, salah satunya metodenya yaitu melakukan simulasi dengan menggunakan model matematis. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung konsentrasi SO 2, melihat pola sebarannya serta menghitung jarak ketika konsentrasi SO 2 tersebut maksimum. Simulasi aliran gas dan udara dalam penelitian tugas akhir ini dilakukan menggunakan pendekatan dinamika fluida komputasional (CFD) dengan studi kasus di PLTU Suralaya. Persamaan konservasi massa dan momentum RANS, diselesaikan secara numerik dengan metode volume hingga (Finite Volume Method, FVM) menggunakan perangkat lunak FLUENT. Pemodelan turbulensi aliran dilakukan menggunakan persamaan Spalart-Allmaras sedangkan fluks difusi gas SO 2 dihitung menggunakan persamaan transpor spesies. Hasil simulasi menggunakan Fluent menunjukkan konsentrasi SO 2 maksimum di cerobong terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 495 mg m -3 sedangkan konsentrasi SO 2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil dengan nilai konsentrasi sebesar 5.06 µg m -3. Semakin stabil kondisi atmosfer, semakin lama polutan berada di atmosfer dan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi atmosfer, polutan semakin cepat jatuh ke tanah sehingga jarak ketika konsentrasi maksimum di permukaan tanah lebih dekat. Kata kunci : Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersi, simulasi, SO 2, stabilitas

4 ABSTRACT VICTOR MAHAN. Simulation of SO 2 dispersion from the stack emission using Computational Fluid Dynamics (CFD). Guided by ANA TURYANTI and FADILAH HASIM. Sulfur-dioxide (SO 2 ) is one of pollutants emitted from industrial stack emission, particularly from industries which use coal as the fuel. This pollutant dispersion needs to be studied for monitoring of air quality, one of it methods is by doing simulation using mathematical models. This research is directed to predict the distribution of SO 2 concentration, dispersion pattern and critical distance where the SO 2 concentration being maximum. The simulation is performed by applying CFD approach to the case of study in Suralaya power plant. A widely used CFD software called FLUENT is used to solve the equations of mass and Reynolds-Averaged Navier Stokes momentum conservations using finite volume method. Turbulence is modeled using the Spalart-Allmaras one equation while SO 2 flux diffusion is computed using the species transport equation. The simulation is performed for varying atmospheric condition from very unstable to very stable one. The simulation results show that the maximal SO 2 concentration at the stack is 495 mg m -3 occurs at unstable atmospheric condition, as for the maximal SO 2 concentration at the altitude of 1.5 m is 5.06 mg m -3 occurs at very unstable atmospheric condition. The more stable atmospheric condition the longer the pollutant exists in the air and it falls down to the ground at a farther distance. On the contrary, the more unstable atmospheric condition, the faster the pollutant falls down as of the distance when maximal concentration on the ground is closer. Keywords: Computational Fluid Dynamics (CFD), dispersion, simulation, SO 2, stability

5 SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DARI EMISI CEROBONG MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) VICTOR MAHAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Meteorologi Terapan DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 Judul Skripsi : Simulasi penyebaran gas SO 2 dari emisi cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) Nama : Victor Mahan NRP : G Menyetujui, Pembimbing 1 Pembimbing 2 Ana Turyanti, SSi., MT Dr. Fadilah Hasim NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP Tanggal lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1987 dan merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara pasangan Nindito Hadiwiyoto dan Yulia Surya Astuti. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 34 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB program Mayor-Minor melalui jalur SPMB dengan memilih Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun kedua. Semasa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi) dari tahun Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Analisis Meteorologi program Sarjana IPB tahun 2009.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul Simulasi penyebaran gas SO 2 dari emisi cerobong menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada: 1. Keluargaku tercinta, papa dan mama serta kak inet, kak vivi, dan kak desi atas doa dan dukungannya. 2. Ibu Ana Turyanti, S.Si., M.T dan Bapak Dr. Fadilah Hasim selaku pembimbing tugas akhir serta Ibu Hanni Harahap, ST yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat. 3. Bapak Dr. Yayat Ruhiyat atas bantuannya memberikan data penelitian dan masukannya. 4. Budi Setio Prasanto S.Si atas masukan yang diberikan serta Agus Gaussian STP atas informasinya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. 5. Kepala Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer, Prof. Ahmad Bey beserta seluruh dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi atas masukan dan ilmu yang telah diberikan selama ini. 6. Putri Tanjung Widiastuti S.Si, teman dan sahabat terbaik yang telah memberikan semangat, doa dan waktu dengan tulus. Terima kasih banyak atas segala perhatiannya. 7. Seluruh teman-teman GFM angkatan 42 yang telah bersama-sama selama 3 tahun menuntut ilmu. 8. Staf perpustakaan, Pak Pono atas pinjaman bukunya. Staf TU GFM, mas Aziz, mbak Wanti, mas Nandang, mbak Icha, Pak Djun, Ibu Enda. Terima kasih atas segala masukan dan bantuan administrasi. 9. Teman-teman PTD, Tuti, Uti, Yuges, Demin atas dukungannya serta Abdul, terimakasih banyak telah banyak membantu, semoga sukses selalu. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sebagai alternatif dalam melakukan pemantauan kualitas udara khususnya dari emisi cerobong industri. Penulis juga menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki sehingga tulisan ini bisa menjadi lebih baik. Bogor, Desember 2009 Penulis

9 DAFTAR SIMBOL A Luas Permukaan (m 2 ) b Konsentrasi polutan yang masuk ke dalam kota (µg m -3 ) c Konsentrasi rata-rata polutan pada keadaan steady state (µg m -3 ) C Konsentrasi polutan pada arah x,y, dan z (µg m -3 ) CD Koefisien hambat Cp Kapasitas panas (Joule kg -1 K -1 ) d Diameter (m) D Koefisien difusi massa (m 2 det -1 ) E Energi total (Joule) f Fraksi campuran Fungsi damping viskos Gaya hambat (N) F D g Percepatan gravitasi (m det -2 ) Gr Bilangan Grashof Produksi dari viskositas turbulen (m 2 det -1 ) h Entalpi spesies (Joule mol -1 ) H Tinggi (m) Ketinggian efektif cerobong (m) J Fluks difusi dari spesies (kg m -2 det -1 ) k Energi kinetik turbulen (m 2 det -2 ) k eff Konduktivitas (W m -1 K -1 ) L Panjang (m) n Nilai eksponen fungsi dari kekasapan permukaan p Tekanan (Pa) q Laju emisi per satuan luas (kg det -1 m -2 ) Q Laju emisi (kg det -1 ) r Jari-jari (m) R Rasio produksi spesies oleh reaksi kimia Re Bilangan Reynolds S Total entropi (J K -1 ) Sc Bilangan Schmidt Penambahan dari sumber lain T Suhu udara (ºC) u Kecepatan angin (m det -1 ) v Vektor kecepatan angin (m det -1 ) Viskositas kinematik molekul (m 2 det -1 ) W Y z Lebar (m) Fraksi massa Destruksi dari viskositas turbulen (m 2 det -1 ) Ketinggian vertikal (m) Difusivitas panas (m 2 det -1 ) Koefisien pemuaian panas (K -1 ) Konstanta von Karman y, z Standar deviasi kepulan (m) Kerapatan fluida (kg m -3 ) Stress tensor (Pa) µ Viskositas dinamik (Pa det) t Viskositas turbulen (Pa det) Fraksi mol Laju penurunan suhu adiabatik (ºC m -1 ) Konduktivitas panas (W m -1 K -1 )

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR SIMBOL vi DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian 1 II TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Udara Sumber dan Jenis Pencemaran Udara Karakteristik Sulfur Oksida (SO x ) Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Model Prediksi Dispersi Polutan Computational Fluid Dynamics (CFD) GAMBIT Fluent Pendekatan Model Persamaan Kontinuitas Persamaan Navier-Stokes Persamaan Turbulensi Persamaan Transpor Spesies Model Perpindahan Panas 15 III METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Jenis dan Sumber Data Alat Perhitungan Kadar Emisi SO 2 dari Cerobong Langkah Kerja Penelitian Asumsi Model 21 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Aliran di Dalam Model Kecepatan Aliran di Sekitar Cerobong Hasil Simulasi Penyebaran Gas SO 2 pada Setiap Stabilitas Atmosfer Kondisi Atmosfer Sangat Tidak Stabil Kondisi Atmosfer Tidak Stabil Kondisi Atmosfer Tidak Stabil Ringan Kondisi Atmosfer Netral Kondisi Atmosfer Stabil Ringan Kondisi Atmosfer Stabil Hasil Perhitungan Konsentrasi SO 2 Menggunakan Fluent dan Hasil Pengukuran Lapang 26 V KESIMPULAN 31 DAFTAR PUSTAKA 31 LAMPIRAN 34

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas 5 2 Kelas stabilitas berdasarkan gradien suhu 7 3 Kategori aliran berdasarkan bilangan Reynolds 14 4 Kategori aliran turbulen di sekitar silinder 14 5 Data fisik cerobong 17 6 Udara dan SO Nilai C D dari beberapa eksperimen 21 8 Hasil pengukuran kualitas udara emisi (SO 2 ) di cerobong PLTU Suralaya 26 9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO 2 ) di cerobong PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent Hasil perhitungan konsentrasi SO 2 di daerah Lebak Gede (2.9 km) Hasil perhitungan konsentrasi SO 2 di daerah perumahan Suralaya (1.7 km) Hasil pengukuran konsentrasi SO 2 di beberapa lokasi Hasil perhitungan konsentrasi SO 2 pada ketinggian z = 1.5 m Hasil simulasi konsentrasi SO 2 maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009) 28 ix

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perilaku kepulan di sekitar daerah (a) tepi pantai pada saat musim panas dan (b) perkotaan pada saat malam hari 4 2 Permasalahan sebaran polutan di daerah dekat lembah 4 3 (a) aliran di sekitar cerobong (b) zona aliran di sekitar cerobong 5 4 Pengurangan kecepatan angin di sekitar daerah aliran dengan densitas yang berbeda 6 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat 7 6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning (c) fanning (d) lofting (e) fumigation 8 7 Skema pemisahan aliran di sekitar silinder 14 8 Model geometri simulasi 18 9 Kontur kecepatan angin di sekitar cerobong hasil simulasi Kontur kecepatan angin dengan menggunakan dua persamaan turbulensi URANS dan LES Pembentukan vortex dan titik pemisahan aliran (B) pada aliran supercritical Hasil simulasi kontur pembentukan vorticity pada arah x di sekitar cerobong Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer tidak stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer tidak stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer netral (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer stabil ringan (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Kontur sebaran SO 2 pada kondisi atmosfer stabil (a) isometrik (b) tampak samping (c) tampak atas Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan (b) tinggi cerobong (H) terhadap konsentrasi polutan Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO 2 hasil normalisasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO 2 hasil simulasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil 30 x

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi PLTU Suralaya 35 2 Model geometri 36 3 Kondisi batas (boundary condition) pada model geometri 38 4 Diagram alir penelitian 39 5 Konsentrasi SO 2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak Stabil (c) tidak stabil ringan 40 6 Konsentrasi SO 2 di permukaan tanah pada keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil 41 7 Konsentrasi SO 2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan 42 8 Konsentrasi SO 2 di ketinggian z = 1.5 dan y = 0 keadaan atmosfer (a) netral, (b) stabil ringan, dan (c) stabil 43 xi

14 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Industri merupakan salah satu faktor penting terciptanya kemajuan kehidupan manusia. Kegiatan industri telah menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, namun di lain sisi kegiatan industri ini juga membawa dampak yang negatif berupa pencemaran lingkungan, baik itu berbentuk padat, cair, ataupun gas buang berupa asap yang keluar dari cerobong pabrik. Salah satu polutan yang terdapat di dalam asap tersebut adalah gas sulfur dioksida (SO 2 ). Polutan SO 2 jika melebihi ambang batas yang ditentukan maka akan membahayakan bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan material di sekitarnya. Dampak buruk polutan SO 2 bagi kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi ambang batas antara lain dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan pada umumnya sedangkan pada konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan (Soedomo 2001). Salah satu industri yang merupakan sumber polutan SO 2 adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai akibat dari penggunaan bahan bakar berupa batubara yang merupakan penghasil SO 2 terbesar (Nevers 2000). Kebutuhan listrik yang semakin meningkat akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya industri, mendorong pemerintah untuk membangun PLTU baru. Hal ini akan mempengaruhi kualitas udara sehingga perlu dilakukan pemantauan dan penelitian dalam rangka pengendalian. Peralatan yang mahal seringkali menjadi kendala, maka salah satu alternatif dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pemodelan yang bertujuan untuk memprediksi seberapa besar konsentrasi polutan yang terlepas ke lingkungan. Salah satu pemodelan tersebut adalah simulasi dengan pendekatan model matematis. Simulasi menggunakan model matematis harus dapat menjelaskan fenomena aliran fluida untuk mendapatkan hasil yang akurat karena gas SO 2 yang diemisikan dari cerobong pabrik tersebut merupakan sebuah fluida (gas) yang bergerak. Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan masalah aliran fluida adalah Computational Fluid Dynamics (CFD). CFD merupakan ilmu yang mempelajari perilaku aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, transpor massa, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan matematis (Tuakia 2008). Selama ini CFD banyak sekali digunakan dalam dunia teknik aliran fluida karena kemampuannya yang cukup baik dalam menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan aliran fluida, salah satunya adalah dispersi polutan (Duffin et al dan Tang et al. 2006). Penyelesaian permasalahan aliran fluida yang rumit sampai dengan tingkat desain memerlukan bantuan berupa perangkat lunak khusus yang dirancang untuk menyelesaikan masalah aliran fluida tersebut. GAMBIT dan Fluent merupakan beberapa perangkat lunak berbasis CFD yang telah banyak digunakan untuk berbagai penelitian dalam beberapa aplikasi, khususnya dalam bidang engineering karena kemudahan dalam penggunaannya serta kemampuannya dalam menganalisis aliran fluida dengan hasil yang cukup baik (Tuakia 2008). Di Indonesia, model untuk simulasi penyebaran polutan belum banyak digunakan sementara kebutuhan pembangkit listrik semakin meningkat sehingga perlu ada kajian lebih lanjut mengenai hal tersebut, salah satunya adalah di kawasan PLTU. PLTU Suralaya merupakan salah satu dari sekian banyak PLTU di Indonesia yang menggunakan bahan bakar batubara. Oleh karena itu, pada penelitian ini emisi SO 2 dari PLTU Suralaya menjadi contoh kajian simulasi penyebaran SO 2 menggunakan CFD. 1.2 Tujuan Penelitian 1. Melakukan simulasi pola penyebaran SO 2 dari sumber titik dengan menggunakan CFD 2. Menghitung konsentrasi SO 2 3. Menghitung jarak ketika konsentrasi SO 2 maksimum II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Penurunan kualitas udara disebabkan oleh masuknya zat pencemar ke dalam lingkungan udara tersebut. Zat pencemar yang masuk salah satunya berasal dari hasil sampingan kegiatan industri. Zat tersebut akan masuk dan terdispersi ke dalam atmosfer dan menyebabkan terjadinya pencemaran udara. 1

15 Beberapa definisi mengenai pencemaran udara antara lain, pencemaran udara merupakan masuknya bahan kimia ke dalam atmosfer akibat aktivitas manusia yang menyebabkan peningkatan konsentrasi di atas batas yang ditentukan (Krupa 1997). Lebih lanjut, pencemaran udara juga dapat didefinisikan sebagai hadirnya beberapa zat kimia yang tidak diinginkan di atmosfer, baik alami maupun akibat aktivitas manusia dalam jumlah yang berada diatas ambang batas dan dapat membahayakan bagi manusia, hewan, tumbuhan, ataupun material di sekitarnya (Seinfeld 1986; Nevers 2000). Berdasarkan definisi tersebut, semua partikel atau zat baik itu berupa padat, cair, ataupun gas yang kadarnya melebihi ambang batas yang ditentukan serta membahayakan makhluk hidup dapat dikatakan sebagai zat pencemar atau polutan Sumber dan Jenis Pencemaran Udara Menurut asalnya, sumber pencemar berasal dari dua sumber, yaitu alam (biogenic) dan aktivitas manusia (anthropogenic). Pencemaran udara alami adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara, diakibatkan oleh proses-proses alam seperti aktivitas vulkanik (gunung berapi), asap kebakaran hutan, debu meteorit, pancaran garam dari laut, dan sebagainya. Sedangkan pencemaran buatan, yang merupakan penyumbang 90% sumber pencemaran di daerah perkotaan, adalah masuknya zat pencemar oleh kegiatan manusia yang pada umumnya tanpa disadari terutama dihasilkan dari pembakaran batubara, minyak, dan gas (Soenarmo 1999; Tjasyono 2003). Sumber anthropogenic dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dan persampahan (Soedomo 2001). Menurut Soenarmo (1999), sumber pancaran zat pencemar ke dalam udara (atmosfer) ada tiga macam, antara lain: 1. Sumber titik kontinu, contohnya cerobong asap dari pabrik tenaga listrik yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara 2. Sumber garis, contohnya emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor yang bergerak 3. Sumber bidang atau area, merupakan sumber pencemar yang dipancarkan dari suatu daerah, seperti perkotaan, kawasan industri, dan sebagainya Sumber pencemar tersebut menghasilkan beberapa jenis zat pencemar yang berbeda-beda. Transportasi paling banyak menghasilkan zat pencemar karbon monoksida (CO), industri menghasilkan timbal (Pb) dan volatile organic compounds (VOCs), sedangkan untuk pembakaran batubara paling banyak menghasilkan particulate matter (PM 10 ), nitrogen oksida (NO x ), dan sulfur oksida (SO x ) Karakteristik Sulfur Oksida (SO x ) Gas sulfur oksida atau SO x yang terdiri dari gas SO 2 dan SO 3 mempunyai sifat yang berbeda. SO 2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar. Baunya akan terdeteksi oleh indera manusia ketika konsentrasinya berkisar antara ppm. SO 2 merupakan pencemar primer yang berada di atmosfer dan bereaksi dengan pencemar lain membentuk senyawa sulfur dan dapat menyebabkan hujan asam. Sedangkan SO 3 bersifat sangat reaktif dan mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara kemudian membentuk H 2 SO 4. Sulfur trioksida berwarna biru ketika partikel senyawanya sangat kecil, mencapai warna putih yang maksimum ketika ukurannya lebih besar, dan dengan cepat menjadi tidak terlihat ketika jumlah SO 3 yang sama terkondensasi ke dalam partikel yang sedikit lebih besar (Scorer 1968). Sumber terbesar penyumbang kontaminan gas SO 2 akibat aktivitas manusia adalah pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara dengan persentasi sebesar 41.6% (Warner 1937). SO 2 yang berasal dari aktivitas manusia jumlahnya hanya sepertiga dari jumlah keseluruhan yang terdapat di atmosfer. Sebanyak dua pertiganya berasal dari sumber alami, yaitu letusan gunung berapi. Kadar SO 2 yang jumlahnya melebihi ambang batas dapat membahayakan makhluk hidup. Pada tanaman dampaknya dapat dilihat dengan ciri-ciri fisik seperti timbulnya corak berwarna keputihan pada daun tanaman yang dapat berakibat terjadinya kehilangan klorofil dan plasmolisis (kerusakan sel daun). Alfalfa, gandum, kapas, dan apel merupakan contoh tanaman yang paling sensitif terhadap sulfur dioksida. Tanaman tersebut dapat terinfeksi pada konsentrasi SO 2 sebesar 780 µg m -3 selama 8 jam (Vesilind et al. 1990). Pada hewan dan manusia, pengaruh SO 2 berdampak pada kerusakan atau gangguan pernapasan. Iritasi tenggorokan pada manusia dapat terjadi pada konsentrasi 5 ppm atau lebih, bahkan 1-2 2

16 ppm pada individu yang lebih sensitif. Jika kadarnya mencapai 6-12 ppm, SO 2 mudah diserap oleh selaput lendir pernapasan bagian atas dan bersifat iritan. Apabila kadarnya semakin bertambah maka akan terjadi peradangan pada selaput lendir disertai dengan paralycis cilia, dan jika berkelanjutan dan terjadi berulang kali akan menyebabkan hyper plasia yang berpotensi menyebabkan timbulnya kanker (Fardiaz 1992). Dampak yang lain dari polutan SO 2 juga dapat terjadi pada material. Material, contohnya gedung, dapat mengalami korosi yang lebih cepat pada bagian luarnya yang menyebabkan kerusakan secara fisik. Sebagai tambahan, dampak yang ditimbulkan oleh polutan SO 2 seperti yang dijabarkan sebelumnya, khususnya oleh aktivitas manusia adalah akibat dari distribusinya yang tidak merata melainkan terpusat pada daerah tertentu saja sehingga konsentrasinya menjadi tinggi. Hal inilah yang berbahaya bagi makhluk hidup dan material di sekitarnya Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Menurut Soenarmo (1999), faktorfaktor yang mempengaruhi mekanisme penyebaran pencemaran udara antara lain sumber emisi dan atmosfer lokal Sumber Emisi Sumber emisi merupakan tempat atau lubang dikeluarkannya zat pencemar menuju ke dalam atmosfer. Sumber emisi tersebut memiliki karakteristik dan bentuk fisik yang berbeda-beda mulai dari segi luas, bentuk, dan tinggi lubang. Karakteristik dari sumber emisi antara lain laju pancaran (Q), kecepatan pengeluaran, geometri sekitar sumber emisi, dan bahan bakar yang digunakan (Soenarmo 1999). Laju pancaran (Q) merupakan jumlah zat pencemar yang dikeluarkan ke atmosfer (µg m -3 atau mg m -3 ) yang kadarnya tergantung pada kapasitas produksi. Semakin besar kapasitas produksi, laju pancaran akan semakin meningkat sehingga konsentrasi zat pencemar di dalam atmosfer juga akan bertambah, dan sebaliknya. Kecepatan pengeluaran merupakan laju zat pencemar yang keluar dari sumber emisi. Kecepatan pengeluaran tergantung pada proses produksi masing-masing sumber emisi tersebut serta berpengaruh terhadap laju keluarnya zat pencemar ke atmosfer. Geometri di sekitar sumber emisi merupakan keadaan tata ruang di sekitar sumber emisi, antara lain berupa bentuk dan ukuran bangunan sekitar, dan jenis tanaman di sekitar sumber emisi. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap pola sebaran zat pencemar yang melewati kawasan tersebut. Bahan bakar yang digunakan oleh sumber emisi bentuknya berbeda-beda, baik itu berupa cair (minyak tanah, bensin), gas (hidrogen, LPG), padatan (kayu, batubara), ataupun nuklir. Oleh karena itu, jenis zat pencemar hasil emisi dari masing-masing pembakaran bahan bakar tersebut juga berbeda Faktor Meteorologi Pada dasarnya, mempelajari dinamika atmosfer tidak sederhana. Berbagai macam proses terjadi di dalamnya mulai dari pergerakan molekul, turbulensi, perpindahan panas, reaksi kimia, presipitasi, perpindahan massa udara, dan sebagainya. Proses-proses tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem yang seimbang. Ketidakseimbangan sistem dapat terjadi ketika adanya kerusakan atau gangguan. Hal tersebut dapat berupa fenomena alam atau dapat juga disebabkan oleh tangan-tangan manusia, salah satunya zat pencemar dari asap pabrik. Pergerakan dan konsentrasi zat pencemar yang keluar menuju atmosfer setelah diemisikan dari sumbernya, sangat bergantung pada kondisi meteorologis di masing-masing daerah. Kondisi meteorologis tersebut antara lain adalah angin, suhu udara, stabilitas atmosfer, kelembaban relatif (RH), dan curah hujan. a. Angin Angin memiliki arah dan kecepatan. Arah menentukan kemana angin tersebut berhembus, dan kecepatan menentukan laju angin tersebut. Arah angin berperan penting dalam membawa ke arah mana zat pencemar tersebut terdispersikan sedangkan kecepatan angin berpengaruh terhadap besarnya konsentrasi zat pencemar tersebut ketika terdispersi. Kecepatan angin yang besar menyebabkan partikel zat pencemar terurai sehingga konsentrasinya akan lebih rendah dan sebaliknya. 3

17 Jenis angin yang paling berpengaruh terhadap penyebaran zat pencemar tersebut adalah angin lokal (Schnelle dan Dey 2000). Terdapat berbagai jenis angin lokal, diantaranya yaitu angin darat dan angin laut; angin gunung dan angin lembah. Angin darat relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan angin laut jika dilihat dari segi penyebaran polutan. Polutan hasil dari emisi ketika terjadi angin darat akan terdispersi ke arah laut, sedangkan ketika terjadi angin laut, polutan akan terdispersi ke arah daratan sehingga dampak buruk terhadap makhluk hidup kemungkinannya lebih besar karena makhluk hidup lebih banyak berada di atas daratan (Gambar 1a). Gambar 1 Perilaku kepulan di sekitar daerah (a) tepi pantai pada saat musim panas dan (b) perkotaan pada saat malam hari (Oke 1978) Gambar 2 Permasalahan sebaran polutan di daerah dekat lembah (Oke 1978) Angin lembah dan angin gunung terjadi akibat adanya perbedaan radiasi matahari yang diterima oleh daerah lereng gunung dan daerah gunung (perbedaan topografi) sehingga terjadi perbedaan suhu dan tekanan yang menyebabkan terjadinya perbedaan arah angin. Angin gunung akan menyebabkan dampak yang kurang baik bagi daerah perindustrian yang letaknya berada di lembah gunung karena pada daerah tersebut, inversi akan terjadi secara intensif di permukaan khususnya pada musim dingin akibat pemanasan radiasi matahari pada dinding gunung. Selain itu, keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya akumulasi polutan di daerah lembah akibat adanya turbulensi yang kuat (Gambar 2a) serta terjadinya downwash (Gambar 2b) sehingga polutan dipaksa menuju permukaan tanah. Begitu juga pada wilayah antara daerah urban dan suburban atau istilahnya biasa disebut dengan urban heat island, polutan juga akan terkonsentrasi di daerah perkotaan tersebut (Gambar 1b). Hal tersebut dapat terjadi karena pada daerah perkotaan memiliki kekasaran permukaan yang ditimbulkan oleh bangunan-bangunan tinggi seperti gedung bertingkat. Kondisi ini membuat turbulensi semakin tinggi sehingga meningkatkan penyebaran dari polutan yang dipancarkan. Sedangkan pada saat yang sama, bangunan dan aspal jalan raya bertindak sebagai penyimpan panas dari radiasi yang diterima selama sehari. Panas ini menambah panas dari pemanasan pada waktu malam hari selama musim dingin yang membuat perbedaan suhu dan tekanan antara kota dan daerah di sekitar kota sehingga sirkulasi lokal menuju ke dalam kota menjadi meningkat (Liu dan Liptak 1999). Penyebaran zat pencemar juga dipengaruhi oleh profil vertikal angin yang selalu berubah terhadap waktu dan tempat. Kekasapan permukaan yang berbeda-beda pada masing-masing daerah seperti perumahan, pepohonan, bangunan, dan pegunungan berpengaruh terhadap profil geser angin karena memiliki gaya gesek yang bervariasi. Aliran permukaan yang melewati permukaan kasar (shear stress) tersebut akan menimbulkan terjadinya turbulensi. Pada kondisi ini, zat pencemar akan bergerak dan terdispersikan secara acak di dalam atmosfer. Atmosfer terdiri dari beberapa lapisan dan salah satunya adalah lapisan troposfer. Lapisan tersebut letaknya paling dekat dengan bumi dengan ketinggian sekitar 18 km dari permukaan laut. Bagian terendah di dalam troposfer disebut dengan lapisan batas atmosfer (atmospheric boundary layer) atau disebut juga dengan Planetary Boundary Layer (PBL) dengan ketebalan sekitar km pada siang hari dan m pada malam hari. Lapisan batas ini merupakan suatu lapisan atmosfer di dekat permukaan dengan gaya kekasapan permukaan yang nyata dan massa udaranya mengandung karakteristik permukaan di bawahnya (Stull 1988). Pada lapisan ini terjadi pertukaran momentum, bahang, massa, begitu juga dengan polutan. 4

18 Pada lapisan batas ini, diturunkan sebuah persamaan profil kecepatan angin untuk menghitung kecepatan angin pada ketinggian z 1 dengan kecepatan angin pada ketinggian z sudah diketahui. Persamaannya adalah sebagai berikut:.. (1) keterangan: u = kecepatan angin pada ketinggian z u 1 = kecepatan angin pada ketinggian z 1 n = nilai eksponen (nilainya dapat dilihat pada tabel 1) Tabel 1 Nilai n pada setiap kelas stabilitas Kelas Stabilitas A (Sangat tidak stabil) 0.15 B (Tidak stabil) 0.15 C (Tidak stabil ringan) 0.20 D (Netral) 0.25 E (Stabil ringan) 0.40 F (Stabil) 0.60 Sumber : Cooper dan Alley 1994 Aliran yang melewati permukaan kasar dapat terjadi ketika melewati halangan berupa cerobong industri yang merupakan salah satu sumber emisi tidak bergerak. Halangan berupa cerobong industri tersebut juga dapat mempengaruhi arah aliran angin yang melewatinya. Sebaran polutan yang keluar dari cerobong arah pergerakannya akan dipengaruhi oleh aliran angin yang berhembus di sekitar cerobong tersebut. Aliran angin ketika menyentuh cerobong akan mengalami perubahan pola aliran sehingga beberapa besaran seperti kecepatan, tekanan, energi, dan momentum akan ikut berubah pula. Perubahan pola aliran tersebut akan mengikuti karakteristik bentuk bidang permukaan solid (cerobong) kemudian setelah melewatinya, pola aliran akan cenderung kembali pada kondisi kesetimbangannya semula (Gambar 3a). Terdapat empat zona aliran ketika angin melalui suatu penghalang dalam hal ini cerobong, yaitu displacement zone, cavity zone, wake zone, dan undisturbed flow. Aliran angin akan dipaksa naik melewati atas cerobong dan berkumpul dengan aliran yang berada di atasnya sehingga akan menyebabkan akselerasi kecepatan. Kondisi aliran ini terdapat di daerah displacement zone. Setelah melewati n cerobong, aliran akan menemui ruangan yang kosong, tetapi pada kenyataannya fluida tidak dapat secara cepat bereaksi untuk mengisi ruangan tersebut. Hal itu mengakibatkan aliran akan terpisah. Daerah di belakang cerobong terdapat tekanan yang rendah sehingga aliran yang terdapat di daerah tersebut (cavity zone) akan mengalami turbulensi, sedangkan aliran yang berada di atasnya akan berkembang kembali dan mengisi ruangan kosong yang berada di depannya. Daerah ini disebut dengan daerah wake zone (Oke 1978). Selain itu, terdapat suatu zona yang alirannya tidak terganggu atau tidak terpengaruh akibat adanya halangan cerobong tersebut yang dikenal dengan undisturbed flow. Daerah ini penting diketahui untuk melihat seberapa jauh cerobong mempengaruhi aliran secara horizontal maupun vertikal. Lebih jauh, daerah ini dapat digunakan sebagai patokan jarak untuk dijadikan sebagai batasan model secara vertikal dalam hal ini h (tinggi cerobong) sebagai faktor pengali terhadap penentu jarak minimum dimana aliran tersebut tidak terganggu. Gambar 3 (a) Aliran di sekitar cerobong (b) zona aliran di sekitar cerobong (Oke 1978) Besarnya jarak yang dibutuhkan kecepatan angin untuk kembali pada kecepatan semula setelah melewati cerobong tergantung pada densitas dari cerobong tersebut. Densitas cerobong yang dimaksudkan disini adalah persentase rasio antara panjang diameter luar mulut cerobong dengan tinggi cerobong (Oke 1978). Semakin besar densitas cerobong tersebut, maka pemulihan besarnya kecepatan angin untuk kembali ke kecepatan awalnya akan membutuhkan jarak yang lebih pendek 5

19 dibandingkan dengan cerobong yang memiliki densitas yang lebih kecil (Gambar 4). Gambar 4 Pengurangan kecepatan angin di sekitar daerah aliran dengan densitas yang berbeda (Oke 1978) b. Suhu dan Stabilitas Atmosfer Suhu udara bervariasi pada setiap ketinggian lapisan atmosfer. Pada lapisan troposfer, suhu udara menurun dengan bertambahnya ketinggian atau biasa disebut dengan lapse rate, tetapi pada keadaan tertentu di dekat permukaan sering ditemukan keadaan inversi yaitu ketika suhu udara menaik dengan bertambahnya ketinggian. Secara umum, lapse rate dapat diekspresikan dalam persamaan sebagai berikut:.. (2) merupakan adiabatic lapse rate, T adalah suhu (ºC), dan z merupakan ketinggian (m). Lapse rate memiliki dua tipe yaitu environmental lapse rate dan adiabatic lapse rate. Environmental lapse rate (ELR) merupakan perubahan negatif suhu aktual terhadap bertambahnya ketinggian di dalam atmosfer yang stasioner pada waktu dan tempat tertentu. Rata-rata ELR adalah sebesar 6.49 ºC/1000 m. Adiabatic lapse rate terbagi menjadi dua, yaitu dry adiabatic lapse rate (DALR) dan moist adiabatic lapse rate (MALR). DALR merupakan perubahan negatif suhu terhadap bertambahnya ketinggian ketika sebuah parsel udara menaik pada udara yang kering atau tidak jenuh dibawah kondisi adiabatik. Udara yang tidak jenuh memiliki RH< 100% dengan suhu aktualnya lebih besar dibandingkan titik embunnya (Td). Besarnya nilai DALR rata-rata adalah 9.8 ºC/1000 m. Moist adiabatic lapse rate (MALR) atau disebut juga dengan saturated adiabatic lapse rate (SALR) merupakan perubahan negatif suhu terhadap bertambahnya ketinggian ketika sebuah parsel udara menaik pada udara yang jenuh. Kondisi lapse rate ini berubah-ubah sesuai dengan kadar kelembabannya serta bergantung pada suhu dan tekanan rendah dengan nilai rata-rata sebesar 5 ºC/1000 m. Perbedaan nilai lapse rate antara DALR dengan MALR disebabkan oleh adanya perbedaan panas laten yang dilepaskan ketika air terkondensasi (Ahrens 2006). Kondisi inversi yaitu suhu udara menaik dengan bertambahnya ketinggian, merupakan kondisi yang sangat buruk dalam kaitannya dengan penyebaran zat polutan karena pada kondisi ini zat polutan tidak akan bisa naik ke atas melainkan akan cenderung untuk kembali ke permukaan dikarenakan suhu parsel udara lebih dingin dibandingkan udara di atasnya sehingga parsel akan cenderung menuju ke ketinggian awalnya. Perubahan suhu udara terhadap ketinggian juga berhubungan secara langsung terhadap stabilitas atmosfer. Secara umum, terdapat tiga kriteria stabilitas atmosfer yaitu netral, tidak stabil, dan stabil. Kriteria kestabilan atmosfer tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan antara laju penurunan suhu adiabatik dengan laju penurunan suhu lingkungan (aktual). Keadaan atmosfer netral adalah ketika laju penurunan suhu secara adiabatik sama dengan laju penurunan suhu lingkungan. Kerapatan udara di dalam parsel juga akan sama dengan densitas udara di luar parsel sehingga pada keadaan tersebut gaya buoyancy (gaya ke atas yang menahan suatu benda mengapung) tidak ada. Pada kondisi tidak stabil, laju penurunan suhu adiabatik lebih kecil dibandingkan dengan laju penurunan suhu lingkungan sehingga ketika suatu parsel akan bergerak naik dan mengalami pendinginan, suhu parsel tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di lingkungannya. Hal itu membuat kerapatan parsel tersebut akan lebih rendah daripada udara di sekitarnya yang membuat parsel tersebut akan terus naik. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh gaya buoyancy sehingga parsel tersebut akan terus bergerak ke atas. Kondisi atmosfer stabil ditunjukkan oleh suhu parsel yang lebih rendah dibandingkan suhu lingkungannya ketika bergerak naik karena pada kondisi ini laju 6

20 Gambar 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan perubahan suhu terhadap ketinggian tempat penurunan suhu adiabatik lebih besar dibandingkan dengan laju penurunan suhu lingkungan. Pada kondisi ini, parsel yang bergerak naik maupun bergerak turun akan cenderung kembali ke ketinggiannya semula. Deskripsi ketiga kriteria atmosfer tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 (Kushnir 2000). Garis merah tebal merupakan laju penurunan suhu lingkungan, garis merah putus-putus merupakan laju penurunan suhu adiabatik, Tp dan Te berturut-turut merupakan suhu parsel dan suhu lingkungan pada ketinggian Z 1. Penentuan stabilitas dengan menggunakan metode di atas membutuhkan observasi yang terus-menerus sehingga seorang ilmuwan bernama Pasquill mengkategorikan stabilitas atmosfer tersebut menjadi enam kelas stabilitas dari A sampai F dengan penentuan kelas tersebut berdasarkan pada beberapa parameter yaitu radiasi matahari, kecepatan angin di permukaan, dan penutupan awan (Pasquill 1962). Keenam stabilitas atmosfer tersebut dapat ditentukan berdasarkan kriteria gradien suhu yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelas stabilitas berdasarkan gradien suhu Kelas Stabilitas Gradien Suhu ( C/100 m) A (sangat tidak stabil) < -1.9 B (tidak stabil) -1.9 s.d -1.7 C (tidak stabil ringan) -1.7 s.d -1.5 D (netral) -1.5 s.d -0.5 E (stabil ringan) -0.5 s.d 1.5 F (stabil) 1.5 s.d 4.0 Sumber : Soenarmo 1999 Selain mempengaruhi pergerakan polutan secara vertikal, stabilitas atmosfer juga dapat mempengaruhi bentuk kepulan dari cerobong. Terdapat lima bentuk kepulan dari cerobong secara umum, yaitu looping, coning, fanning, lofting, dan fumigation (Oke 1978). Bentuk kepulan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4 dengan keterangan bahwa garis merah di sebelah kiri gambar menunjukkan ELR sedangkan garis hitam menunjukkan DALR. Pada bentuk kepulan looping (Gambar 6a), pengaruh turbulensi cukup besar. Bentuk kepulan ini naik turun dan polutannya terdispersi ke berbagai arah,tercampur dengan udara sekitarnya. Kondisi ini terjadi pada saat keadaan atmosfer tidak stabil dan biasanya terjadi pada saat siang hari yang terik. Bentuk kepulan ini lebih menguntungkan walaupun polutannya jatuh ke tanah pada jarak yang lebih dekat karena polutan tersebut konsentrasinya rendah akibat adanya pencampuran dengan udara sekitarnya sehingga cenderung tidak membahayakan makhluk hidup. Kepulan coning (Gambar 6b) terbentuk pada saat kondisi atmosfer mendekati netral dan biasa terjadi pada keadaan mendung, disaat malam hari ataupun siang hari. Pencampuran secara vertikal dan turbulensi kecil sehingga polutan cenderung lebih tersebar secara horizontal. Kemudian untuk bentuk kepulan fanning (Gambar 6c), konsentrasi polutan cukup tinggi karena percampuran secara vertikal dan turbulensi hampir tidak ada di lokasi tersebut. Hal ini menyebabkan polutan terkonsentrasi dan terpusat dengan bentuk seperti garis tebal yang konstan di atmosfer. Bentuk kepulan ini dapat terjadi pada keadaan atmosfer sangat stabil atau pada sistem yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya polutan pada bentuk kepulan seperti ini akan jatuh ke tanah pada jarak yang cukup jauh sehingga ketika sudah sampai di tanah konsentrasinya akan jauh berkurang akibat terbawa angin. 7

21 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 6 Bentuk kepulan dari sumber titik (a) looping (b) coning (c) fanning (d) lofting (e) fumigation (Saperaud 2005) Selanjutnya untuk bentuk kepulan lofting (Gambar 6d), terbentuk pada saat sore hari menjelang malam ketika di dekat permukaan kondisi atmosfernya stabil sedangkan di atasnya kondisi atmosfernya masih tidak stabil. Hal ini mengakibatkan pada bagian atas kepulan lebih terlihat terjadinya turbulensi dibandingkan pada bagian bawahnya. Berbeda dengan kepulan yang lain, bentuk kepulan fumigation (Gambar 6e) merupakan bentuk yang paling buruk. Pada daerah dekat permukaan kondisi atmosfer tidak stabil sedangkan di atasnya kondisi atmosfer stabil. Hal ini berakibat polutan yang berada di bawah tidak dapat terdispersikan ke atas melewati daerah yang stabil tersebut sehingga menyebabkan polutan bercampur di daerah dekat dengan permukaan. c. Kelembaban Relatif (RH) dan Curah Hujan (CH) Kelembaban udara merupakan banyaknya uap air yang terdapat dalam kandungan air dan udara dalam fase gas. Kelembaban relatif ini cukup penting dalam pengaruhnya terhadap pencemaran udara karena dapat mempengaruhi jarak pandang. Kandungan uap air ketika mengembun akan membentuk kabut yang dapat mempengaruhi pandangan. Selain itu, uap air dalam jumlah yang banyak akan menghalangi radiasi matahari yang masuk ke bumi sehingga akan menghambat radiasi matahari tersebut untuk memecah inversi. Hal tersebut akan mengakibatkan zat pencemar yang berada di udara lebih lama berada di atmosfer. Uap air yang mengembun menjadi kabut juga akan mengakibatkan perubahan SO 3 menjadi H 2 SO 4 menjadi lebih cepat yang berbahaya bagi makhluk hidup (Fardiaz 1992). Kelembaban udara jika kadarnya kurang dari 60% (rendah) maka akan membantu memperlambat atau mengurangi efek korosif dari SO 2 sedangkan jika kadarnya sekitar 80% maka akan memperburuk atau mempercepat efek korosif pada benda. Selain itu, udara yang kadar uap airnya tinggi dapat membantu partikel polutan seperti debu untuk cepat jatuh ke tanah karena debu tersebut menempel pada uap air dan akibat adanya gravitasi maka uap air bersama debu yang menempel akan tertarik ke bumi. Sulfur dioksida yang jatuh ke bumi bersama dengan curah hujan akan membentuk hujan asam. Ketika curah hujan tersebut yang sudah bercampur jatuh menyentuh tanah, tanaman, bangunan, sungai, dan sebagainya maka akan sangat berbahaya. Jika mengenai bangunan akan menyebabkan efek korosif, sedangkan jika menyentuh kawasan hutan 8

22 akan mengakibatkan deforestasi dan ketika mengenai daerah perairan maka akan mengganggu ekosistem yang ada di dalamnya karena dapat menyebabkan kematian bagi makhluk hidup yang tinggal di perairan tersebut (EPA 2007). 2.2 Model Prediksi Dispersi Polutan Terdapat berbagai macam model prediksi dispersi polutan, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang lebih kompleks yaitu (a) model empirik: hanya didasarkan pada data sumber emisi, kualitas udara, dan meteorologi (b) model numerik: berdasarkan prinsip dasar fisika dan kimia yang berhubungan dengan proses dalam pencemaran udara, contohnya adalah model kotak-tetap (c) model semi-empirik: berdasarkan formulasi yang diturunkan dari prinsip scientific, tetapi berdasar pada parameter yang ditentukan secara empirik, contohnya adalah model Gaussian (d) model dinamik: berdasarkan persamaan-persamaan diferensial fisika dan kimia yang berhubungan dengan dinamika aliran fluida di atmosfer Model Kotak Tetap (Fixed-Box Model) Model kotak tetap merupakan model pendugaan konsentrasi polutan yang mudah digunakan untuk daerah perkotaan, tetapi model ini juga memiliki beberapa kekurangan. Model ini hanya bersifat prediksi numerik saja sehingga secara kualitatif hasilnya benar, sedangkan secara kuantitatif masih belum memadai (Nevers 2000). Perhitungan konsentrasi polutan dengan model ini menggunakan beberapa asumsi antara lain: Kota berbentuk dimensi L (panjang) dan W (lebar), salah satunya paralel dengan arah datangnya angin. Turbulen di atmosfer menyebabkan percampuran polutan terjadi secara keseluruhan hanya sampai di daerah batas mixing height H (tinggi). Turbulen cukup kuat di daerah upwind sehingga membuat konsentrasi polutan seragam di seluruh volume udara kota tersebut. Angin berhembus di arah x dengan kecepatan angin u. Diasumsikan kecepatan angin seragam di setiap ketinggian. Konsentrasi polutan di udara ketika memasuki kota (x = 0) adalah konstan dan nilainya sama dengan b. Nilai laju emisi polutan di kota tersebut adalah Q (biasanya diekspresikan dalam g det -1 ) dan biasa dinyatakan dalam laju emisi per luas area (g m -2 det -1 ). Secara matematis nilai tersebut dapat digambarkan pada persamaan 3. Q = qa.. (3) A adalah luasan area (L x W). Laju emisi ini konstan dan tidak berubah dengan waktu. Tidak ada polutan yang keluar ataupun masuk dari atas kotak ataupun melalui sisi yang paralel dengan arah angin. Polutan yang berada di atmosfer stabil dan tidak dapat terurai. Konsentrasi polutan yang terdapat di dalam udara ambien dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan model kotak tetap berikut ini (Nevers 2000): c = b +.. (4) keterangan : c = konsentrasi rata-rata polutan pada keadaan steady state b = konsentrasi polutan yang masuk ke dalam kota (g m -3 atau µg m -3 ) q = laju emisi per satuan luas (g m -2 det -1 ) L = panjang (m) u = kecepatan angin (m det -1 ) H = tinggi (m) Model Gaussian Pendekatan ini bertumpu pada kenyataan bahwa solusi dasar persamaan klasik difusi Fick merupakan distribusi normal. Model Gauss telah dicobakan untuk sumber tunggal pada kondisi meteorologi khusus dengan waktu rata-rata satu jam atau lebih. Model ini cukup valid untuk difusi dengan waktu yang lama, kondisi homogen dan stasioner (Soenarmo 1999). Liu dan Liptak (1999) menambahkan bahwa model ini juga efektif untuk menggambarkan difusi polutan pada jarak kondisi atmosfer tertentu dengan menggunakan standar deviasi dari distribusi Gaussian dalam dua arah untuk menggambarkan karakteristik dari polutan sesuai dengan arah anginnya. Secara 9

23 = ( ) ( + )... (5) keterangan: = konsentrasi polutan pada arah x, y, dan z (µg m -3 ) = nilai emisi dari polutan (g det -1 ), = standar deviasi kepulan (m) = kecepatan angin vertikal rata-rata yang melintasi ketinggian kepulan (m det -1 ) = jarak lateral (m) = jarak vertikal (m) = ketinggian efektif cerobong (m) matematis, model Gaussian pada sumber titik secara umum dapat digambarkan pada persamaan 5 (Liu dan Liptak 1999). Asumsi yang digunakan pada model ini antara lain (Leonard 1997): 1. Turbulensi atmosfer konstan 2. Kecepatan dan arah angin dari sumber titik sampai reseptor konstan 3. Kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout 4. Tidak ada komponen yang diserap oleh badan air ataupun vegetasi 5. Dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind 6. Tidak ada komponen yang mengalami transformasi secara kimia 7. Komponen yang mencapai permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan Berdasarkan asumsi-asumsi yang dijabarkan pada model numerik dan semiempirik tersebut yaitu model kotak-tetap dan Gaussian, masih terdapat beberapa kekurangan yang signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan model yang lebih kompleks yang lebih mampu menjelaskan fenomenafenomena yang terjadi dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dan akurat. Salah satu model tersebut yang telah banyak dikembangkan adalah model dinamik. 2.3 Computational Fluid Dynamics (CFD) Penyebaran polutan di atmosfer akan selalu mengikuti perilaku atmosfer, oleh karena itu untuk mempelajari aliran polutan tersebut pola aliran fluida perlu dipahami. Dewasa ini telah berkembang suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika yang mampu memprediksi suatu aliran fluida lebih tepat dan akurat yang dikenal sebagai Computational Fluid Dynamics (CFD) (Tuakia 2008). Persamaan matematis yang terdapat di dalam CFD tersebut beragam dan cukup kompleks sehingga penyelesaiannya membutuhkan suatu alat bantu berupa perangkat lunak. Beberapa perangkat lunak yang berbasis CFD diantaranya adalah Engineering Fluid Dynamics (EFD), CFX, Flow-3D, Phoenix, Starcd, Numeca, dan Fluent. CFD telah banyak digunakan baik untuk tujuan komersil, penelitian, maupun akademis yang hasilnya dapat diterima dengan baik. Contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prasanto (2008) yang menunjukkan bahwa simulasi penyebaran SO 2 yang dilakukan menggunakan Fluent memberikan hasil yang lebih baik sebesar 66.3% dibandingkan model Gaussian yang hanya memberikan akurasi sebesar 2.6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa CFD memiliki hasil prediksi yang lebih baik dan akurat. Selain itu, penggunaan CFD dalam bidang pencemaran udara juga telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya digunakan pada sumber transportasi terutama di jalan yang berbentuk street canyon (Baik et al. 2003; Shui et al. 2009; Chu et al. 2004). Beberapa kegunaan CFD dalam dalam berbagai bidang antara lain (Tuakia 2008): 1. Bidang arsitektur, contohnya mendesain ruangan yang aman dan nyaman 2. Aerodinamika, contohnya mendesain kendaraan untuk meningkatkan efisiensi 3. Olahraga, contohnya mencari rahasia tendangan melengkung pada sepak bola 4. Kesehatan, contohnya mengobati penyakit arterial (computational hemodynamics) dan ahli keamanan dalam mengurangi resiko kesehatan akibat radiasi 10

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA

SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA SIMULASI PENYEBARAN GAS SO 2 DENGAN MODEL FLUENT DAN MODEL DIFUSI GAUSS GANDA (Studi Kasus di PLTU PT. INDORAMA SYNTHETICS tbk.) TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana di

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA BAB III METODOLOGI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Data yang akan digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini, antara lain data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara, arah dan kecepatan

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) 9 Kasus 2 : - Top of model : 15 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3 Desember 211 - Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO 2 dan SO 2 3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN Dari simulasi yang telah dilakukan didapat hasil sebaran konsentrasi SO 2 dari data emisi pada tanggal 31 Oktober 2003 pada PLTU milik PT. Indorama Synthetics tbk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Besaran dan peningkatan rata-rata konsumsi bahan bakar dunia (IEA, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Besaran dan peningkatan rata-rata konsumsi bahan bakar dunia (IEA, 2014) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era modern, teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini akan mempengaruhi pada jumlah konsumsi bahan bakar. Permintaan konsumsi bahan bakar ini akan

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio)

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Abdu Fadli Assomadi Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim karakteristik tinggi skala (scale height) Dalam mempelajari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA) HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1. Perbedaan Suhu dan Panas Panas umumnya diukur dalam satuan joule (J) atau dalam satuan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara

2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara 2 2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara Menurut asalnya, sumber pencemaran udara dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan non alami (buatan). Sumber pencemar alami yaitu masuknya zat pencemar ke udara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan penting sebagai bahan pangan pokok. Revitalisasi di bidang pertanian yang telah dicanangkan Presiden

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Body force : 0,5 Momentum : 0,4 Modified turbulent viscosity : 0,3 Turbulent viscosity : 0,3 Turbulent dissipation rate : 0,3 CO : 0,5 Energi : 0,5 Jam ke-4 Pressure velocity coupling : SIMPLE Under

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 RANCANGAN OBSTACLE Pola kecepatan dan jenis aliran di dalam reaktor kolom gelembung sangat berpengaruh terhadap laju reaksi pembentukan biodiesel. Kecepatan aliran yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang begitu pesat dewasa ini sangat mempengaruhi jumlah ketersediaan sumber-sumber energi yang tidak dapat diperbaharui yang ada di permukaan

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

Kecenderungan untuk menahan gerakan vertikal udara/turbulensi menentukan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan pencemar yang diemisikan.

Kecenderungan untuk menahan gerakan vertikal udara/turbulensi menentukan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan pencemar yang diemisikan. 6.1.Stabilitas Atmosfer 6.1.1. Pengertian Stabilitas Atmosfer Stabilitas: Kecenderungan untuk menahan gerakan vertikal udara/turbulensi menentukan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan pencemar yang

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup semua mahluk hidup terutama manusia. Seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur mulai

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian dan kandungan gas atmosfer. 2. Memahami fungsi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN THE AIR POLLUTION MODEL (STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006) OLEH :

ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN THE AIR POLLUTION MODEL (STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006) OLEH : ANALISIS TRAYEKTORI ASAP KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN THE AIR POLLUTION MODEL (STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN KALIMANTAN 2006) OLEH : DICKY FAJAR ANUGRAH G24103029 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Nur Rima Samarotul Janah, Harsono Hadi dan Nur Laila Hamidah Departemen Teknik Fisika,

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI 3.1 KONDISI ALIRAN FLUIDA Sebelum melakukan simulasi, didefinisikan terlebih dahulu kondisi aliran yang akan dipergunakan. Asumsi dasar yang dipakai

Lebih terperinci

Bab 4 Perancangan dan Pembuatan Pembakar (Burner) Gasifikasi

Bab 4 Perancangan dan Pembuatan Pembakar (Burner) Gasifikasi Bab 4 Perancangan dan Pembuatan Pembakar (Burner) Gasifikasi 4.1 Pertimbangan Awal Pembakar (burner) adalah alat yang digunakan untuk membakar gas hasil gasifikasi. Di dalam pembakar (burner), gas dicampur

Lebih terperinci

KONSEP DASAR KIMIA UDARA

KONSEP DASAR KIMIA UDARA Company LOGO KONSEP DASAR KIMIA UDARA Zulfikar Ali As Poltekkes Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan Banjarbaru KOMPOSISI UDARA BERSIH Gass By Volume of dry air ppm Nitrogen Oxygen Argon Carbon dioxyde

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BEBERAPA ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kontaminan Adalah semua spesies kimia yang dimasukkan atau masuk ke atmosfer yang bersih. 2. Cemaran (Pollutant) Adalah kontaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Penyediaan energi listrik secara komersial yang telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI BAB VI FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI VI.1 Pendahuluan Sebelumnya telah dibahas pengetahuan mengenai konversi reaksi sintesis urea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

TUGAS AKHIR. Oleh REZA DARMA AL FARIZ PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 PREDIKSI KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO) DAN SULFUR DIOKSIDA (SO 2 ) DARI SUMBER TRANSPORTASI DI JALAN S.PARMAN MEDAN MENGGUNAKAN BOX MODEL STREET CANYON TUGAS AKHIR Oleh REZA DARMA AL FARIZ 130407011

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Penentuan Data Uncertainty Dalam setiap penelitian, pengambilan data merupakan hal yang penting. Namun yang namanya kesalahan pengambilan data selalu ada. Kesalahan tersebut

Lebih terperinci

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman

Lebih terperinci

STRUKTURISASI MATERI

STRUKTURISASI MATERI STRUKTURISASI MATERI KOMPETENSI DASAR 3.9 Menganalisis gejala pemanasan global dan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan 4.8 Menyajikan ide/gagasan pemecahan masalah gejala pemanasan global dan dampaknya

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Distribusi Suhu Kolektor Surya 1. Domain 3 Dimensi Kolektor Surya Bentuk geometri 3 dimensi kolektor surya diperoleh dari proses pembentukan ruang kolektor menggunakan

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nutrient Film Technique (NFT) Nutrient film technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di Glasshouse

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif

Lebih terperinci

Atmosfer. 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer. Meteorology for better life

Atmosfer. 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer. Meteorology for better life Atmosfer 1. Bahan 2. Struktur 3. Peranan Atmosfer 2 1 Bahan Penyusun Gas ~96%volume Udara kering 99.9% Gas utama 0.01% Gas penyerta (permanen, tidak permanen) >dftr Udara Lembab di daerah Subtropika 0%

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI PERMUKAAN POLUTAN SULFUR DIOKSIDA (SO*) MENGGUNAKAN MODEL GAUSSIAN (STUD1 KASUS : PT. YAMAHA MOTOR MANUFARTURING, JAKARTA)

PENDUGAAN KONSENTRASI PERMUKAAN POLUTAN SULFUR DIOKSIDA (SO*) MENGGUNAKAN MODEL GAUSSIAN (STUD1 KASUS : PT. YAMAHA MOTOR MANUFARTURING, JAKARTA) PENDUGAAN KONSENTRASI PERMUKAAN POLUTAN SULFUR DIOKSIDA (SO*) MENGGUNAKAN MODEL GAUSSIAN (STUD1 KASUS : PT. YAMAHA MOTOR MANUFARTURING, JAKARTA) OLEH : MUHAMMAD HAKIKI G24103021 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO)

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO) PENGARUH JUMLAH KENDARAAN DAN FAKTOR METEOROLOGIS (SUHU, KECEPATAN ANGIN) TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI GAS PENCEMAR CO, NO₂, DAN SO₂ PADA PERSIMPANGAN JALAN KOTA SEMARANG (STUDI KASUS JALAN KARANGREJO

Lebih terperinci

Teori Kinetik Gas Teori Kinetik Gas Sifat makroskopis Sifat mikroskopis Pengertian Gas Ideal Persamaan Umum Gas Ideal

Teori Kinetik Gas Teori Kinetik Gas Sifat makroskopis Sifat mikroskopis Pengertian Gas Ideal Persamaan Umum Gas Ideal eori Kinetik Gas eori Kinetik Gas adalah konsep yang mempelajari sifat-sifat gas berdasarkan kelakuan partikel/molekul penyusun gas yang bergerak acak. Setiap benda, baik cairan, padatan, maupun gas tersusun

Lebih terperinci

ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK

ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada program Studi Teknik Mesin Oleh N a m a : CHOLID

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME Vandri Ahmad Isnaini, Indrawata Wardhana, Rahmi Putri Wirman Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosfer Troposfer Lapisan ini berada pada level yang paling rendah, campuran gasgasnya adalah yang paling ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Di lapisan

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PETA LOKASI DAN DATA MASUKAN

LAMPIRAN I PETA LOKASI DAN DATA MASUKAN DAFTAR PUSTAKA 1. Camelli, F. E., S. R. Hanna, and R. Löhner, 2004, Simulation of the MUST field experiment using the FEFLO-Urban CFD model. Fifth Symp. on the Urban Environment, Vancouver, BC, Canada,

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.10 1. Akhir-akhir ini suhu bumi semakin panas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena efek rumah kaca. Faktor yang mengakibatkan semakin

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu

Lebih terperinci

MODEL PENYEBARAN NITROGEN DIOKSIDA (NO2) AKIBAT PROSES INDUSTRI

MODEL PENYEBARAN NITROGEN DIOKSIDA (NO2) AKIBAT PROSES INDUSTRI MODEL PENYEBARAN NITROGEN DIOKSIDA (NO2) AKIBAT PROSES INDUSTRI 1) Mohamad Syafi i 1) Fakultas MIPA, Program Studi Magister Matematika, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Nepuluh Nopember. Oleh M. A ad Mushoddaq NRP : Dosen Pembimbing Dr. Ir.

FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Nepuluh Nopember. Oleh M. A ad Mushoddaq NRP : Dosen Pembimbing Dr. Ir. STUDI NUMERIK PENGARUH KELENGKUNGAN SEGMEN KONTUR BAGIAN DEPAN TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN FLUIDA MELINTASI AIRFOIL TIDAK SIMETRIS ( DENGAN ANGLE OF ATTACK = 0, 4, 8, dan 12 ) Dosen Pembimbing Dr. Ir.

Lebih terperinci

Sulfur dan Asam Sulfat

Sulfur dan Asam Sulfat Pengumpulan 1 Rabu, 17 September 2014 Sulfur dan Asam Sulfat Disusun untuk memenuhi Tugas Proses Industri Kimia Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, M.S. Ayu Diarahmawati (135061101111016)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena konveksi merupakan fenomena akibat adanya perpindahan panas yang banyak teramati di alam. Sebagai contohnya adalah fenomena konveksi yang terjadi di

Lebih terperinci