BAB II LANDASAN TEORI. A. Work Engagement pada Pengurus Pesantren. 1. Pengertian Work Engagement pada Pengurus Pesantren

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. A. Work Engagement pada Pengurus Pesantren. 1. Pengertian Work Engagement pada Pengurus Pesantren"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement pada Pengurus Pesantren 1. Pengertian Work Engagement pada Pengurus Pesantren Menurut Schaufeli & Bakker (2004) Work engagement merupakan perasaan positif, motivasi dan pekerjaan yang berhubungan dengan keadaan psikologis ditandai dengan semangat, dedikasi dan penghayatan. Work engagement adalah keadaaan kesejahteraan atau kepuasan yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan tingkat energi yang tinggi dan identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang. Maslach dan Leiter (1997) telah menemukan keterlibatan sebagai lawan dari kelelahan. Karyawan yang terlibat memiliki perasaan energik dan efektif terhadap pekerjaan karyawan. Maslach dan Leiter (1997) menggambarkan keterlibatan kerja yang ditandai dengan energi, keterlibatan dan khasiat yang dianggap berlawanan langsung dari tiga dimensi burnout, yaitu kelelahan, sinisme, dan mengurangi khasiat profesional masing-masing. Berfokus pada keterlibatan kerja menyiratkan fokus pada energi, ketrlibatan efektivitas karyawan membawa ke pekerjaan. Fokus pada keterlibatan kerja membangun organisasi yang lebih efektif. Schaufeli dan Enzman (1988) memiliki perspektif yang sedikit berbeda dan didefinisikan dan dioperasionalkan keterlibatan kerja secara independen dari burnout. Schaufeli dan Enzman menganggap kejenuhan dan keterlibatan kerja menjadi konsep yang berlawanan yang harus diukur secara independen dengan instrumen yang berbeda. 15

2 16 Bakker dan Leiter (2010) mendefinisikan work engagement sebagai konsep motivasi, di mana karyawan yang engaged merasa terdorong untuk berjuang menghadapi tantangan kerja. Karyawan berkomitmen untuk mencapai tujuan, secara antusias mengerahkan seluruh energinya untuk pekerjaan mereka. Sedangkan menurut Schaufeli, dkk (2002) mendefinisikan work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi kerja dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Vigor dikarakteristikkan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan untuk berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang, dan absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas. Wellins dan Concelman (2005) menyatakan bahwa work engagement adalah kekuatan yang dapat memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan. Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa work engagement merupakan perasaan positif, motivasi dan pekerjaan yang berhubungan dengan keadaan psikologis ditandai dengan vigor (semangat), dedication, absorption (penghayatan). 2. Karakteristik Work Engagement Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) work engagement memiliki karakteristik yaitu:

3 17 a. Vigor (semangat) Vigor (semangat) diartikan sebagai level energi dan resiliensi yang tinggi, terdapat kemauan untuk menginvestasikan usaha dalam pekerjaan, presistensi dan tidak mudah lelah. Ketekunan pekerja dalam menghadapi kesulitan atau masalah. Pengurus juga melaksanakan pekerjaan dengan rasa senang dan bahagia disertai dengan pencurahan energi untuk melakukan pekerjaan yang terbaik. b. Dedication Dedication diartikan sebagai keterlibatan yang kuat yang ditandai oleh antusiasme dan rasa bangga dan inspirasi. Pengurus akan menjadikan pekerjaannya sebagai sesuatu hal yang bisa menginspirasi dan menantang. Memiliki rasa bangga disertai dengan rasa antusias dalam menyelesaikan pekerjaannya. c. Absorption (penghayatan) Absorption (penghayatan) diartikan sebagai keadaan terjun total pada karyawannya (sulitnya memisahkan karyawan dari pekerjaannya). Pengurus merasa waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa hingga pekerjaannya telah selesai. Pengurus juga dirinya sudah menyatu dengan dunia kerjanya sehingga sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan tersebut. Menurut Macey, dkk (dalam Mujiasih, 2012) work engagement mencakup 2 dimensi yaitu:

4 18 a. Work engagement sebagai energi psikis Karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvment). b. Work engagement sebagai energi tingkah laku Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, karyawan yang engaged tidak terikat pada job description, karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki dan karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang membingungkan. Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya, work engagement memiliki tiga aspek yaitu vigor (semangat) sebagai level energi dan resiliensi yang tinggi, dedication (dedikasi) sebagai keterlibatan yang kuat yang ditandai oleh antusiasme dan rasa bangga, dan absorption (penghayatan) diartikan sebagai keadaan terjun total pada karyawannya, selain itu work engagement juga mencakup dua aspek lainnya yaitu work engagement sebagai energi psikis merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan dan work engagement sebagai tingkah laku berupa karyawan yang akan berfikir dan bekerja secara proaktif.

5 19 Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Schaufeli & Bakker (2004) yaitu vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan abserption (penghayatan). Aspek tersebut dipilih oleh peneliti karena sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur work engagement pada pengurus pondok pesantren X. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek yang dikemukakan oleh Schaufeli & Bakker (2004) yaitu didukung berdasarkan hasil dari wawancara dengan subjek (pengurus pondok) dan dilihat dari kondisi pondok pesantren yang akan dijadikan tempat penelitian. 3. Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement Menurut Simon (dalam Kimberly, 2013) faktor yang mempengaruhi work engagement adalah: a. Motivasi Motivasi merupakan suatu kekuatan potensial yang ada pada diri seseorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya sekitar imbalan moneter dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positiff atau negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan (Winardi, 2001). b. Dukungan Sosial Santrock (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah sebuah informasi atau tanggapan dari pihak lain yang disayangi dan dicintai, yang menghargai dan menghormati serta mencakup suatu hubungan komunikasi dan

6 20 situasi yang saling bergantung. Hal ini termasuk salah satu dukungan emosional, seperti yang dikemukakan oleh Dumont & Provost (dalam Everall, 2006) menerangkan bahwa dukungan emosional yang di terima menjadi sebuah pesan bagi individu bahwa individu tersebut disayangi. c. Lingkungan Kerja Menurut Isyandi (2004) lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada di lingkungan para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas seperti temperatur, kelembapan, ventilasi, penerangan, kegaduhan, kebersihan tempat kerja dan memadai tidaknya alat-alat perlengkapan kerja. d. Pengambilan Keputusan Sistem pengambilan keputusan pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an oleh Michael S. Scott Morton dengan istilah Management Decision System (Sprague, 1982). Konsep pengambilan keputusan ditandai dengan sistem interaktif berbasis komputer yang membantu pengambil keputusan untuk memanfaatkan data dan model untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terstruktur. e. Psychological Well-Being Karyawan Menurut Ryff (1989) Psychological well-being merupakan sebuah kondisi individu memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat mengambil keputusan sendiri dan dapat mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.

7 21 Menurut Bakker dan Demerouti (2007) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi penyebab utama work engagement, yaitu: 1. Job Resources Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, perkembangan, dan perkembangan personal. 2. Salience of Job Resources Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu. 3. Personal Resources Faktor ini merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan karyawan lainnya karena memiliki skor extraversion dan concientiousness yang lebih tinggi serta memiliki skor neuroticism yang lebih rendah. Terdapat penelitian menyebutkan bahwa psychological well-being berpengaruh terhadap work engagement. Pada penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Cooper (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi engagement adalah psychological well-being, di mana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-being akan menyebabkan rendahnya engagement.

8 22 Berdasarkan beberapa teori di atas, faktor yang mempengaruhi work engagement adalah motivasi, dukungan sosial, lingkungan kerja, pengambilan keputusan dan psychological well-being. Menurut Bakker dan Demerouti (2007) faktor yang mempengaruhi work engagement adalah job resources, salience of job resources dan personal resources. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement dari Simon (dalam Kimberly, 2013) yaitu Psychological well-being. Selain itu, menurut penelitian Kimberly (2013), karyawan yang memiliki psychological wellbeing yang tinggi akan memiliki keterikatan dengan pekerjaan yang tinggi. Peneliti memiliki pertimbangan yang didukung berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Kimberly (2013), hasil wawancara dengan subjek (pengurus), dan dilihat dari kondisi pondok pesantren yang akan dijadikan tempat penelitian. B. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan pencapaian kesempurnaan yang mempresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya (Ryff, 1995). Psychological well-being merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi hidup seseorang maupun dalam konteks kerja. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan, psychological well-being merupakan faktor yang dapat mempengaruhi performa dan sikap pengurus, di mana pengurus yang

9 23 mampu menyadari potensi dirinya dan merealisasikan potensi tersebut, akan dapat menunjukkan performa yang baik. Menurut Nathawat (1996) Psychological well-being merupakan reaksi evaluatif seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Ryff dan Singer (1996) menjelaskan bahwa tingkat psychological well-being yang tinggi menunjukkan bahwa orang itu memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya, mempunyai kepercayaan diri yang baik, bisa membangun hubungan baik dengan orang lain dan menunjukkan bahwa individu tersebut mempunyai tujuan pribadi dan juga dalam pekerjaannya. Sedangkan menurut Ryff (1989) psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Menurut Pratiwi (2014) psychological wellbeing yaitu suatu kondisi di mana individu tersebut mampu menjalankan hal-hal positif dalam hidupnya, salah satunya dengan berhubungan baik dengan lingkungan sekitar, mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain, mau menerima diri dengan apa adanya, mampu menghadapi masalah yang sedang dihadapi dan mampu merasakan kepuasan hidup bagi dirinya sendiri. Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukaan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being merupakan pencapaian kesempurnaan yang merepresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya.

10 24 2. Dimensi Psychological Well-Being Dimensi yang digunakan dalam mengukur psychological well-being menurut Ryff (1989) ada enam dimensi yaitu: a. Penerimaan diri (Self-acceptance) Penerimaan diri (self-acceptance) adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari psychological well-being. Skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, merasa positif tentang kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah menunjukkan individu merasa tidak puas dengan diri sendiri, merasa kecewa terhadap kehidupan yang dijalani, mengalami kesukaran karena sejumlah kualitas pribadi dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini, Sugianto (dalam Dwipayama, 2006). b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) adalah kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai empati dan bersahabat. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup hubungan yang dekat, hangat dan intim dengan orang lain, membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati, dan perhatian kepada orang lain, Camptom (dalam Dwipayama, 2006).

11 25 c. Otonomi (autonomy) Otonomi (autonomy) adalah kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan mengatur tingkah laku. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup kemandirian, self determined kemampuan untuk melawan atau menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku, Campton (dalam Dwipayama, 2006). d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Penguasaan lingkungan (environmental mastery) adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup memiliki kemampuan untuk mengatur dan memilih lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan, Compton (dalam Dwipayama, 2006). e. Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) adalah kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup memiliki makna dan arti hidup, serta memiliki arah dan tujuan hidup, Campton (dalam Dwipayama, 2006). f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Pertumbuhan pribadi (personal growth) adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup kapasitas untuk bertumbuh dan mengembangkan potensi, perubahan personal atau pribadi sepanjang hidup yang mencerminkan

12 26 pengetahuan diri dan efektivitas yang bertambah, keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru, dapat menerima kenyataan, mampu membela diri, dan menghargai diri sendiri, Campton (dalam Dwipayama, 2006). Menurut Hurlock (dalam Wahyuningtyas, 2016) psychological well-being memiliki beberapa komponen, yaitu: a. Sikap menerima (Acceptance) Sikap menerima (accpetance) merupakan sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik. Hurlock juga menjelaskan bahwa kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya. Sikap menerima juga merupakan seseorang yang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Kasih sayang (Affection) Kasih sayang (affection) atau cinta merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya cinta atau kasih sayang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan seseorang. c. Prestasi (Achievement) Prestasi (achievement) merupakan prestasi yang berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak bahagia. Prestasi juga merupakan sebuah pengalaman yang dialami oleh individu dan bisa menjadi pelajaran berharga untuk masa depan.

13 27 Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, psychological wellbeing terbagi dalam enam dimensi yaitu penerimaan diri (self-acceptance) adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari psychological well-being. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) adalah kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Otonomi (autonomy) adalah kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) adalah kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya. Pertumbuhan pribadi (personal growth) adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Selain itu psychological well-being juga memiliki beberapa komponen yaitu sikap menerima (acceptance) merupakan sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik, kasih sayang (affection) merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain, dan prestasi (achievement) merupakan prestasi yang berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Aspek tersebut dipilih karena

14 28 dapat mengungkap psychological well-being yang dimiliki oleh subjek (pengurus). C. Hubungan Antara Psychological Well-Being Dengan Work Engagement Pada Pengurus Pondok Pesantren X, Yogyakarta Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah di mana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis. Dalam suatu organisasi seperti pondok pesantren sering terjadi permasalahan yang tidak menutup kemungkinan bisa membuat organisasi hancur bahkan bubar. Masalah tersebut sering datang dari individu yang berada dalam pondok pesantren itu sendiri maupun dari luar. Masa depan pesantren sangat ditentukan oleh faktor manajerial, seperti yang diungkapkan oleh Qomar (2007) pesantren kecil akan berkembang secara signifikan manakala dikelola secara profesional. Karyawan yang memiliki psychological well-being yang tinggi akan memiliki keterikatan dengan pekerjaan yang tinggi. Menurut penelitian Robertson dan Cooper (2010), interaksi antara psychological well-being dan engagement yang dimiliki karyawan dapat mengarah pada terciptanya kondisi full engagement, di mana pada kondisi tersebut karyawan memiliki kondisi psikologis yang sehat, sekaligus tingkat engagement tinggi yang akan berlangsung dalam waktu lama. Dijelaskan lebih lanjut bahwa psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement, di mana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-being akan menyebabkan rendahnya engagement.

15 29 Menurut Ryff (1995) psychological well-being merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi hidup seseorang maupun dalam konteks kerja. Psychological well-being didefinisikan sebagai pencapaian kesempurnaan yang merepresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan, psychological well-being merupakan faktor yang dapat mempengaruhi performa dan sikap pengurus, di mana pengurus yang mampu menyadari potensi dirinya dan merealisasikan potensi tersebut, akan dapat menunjukkan performa yang baik. Psychological well-being di tempat kerja dimaknai sebagai suatu keadaan individu yang lebih termotivasi, terlibat di tempat kerja, memiliki energi positif, menikmati pekerjaan yang diberikan dan cenderung bertahan dalam suatu organisasi (Berger, 2010). Menurut Ryff (1989) dimensi yang digunakan dalam mengukur psychological well-being ada enam dimensi, yaitu self acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purposen in life, dan personal growth. Pada dimensi self acceptance, menurut Sugianto (dalam Dwipayama, 2006) adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari psychological well-being. Penerimaan diri ini ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima segala kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain, serta mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri dalam pekerjaan. Supaya di dalam suatu pekerjaan, karyawan dapat menerima dirinya, karyawan harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Hal ini membuat karyawan harus menetapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan

16 30 karyawan dalam bekerja, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang karyawan inginkan (Hurlock, 2005). Ketika karyawan memiliki sikap positif dalam diri individu yang tinggi, karyawan akan bertanggung jawab pada pekerjaannya melalui tingkat engaged yang lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan memiliki sikap negatif dalam diri individu, karyawan cenderung akan menarik diri dari tanggung jawab dan menurunkan work engagement (Kimberly, 2013). Pada dimensi selanjutnya, positive relationship with others, menurut Dwipayama (2006) adalah kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai empati dan bersahabat, Campton (dalam Dwipayama, 2006). Oleh karena itu, ketika adanya nilai-nilai untuk menolong orang lain, saat karyawan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut membuat karyawan engage dengan pekerjaan (Puspita, 2012). Hubungan dengan orang dalam lingkungan kerja itu berbedabeda. Ada yang nyaman dengan rekan kerja, sebaliknya ada yang merasa tidak nyaman dengan rekan kerja. Dengan adanya hubungan yang positif dengan rekan kerja akan menimbulkan kedekatan, terbentuk kebersamaan dan terbentuk rasa saling memiliki sehingga mempengaruhi karyawan untuk bekerja secara profesional, merasa semangat bekerja, memiliki sikap antusiasme dalam bekerja serta akan berkontribusi untuk kemajuan perusahaan. Sebaliknya, adanya hubungan yang tidak baik dengan rekan kerja, adanya perasaaan tidak suka dengan rekan kerja dapat menimbulkan jarak dan membuat relasi menjadi tidak

17 31 nyaman maka semakin rendah pula tingkat work engagement (Yuningsih dan Mariyanti, 2015). Pada dimensi selanjutnya, autonomy menurut Campton (dalam Dwipayama, 2006) merupakan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku (Campton dalam Dwipayama, 2006). Menurut Roger (dalam Rahayu, 2008) seseorang dengan fully functioning digambarkan sebagai seorang individu yang memiliki internal locus of evaluation, di mana orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal (Ryff, 1989). Otonomi sebagai dimensi dalam karakteristik pekerjaan juga menjadi prediktor yang signifikan terhadap munculnya work engagement (Saks, 2006). Work engagement dapat dipengaruhi oleh bagaimana individu memaknai dirinya tidak hanya terhadap pekerjaan namun juga lingkungan kerjanya. Teori perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Dengan kebebasan yang dimiliki, individu akan tenggelam dengan sesuatu yang dilakukannya, menikmati pekerjaan yang individu lakukan dan menyatu dengan pekerjaan tersebut tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Sebaliknya individu yang memiliki kebebasan yang terbatas akan sangat merasa khawatir akan kesalahan dalam pekerjaan dan memiliki kecemasan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukannya (Rahayu, 2008).

18 32 Dimensi selanjutnya, environmental mastery, menurut Dwipayama (2006) adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Aspek ini mencakup dalam beberapa faktor yaitu memiliki kemampuan untuk mengatur dan memilih lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan, (Compton dalam Dwipayama, 2006). Individu yang matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar dirinya (Ryff, 1989). Individu yang dewasa akan merasa antusias untuk menciptakan perbaikan dan perubahan pada lingkungan yang dinilai perlu, melalui aktivitas fisik dan mental serta mengambil manfaat dari lingkungan tersebut. Seperti ketika karyawan merasa tertantang untuk melakukan perubahan atau perbaikan dalam pekerjaannya, tentunya akan berpengaruh pada kondisi psikologis orang tersebut, yang kemudian dapat membuatnya menjadi engage dengan pekerjaan tersebut (Robertson dan Cooper dalam Kimberly, 2013). Sebaliknya, individu yang mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki pekerjaannya yang dapat membuat engage pekerjaan tersebut menurun (Sugianto dalam Dwipayama, 2006). Dimensi selanjutnya, purpose in life, menurut Dwipayama (2006) merupakan kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya. Aspek ini tercakup dalam beberapa faktor yaitu memiliki makna dan arti hidup, serta memiliki arah dan tujuan hidup, (Campton dalam Dwipayama, 2006). Tujuan hidup itu akan diperjuangkannya dengan semangat tinggi, yang mana niat itu akan mengarahkan segala kegiatannya sehari-hari. Ketika tujuan hidup itu tercapai dan bermanfaat tidak hanya bagi iudividu tetapi juga lingkungan

19 33 sosialnya, maka individu akan merasa bahwa hidupnya mempunyai makna yang tinggi. Individu merasa hidupnya bermakna. Kebermaknaan hidup ini, menurut Bastanun (19%), merupakan hasrat yang paling mendasar pada manusia. Karena itu, ketika seseorang gagal atau sulit menemukan makna hidupnya, maka ia akan merasa frustrasi dan hidupnya terasa hampa. Individu gagal mencapai makna hidup yang berarti karena tidak menyadari bahwa semua pengalaman hidupnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan lebih luas. Ketika pengalaman hidup itu bernilai negatif maka individu hanya bisa merasakan kesedihan saja. Padahal kesedihan itu kelak ternyata bermanfaat besar dalam mengembangkan kepribadiannya (Ritonga dan Listiari, 2006). Dimensi yang terakhir, personal growth, menurut Campton (dalam Dwipayama, 2006) adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah (Ryff, 1995). Ketika seseorang dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya secara utuh, akan mempengaruhi performa dan juga penghayatan seseorang terhadap apa yang dikerjakannya. Kemudian, ketika seseorang memiliki engagement dengan pekerjaannya, seseorang itu akan

20 34 memiliki perasan dan pikiran yang lebih positif dalam hubungannya dengan pekerjaan (Schaufeli dan Bakker, 2004). Sebaliknya, ketika engagement dengan pekerjaannya rendah, seseorang tidak merasakan adanya kemajuan dan potensi diri dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan pekerjaan, serta memiliki pikiran negatif terhadap pekerjaannya (Sugianto dalam Dwipayama, 2006). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara psychological well-being dan work engagement ini yang menunjukkan hubungan yang positif, yang artinya peningkatan pada kondisi psychological wellbeing diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan yang bekerja. Hubungan positif ini juga dapat berarti sebaliknya yaitu, peningkatan pada work engagement diikuti dengan peningkatan pada psychological well-being karyawan yang bekerja (Kimberly, 2013). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Robertson dan Cooper (2010) bahwa psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement, di mana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-being akan menyebabkan rendahnya engagement. Hal ini sesuai dengan korelasi positif yang diperoleh dalam penelitian tersebut, yaitu peningkatan pada kondisi psychological well-being akan diikuti dengan peningkatan pada work engagement karyawan yang bekerja di lokasi tambang (Kimberly, 2013). D. Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan positif antara psychological

21 35 well-being dengan work engagement pada pengurus pondok pesantren X di Yogyakarta. Semakin tinggi psychological well-being maka akan semakin tinggi work engagement pada pengurus pondok. Sebaliknya, jika semakin rendah psychological well-being maka akan semakin rendah work engagement pada pengurus pondok.

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job 9 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisikan tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung dan menjelaskan variabel dalam penelitian. Pembahasan dalam bab ini dimulai dari pembahasan komitmen organisasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan kehidupan bangsa, hal ini tidak lepas dari peran seorang guru. Guru memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak PENDAHULUAN Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak dilakukan di bidang human resource development (HRD) (Chalofsky

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan tersebut menuntut adanya kemajuan dalam kehidupan manusia. Globalisasi memberikan dampak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Employee Engagement 2.1.1 Pengertian Employee Engagement Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel mereka, tetapi belum ada definisi jelas mengenai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik, BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Work Engagement Konsep engagement atau keterikatan dipopulerkan oleh Kahn (1990) yang mendefinisikan work engagement adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jenjang pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu bagian dari manajemen yang berfokus kepada aspek manusia. Fungsi dari manajemen sumber daya manusia (SDM)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI BAB 2 TINJAUAN REFERENSI 2.1 Keterikatan Kerja 2.1.1 Keterikatan Kerja Pada dasarnya keterikatan kerja merupakan beberapa istilah dari job engagement, dan employee engagement. Menurut Schaufeli et al.

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work Engagement BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian Work Engagement Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterikatan Kerja (Work Engagement) 1. Pengertian keterikatan kerja Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi dan ditunjang perkembangan dunia usaha yang semakin pesat mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK. STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK. NADHIRA DANESSA M. ABSTRAK Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan global yang semakin ketat dewasa ini mengakibatkan perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital (sumber daya manusia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010). BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Pengertian Employee Engagement Kata engage memiliki berbagai makna dan banyak peneliti yang memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis mengenai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar belakang

1 PENDAHULUAN Latar belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar belakang Organisasi menghadapi persaingan yang amat ketat dan kompetitif saat ini. Globalisasi, perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang terjadi cepat selama 20 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in BAB II LANDASAN TEORI A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan kerja marak dibicarakan di tahun-tahun belakangan ini, namun yang pertama menyebutkan mengenai kosep ini adalah Kahn (1990), sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting, 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam membangun negara yang sejahtera dan mampu menyejahterakan rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting, termasuk di negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan ekonomi global yang dicirikan dengan perubahan cepat, dinamika tinggi, permintaan tinggi atas inovasi, dan (karenanya) memiliki tingkat ketidakpastian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Kinerja didefinisikan sebagai tindakan yang hasilnya dapat dihitung, selain itu juga dapat didefinisikan sebagai hasil kontribusi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang yang memiliki semangat kerja, dedikasi, disiplin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena 1 Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global adalah mempertahankan karyawan yang berkualitas. Karyawan potensial yang engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi berbagai ancaman kesehatan global, kini beberapa negara termasuk Indonesia semakin meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya. Menteri

Lebih terperinci

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat. Perubahan zaman yang semakin berkembang menuntut perusahaanperusahaan untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya, karena manusia memiliki akal budi dan dapat berpikir. Seiring berjalannya waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Bonyta Ermintika Rizkiani, Dian Ratna Sawitri Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Salah satu lembaga pada jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran peran dan fungsi sumber daya manusia yang sangat dramatis. Fungsi sumber daya manusia tidak dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai Negeri Sipil adalah unsur

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Work Engagement 2.1.1 Definisi Work Engagement Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan terhadap peran mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikatkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini dapat terwujud dengan adanya partisipasi dan dukungan perangkat yang baik. Salah satu perangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumber pendapatan seseorang dapat berasal dari berbagai hal. Menurut Kiyosaki (2002) terdapat empat sumber untuk mendapat penghasilan, yaitu sebagai karyawan

Lebih terperinci

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergantian manajer wilayah yang terjadi pada BUMN adalah suatu hal yang biasa terjadi, salah satunya pada PT. Kimia Farma, Tbk. Pergantian manajer wilayah tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang paling penting bagi seorang manusia. Menurut UU no.36 tahun 2006 tentang Kesehatan, bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia

Lebih terperinci

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali 2 structural equation model (SEM) to examine the relationship and the effects of independent variable to the dependent variable by the presence of mediator variable. The result of this research was that

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu, akan

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu, akan 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam hidupnya akan mengalami serangkaian perkembangan dengan periode berurutan, mulai dari periode parental hingga lansia. Setiap masa yang dilalui merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis BAB V PENUTUP Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis lainnya. 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Gambaran Psychological

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori yang akan digunakan dalam penelitian. Selain itu juga akan dibahas tentang definisi, aspek dan karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi,

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek BAB II TELAAH PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Pembahasan pada bab ini dimaksudkan untuk memberi penjelasan mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek penelitian termasuk pengaruh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses kehidupan untuk mengembangkan diri setiap individu agar dapat melangsungkan kehidupannya (Kurniawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi dunia ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan di segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang membentuk dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, dalam membentuk kepribadiannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulan-keunggulan kompetitif dimana keunggulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement 1. Pengertian Work Engagement Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan kerja 2.1.1 Definisi Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja, metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru merupakan juru kunci keberhasilan pendidikan seorang murid. Bagaimana tidak, tugas seorang guru jelas tertuang dalam UU No 14 Tahun 2005 yang dijabarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas manusia yang terus meningkat menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah satwa. Tidak jarang manusia

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA Rahmani Azizah 15010113140103 Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya yang bertalenta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Psychological Well-Being 2. Variabel tergantung : Komitmen Organisasional B. Definisi Operasional 1. Komitmen Organisasional

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat beriringan dengan munculnya penyakit-penyakit yang semakin kompleks.hal itu menuntut

Lebih terperinci