PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA RUDI HARTONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA RUDI HARTONO"

Transkripsi

1 PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA RUDI HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Rudi Hartono NIM E

4

5 ABSTRACT RUDI HARTONO. Quality Enhancement of The Inner Part of Oil Palm Trunk by Close System Compression Method and by Phenol Formaldehyde Compregnation. Under direction of IMAM WAHYUDI, FAUZI FEBRIANTO and WAHYU DWIANTO. Improvement of physical and mechanical properties of oil palm trunk could be done by close system compression (CSC) and by compregnation with fenol formaldehida. The aims of these researches were to determine the maximum compression level by studying the density distribution and stress-strain curves of oil palm trunk, to evaluated the fixation of the inner part of oil palm trunk by close system compression, heat treatment and steam treatment, to measured the physical, mechanical, anatomical and chemical of densified oil palm trunk by CSC, and to evaluated the physical and mechanical of phenol formaldehyde (PF)- densified of oil palm trunk. The results showed that density of oil palm trunk was around g/cm 3. The density at the outer part was higher, and then decreasing toward the center of trunk. The stress-strain curves showed that water saturated and wet conditions were easier to compress than that of air dry condition. The compression level increased from the outer part to the center. The maximum compression levels of the center park were 67% in air dry condition and 72-73% in wet and water saturated conditions from their initial thickness. Fixation of the trunk by steam treatment method was achieved at 170 o C for 30 min, by CSC at 180 o C for 30 min, while by heat treatment was not yet fixed even at 200 o C for 180 min. Compression by CSC results in the improvement of the physical and mechanical properties of the inner part of oil palm trunk. The density, MOR, MOE and compression parallel to grain of densified-oil palm trunk were improved %, %, % and %, from the initial samples (control), respectively. The chemical components especially holocellulose was decreased with the increasing of temperature and time of compression, but the other components (lignin, alfa cellulose, extractive by hot water and by alcohol-benzene) were increased. Then, PF compregnation results in the improvement of the physical and mechanical of the inner part of oil palm trunk. The density, MOR, MOE and compression parallel to grain of PF-densified oil palm trunk were improved %, %, %, and %, from the initial samples (control), respectively. The last, the inner part of oil palm trunk after treating by CSC and by compregnation PF is suitable for furniture material. Keyword : Close system compression, phenol formaldehyde, physical and mechanical properties, oil palm trunk, impregnation.

6

7 RINGKASAN RUDI HARTONO. Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida. Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI, FAUZI FEBRIANTO dan WAHYU DWIANTO. Batang kelapa sawit (BKS) memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan sebagai pengganti kayu mengingat luas perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah. Kendala pemanfaatan dari BKS adalah sifat-sifatnya yang kurang baik, seperti kembang susut yang tinggi, sifat kekuatan dan keawetan yang rendah, serta sifat permesinan yang jelek. Bakar et al. (2000) mengemukakan bahwa hanya 1/3 bagian terluar dari BKS yang memiliki sifat kekuatan yang baik sehingga bisa digunakan sebagai bahan bangunan dan furniture, sedangkan 2/3 bagian dalam kurang baik. Upaya perbaikan sifat-sifat BKS dapat dilakukan dengan modifikasi kayu, salah satunya adalah metode pemadatan. Sifat fisis dan mekanis kayu hasil pemadatan pada umumnya meningkat. Namun jika tanpa perlakuan tertentu, pemadatan yang dilakukan belum menghasilkan fiksasi permanen atau masih terjadi pemulihan tebal (recovery) apabila kayu tersebut terkena air atau kelembaban tinggi. Padahal fiksasi permanen mutlak dibutuhkan untuk penggunaan sebagai bahan bangunan atau furniture. Metode pemadatan dengan close system compression (CSC) yang merupakan modifikasi dari steam treatment adalah metode pemadatan yang menghasilkan fiksasi dalam waktu yang singkat. Recovery of set (RS) pemadatan kayu Sengon suhu 180 o C selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman contoh uji dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 o C dengan RS sebesar 1.84% (Amin et al. 2007). Upaya fiksasi BKS dapat juga dilakukan dengan impregnasi fenol formaldehida (PF). Impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Ohmae et al. 2002; Rowell 2005; Furuno et al. 2004) dan mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al., 2004, 2006, 2009). Walaupun penelitian impregnasi PF telah banyak dilakukan, namun penelitian penggunaan PF dalam CSC belum pernah dilakukan. Diharapkan penggunaan PF dalam CSC mampu meningkatkan penetrasi PF ke dalam kayu dan memperbaiki sifat-sifat BKS, baik stabilitas dimensi maupun sifat fisis dan mekanisnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas BKS bagian dalam. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS (berdasarkan distribusi kerapatan dan kurva stress strain), menganalisis fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC, menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan metode CSC dan menganalisis fiksasi dan sifat fisis-mekanis BKS terkompregnasi PF, serta menjelaskan fenomena yang terjadi pada proses pemadatan BKS melalui analisis derajat kristalinitas, perubahan komponen kimia dan Fourier Transform Infrared (FT-IR). Bahan yang digunakan adalah BKS. Untuk menganalisis tingkat pemadatan yang dapat dilakukan, ditebang sebanyak 3 pohon. Dari setiap pohon

8 diambil potongan berupa disk setebal 10 cm pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m. Penentuan nilai kerapatan menggunakan contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji diambil secara horizontal dari masing-masing potongan disk dan diberi nomor secara berurutan (tepi kiri ke tepi kanan). Sedangkan untuk contoh uji stress-strain diambil dari disk pada ketinggian 1 m dari bagian dekat kulit sampai ke pusat batang. Kemudian dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kering udara, basah dan jenuh air. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC dibandingkan dengan metode heat treatment (HT) dan steam treatment (ST) dengan berbagai variasi suhu dan waktu. Parameter yang diukur adalah RS dan kehilangan berat/weight loss (WL). Pada BKS terpadatkan metode CSC ini dilakukan analisis sifat fisis, mekanis, kimia dan anatomi. Dari masing-masing sampel diambil untuk pengujian derajat kristalinitas dengan X-ray defraktometer. Pengamatan juga dilakukan untuk melihat perubahan gugus fungsi pada BKS yang dipadatkan dengan alat FTIR. Data dianalisis dengan uji rancangan acak lengkap faktorial dengan 4 kali ulangan. Faktor perlakuan adalah suhu 120, 140, 160 dan 180 o C dengan waktu 10, dan 40 menit. Uji lanjut dilakukan dengan uji beda nyata uji wilayah berganda Duncan. Impregnasi PF dilakukan dengan pra-impregnasi berupa pemadatan awal (pemadatan awal dan tanpa pemadatan) dan variasi metode impregnasi (rendam, vakum, vakum tekan). Konsentrasi PF adalah 20 % dengan suhu curing 135 o C. Sifat-sifat yang diamati adalah sifat fisis, mekanis dan anatomi batang kelapa sawit terkompregnasi PF. Untuk melihat perubahan gugus fungsi pada kayu yang dipadatkan digunakan alat FTIR. Data dianalisis dengan uji rancangan acak lengkap sederhana dengan 4 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi nilai kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat dengan kerapatan berkisar antara g/cm 3. Distribusi kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan BKS, selain dipengaruhi juga oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada kerapatan yang sama, kurva stress-strain BKS sama dengan kurva stressstrain kayu Sengon pada arah tangensial. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan sangat berhubungan erat dengan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Tingkat pemadatan maksimal BKS pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air. Pada semua metode pemadatan (metode ST, HT dan ST), faktor suhu dan waktu sangat berkontribusi terhadap nilai RS dan WL. Metode pemadatan yang paling cepat untuk menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti metode CSC, dan terakhir metode HT. Namun nilai WL pada BKS bagian dalam yang paling tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling rendah adalah metode HT. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 o C selama 30 menit, dengan metode CSC pada suhu 180 o C selama 30 menit, sedangkan dengan metode HT hingga suhu 200 o C selama 180 menit (3 jam)

9 belum mencapai fiksasi. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, dapat digunakan pada contoh uji berukuran besar. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimianya. Struktur anatomi BKS bagian dalam di dominasi oleh jaringan parenkim dasar yang banyak mengandung pati dan sedikit vascular bundles. Pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalinitas BKS bagian dalam akibat meningkatnya suhu dan waktu. Ada hubungan yang erat antara kristalinitas dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar %, MOE sebesar %, MOR sebesar % dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar %. Walau sudah terjadi peningkatan, namun berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), kerapatan masuk Kelas Kuat III, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat masuk ke dalam Kelas Kuat V. Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan perubahan warna, struktur anatomi dan komponen kimia BKS terpadatkan. Semakin meningkat waktu dan suhu pemadatan menyebabkan warna BKS semakin gelap. Berdasarkan struktur anatomi dapat diketahui bahwa vascular bundles, pori dan jaringan parenkim dasar pada BKS yang dipadatkan menjadi memipih. Jarak antar vascular bundles akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat. Pemadatan dengan CSC menyebabkan kadar holoselulosa berkurang, namun terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol benzen dan dalam air panas. Hasil FTIR antara BKS terpadatkan secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS yang dipadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol. Upaya untuk meningkatkan lagi kualitas BKS dilakukan dengan mengimpregnasi PF dengan berbagai metode. Metode impregnasi PF yang menghasilkan fiksasi rendah (RS di bawah 5%) adalah metode tanpa pemadatan awal (dengan vakum tekan atau vakum) dan metode pemadatan awal dengan vakum tekan. Metode ini menyebabkan banyak PF masuk ke dalam struktur BKS dan mengisi vessel (pori) serta jaringan parenkim dasar, diindikasikan dengan WG yang tinggi. Impregnasi PF yang masuk mampu meningkatkan fiksasi dan kerapatan BKS, serta sifat mekanisnya. Kerapatan meningkat sebesar %, MOR sebesar %, MOE %, sedangkan nilai keteguhan tekan sejajar serat meningkat sebesar %. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan dari perlakuan tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat, kerapatan masuk Kelas Kuat I, MOR masuk Kelas Kuat III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk Kelas Kuat IV. Peningkatan kualitas BKS bagian dalam telah dilakukan dengan metode CSC dan impregnasi PF. Pada metode CSC, sifat fisis dan mekanis meningkat sebesar kali, sedangkan pada kompregnasi PF meningkat secara signifikan dengan peningkatan antara 3-5 kali dibandingkan nilai kontrol. Ditinjau dari fiksasi, sifat fisis dan mekanis, maka BKS bagian dalam yang telah ditingkatkan kualitasnya sesuai digunakan untuk bahan baku furniture non struktural.

10

11 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebarkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

12

13 PENINGKATAN KUALITAS BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION DAN KOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA RUDI HARTONO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

14 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. 2. Prof (R). Dr. Ir. Gustan Pari, MS. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr 2. Prof (R) Dr. Ir. Subyakto, MSc.

15 Judul Disertasi : Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression dan Kompregnasi Fenol Formaldehida Nama : Rudi Hartono NRP : E Program Studi/mayor : Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Anggota Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi/Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 17 Januari 2012 Tanggal Lulus :

16

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 ini adalah Diversifikasi Fungsi Biodiversitas. Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Prof Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. dan Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M. Agr sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi terkait dengan penelitian ini. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. dan Prof (R), Dr. Gustan Pari, MS. selaku penguji pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Prof (R) Dr. Ir. Subyakto, MSc. selaku penguji pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan saran. 2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Pertanian USU Medan, atas segala bantuan dan kesempatan melanjutkan di Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS), Hibah Disertasi dan Program Sandwich sehingga penulis berkesempatan menimba ilmu di Jepang. 4. Laboratory of Active Bio-based Material, Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University, khususnya Prof. Dr. Hiroyuki Yano dan Assoc. Prof. Dr. Toshiro Morooka, yang telah menerima dan memberikan segala bantuannya untuk program sandwich. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman PPI Kyoto atas segala persahabatannya. 5. Seluruh dosen khususnya di Departemen Hasil Hutan yang telah mencurahkan ilmu dan pengalamannya. 6. Kepala UPT Biomaterial, ketua kelompok peneliti, seluruh peneliti, pegawai dan teknisi di LIPI Cibinong yang telah memberikan ijin penelitian, dan segala bantuan, serta persahabatan selama penulis melaksanakan penelitian, khususnya pak Sumato, pak Saeful, pak Jayadi, pak Fajar dan pak Luky yang banyak membantu di laboratorium. 7. Staf di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan; Laboratorium Pengawetan Kayu, Laboratorium Anatomi Kayu, Laboratorium Pengolahan Kimia Hasil Hutan dan Energi Biomassa Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan

18 Departemen Kehutanan, Bogor yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. 8. Teman-teman Jurusan Teknologi Hasil Hutan, mayor RPM dan TSK angkatan 2007, teman-teman dari PS Kehutanan USU, teman-teman Unwim yang banyak memberikan semangat dan bantuannya. 9. Para ustadz di DKM Al Hurriyah yang banyak memberi sentuhan ruhani dan semangat untuk menimba ilmu. 10. Kepada ayahanda M. Syarif, ibunda Samini, adik dan kakak serta seluruh keluarga di Medan. Demikian juga kepada ayahanda H. Khusnu Fahmi, ibunda Hj. Junariah dan seluruh keluarga di Serang, Banten atas segala doa dan kasih sayangnya. 11. Istriku tercinta Candrasari, anandaku M. Azman dan M. Taufiqurrahman terima kasih atas segala cinta, dukungan dan pengorbanannya selama penulis melaksanakan studi di Bogor. Selain itu, Alhamdulillah Disertasi ini dapat terselesaikan atas segala bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesarbesarnya. Semoga amal baik bapak ibu di balas oleh Allah SWT. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Rudi Hartono

19 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 9 April 1970 sebagai anak ke-3 dari pasangan M. Syarif dan Samini. Penulis menikah dengan Candrasari dan alhamdulillah dikarunia dua orang putra yaitu M. Azman dan M. Taufiqurrahman. Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, lulus tahun Pada tahun 1998, diterima sebagai mahasiswa S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan (RPM) diperoleh pada tahun 2007 dengan beasiswa BPPS. Selama mengikuti program S3, penulis aktif mengikuti seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan Indonesian Wood Research Society (IWoRS). Seminar Mapeki yang diikuti antara lain MAPEKI XI pada bulan Agustus 2008 di Palangkaraya, MAPEKI XII yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 2009, dan pada bulan November 2010 dilaksanakan MAPEKI XIII di Bali dan MAPEKI XIV yang diadakan di Yogyakarta pada bulan November Ada 4 makalah yang berkaitan dengan penelitian batang kelapa sawit yang dipublikasikan. Pada IWoRS II yang dilaksanakan di Bali tahun 2010, disajikan karya ilmiah dengan judul Curing Time Effect on Physical and Mechanical Properties of Phenol Formaldehyde-Densified Oil Palm Wood, sedangkan pada MAPEKI XIV tahun 2011 disajikan karya ilmiah dengan judul Peningkatan Kualitas Batang Kelapa Sawit Bagian Dalam dengan Metode Close System Compression. Karya ilmiah yang sudah dipublikasikan di Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Vol 3 No. 2 tahun 2010 dengan judul Pengaruh Waktu Impregnasi dan Konsentrasi Phenol Formaldehyde terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Batang Kelapa Sawit Terpadatkan dan di Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol 9 No. 1 tahun 2011 dengan judul Pengukuran Tingkat Pemadatan Maksimum Batang Kelapa Sawit. Saat mengikuti program S3, penulis diterima untuk hibah program Sandwich. Negara yang menjadi tujuan program ini adalah Jepang, tepatnya di Laboratory of Active Bio-based Material, Research Institute for Sustaianble Humanosphere, Kyoto University. Program ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan November 2009 sampai Januari Penulis pernah bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Winaya Mukti (UNWIM) sejak tahun Pada tahun 2004 diterima sebagai staf pengajar di Program Studi Ilmu Kehutanan, Fahultas Pertanian USU, Medan.

20 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN.. Halaman xvii xviii xx 1. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian.. 4 Hipotesis Penelitian. 4 Noveltis.. 4 Kerangka Pemikiran 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 7 Perkebunan Kelapa Sawit Klasifikasi Kelapa Sawit 7 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Potensi Peremajaan Kelapa Sawit... 8 Sifat-sifat Batang Kelapa Sawit Sifat Anatomi Kadar Air Kerapatan Kerapatan Ikatan Pembuluh Penyusutan Sifat Mekanis Sifat Kimia. 13 Pemadatan Kayu. 14 Fenol Formaldehida DISTRIBUSI KERAPATAN DAN STRESS-STRAIN BATANG KELAPA SAWIT 19 Pendahuluan 19 Bahan dan Metode.. 19 Hasil dan Pembahasan 22 Distribusi Kerapatan.. 22 Kurva Stress-strain 25 Tingkat Pemadatan Maksimal (Maximum Compression Level) 27 Perbandingan dengan Stress-Strain Kayu Sengon. 29 Simpulan FIKSASI BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION 31 Pendahuluan 31 Bahan dan Metode.. 31

21 Hasil dan Pembahasan 34 Recovery of Set (Pemulihan Tebal). 34 Weight Loss (Kehilangan Berat) Perbandingan dengan RS dan WL Kayu Sengon.. 41 Simpulan PENINGKATAN MUTU BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan 45 Bahan dan Metode.. 45 Hasil dan Pembahasan 48 Penampilan BKS Terpadatkan 48 Sifat Anatomi BKS 49 Sifat Fisis BKS.. 51 Sifat Mekanis BKS Kristalinitas Sifat Kimia BKS Simpulan FIKSASI DAN SIFAT FISIS-MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT TERKOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA 63 Pendahuluan 63 Bahan dan Metode.. 63 Hasil dan Pembahasan 66 Sifat Fisis BKS Terkompregnasi PF 66 Sifat Mekanis BKS Terkompregnasi PF. 68 Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN.. 83 Simpulan 83 Saran.. 85 DAFTAR PUSTAKA.. 87 LAMPIRAN. 93. xvi

22 DAFTAR TABEL Halaman 1 Luas areal kelapa sawit menurut propinsi di seluruh Indonesia. 8 2 Potensi Peremajaan Kelapa Sawit di Beberapa Provinsi 9 3 Hasil analisa kimia pada berbagai posisi kedalaman batang Tingkat pemadatan maksimal BKS pada 3 (tiga) kondisi 27 5 Variasi suhu dan waktu yang digunakan pada pemadatan metode HT, ST dan CSC Skema suhu pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu Perbandingan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu sengon dengan metode CSC 42 8 Komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC Skema metode impregnasi PF Sifat fisis BKS terkompregnasi PF Perbandingan kualitas BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC dan terkompregnasi PF. 81 xvii

23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir penelitian. 6 2 Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar (a) dan 3 buah vessel besar (b) pada bidang lintang menggunakan light microscopy 10 3 Struktur vascular bundles dari BKS pada bidang lintang dengan keberadaan jaringan parenchymatous ground, vessels, fibres dan phloem Rangkaian peralatan pada ST (A) Autoclave yang dilengkapi alat kempa, (B) Boiler, (C) Mesin pengatur suhu, tekanan dan kecepatan tekan Peralatan pada CSC, (A) Hot press, (B) Autoclave plat besi Cara pengambilan dan pembuatan contoh uji kerapatan dan stress-strain 20 7 Penentuan tingkat pemadatan maksimal 21 8 Penentuan tingkat stoke strain Distribusi kerapatan BKS pada berbagai ketinggian batang Distribusi kerapatan vascular bundles BKS dari bagian tepi (dekat kulit) menuju ke pusat Kurva stress-strain BKS: A) Kondisi Kering Udara, B) Kondisi Basah, dan C) Kondisi Jenuh Air Hubungan antara kerapatan BKS dengan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air Perbandingan antara kurva stress-strain BKS dengan kayu sengon Perbandingan struktur kayu pada penampang lintang antara BKS (A) dengan kayu sengon (B) Nilai RS dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai RS dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai RS dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai RS pada berbagai metode pemadatan. 35 xviii

24 19 Nilai WL dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai WL dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai WL pada berbagai metode pemadatan Hubungan antara nilai RS dan WL pada metode ST dan CSC Penampilan BKS terpadatkan dengan metode CSC Penampang lintang BKS: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) Pemadatan dengan perbesaran 50x Penampang pada arah longitudinal BKS: (A) Kontrol dan (B) Pemadatan dengan perbesaran 50x Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan Nilai MOE BKS terpadatkan dengan metode CSC Nilai MOR BKS terpadatkan dengan metode CSC Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terpadatkan dengan metode CSC Nilai kristalinitas BKS terpadatkan Hubungan kristalinitas dengan (1) MOE, (2) MOR dan (3) keteguhan tekan sejajar serat Pita serapan FTIR batang kelapa sawit pada kondisi kontrol dan yang terpadatkan Hubungan antara (1) kerapatan dengan WG dan (2) RS dengan WG Nilai MOR BKS terkompregnasi PF Nilai MOE BKS terkompregnasi PF Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terkompregnasi PF Hubungan antara (1) MOR dengan WG, (2) MOE dengan WG dan (3) keteguhan tekan sejajar serat dengan WG Resin PF yang menempati rongga vessel dan parenkim dasar pada (A) penampang lintang dan (B) penampang radial Pita serapan FTIR batang kelapa sawit pada kondisi kontrol dan yang terkompregnasi PF xix

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Distribusi kerapatan batang kelapa sawit dari bagian tepi kiri ke tepi kanan pada berbagai ketinggian Nilai RS dan WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai RS dan WL dengan metode heat treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu Nilai RS dan WL dengan metode steam treatment pada berbagai variasi suhu dan waktu Analisis sidik ragam terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC Uji wilayah berganda Duncan terhadap RS dan WL batang kelapa sawit terpadatkan dengan metode ST, HT dan CSC Pengujian komponen kimia BKS (kadar air, kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzen, kelarutan ekstraktif dalam air panas, klason lignin, holoselulosa dan alfa selulosa) Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terpadatkan dengan CSC Uji wilayah berganda Duncan terhadap RS Kristalinitas batang kelapa sawit Analisis komponen kimia batang kelapa sawit bagian dalam yang telah dipadatkan dengan metode CSC Inspeksi data perekat fenol formaldehida (PT. Palmolite Adhesive Industri) Sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF Analisis sidik ragam terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF Uji wilayah berganda Duncan terhadap sifat fisis dan mekanis batang kelapa sawit terkompregnasi PF xx

26 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1970-an baru seluas ha. Namun, pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut telah mencapai lebih dari 8.25 juta ha, dan tersebar di 22 provinsi di Indonesia (Departemen Pertanian 2010). Mengingat potensinya yang sangat besar dengan aksesibilitas yang tinggi dan bentuk morfologi batang yang silindris, maka batang kelapa sawit (BKS) dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti kayu yang sangat menjanjikan terutama hasil kegiatan peremajaan, yang selama ini kurang dimanfaatkan dan hanya dijadikan limbah. Menurut Febrianto & Bakar (2004), dari kegiatan peremajaan kebun sawit dapat dihasilkan kayu gergajian sebanyak 50.1 m 3 /ha hanya dari bagian tepi batang. Pemanfaatan BKS dalam bentuk utuh memiliki beberapa permasalahan. Hal ini terkait dengan sejumlah kelemahan yang ada, khususnya dalam hal stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan. Stabilitas dimensi BKS tergolong sangat rendah dengan variasi susut sebesar %, kekuatan masuk dalam Kelas Kuat III V, keawetan Kelas Awet V dan sifat permesinan Kelas V (Bakar et al. 1998, 1999a, 1999b). Ratanawilai et al. (2006) bahkan mengemukakan bahwa sifat mekanis BKS 2 kali lebih rendah dibandingkan kayu jati dan karet yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan furniture. Bakar et al. (2000) mengemukakan bahwa hanya 1/3 bagian terluar dan 3/4 bagian terbawah dari BKS yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan dan furniture karena memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih baik. Sisanya kurang baik. Oleh karena itu perlu upaya-upaya alternatif agar 2/3 bagian dalam BKS dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah dengan cara pemadatan (densifying by compression). Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu menggunakan kayu, pemadatan ternyata mampu meningkatkan sifat fisis dan sifat mekanis secara signifikan misalnya pada kayu Sugi (Inoue & Norimoto, 1991; Dwianto et al. 1997); Agathis (Sulistyono 2003); Sengon (Darmaji 2003); dan batang Kelapa (Wardhani 2005).

27 2 Jika tanpa perlakuan tertentu, kayu yang dipadatkan (untuk selanjutnya ditulis kayu terpadatkan) cenderung akan kembali ke bentuk semula (recovery) akibat adanya pengaruh kelembaban atau perendaman. Ini adalah permasalahan utama pada proses pemadatan. Padahal, fiksasi yang permanen atau recovery of set (RS) sebesar 0% sangat dibutuhkan agar kayu terpadatkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kayu komersial. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat kayu terpadatkan mencapai fiksasi yang permanen. Salah satunya adalah dengan metode heat treatment (HT) yaitu pemadatan kayu dalam kondisi kering menggunakan suhu tinggi. Menurut Inoue & Norimoto (1991), fiksasi permanen pada proses pemadatan dengan HT dapat dicapai pada suhu 180 o C selama 20 jam, atau pada suhu 200 o C selama 5 jam, atau pada suhu 220 o C selama 3 jam. Namun akibat penggunaan suhu tinggi dan lamanya waktu pemadatan mengakibatkan berkurangnya sifat mekanis kayu seiring dengan kehilangan berat kayu. Steam treatment (ST) merupakan metode lain yang digunakan untuk mencapai fiksasi permanen. Pada metode ini, uap air panas bertekanan tinggi dari boiler dimasukkan ke dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993). Lebih lanjut Inoue et al. (1993) mengemukakan bahwa dengan tekanan uap panas dalam autoclave sebesar 9-20 kg/cm 2 maka fiksasi permanen dapat terjadi pada suhu 180 o C selama 8 menit, atau pada suhu 200 o C selama 1 menit. Demikian juga Ito et al. (1998) yang mengemukakan bahwa fiksasi tercapai pada suhu 200 o C selama 3 menit, sedangkan Morsing (2000) mengungkapkan bahwa fiksasi terjadi pada suhu 190 o C selama 15 menit. Menurut Dwianto et al. (1999), fiksasi tersebut disebabkan karena adanya pelepasan tegangan (stress relaxation) akibat terdegradasinya komponen kimia kayu. Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi dapat dihasilkan dalam waktu singkat dan tidak banyak mengurangi sifat mekanis kayu. Namun kelemahannya adalah membutuhkan peralatan yang sangat mahal, seperti boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas. Metode pemadatan yang merupakan modifikasi dari ST adalah thermohydro-mechanical. Prinsip kerja metode ini hampir sama dengan ST yaitu memasukkan uap panas ke dalam autoclave untuk membuat kayu menjadi plastis,

28 3 kemudian dipadatkan dengan tekanan yang tinggi. Kelebihan pada metode ini adalah tidak merusak struktur kayu secara berlebihan dan nilai RS yang sangat kecil (Navi & Girardet 2000; Heger et al. 2004). Metode ST kemudian dimodifikasi oleh Amin & Dwianto (2006) dengan nama close system compression (CSC). Metode CSC mempunyai prinsip yang sama dengan ST. Alat cetakan CSC yang terbuat dari stainless steel dilengkapi dengan 2 lubang, yaitu untuk keluarnya uap air dan untuk mengukur besar tekanan pada saat pemadatan. Hasil penelitian Amin & Dwianto (2006) mengungkapkan bahwa penggunaan CSC pada kayu Randu jenuh air pada suhu 180 o C selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 9.60%, sedangkan dengan penambahan air sebanyak 400 ml menghasilkan RS sebesar 8.92%. Lebih lanjut Amin et al. (2007) mengemukakan bahwa pada kayu Sengon suhu 180 o C selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman contoh uji dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 o C dengan RS sebesar 1.84%. Selain metode pemadatan dengan suhu tinggi, penggunaan resin seperti fenol formaldehida (phenol formaldehyde = PF) merupakan metode yang efektif untuk mencapai fiksasi yang permanen. Impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Ohmae et al. 2002; Rowell 2005; Furuno et al. 2004) dan mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al., 2004, 2006, 2009). Walaupun penelitian impregnasi PF telah banyak dilakukan, namun penelitian penggunaan resin PF dengan metode CSC belum pernah dilakukan. Diharapkan penggunaan PF dengan metode CSC, mampu meningkatkan penetrasi PF ke dalam kayu dan juga memperbaiki sifat-sifat kayu dalam hal ini BKS, baik stabilitas dimensi maupun sifat fisis dan mekanisnya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKS bagian dalam. Adapun tujuan khususnya adalah: 1. Menganalisis tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS (berdasarkan distribusi kerapatan dan kurva stress strain).

29 4 2. Menganalisis fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC. 3. Menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan metode CSC. 4. Menganalisis fiksasi dan sifat fisis-mekanis BKS terkompregnasi PF. 5. Menjelaskan fenomena yang terjadi pada proses pemadatan BKS melalui analisis derajat kristalinitas, perubahan komponen kimia dan Fourier Transform Infrared (FT-IR). Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai pemanfaatan BKS bagian dalam. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat pada masyarakat mengenai: 1. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan terhadap BKS. 2. Sifat-sifat BKS terpadatkan khususnya dengan metode CSC 3. Sifat-sifat BKS terpadatkan dengan metode CSC dan kompregnasi PF Hipotesis Penelitian 1. Tingkat pemadatan yang diterapkan pada BKS berbeda menurut bagian batang. 2. Fenomena fiksasi pada BKS bagian dalam berbeda dengan fenomena pada kayu umumnya. 3. Pemadatan dengan CSC meningkatkan sifat fisis dan mekanis BKS bagian dalam. 4. Impregnasi PF ke dalam BKS bagian dalam menghasilkan fiksasi permanen dan meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya. Noveltis Noveltis dari penelitian ini adalah : 1. Informasi ilmiah tentang hubungan antara kerapatan dengan tingkat pemadatan maksimal yang dapat diterapkan pada BKS.

30 5 2. Pemadatan BKS dapat dilakukan pada berbagai arah, tidak seperti pada kayu umumnya. 3. Penggunaan metode CSC untuk mencapai fiksasi permanen pada BKS bagian dalam mendekati metode ST. Kerangka Pemikiran Selama ini BKS hasil peremajaan pohon yang sudah tua dan tidak produktif hanya menjadi limbah tanpa ada pemanfaatan yang berarti. Hal ini dikarenakan sejumlah kelemahan yang ada pada BKS apabila digunakan dalam bentuk utuh khususnya dalam hal stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan. BKS yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan dan furniture hanya 1/3 bagian luar (Bakar et al. 2000), sedangkan 2/3 bagian dalam tidak. Sehingga perlu upaya-upaya agar 2/3 bagian dalam BKS tersebut dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah dengan cara memadatkan BKS. Pemadatan pada umumnya mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Namun untuk mencapai fiksasi diperlukan perlakuan selanjutnya. Berbagai metode pemadatan telah dikembangkan, seperti heat treatment, steam treatment, dan CSC. Metode CSC merupakan modifikasi dari metode steam treatment. Metode ini merupakan salah satu metode pemadatan yang mampu menghasilkan fiksasi dalam waktu singkat. Agar pemadatan dengan CSC dapat dilakukan dengan baik, maka perlu diketahui terlebih dahulu distribusi kerapatan dan kurva stress-strain. Dari kedua data tersebut, akan dapat ditentukan tingkat pemadatan yang maksimal yang dapat diterapkan pada BKS bagian dalam. Selanjutnya dicari kondisi optimal berdasarkan variasi suhu dan waktu untuk mencapai fiksasi BKS bagian dalam dengan metode CSC. Sebagai pembanding, dilakukan juga penentuan fiksasi dengan metode heat treatment dan juga steam treatment, sehingga diketahui metode mana yang paling efektif. Kemudian dianalisis sifat fisis, mekanis, dan kimia BKS terpadatkan dengan CSC untuk mengetahui perlakuan yang paling optimal. Selain itu, penggunaan PF diketahui mampu meningkatkan stabilitas dimensi. Pra-impregnasi PF dilakukan untuk mengetahui keefektifan masuknya

31 6 PF ke dalam struktur BKS dan menganalisis fiksasi, sifat fisis dan mekanisnya. Selama ini pematangan PF menggunakan panas yang berasal dari hot press, sedangkan dengan pemadatan metode CSC belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dicoba untuk memadukan kompregnasi PF dengan pemadatan metode CSC. Tahap-tahap penelitian disajikan pada Gambar 1. Perkebunan Kelapa Sawit : Hasil peremajaan sangat berpotensi sebagai bahan baku kayu PEMANFAATAN BATANG KELAPA SAWIT 1/3 bagian luar sesuai untuk konstruksi ringan dan furniture 2/3 bagian bagian dalam tidak sesuai untuk konstruksi ringan dan furniture Distribusi Kerapatan dan Stress-strain BKS Riset 1 Fiksasi BKS dengan metode CSC (dibandingkan dengan metode HT dan ST) Riset 2 Sifat-sifat BKS terpadatkan dengan CSC (Fisis, mekanis, kimia, anatomi, kristalinitas dan FTIR) Riset 3 Fiksasi dan sifat-sifat BKS terkompregnasi dengan pra-impregnasi PF (Fisis, mekanis, dan FTIR) Riset 4 BKS bagian dalam sebagai bahan baku furniture Gambar 1. Diagram alir penelitian

32 7 2. TINJAUAN PUSTAKA Perkebunan Kelapa Sawit 1. Klasifikasi Kelapa Sawit Tomlinson (1961) mengemukakan bahwa menurut pengklasifikasiannya, kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman yang tergolong: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Famili Subfamili Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Arecaceae (Palmae) : Cocoidae : Elaeis : guineensis 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan sejak tahun 1970 dengan luas areal mencapai hektar. Tahun-tahun berikutnya luas areal bertambah dengan laju sekitar 11% per tahun, dari juta ha pada tahun 1991 mencapai sekitar juta ha pada tahun 2001 (Susila 2003). Menurut data Departemen Pertanian (2010) pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai lebih dari 8.25 juta ha yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi dengan areal perkebunan yang terluas. Data mengenai penyebaran perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.

33 8 Tabel 1. Luas areal kelapa sawit menurut provinsi di seluruh Indonesia No. Provinsi Luas Lahan Perkebunan Sawit (Ha) pada Tahun Nanggroe Aceh D Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Papua Papua Barat TOTAL Sumber : Departemen Pertanian Potensi Peremajaan Kelapa Sawit Peremajaan kelapa sawit pada umumnya dilakukan pada umur 25 tahun. Susila (2003) mengemukakan bahwa secara umum potensi peremajaan adalah berkisar antara ha per tahun. Pada tahun , potensi areal untuk peremajaan adalah sekitar 20 ribu ha per tahun. Pada tahun 2005, potensi areal peremajaan meningkat menjadi sekitar 30 ribu ha. Potensi areal peremajaan meningkat cukup pesat pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing mencapai sekitar 50 ribu dan 37 ribu ha.

34 9 Areal yang potensial untuk diremajakan terutama berada di lima provinsi utama (Tabel 2). Tabel 2. Potensi Peremajaan Kelapa Sawit di Beberapa Provinsi Provinsi Areal Peremajaan (ha) Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kalimantan Barat Aceh Lainnya Sumber: Susila (2003) Sifat-sifat Batang Kelapa Sawit 1. Sifat Anatomi Tanaman kelapa sawit termasuk dalam kelas monokotil. Dalam pertumbuhannya, tanaman monokotil berbeda dengan tanaman dikotil karena tidak dijumpai adanya meristem lateral, sehingga pada monokotil pertumbuhan hanya ditentukan oleh meristem apikal. Hal ini dapat dilihat dari bentuk batang yang tidak mengalami penambahan diameter sepanjang hidupnya (Killmann & Choon 1985; Prayitno 1991). Pada penampang transversalnya, Killmann & Choon (1985) membagi BKS menjadi 3 bagian yaitu cortex, peripheral region dan central zone. Cortex merupakan bagian terluar batang dengan tebal sekitar cm. Peripheral region merupakan wilayah yang agak gelap, yang sangat padat dengan vascular bundles dan sedikit parenchyma. Bagian ini memberikan kekuatan terhadap BKS. Daerah central merupakan wilayah yang paling luas sekitar 80% dari total area. Erwinsyah (2008) membagi penampang lintang batang menjadi 3 bagian yaitu peripheral, central dan inner zone. Peripheral merupakan zona paling luar batang sebelum kulit dan korteks. Vascular bundles pada daerah ini sangat padat, sedangkan sel parenkim sangat sedikit dibandingkan wilayah lainnya. Orientasi vascular bundle mengarah ke arah titik pusat dari batang. Secara visual, daerah ini terlihat agak gelap. Zona central merupakan daerah paling lebar sekitar 50%

35 10 dari total seluruh daerah. Orientasi vascular bundles pada daerah ini adalah random atau acak. Zona inner hanya 20-25% dari total daerah dan memiliki kandungan sel parenkim yang tinggi. Kandungan vascular bundle pada daerah ini paling sedikit dibandingkan daerah lainnya. Orientasi vascular bundles pada daerah ini sama dengan zona central. Rahayu (2001) dan Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa komponen utama penyusun BKS adalah vascular bundles dan parenkim, maka bila pada lokasi tertentu dijumpai vascular bundles dalam jumlah yang banyak, akibatnya proporsi parenkim akan berkurang. Luasan vascular bundles di bagian tepi lebih tinggi dan semakin berkurang ke arah pusat, sebaliknya di bagian tepi luasan parenkim lebih rendah dan semakin meningkat ke arah pusat. Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa struktur vascular bundles terdiri dari 1 atau 2 vessels pada zona peripheral dan 2 atau 3 vessels pada zona central dan inner. Vessels tersebut dibagi juga menjadi 2 bagian yaitu vessels besar dan kecil. Vessel besar memiliki dinding tebal dan diduga sebagai komponen utama untuk transportasi nutrisi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. (a) Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar besar (b) Vascular bundles dengan 3 buah vessel Gambar 2. Vascular bundles dengan 1 buah vessel besar (a) dan 3 buah vessel besar (b) pada bidang lintang menggunakan light microscopy (sumber Erwinsyah 2008)

36 11 Gambar 3. Struktur vascular bundles BKS pada bidang lintang dengan keberadaan jaringan parenchymatous ground, vessels, fibres dan phloem (foto oleh E. Bäucker 2005 dalam Erwinsyah 2008) 2. Kadar Air Killmann & Choon (1985) menyatakan bahwa kadar air BKS sangat bervariasi antara %. Lim & Khoo (1986) menyatakan bahwa kadar air meningkat ke arah tinggi batang dan juga ke arah pusat batang. Sedangkan Bakar et al. (1998) mengemukakan variasi kadar air BKS berkisar antara %. Bagian pusat BKS umumnya mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah dan tepinya. Kadar air BKS akan turun dari pangkal ke beberapa meter di atas pangkal dan kemudian naik menuju bagian ujung. Hal ini disebabkan pada bagian pusat dan bagian ujung memiliki prosentase jumlah parenkim yang lebih tinggi. Parenkim merupakan jaringan penyimpan cadangan makanan (pati) dan mengandung lebih banyak air dibandingkan vascular bundle (Bakar et al. 1998). 3. Kerapatan Lim & Khoo (1986) menyatakan bahwa nilai kerapatan BKS sangat bervariasi mulai dari g/cm 3 dengan rata-rata 0.37 g/cm 3. Menurut Bakar et al. (1998), kerapatan BKS berkisar antara g/cm 3, sedangkan Erwinsyah (2008) mengemukakan bahwa kerapatan berkisar antara g/cm 3.

37 12 Prayitno (1995) mengemukakan bahwa variasi kerapatan BKS sangat lebar berkisar antara g/cm 3. Hal ini disebabkan adanya variasi struktur anatomi BKS yang sangat lebar dari bagian pusat (didominasi oleh jaringan parenkim, berdinding tipis) dan di daerah dekat kulit (didominasi oleh vascular bundles, berdinding tebal). Variasi menurut arah ketinggian batang adalah bagian pangkal mempunyai nilai kerapatan tertinggi, diikuti bagian tengah dan bagian ujung. Nilai kerapatan tertinggi juga tercatat pada lapisan terluar dan nilainya menurun menuju ke empulur (Prayitno 1995) 4. Kerapatan Ikatan Pembuluh Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa kerapatan vascular bundles di bagian tepi sangat tinggi dan mengalami penurunan ke arah pusat batang. Sedangkan faktor ketinggian tidak memberikan kecenderungan yang jelas tentang jumlah vascular bundles. Pola kerapatan vascular bundles BKS berbanding lurus dengan nilai berat jenis. Bagian tepi yang mempunyai vascular bundles lebih banyak menghasilkan nilai berat jenis yang tinggi pula. Jaringan vascular bundles mempunyai kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya (Bakar et al. 1998). 5. Penyusutan Bakar et al. (1998) menyatakan bahwa penyusutan volume BKS berkisar antara 25-74%. Berdasarkan kedalaman batang, nilai susut volume tertinggi ada pada bagian pusat dan semakin ke tepi semakin kecil. Berdasarkan arah ketinggian batang, bagian pangkal (sampai ketinggian 4.5 m) mempunyai nilai susut yang lebih rendah dibandingkan bagian lainnya. Prayitno (1995) dan Bakar et al. (1998) menganggap hal yang terakhir ini sebagai suatu anomali. 6. Sifat Mekanis Bakar et al. (1999a) mengemukakan bahwa seluruh sifat mekanis yang diteliti termasuk modulus of rupture (MOR), modulus of elasticity (MOE), keteguhan tekan, keteguhan belah, keteguhan geser, kekerasan dan keteguhan pukul menurun dari bagian dekat kulit ke arah pusat batang dan dari bagian

38 13 pangkal ke arah pucuk batang, dimana pengaruh kedalaman (arah diameter) lebih besar dari pengaruh arah ketinggian. Pada arah horizontal, seluruh sifat mekanis menurun tajam dari bagian tepi ke bagian tengah, dan menurun landai dari bagian tengah ke bagian pusat batang. Penurunan tersebut terutama disebabkan perbedaan BJ dan kerapatan vascular bundles pada masing-masing bagian. Sedangkan penurunan pada arah tinggi disebabkan oleh perbedaan umur dari BKS pada setiap ketinggian (Bakar et al. 1999a). Dibandingkan dengan kayu, nilai-nilai MOE, MOR, keteguhan tekan, keteguhan geser dan kekerasan BKS bagian luar hampir setara dengan nilai kekuatan pada kayu Sengon, dan masuk ke dalam Kelas Kuat IV-V (Bakar et al. 1999a). 7. Sifat Kimia Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa sifat kimia BKS bervariasi secara horizontal. Kandungan selulosa dan lignin menurun dari bagian dekat kulit ke arah pusat batang, sedangkan kandungan pati meningkat ke arah pusat batang. Kandungan silika dan abu lebih tinggi pada bagian pusat batang, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kimia pada berbagai posisi kedalaman batang Jenis Analisis Dekat Kulit Tengah Pusat Lignin (%) Selulosa (%) Pati (%) Abu (%) Silika (%) Kelarutan (%) : Air dingin Air panas Alkohol Benzen NaOH 1 % Sumber: Bakar et al. (1998)

39 14 Pemadatan Kayu Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik sifat fisis maupun mekanisnya seperti kerapatan, kekerasan sisi, dan kekuatan geser serta memperbaiki stabilitas dimensi kayu. Produk yang dihasilkan dikenal dengan densified wood. Pada pembuatan produk-produk komposit kegiatan pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antar kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975). Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan dengan dua cara, yaitu dengan impregnasi (densifying by impregnation) dan pengempaan (densifying by compression). Melalui impregnasi, rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang menyebabkan kayu menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin PF, larutan vinil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan, sedangkan dengan pengempaan dapat memodifikasi sifat-sifat kayu dibawah kondisi plastis tanpa merusak struktur sel kayu. Teknik pemadatan kayu dengan cara pengempaan membutuhkan 4 tahap yaitu: (1) pelunakan atau plastisasi dinding sel, (2) pengempaan sejajar serat pada saat pelunakan, (3) setting melalui pendinginan dan pengeringan pada saat deformasi, dan (4) fiksasi (Inoue 1994 dalam Morsing 2000). Proses plastisasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, plastisasi kayu terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan tekanan ada secara bersama-sama. Proses plastisasi ini dapat dilakukan dengan cara mengeringkan kayu dalam oven, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan menggunakan autoclave. Sedangkan secara kimia, proses plastisasi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti NaOH yang mampu melunakkan lignin, sehingga ketika pemadatan menjadi lebih mudah. Fiksasi merupakan tahap akhir dari proses pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak kembali ke bentuk dan ukuran semula atau bersifat permanen. Mekanisme fiksasi terjadi karena meningkatnya daerah kristalin pada struktur selulosa (Ito et al. 1998) dan terjadinya hidrolisa hemiselulosa yang mengakibatkan berkurangnya internal stress pada kayu (Hsu et al. 1998). Pemadatan kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan menggunakan metode (1) perekatan atau modifikasi kimia, (2) perlakuan suhu

40 15 tinggi pada kayu kering atau heat treatment (HT), dan (3) perlakuan uap panas pada kondisi kayu basah atau steam treatment (ST). Prinsip pemadatan kayu metode modifikasi kimia adalah dengan memasukkan perekat atau bahan kimia (Fujimoto 1992) ke dalam kayu dan proses curing atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi. Perekat yang dapat digunakan dalam metode ini dapat berupa fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi, esterifikasi atau asetilasi. Pemadatan kayu metode HT dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa panas atau oven. Metode ini membutuhkan waktu yang lama untuk tercapainya fiksasi yang permanen. Inoue & Norimoto (1991) meneliti fiksasi permanen dari pemadatan kayu Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) dengan pemanasan pada kondisi kering. Hasil yang diperoleh adalah fiksasi permanen kayu Sugi dicapai pada suhu 180 o C selama 20 jam, atau 200 o C selama 5 jam, atau 220 o C selama 3 jam. Dwianto et al. (1997) melakukan penelitian dan menggunakan kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) juga menghasilkan waktu dan temperatur yang sama. Namun dijelaskan lebih lanjut bahwa fiksasi oleh HT disebabkan oleh pelepasan internal stress dalam mikrofibril dan matriks melalui degradasi dinding sel kayu, bukan oleh meningkatnya kristalisasi mikrofibril (Dwianto et al. 1996). Metode ST adalah memanaskan kayu dengan menggunakan uap panas atau uap air suhu tinggi. Contoh uji untuk metode ST diletakkan di dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas. Kemudian dialirkan uap panas yang berasal dari boiler sesuai suhu yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati menggunakan alat pengatur suhu dan tekanan (Gambar 4).

41 16 A B C Gambar 4. Rangkaian peralatan pada ST: (A) Boiler, (B) Autoclave yang dilengkapi alat kempa, dan (C) Mesin pengatur suhu, tekanan dan kecepatan tekan. Ito et al. (1998) mengemukakan bahwa dengan ST, fiksasi dicapai pada suhu 200 o C selama 3 menit. Dwianto et al. (1999) juga mengemukakan bahwa fiksasi permanen dicapai pada suhu 200 o C selama 10 menit, sedangkan Morsing (2000) mendapatkan hasil pada suhu 190 o C selama 15 menit. Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi yang bersifat permanen dari kayu yang dikempa dapat dicapai lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2) dan tidak banyak mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Sedangkan kelemahan metode ini adalah sulit untuk diterapkan pada skala pemakaian karena membutuhkan perangkat yang sangat mahal, yaitu boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas yang dimasukkan ke dalam autoclave; serta tidak dapat dilakukan terhadap kayu dengan ukuran besar. Metode ST kemudian dimodifikasi oleh Amin & Dwianto (2006) dengan nama Close System Compression (CSC). Alat cetakan CSC berupa stainless steel yang dilengkapi dengan 2 lubang, yaitu untuk keluarnya uap air dan untuk mengukur tekanan yang terjadi pada saat pemadatan. Kayu yang akan dikempa, diletakkan di tengah cetakan, kemudian ditutup dengan lembaran stainless dan diletakkan di antara plat hot press (Gambar 5). Prinsip kerja dari metode CSC ini adalah sama dengan metode ST.

42 17 A B Gambar 5. Peralatan pada CSC : (A) Hot press, (B) Autoclave plat besi. Amin & Dwianto (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan kayu Randu jenuh air. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu 180 o C selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 9.60%, sedangkan dengan penambahan air sebanyak 400 ml menghasilkan RS sebesar 8.92%. Lebih lanjut Amin et al. (2007) mengemukakan bahwa pada kayu Sengon suhu 180 o C selama 30 menit menghasilkan RS sebesar 1.6%, sedangkan perendaman spesimen dalam larutan NaOH 2% mampu menurunkan suhu menjadi 160 o C dengan RS sebesar 1.84%. Fenol Formaldehida Perekat PF merupakan salah satu jenis perekat untuk penggunaan eksterior yang memiliki sifat tahan cuaca dan tahan air. Secara lebih rinci, Kliwon & Iskandar (2008) menjelaskan sifat yang dimiliki perekat jenis ini, antara lain: 1. Daya rekat baik walau dipakai di luar (tempat yang tidak terlindung). 2. Kelarutan dalam air baik. 3. Cepat menjadi stabil, lamanya pengempaan dapat diperpendek. 4. Kestabilan kekentalan baik selama operasi. Perekat PF biasanya disiapkan dalam 2 metode yang berbeda. Metode ke-1 melibatkan katalis basa dengan formaldehida yang berlebih terhadap fenol. Produk yang mula-mula terbentuk disebut resol dengan mudah bisa dimatangkan menjadi polimer termoset melalui pemanasan. Metode ke-2 melibatkan katalis asam, menggunakan fenol yang berlebih terhadap formaldehida. Produk ini

43 18 disebut novolak yang membutuhkan lebih banyak formaldehida untuk mengefektifkan proses pematangannya (Steven 2007). Perekat PF merupakan salah satu jenis resin dalam modifikasi kimia yang dapat menghasilkan fiksasi yang permanen pada kayu. Metode ini berbeda dengan metode heat treatment, ST dan CSC yang lebih ke arah modifikasi kayu secara fisik melalui pengaturan suhu, kadar air dan waktu pemadatan. Ohmae et al. (2002) dan (Rowell 2005) mengemukakan bahwa impregnasi PF ke dalam kayu mampu meningkatkan stabilitas dimensi. Impregnasi PF juga mengurangi sifat higroskopis kayu (Hill 2006). Efektifitas PF tergantung pada penetrasinya ke dalam kayu. PF juga secara signifikan meningkatkan sifat mekanis kayu (Shams et al. 2004, 2006, 2009). Furuno et al. (2004) mengemukakan bahwa resin PF dengan berat molekul rendah dari mampu berpenetrasi ke dalam dinding sel kayu dan meningkatkan stabilitas dimensi, sedangkan resin PF dengan berat molekul 820 hanya berada di lumen sel dan tidak memberikan pengaruh terhadap stabilitas kayu.

44 19 3. DISTRIBUSI KERAPATAN DAN STRESS-STRAIN BATANG KELAPA SAWIT Pendahuluan Dibandingkan sifat-sifat serupa pada kayu, stabilitas dimensi, kekuatan, keawetan dan sifat permesinan batang kelapa sawit (BKS) lebih inferior. Oleh karena itu, peningkatan sifat-sifat tersebut merupakan usaha yang perlu dilakukan agar BKS dan kayu-kayu berkualitas rendah lainnya dapat dimanfaatkan lebih optimal. Salah satunya adalah dengan proses pemadatan (densifying by compression) karena beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa pemadatan mampu meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu secara signifikan. Amin et al. (2004) mengemukakan bahwa pemadatan sebesar 33% terhadap kayu Randu, Jengkol, Manii, Mindi, Angsana dan Mangga mampu meningkatkan kerapatan sebesar 35.72%; MOE 80.07%; dan MOR 66.40% dari nilai awalnya. Sedangkan pada batang Kelapa, pemadatan sebesar 10-30% mampu meningkatkan kerapatan sebesar % (Wardhani 2005). Untuk memperoleh hasil pemadatan yang optimal, tingkat atau besarnya pemadatan yang dilakukan harus sesuai dengan kurva stress-strain yang ada. Penelitian tentang hal ini sudah banyak dilakukan antara lain oleh Ellis & Steiner (2002). Namun penelitian tentang tingkat pemadatan yang dikaitkan dengan nilai kerapatan apalagi pada BKS belum pernah dilakukan. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui distribusi kerapatan secara horizontal pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m, serta kurva stress-strain untuk menentukan tingkat optimal pemadatan yang harus dilakukan terhadap BKS. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BKS. Alat-alat yang digunakan adalah gergaji, oven, kipas angin, bak perendaman, vakum, caliper, desikator, timbangan digital, cutter, mikroskop, dan Universal Testing Machine (UTM).

45 20 Metode Penelitian Tanaman kelapa sawit yang berumur 40 tahun dengan diameter sekitar 40 cm, berasal dari Desa Cikarawang Darmaga ditebang sebanyak 3 batang. Dari setiap batang diambil potongan berupa disk setebal 10 cm pada ketinggian 1 m, 3 m dan 5 m. Selanjutnya dibuat contoh uji kerapatan dan stress-strain berdasarkan interval sebesar 2 cm, seperti terlihat pada Gambar 6. 2 cm 2 cm 2 cm 2 cm 2 cm 2 cm B A1 A2 A3 Pembagian contoh uji Lempengan BKS B = c.u. kerapatan A1 = c.u stress-strain jenuh A2 = c.u. stress-strain basah A3 = c.u. stress-strain kering udara Gambar 6. Cara pengambilan dan pembuatan contoh uji kerapatan dan stressstrain Pada pengujian kerapatan, contoh uji yang digunakan berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Parameter yang diukur adalah berat dan volume kering udara. Contoh uji diambil secara horizontal dari masing-masing potongan disk dan diberi nomor secara berurutan (tepi kiri ke tepi kanan). Seluruh contoh uji kemudian dikeringudarakan selama 3 minggu, selanjutnya ditimbang beratnya dan diukur volumenya. Contoh uji stress-strain juga berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm, tetapi diambil dari disk pada ketinggian 1 m dari bagian dekat kulit sampai ke pusat batang. Kemudian dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kering udara, basah (titik jenuh serat) dan jenuh air. Untuk menghasilkan kondisi kering udara, contoh uji diangin-anginkan dengan kipas angin selama 3 minggu (kadar air berkisar 15-18%). Untuk memperoleh contoh uji dalam kondisi basah (kadar air 40-50%), contoh uji direndam dalam air selama 3 jam, sedangkan untuk mendapatkan

46 21 kondisi jenuh air, contoh uji direndam dalam air dan divakum sampai contoh uji tenggelam. Kurva stress-strain dibutuhkan untuk menentukan besarnya tingkat pemadatan yang dapat dilakukan. Kurva stress-strain pada kayu umumnya mempunyai zonasi yaitu wilayah elastis (elastic region) di bagian awal, lalu diikuti dengan wilayah plastis (collapse dominan region), dan kemudian meningkat dengan sangat tajam (post collapse region) yang menunjukkan bahwa dinding sel kayu telah mengalami tegangan maksimum atau mengalami kerusakan (Shams et al. 2004). Untuk mengetahui tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan, dicari perpotongan garis antara wilayah plastis dan wilayah post collapse region seperti terlihat pada Gambar 7, sedangkan penentuan stoke strain seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 7. Penentuan tingkat pemadatan maksimal Stroke strain 50 % 2 cm 1 cm Tebal awal Tebal setelah pemadatan Gambar 8. Penentuan tingkat stoke strain

47 22 Sebelum dilakukan pengujian stress-strain dengan menggunakan mesin Universal Testing Machine (UTM), seluruh contoh uji diukur dimensinya. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran stress-strain terhadap kayu Sengon arah radial dan tangensial pada kondisi kerapatan yang sama dengan BKS yaitu 0.3 g/cm 3. Analisis Data Analisis data untuk distribusi kerapatan dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor A adalah kerapatan secara vertikal (ketinggian 1, 3, 5 m) dan faktor B adalah kerapatan secara horizontal, dengan 3 (tiga) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk dimana : Yijk = nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan Ai = pengaruh faktor A taraf ke-i Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Hasil dan Pembahasan Distribusi Kerapatan Kerapatan BKS hasil penelitian ini berkisar antara g/cm 3. Distribusi kerapatan BKS secara horizontal dapat dilihat pada Gambar 9.

48 Kerapatan (g/cm 3 ) Interval ke- Ketinggian 1 m Ketinggian 3 m Ketinggian 5 m Gambar 9. Distribusi kerapatan BKS pada berbagai ketinggian batang. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa pola distribusi kerapatan BKS pada ketinggian 1 m, 3 m, maupun 5 m relatif sama. Secara horizontal, kerapatan tertinggi terdapat pada bagian tepi, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah pada bagian pusat batang. Secara vertikal, kerapatan batang kelapa sawit pada bagian tepi luar sedikit lebih tinggi pada ketinggian 1 m (bagian pangkal), diikuti ketinggian 3 m dan 5 m. Perbedaan nilai kerapatan antara bagian tepi ke arah pusat batang terkait dengan distribusi vascular bundles dalam batang. Pada Gambar 10 terlihat bahwa vascular bundles pada bagian tepi lebih rapat dan berangsur-angsur berkurang ke arah pusat. 2 cm Gambar 10. Distribusi kerapatan vascular bundles BKS dari bagian tepi (dekat kulit) menuju ke pusat.

49 24 Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa arah vertikal (ketinggian 1, 3, 5 m) dan arah horizontal, serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kerapatan. Secara vertikal, kerapatan menurun dari bagian pangkal ke bagian tengah batang, dan kemudian sedikit meningkat ke arah ujung batang. Nilai kerapatan pada BKS lebih ditentukan oleh vascular bundles. Vascular bundles merupakan kumpulan dari serat-serat yang tersusun secara vertikal (Gambar 3). Semakin tinggi kerapatan vascular bundles, maka akan semakin banyak kandungan serat-seratnya. Serat-serat ini akan memberikan kekuatan terhadap BKS, termasuk nilai kerapatannya. Hasil yang sama diperoleh juga oleh Lim & Gan (2005) dan Erwinsyah (2008). Hal ini disebabkan semakin tinggi posisi batang, semakin sedikit proporsi vascular bundles yang dimilikinya. Secara horizontal, Bakar et al. (2008) menyatakan bahwa ada dua penyebab terjadinya perbedaan nilai kerapatan BKS. Pertama, bagian tepi didominasi oleh vascular bundles (51%) yang memiliki kerapatan tinggi, sedangkan bagian tengah di dominasi oleh jaringan parenkim (70%) yang memiliki kerapatan rendah. Kedua, dinding sel jaringan parenkim bagian tepi lebih tebal dibandingkan bagian tengah. Itulah sebabnya mengapa kerapatan BKS di bagian tepi batang lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan BKS di bagian tengah (pusat). Kerapatan BKS bervariasi tergantung pada lokasi tempat tumbuh. Kerapatan BKS umur 25 tahun yang berasal dari perkebunan di Aek Pancur, Sumatera Utara berkisar antara g/cm 3 (Erwinsyah 2008), sedangkan yang berasal dari PTPN VII Lampung berkisar antara g/cm 3 (Bakar et al. 2000). Kerapatan BKS juga dipengaruhi umur tanaman. Pada penelitian ini, kerapatan bagian tepi mencapai 0.74 g/cm 3. Hal ini kemungkinan disebabkan umur yang lebih tua (40 tahun) lebih banyak memiliki porsi vascular bundles. Dengan meningkatnya umur tanaman, frekuensi vascular bundles dibagian tepi dan tebal dinding sel juga semakin meningkat. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya perbedaan hasil.

50 25 Kurva Stress-Strain Jika kayu diberi beban, maka kayu akan mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pada wilayah elastis, apabila kayu diberi beban dan kemudian beban dilepaskan, maka kayu akan kembali ke bentuk semula. Pada wilayah plastis, apabila kayu diberi beban dan kemudian beban dilepaskan, maka kayu akan mengalami perubahan bentuk yang tetap, meskipun belum mengalami kerusakan (Panshin & de Zeeuw 1980). Pada wilayah plastis ini proses pemadatan dilakukan sesuai dengan tingkat pemadatan yang diinginkan. Kurva stress-strain pada BKS dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Kurva stressstrain BKS pada kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kurva stress-strain yang dihasilkan pada ketiga kondisi tersebut memiliki pola yang hampir sama. Namun stress yang dibutuhkan untuk memadatkan batang pada kondisi kering udara lebih besar dibandingkan kondisi basah dan juga jenuh air. Ellis & Steiner (2002) mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar air yang dimiliki, maka kayu akan semakin plastis dan kurva stress strain akan semakin landai. Kurva stress-strain yang terjadi pada contoh uji nomor 1 dan 2 (dekat tepi) terus meningkat pada semua kondisi dan tidak terlihat secara jelas wilayah plastisnya. Hal ini terkait dengan nilai kerapatan pada bagian luar yang lebih tinggi dibandingkan bagian tengah atau pusat batang (Gambar 9). Tingginya kerapatan akibat frekuensi vascular bundles yang rapat, sehingga luasan permukaan vascular bundles per cm 2 lebih tinggi dibandingkan luasan parenkim dasar (Gambar 10). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahayu (2001) dan Erwinsyah (2008). Keberadaan vascular bundles ini memberikan kekuatan secara mekanis untuk menahan beban, oleh karena itu pada bagian terluar dibutuhkan stress yang lebih besar untuk memadatkan BKS dan semakin ke dalam stress yang dibutuhkan semakin berkurang.

51 S tr e ss(kg f/cm 2 ) S tr e ss(kg f/cm 2 ) S tr e ss(kg f/cm 2 ) 26 Stress (kg cm -2 ) A Strain(%) Stroke strain (%) Stress (kg cm -2 ) B Stroke Strain(%) Stroke strain (%) Stress (kg cm -2 ) C Stroke Strain(%) Stoke strain (%) Gambar 11. Kurva stress-strain BKS: A) Kondisi Kering Udara, B) Kondisi Basah, dan C) Kondisi Jenuh Air Keterangan: Angka 1 dan seterusnya menunjukkan lokasi contoh uji arah horizontal (dari bagian tepi ke arah pusat batang).

52 27 Tingkat Pemadatan Maksimal (Maximum Compression Level) Berdasarkan kurva stress-strain tersebut dapat ditentukan tingkat pemadatan maksimal pada daerah plastis tanpa merusak dinding sel BKS. Pemadatan maksimal BKS pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat pemadatan maksimal BKS pada 3 (tiga) kondisi. Nomor Contoh Kerapatan Tingkat Pemadatan (%) Uji rata-rata (g/cm 3 ) Kering Udara Basah Jenuh Air Dari Tabel 4 terlihat bahwa tingkat pemadatan pada kondisi kering udara paling rendah, diikuti kondisi basah dan jenuh air. Selanjutnya diketahui juga bahwa pada semua kondisi, contoh uji nomor 1 (paling tepi) memiliki tingkat pemadatan yang paling rendah, yaitu antara 37-47%. Tingkat pemadatan cenderung meningkat ke pusat batang dan mencapai maksimum pada contoh uji nomor 7 (pusat batang) masing-masing sebesar 67%, 72% dan 73% untuk kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Hal ini juga berkaitan dengan nilai kerapatan kayu dimana kerapatan contoh uji nomor 1 paling tinggi, sedangkan nomor 7 paling rendah (Gambar 9). Semakin rendah kerapatan, maka semakin tinggi tingkat pemadatan yang dapat dilakukan. Jika dilihat pada Tabel 4, kerapatan awal pada kondisi kering udara contoh uji nomor 1 dan 2 adalah 0.63 g/cm 3 dan 0.56 g/cm 3. Kerapatan BKS sampai contoh uji nomor 2 sudah cukup tinggi, sehingga jika digunakan untuk keperluan bahan bangunan, maka pada bagian tersebut sudah cukup kuat untuk menahan beban. Namun jika ingin ditingkatkan lagi kualitasnya dengan pemadatan, maksimal pemadatan yang dapat dilakukan pada kondisi kering contoh uji nomor 1 adalah 37% dan nomor 2 adalah 46%.

53 28 Hubungan antara kerapatan dan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air dapat dilihat pada Gambar 12. Nilai stroke strain ini menunjukkan tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan. 80 Stroke Strain (%) Kering Udara Basah Jenuh Air Kerapatan (g/cm 3 ) Gambar 12. Hubungan antara kerapatan BKS dengan stroke strain (%) pada kondisi kering udara, basah dan jenuh air. Dari Gambar 12 terlihat bahwa tingkat pemadatan yang paling rendah adalah pada kondisi kering udara, diikuti kondisi basah dan jenuh air. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa jika diketahui kerapatan BKS, maka dapat ditentukan tingkat pemadatan maksimal pada semua kondisi, baik kering udara, basah ataupun jenuh air. Hubungan antara kerapatan dan stroke strain ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan pada kondisi kering udara adalah y = 0.964x x , R² = 0.990; kondisi basah y = x x , R² = 0.990; kondisi jenuh air y = 0.738x x , R² = 0.984, dimana x adalah kerapatan dan y adalah stroke strain. Hal ini menunjukkan bahwa baik pada kondisi kering udara, basah maupun jenuh air, nilai kerapatan memiliki hubungan yang sangat nyata (signifikan) dengan nilai stroke strain, diindikasikan dari tingginya nilai R 2 yang dihasilkan.

54 S tr e ss(kg f/cm 2 ) 29 Perbandingan dengan Stress-Strain Kayu Sengon Pada Gambar 13 dapat dilihat perbandingan kurva stress-strain antara BKS dengan kayu Sengon pada kerapatan yang sama. Kayu Sengon dipadatkan pada arah radial and tangensial. Stress (kg/cm 2 ) Sengon arah radial BKS Sengon arah tangensial Stroke Strain(%) Stroke strain (%) Gambar 13. Perbandingan antara kurva stress-strain BKS dengan kayu Sengon. Gambar 13 menunjukkan bahwa kurva stress-strain BKS identik dengan kurva stress-strain kayu Sengon pada arah tangensial. Kedua jenis tersebut dapat dipadatkan hingga 68% dari tebal awal pada arah tangensial. Tidak adanya tahanan sel jari-jari pada kayu Sengon saat pemadatan arah tangensial diduga sebagai penyebabnya, sehingga efek pemadatannya serupa dengan BKS yang diketahui tidak memiliki jari-jari. Dengan demikian maka BKS yang tersusun oleh jaringan parenkim dasar dan vascular bundles lebih memungkinkan untuk dipadatkan dari berbagai arah. Pada Gambar 13 juga terlihat bahwa stress awal kayu Sengon pada arah radial sedikit lebih tinggi dibandingkan arah tangensialnya. Hal ini karena pengaruh dari jari-jari kayu (Gambar 14 B). Namun pemadatan pada arah radial memiliki wilayah plastis yang lebih panjang, sehingga tingkat pemadatan kayu Sengon yang bisa dilakukan mencapai 71%, hampir sama dengan BKS pada kondisi basah.

55 30 BKS dengan kerapatan 0.3 g/cm 3 berada di bagian pusat batang. Bagian pusat batang diketahui memiliki jaringan parenkim dasar yang maksimal. Semakin banyak parenkim dasar, maka akan semakin mudah dipadatkan karena dinding parenkim relatif sangat tipis. Perbedaan struktur BKS dan kayu Sengon ditunjukkan pada Gambar 14. Parenkim dasar Vascular bundles Jari-jari Pori 500 µm 500 µm A. BKS B. Kayu Sengon Gambar 14. Perbandingan struktur kayu pada penampang lintang antara BKS (A) dengan kayu Sengon (B) Simpulan Distribusi nilai kerapatan BKS tertinggi berada pada bagian tepi dekat kulit, kemudian menurun pada bagian tengah dan terendah terdapat pada bagian pusat dengan kerapatan berkisar antara g/cm 3. Distribusi kerapatan ini menyebabkan wilayah plastis kurva stress-strain yang dihasilkan semakin melandai dengan menurunnya kerapatan, selain dipengaruhi juga oleh kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Pada kerapatan yang sama, kurva stress-strain BKS sama dengan kurva stress-strain kayu Sengon pada arah tangensial. Tingkat pemadatan yang dapat dilakukan sangat berhubungan erat dengan nilai kerapatan dan kondisi BKS (kering, basah dan jenuh air). Tingkat pemadatan maksimal BKS pada bagian tepi dekat kulit masing-masing adalah sebesar 37% pada kondisi kering udara, 38% pada kondisi basah dan 47% pada kondisi jenuh air, sedangkan bagian pusat batang dapat dipadatkan sampai 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air.

56 31 4. FIKSASI BATANG KELAPA SAWIT BAGIAN DALAM DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan Pemadatan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Permasalahannya apabila tidak diberi perlakuan tertentu, kayu terpadatkan cenderung akan kembali ke bentuk semula bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman. Padahal fiksasi permanen mutlak diperlukan, agar kayu terpadatkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pengganti kayukayu komersial. Upaya agar kayu terpadatkan bersifat permanen dapat dilakukan dengan metode Close System Compression (CSC). Metode ini merupakan modifikasi dari metode steam treatment (ST). Prinsip kerja dari metode CSC adalah memanfaatkan air yang menguap dari dalam kayu akibat pemanasan kempa panas yang tidak dapat keluar, sehingga menjadi uap panas. Karena pemadatan dengan CSC terhadap BKS belum pernah dilakukan, maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengevaluasi fiksasi yang terjadi. Hasil yang diperoleh selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil metode ST dan metode heat treatment (HT). Tingkat pemadatan yang digunakan pada metode CSC adalah 50%, karena berdasarkan penelitian sebelumnya, tingkat pemadatan maksimal yang dapat dilakukan pada BKS bagian dalam adalah 67% pada kondisi kering udara, dan 72% pada kondisi basah atau jenuh air. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah BKS dengan kerapatan 0.3 g/cm 3. Alat-alat dalam penelitian ini adalah kaliper, oven, timbangan digital, gergaji circular, vacuum machine, kempa panas, close system compression (CSC), rangkaian peralatan ST.

57 32 Metode Penelitian Pada penelitian ini, evaluasi yang dilakukan untuk pengujian fiksasi adalah pemulihan tebal atau recovery of set (RS) dan kehilangan berat atau weight loss (WL). Hasil pengujian RS dan WL dengan metode CSC akan dibandingkan dengan metode ST dan HT. Contoh uji dibagi 3 (tiga) kelompok yaitu untuk CSC, ST dan HT. Contoh uji ST berukuran 3 cm (panjang) x 2 cm (lebar) x 1 cm (tebal), sedangkan contoh uji untuk HT dan CSC berukuran 5 cm (panjang) x 4 cm (lebar) x 2 cm (tebal). Contoh uji untuk pengujian ST dan CSC dalam kondisi jenuh air, sedangkan contoh uji HT dalam kondisi kering udara. Sebelum dilakukan pemadatan, seluruh contoh uji dikeringkan dalam oven suhu 60 ºC sampai beratnya stabil, kemudian diukur dimensi tebal (To) dan berat awalnya (Wo). Selanjutnya contoh uji divakum sampai kondisi jenuh air (untuk CSC dan ST), dan diletakkan dalam ruangan sampai kondisi kering udara (untuk HT). Pemadatan dilakukan pada arah tebal dengan tingkat pemadatan sebesar 50%. Variasi perlakuan yang digunakan untuk pemadatan dengan ketiga metode (HT, ST dan CSC) adalah suhu dan waktu (Tabel 5). Jumlah contoh uji untuk tiap perlakuan pada ST adalah 3 buah, sedangkan pada HT dan CSC adalah 6 buah. Tabel 5. Variasi suhu dan waktu yang digunakan pada pemadatan metode HT, ST dan CSC No Metode Pemadatan Suhu ( o C) Waktu (Menit) 1 Heat treatment 120, 140, 160, 180, 200 0,10, 30, 60, Steam treatment 120, 140, 160, 170, 180 0, 5, 10, 30 3 Close system compression 120, 140, 160, 180, 200 0,10, 20, 30, 40 Contoh uji untuk CSC diletakan di dalam alat CSC berukuran 25 cm x 25 cm x 2 cm yang dilengkapi autoclave plat besi dengan penutup cetakan dari bahan stainless, dan pressure-meter untuk mengukur tekanan uap di dalam cetakan. Di Selanjutnya dilakukan pemadatan menggunakan kempa panas (hot press) sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati. Tekanan kempa yang digunakan sebesar 35 kg/cm 2.

58 33 Contoh uji untuk metode ST diletakan di dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa (Gambar 4). Kemudian dialirkan uap panas yang berasal dari boiler sesuai suhu yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati menggunakan alat pengatur suhu dan tekanan. Demikian juga contoh uji untuk metode HT diletakan di tengah-tengah alat kempa panas konvensional. Selanjutnya dilakukan pemadatan sesuai variasi suhu dan waktu yang diamati. Tekanan kempa yang digunakan sebesar 35 kg/cm 2. BKS yang telah dipadatkan selanjutnya dikeringkan dalam oven dan diukur tebalnya (Tc). Kemudian dilakukan pengujian pemulihan tebal dengan cara merendam di dalam air pada suhu ruang selama 24 jam, dan dilanjutkan dengan perebusan dalam air mendidih selama 30 menit. Kayu yang telah direbus dikeringkan lagi dalam oven, kemudian diukur kembali tebal (Tr) dan berat akhir kayu (Wr) setelah recovery, mengikuti prosedur Inoue et al. (1993). Analisis Data Besarnya RS dan WL diukur dalam kondisi kering tanur dengan rumus: RS = [(Tr Tc) / (To Tc)] x 100% WL = [(Wo Wr) / Wo] x 100% Analisis data untuk setiap metode pemadatan dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor A adalah suhu pemadatan dan faktor B adalah waktu. Untuk metode ST sebanyak 3 (tiga) kali ulangan, sedangkan untuk metode HT dan CSC dilakukan sebanyak 6 (enam) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk dimana : Yijk = nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan Ai = pengaruh faktor A taraf ke-i Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k

59 34 Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Hasil dan Pembahasan Recovery of Set (Pemulihan Tebal) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metode CSC nilai rata-rata RS berkisar antara (-19.20%), metode HT berkisar antara %, sedangkan ST berkisar antara (-6.49%). Nilai RS selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4. Nilai RS pada metode HT, ST dan CSC secara berurutan disajikan pada Gambar 15, 16 dan R S (%) Waktu (Menit) 120 oc o C 140 oc o C 160 oc o C oc o C oc o C Gambar 15. Nilai RS dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu R S (%) Waktu (Menit) 120 oc o C 140 oc o C 160 oc o C 170 oc o C 180 oc o C Gambar 16. Nilai RS dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu

60 R S (%) oc o C 140 oc o C 160 oc o C 180 oc o C 200 oc o C -40 Waktu (Menit) Gambar 17. Nilai RS dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Berdasarkan gambar-gambar tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan pengaruh terhadap nilai RS, baik pada metode HT, ST maupun CSC. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemadatan akan menghasilkan nilai RS yang semakin rendah. Semakin kecil nilai RS, maka fiksasi kayu hasil pemadatan akan semakin baik. Perbandingan nilai RS pada 3 metode di atas pada suhu 120, 140, 160 dan 180 o C dengan lama pemadatan 30 menit ini disajikan pada Gambar R S (%) Suhu ( o C) HT-30' CSC-30' ST-30' Gambar 18. Nilai RS pada berbagai metode pemadatan Metode pemadatan yang dilakukan akan menghasilkan nilai RS yang berbeda. Metode yang paling cepat menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti CSC dan yang paling lama metode HT. Metode CSC berada di antara metode HT dan ST, tetapi RS yang dihasilkan hampir sama dengan metode ST.

61 36 Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada setiap metode, faktor suhu dan waktu serta interaksinya berbeda sangat nyata terhadap nilai RS (Lampiran 5). Hal ini berarti bahwa semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai RS yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan, secara umum pada metode ST hampir semua interaksi antara suhu dengan waktu berbeda nyata terhadap nilai RS kecuali pada waktu 0 menit. Sedangkan pada metode HT dan CSC, sebagian besar interaksi suhu dengan waktu tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Metode ST dan CSC mempunyai prinsip yang sama yaitu uap air yang dialirkan atau dihasilkan akan terjebak dalam alat kempa kedap udara. Perbedaannya adalah pada metode ST uap air panas (steam) yang dialirkan dari boiler ke alat kempa, sedangkan metode CSC uap air panas dihasilkan dari air yang keluar dari dalam kayu. Semakin meningkat suhu dan semakin lama waktu pemadatan pada kayu jenuh air, maka uap air panas yang dihasilkan akan semakin banyak, sehingga tekanan uap air panas akan semakin tinggi pula. Hal ini akan melunakkan hemiselulosa dan lignin. Kayu yang telah lunak akan bersifat plastis. Pelunakan hemiselulosa dan lignin dapat mempercepat terjadinya deformasi sel penyusun kayu dan fiksasi. Menurut Mitsui et al. (2007), perlakuan pemanasan akan mendegradasi gugus hidroksil selulosa yang diawali pada daerah amorf dan berlanjut ke daerah semikristalin yang kemudian diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari daerah amorf ke daerah kristalin menyebabkan daya serap air menjadi berkurang sehingga kayu akan lebih stabil. Sedangkan Dwianto et al. (1999) mengemukakan bahwa pengempaan kayu pada suhu di atas 180 ºC dapat menyebabkan terdegradasinya komponen hemiselulosa dan lignin di dalam dinding sel. Hal ini akan mengakibatkan tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril akan mengalami relaksasi. Pada kondisi ini deformasi yang terjadi tidak kembali ke bentuk semula atau kayu mengalami fiksasi. Metode ST membutuhkan waktu yang singkat untuk menghasilkan fiksasi kayu. Inoue et al. (1993) mengemukakan bahwa fiksasi permanen kayu Sugi dicapai pada suhu 180 ºC dalam waktu 8 menit atau pada suhu 200 o C dalam waktu 1 menit. Sedangkan pada BKS bagian dalam, fiksasi permanen pada

62 37 metode ST dicapai pada suhu 170 o C dalam waktu 30 menit dan metode CSC pada suhu 180 o C dalam waktu 30 menit. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan struktur jaringan BKS, dimana pada BKS bagian dalam lebih di dominasi oleh parenkim dasar dan sedikit vascular bundles. Komposisi kimia pada jaringan parenkim dasar banyak mengandung zat ekstraktif khususnya pati. Fiksasi permanen dengan metode HT membutuhkan waktu yang lebih lama. Inoue & Norimoto (1991) mengemukakan bahwa fiksasi permanen pada kayu Sugi pada suhu 180 o C selama 20 jam, atau 200 o C selama 5 jam, atau 220 o C selama 3 jam. Pada BKS fiksasi permanen belum tercapai meskipun menggunakan suhu 200 o C selama 3 jam dan masih menghasilkan nilai RS 8.85%. Mekanisme fiksasi permanen pada metode HT disebabkan oleh pelepasan internal stress dalam mikrofibril melalui degradasi komponen hemiselulosa, sedangkan pada metode ST disebabkan oleh reaksi cross-lingking komponen kimia di dalam matriks dan meningkatnya daerah kristalin di struktur selulosa (Dwianto et al. 1996). Weight Loss (Kehilangan Berat) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metode CSC nilai rata-rata WL berkisar %, metode HT berkisar % dan ST berkisar %. Nilai WL pada metode HT, ST dan CSC secara berurutan disajikan pada Gambar 19, 20 dan 21, sedangkan data selengkapnya pada Lampiran 2, 3 dan W L (%) Waktu (Menit) 120 oc o C 140 oc o C 160 oc o C 180 oc o C 200 oc o C Gambar 19. Nilai WL dengan metode HT pada berbagai variasi suhu dan waktu

63 38 W L (%) oc o C 140 oc o C 160 oc o C 170 oc o C 180 oc o C Waktu (Menit) Gambar 20. Nilai WL dengan metode ST pada berbagai variasi suhu dan waktu W L (%) oc o C 140 oc o C 160 oc o C 180 oc o C 200 oc o C Waktu (Menit) Gambar 21. Nilai WL dengan metode CSC pada berbagai variasi suhu dan waktu Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan mengakibatkan peningkatan nilai WL, pada ketiga metode yang dicoba. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemadatan akan mengakibatkan nilai WL yang semakin besar. Semakin besar nilai WL yang dihasilkan, maka akan semakin banyak komponen kimia di dalam BKS yang terdegradasi. Perbandingan nilai WL pada 3 metode di atas dilakukan pada suhu 120 o C, 140 o C, 160 o C dan 180 o C dengan lama pemadatan 30 menit disajikan pada Gambar 22.

64 39 W L (%) Suhu ( o C) HT-30' CSC-30' ST-30' Gambar 22. Nilai WL pada berbagai metode pemadatan Berdasarkan Gambar 22 terlihat kecenderungan bahwa WL semakin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan lamanya waktu pemadatan. Nilai WL terendah diakibatkan oleh metode HT, diikuti metode CSC dan terbesar oleh metode ST. Terlihat bahwa WL akibat metode CSC berada di antara metode HT dan ST. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada setiap metode, faktor suhu dan waktu serta interaksinya berbeda sangat nyata terhadap nilai WL (Lampiran 5). Hal ini berarti bahwa semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai WL yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan, secara umum pada semua metode (ST, HT, CSC) banyak interaksi antara suhu dengan waktu tidak berbeda nyata terhadap nilai WL (Lampiran 6). Metode ST dan CSC merupakan metode pemadatan dengan cara mengkombinasikan antara faktor kadar air kayu, suhu, waktu pengempaan, serta tekanan uap panas yang berasal dari air dalam kayu yang menguap selama proses pengempaan. Meningkatnya suhu dan tekanan uap panas pada kayu jenuh air akan melunakkan komponen kimia kayu atau bahkan dapat mendegradasinya. Pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu sangat tergantung pada beberapa kondisi antara lain suhu, lama waktu pemadatan, kelembaban, uap air panas. Skema suhu yang dibutuhkan untuk pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu dapat dilihat pada Tabel 6 (Morsing 2000).

65 40 Tabel 6. Skema suhu pelunakan dan degradasi komponen kimia kayu Komponen Kimia Kayu Suhu Pelunakan/T g ( o C) Degradasi dimulai pada suhu ( o C) Kering Basah Kering Basah Selulosa >230 >220 >200 >200 Hemiselulosa <25 >160 >160 Lignin > >160 >160 Sumber : Morsing 2000 Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada kondisi kering, pelunakan lignin baru terjadi pada suhu di atas 150 o C, sedangkan hemiselulosa pada suhu o C. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi contoh uji berpengaruh terhadap nilai WL. Pada kondisi contoh uji yang kering seperti pada metode HT, nilai WL paling kecil dibandingkan pada metode ST dan CSC. Nilai WL pada metode HT sampai suhu 200 o C selama 180 menit mencapai 11.86%. Pada kondisi basah, pelunakan lignin dan hemiselulosa sudah terjadi pada suhu rendah yaitu antara o C untuk lignin dan pada suhu dibawah 25 o C untuk hemiselulosa. Degradasi keduanya terjadi pada suhu di atas 160 o C. Selain suhu dan kondisi BKS, tekanan uap panas juga akan mempengaruhi nilai WL. Tekanan uap panas akan mendesak uap air keluar dari dalam BKS. Keluarnya uap air dari dalam BKS kemungkinan menyebabkan rusaknya komponen kimia sehingga sebagian komponen kimia BKS terutama zat-zat volatile dan zat-zat ekstraktif juga akan ikut keluar. Hal ini memperlihatkan tingginya nilai WL pada metode ST dan CSC. Nilai WL yang lebih tinggi pada metode ST dibandingkan metode CSC lebih disebabkan oleh tekanan uap panas yang dihasilkan. Pada metode ST, tekanan uap panas berasal dari boiler dan tekanannya dapat diatur hingga mencapai 10 kg/cm 2, sedangkan pada metode CSC hanya bergantung pada air yang berada di dalam BKS. Nilai WL pada metode ST suhu 180 o C selama 30 menit mencapai 21.63%, sedangkan metode CSC hanya 12.59%. Hubungan antara nilai RS dengan WL BKS bagian dalam pada metode ST dan CSC disajikan pada Gambar 23.

66 R S (%) ST CSC W L (%) Gambar 23. Hubungan antara nilai RS dan WL pada metode ST dan CSC. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa pada metode CSC, nilai WL sampai 3%, masih sedikit menurunkan nilai RS. Namun setelah nilai WL 3%, terjadi penurunan RS yang sangat drastis, dan fiksasi dicapai dengan WL sebesar 12.59%. Demikian juga yang terjadi dengan metode ST, dimana sampai WL 4%, masih sedikit menurunkan nilai RS. Setelah nilai tersebut, WL menurun seiring dengan penurunan nilai RS. Fiksasi dengan metode ST dicapai dengan WL sebesar 19.17%. Nilai WL yang dihasilkan dengan metode CSC lebih kecil dibandingkan dengan metode ST. Perbandingan dengan RS dan WL Kayu Sengon Perbandingan RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu Sengon dengan metode CSC disajikan pada Tabel 7. Kedua jenis kayu tersebut mempunyai kerapatan yang sama yaitu rata-rata 0.3 g/cm 3. Pemadatan yang dilakukan selama 30 menit. Nilai RS dan WL kayu Sengon yang diacu dari Amin et al. (2007).

67 42 Tabel 7. Perbandingan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dan kayu Sengon dengan metode CSC. Suhu BKS Bagian Dalam Kayu Sengon* ( o C) RS (%) WL (%) RS (%) WL (%) * Sumber : Amin et al. (2007) Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa nilai RS yang dihasilkan dari BKS bagian dalam pada suhu 120, 140 dan 160 o C lebih besar dibandingkan kayu Sengon, tetapi pada suhu 180 o C nilainya hampir sama. Namun nilai WL yang dihasilkan lebih tinggi pada BKS bagian dalam. Pada BKS bagian dalam nilai RS yang dihasilkan pada suhu 180 o C waktu 30 menit mencapai 1.36% dan WL sebesar 12.59%, sedangkan pada kayu Sengon nilai RS yang dihasilkan sebesar 1.60% dan WL sebesar 10.52%. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan kimia diantara keduanya. BKS bagian dalam lebih didominasi oleh parenkim dasar, sedangkan sel parenkim pada Sengon relatif terbatas. Jaringan parenkim dasar banyak mengandung pati. Kandungan pati pada jaringan parenkim dasar mencapai 5.9% (Bakar et al. 1998). Ketika dipadatkan dengan metode CSC, dengan waktu pemadatan yang lama serta adanya tekanan uap panas, maka zat ekstraktif khususnya pati yang ada akan terlarut dan terbawa keluar sehingga mengakibatkan nilai WL BKS bagian dalam lebih tinggi dibandingkan nilai WL pada kayu Sengon. Simpulan Pada semua metode pemadatan (metode ST, HT dan ST), faktor suhu dan waktu sangat berkontribusi terhadap nilai RS dan WL. Metode pemadatan yang paling cepat untuk menghasilkan fiksasi adalah metode ST, diikuti metode CSC, dan terakhir metode HT. Namun nilai WL pada BKS bagian dalam yang paling

68 43 tinggi dihasilkan oleh metode ST, diikuti metode CSC dan yang paling rendah adalah metode HT. Fiksasi BKS bagian dalam dengan metode ST dicapai pada suhu 170 o C selama 30 menit, dengan metode CSC pada suhu 180 o C selama 30 menit, sedangkan dengan metode HT hingga suhu 200 o C selama 180 menit (3 jam) belum mencapai fiksasi. Walau fiksasi dengan metode CSC tidak secepat metode ST, namun metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih sederhana, mudah diaplikasikan, dapat digunakan pada contoh uji berukuran besar. Perbedaan nilai RS dan WL antara BKS bagian dalam dengan kayu Sengon disebabkan perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimianya. Struktur anatomi BKS bagian dalam di dominasi oleh jaringan parenkim dasar yang banyak mengandung pati dan sedikit vascular bundles.

69 44

70 45 5. PENGUJIAN SIFAT FISIS, MEKANIS, ANATOMI DAN KIMIA BATANG KELAPA SAWIT TERPADATKAN DENGAN METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION Pendahuluan Pemadatan dengan metode CSC mampu menghasilkan fiksasi BKS secara permanen dalam waktu singkat. Walau tidak secepat metode ST, namun BKS bagian dalam sudah mencapai fiksasi permanen pada suhu 180 o C dalam waktu 30 menit dengan nilai WL sebesar 12.59%. Nilai WL yang dihasilkan ini masih lebih rendah dibandingkan nilai WL dengan metode ST. Oleh karena itu perlu diketahui pengaruh metode CSC terhadap perubahan sifat-sifat BKS bagian dalam lainnya. Karena penelitian serupa belum pernah dilakukan, maka dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis sifat fisis, mekanis, anatomi dan kimia BKS terpadatkan dengan CSC. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah BKS bagian dalam dengan kerapatan 0.3 g/cm 3, polietylene glicol (PEG), alkohol, xylol, safranin, dan enthelen. Alatalat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kaliper, oven, pisau mikrotom, timbangan digital, gergaji circular, desikator, vacum, universal testing machine, hot press, autoclave steam machine, kipas angin, dan x-ray difractometer, fourier transform infrared (FTIR), serta slice microtom. Metode Penelitian Pemadatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemadatan yang dikembangkan oleh Amin & Dwianto (2006), yang dinamakan close system compression (CSC) untuk mendapatkan stabilitas dimensi yang tinggi dalam waktu singkat. Prinsip kerja dari metode ini adalah air yang menguap akibat hot press berfungsi sebagai uap panas karena tidak dapat keluar dari cetakan. Contoh uji yang digunakan berukuran 15 x 2 x 5 cm (panjang, tebal, lebar) lalu dikeringkan pada suhu 60 o C sampai beratnya konstan dan diukur tebal

71 46 awalnya (To). Contoh uji kemudian direndam dalam air dan divakum sampai jenuh, lalu dipadatkan dengan tingkat pemadatan sebesar 50% pada suhu 120, 140, 160, 180, 200 o C selama 10, 20, 30 dan 40 menit, dengan 4 kali ulangan. Setelah dipadatkan, dilakukan pembuatan contoh uji untuk pengujian sifat fisis, mekanis, kimia dan pengamatan anatomi sesuai standar yang dijadikan acuan. Selain itu dilakukan juga pengujian kristalinitas kayu. Sifat Anatomi Pengamatan penampilan BKS baik kontrol maupun yang terpadatkan dilakukan dengan mengamati perubahan warna pada papan yang telah dipadatkan. Selain itu, pengamatan sifat anatomi dilakukan secara makroskopis dari hasil pemotretan dengan perbesaran 30 kali dan secara mikroskopis dari hasil pemotretan slide mikrotom berketebalan 30 µm yang telah diberi safranin sebagai pewarna. Sifat Fisis Sifat fisis yang diteliti adalah kerapatan dan fiksasi. Pengujian fiksasi BKS dilakukan berdasarkan Inoue et al. (1993), dimana fiksasi yang terjadi didasarkan oleh nilai pemulihan tebal atau recovery of set (RS) nya. Nilai RS dihitung dengan rumus [(Tr-Tc)/(To-Tc)]x100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah tebal setelah pemadatan, Tr (tebal recovery) adalah tebal setelah direndam dalam air selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur. Pengujian kerapatan BKS berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi. Pengujian kerapatan dilakukan dengan menimbang berat dan mengukur volume kondisi kering udara. Kerapatan dihitung dengan rumus: berat/volume (g/cm 3 ). Sifat Mekanis Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 1 x 1 cm. Persamaan MOR = (3PL)/(2bh 2 ) dan MOE = ( PL 3 )/( y 4bh 3 ), dimana L adalah jarak sanggah, b adalah lebar contoh uji, P

72 47 adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, P adalah beban sebelum batas proporsi (kg) dan Δy adalah defleksi yang terjadi (cm). Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan beban maksimum (kg) dengan luas penampang (cm 2 ). Sifat Kimia Sifat kimia yang diteliti adalah kelarutan zat ekstraktif dalam air panas, kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol benzene, kadar lignin, holosellulosa, dan alfa sellulosa. Contoh uji untuk pengujian kimia adalah contoh uji pemadatan pada suhu 160 o C dan 180 o C, selama 10, 20, 30 dan 40 menit, serta kontrol dalam bentuk serbuk yang lolos di 40 mesh dan tersaring di 60 mesh. Analisis komponen kimia kayu mengacu pada TAPPI (1996) yang meliputi kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol benzene (T 204 om-88), kelarutan zat ekstraktif dalam air panas (T 207 om-88), kadar holoselulosa (TAPPI T 9m- 54), kadar lignin (T 222 om-88) dan kadar alfa selulosa. Metode pengujian komponen kimia kayu disajikan pada Lampiran 7. FTIR Pada pengujian FTIR, contoh uji yang digunakan adalah kontrol dan contoh uji saat fiksasi (metode CSC pada suhu 180 o C selama 30 menit). Contoh uji berupa serbuk sebanyak 2 mg dicampur dengan mg KBr. Campuran tersebut dihomogenkan dan dilakukan dengan cepat supaya KBr tidak menyerap air. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam alat pembuat pelet. Kemudian diberi perlakuan vakum pada proses tersebut selama 5 menit dan dipadatkan selama 5 menit. Selanjutnya pelet yang terbentuk dipindahkan ke tempat yang kering dan pelet siap dianalisis menggunakan FTIR. Derajat Kristalinitas Derajat kristalinitan dihitung menggunakan X-ray Diffractometer (Shimadzu, XRD-7000) dimana ukuran contoh uji berupa sayatan tipis dengan ukuran 0.50 mm (tebal) x 0.5 cm (lebar) x 1 cm (panjang). Derajat kristalinitas diukur dengan cara membandingkan daerah kristalin dengan jumlah daerah

73 48 kristalin dan amorf. Pengamatan 2θ pada kisaran o. Persamaan untuk derajat kristalin adalah : Derajat kristalin = Daerah kristalin x 100% Daerah kristalin + daerah amorf Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisis (kerapatan) dan mekanis (MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat) BKS terpadatkan dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor suhu (120, 140, 160 dan 180 o C) dan faktor waktu (10, 20, 30 dan 40 menit), dengan 4 kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk dimana : Yijk = nilai pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata pengamatan Ai = pengaruh faktor A taraf ke-i Bj = pengaruh faktor B taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ijk = pengaruh galat percobaan dari kombinasi taraf ke-i dan ke-j ulangan ke-k Jika hasil analisis terdapat interaksi, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Hasil dan Pembahasan Penampilan BKS Terpadatkan Pemadatan kayu menghasilkan perubahan warna pada papan yang dipadatkan. Penampilan papan yang dipadatkan dapat dilihat pada Gambar 24. Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa BKS yang dipadatkan pada suhu 180 o C relatif lebih gelap dibandingkan dengan BKS lainnya. Ada kecenderungan semakin tinggi suhu pemadatan, akan semakin gelap pula warna yang dihasilkan.

74 49 Kontrol 120 o C 140 o C 160 o C 180 o C Gambar 24. Penampilan BKS terpadatkan dengan metode CSC Perubahan warna selama proses pemadatan dengan CSC disebabkan oleh serangkaian reaksi kimia antara komponen dinding sel dan zat ekstraktif dalam kondisi temperatur tinggi dan steam (uap panas) yang menghasilkan kelembaban tinggi. Zhang & Cai (2006) mengemukakan bahwa pemanasan terhadap selulosa dan hemiselulosa akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna. Hemiselulosa sangat sensitif terhadap temperatur tinggi dibandingkan selulosa. Selama proses steam (uap panas), terjadi degradasi selulosa dan hemiselulosa, kemudian pyromucic aldehyde dan beberapa polisakarida dengan berat molekul rendah yang berasal dari hemiselulosa. Lignin dan zat ekstraktif juga berkontribusi terhadap perubahan warna. Sedangkan menurut Hayashi et al. (2002), suhu 180 o C mengakibatkan terjadinya peluruhan lignin sehingga warna kayu berubah. Sifat Anatomi BKS Tingkat pemadatan sebesar 50% akan mengakibatkan perubahan tebal kayu dan ini akan berdampak terhadap sifat-sifat kayu yang dihasilkan, termasuk secara anatomi. Perubahan struktur anatomi pada penampang lintang tersebut dapat dilihat pada Gambar 25.

75 50 Vascular bundle Parenkim dasar Vessel (A) Kontrol (C) Kontrol (B) Pemadatan (D) Pemadatan Gambar 25. Penampang lintang BKS: (A) Kontrol (B) Pemadatan dengan perbesaran 30x, (C) Kontrol, (D) pemadatan dengan perbesaran 50x Perubahan struktur anatomi BKS terpadatkan juga terjadi pada arah longitudinal. Jaringan parenkim dasar dan vessel (pori) mengalami kerusakan seperti terlihat pada Gambar 26. Fiber vessel A. Kontrol B. Pemadatan Gambar 26. Penampang pada arah longitudinal BKS: (A) Pemadatan dengan perbesaran 50x Kontrol dan (B)

76 51 Dari Gambar 25 dan 26 terlihat bahwa kerusakan BKS bagian dalam yang terpadatkan terjadi pada daerah parenkim dasar, vessel dan vascular bundles. Parenkim dasar dan vessel memiliki dinding yang tipis dan rongga sel yang besar sehingga pada saat pemadatan terjadi, maka yang pertama sekali mengalami kerusakan adalah daerah parenkim dasar dan vessel. Demikian juga dengan vascular bundles yang merupakan kumpulan dari serat-serat turut mengalami kerusakan, terlihat dari perubahan bentuknya. Pemadatan ini menyebabkan jarak antar vascular bundles akibat pemadatan cenderung lebih rapat. Sifat Fisis BKS Sifat fisis kayu yang diamati adalah kerapatan dan RS. Nilai rata-rata RS berkisar antara (-3.76) dan kerapatan BKS terpadatkan dengan metode CSC berkisar antara g/cm 3. Nilai rata-rata RS dan kerapatan disajikan pada Gambar 27 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran RS Kerapatan -0.2 Gambar 27. Hubungan antara RS dan kerapatan pada berbagai suhu dan waktu pemadatan Gambar 27 memperlihatkan bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan kontribusi terhadap nilai RS dan kerapatan. Nilai RS semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu pemadatan. Hal ini membuktikan bahwa BKS yang terpadatkan semakin meningkat stabilitas dimensinya dan semakin meningkat pula kerapatannya. Pada awal perlakuan dengan suhu 120 o C selama 10 menit, nilai RS yang dihasilkan adalah 0.92 atau 92%. Nilai RS menurun dengan meningkatnya suhu

77 52 dan waktu pemadatan, sehingga pada suhu 180 o C selama 30 menit nilai RS adalah 1.74%, sedangkan suhu 180 o C selama 40 menit nilai RS adalah -3.75%. Hal ini berarti terjadi penyusutan dari tebal yang ditargetkan dan menandakan telah terdegradasinya komponen kimiawi BKS. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada nilai kerapatan BKS hanya faktor suhu yang berkontribusi secara signifikan, sedangkan faktor waktu pemadatan dan interaksi antara duanya tidak berpengaruh nyata. Pada nilai RS, semua faktor memberikan kontribusi secara signifikan terhadap nilai RS, baik itu faktor suhu, kerapatan, maupun interaksi keduanya (Lampiran 9). Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa nilai RS pada saat fiksasi yaitu pada metode CSC suhu 180 o C selama 30 menit tidak berbeda nyata dengan RS yang dihasilkan pada suhu 160 o C selama 40 menit dan suhu 180 o C selama 20 (Lampiran 10). Hal ini berarti bahwa nilai RS yang dihasilkan pada kondisi tersebut sudah cukup bagus. Metode CSC ini menghasilkan fiksasi yang lebih cepat dibandingkan metode heat treatment. Dalam penelitian ini, fiksasi BKS bagian dalam dicapai pada suhu 180 o C selama 30 menit. Sedangkan pada metode heat treatment, meskipun menggunakan suhu 200 o C selama 3 jam masih menghasilkan RS sebesar 8.85%. Nilai kerapatan yang dihasilkan dengan metode ini meningkat seiring menurunnya nilai RS. Menurunnya nilai RS akan mengakibatkan berkurangnya tebal contoh uji, sehingga secara keseluruhan volume sampel menjadi berkurang, sementara massanya relatif tetap. Hal inilah mengakibatkan rongga sel dan dinding sel menjadi lebih padat. Selain itu, penggunaan suhu tinggi mengakibatkan peningkatan daerah kristalin pada struktur selulosa, dimana sebagian daerah amorf berubah menjadi daerah kristalin. Nilai kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar %, dari 0.3 g/cm 3 menjadi g/cm 3. Nilai kerapatan mulai konstan (>0.5 g/cm 3 ) pada suhu 160 o C selama 20 menit. Nilai kerapatan tertinggi dihasilkan dari perlakuan pemadatan pada suhu 180 o C selama 30 dan 40 menit. Hasil yang sama diperoleh Murhofiq (2000) yang menunjukkan bahwa pemadatan sebesar 50% mampu meningkatkan kerapatan kayu Agathis dari 0.41 g/cm 3 menjadi 0.79 g/cm 3 dan

78 53 kayu Sengon dari 0.23 g/cm 3 menjadi 0.48 g/cm 3, demikian juga Sulistyono (2001) pada pemadatan kayu Agathis, kerapatan arah radial meningkat dari g/cm 3 menjadi g/cm 3 dan arah tangensial menjadi g/cm 3. Sifat Mekanis BKS Sifat mekanis yang diteliti adalah MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat. Nilai sifat mekanis BKS terpadatkan dengan metode CSC disajikan pada Gambar 28, 29 dan 30. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran MOE (kg/cm 2 ) Suhu ( o C) 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit Kontrol Gambar 28. Nilai MOE BKS terpadatkan dengan metode CSC MOR (kg/cm 2 ) Suhu ( o C) 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit Kontrol Gambar 29. Nilai MOR BKS terpadatkan dengan metode CSC

79 54 Tekan // serat (kg/cm 2 ) Suhu ( o C) 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit Kontrol Gambar 30. Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terpadatkan dengan metode CSC Pada gambar-gambar di atas tersebut terlihat bahwa suhu dan waktu pemadatan memberikan kontribusi terhadap sifat mekanis yang diteliti. Semua sifat mekanis (MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat) cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan waktu pemadatan Peningkatan nilai MOE BKS bagian dalam setelah dipadatkan sebesar %, MOR meningkat % dan keteguhan tekan sejajar serat meningkat %. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada pemadatan suhu 160 o C selama 40 menit, diikuti oleh pemadatan suhu 180 o C selama 30 menit. Berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), maka nilai MOR dan keteguhan tekan sejajar serat yang dihasilkan tersebut masuk Kelas Kuat V. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu memberikan kontribusi terhadap nilai MOR dan MOE, sedangkan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata. Pada keteguhan tekan sejajar serat, hanya faktor suhu yang memberikan kontribusi terhadap nilai keteguhan tekan (Lampiran 9). Peningkatan sifat mekanis ini juga terkait dengan meningkatnya nilai derajat kristalinitas. Hal ini terjadi karena panas yang ada saat BKS dikempa mampu melunakkan komponen matriks penyusun dinding sel yang ada di bagian permukaan mengakibatkan BKS menjadi lebih kering (molekul air berkurang), daerah amorf menjadi berkurang pada selulosa, serta merapatnya benang-benang makrofibril membentuk fraksi kristalik.

80 55 Kristalinitas Kristalinitas BKS bagian dalam yang dipadatkan dengan CSC diteliti hanya pada suhu 160 o C dan 180 o C dengan waktu 10, 20, 30 dan 40 menit disajikan pada Gambar 31, data selengkapnya disajikan pada Lampiran Kristalinitas (%) Gambar 31. Nilai kristalinitas BKS terpadatkan Pada gambar di atas, terlihat adanya peningkatan nilai kristalinitas BKS yang terpadatkan dibandingkan kontrol (26.86%). Pada suhu 160 o C nilai kristalinitas meningkat seiring lamanya waktu pemadatan, sedangkan pada suhu 180 o C nilai kristalinitas meningkat dari waktu 10 menit hingga 30 menit dan mengalami penurunan pada waktu 40 menit. Hubungan antara sifat mekanis kayu dengan derajat kristalinitas disajikan pada Gambar 32. Hubungan antara kristalinitas dan ketiga sifat mekanis yang diteliti ditunjukkan oleh garis polynomial. Hubungan kristalinitas dengan MOE ditentukan oleh persamaan y = -2E -07 x x , dengan R² = 0.856; hubungannya dengan MOR y = 0.004x x , dengan R² = 0.809, sedangkan dengannya dengan keteguhan tekan sejajar serat y = 0.012x x , dengan R² = Hal ini menunjukkan bahwa sifat mekanis memiliki hubungan yang erat dengan daerah kristalinitas, diindikasikan dari nilai R 2 yang tinggi. Semakin tinggi derajat kristalinitasnya, akan semakin tinggi pula sifat fisismekanis yang dihasilkan.

81 56 Derajat Kristalinitas (%) y = -2E-07x x R² = MOE (kg/cm2) (1) 60 Derajat Kristalinitas (%) y = 0.004x x R² = MOR (kg/cm2) (2) Derajat Kristalinitas (%) y = 0.012x x R² = Keteguhan Tekan (kg/cm2) (3) Gambar 32. Hubungan kristalinitas dengan (1) MOE, (2) MOR dan (3) keteguhan tekan sejajar serat.

82 57 Mitsui et al. (2008) mengemukakan bahwa perlakuan pemanasan akan mendegradasi kelompok-kelompok hidroksil selulosa yang diawali dengan daerah amorf, kemudian daerah semikristalin, dan diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari daerah amorf ke daerah kristalin menyebabkan daya serap air menjadi berkurang sehingga kayu akan lebih stabil. Perlakuan pemadatan dengan metode CSC dapat menyebabkan perubahan gugus fungsi komponen kimia BKS. Untuk melihat perubahan tersebut dilakukan uji FTIR. Contoh uji yang digunakan adalah BKS kontrol dan yang terpadatkan pada suhu 180 o C selama 30 menit. Hasil uji FTIR ditunjukkan pada Gambar 33. O-H C-H C=O C=C Gambar 33. Pita serapan FTIR BKS pada kondisi kontrol dan yang terpadatkan (merah = kontrol; biru = pemadatan suhu 180 o C, 30 menit) Hasil pencirian dengan spektrum FTIR, BKS mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang cm -1 yang merupakan gugus O-H dan bilangan gelombang cm -1 yang mengindikasikan gugus C-H. Selain itu terlihat pita serapan pada panjang gelombang cm -1 mengindikasikan gugus C=O, panjang gelombang cm -1 mengindikasikan vibrasi cincin aromatik dan panjang gelombang 1512 cm -1 mengindikasikan gugus C=C (Cresswell et al. 1982; Supratman 2007). Fengel &

83 58 Wegener (1995) mengemukakan bahwa sebagian besar fingerprint lignin di dapat sekitar 1510 cm -1 dan 1600 cm -1. Pada umumnya pemadatan pada suhu tinggi di atas 120 o C akan menguapkan air yang ada di dalam kayu, baik itu air bebas di lumen atau rongga sel, maupun air terikat yang ada di dinding sel. Cresswell et al. (1982) mengemukakan bahwa absorpsi O-H terikat terlihat pada panjang gelombang cm -1 sebagai pita yang agak lebar dan kuat. Sedangkan getaran regangan O-H bebas berada pada daerah cm -1. Penguapan air dari dalam kayu akan menyebabkan terlepasnya gugus hidroksil selulosa, sehingga kandungan gugus hidroksil akan berkurang dan terjadi perubahan pada puncak-puncaknya di panjang gelombang sekitar 3400 cm -1 nya. Perubahan puncak-puncak akibat pemanasan pada suhu tinggi terjadi pada partikel Bambu dan Sengon (Suhasman 2011), kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011). Namun pada pemadatan metode CSC tidak terjadi perubahan puncak, baik pada gugus O-H maupun gugus C-H. Hal ini karena pada metode CSC, uap air panas yang keluar dari kayu terjebak dalam autoclave selama proses pemadatan. Pada Gambar 33 terlihat perubahan puncak pada panjang gelombang cm -1 yang mengindikasikan gugus C=O. Intensitas panjang gelombang BKS yang diberi perlakuan meningkat dibandingkan kontrol. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa kayu yang diberi perlakuan uap air panas pada suhu tinggi menghasilkan asam asetat, diindikasikan dari peningkatan intensitas panjang gelombang 1740 cm -1. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi karbohidrat, khususnya hemiselulosa. Kadar asam asetat meningkat seiring peningkatan suhu dan waktu. Sedangkan pada perlakuan panas (kondisi kering) terjadi proses esterifikasi dari lignin kompleks. Esterifikasi berkontribusi pada penurunan higroskopis kayu dan peningkatan stabilitas dimensi serta keawetan. Selain itu, BKS mengandung banyak pati. Bakar et al. (1998) mengemukakan bahwa pada BKS bagian dalam kandungan patinya dapat mencapai 5.9%. Daerah fingerprint pati berada pada panjang gelombang cm -1 (Savenou et al. 2002). Berdasarkan spektrum FTIR, pada puncak

84 cm -1 tersebut puncak yang dihasilkan melebar. Hal itu mengindikasikan bahwa BKS memiliki kandungan pati yang cukup besar. Pada panjang gelombang tersebut puncak yang dihasilkan sangat berbeda pada Bambu dan Sengon (Suhasman 2011), kayu Agathis dan Mangium (Hadiyane 2011), dimana puncak yang dihasilkan tajam dan mengecil. Namun pemadatan BKS dengan metode CSC pada suhu 180 o C selama 30 menit secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Hal ini terjadi karena tidak ada senyawa kimia yang dimasukkan ke dalam papan yang dipadatkan, sehingga tidak terjadi perubahan gugus fungsi komponen kimia. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS terpadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan BKS kontrol. Sifat Kimia BKS Sifat kimia yang diteliti adalah holoselulosa, alfa selulosa, lignin, kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzene dan dalam air panas. Nilai komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC disajikan pada Tabel 8. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 8. Komponen kimia BKS bagian dalam yang terpadatkan dengan metode CSC Suhu ( o C) Waktu (menit) Holoselulosa (%) Alfa Selulosa (%) Lignin (%) Alkohol Benzen (%) Kelarutan Air Panas (%) Kontrol Holoselulosa merupakan produk yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu. Holoselulosa mewakili jumlah dari selulosa dan hemiselulosa. Hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah

85 60 dibandingkan selulosa sehingga lebih mudah terdegradasi oleh panas (Achmadi 1990, Fengel & Wegener 1995). Tabel 8 menunjukkan bahwa holoselulosa menurun seiring dengan peningkatan suhu dan waktu pemadatan. Berkurangnya kadar holoselulosa disebabkan karena adanya degradasi komponen hemiselulosa. Tjeerdsma & Militz (2005) mengemukakan bahwa uap air panas pada suhu tinggi menyebabkan peningkatan kadar asam asetat, seiring peningkatan suhu dan waktu. Asam asetat ini dihasilkan dari degradasi hemiselulosa. Sedangkan Morsing (2000) mengemukakan bahwa dalam kondisi basah, gelatinasi hemiselulosa kayu mulai terjadi pada suhu 25 o C dan kerusakan terjadi pada suhu 160 o C. Sebaliknya, alfa selulosa meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu pemadatan. Hsu et al. (1988) mengemukakan bahwa perlakuan panas dapat menyebabkan kayu terfiksasi karena adanya hidrolisa pada hemiselulosa. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian Boonstra & Tjeerdsma (2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sulitnya selulosa terdegradasi di bawah suhu 200 o C (Torress et al dalam Boonstra and Tjeerdsma, 2006). Lebih lanjut, Fengel and Wegener (1984) mengemukakan bahwa perlakuan suhu tinggi meningkatkan struktur kristalin pada selulosa. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa meningkatnya suhu dan waktu kempa pada CSC, maka lignin yang dihasilkan cenderung meningkat. Lignin terbesar didapatkan pada kondisi suhu 180 o C selama 40 menit dengan kadar lignin mencapai 33%. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Boonstra & Tjeerdsma (2006) dan Danang et al. (2009). Hal senada juga diungkapkan oleh Fengel & Wegener (1995) bahwa kandungan lignin tetap konstan dalam kisaran suhu yang lebar, dimana di atas suhu o C kandungan lignin naik. Kenaikan kandungan lignin pada perlakuan panas terjadi karena sebagian dari degradasi karbohidrat oleh perlakuan panas kemungkinan menahan fraksi lignin dengan analisis Klason lignin. Sedangkan Boonstra & Tjeerdsma (2006) mengemukakan bahwa reaksi kondensasi lignin berkontribusi terhadap kandungan lignin yang lebih tinggi. Terutama pada suhu tinggi, depolimerisasi hemiselulosa dapat berpengaruh terhadap reaksi polimerisasi lignin.

86 61 Zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzen adalah malam, lemak, resin dan komponen-komponen yang tidak larut dalam eter, sedangkan zat ekstraktif yang larut dalam air panas adalah tanin, gum, gula dan zat berwarna dalam kayu serta pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar zat ekstraktif baik yang terlarut dalam alkohol benzen maupun dalam air panas meningkat seiring peningkatan suhu dan waktu pemadatan. Hal ini diduga karena zat yang terlarut bukan hanya zat ekstraktif, melainkan hasil ikutan akibat terdegradasinya hemiselulosa. Perlakuan panas cenderung menyebabkan hemiselulosa terdegradasi menjadi gula sederhana akibat pemutusan ikatan molekul oleh panas. Maka dari itu, dengan semakin lama suhu dan waktu kempa maka pemutusan ikatan pada hemiselulosa menjadi lebih banyak sehingga akan menjadi gula sederhana yang terlarut. Komponen hemiselulosa akan terlarut bersama zat ekstraktif. Tingginya kadar zat ekstraktif pada kelarutan air panas dibandingkan dengan alkohol benzen disebabkan karena pada BKS bagian dalam banyak mengandung pati. Menurut Fengel & Wegener (1995) gula, pati, zat warna dan lain sebagainya termasuk dalam ekstraktif yang larut dalam pelarut-pelarut netral. Simpulan Pemadatan dengan metode CSC mengakibatkan terjadinya peningkatan kristalinitas BKS bagian dalam akibat meningkatnya suhu dan waktu. Ada hubungan yang erat antara kristalinitas dengan sifat fisis dan mekanis BKS. Kerapatan BKS terpadatkan meningkat sebesar %, MOE sebesar %, MOR sebesar % dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar %. Walau sudah terjadi peningkatan, namun berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961), kerapatan masuk Kelas Kuat III, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat masuk ke dalam Kelas Kuat V. Peningkatan suhu dan waktu pemadatan dengan CSC menyebabkan perubahan warna, struktur anatomi dan komponen kimia BKS terpadatkan. Semakin meningkat waktu dan suhu pemadatan menyebabkan warna BKS semakin gelap. Berdasarkan struktur anatomi dapat diketahui bahwa vascular

87 62 bundles, pori dan jaringan parenkim dasar pada BKS yang dipadatkan menjadi memipih. Jarak antar vascular bundles akibat pemadatan juga cenderung lebih rapat. Pemadatan dengan CSC menyebabkan kadar holoselulosa berkurang, namun terjadi peningkatan kadar alfa selulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol benzen dan dalam air panas. Hasil FTIR antara BKS terpadatkan secara umum tidak terdapat perbedaan pita serapan yang jelas dibandingkan kontrol. Perubahan yang terjadi kebanyakan lebih kepada intensitasnya. Pada BKS yang dipadatkan, intensitas lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol.

88 63 6. FIKSASI DAN SIFAT FISIS-MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT TERKOMPREGNASI FENOL FORMALDEHIDA Pendahuluan Peningkatan kualitas BKS bagian dalam telah dilakukan dengan metode CSC. Fiksasi permanen dicapai pada suhu 180 o C selama 30 menit. Namun sifat mekanisnya masih rendah, karena berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961) masuk Kelas Kuat V. Oleh karena itu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengimpregnasi resin khususnya fenol formaldehida (phenol formaldehyde = PF) ke dalam BKS. Penggunaan PF diketahui mampu meningkatkan stabilitas dimensi dan meningkatkan sifat fisis dan mekanis. Fiksasi permanen akan dapat dihasilkan jika PF mampu berpenetrasi ke dalam struktur BKS. Pemadatan awal pada contoh uji diduga akan mampu meningkatkan penetrasi PF, karena PF yang digunakan bukan senyawa dengan berat molekul rendah. Demikian juga dengan metode impregnasi, akan berpengaruh terhadap penetrasi PF ke dalam BKS. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian pengaruh pra-impregnasi PF terhadap sifat fisis dan mekanis BKS terkompregnasi dengan CSC. Bahan dan Alat Bahan dan Metode Bahan utama yang digunakan adalah BKS bagian dalam dan PF. Alat-alat yang digunakan terdiri dari kaliper, oven, timbangan digital, gergaji circular, vacuum machine, kempa panas (hot press), dan FTIR. Metode Penelitian Conton uji berupa BKS bagian dalam dengan kerapatan rata-rata 0.34 g/cm 3 berukuran 15 (panjang) x 2 (tebal) x 5 (lebar) cm. Contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o C selama 3 hari, kemudian diukur berat kering oven (Wo) dan tebal (To). Contoh uji secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tanpa dan dengan pemadatan awal. Pemadatan awal dilakukan sampai kondisi drying set

89 64 yaitu contoh uji dipadatkan 50% pada suhu 100 o C selama 4 jam. Pada kondisi drying set ini, contoh uji tidak akan recovery lagi setelah dikeluarkan dari kempa panas, namun masih bisa recovery apabila terkena air atau kelembaban tinggi. Diharapkan dengan kondisi ini, ketika diimpregnasi akan semakin banyak PF yang masuk. Kemudian contoh uji diimpregnasi PF konsentrasi 20% dengan cara direndam selama 24 jam; vakum 600 mm Hg selama 1 jam; dan vakum 600 mm Hg selama 1 jam, dilanjutkan dengan tekan pada tekanan 10 kg/cm 2 selama 30 menit. Masing-masing perlakuan dengan 4 ulangan (Tabel 9). Tabel 9. Skema metode impregnasi PF Kode A B C D E F Metode Impregnasi Tanpa pemadatan awal, Rendam selama 24 jam Tanpa pemadatan awal, Vakum selama 1 jam, Tanpa pemadatan awal, Vakum selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Pemadatan awal, Rendam selama 24 jam Pemadatan awal, Vakum selama 1 jam, Pemadatan awal, Vakum selama 1 jam dan tekan selama 30 menit Contoh uji yang telah diberi perlakuan PF kemudian dioven pada suhu 60 o C selama 15 jam. Kemudian contoh uji dipadatkan sebesar 50% dengan metode CSC pada suhu 135 o C selama 10 menit berdasarkan spesifikasi dari PT. Pamolite Adhesive Industri (Lampiran 13), dibuang uap air panasnya dan dipertahankan selama 10 menit. Contoh uji terpadatkan diletakkan pada suhu ruang selama 2 minggu. kemudian diukur berat dan dimensinya. Selanjutnya contoh uji dipotong-potong untuk pengujian sifat fisis (kerapatan dan RS) dan sifat mekanis (MOE, MOR, tekan sejajar serat). Contoh uji kerapatan dan RS berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, MOE/MOR berukuran 15 cm x 1 cm x 1 cm, dan tekan sejajar serat berukuran 4 cm x 1 cm x 1 cm. Sifat Fisis Sifat fisis yang diteliti adalah kerapatan, fiksasi dan penambahan berat (weight gain = WG). Pengujian fiksasi BKS dilakukan berdasarkan Inoue et al. (1993), dimana fiksasi yang terjadi didasarkan oleh nilai RS, sedangkan kerapatan mengacu pada standar BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi. Nilai RS dihitung dengan rumus [(Tr-Tc) / (To-Tc)] x 100%, dimana To adalah tebal awal, Tc adalah tebal setelah pemadatan, dan Tr (tebal recovery)

90 65 adalah tebal setelah direndam dalam air selama 24 jam dan direbus selama 30 menit. Semuanya diukur dalam kondisi kering tanur. Pengujian kerapatan BKS dilakukan dengan menimbang berat dan mengukur volume sampel pada kondisi kering udara. Kerapatan dihitung dengan rumus: berat / volume (g/cm 3 ). Pengujian weight gain (WG) dilakukan dengan menimbang berat awal contoh uji dan berat setelah kompregnasi PF. WG dihitung dengan rumus = {(W P -W a ) / W a } x 100% dimana W a adalah berat awal contoh uji dan W P adalah berat setelah diberi perlakuan. Sifat Mekanis Pengujian modulus of rupture (MOR) dan modulus of elasticity (MOE) berdasarkan BS 373 tahun 1957 yang dimodifikasi dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 15 x 1 x 1 cm. MOR dihitung dengan rumus: (3PL) / (2bh 2 ) dan MOE dengan rumus: ( P L 3 ) / ( y 4bh 3 ), dimana L adalah jarak sangga, b adalah lebar contoh uji, P adalah beban maksimum, h tebal contoh uji, P adalah beban sebelum batas proporsi (kg) dan Δy adalah defleksi yang terjadi (cm). Nilai keteguhan tekan sejajar serat juga dihitung berdasarkan standar BS 373 tahun Keteguhan tekan sejajar serat merupakan perbandingan antara beban maksimum (kg) dengan luas penampang (cm 2 ) nya. Analisis Data Data hasil pengujian sifat fisis (kerapatan, RS) dan mekanis (MOR, MOE dan tekan) BKS terpadatkan dengan pra-impregnasi PF dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap sederhana dengan 4 (empat) kali ulangan. Model umum rancangan acak lengkap sederhana adalah sebagai berikut (Gaspersz 1994) : Yijk = + Ai + ij dimana : Yijk = nilai pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-j µ = nilai rata-rata pengamatan Ai = pengaruh faktor A taraf ke-i ijk = pengaruh galat percobaan dari taraf ke-i ulangan ke-j Jika hasil analisisnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda duncan. Analisis data di atas menggunakan software SPSS 16.0 for Windows.

91 66 Sifat Fisis BKS Terkompregnasi PF Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian sifat fisis memperlihatkan bahwa nilai kerapatan rata-rata BKS yang telah terkompregnasi PF konsentrasi 20% berkisar antara g/cm 3, nilai RS berkisar antara %, sedangkan WG berkisar antara %. Nilai kerapatan, RS dan WG rata-rata disajikan pada Tabel 10, sedangkan nilai selengkapnya disajikan pada Lampiran 14. Tabel 10. Sifat fisis BKS terkompregnasi PF Kode Metode Kerapatan RS WG (g/cm 3 ) (%) (%) Kontrol A Tanpa pemadatan awal, rendam B Tanpa pemadatan awal, vakum C Tanpa pemadatan awal, vakum tekan D Pemadatan awal, rendam E Pemadatan awal, vakum F Pemadatan awal, vakum tekan Pada Tabel 10 diketahui bahwa nilai kerapatan dan nilai WG tertinggi dihasilkan dari metode C (tanpa pemadatan awal dengan vakum tekan) dengan nilai kerapatan sebesar 0.94 g/cm 3 dan nilai WG sebesar 50.94%. Sedangkan nilai RS yang terbaik adalah nilai RS yang terkecil. Semakin kecil nilai RS, maka semakin stabil contoh uji dari pengaruh air dan kelembaban tinggi. Nilai RS di bawah 5% dihasilkan dari metode B, C dan F, secara berurutan nilai yang dihasilkan sebesar 3.56, 1.92 dan 2.50% Hal ini berarti perlakuan tersebut sangat efektif untuk stabilitas dimensi setelah BKS tersebut dipadatkan. Nilai kerapatan dan nilai RS yang dihasilkan ini berhubungan dengan WG. Semakin tinggi WG, maka kerapatan yang dihasilkan akan semakin tinggi sedangkan nilai RS akan semakin rendah. Hubungan antara WG dengan nilai kerapatan dan RS ditunjukkan pada Gambar 34.

92 67 Kerapatan (g/cm 3 ) y = 9E-05x x R² = WG (%) (1) R S (%) y = 3559.x R² = WG (%) Gambar 34. Hubungan antara (1) kerapatan dengan WG dan (2) RS dengan WG (2) Hubungan antara WG dengan kerapatan dan RS ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan untuk hubungan WG dan kerapatan adalah y = 9E -05 x x dengan R² = 0.966; sedangkan persamaan untuk WG dan RS ditunjukkan oleh garis power y = 3559 x dengan R² = Hal ini menunjukkan bahwa nilai kerapatan dan RS memiliki hubungan yang nyata dengan WG, diindikasikan dari tingginya nilai R 2 yang dihasilkan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa metode impregnasi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai RS dan kerapatan (Lampiran 15). Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa nilai kerapatan pada semua

93 68 perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan pada nilai RS, metode B, C dan F tidak berbeda nyata. Pada perlakuan tersebut, nilai RS yang dihasilkan di bawah 5% (Lampiran 16). Metode impregnasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kerapatan dan RS. Peningkatan kerapatan pada BKS terkompregnasi PF sebesar %. Kerapatan tertinggi dihasilkan dari metode C sebesar 0.94 g/cm 3. Jika diklasifikasikan berdasarkan kelas kuat kayu (PPKI 1961), maka nilai tersebut masuk ke dalam kelas kuat I. Demikian juga dengan nilai RS, dimana nilai RS terkecil dihasilkan dari Metode C. Pada metode ini, PF lebih banyak masuk ke dalam BKS dibandingkan metode perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari nilai WG yang dihasilkan (Tabel 10). Resin PF termasuk bahan yang hidropobik, sehingga dengan masuknya PF ke dalam struktur BKS bagian dalam akan mengisi rongga di jaringan parenkim dasar, vessel dan rongga-rongga kosong lainnya, sehingga menyebabkan stabilitas dimensi BKS menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan RS menjadi berkurang dengan semakin meningkatnya WG atau PF yang masuk ke dalam BKS. Selain itu, masuknya PF menyebabkan peningkatan terhadap kerapatan BKS. PF yang masuk ke dalam dinding sel kayu akan memberikan kontribusi terhadap stabilitas dimensi kayu (Furuno et al. 2004) atau pada bambu strip (Anwar et al. 2009). Demikian juga Gabrielli dan Kamke (2008) menyebutkan bahwa PF mampu meningkatkan stabilitas dimensi dan juga mengurangi pengembangan tebal kayu. Sifat Mekanis BKS Terkompregnasi PF Hasil penelitian sifat mekanis memperlihatkan bahwa nilai rata-rata MOR BKS yang telah terkompregnasi PF berkisar antara kg/cm 2, MOE berkisar antara kg/cm 2, dan keteguhan tekan sejajar serat berkisar antara kg/cm 2. Nilai sifat mekanis disajikan pada Gambar 35, 36 dan 37, sedangkan nilai selengkapnya disajikan pada Lampiran 14.

94 69 MOR (kg/cm 2 ) Kontrol 0 A B C D E F Metode Gambar 35. Nilai MOR BKS terkompregnasi PF MOE (kg/cm 2 ) Kontrol 0 A B C D E F Metode Gambar 36. Nilai MOE BKS terkompregnasi PF 300 Tekan //serat (kg/cm 2 ) A B C D E F Metode Kontrol Gambar 37. Nilai keteguhan tekan sejajar serat BKS terkompregnasi PF Keterangan : A = Tanpa pemadatan awal, rendam B = Tanpa pemadatan awal, vakum C = Tanpa pemadatan awal, vakum-tekan D = Pemadatan awal, rendam E = Pemadatan awal, vakum F = Pemadatan awal, vakum-tekan

95 70 Berdasarkan gambar-gambar di atas terlihat bahwa sifat mekanis yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama, baik MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat. Sifat mekanis pada contoh uji tanpa pemadatan (metode A, B dan C) lebih tinggi dibandingkan dengan contoh uji dengan pemadatan awal (metode D, E dan F). Di tinjau dari cara masuknya PF, maka sifat mekanis tertinggi dihasilkan dari metode vakum tekan (C, F), diikuti vakum (B, E) dan yang terakhir adalah rendaman (A, D). Peningkatan nilai MOR BKS bagian dalam setelah kompregnasi PF dalam CSC sebesar %, MOE sebesar % dan keteguhan tekan sejajar serat sebesar %. Secara keseluruhan, sifat mekanis tertinggi dihasilkan pada metode C yaitu perlakuan tanpa pemadatan awal dengan metode vakum tekan. Berdasarkan kelas kuat kayu (PKKI 1961) untuk nilai MOR masuk kelas III dan keteguhan tekan sejajar serat masuk kelas IV. Nilai sifat mekanis yang dihasilkan ini berhubungan dengan WG. Semakin tinggi WG, maka semakin tinggi pula MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat. Hubungan antara WG dengan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat ditunjukkan pada Gambar 38. Hubungan antara WG dengan ketiga sifat mekanis yang diteliti ditunjukkan oleh garis polynomial, dimana persamaan untuk hubungan WG dengan MOR adalah y = x x dengan R² = 0.949; dengan MOE adalah y = x x dengan R² = 0.983; dan dengan keteguhan tekan sejajar serat adalah y = x x dengan R² = Hal ini menunjukkan bahwa MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat memiliki hubungan yang signifikan dengan WG, diindikasikan dari tingginya nilai R 2 yang dihasilkan.

96 71 MOR (kg/cm 2 ) y = x x R² = WG (%) (1) MOE (kg/cm 2 ) y = x x R² = WG (%) (2) Keteguhan Tekan (kg/cm 2 ) y = x x R² = WG (%) (3) Gambar 38. Hubungan antara (1) MOR dengan WG, (2) MOE dengan WG dan (3) keteguhan tekan sejajar serat dengan WG

97 72 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa metode impregnasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap sifat mekanis kayu, baik itu MOR, MOE maupun keteguhan tekan sejajar serat (Lampiran 15). Hasil uji lanjut dengan uji wilayah berganda duncan memperlihatkan bahwa metode C dan F tidak berbeda nyata terhadap nilai MOE dan keteguhan tekan sejajar serat, sedangkan pada nilai MOR, metode C berbeda nyata dengan yang lainnya (Lampiran 16). Hal ini berarti walaupun sifat mekanis terbaik dihasilkan dengan metode C (tanpa pemadatan dengan vakum tekan), namun metode F (dengan pemadatan, vakum tekan) dapat sebagai alternatif dalam pemilihan metode untuk mengimpregnasi PF ke dalam BKS. Metode vakum tekan merupakan metode yang terbaik. Pada awalnya, BKS vakum dilakukan untuk mengeluarkan udara yang ada di dalam contoh uji, kemudian ditekan dengan tekanan 10 kg/cm 2 memaksa PF masuk ke dalam struktur BKS. Hal ini menyebabkan jaringan pada parenkim dasar dan juga pada vessel menjadi rusak dan terbuka, sehingga PF menjadi mudah masuk. Resin PF akan menempati rongga-rongga di jaringan parenkim dasar dan juga di vessel (pori) seperti terlihat pada Gambar 39. A B PF di Parenkim dasar PF di Parenkim dasar PF di Vessel PF di Vessel Gambar 39. Resin PF yang menempati rongga vessel dan parenkim dasar pada (A) penampang lintang dan (B) penampang radial Peningkatan nilai MOR, MOE dan keteguhan tekan sejajar serat karena banyaknya PF yang masuk ke dalam struktur jaringan BKS. Masuknya PF ke dalam struktur jaringan BKS meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu. Hal

98 73 senada disampaikan oleh Shams et al. ( 2004) bahwa PF secara signifikan mampu meningkatkan sifat mekanis kayu. Demikian juga Anwar et al. (2009) yang mengemukakan bahwa pemberian PF pada bamboo strip mampu meningkatkan sifat mekanis kayu (MOE, MOR dan tekan sejajar serat) jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil uji FTIR menunjukkan bahwa adanya ikatan antara resin PF dengan BKS dilihat dengan perubahan gugus fungsi seperti pada Gambar 40. Kontrol O-H C-H Kompregnasi PF C=O C=C Gambar 40. Pita serapan FTIR BKS pada kondisi kontrol dan yang terkompregnasi PF (merah = kontrol; biru = resin PF; hijau = kompregnasi PF) Hasil pencirian dengan spektrum infra merah terlihat bahwa pada panjang gelombang 3400 cm -1 (gugus O-H), puncak semakin melebar karena adanya penambahan gugus OH dari fenol yang berasal dari PF. Pada panjang gelombang cm -1 yang mengindikasikan gugus C-H, puncaknya semakin kecil. Sedangkan pada panjang gelombang cm -1 yang mengindikasikan adanya gugus C=O, tidak terlihat lagi pada contoh uji yang terkompregnasi PF. Hal ini mengindikasikan adanya ikatan antara komponen penyusun BKS dengan PF

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang tergolong : Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kingdom plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas

TINJAUAN PUSTAKA. kingdom plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit (BKS) Menurut sistem klasifikasi yang ada kelapa sawit termasuk dalam kingdom plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledoneae, family

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu-kayu dari hutan tanaman baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat diperkirakan akan mendominasi pasar kayu pada masa mendatang seiring berkurangnya produktifitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. 9 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pra Perlakuan Pemadatan Terhadap Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan April 2017

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 16 TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa sawit Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Plantae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis.

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kayu jabon (Anthocephalus cadamba M.) memiliki berat jenis 0,48 dan tergolong kayu kelas kuat IV. Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki dan informasi penggunaan kayu secara lokal oleh

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) HASIL PENELITIAN Oleh : TRISNAWATI 051203021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu sebagai bahan konstruksi sudah sejak dulu dikenal orang. Dahulu menggunakan kayu sebagai bahan konstruksi hanya didasarkan pada pengalaman dan intuisi. Berkat

Lebih terperinci

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI 1 VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI SKRIPSI ANDRIAN TELAUMBANUA 111201059/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

Pengukuran Tingkat Pemadatan Maksimum Batang Kelapa Sawit. (Maximum Compression Level Measurement of Oil Palm Trunk)

Pengukuran Tingkat Pemadatan Maksimum Batang Kelapa Sawit. (Maximum Compression Level Measurement of Oil Palm Trunk) (Maximum Compression Level Measurement of Oil Palm Trunk) Rudi Hartono 1), Imam Wahyudi 2), Fauzi Febrianto 2), Wahyu Dwianto 3) 1) Mahasiswa Pascasarjana IPB/Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian USU

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci

POLA PENYEBARAN VASCULAR BUNDLES DAN KADAR AIR BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

POLA PENYEBARAN VASCULAR BUNDLES DAN KADAR AIR BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) POLA PENYEBARAN VASCULAR BUNDLES DAN KADAR AIR BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) SKRIPSI OLEH: ZULFRIDEN SIREGAR 101201072/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 1-7 (2010)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 1-7 (2010) 1 SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL KEBUN AEK PANCUR- SUMATERA UTARA Physical and Mechanical Properties of Palm Oil Trunk from Aek Pancur Farming-North Sumatera

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial Densifikasi parsial, baik kompresi maupun impregnasi, terbukti dapat meningkatkan sifat-sifat kayu Agatis maupun Mangium. Dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang. mebel dan lain sebagainya. Tingginya kebutuhan manusia akan kayu tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang. mebel dan lain sebagainya. Tingginya kebutuhan manusia akan kayu tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kayu merupakan salah satu hasil hutan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kayu digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai bahan bakar, bahan baku konstruksi

Lebih terperinci

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Desember 00 : 7 BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) LAMINATED BEAMS FROM COCONUT WOOD (Cocos nucifera L) Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD i PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

Safrina Talenta Lumbangaol 1, Rudi Hartono 2, Tito Sucipto 2 1 Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Safrina Talenta Lumbangaol 1, Rudi Hartono 2, Tito Sucipto 2 1 Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Variasi Lama Perendaman dan Phenol Formaldehida terhadap Kualitas Papan Lamina dari Batang Kelapa Sawit (Soaking Time Variation and Phenol Formaldehyde Consentration on Laminated Board Quality Made from

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Kadar perekat urea formaldehida (UF) = 12% Ukuran sampel = 25 x

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara ERICK MARTHIN GULTOM (061203028) KEHUTANAN 2010 KUALITAS PAPAN PLASTIK KOMPOSIT PADA BERBAGAI TINGKAT PENDAURULANGAN PLASTIK ERICK MARTHIN GULTOM 061203028 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

PERBAIKAN SIFAT KAYU KELAS KUAT RENDAH DENGAN TEKNIK PENGEMPAAN

PERBAIKAN SIFAT KAYU KELAS KUAT RENDAH DENGAN TEKNIK PENGEMPAAN Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.1, No.2, Desember 2009 : 19 24 PERBAIKAN SIFAT KAYU KELAS KUAT RENDAH DENGAN TEKNIK PENGEMPAAN THE CHARACTERISTIC IMPROVEMENT OF LOW STRENGTH CLASS WOOD BY PRESSING

Lebih terperinci

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT VI. OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT Pendahuluan Penelitian pada tahapan ini didisain untuk mengevaluasi sifat-sifat papan partikel tanpa perekat yang sebelumnya diberi perlakuan oksidasi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Kadar air BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata nilai kadar air (KA) kayu surian kondisi kering udara pada masing-masing bagian (pangkal, tengah dan ujung) disajikan pada Tabel 1.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun, setelah umur 26 tahun sebaiknya diremajakan karena pohon sudah tua dan terlalu tinggi atau lebih dari 13 meter sehingga menyulitkan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Papan Partikel 4.1.1 Kerapatan Kerapatan merupakan perbandingan antara massa per volume yang berhubungan dengan distribusi partikel dan perekat dalam contoh

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 204 di Workshop Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara untuk membuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA (Cocos nucifera L.) DARI KALIMANTAN SELATAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA (Cocos nucifera L.) DARI KALIMANTAN SELATAN Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.3, No.1, Juni 2011: 29 39 SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA (Cocos nucifera L.) DARI KALIMANTAN SELATAN PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF COCONUT (Cocos nucifera

Lebih terperinci

VARIASI BERAT LABUR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN LAMINA DARI BATANG KELAPA SAWIT DENGAN PEMADATAN

VARIASI BERAT LABUR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN LAMINA DARI BATANG KELAPA SAWIT DENGAN PEMADATAN VARIASI BERAT LABUR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN LAMINA DARI BATANG KELAPA SAWIT DENGAN PEMADATAN HASIL PENELITIAN Oleh: RAHMAD HIDAYAT DAULAY 091201012 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI PEREKAT UREA FORMALDEHIDA DAN BAHAN PENGISI STYROFOAM TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT SKRIPSI

PENGARUH KOMPOSISI PEREKAT UREA FORMALDEHIDA DAN BAHAN PENGISI STYROFOAM TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT SKRIPSI PENGARUH KOMPOSISI PEREKAT UREA FORMALDEHIDA DAN BAHAN PENGISI STYROFOAM TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT SKRIPSI Oleh : ZAINAL ABIDIN SYAH POLEM 071203032 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg. PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) SUKMA SURYA KUSUMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Dasar dan Keawetan Alami Kayu Sentang A.1. Anatomi kayu Struktur anatomi kayu mencirikan macam sel penyusun kayu berikut bentuk dan ukurannya. Sebagaimana jenis kayu daun

Lebih terperinci

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij 5 Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit dan Tandan Kosong Sawit Kelapa sawit (Elaeis quineensis, Jacq) dari family Araceae merupakan salah satu tanaman perkebunan sebagai sumber minyak nabati, dan merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2015. Pembuatan papan dan pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KARAKTERISTIK ORIENTED STRAND BOARD DARI KAYU AKASIA DAN AFRIKA BERDASARKAN PENYUSUNAN ARAH STRAND NURHAIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 8 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Mitra Rahayu1,a), Widayani1,b) 1 Laboratorium Biofisika, Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

ISBN KAJIAN SIFAT FISIS BATANG NIBUNG (Oncosperma tigilarium)

ISBN KAJIAN SIFAT FISIS BATANG NIBUNG (Oncosperma tigilarium) KAJIAN SIFAT FISIS BATANG NIBUNG (Oncosperma tigilarium) Sonia Somadona, Evi Sribudiani dan Tuti Arlita Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau E-mail: sonia.somadona@lecturer.unri.ac.id

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan partikel yang diuji meliputi kerapatan, kadar air, daya serap air dan pengembangan tebal. Sifat mekanis papan partikel yang diuji meliputi Modulus of Elasticity

Lebih terperinci

Luthfi Hakim 1 dan Fauzi Febrianto 2. Abstract

Luthfi Hakim 1 dan Fauzi Febrianto 2. Abstract 21 KARAKTERISTIK FISIS PAPAN KOMPOSIT DARI SERAT BATANG PISANG (MUSA. SP) DENGAN PERLAKUAN ALKALI (PHYSICAL PROPERTIES OF COMPOSITE BOARD MADE FROM BANANA FIBER (MUSA SP.) WITH ALKALI TREATMENT) Luthfi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas 4 TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit (BKS) Menurut sistem klasifikasi yang ada kelapa sawit termasuk dalam Kingdom plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Family

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN Oleh: Yunida Syafriani Lubis 111201033 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 77 6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 6.1 Pendahuluan Pengempaan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas papan yang dihasilkan (USDA, 1972). Salah satu hal

Lebih terperinci

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 1. Pembuatan Contoh Uji 2. Pemilahan Contoh Uji

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 1. Pembuatan Contoh Uji 2. Pemilahan Contoh Uji METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dari bulan April sampai bulan Juni 2008 di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas

Lebih terperinci

PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN

PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN PAPAN PARTIKEL TANPA PEREKAT DARI BAMBU ANDONG DAN KAYU SENGON MENGGUNAKAN PERLAKUAN OKSIDASI SUHASMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN SKRIPSI FRANS JANUARI HUTAGALUNG 051203045 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVESITAS SUMATERA UTARA 2010 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult.

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. Kurz) SKRIPSI Oleh: RICKY HALOMOAN GEA 111201132/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SKRIPSI Oleh: MARIAH ULFA 101201035 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SIFAT FISIS KAYU LAPIS BATANG KELAPA SAWIT

SIFAT FISIS KAYU LAPIS BATANG KELAPA SAWIT SIFAT FISIS KAYU LAPIS BATANG KELAPA SAWIT SKRIPSI ARIF BUDIMAN 031203027 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 Arif Budiman. Sifat Fisis Kayu Lapis Batang Kelapa Sawit.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang sawit berbentuk silinder dengan

TINJAUAN PUSTAKA. kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang sawit berbentuk silinder dengan TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit Sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. Tinggi

Lebih terperinci

PENGARUH ELEVASI LAHAN DAN POSISI PELEPAH TERHADAP ANATOMI DAN SIFAT FISIK PADA FENOMENA PELEPAH SENGKLEH KELAPA SAWIT (Elaeis quineensis Jacq.

PENGARUH ELEVASI LAHAN DAN POSISI PELEPAH TERHADAP ANATOMI DAN SIFAT FISIK PADA FENOMENA PELEPAH SENGKLEH KELAPA SAWIT (Elaeis quineensis Jacq. PENGARUH ELEVASI LAHAN DAN POSISI PELEPAH TERHADAP ANATOMI DAN SIFAT FISIK PADA FENOMENA PELEPAH SENGKLEH KELAPA SAWIT (Elaeis quineensis Jacq.) SKRIPSI Oleh : Lily Janiyani 061203039 / Teknologi Hasil

Lebih terperinci

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2013. Persiapan bahan baku dan pembuatan papan laminasi dilakukan di Workshop Kehutanan dan pengujian sifat

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu ABSTRAK ADITYA NUGROHO. Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. Dibimbing oleh SUCAHYO SADIYO dan MOHAMMAD MUSLICH. Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kekakuan Lamina Kayu Ekaliptus Pemilahan lamina menggunakan metode defleksi menghasilkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang digunakan untuk pengelompokkan lamina.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna

TINJAUAN PUSTAKA. : Cinnamomum burmanii. Panjangnya sekitar 9-12 cm dan lebar 3,4-5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kayu Manis berikut : Sistematika kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Sub kelas Ordo Family Genus Spesies : Plantae : Gymnospermae

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PAPAN GIPSUM DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN PERLAKUAN PERENDAMAN DAN VARIASI KADAR GIPSUM

SIFAT FISIS MEKANIS PAPAN GIPSUM DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN PERLAKUAN PERENDAMAN DAN VARIASI KADAR GIPSUM SIFAT FISIS MEKANIS PAPAN GIPSUM DARI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN PERLAKUAN PERENDAMAN DAN VARIASI KADAR GIPSUM SKRIPSI Oleh : FAUZAN KAHFI 031203035 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH

Lebih terperinci

Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami

Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada. Kelapa sawit saat ini telah berkembang pesat di Asia Tenggara,

Lebih terperinci

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL IV. PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL Pendahuluan Dalam pembuatan papan partikel, secara umum diketahui bahwa terdapat selenderness rasio (perbandingan antara panjang dan tebal partikel) yang optimal untuk

Lebih terperinci

KETAHANAN KOMPOSIT KAYU PLASTIK-DAUR-ULANG DENGAN PENAMBAHAN UV STABILIZER TERHADAP CUACA IWAN RISNASARI

KETAHANAN KOMPOSIT KAYU PLASTIK-DAUR-ULANG DENGAN PENAMBAHAN UV STABILIZER TERHADAP CUACA IWAN RISNASARI KETAHANAN KOMPOSIT KAYU PLASTIK-DAUR-ULANG DENGAN PENAMBAHAN UV STABILIZER TERHADAP CUACA IWAN RISNASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 % TINJAUAN PUSTAKA Limbah Penggergajian Eko (2007) menyatakan bahwa limbah utama dari industri kayu adalah potongan - potongan kecil dan serpihan kayu dari hasil penggergajian serta debu dan serbuk gergaji.

Lebih terperinci

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Juni 009 : 7 PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL THE INFLUENCE OF NATURAL AND ARTIFICIAL DRYING FOWORD THE

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI RADIAL KAYU BAWANG (Dysoxylum sp.), JENIS FILLER DAN DERAJAT KELEMBUTANNYA TERHADAP KETEGUHAN REKAT

PENGARUH POSISI RADIAL KAYU BAWANG (Dysoxylum sp.), JENIS FILLER DAN DERAJAT KELEMBUTANNYA TERHADAP KETEGUHAN REKAT PENGARUH POSISI RADIAL KAYU BAWANG (Dysoxylum sp.), JENIS FILLER DAN DERAJAT KELEMBUTANNYA TERHADAP KETEGUHAN REKAT Mery Loiwatu, S.Hut., MP, Dr. Ir. E. Manuhua,M.Sc dan Ir. J. Titarsole, MP Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

Medan (Penulis Korespondensi : 2 Staf Pengajar Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Medan (Penulis Korespondensi :   2 Staf Pengajar Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara VARIASI KOMPOSISI PEREKAT UREA FORMALDEHIDA DAN BAHAN PENGISI STYROFOAM TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT. (The Variation of Urea Formaldehyde Resin and Padding Styrofoam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kelapa Sawit yang sudah tidak produktif. Indonesia, khususnya Sumatera Utara,

BAB 1 PENDAHULUAN. Kelapa Sawit yang sudah tidak produktif. Indonesia, khususnya Sumatera Utara, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini dunia mendapatkan tantangan besar dalam mengolah limbah pohon Kelapa Sawit yang sudah tidak produktif. Indonesia, khususnya Sumatera Utara, memiliki banyak

Lebih terperinci

Anwar Kasim, Yumarni dan Ahmad Fuadi. Abstract. Key words: Elaeis guineensis Jacq., trunk, Uncaria gambir Roxb., adhesive, particleboard.

Anwar Kasim, Yumarni dan Ahmad Fuadi. Abstract. Key words: Elaeis guineensis Jacq., trunk, Uncaria gambir Roxb., adhesive, particleboard. Pengaruh Suhu dan Lama Pengempaan pada Pembuatan Papan Partikel dari Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perekat Gambir (Uncaria gambir Roxb.) terhadap Sifat Papan Partikel Influence of

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku, pembuatan dan pengujian sifat fisis papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian sifat mekanis

Lebih terperinci

PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI

PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI OLEH : LISBETH DAMERIAHNI SIJABAT 110308031 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS. Jamal Balfas

PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS. Jamal Balfas PEMANFAATAN LIMBAH BATANG SAWIT UNTUK PRODUK SOLID DAN PANIL KAYU LAPIS Jamal Balfas LATAR BELAKANG Defisit kayu nasional, pabrik KL < 15%, WW < 30% Produksi HTI dan Hutan Rakyat tidak memadai Impor kayu

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku dan pembuatan papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi plastik membuat aktivitas produksi plastik terus meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau bahan dasar. Material plastik

Lebih terperinci

PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp)

PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp) Papan partikel dari campuran limbah rotan dan penyulingan PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp) Particle Board from Mixture of Rattan Waste and Gemor

Lebih terperinci

PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT

PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA JENIS KAYU RENDY KURNIAWAN RACHMAT DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 PENGARUH PENGAWETAN TERHADAP SIFAT MEKANIS TIGA

Lebih terperinci