4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN"

Transkripsi

1 34 4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN Gambaran Umum Dalam kajian ini dipilih 45 sampel yang berasal dari 135 kabupaten/kota hasil pemekaran daerah yang penetapannya dilakukan antara tahun 1999 hingga Sampel diambil dari 26 provinsi, dengan masing-masing provinsi dipilih 1-2 kabupaten/kota hasil pemekaran secara acak. Adapun ke-45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang terpilih menjadi sampel dalam kajian ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran yang Dijadikan Sampel Berdasarkan Provinsi No Provinsi Kabupaten/Kota Jml 1. Aceh Kab. Gayo Lues 1 2. Sumut Kab. Serdang Bedagai, Kota Padang Sidimpuan 2 3. Sumbar Kab. Dharmasraya, Kab. Pasaman Barat 2 4. Riau Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi 2 5. Jambi Kab. Tebo, Kab. Muaro Jambi 2 6. Sumsel Kab. OKU Selatan 1 7. Bengkulu Kab. Kepahiang, Kab. Lebong 2 8. Lampung Kab. Lampung Timur, Kota Metro 2 9. Babel Kab. Bangka Barat, Kab. Belitung Timur Kepri Kab. Lingga, Kota Tanjung Pinang NTB Kab. Sumbawa Barat NTT Kab. Lembata, Kab. Manggarai Barat Kalbar Kab. Bengkayang, Kab. Sekadau Kalteng Kab. Lamandau, Kab. Barito Timur Kalsel Kota Banjarbaru, Kab. Tanah Bumbu Kaltim Kab. Kutai Timur Sulut Kab. Kepulauan Talaud, Kab. Minahasa Selatan Sulteng Kab. Morowali, Kab. Banggai Kepulauan Sulsel Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur Sultra Kab. Bombana, Kab. Wakatobi Gorontalo Kab. Boalemo Sulbar Kab. Mamuju Utara Maluku Kab. Kepulauan Aru, Kab. Seram Bagian Barat Malut Kab. Kepulauan Sula Papua Kab. Keerom, Kab. Supiori Papua Barat Kab. Raja Ampat, Kab. Teluk Wondama 2 Total 45 Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Ke-45 kabupaten/kota yang dijadikan sampel tersebut diambil dari kabupaten/kota hasil pemekaran yang telah berusia 3 tahun atau lebih (dengan menggunakan basis perhitungan usia per 31 Desember 2008). Berdasarkan kriteria

2 tersebut, kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel memiliki rentang usia antara 5 sampai 9 tahun. Tidak terdapat kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki usia 3 dan 4 tahun karena pada tahun 2004 dan 2005 tidak ada penetapan kabupaten/kota baru (lihat kembali Gambar 2). Bila diklasifikasi lebih rinci, sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel telah berusia 5 sampai 6 tahun. Jumlahnya mencapai 29 kabupaten/kota atau sekitar 64,4 persen dari seluruh sampel. Mereka adalah kabupaten/kota hasil pemekaran yang penetapannya dilakukan pada tahun 2002 dan Sementara sisanya, 16 kabupaten/kota (35,6 persen) telah genap berusia 7 tahun dan 9 tahun. Tidak ada sampel kabupaten/kota yang berusia 8 tahun karena memang tidak ada pemekaran yang ditetapkan pada tahun tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 5. Usia 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran (basis 31 Desember 2008) Memperhatikan komposisi di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang menjadi sampel dalam penelitian ini masih dipimpin oleh Bupati/Walikota definitif di periode 5 tahun pertama, yakni 32 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berusia 5 dan 6 tahun. Sedangkan sisanya (16 kabupaten/kota hasil pemekaran) sudah memasuki periode kepemimpinan kepala daerah di 5 tahun kedua. 3 Oleh karena itu, program kerja sebagian besar pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran masih memusatkan perhatiannya pada pemenuhan kelengkapan kelembagaan daerah, seperti: DPRD dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD, rekrutmen pegawai, dan sebagainya. 3 Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah maka setelah penetapan daerah pemekaran baru diundangkan, Menteri Dalam Negeri segera melantik Pejabat Bupati/ Walikota yang pemilihannya dilakukan melalui mekanisme penunjukan oleh pejabat kepala daerah asal sebelum pemekaran. Pejabat Bupati/ Walikota ini, dengan difasilitasi oleh gubernur bersama bupati/walikota daerah induk, diberi waktu setahun untuk menyusun perangkat pemerintahan dan mempersiapakan pemilihan bupati/walikota.

3 36 Berdasarkan proses pembentukannya, pembentukan kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilakukan melalui 3 prosedur, yakni: mekanisme usulan dari pemerintah, mekanisme hak inisiatif di DPR, dan transformasi daerah otonom dari kabupaten menjadi kota Pemerintah Pusat 28 Hak Inisiatif DPR Transformasi Kab ke Kota Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 6. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Prosedur Pemekaran Sebagian besar kabupaten hasil pemekaran dibentuk melalui pengajuan aspirasi ke pemerintah pusat. Hal ini karena memang pada tahun-tahun awal kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah pusat masih dapat mengakomodasi usulan pembentukan daerah baru yang masuk. Namun dalam perkembangannya ketika usulan pemekaran daerah sudah semakin banyak, DPR melalui hak inisiatifnya menjadi pintu masuk alternatif dalam pengajuan aspirasi pemekaran daerah baru Pemerintah Pusat Hak Inisiatif DPR th 0 6 th th th 1 Transformasi Kab ke Kota Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012 Gambar 7. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Usia dan Prosedur Pemekaran

4 Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin mutakhir, usulan pemekaran daerah baru yang diajukan melalui pengajuan ke pemerintah pusat semakin menurun. Sementara, pembentukan daerah pemekaran melalui hak inisiatif DPR justru semakin meningkat. Kecenderungan tersebut menunjukkan pergeseran tingkat peran pemerintah pusat dan DPR dalam mekanisme pengajuan kabupaten/ kota baru hasil pemekaran Perkembangan PDRB Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diambil adalah data PDRB Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 yang dimaksudkan untuk menghilangkan faktor inflasi dalam melihat tingkat pertumbuhannya. Di samping itu, kajian ini juga memilih untuk menggunakan data PDRB Tanpa Minyak dan Gas untuk melihat PDRB riil yang dihasilkan oleh masyarakat. Hal ini karena hampir semua tambang minyak dan gas dikelola oleh korporasi asing sehingga sumber pendapatan dari sektor tersebut tidak murni dari produksi masyarakat. Nilai PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 di kabupaten/kota hasil pemekaran selama periode menunjukkan komposisi yang sangat beragam (lihat Tabel 2). Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa PDRB Kabupaten Kutai Timur memiliki nilai rata-rata tertinggi, yakni: milyar rupiah. Nilai rata-rata PDRB Kabupaten Kutai Timur ini bahkan sangat jauh dibandingkan dengan ratarata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat yang berada di posisi kedua dengan nilai rata-rata mencapai milyar rupiah. Sedangkan Kabupaten Luwu Timur yang berada di posisi ketiga memiliki rata-rata PDRB yang tidak jauh dari rata-rata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat, yakni: milyar rupiah. Memang jika dicermati, hanya ada 17 kabupaten/kota hasil pemekaran (37,8 persen) yang rata-rata PDRB-nya mencapai angka 1 triliun rupiah. Sisanya yakni 28 kabupaten/kota hasil pemekaran (62,2 persen) memiliki nilai rata-rata PDRB di bawah 1 triliun rupiah. Bahkan, ada 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang hanya memiliki rata-rata PDRB di bawah 200 milyar rupiah, yakni: Kabupaten Supiori (118 milyar rupiah), Kabupaten Lembata (146 milyar rupiah), Kabupaten Teluk Wondama (177 milyar rupiah), dan Kabupaten Kepulauan Aru (198 milyar rupiah). Situasi ini menggambarkan betapa jauhnya kesenjangan kinerja perekonomian di antara kabupaten/kota hasil pemekaran. Ada catatan menarik terkait perbedaan tingkat perekonomian kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup jauh. Pertama, dari perhitungan statistik diketahui bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup kuat antara usia kabupaten/kota hasil pemekaran dengan rata-rata PDRB masing-masing, ditunjukkan dari nilai r yang hanya 0,2117. Kedua, sektor pertanian masih menjadi sektor utama (leading sector) bagi sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector). Ketiga, meskipun terdapat 35 kabupaten yang mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector), namun hanya 10 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berhasil mencapai rata-rata PDRB di atas 1 trilyun rupiah. 37

5 38 Tabel 2. PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan 2000 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran (dalam milyar rupiah) No. Kab/Kota Provinsi Tahun Rata-rata 1 Gayo Lues NAD Kota Padang Sidimpuan Sumut Serdang Bedagai Sumut Dharmas Raya Sumbar Pasaman Barat Sumbar Rokan Hilir Riau Kuantan Singingi Riau Tebo Jambi Muaro Jambi Jambi OKU Selatan Sumsel Kepahiang Bengkulu Lebong Bengkulu Lampung Timur Lampung Kota Metro Lampung Bangka Barat Babel Belitung Timur Babel Lingga Kep. Riau Kota Tanjung Pinang Kep. Riau Sumbawa Barat NTB Lembata NTT Manggarai Barat NTT Bengkayang Kalbar Sekadau Kalbar Lamandau Kalteng Barito Timur Kalteng Kota Banjarbaru Kalsel Tanah Bumbu Kalsel Kutai Timur Kaltim Kepulauan Talaud Sulut Minahasa Selatan Sulut Morowali Sulteng Banggai Kepulauan Sulteng Luwu Utara Sulsel Luwu Timur Sulsel Bombana Sultra Wakatobi Sultra Boalemo Gorontalo Mamuju Utara Sulbar Kepulauan Aru Maluku Seram Bagian Barat Maluku Kepulauan Sula Malut Supiori Papua Keerom Papua Raja Ampat Papua Barat Teluk Wondama Papua Barat Sumber : diolah dari data BPS

6 Secara keseluruhan selama periode laju perkembangan PDRB Tanpa Minyak dan Gas di kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang positif. Bahkan jika dibandingkan antara laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran dengan laju PDRB kabupaten/kota secara nasional pada periode yang sama terdapat fenomena yang menarik. Di tahun 2009, saat laju PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami sedikit penurunan, laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran justru mengalami peningkatan besar Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar % Laju PDRB Laju PDRB nas Perbandingan Laju PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan Laju PDRB Kabupaten/Kota secara Nasional (dalam persen) Penurunan laju PRDB pada tahun 2009 lebih banyak disebabkan oleh kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis. Situasi krisis global tersebut mengakibatkan penurunan ekspor karena adanya penurunan permintaan produk ekspor dari luar negeri. Di sisi lain, suku bunga perbankan yang masih tinggi menyebabkan pada melambatnya pertumbuhan investasi. Meskipun terjadi penurunan ekspor dan investasi ini, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 masih tetap positif karena masih banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Memperhatikan latar situasi tersebut, ada beberapa kemungkinan mengapa di saat PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami penurunan, namun PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tetap mengalami peningkatan. Argumentasi pertama adalah sebagian besar kabupaten /kota hasil pemekaran mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mereka sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Padahal sektor pertanian ini relatif kebal dampak terhadap situasi keuangan global yang tengah krisis. Hal ini karena sektor tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik dan tidak terkait dengan pergerakan di pasar modal sehingga gejolak ekonomi di luar negeri tidak mempengaruhi pertumbuhan sektor ini. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector) dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi mereka. Sedangkan 6 39

7 40 kabupaten hasil pemekaran menjadikan sektor pertambangan dan penggalian sebagai sektor terbesar yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yakni Kab. Rokan Hilir, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Kutai Timur, Kab. Luwu Timur, dan Kab. Raja Ampat. Kemudian, yang menumpukan sektor perdagangan sebagai sektor utama dalam pertumbuhan ekonomi adalah 3 daerah yang ketiganya merupakan kota, yaitu: Kota Padang Sidimpuan, Kota Tanjung Pinang, dan Kota Banjarbaru. Hanya ada 1 kabupaten yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor industri pengolahan, yakni: Kab. Bangka Barat pertanian, kehutanan, per ikanan pertambangan dan penggalian industri pengolahan 35 perdagangan, hotel, resto ran Sumber: diolah dari data BPS 2010 Gambar 9. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Sektor yang Terbesar Kontribusinya dalam Pertumbuhan Ekonomi Argumentasi kedua adalah semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel pada penelitian ini berasal dari luar Jawa. Sementara, struktur perekonomian nasional masih lebih banyak berpusat di Jawa. Hal ini bisa dicermati dari kontribusi PDRB 45 kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap PDB yang hanya berkisar 3,7%-3,8%. Artinya, peningkatan PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tidak banyak pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDB nasional. Argumentasi ketiga adalah kuatnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang antara lain didorong peningkatan belanja pemerintah. Pada tahun 2009, pertumbuhan belanja pemerintah cukup tinggi mencapai 19,25%. Peningkatan belanja pemerintah tersebut teraktualisasi melalui pengeluaran untuk program sosial terkait penyelenggaraan Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi. Berdasarkan kajian yang dilakukan UNDP dan Bappenas tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran relatif masih tinggi. Hal ini karena ada kecenderungan daerah induk melepas kecamatan-kecamatan yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan. Terkait hal itu, keberadaan program sosial dan pengeluaran terkait Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi cukup membantu peningkatan konsumsi rumah tangga miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran sehingga turut mendorong pertumbuhan PDRB.

8 4.3. Perkembangan Belanja Pemerintah Dalam pandangan ekonom neoklasik, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan kapital/modal. Dengan pemahaman tersebut, besarnya belanja pemerintah daerah dinilai akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan ,000 80,000 70,000 78,819 72,840 68,378 milyar rupiah 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 20,970 22,700 22,987 total belanja PDRB 10, Sumber: diolah dari data BPK dan BPS Gambar 10. Perbandingan Agregat Realisasi Total Belanja Pemerintah dengan Agregat PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran (dalam milyar rupiah) Secara kumulatif, nilai realisasi total belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dalam periode tahun anggaran Demikian halnya dengan nilai agregat PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran selama , terjadi peningkatan setiap tahun. Kondisi ini sesuai dengan hukum Wagner yang menyatakan bahwa semakin tinggi PDB/PDRB akan semakin tinggi pula pengeluaran (belanja) pemerintah. Namun jika dicermati lebih jauh, slope (kemiringan) kurva peningkatan realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran sedikit lebih landai ketimbang slope kurva peningkatan PDRB. Artinya, selama periode tersebut, porsi kenaikan realisasi belanja pemerintah per tahun lebih lambat daripada kenaikan PDRB per tahun (Gambar 10). Dari hasil analisis terhadap laporan realisasi APBD kabupaten/kota hasil pemekaran untuk tahun anggaran , ditemukan bahwa realisasi Total Belanja pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran selalu menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya. Namun jika dicermati lebih jauh, peningkatan realisasi Total Belanja tersebut tidak diikuti dengan peningkatan realisasi Belanja Modal (Gambar 11). Bahkan dalam periode tersebut justru terlihat bahwa realisasi Belanja Modal terus mengalami penurunan. Realisasi anggaran tahun 2009 menunjukkan bahwa meskipun Total Belanja pemerintah meningkat (dari milyar rupiah menjadi milyar rupiah), tapi pada realisasi Belanja Modal justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008 (dari milyar rupiah menjadi milyar rupiah). Demikian halnya dengan yang terjadi dalam realisasi anggaran tahun 2010.

9 42 25,000 milyar rupiah 20,000 15,000 10,000 22,700 20,970 22,987 belanja modal total belanja 5,000-6,782 8,135 8, Sumber: diolah dari data BPK Gambar 11. Perkembangan Agregat Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran (dalam milyar rupiah) Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat alokasi belanja di luar Belanja Modal yang mengalami peningkatan cukup besar. Dari hasil pengamatan terhadap LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran di tahun anggaran 2009 terlihat bahwa rata-rata di tahun anggaran tersebut terdapat peningkatan cukup besar pada realisasi Belanja Operasional sub Belanja Sosial. Hal ini bisa dimengerti karena pada tahun 2009 merupakan tahun pemilu dimana para kepala daerah kabupaten/kota hasil pemekaran mengalokasikan Belanja Sosial yang sangat besar untuk kepentingan politik partai yang mengusung mereka. Di samping untuk kepentingan Pemilu 2009, sub Belanja Sosial juga meningkat terkait programprogram sosial untuk meredam dampak krisis ekonomi global. Sedangkan pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010, peningkatan belanja umumnya disebabkan oleh peningkatan pada realisasi Belanja Operasi sub Belanja Pegawai. Hal ini terkait banyaknya penambahan aparat pegawai negeri sipil (PNS) baru di tahun tersebut. Sementara untuk realisasi belanja Operasional sub Belanja Sosial justru mengalami penurunan dibanding realisasi tahun anggaran sebelumnya. Fakta ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa kepentingan politik praktis dalam penyusunan anggaran dan belanja pemerintah daerah (APBD) masih sedemikian besar. Hal lain yang menarik untuk dilihat pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010 adalah penurunan yang cukup tajam pada realisasi Belanja Modal. Jika pada tahun anggaran , agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 8 trilyun rupiah. Namun pada tahun 2010, nilai agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 6 trilyun rupiah. Meskipun terjadi penurunan Belanja Modal yang cukup besar, namun realisasi Total Belanja tetap terjadi peningkatan. Setelah dicermati dari LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran ternyata terdapat peningkatan pada alokasi Belanja Hibah pada tahun anggaran Peningkatan Belanja Hibah inilah yang menopang peningkatan Total Belanja.

10 Peningkatan realisasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010 tersebut tidak lepas dari kebijakan dari Kementerian Keuangan yang mengalihkan Belanja Modal DAK Pendidikan ke Belanja Hibah DAK Pendidikan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011). Pengalihan inilah yang menjadikan realisasi Belanja Modal menurun, namun Total Belanja tetap meningkat. Sebagai dampak dari kebijakan, kondisi ini tidak hanya berlaku di kabupaten/kota hasil pemekaran tetapi terjadi dalam realisasi APBD 2010 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan dengan kajian lain, tren penurunan realisasi Belanja Modal selama periode ternyata senada dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (2013). Kajian tersebut menemukan bahwa tren penurunan realisasi Belanja Modal selama merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Beberapa faktor yang ditengarai sebagai sebab penurunan realisasi Belanja Modal adalah, pertama, masih sering terjadi keterlambatan pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan APBD untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan, maksimal akhir Januari tahun bersangkutan. Keterlambatan tersebut umumnya disebabkan oleh berlarutnya proses penetapan Perda tentang APBD antara pihak eksekutif dengan legislatif (DPRD). Akibat keterlambatan ini daerah yang bersangkutan dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar 25 persen dari pagu perbulan hingga daerah tersebut menetapkan APBD. Kedua, realisasi Belanja Modal pada APBD di akhir tahun seringkali pelaksanaannya di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai karena daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya. Di samping itu, daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD sekitar bulan Agustus-September tahun anggaran berjalan, setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa besarnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Kombinasi antara pelampauan pendapatan, besarnya angka SiLPA yang telah diaudit, dan penetapan perubahan APBD menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September) mengakibatkan waktu yang tersisa untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat sempit. Apalagi setelah APBD- Perubahan ditetapkan, daerah masih memerlukan proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka akan mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Ketiga, pemerintah daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut pada saat proses perencanaan APBD di daerah. Mengingat bahwa struktur pendapatan APBD sangat didominasi oleh transfer dari Pusat (PAD hanya berkisar 20 persen dari total pendapatan, bahkan untuk Kabupaten/Kota hanya sekitar 9 persen), maka kecepatan dan keakuratan informasi transfer dari pemerintah pusat menjadi sangat krusial bagi daerah. 43

11 44 Tabel 3. Realisasi Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran (dalam milyar rupiah) No. Kab/Kota Provinsi Tahun Rata-rata 1 Gayo Lues NAD Kota Padang Sidimpuan Sumut Serdang Bedagai Sumut Dharmas Raya Sumbar Pasaman Barat Sumbar Rokan Hilir Riau Kuantan Singingi Riau Tebo Jambi Muaro Jambi Jambi OKU Selatan Sumsel Kepahiang Bengkulu Lebong Bengkulu Lampung Timur Lampung Kota Metro Lampung Bangka Barat Babel Belitung Timur Babel Lingga Kep. Riau Kota Tanjung Pinang Kep. Riau Sumbawa Barat NTB Lembata NTT Manggarai Barat NTT Bengkayang Kalbar Sekadau Kalbar Lamandau Kalteng Barito Timur Kalteng Kota Banjarbaru Kalsel Tanah Bumbu Kalsel Kutai Timur Kaltim Kepulauan Talaud Sulut Minahasa Selatan Sulut Morowali Sulteng Banggai Kepulauan Sulteng Luwu Utara Sulsel Luwu Timur Sulsel Bombana Sultra Wakatobi Sultra Boalemo Gorontalo Mamuju Utara Sulbar Kepulauan Aru Maluku Seram Bagian Barat Maluku Kepulauan Sula Malut Supiori Papua Keerom Papua Raja Ampat Papua Barat Teluk Wondama Papua Barat Sumber : diolah dari data BPS

12 Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Pada kenyataannya, realisasi pendapatan dari transfer tersebut ditambah lagi dengan komponen pendapatan lainnya misalnya dari PAD pasti melampaui angka perencanaan yang berujung pada lebihnya dana pada tahun anggaran yang bersangkutan dan belum tentu semuanya terserap menjadi belanja, bahkan ada yang idle dalam bentuk SiLPA. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan penurunan realisasi belanja pemerintah. Secara lebih terperinci, perkembangan belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ada 3 kabupaten hasil pemekaran yang memiliki rata-rata realisasi total belanja di atas 1 triliun rupiah, yakni: Kabupaten Kutai Timur (1.766 milyar rupiah) dan Kabupaten Rokan Hilir (1.558 milyar rupiah). Kedua kabupaten tersebut termasuk kabupaten kaya dengan rata-rata PDRB di atas 1 trilun rupiah (lihat Tabel 4.2). Sedangan 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki rata-rata total belanja terkecil adalah Kabupaten Mamuju Utara (311 milyar rupiah), Kabupaten Kepulauan Talaud (320 milyar rupiah), Kabupaten Supiori (321 milyar rupiah), dan Kabupaten Lembata (322 milyar rupiah) Perkembangan Infrastruktur Di antara berbagai jenis infrastruktur, jalan merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Kondisi pelayanan jalan yang lebih baik menyebabkan reduksi biaya operasional kendaraan (vechicle operating cost) dan biaya kecelakaan (accident cost) serta peningkatan nilai waktu (time value). Wardman (1998) menyatakan nilai penghematan waktu perjalanan memiliki dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan dan disulitas relatif dari waktu tersebut (km/km 2 ) sampel nasional Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar 12. Perbandingan Pertambahan Rasio Panjang Jalan 45 Kabupaten/ Kota Hasil Pemekaran terhadap Pertambahan Rasio Panjang Jalan Kabupaten/Kota Secara Nasional

13 46 Pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap luas wilayah selama kurun waktu menunjukkan peningkatan walaupun lambat. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan rasio peningkatan jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota secara nasional. Lambatnya pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan minimnya anggaran yang disediakan untuk membangun jalan baru setiap tahunnya. Situasi ini menunjukkan bahwa secara umum kebijakan otonomi daerah belum memberi dampak yang signifikan pada pertumbuhan rasio panjang jalan. Demikian halnya dengan kebijakan pemekaran daerah, Gambar 12 di atas memperlihatkan bahwa secara nasional kinerja daerah-daerah pemekaran dalam penambahan panjang jalan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain (yang bukan hasil pemekaran). Kenyataan tentang lambatnya pertumbuhan rasio jalan di daerah pemekaran tersebut selaras dengan penjelasan pada bagian sebelumnya tentang belanja pemerintah. Porsi Belanja Modal dalam Total Belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran terlihat kurang memadai (lihat Gambar 11). Padahal bila mengacu pada model Rostow dan Musgrave tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk investasi (modal) pada daerah baru hasil pemekaran idealnya memiliki porsi yang terbesar dari Total Belanja. Hal ini ditujukan untuk pengadaan sarana maupun prasarana publik, seperti: infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya, yang biasanya minim atau belum tersedia di daerah baru. Namun, dalam kasus daerah-daerah baru hasil pemekaran di Indonesia ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan model Rostow dan Musgrave tersebut. Porsi belanja modal terhadap total belanja pemerintah tidak cukup besar. Akibat minimnya porsi belanja modal inilah maka perkembangan infrastruktur termasuk jalan di kabupaten/kota hasil pemekaran tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lain. Selain soal kinerja dalam pertumbuhan panjang jalan, satu hal lagi yang menarik adalah semua daerah pemekaran yang berstatus kota memiliki nilai rasio panjang jalan di atas 1 (lihat Tabel 4). Artinya, daerah pemekaran yang berstatus kota relatif memiliki rasio panjang jalan yang memadai. Kota Padang Sidimpuan, misalnya, memiliki rasio jalan 2,53. Sementara Kota Tanjung Pinang dan Kota Banjarbaru masing-masing memiliki rasio panjang jalan 1,64 dan 1,39. Bahkan Kota Metro memiliki rata-rata rasio panjang jalan 5,93 yang merupakan rasio tertinggi dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel. Selain karena luas wilayahnya relatif lebih kecil dan tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi, kota-kota hasil pemekaran lebih banyak mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut memang mensyaratkan adanya dukungan infrastruktur jalan yang memadai. Situasi berbeda terjadi di daerah hasil pemekaran yang berstatus kabupaten. Semua kabupaten hasil pemekaran memiliki rasio panjang jalan di bawah 1, termasuk kabupaten yang dikategorikan kabupaten kaya. Hal yang diduga menyebabkan lambatnya pertumbuhan panjang jalan di kabupaten hasil pemekaran adalah luasnya wilayah kabupaten hasil pemekaran walaupun sudah direduksi dengan adanya pemekaran tersebut. Di sisi lain, kondisi demografis kurang mendukung dimana jumlah penduduk relatif sedikit dan penyebaran penduduk tidak merata sehingga kebutuhan untuk mobilitas juga kurang.

14 47 Tabel 4. Rasio Panjang Jalan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran No. Kab/Kota Provinsi luas wilayah Tahun (km 2 ) Gayo Lues NAD 5.719,67 0,109 0,109 0,109 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 139,39 2,530 2,530 2,530 3 Serdang Bedagai Sumut 1.900,22 0,770 0,663 0,770 4 Dharmas Raya Sumbar 2.961,13 0,393 0,399 0,406 5 Pasaman Barat Sumbar 3.887,77 0,320 0,324 0,320 6 Rokan Hilir Riau 8.881,59 0,212 0,212 0,212 7 Kuantan Singingi Riau 7.656,03 0,260 0,260 0,260 8 Tebo Jambi 6.461,00 0,123 0,123 0,123 9 Muaro Jambi Jambi 5.246,00 0,195 0,209 0, OKU Selatan Sumsel 5.495,94 0,075 0,078 0, Kepahiang Bengkulu 6.648,00 0,064 0,074 0, Lebong Bengkulu 2.731,31 0,113 0,113 0, Lampung Timur Lampung 5.325,03 0,196 0,196 0, Kota Metro Lampung 68,74 5,930 5,930 5, Bangka Barat Babel 2.883,70 0,210 0,259 0, Belitung Timur Babel 2.506,91 0,106 0,148 0, Lingga Kep. Riau 2.117,72 0,166 0,172 0, Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 239,50 1,027 1,076 1, Sumbawa Barat NTB 1.849,02 0,106 0,142 0, Lembata NTT 1.266,39 0,555 0,555 0, Manggarai Barat NTT 2.947,50 0,238 0,238 0, Bengkayang Kalbar 5.396,30 0,222 0,242 0, Sekadau Kalbar 5.444,30 0,078 0,084 0, Lamandau Kalteng 6.414,00 0,111 0,112 0, Barito Timur Kalteng 3.834,00 0,129 0,170 0, Kota Banjarbaru Kalsel 371,38 1,387 1,387 1, Tanah Bumbu Kalsel 5.066,96 0,258 0,258 0, Kutai Timur Kaltim ,50 0,021 0,028 0, Kepulauan Talaud Sulut 1.251,02 0,213 0,213 0, Minahasa Selatan Sulut 1.484,47 0,298 0,298 0, Morowali Sulteng ,12 0,095 0,101 0, Banggai Kepulauan Sulteng 3.214,46 0,339 0,367 0, Luwu Utara Sulsel 7.843,57 0,298 0,299 0, Luwu Timur Sulsel 6.944,88 0,209 0,242 0, Bombana Sultra 3.316,16 0,172 0,209 0, Wakatobi Sultra 823,00 0,335 0,454 0, Boalemo Gorontalo 2.300,90 0,285 0,299 0, Mamuju Utara Sulbar 3.043,75 0,375 0,390 0, Kepulauan Aru Maluku 6.425,77 0,017 0,025 0, Seram Bagian Barat Maluku 6.948,40 0,030 0,031 0, Kepulauan Sula Malut ,29 0,046 0,055 0, Supiori Papua 9.692,60 0,007 0,007 0, Keerom Papua 9.365,00 0,083 0,087 0, Raja Ampat Papua Barat 6.084,50 0,020 0,028 0, Teluk Wondama Papua Barat ,80 0,029 0,030 0,031 Sumber : diolah dari data BPS

15 48 Hal lain yang juga dianggap sebagai penghambat peningkatan rasio panjang jalan adalah kondisi geografis dan topografis yang kurang mendukung. Ada beberapa kabupaten hasil pemekaran yang secara alamiah merupakan daerah kepulauan dan pegunungan sehingga sulit dan berbiaya mahal untuk meningkatkan jumlah panjang jalan di daerah tersebut. Kondisi alamiah yang menghambat pertumbuhan panjang jalan tersebut banyak dijumpai di daerahdaerah pemekaran yang berada di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua. Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa kondisi rasio panjang jalan kabupaten/kota hasil pemekaran di keempat provinsi tersebut sangat rendah, hingga kurang dari 0,1. Sebagai gambaran, angka rasio panjang jalan di tahun 2010 untuk Kab. Kepulauan Aru tercatat hanya 0,03. Selanjutnya, Kab. Seram Bagian Barat (0,03), Kab. Kepulauan Sula (0,05), Kab. Supiori (0,01), Kab. Keerom (0,09), Kab. Raja Ampat (0,04), Kab. Teluk Wondama (0,03). Sedangkan rasio panjang jalan pada tahun-tahun sebelumnya malah lebih rendah lagi Perkembangan Tenaga Kerja Konsekuensi dari adanya pemekaran daerah adalah berkurangnya jumlah penduduk secara drastis jika dibandingkan ketika masih bersama daerah induk. Akibatnya hal ini akan berdampak langsung terhadap jumlah tenaga kerja yang ada di daerah induk maupun daerah pemekaran. Dalam pandangan ekonomi neoklasik, penurunan jumlah tenaga kerja dinilai akan ikut menurunkan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (orang) 4,400,000 4,300,000 4,200,000 4,100,000 4,000,000 3,900,000 3,800,000 3,700,000 3,600,000 3,500,000 3,400,000 3,300,000 4,105,431 4,339,579 3,821,112 4,083,061 3,712,093 3,968,197 angkatan kerja kesempatan kerja Sumber: diolah dari data BPS 2012 Gambar 13. Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran (dalam orang) Sebagaimana diketahui, model pertumbuhan ekonomi neoklasik didasari pada dua faktor utama, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Kedua faktor ini yang menjadi kekuatan dalam meningkatkan pertumbuhan. Boediono (1995) menyatakan bahwa meningkatkan output sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penerapan sistem pembangian kerja yang tepat berdasarkan

16 keterampilan pekerja dan penggunaan mesin-mesin yang dapat memudahkan dan mempercepat serta meningkatkan produktifitas tenaga kerja. Peningkatan dalam penggunaan tenaga kerja menandakan adanya kesempatan kerja sebagai akibat dari peningkatan output tersebut. Dalam konteks pemekaran daerah, penurunan jumlah tenaga kerja setelah dilakukan pemekaran akan berdampak pada daerah induk maupun daerah pemekaran. Secara langsung, dampak ekonomi yang dihadapi oleh daerah induk adalah penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak dan retribusi daerah. Secara tidak langsung, hal ini akan berpengaruh pada angka pertumbuhan ekonomi. Bagi daerah hasil pemekaran, faktor tenaga kerja tidak selalu memberi dampak yang sama, tergantung tarikan ekonomi yang ada. Jika pemekaran daerah tersebut merupakan transformasi dari kabupaten ke kota, maka ada kemungkinan akan terjadi migrasi (urbanisasi) yang akan berpengaruh positif pada peningkatan jumlah tenaga kerja. Demikian pula jika daerah pemekaran itu memiliki sumberdaya ekonomi yang besar (misalkan: hasil tambang) yang mendorong terbukanya kesempatan kerja. Situasinya akan berbeda manakala pemekaran daerah tersebut justru tidak berhasil menjadikan daerah hasil pemekaran dapat memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia. Secara keseluruhan, selama periode terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja, baik dalam pengertian angkatan kerja maupun kesempatan kerja, di kabupaten/kota hasil pemekaran (Gambar 13). Meskipun jika dicermati secara individual, tidak semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja ataupun kesempatan kerja. Sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran mengalami pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang fluktuatif. Bahkan, ada pula yang menurun selama periode tersebut, seperti yang terjadi di Kota Padang Sidimpuan, Kab. Kuantan Singingi, dan Kab. Supiori. Namun fluktuasi jumlah tenaga kerja di sebuah daerah dalam jangka pendek merupakan situasi yang normal. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang diiringi dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja di kabupaten/kota hasil pemekaran mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian telah menghasilkan pasar tenaga kerja yang positif. Artinya, pertambahan supply tenaga kerja masih bisa diimbangi dengan pertambahan demand tenaga kerja. Hanya saja, pertambahan demand tenaga kerja (kesempatan kerja) masih belum cukup optimal dalam menekan pertambahan supply tenaga kerja. Akibatnya, jumlah angkatan kerja masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah kesempatan kerja. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa Kabupaten Lampung Timur merupakan daerah dengan rata-rata jumlah kesempatan kerja tertinggi selama periode , dengan jumlah rata-rata orang. Berikutnya adalah Kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah rata-rata kesempatan kerja mencapai orang (Tabel 5). Fakta yang menarik adalah kedua kabupaten tersebut mengandalkan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam menyerap tenaga kerja. Masyarakat di kedua kabupaten ini memiliki kultur agraris yang kuat sejak masa kolonial sehingga sektor pertanian di kedua daerah ini mampu menjadi tumpuan utama dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi tersebut selaras dengan kondisi ketenagakerjaan secara nasional dimana sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja. 49

17 50 Tabel 5. Jumlah Kesempatan Kerja di Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran No. Kab/Kota Provinsi Tahun Rata-rata 1 Gayo Lues NAD Kota Padang Sidimpuan Sumut Serdang Bedagai Sumut Dharmas Raya Sumbar Pasaman Barat Sumbar Rokan Hilir Riau Kuantan Singingi Riau Tebo Jambi Muaro Jambi Jambi OKU Selatan Sumsel Kepahiang Bengkulu Lebong Bengkulu Lampung Timur Lampung Kota Metro Lampung Bangka Barat Babel Belitung Timur Babel Lingga Kep. Riau Kota Tanjung Pinang Kep. Riau Sumbawa Barat NTB Lembata NTT Manggarai Barat NTT Bengkayang Kalbar Sekadau Kalbar Lamandau Kalteng Barito Timur Kalteng Kota Banjarbaru Kalsel Tanah Bumbu Kalsel Kutai Timur Kaltim Kepulauan Talaud Sulut Minahasa Selatan Sulut Morowali Sulteng Banggai Kepulauan Sulteng Luwu Utara Sulsel Luwu Timur Sulsel Bombana Sultra Wakatobi Sultra Boalemo Gorontalo Mamuju Utara Sulbar Kepulauan Aru Maluku Seram Bagian Barat Maluku Kepulauan Sula Malut Supiori Papua Keerom Papua Raja Ampat Papua Barat Teluk Wondama Papua Barat Sumber : diolah dari data BPS

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22 No. 66/11/17/VI, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan III-2016 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th. VI, 5 Agustus 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI 2014-2019. Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI 2014-2019. Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014 ProfilAnggotaDPRdan DPDRI 2014-2019 Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014 Pokok Bahasan 1. Keterpilihan Perempuan di Legislatif Hasil Pemilu 2014 2.

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VII, 5 Mei 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2017 SEBESAR 101,81

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT BAB 4 Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali memburuk, terlihat dari TPAK yang menunjukkan penurunan cukup dalam dari 65,85 per Februari 212 menjadi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses perubahan kondisi perekonomian suatu wilayah atau negara menuju keadaan yang lebih baik dalam periode waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015 No. 12/02/17/VI, 5 Februari 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan IV-2015 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan IV-2015 di

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57 No. 28/05/17/VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan I-2016 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I-2016

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK 07 November 2016 Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Tengah (Produk Domestik Regional Bruto) Indeks Tendensi Konsumen 7 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK Pertumbuhan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 37/08/Th.XX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I - 2017 EKONOMI ACEH SEMESTER I-2017 DENGAN MIGAS NAIK 3,67 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,54 PERSEN

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 12 APRIL 2016)

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 12 APRIL 2016) DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 12 APRIL 2016) NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 1 PROV. MALUKU UTARA 2 PROV.

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website: AKSES PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Mengetahui akses pelayanan kesehatan terdekat oleh rumah tangga dilihat dari : 1. Keberadaan fasilitas kesehatan 2. Moda transportasi 3. Waktu tempuh 4. Biaya transportasi

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015 No. 30/05/17/V, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan I-2015 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Triwulan I-2015 di Provinsi

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

Penduduk Indonesia Sensus Penduduk 2010 BADAN PUSAT STATISTIK Sensus Penduduk 2010 Katalog BPS: 2102021 No. Publikasi: 03230.1102 ISBN: 978 979 064 269 0 Ukuran Buku: 15 cm x 21 cm Jumlah Halaman: viii

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/02/18 TAHUN VII, 6 Februari 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/05/18/Th.XIV, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,28 PERSEN Dalam menyusun rencana pembangunan ekonomi dibutuhkan informasi

Lebih terperinci

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota)

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota) DISTRIBUSI PENCAPAIAN IPM PROVINSI TAHUN 2013 Tahun 2013 Tahun 2013 DKI DIY Sulut Kaltim Riau Kepri Kalteng Sumut Sumbar Kaltara Bengkulu Sumsel Jambi Babel

Lebih terperinci

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk melihat pembangunan adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia 04/03/2012 Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel Oleh Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia Latar Belakang Provinsi Sulsel sebagai pintu gerbang Indonesia Timur?? Dari segi kesehatan keuangan suatu

Lebih terperinci

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 5 FEBRUARI 2016)

DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 5 FEBRUARI 2016) DAFTAR NAMA DAERAH YANG BELUM MELAPORKAN SK DAN SOP (DATA DUKUNG PEMBENTUKAN PPID) KE KEMENTERIAN DALAM NEGERI TAHUN 2016 (UPDATED 5 FEBRUARI 2016) NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 1 PROV. MALUKU UTARA 2 PROV.

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Bali

Pemerintah Provinsi Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah yang memiliki fungsi sebagai

Lebih terperinci

Daftar Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T)

Daftar Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) Page 1 of 7 Daftar Daerah, Terdepan dan Terluar (3T) Daftar Daerah, Terdepan dan Terluar No Provinsi Kabupaten / Kota Status 1 Kalimantan Barat 2 Kalimantan Timur 3 Sulawesi Utara 4 Nusa Tenggara Timur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 22/05/Th.XX, 5 Mei 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I - 2017 EKONOMI ACEH TRIWULAN I-2017 DENGAN MIGAS NAIK 2,87 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,97 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18/Th. VI, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2016 SEBESAR

Lebih terperinci

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016 PEMERINTAH KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN 2015 DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Nota Kesepakatan...

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 22/05/Th.XIX, 4 Mei 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2016 EKONOMI ACEH TRIWULAN I TAHUN 2016 DENGAN MIGAS NAIK 3,66 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,96

Lebih terperinci

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN Tinjauan Ekonomi & Keuangan Daerah Provinsi NUSA TENGGARA TIMUR Peta Nusa Tenggara Timur 2 Tinjauan Ekonomi dan Keuangan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th.VII, 7 Agustus 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2017 SEBESAR

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016 No. 25/05/94/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 45/08/61/Th. XV, 6 Agustus 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN II- 2012 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Kalimantan Barat pada II-2012 sebesar 109,62;

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I 1 laporan monitoring realisasi APBD dan dana idle Tahun 2013 Triwulan I RINGKASAN EKSEKUTIF Estimasi realisasi belanja daerah triwulan I Tahun 2013 merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR DAERAH TERTINGGAL, TERLUAR DAN TERDEPAN (3T)

DAFTAR DAERAH TERTINGGAL, TERLUAR DAN TERDEPAN (3T) DAFTAR DAERAH TERTINGGAL, TERLUAR DAN TERDEPAN (3T) Daftar Daerah Terdepan dan Terluar () No Provinsi Kabupaten / Kota Status Sambas Bengkayang 1 Kalimantan Barat Sanggau Sintang Kapuas Hulu Nunukan 2

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015 PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015 Bahan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional 3 4 Juni 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memajukan kesejahteraan umum, itulah salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci