Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan industri dan daerah padat industri yaitu, Dago (BAF1), Ariagraha (BAF2), Tirtalega (BAF3), Batununggal (BAF4) dan Cisaranten Wetan (BAF5). Kelima stasiun ini terletak pada koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4. Sumber : Bappenas, Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung 13

2 Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas Udara Bandung Stasiun Latitude Longitude Altitude (mdpl) BAF BAF BAF BAF BAF Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung (gambar 7 dan 8). Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan dispersi/transpor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah dan faktor meteorologi (kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi). 4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum Henry Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya. Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 23 C-25 C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23 1,33 dengan rata-rata 1.28 (K H ) dan dengan rata-rata (K ) pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara dengan rata-rata 1.26 (K H ) serta dengan rata-rata (K ). Suhu di stasiun Dago cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21 C- 24 C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara dengan rata-rata 1.35 (K H ) dan dengan rata-rata (K ) pada musim kering, dan dengan rata-rata 1.31 (K H ) serta dengan rata-rata (K ) pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta hukum Henry baik konstanta kesetimbangan (K H ) maupun konstanta kesetimbangan disosiasi pertama (K ) di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ophardt (2003) yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO 2 dalam air. Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya akan semakin berkurang (gambar 6). Hal ini disebabkan penambahan panas akan menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah. Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil. 4.3 Curah Hujan Presipitasi memberikan proses pencucian polutan yang efektif dalam atmosfer. Efisiensi dari proses ini tergantung pada hubungan yang kompleks antara kandungan polutan dan karakteristik dari presipitasi tersebut. Proses yang paling efektif adalah pencucian partikel besar di lapisan atmosfer paling bawah dimana banyak polutan dilepaskan (washout). Curah hujan yang terjadi di Bandung cukup tinggi, dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober dan Februari dan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Gambar 9. Kelarutan SO 2 Dalam Air Versus Suhu 14

3 (Sumber : Kirk Othmer Ency of Chemical Technology, 2007) Suhu ( C) jan mart mei jul Bulan sept nov Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun Kualitas Udara Bandung CH (mm) Day januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober november desember Gambar 11. Grafik Curah Hujan Kota Bandung 4.4 Arah dan Kecepatan Angin Menurut Prawirowardoyo (1996) gerak atmosfer ada dua jenis yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi mempunyai dua arah, yaitu arah horizontal dan vertikal. Pada umumnya gerak atmosfer adalah horizontal, karena daerah yang diliputinya luas dan kecepatannya lebih besar daripada vertikalnya. Arah dan kecepatan angin di Bandung terutama disebabkan oleh kondisi topografi. Kota Bandung lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga tekanan di daerah ini rendah. Tekanan udara yang rendah menjadikan Bandung sebagai daerah tujuan angin. Selain itu topografi Bandung berbentuk seperti cekungan dengan bagian relatif terbuka (topografi rendah) di Bagian Barat. Dari arah Barat yang terbuka ini udara masuk menuju lembah, tetapi dari arah Timur juga ada angin yang menuju lembah sehingga terjadi konvergensi. Bagian Barat laut lebih landai sedangkan bagian Tenggara berpegunungan dengan ketinggian sekitar 2 km dpl. Topografi cekungan Bandung rumit dengan ketinggian berkisar antara 600 m hingga lebih dari 2000 m. Daerah yang berkontur rendah dan relatif datar dikelilingi oleh pegunungan di Bagian Utara, Selatan dan Timur dengan ketinggian sekitar m (Turyanti, 2005). Daerah pegunungan akan menyebabkan arah dan kecepatan angin menjadi tidak beraturan karena bentuk topografi yang ada cukup rumit. Wilayah berpegunungan menyebabkan adanya konveksi mekanik sehingga arah angin tidak selalu mengikuti pola perubahan suhu dan tekanan. Kecepatan angin di lima stasiun pengukuran relatif kecil dengan kisaran antara 2 3 m/s dengan arah angin rata-rata ke arah timur dan tenggara pada musim kering dan ke arah Barat atau Barat Daya pada musim hujan (Gambar 9-18). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Cekungan Bandung adalah angin Baratan dan Timuran (termasuk di dalamnya angin Barat, Barat laut serta Timur dan Tenggara). Kecepatan dan arah angin di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan., sedangkan kecepatan dan arah angin serta di keempat stasiun lainnya dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal, namun pengaruh topografi juga mempengaruhi arah dan kecepatan angin karena keempat stasiun pengamatan terletak pada cekungan Bandung sehingga pengaruh angin yang turun dari lereng menuju lembah akan cukup kuat. Kecepatan angin di stasiun Dago pada musim hujan berkisar antara 2-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan Barat dengan sedikit ke arah Tenggara sehingga terlihat bahwa angin dominan di stasiun ini pada musim hujan adalah angin Timur dan Timur Laut, sedangkan pada musim kering kecepatan angin berkisar antara 2-3 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Timur Laut dan Timur sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Dago pakar adalah timur laut terutama pada sore, malam hingga pagi hari dan sedikit dari tenggara pada siang hari.arah Timur Laut dari Dago pakar adalah lereng pegunungan sehingga pengaruh topografi terhadap arah angin dominan dalam 15

4 hal ini sangat berpengaruh (Gambar 12 dan 13). Kecepatan angin di stasiun Ariagraha adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan sedikit ke arah Barat dan Barat Daya pada musim hujan sehingga pada musim hujan stasiun ini sedikit dipengaruhi oleh angin Timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Barat Laut (Gambar 14 dan 15). Stasiun Ariagraha terletak di wilayah pemukiman sebelah Selatan bandung sehingga wilayah ini dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara dimana angin yang turun dari lereng akan cukup kuat menuju lembah. Kecepatan angin di stasiun Tirtalega pada musim hujan berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Barat dan Barat Daya sehingga angin dominan di stasiun ini adalah angin timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin rata-rata adalah berkisar antara 1-2 m/s dan terdapat calm (angin lemah) ke arah Tenggara dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s, calm ini dapat menghambat peneyebaran polutan. Arah angin dominan pada musim kering adalah ke arah Selatan dan Tenggara sehingga pada musim kering daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di stasiun Tirtalega adalah ke arah Tenggara (Gambar 16 dan 17). Hal ini disebabkan stasiun ini mendapat pengaruh dari lereng yang cukup tajam pada arah tenggara cekungan Bandung. Kecepatan angin di staiun Batununggal pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat daya, Barat dan Barat laut. Terdapat sedikit calm dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s ke arah Selatan dan Barat Daya. Pada musim kering kecepatan angin adalah berkisar antara 1-2 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara (Gambar 18 dan 19). Sama halnya dengan stasiun Ariagraha, stasiun Batununggal juga terletak di bagian Selatan Kota Bandung sehingga dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara cekungan bandung. Kecepatan angin di stasiun Cisaranten pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara dan sedikit ke arah Timur, sehingga pada musim hujan, angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat Daya dan Selatan, sehingga angin dominan di stasiun ini pada musim kering adalah angin Timur Laut (Gambar 20 dan 21). Terlihat bahwa pola angin stasiun Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berbeda dengan keempat stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan stasiun Cisaranten terletak pada bagian Timur Kota Bandung dimana terdapat pengaruh dari lereng pegunungan sebelah Tenggara Kota Bandung dan dari daerah bagian Barat Kota Bandung yang topografinya rendah sehingga terjadi konvergensi saat udara dari bagian Barat bertemu dengan angin yang turun dari lereng pegunungan sebelah Tenggara menuju lembah. Gambar 12. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Dago Gambar 13. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Dago 16

5 Gambar 14. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Ariagraha Gambar 18. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Batununggal Gambar 15. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Ariagraha Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Batununggal Gambar 16. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Tirtalega Gambar 20. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Cisaranten Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Tirtalega Gambar 21. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Cisaranten 17

6 4.5 Konsentrasi Gas SO 2 Menurut Utama (2004) sumber pencemar utama yang mengemisi polutan paling besar di kota Bandung adalah sektor transportasi diikuti oleh industri, domestik dan pembakaran sampah. Daerah industri serta pemukiman terpadat yang memiliki konsentrasi polutan maksimum yang bersumber dari sektor non transportasi adalah sekitar Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bandung Wetan dan Cicadas. Daerah transportasi terpadat yang memiliki konsentrasi polutan tertinggi di kota Bandung antara lain adalah sekitar Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Cihampelas, dan sebagainya. Kawasan tersebut adalah pusat aktivitas komersial dan perdagangan Kota Bandung. Konsentrasi gas SO 2 dan distribusinya di lima stasiun pengukuran pada musim hujan dan musim kering tidak terlalu berbeda, kecuali Cisaranten dan Tirtalega yang menunjukkan perbedaan yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau. Secara umum konsentrasi pada musim kering lebih tinggi daripada musim hujan (Gambar 22, 23, 24 dan 25). Dari hasil analisa, konsentrasi gas SO 2 di stasiun Cisaranten jauh lebih tinggi daripada stasiun lainnya yaitu 33,55 µg/m 3 pada musim hujan dan 95,11 µg/m 3 pada musim kering, karena stasiun ini terletak pada daerah industri tepatnya di kecamatan Ujung Berung sehingga konsentrasi SO 2 sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil dalam aktivitas industri dan banyaknya partikel debu yang kemudian bereaksi membentuk endapan sulfat yang turun baik sebagai deposisi basah (hujan asam) atau deposisi kering akan meningkat dengan tajam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian BAPPENAS (2006) yang menyatakan bahwa hasil perhitungan estimasi beban emisi dari sektor industri menunjukkan bahwa industri pemintalan dan barang jadi tekstil merupakan kontributor utama emisi SO 2 dan NOx dari sektor industri di kota Bandung. Emisi SO 2 tertinggi berasal dari industri-industri di kecamatan Rancasari, Ujung berung, Cicadas, Kiaracondong, Cibeunying kidul, Sukajadi dan Cicendo. Konsentrasi gas SO 2 tertinggi kedua adalah stasiun Dago. Konsentrasi gas SO 2 pada musim hujan dan musim kering tidak jauh berbeda, yaitu 32,15 µg/m 3 pada musim hujan dan µg/m 3 pada musim kering. Hal ini disebabkan stasiun Dago terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung yaitu di kecamatan Coblong, dimana kekasapan permukaannya tinggi sehingga menurunkan kecepatan angin yang berfungsi sebagai pengencer polutan. Selain itu daerah dataran tinggi membentuk barrier tehadap pergerakan udara sehingga polutan akan terperangkap di daerah tersebut. Konsentrasi gas SO 2 di stasiun Batununggal tidak begitu besar yaitu dengan rata-rata 10,65 µg/m 3, sedangkan konsentrasi SO 2 rata-rata pada musim kering mencapai 36,66 µg/m 3. Stasiun Batununggal terletak pada daerah perumahan industri sehingga diperkirakan sumber SO 2 utama adalah berasal dari limbah domestik berupa deterjen dan sampah rumah tangga. Menurut Utama (2004), Batununggal adalah salah satu daerah pemukiman terpadat dengan konsentrasi polutan maksimum yang berasal dari sektor non transportasi. Konsentrasi SO 2 rata-rata di stasiun Tirtalega juga rendah yaitu 13,07 µg/m 3 pada musim kering dan 31,13 µg/m 3 pada musim hujan. Konsentrasi SO 2 pada musim hujan cenderung tinggi pada awal bulan dan semakin menurun seiring dengan pertambahan hari. Stasiun Tirtalega berada di sekitar pusat kota dan mewakili daerah dengan transportasi yang cukup padat. Konsentrasi gas SO 2 di stasiun ini rendah kemungkinan karena jenis transportasi terbanyak di Kota Bandung adalah sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin, sementara jenis kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar lebih sedikit. Emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Emisi buangan kendaraan utama adalah CO, NO dan NO 2. Kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar mengandung sulfur sehingga melalui proses pembakaran dalam mesin, sulfur akan teroksidasi dan menghasilkan SO 2 yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama gas lainnya seperti CO dan NO x, sementara kendaraan seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin mengandung timbal yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama dengan CO dan NO x. Gas NO dan NO 2 (NOx) merupakan kontributor terjadinya hujan asam, namun data NOx di lima stasiun pengamatan Bandung tidak lengkap sehingga ph air hujan hanya diduga dari konsentrasi gas SO 2. Konsentrasi gas SO 2 terendah adalah di stasiun Ariagraha dengan konsentrasi rata-rata 6,07 µg/m 3 pada musim kering dan 6,78 µg/m 3 pada musim hujan. Hal ini sedikit meragukan 18

7 karena walaupun stasiun ini terletak pada daerah pemukiman padat penduduk yang kemungkinan sumber utama SO 2 berasal dari kegiatan rumah tangga dan pembakaran sampah, namun stasiun ini berada pada kecamatan Rancasari yang merupakan daerah kawasan industri. Kemungkinan besar hal ini disebabkan data yang terukur kurang valid. Persentase perolehan data pada kelima stasiun pemantauan kualitas udara ditunjukkan oleh Tabel 5. Tabel 5. Persentase Perolehan Data (Jumlah Hari Pengamatan) di Stasiun Pemantauan Otomatis Bandung Stasiun BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 SO2 14% 34% 20% 60% 39% (2003) Gambar 24. Peta Distribusi SO 2 Bulan Kering SO Day Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten Gambar 22. Grafik Konsentrasi SO 2 Musim Kering Day Dago Ariagraha Tirtalega Bat ununggal Cisaranten Gambar 23. Grafik Konsentrasi SO 2 Musim Hujan Gambar 25. Peta Distribusi SO 2 Musim Hujan. 4.6 Pendugaan ph Air Hujan. Hasil pengukuran BMG menunjukkan bahwa ph pada musim hujan lebih rendah daripada ph pada musim kering (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim hujan polutan di udara akan tercuci dan jatuh sebagai asam, namun frekuensi hujan yang besar akan menyebabkan polutan tercuci secara terus menerus dan konsentrasinya akan menurun sehingga lama kelamaan ph air hujan akan mendekati ph normal. Pada musim kering frekuensi kejadian hujan sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali sehingga sampel air hujan yang terukur sangat sedikit. Frekuensi hujan yang sedikit pada musim kering menyebabkan elektrokonduktivitas menjadi tinggi. Pada bulan kering konsentrasi ion basa seperti natrium, kalsium dan amonium menjadi tinggi sehingga dapat menetralkan ion sulfat yang konsentrasinya melonjak pada musim kering. Penetralan ini menyebabkan ph air hujan terukur pada musim kering menjadi normal bahkan cenderung tinggi. 19

8 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan industri dan daerah padat industri yaitu, Dago (BAF1), Ariagraha (BAF2), Tirtalega (BAF3), Batununggal (BAF4) dan Cisaranten Wetan (BAF5). Kelima stasiun ini terletak pada koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4. Sumber : Bappenas, Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung 13

9 Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas Udara Bandung Stasiun Latitude Longitude Altitude (mdpl) BAF BAF BAF BAF BAF Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung (gambar 7 dan 8). Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan dispersi/transpor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah dan faktor meteorologi (kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi). 4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum Henry Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya. Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 23 C-25 C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23 1,33 dengan rata-rata 1.28 (K H ) dan dengan rata-rata (K ) pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara dengan rata-rata 1.26 (K H ) serta dengan rata-rata (K ). Suhu di stasiun Dago cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21 C- 24 C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara dengan rata-rata 1.35 (K H ) dan dengan rata-rata (K ) pada musim kering, dan dengan rata-rata 1.31 (K H ) serta dengan rata-rata (K ) pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta hukum Henry baik konstanta kesetimbangan (K H ) maupun konstanta kesetimbangan disosiasi pertama (K ) di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ophardt (2003) yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO 2 dalam air. Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya akan semakin berkurang (gambar 6). Hal ini disebabkan penambahan panas akan menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah. Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil. 4.3 Curah Hujan Presipitasi memberikan proses pencucian polutan yang efektif dalam atmosfer. Efisiensi dari proses ini tergantung pada hubungan yang kompleks antara kandungan polutan dan karakteristik dari presipitasi tersebut. Proses yang paling efektif adalah pencucian partikel besar di lapisan atmosfer paling bawah dimana banyak polutan dilepaskan (washout). Curah hujan yang terjadi di Bandung cukup tinggi, dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober dan Februari dan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Gambar 9. Kelarutan SO 2 Dalam Air Versus Suhu 14

10 (Sumber : Kirk Othmer Ency of Chemical Technology, 2007) Suhu ( C) jan mart mei jul Bulan sept nov Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun Kualitas Udara Bandung CH (mm) Day januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober november desember Gambar 11. Grafik Curah Hujan Kota Bandung 4.4 Arah dan Kecepatan Angin Menurut Prawirowardoyo (1996) gerak atmosfer ada dua jenis yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi mempunyai dua arah, yaitu arah horizontal dan vertikal. Pada umumnya gerak atmosfer adalah horizontal, karena daerah yang diliputinya luas dan kecepatannya lebih besar daripada vertikalnya. Arah dan kecepatan angin di Bandung terutama disebabkan oleh kondisi topografi. Kota Bandung lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga tekanan di daerah ini rendah. Tekanan udara yang rendah menjadikan Bandung sebagai daerah tujuan angin. Selain itu topografi Bandung berbentuk seperti cekungan dengan bagian relatif terbuka (topografi rendah) di Bagian Barat. Dari arah Barat yang terbuka ini udara masuk menuju lembah, tetapi dari arah Timur juga ada angin yang menuju lembah sehingga terjadi konvergensi. Bagian Barat laut lebih landai sedangkan bagian Tenggara berpegunungan dengan ketinggian sekitar 2 km dpl. Topografi cekungan Bandung rumit dengan ketinggian berkisar antara 600 m hingga lebih dari 2000 m. Daerah yang berkontur rendah dan relatif datar dikelilingi oleh pegunungan di Bagian Utara, Selatan dan Timur dengan ketinggian sekitar m (Turyanti, 2005). Daerah pegunungan akan menyebabkan arah dan kecepatan angin menjadi tidak beraturan karena bentuk topografi yang ada cukup rumit. Wilayah berpegunungan menyebabkan adanya konveksi mekanik sehingga arah angin tidak selalu mengikuti pola perubahan suhu dan tekanan. Kecepatan angin di lima stasiun pengukuran relatif kecil dengan kisaran antara 2 3 m/s dengan arah angin rata-rata ke arah timur dan tenggara pada musim kering dan ke arah Barat atau Barat Daya pada musim hujan (Gambar 9-18). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Cekungan Bandung adalah angin Baratan dan Timuran (termasuk di dalamnya angin Barat, Barat laut serta Timur dan Tenggara). Kecepatan dan arah angin di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan., sedangkan kecepatan dan arah angin serta di keempat stasiun lainnya dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal, namun pengaruh topografi juga mempengaruhi arah dan kecepatan angin karena keempat stasiun pengamatan terletak pada cekungan Bandung sehingga pengaruh angin yang turun dari lereng menuju lembah akan cukup kuat. Kecepatan angin di stasiun Dago pada musim hujan berkisar antara 2-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan Barat dengan sedikit ke arah Tenggara sehingga terlihat bahwa angin dominan di stasiun ini pada musim hujan adalah angin Timur dan Timur Laut, sedangkan pada musim kering kecepatan angin berkisar antara 2-3 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Timur Laut dan Timur sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Dago pakar adalah timur laut terutama pada sore, malam hingga pagi hari dan sedikit dari tenggara pada siang hari.arah Timur Laut dari Dago pakar adalah lereng pegunungan sehingga pengaruh topografi terhadap arah angin dominan dalam 15

11 hal ini sangat berpengaruh (Gambar 12 dan 13). Kecepatan angin di stasiun Ariagraha adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan sedikit ke arah Barat dan Barat Daya pada musim hujan sehingga pada musim hujan stasiun ini sedikit dipengaruhi oleh angin Timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Barat Laut (Gambar 14 dan 15). Stasiun Ariagraha terletak di wilayah pemukiman sebelah Selatan bandung sehingga wilayah ini dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara dimana angin yang turun dari lereng akan cukup kuat menuju lembah. Kecepatan angin di stasiun Tirtalega pada musim hujan berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Barat dan Barat Daya sehingga angin dominan di stasiun ini adalah angin timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin rata-rata adalah berkisar antara 1-2 m/s dan terdapat calm (angin lemah) ke arah Tenggara dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s, calm ini dapat menghambat peneyebaran polutan. Arah angin dominan pada musim kering adalah ke arah Selatan dan Tenggara sehingga pada musim kering daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di stasiun Tirtalega adalah ke arah Tenggara (Gambar 16 dan 17). Hal ini disebabkan stasiun ini mendapat pengaruh dari lereng yang cukup tajam pada arah tenggara cekungan Bandung. Kecepatan angin di staiun Batununggal pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat daya, Barat dan Barat laut. Terdapat sedikit calm dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s ke arah Selatan dan Barat Daya. Pada musim kering kecepatan angin adalah berkisar antara 1-2 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara (Gambar 18 dan 19). Sama halnya dengan stasiun Ariagraha, stasiun Batununggal juga terletak di bagian Selatan Kota Bandung sehingga dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara cekungan bandung. Kecepatan angin di stasiun Cisaranten pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara dan sedikit ke arah Timur, sehingga pada musim hujan, angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat Daya dan Selatan, sehingga angin dominan di stasiun ini pada musim kering adalah angin Timur Laut (Gambar 20 dan 21). Terlihat bahwa pola angin stasiun Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berbeda dengan keempat stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan stasiun Cisaranten terletak pada bagian Timur Kota Bandung dimana terdapat pengaruh dari lereng pegunungan sebelah Tenggara Kota Bandung dan dari daerah bagian Barat Kota Bandung yang topografinya rendah sehingga terjadi konvergensi saat udara dari bagian Barat bertemu dengan angin yang turun dari lereng pegunungan sebelah Tenggara menuju lembah. Gambar 12. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Dago Gambar 13. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Dago 16

12 Gambar 14. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Ariagraha Gambar 18. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Batununggal Gambar 15. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Ariagraha Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Batununggal Gambar 16. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Tirtalega Gambar 20. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Cisaranten Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Tirtalega Gambar 21. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Cisaranten 17

13 4.5 Konsentrasi Gas SO 2 Menurut Utama (2004) sumber pencemar utama yang mengemisi polutan paling besar di kota Bandung adalah sektor transportasi diikuti oleh industri, domestik dan pembakaran sampah. Daerah industri serta pemukiman terpadat yang memiliki konsentrasi polutan maksimum yang bersumber dari sektor non transportasi adalah sekitar Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bandung Wetan dan Cicadas. Daerah transportasi terpadat yang memiliki konsentrasi polutan tertinggi di kota Bandung antara lain adalah sekitar Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Cihampelas, dan sebagainya. Kawasan tersebut adalah pusat aktivitas komersial dan perdagangan Kota Bandung. Konsentrasi gas SO 2 dan distribusinya di lima stasiun pengukuran pada musim hujan dan musim kering tidak terlalu berbeda, kecuali Cisaranten dan Tirtalega yang menunjukkan perbedaan yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau. Secara umum konsentrasi pada musim kering lebih tinggi daripada musim hujan (Gambar 22, 23, 24 dan 25). Dari hasil analisa, konsentrasi gas SO 2 di stasiun Cisaranten jauh lebih tinggi daripada stasiun lainnya yaitu 33,55 µg/m 3 pada musim hujan dan 95,11 µg/m 3 pada musim kering, karena stasiun ini terletak pada daerah industri tepatnya di kecamatan Ujung Berung sehingga konsentrasi SO 2 sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil dalam aktivitas industri dan banyaknya partikel debu yang kemudian bereaksi membentuk endapan sulfat yang turun baik sebagai deposisi basah (hujan asam) atau deposisi kering akan meningkat dengan tajam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian BAPPENAS (2006) yang menyatakan bahwa hasil perhitungan estimasi beban emisi dari sektor industri menunjukkan bahwa industri pemintalan dan barang jadi tekstil merupakan kontributor utama emisi SO 2 dan NOx dari sektor industri di kota Bandung. Emisi SO 2 tertinggi berasal dari industri-industri di kecamatan Rancasari, Ujung berung, Cicadas, Kiaracondong, Cibeunying kidul, Sukajadi dan Cicendo. Konsentrasi gas SO 2 tertinggi kedua adalah stasiun Dago. Konsentrasi gas SO 2 pada musim hujan dan musim kering tidak jauh berbeda, yaitu 32,15 µg/m 3 pada musim hujan dan µg/m 3 pada musim kering. Hal ini disebabkan stasiun Dago terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung yaitu di kecamatan Coblong, dimana kekasapan permukaannya tinggi sehingga menurunkan kecepatan angin yang berfungsi sebagai pengencer polutan. Selain itu daerah dataran tinggi membentuk barrier tehadap pergerakan udara sehingga polutan akan terperangkap di daerah tersebut. Konsentrasi gas SO 2 di stasiun Batununggal tidak begitu besar yaitu dengan rata-rata 10,65 µg/m 3, sedangkan konsentrasi SO 2 rata-rata pada musim kering mencapai 36,66 µg/m 3. Stasiun Batununggal terletak pada daerah perumahan industri sehingga diperkirakan sumber SO 2 utama adalah berasal dari limbah domestik berupa deterjen dan sampah rumah tangga. Menurut Utama (2004), Batununggal adalah salah satu daerah pemukiman terpadat dengan konsentrasi polutan maksimum yang berasal dari sektor non transportasi. Konsentrasi SO 2 rata-rata di stasiun Tirtalega juga rendah yaitu 13,07 µg/m 3 pada musim kering dan 31,13 µg/m 3 pada musim hujan. Konsentrasi SO 2 pada musim hujan cenderung tinggi pada awal bulan dan semakin menurun seiring dengan pertambahan hari. Stasiun Tirtalega berada di sekitar pusat kota dan mewakili daerah dengan transportasi yang cukup padat. Konsentrasi gas SO 2 di stasiun ini rendah kemungkinan karena jenis transportasi terbanyak di Kota Bandung adalah sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin, sementara jenis kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar lebih sedikit. Emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Emisi buangan kendaraan utama adalah CO, NO dan NO 2. Kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar mengandung sulfur sehingga melalui proses pembakaran dalam mesin, sulfur akan teroksidasi dan menghasilkan SO 2 yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama gas lainnya seperti CO dan NO x, sementara kendaraan seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin mengandung timbal yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama dengan CO dan NO x. Gas NO dan NO 2 (NOx) merupakan kontributor terjadinya hujan asam, namun data NOx di lima stasiun pengamatan Bandung tidak lengkap sehingga ph air hujan hanya diduga dari konsentrasi gas SO 2. Konsentrasi gas SO 2 terendah adalah di stasiun Ariagraha dengan konsentrasi rata-rata 6,07 µg/m 3 pada musim kering dan 6,78 µg/m 3 pada musim hujan. Hal ini sedikit meragukan 18

14 karena walaupun stasiun ini terletak pada daerah pemukiman padat penduduk yang kemungkinan sumber utama SO 2 berasal dari kegiatan rumah tangga dan pembakaran sampah, namun stasiun ini berada pada kecamatan Rancasari yang merupakan daerah kawasan industri. Kemungkinan besar hal ini disebabkan data yang terukur kurang valid. Persentase perolehan data pada kelima stasiun pemantauan kualitas udara ditunjukkan oleh Tabel 5. Tabel 5. Persentase Perolehan Data (Jumlah Hari Pengamatan) di Stasiun Pemantauan Otomatis Bandung Stasiun BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 SO2 14% 34% 20% 60% 39% (2003) Gambar 24. Peta Distribusi SO 2 Bulan Kering SO Day Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten Gambar 22. Grafik Konsentrasi SO 2 Musim Kering Day Dago Ariagraha Tirtalega Bat ununggal Cisaranten Gambar 23. Grafik Konsentrasi SO 2 Musim Hujan Gambar 25. Peta Distribusi SO 2 Musim Hujan. 4.6 Pendugaan ph Air Hujan. Hasil pengukuran BMG menunjukkan bahwa ph pada musim hujan lebih rendah daripada ph pada musim kering (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim hujan polutan di udara akan tercuci dan jatuh sebagai asam, namun frekuensi hujan yang besar akan menyebabkan polutan tercuci secara terus menerus dan konsentrasinya akan menurun sehingga lama kelamaan ph air hujan akan mendekati ph normal. Pada musim kering frekuensi kejadian hujan sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali sehingga sampel air hujan yang terukur sangat sedikit. Frekuensi hujan yang sedikit pada musim kering menyebabkan elektrokonduktivitas menjadi tinggi. Pada bulan kering konsentrasi ion basa seperti natrium, kalsium dan amonium menjadi tinggi sehingga dapat menetralkan ion sulfat yang konsentrasinya melonjak pada musim kering. Penetralan ini menyebabkan ph air hujan terukur pada musim kering menjadi normal bahkan cenderung tinggi. 19

15 Tabel 6. ph Terukur Tahun 2003 BULAN (Sumber : BMG, 2003) PHrata Hasil pendugaan ph dengan menggunakan pendekatan Hukum Henry untuk kelima stasiun pengamatan menunjukkan bahwa ph air hujan di Kota Bandung masih normal bahkan sebagian stasiun (Ariagraha dan Tirtalega) mengarah ke basa (Tabel 7 dan 8). Selain itu ph pada musim kering cenderung lebih rendah daripada ph pada musim hujan, kecuali stasiun Tirtalega dan Batununggal. Hal ini disebabkan konsentrasi SO 2 pada musim kering cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi SO 2 pada musim hujan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Budiwati et al (2005) yang menyatakan bahwa kisaran air hujan Bandung pada tahun 2003 adalah 4,5-5,0 dengan persentase frekuensi kejadian sebanyak 24% dan 27% dengan kejadian hujan asam dengan ph < 5,6 cukup tinggi yaitu 74% dari total kejadian hujan sejak tahun Perbandingan nilai ph antara musim hujan dan musim kering di setiap stasiun tidak terlalu besar, kecuali untuk stasiun Cisaranten karena konsentrasi SO 2 pada musim kering di stasiun ini melonjak dengan sangat tajam (Gambar 26 dan 27). Hal ini disebabkan gas SO 2 lebih mudah larut dalam air sehingga Bandung yang musim basahnya lebih banyak daripada musim kering mempunyai frekuensi pencucian SO 2 di udara yang tidak begitu berbeda. Bila dibandingkan dengan ph air hujan terukur, nilai ph dugaan jauh lebih besar daripada ph terukur, hal ini disebabkan ph dugaan diduga langsung dari data konsentrasi SO 2 tanpa mempertimbangkan kontribusi dari gas lainnya sementara ph terukur didapatkan dengan analisa ion dari polutan-polutan yang terkandung dalam sampel air hujan terukur secara keseluruhan, namun karena kelarutannya dalam air cukup besar maka pengaruh SO 2 dalam pengasaman air hujan juga cukup besar. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan yang menunjukkan konsentrasi SO 2 yang rendah sekalipun menyebabkan penurunan ph yang cukup signifikan. Tabel 7. ph Dugaan Mingguan Musim Hujan 2003 ph Musim Hujan Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF Tabel 8. ph Dugaan Mingguan Musim Kering 2003 ph Musim Kering Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF Day Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten ph normal Gambar 26. Grafik ph Dugaan Musim Hujan Day Dago Ariagraha Tirt alega Bat ununggal Cisarant en ph normal Gambar 27. Grafik ph Dugaan Musim Kering 20

16 Tabel 6. ph Terukur Tahun 2003 BULAN (Sumber : BMG, 2003) PHrata Hasil pendugaan ph dengan menggunakan pendekatan Hukum Henry untuk kelima stasiun pengamatan menunjukkan bahwa ph air hujan di Kota Bandung masih normal bahkan sebagian stasiun (Ariagraha dan Tirtalega) mengarah ke basa (Tabel 7 dan 8). Selain itu ph pada musim kering cenderung lebih rendah daripada ph pada musim hujan, kecuali stasiun Tirtalega dan Batununggal. Hal ini disebabkan konsentrasi SO 2 pada musim kering cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi SO 2 pada musim hujan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Budiwati et al (2005) yang menyatakan bahwa kisaran air hujan Bandung pada tahun 2003 adalah 4,5-5,0 dengan persentase frekuensi kejadian sebanyak 24% dan 27% dengan kejadian hujan asam dengan ph < 5,6 cukup tinggi yaitu 74% dari total kejadian hujan sejak tahun Perbandingan nilai ph antara musim hujan dan musim kering di setiap stasiun tidak terlalu besar, kecuali untuk stasiun Cisaranten karena konsentrasi SO 2 pada musim kering di stasiun ini melonjak dengan sangat tajam (Gambar 26 dan 27). Hal ini disebabkan gas SO 2 lebih mudah larut dalam air sehingga Bandung yang musim basahnya lebih banyak daripada musim kering mempunyai frekuensi pencucian SO 2 di udara yang tidak begitu berbeda. Bila dibandingkan dengan ph air hujan terukur, nilai ph dugaan jauh lebih besar daripada ph terukur, hal ini disebabkan ph dugaan diduga langsung dari data konsentrasi SO 2 tanpa mempertimbangkan kontribusi dari gas lainnya sementara ph terukur didapatkan dengan analisa ion dari polutan-polutan yang terkandung dalam sampel air hujan terukur secara keseluruhan, namun karena kelarutannya dalam air cukup besar maka pengaruh SO 2 dalam pengasaman air hujan juga cukup besar. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan yang menunjukkan konsentrasi SO 2 yang rendah sekalipun menyebabkan penurunan ph yang cukup signifikan. Tabel 7. ph Dugaan Mingguan Musim Hujan 2003 ph Musim Hujan Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF Tabel 8. ph Dugaan Mingguan Musim Kering 2003 ph Musim Kering Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF Day Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten ph normal Gambar 26. Grafik ph Dugaan Musim Hujan Day Dago Ariagraha Tirt alega Bat ununggal Cisarant en ph normal Gambar 27. Grafik ph Dugaan Musim Kering 20

17 Minggu keph ph Bandung ph_normal Gambar 28. Grafik ph Terukur Stasiun Cuaca BMG Bandung Pendugaan ph dengan menggunakan pendekatan hukum Henry telah lama digunakan di banyak negara karena hukum Henry membantu dalam memperkirakan jumlah tiap-tiap gas yang terlarut baik dalam air hujan, air tanah, sungai atau pelarut lainnya, seperti alkohol. Penggunaan hukum Henry untuk melihat kelarutan gas dalam cairan telah dilakukan oleh Ross dan Elaine (1989), Krishna (1994), Davidovits et al (1997), dan yang terbaru adalah Jaffe et al (2007). Penelitian yang menggunakan metode dan parameter seperti dalam penelitian ini adalah yang dilakukan Krishna (1994) yang melakukan penelitian tentang pengaruh kuat penipisan konsentrasi asam sulfat terhadap kelarutan SO 2. Analisis yang dilakukan oleh Krishna menggunakan metode dan parameter yang sama seperti dalam penelitian ini, yaitu mempertimbangkan pengaruh tekanan parsial gas, penentuan nilai hukum Henry dan konstanta kesetimbangan hidrolisis SO 2, serta pengaruh suhu terhadap nilai hukum Henry, namun tidak menghitung nilai ph melainkan menggunakan ph sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi total SO 2 terlarut yang berada dalam bentuk oksidasi tingkat 4 (S(IV). Hukum Henry digunakan untuk melihat jumlah konsentrasi gas SO 2 dalam larutan (dalam hal ini air). Hasil penelitian Krishna menunjukkan bahwa data hasil eksperimen hampir sama dengan data literatur. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, penelitian Krishna lebih menekankan berapa jumlah konsentrasi gas SO 2 yang terlarut apabila konsentrasi asam sulfur dalam larutan juga tinggi, sedangkan pada penelitian ini lebih menekankan pengaruh SO 2 terhadap ph namun kedua penelitian menggunakan metode yang sama dan terlihat bahwa penelitian yang dilakukan Krishna memberikan hasil yang hampir sama dengan data literatur sedangkan pada penelitian ini 40 hasilnya lebih besar dan berlawanan daripada data terukur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi data yang kurang memadai dan tidak mengelompokkan data konsentrasi gas SO 2 dengan kejadian hujan sehingga sumber ion Hidrogen dalam sistem ini hanya berasal dari [HSO 3 - ] tanpa menghitung ion Hidrogen dari air. Selain itu gas yang menyebabkan penurunan ph air hujan bukan hanya SO 2 tetapi gas NOx (NO 2, NH 3 ) dan CO 2 juga ikut mempengaruhi penurunan ph air hujan, sehingga gas-gas ini harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Penggunaan satu parameter gas akan menyebabkan hasil dugaan menjadi kurang akurat. 4.7 Distribusi ph Air Hujan Distribusi ph di setiap stasiun dengan periode mingguan pada musim hujan dan musim kering terlihat dari Gambar Gambar lingkaran yang memusat disuatu daerah (stasiun) menunjukkan tinggi/rendahnya konsentrasi gas SO 2 di stasiun tersebut sehingga diperkirakan di stasiun tersebut ph akan meningkat atau menurun. Distribusi ph pada musim hujan minggu pertama menunjukkan stasiun yang memiliki ph paling rendah adalah BAF3 yaitu Tirtalega dan berturut-turut diikuti oleh Batununggal (BAF4) dan Dago (BAF1). Nilai ph di stasiun Cisaranten (BAF5) adalah normal sementara ph paling tinggi terjadi pada stasiun Ariagraha. Distribusi ph pada musim hujan minggu kedua menunjukkan bahwa ph terendah telah bergesar ke stasiun Dago (BAF1) diikuti oleh stasiun Batununggal (BAF4). Stasiun Cisaranten (BAF5) masih menunjukkan ph yang normal sementara ph stasiun Tirtalega melonjak tinggi dan mendekati basa karena konsentrasi gas SO 2 di stasiun ini hanya tinggi pada minggu pertama musim hujan dan berangsur-angsur menurun seiring dengan penambahan hari. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya intensitas dan kejadian hujan pada minggu pertama di stasiun ini sehingga pencucian gas SO 2 menjadi tinggi. Stasiun Ariagraha (BAF2) masih merupakan satasiun dengan ph tertinggi. Pada minggu ketiga musim hujan ph terendah masih terjadi di BAF1 diikuti oleh BAF4 dan BAF5. Nilai ph di BAF5 menurun dibandingkan pada minggu pertama dan kedua. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas industri yang terjadi di sekitar stasiun ini. BAF2 dan BAF3 tetap menunjukkan ph tertinggi. 21

18 Pada minggu keempat musim hujan ph terendah bergeser ke BAF5 diikuti oleh BAF4 sementara BAF1 tidak ada data gas SO 2 yang terukur sehingga tidak ada pendugaan ph. BAF3 menunjukkan ph yang normal sementara BAF2 tetap menunjukkan ph yang tinggi. Peta Distribusi ph Mingguan Musim Hujan Gambar 32. Minggu IV Gambar 29. Minggu I Gambar 30. Minggu II Distribusi ph minggu pertama pada musim kering menunjukkan konsentrasi ph terendah terjadi di BAF5 diikuti oleh BAF1 sementara BAF3 dan BAF4 memiliki ph yang normal. BAF2 tetap merupakan stasiun dengan ph tertinggi. Pada minggu kedua musim kering ph di BAF1 dan BAF5 hampir sama namun sedikit meningkat bila dibandingkan dengan minggu pertama. BAF4 mengalami penurunan ph namun tidak signifikan sehingga masih menunjukkan ph yang normal begitu juga dengan BAF3. BAF2 masih memiliki pola kontur yang sama yang menunjukkan ph di stasiun ini adalah yang paling tinggi. Pada minggu ketiga terjadi penurunan ph secara drastis di BAF5 diikuti oleh BAF1, sebaliknya BAF2 dan BAF4 menunjukkan peningkatan ph yang sangat drastis dimana pola kontur memusat terlihat hanya berada di BAF2. BAF3 masih menunjukkan ph yang normal. Pada minggu keempat musim kering pola kontur masih sama seperti minggu ketiga dimana ph terendah masih terjadi di BAF5 diikuti oleh BAF1. BAF3 mengalami penurunan ph tetapi masih dalam kisaran normal, sementara BAF4 dan BAF2 tetap menunjukkan ph yang tinggi dimana terlihat bahwa kontur memusat hanya terjadi pada BAF2. Gambar 31. Minggu III 22

19 Peta Distribusi ph Mingguan Musim Kering Gambar 36. Minggu IV Gambar 33. Minggu I Gambar 34. Minggu II Gambar 35. Minggu III 4.8 Distribusi Gas SO 2 dan ph Distribusi gas SO 2 di udara ditunjukkan oleh dispersinya. Dispersi polutan jangka pendek yang dilepaskan dari sumber dekat permukaan, secara umum ditentukan oleh gerakan skala kecil dan proses yang terjadi di lapisan terbawah atmosfer yang disebut lapisan perbatas permukaan (Planetary Boundary Layer). Lapisan perbatas permukaan terbentuk sebagai konsekuensi dari interaksi antara atmosfer dengan permukaan daratan atau air yang ada di bawahnya dalam periode waktu yang singkat, yaitu antara satu jam hingga satu hari. Dispersi polutan sangat berhubungan erat dengan kondisi atmosfer setempat, yang bergantung pada sistem cuaca, sirkulasi angin dan turbulensi serta efek mikrometeorologi setempat. Parameter meteorologi paling penting yang mengendalikan penyebaran polutan (arah, waktu dan konsentrasi) adalah kecepatan dan arah angin serta derajat percampuran yang berkaitan dengan turbulensi di atmosfer. Deposisi kering untuk gas SO 2 umumnya cepat karena gas ini daya kelarutannya cukup besar. Hal ini memberikan pengertian bahwa air merupakan proses yang penting dalam deposisi. Fluks gas yang jatuh ke permukaan bumi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : F = V g C dimana F adalah fluks, Vg adalah kecepatan deposisi yang nilainya berbeda tergantung permukaan tempat terjadinya deposisi dan C adalah konsentrasi gas (biasanya diukur pada ketinggian standar yaitu 1 m). Kecepatan deposisi gas SO 2 di permukaan bumi, permukaan lautan dan permukaan tanah dan vegetasi masing-masing adalah 0.8, , dan (Brimblecombe, 1986). Terlihat bahwa deposisi untuk gas yang mempunyai daya kelarutan yang tinggi sekalipun seperti 23

20 SO 2, di permukaan basah, kecepatan deposisi kurang dari 1 cm s -1. Kecepatan ini adalah laju dimana sebuah kolom gas akan terdeposit ke permukaan. Hal ini berarti bahwa gas yang terperangkap pada 100 m pertama atmosfer akan diserap oleh permukaan bumi sekitar 10 5 detik atau sekitar 28 jam jika V g bernilai 1 cm s -1. Kecepatan deposisi yang lambat dapat menggambarkan laju pembersihan yang cepat. Sehingga terlihat bahwa laju adalah ekuivalen dengan waktu tinggal yang mendekati satu hari. Peristiwa difusi di atmosfer tergantung pada kecepatan angin rata-rata dan karakteristik dari turbulensi atmosfer. Arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi kecepatan transport dan pengenceran polutan serta daerah dimana polutan akan terdeposisi, sementara karakteristik turbulensi ini menentukan karakteristik stabilitas atmosfer. Turbulensi terdiri dari eddi vertikal dan horizontal yang mencampur polutan dengan udara di sekitarnya. Saat turbulensi kuat, polutan didispersikan dengan lebih cepat. Turbulensi kuat terjadi pada atmosfer yang tidak stabil dimana terjadi gerakan vertikal. Gerak vertikal terjadi karena adanya aliran konveksi akibat pemanasan permukaan bumi (Schnelle dan Dey, 2000). sedangkan pendinginan radiasi akan menyebabkan udara lebih rapat di permukaan dan menghasilkan komponen aliran udara yang sejajar terhadap lereng cukup besar, yang disebut drainage winds. Sebagaimana yang terjadi di cekungan Bandung, topografi yang asimetris menyebabkan adanya ketidakteraturan pola, sehingga seringkali muncul gerak massa udara vertikal, turbulensi terutama di dekat lerenglereng pegunungan, serta angin lemah (calm) di lapisan udara yang sangat dekat dengan permukaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Oke (1978) bahwa pola aliran aktual udara di atas topografi yang rumit sulit untuk diprediksi atau diukur maupun digeneralisasi. Kondisi topografi yang berbukit dan dikelilingi oleh pegunungan menyebabkan pada malam hari peluang terjadinya kondisi stabil yang menyebabkan inversi lebih besar. Selain itu kondisi yang satabil akan menyebabkan turbulensi menjadi lemah sehingga percampuran polutan dengan udara sekitarnya menjadi terhambat. Inversi yang menyebabkan terjadinya angin lemah (calm) juga akan membuat dispersi polutan menjadi terhambat karena udara tidak dapat melewati barrier pegunungan dan akhirnya turun kembali ke lereng. Kecepatan angin di tiap stasiun juga rendah sehingga pengenceran polutan menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan polutan terakumulasi di tempat tersebut, terutama tempat-tempat yang merupakan sumber pencemar seperti kawasan industri, kawasan perumahan padat penduduk dan kawasan pusat aktivitas perdagangan dan komersil. Stasiun Dago yang merupakan dataran tinggi memiliki konsentrasi yang tinggi dan cenderung tetap karena kecepatan dan arah angin serta distribusi gas SO 2 di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan. Pada siang hari saat terjadinya konveksi udara yang membawa polutan dari lembah akan bergerak menaiki lereng. Gerakan udara vertikal di lembah juga kemungkinan besar akibat adanya pertemuan dua arah angin yang berlawanan antara angin yang naik ke lereng dan yang turun, serta arah angin yang menuju pusat ke pusat cekungan dari kedua sisi. Pada malam hari saat kondisi stabil udara tidak dapat keluar dari daerah tersebut dan terjadi terus menerus sehingga konsentrasi di stasiun tersebut menjadi cenderung tetap. Udara yang stabil secara statis jika melalui pegunungan akan membuat suatu gelombang. Gelombang yang lebih panjang akan terjadi jika angin lebih kuat atau stabilitas statisnya melemah. Suhu udara dan kecepatan angin di stasiun Dago cenderung rendah sehingga kondisi stabilitasnya tinggi. Arah dispersi gas SO 2 di stasiun Dago pada musim hujan dan musim kering berdasarkan arah angin ditunjukkan oleh Gambar 37 dan 38. Pada musim hujan konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan berkisar antara 50 hingga lebih dari 70 μg/m 3 ke arah Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara hingga Timur Laut dengan sedikit ke arah Tenggara, sehingga terlihat dispersi gas SO 2 di stasiun Dago pada musim hujan dipengaruhi oleh angin Timuran, namun konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan ke arah Tenggara lebih besar daripada yang didispersikan ke Arah Baratan. Pada musim kering gas SO 2 yang didispersikan hampir sama dengan gas SO 2 yang didispersikan pada musim hujan yaitu bernilai antara μg/m 3. Arah dispersi gas tersebut adalah ke arah Timur Laut dan utara sehingga terlihat dispersi gas SO 2 di stasiun Dago pada musim kering dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Gas SO 2 yang didispersikan ke arah Utara akan kembali lagi ke daerah sekitas stasiun Dago karena bagian utara Dago adalah pegunungan sehingga pada malam hari dimana 24

21 udara stabil gas SO 2 akan kembali karena tidak dapat melewati barrier pegunungan. Kecepatan dan arah angin serta distribusi gas SO 2 di keempat stasiun lainnya dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal. Kondisi bangunan tinggi akan mempengaruhi turbulensi karena udara akan dipanaskan dari bawah bangunan tersebut sehingga terjadi konveksi. Turbulensi akan menyebabkan percampuran polutan dengan udara di sekitarnya menjadi lebih cepat. Arah dispersi gas SO 2 di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berdasarkan arah angin ditunjukkan oleh Gambar 39 dan 46. Konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan dari stasiun Ariagraha pada musim hujan bervariasi dari 5 μg/m 3 hingga lebih 50 μg/m 3. Arah dispersi terbanyak adalah ke arah Tenggara karena arah angin dominan di stasiun ini adalah ke arah Tenggara dengan sedikit ke arah Barat (termasuk Barat daya, Barat dan Barat Laut, namun konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Barat lebih tinggi daripada gas SO 2 yang didispersikan ke arah Tenggara (Gambar 39). Pada musim kering konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan lebih kecil yaitu antara 5 μg/m 3 hingga 25 μg/m 3. Arah dispersi terbanyak tetap ke arah Tenggara (Gambar 40). Konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan dari stasiun Tirtalega pada musim hujan cukup besar dan bervariasi antara 20 μg/m 3 hingga 100 μg/m 3. Gas SO 2 didispersikan hampir ke segala arah dari arah Timur hingga ke arah Barat Laut, sedangkan pada musim kering konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan adalah kecil dengan kisaran antara 20 μg/m 3 hingga 40 μg/m 3 dengan arah dispersi dominant ke arah Timur dan Tenggara dengan sedikit ke arah Barat, konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Barat lebih besar, tetapi konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Timur dan Tenggara lebih bervariasi. Konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan dari stasiun Batununggal pada musim hujan cukup besar dengan kisaran antara 30 μg/m 3 hingga lebih dari 100 μg/m 3, dengan arah dominant ke arah Barat dan Barat Laut dan sedikitke arah Tenggara dengan konsentrasi yang lebih rendah. Pada musim kering konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan lebih rendah yaitu berkisar antara 10 μg/m 3-50 μg/m 3 dengan arah dominant ke arah Timur dan Tenggara dan sedikit ke arah Barat. Konsentrasi gas SO 2 yang didispersikan dari stasiun Cisaranten pada musim hujan sanagt besar dengan isaran antara 40 μg/m 3 hingga lebih dari 100 μg/m 3 dengan arah dominan ke Timur Laut dan Timur dengan sedikit ke arah Barat. Pada musim kering gas SO 2 yang didispersikan jauh lebih besar daripada gas yang didispersikan pada musim hujan yaitu berkisar antara 40 μg/m 3 hingga lebih dari 200 μg/m 3 dengan arah dispersi tetap ke arah Timur Laut dan Timur. Jika diperhatikan rata-rata gas SO 2 yang dikonsentrasikan dari setiap stasiun pada musim kering lebih rendah daripada gas yang dikonsentrasikan pada musim hujan, selain itu di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten terdapat angin lemah sehingga gas SO 2 tidak terdispersi tetapi tetap berada di daerah tersebut. Hal ini menyebabkan pada musim kering konsentrasi gas SO 2 pada musim kering tetap lebih lebih tinggi karena gas yang didispersikan hanya sedikit. Terlihat dari gambar distribusi gas SO 2 bahwa arah angin (dispersi) terbanyak adalah ke arah Barat (termasuk Barat Daya dan Barat Laut) pada musim hujan dan ke arah Timur (termasuk Tenggara dan Timur Laut) pada musim kering sehingga dapat diperkirakan pada musim hujan gas-gas So2 ini akan terbawa ke daerah Dago (kecamatan Coblong), Kecamatan Bandung Wetan, Kecamatan Kiara condong, Kecamatan Cicendo, Kecamatan Andir dan Kecamatan Babakan Ciparay, sementara pada musim kering diperkirakan distribusi gas SO 2 akan menuju Kecamatan Cicadas, Kecamatan Ujung Berung (Cisaranten Wetan), Kecamatan Cibiru, Kecamatan Rancasari (Ariagraha) dan Kecamatan Margacinta, sehingga diperkirakan ph air hujan di daerah-daerah ini akan menurun. Gambar 37. Distibusi Gas SO 2 Musim Hujan Dago 25

22 Gambar 38. Distribusi Gas SO 2 Musim Kering Dago Gambar 42. Distribusi Gas SO 2 Musim Kering Tirtalega Gambar 39. Distribusi Gas SO 2 Musim Hujan Ariagraha Gambar 43. Distribusi Gas SO 2 Musim Hujan Batununggal Gambar 40. Distribusi Gas SO 2 Musim Kering Ariagraha Gambar 44. Distribusi Gas SO 2 Musim Kering Batununggal Gambar 41. Distribusi Gas SO 2 Musim Hujan Tirtalega 26

23 Gambar 45. Distribusi Gas SO 2 Musim Hujan Cisaranten Gambar 46. Distribusi Gas SO 2 Musim Kering Cisaranten 27

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer Komposisi Atmosfer Polusi Udara Kecepatan Angin dan Topografi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer Komposisi Atmosfer Polusi Udara Kecepatan Angin dan Topografi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer 2.1.1 Komposisi Atmosfer Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T.

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T. PEMODELAN DISPERSI SULFUR DIOKSIDA (SO ) DARI SUMBER GARIS MAJEMUK (MULTIPLE LINE SOURCES) DENGAN MODIFIKASI MODEL GAUSS DI KAWASAN SURABAYA SELATAN Oleh: Wisnu Wisi N. 3308100050 Dosen Pembimbing: Abdu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

Studi Tingkat Keasaman Air Hujan Berdasarkan Kandungan Gas CO 2, SO 2 Dan NO 2 Di Udara (Studi Kasus Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak)

Studi Tingkat Keasaman Air Hujan Berdasarkan Kandungan Gas CO 2, SO 2 Dan NO 2 Di Udara (Studi Kasus Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak) Studi Tingkat Keasaman Air Hujan Berdasarkan Kandungan Gas CO 2, SO 2 Dan NO 2 Di Udara (Studi Kasus Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak) Nurul Kusuma Wardhani 1), Andi Ihwan 1*), Nurhasanah 1) 1) Program

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN e-mail: sumary.bdg@gmail.com,maryati@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Pengelolaan polusi udara pada prinsipnya adalah

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak

Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak Analisis Dispersi Gas Sulfur Dioksida (SO 2 ) Dari Sumber Transportasi Di Kota Pontianak Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak win@pplh-untan.or.id Abstrak Pencemaran

Lebih terperinci

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PENDUGAAN ph AIR HUJAN BERDASARKAN KONSENTRASI GAS SO 2 DENGAN PENDEKATAN HUKUM HENRY : DISTRIBUSI SPASIAL & TEMPORAL DI KOTA BANDUNG

PENDUGAAN ph AIR HUJAN BERDASARKAN KONSENTRASI GAS SO 2 DENGAN PENDEKATAN HUKUM HENRY : DISTRIBUSI SPASIAL & TEMPORAL DI KOTA BANDUNG PENDUGAAN ph AIR HUJAN BERDASARKAN KONSENTRASI GAS SO 2 DENGAN PENDEKATAN HUKUM HENRY : DISTRIBUSI SPASIAL & TEMPORAL DI KOTA BANDUNG OLEH : JULIANA ANGGRAINI G24103003 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN DI TEPI CEKUNGAN BANDUNG

PENENTUAN KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN DI TEPI CEKUNGAN BANDUNG PENENTUAN KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN DI TEPI CEKUNGAN BANDUNG Dessy Gusnita, Tuti Budiwati, Iis Sofiati dan Wiwiek Setyawati Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Geografis dan Topografis Kota Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia yang juga berfungsi sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU Riad Syech, Sugianto, Anthika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017 BADAN METEROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jl. Angkasa I No. 2 Jakarta, 10720 Telp: (021) 424 6321, Fax: (021) 424 6703, P.O. Box 3540 Jkt Website: http://www.bmkg.go.id ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

(Kurnia Anzhar dan Yarianto SBS)'

(Kurnia Anzhar dan Yarianto SBS)' Po/a Angin Laut dan Angin Darat di Daerah Ujung Lemah Abang, Semenanjung Muria (Kumia Anzhar dan Yarianto SBS.) POLA ANGIN LAUT DAN AN GIN DARAT DI DAERAH UJUNG LEMAHABANG, SEMENANJUNG MURIA (Kurnia Anzhar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu

Lebih terperinci

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO)

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO) PENGARUH JUMLAH KENDARAAN DAN FAKTOR METEOROLOGIS (SUHU, KECEPATAN ANGIN) TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI GAS PENCEMAR CO, NO₂, DAN SO₂ PADA PERSIMPANGAN JALAN KOTA SEMARANG (STUDI KASUS JALAN KARANGREJO

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 F. Iklim 2.9. Kondisi Iklim di Provinsi DKI Jakarta Dengan adanya perubahan iklim menyebabkan hujan ekstrem di Ibu Kota berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air, dimana tanah

Lebih terperinci

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bandung dengan pembagian lokasi berdasarkan peruntukkan lahan dengan tujuan mengetahui karakteristik polutanpolutan yang ada

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan mahluk termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN BAB 3 14 Variasi Suhu Udara Harian Pemanasan Siang Hari Pemanasan permukaan bumi pada pagi hari secara konduksi juga memanaskan udara di atasnya. Semakin siang, terjadi perbedaan suhu yang besar antara

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara KTSP & K-13 Kelas Geografi ATMOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kelembapan udara. 2. Memahami curah hujan dan kondisi

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN II. 1. Umum Ujung Berung Regency merupakan perumahan dengan fasilitas hunian, fasilitas sosial dan umum, area komersil dan taman rekreasi. Proyek pembangunan perumahan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman yang semakin modern ini pembangunan pesat terjadi pada berbagai bidang yang memberikan kemajuan pada sektor ekonomi, kesehatan, teknologi maupun berbagai

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer

ATMOSFER I. A. Pengertian, Kandungan Gas, Fungsi, dan Manfaat Penyelidikan Atmosfer 1. Pengertian Atmosfer. Tabel Kandungan Gas dalam Atmosfer KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian dan kandungan gas atmosfer. 2. Memahami fungsi

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA

ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA ATMOSFER & PENCEMARAN UDARA Pengelolaan lingkungan diperlukan agar lingkungan dapat terus menyediakan kondisi dan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Lingkungan abiotis terdiri dari atmosfer,

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH

PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH PENDUGAAN KONSENTRASI CO, NO x, SO 2, HC, DAN PM 10 DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI DI JALAN MAYOR OKING CITEUREUP BOGOR FITRI HASANAH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME Vandri Ahmad Isnaini, Indrawata Wardhana, Rahmi Putri Wirman Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA) HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1. Perbedaan Suhu dan Panas Panas umumnya diukur dalam satuan joule (J) atau dalam satuan

Lebih terperinci

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Pulau Untung Jawa berada pada posisi ,21 Lintang Selatan dan

V. GAMBARAN UMUM. Pulau Untung Jawa berada pada posisi ,21 Lintang Selatan dan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Untung Jawa berada pada posisi 05 0 58 45,21 Lintang Selatan dan 106 0 42 11,07 Bujur Timur. Wilayah Kelurahan Pulau Untung Jawa adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TAPAK

BAB IV ANALISA TAPAK BAB IV ANALISA TAPAK 4.1 Deskripsi Proyek 1. Nama proyek : Garuda Bandung Arena 2. Lokasi proyek : Jln Cikutra - Bandung 3. Luas lahan : 2,5 Ha 4. Peraturan daerah : KDB (50%), KLB (2) 5. Batas wilayah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari DATA METEOROLOGI 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari Umum Data meteorology sangat penting didalam analisa hidrologi pada suatu daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci