CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS"

Transkripsi

1 CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung Abstract Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section. Subject and Method: An observasional study taken from the year of , a serial case report in pregnant women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma. Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure. Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for both the mother and the fetus. Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcome JNI 2012;1(3): Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok, perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea. Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun , serial kasus, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma. Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea. Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaran JNI 2012;1(3): I. Pendahuluan Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada masa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus, sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah banyak penelitian yang menyatakan peningkatan angka kematian janin berbanding lurus dengan derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu, 1

2 2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia akan tetapi penelitian-penelitian ini tidak mengungkapkan faktor prediksi kematian janin. 1-7 Kemungkinan kehamilan harus dipertimbangkan pada setiap wanita yang berumur antara 10 dan 50 tahun. Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologi yang nyata dan perubahan anatomis pada hampir semua organ tubuh. Perubahan struktur dan fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi penderita trauma yang hamil karena perubahan tanda dan gejala yang ditemukan, cara dan respon terhadap resusitasi maupun hasil-hasil pemeriksaan. Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola maupun beratnya cedera. Dalam menangani penderita trauma yang hamil, harus selalu diingat ada dua korban, walaupun demikian pengelolaan penderita hamil sama seperti tidak hamil. Harus difahami dengan baik hubungan fisiologis antara ibu dengan janinnya bila ingin memberikan pengobatan terbaik untuk keduanya. Perawatan yang terbaik untuk janin adalah dengan resusitasi optimal terhadap ibu dan penilaian dini terhadap janinnya. Cara evaluasi dan pemantauan harus meliputi ibu maupun anak. 7 Meskipun ringan, cedera kepala yang terjadi pada wanita yang sedang hamil dapat mengancam kehidupan bagi ibu dan janinnya. Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama cedera kepala dan sering disertai dengan cedera lain seperti cedera perut. Pada wanita hamil, hal ini dapat berujung pada kematian akibat dengan cedera kepala berat dan syok perdarahan. Semua trauma terutama cedera kepala berpotensi bahaya pada kehidupan janin berhubungan dengan kelainan sistemik dan otak seperti hipotensi arterial akibat trauma, anoksia atau anemia. Selain itu prosedur diagnosis dan medikasi dapat membahayakan janin. Pengambilan keputusan dalam menyelamatkan nyawa pada lesi dienchephalon membutuhkan kerjasama antara dokter intensivis, dokter bedah saraf, dokter kebidanan dan kandungan, dokter anak dan dokter anestesi terutama pada keadaan koma yang tidak diketahui kapan penderita akan sadar kembali. Kebanyakan mekanisme cedera sama seperti penderita tidak hamil, namun ada perbedaan yang harus diketahui pada penderita hamil. Tujuh belas persen penderita hamil adalah cedera akibat ulah orang lain dan 60% penderita ini mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang berulang. 2-7 Beratnya trauma akan menentukan hasil akhir pada ibu dan anak. Karenanya cara terapi juga tergantung pada beratnya trauma yang dialami ibu. Semua penderita hamil yang mengalami cedera berat memerlukan terapi di pusat trauma yang mempunyai pelayanan obstetrik karena ada peningkatan angka kematiaan ibu dan anak pada kelompok ini. Delapan puluh persen penderita hamil yang cedera dan datang dalam keadaan syok, akan mengalami kematian bayi walaupun ibunya hidup. Bahkan penderita hamil dengan cedera ringan harus berhati-hati karena dapat mengalami solusio plasenta dan kematian bayi, sehingga perlu dilakukan pemantauan. Trauma langsung pada janin biasanya terjadi pada kehamilan lanjut dan umumnya disertai cedera berat pada ibu. 1-7 II.Subjek dan Metode Dilakukan penelitian observasional serial kasus, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala dan dilakukan operasi evakuasi hematoma di RS Dr. Hasan Sadikin-Bandung III. Hasil Kasus Kasus 1 Wanita 16 tahun yang sebelumnya sehat G1P0A0 datang dengan kehamilan minggu karena cedera kepala berat akibat terjatuh saat sedang menjemur pakaiannya dilantai dua. Setelah kejadian penderita sempat sadar dan mengeluh nyeri kepala tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Keluar darah atau cairan jernih dari jalan lahir. Tiga puluh menit kemudian penderita menjadi mengantuk dan sulit untuk dibangunkan, karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Astana Anyar Bandung, karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Gambar 1.

3 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill 3 Gambar.2 Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M4VT=7 pupil bulat anisokor diameter mata kanan lebih besar dan reflex cahaya mata kanan menurun di bandingkan mata kiri, disertai dengan anggota gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. Pemeriksaan Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan disertai dengan masalah biaya pada penderita ini. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan pemeriksaan urin didapatkan benda keton. Pemeriksaan rontgen leher dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa (Gambar 1 & 2). Kemudian diputuskan untuk dilakukan burr hole diagnostik dalam anestesi lokal dan bila hasilnya positif direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi dan dari bagian kandungan direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayi. Gambar. 4 Karena hasil burr hole positif kemudian dilakukan kraniotomi evakuasi dalam anestesi umum berbarengan dengan seksio sesarea (Gambar 3 & 4). Saat operasi didapatkan fraktur tulang tengkorak di daerah temporal dekstra, dan perdarahan epidural 50 cc dengan sumber perdarahan laserasi cabang arteri meningia media, duramater putih dan tidak ditemukan laserasi (Gambar 5 & 6). Dari seksio sesarea didapatkan bayi wanita, berat badan 1950 gr, dengan panjang 51 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit. Gambar. 5 Gambar. 3 Gambar. 6

4 4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari. Saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dan dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 4 E4M6V4: 14 disertai dengan lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kanan tetap besar disertai dengan reflex cahaya yang menurun, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 6 hari dan dipulangkan dengan keadaan perbaikan. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang paksa pada hari perawatan ke 3. Saat ini kedua penderita dalam keadaan baik. dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kiri dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 30 cc lisis 5 cc, dengan sumber perdarahan ruptur bridging vein, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 & 9) Kasus 2 Wanita 28 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A0 datang dengan kehamilan minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Purwakarta. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Tidak ada darah atau cairan jernih keluara dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Bayu Asih Purwakarta dan karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin. Gambar. 8 Gambar. 7 Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E1M4VT=6, pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher dan Gambar. 9 Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari, saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 14 E3M5V4: 12, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 7 hari dan dipulangkan dengan keadaan E4M6V4: 14, dan perbaikan.

5 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill 5 Gambar. 10 Selama dua minggu di rumah kondisi ibu mengalami perburukan karena terkena infeksi pada paru-parunya (Gambar 10) dan datang kembali pada saat usia kehamilan minggu dalam keadaan gagal nafas sehingga kemudian diintubasi dan dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayinya, penderita meninggal 6 jam pasca seksio sesarea. Dari seksio sesarea didapatkan bayi lakilaki, berat badan 2100 gr, dengan panjang 50 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang dalam keadaan perbaikan pada hari perawatan ke 21. Kasus 3 Wanita 26 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A1 datang dengan kehamilan minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Moh. Toha Bandung. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan disertai keluar cairan jernih atau darah telinga kiri. Ditemukan darah atau cairan jernih keluar dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian di bawa ke rumah sakit Sartika Asih, karena keterbatasan alat kemudian di rujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin. pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M5V2=9 pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kiri. Monitoring tanda vital ibu didapatkan tanda vital dalam keadaan normal sedangkan janin sudah meninggal di dalam rahim (Intrauterine fetal death= IUFD). Pemeriksaan laboratorium darah ibu didapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher tidak ditemukan garis fraktur, pemeriksaan rontgen dada didapatkan retak tulang clavicula kiri 1/3 tengah. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kanan dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 15 cc lisis 15 cc, dengan sumber perdarahan contusio serebri, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 dan 9). Kemudian diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari bagian kandungan tidak ada tindakan karena janin sudah meninggal. Gambar.12 Gambar. 11 Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan suction dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada

6 6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia Gambar.13 Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 20 hari, dan meninggal pada hari perawatan ke 21 akibat gagal nafas karena pneumonia. 1 CKB, Terjatuh (Mg) , latera lisasi (+) 2 CKB, KLL , latera lisasi (-) 3 CKB, KLL , latera lisasi Fraktur linier, EDH a/r TP kanan SDH a/r FTP kiri SDH a/r FTP kanan (+) Keterangan: CKB=Cedera Kepala Berat, KLL=Kecelakaan lalu lintas, EDH=epidural hematoma, SDH=Subdural hematoma, FTP=Fronto-Temporo-Parietal Tabel 2. Penanganan Ibu, Janin, GOS, APGAR Gambar. 14 Kasus Penangan an ibu 1 Burr hole diagnostik, kraniotomi evakuasi 2 Kraniektomi dekompresi 3 Kraniektomi dekompresi Tabel 1. Diagnosis klinis, diagnosa radiologis, usia ibu, usia kehamilan Kasus Diagnosis Usia Ibu (Th) Usia kehamil an GCS Radiologis Penanganan Janin Seksio sesarea Seksio sesarea (33-34 mg) Terminasi kehamilan Keluaran Ibu (GOS) 4, (hemipharese kiri) 1, (meninggal, pneumonia) 1, (meninggal, pneumonia) Keluaran janin APGAR score 1 =5, 5 =5, 10 = 8, BBL=1950 APGAR score 1 =5, 5 =5, 10 = 8, BBL=2050 IUFD Keterangan: BBL=Berat badan lahir, IUFD=Intra Uterine Fetal Death, GOS= Glasgow Outcome Score IV. Pembahasan Gambar. 15 Hasil penelitian terlihat pada tabel di bawah ini Cedera hebat pada penderita dengan kehamilan relatif jarang terjadi, akan tetapi, bila terjadi memberikan resiko dua kali lipat dibandingkan cedera tanpa kehamilan berupa ancaman keselamatan ibu dan janinnya. Segala tindakan harus dilakukan untuk mengevaluasi derajat cedera ibu dan melakukan pengobatan secara adekuat. Beberapa kasus telah dilaporkan tentang perawatan intensif pada ibu dengan kehamilan yang belum matang disertai dengan cedera kepala berat, kehamilannnya dipertahankan hingga bayinya cukup mampu untuk hidup diluar kemudian dilakukan terminasi kehamilan. Dari beberapa literatur diketahui hanya 12 kasus dengan penderita

7 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill 7 cedera berat yang melahirkan bayi dengan kondisi sehat. 4,5,6 Cedera otak traumatika atau cedera kepala di dunia hingga saat ini masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan pada populasi dibawah 45 tahun. 10 Berbagai penelitian eksperimental dan analisis klinis tentang biomekanisme cedera dan kerusakan jaringan telah menambah wawasan mengenai patofisiologi utama kejadian yang bertanggung jawab yang berperan dalam mendefinisikan penyebab atau melakukan strategi baru dalam pengobatanya. Klasifikasi cedera kepala yang banyak digunakan dan berdasarkan patokan klinis adalah klasifikasi menurut Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennet tahun Berdasarkan klasifikasi ini pula Valadka dan Narayan pada tahun 1996 mengelompokan cedera kepala menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR) bila GCS 14-15, cedera kepala sedang (CKS) bila nilai GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) bila nilai GCS Klasifikasi lain adalah berdasarkan mekanisme utama yang mana cedera otak traumatika dibagi menjadi 1) kerusakan otak fokal akibat cedera langsung pada otak berupa kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial dan 2) kerusakan otak difus akibat cedera akselerasi dan deselerasi berupa cedera axon difus atau edema otak. 10 Luaran pada cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang berbeda: a) Kerusakan primer (Primary insult, kerusakan mekanis) yang terjadi saat terjadi cedera. b) kerusakan sekunder (Secondary Insult, kerusakan non-mekanis yang tertunda) merupakan gambaran proses patologis yang dimulai saat cedera disertai dengan gejala klinis yang tertunda. Iskemia serebri dan hipertensi intrakranial merupakan penyebab kerusakan sekunder dan dalam pengobatan jenis cedera ini berespon terhadap pengobatan. 10 Pada ketiga kasus yang ditampilkan semuanya merupakan kasus cedera kepala berat yang memiliki penyebab yang berbeda yaitu kasus pertama akibat terjatuh, sedangkan kasus kedua dan ketiga akibat kecelakan lalu lintas. Dari temuan radiologis dan tindakan pembedahan didapatkan untuk kasus 1 adalah perdarahan epidural yang memiliki prognosis baik bila cepat dilakukan tindakan pembedahan dengan mortalitas berkisar 20-55% 13 dan pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan melakukan tindakan burr hole. Faktor lain yang berperan pada luaran perdarahan epidural adalah umur penderita yang relatif lebih muda dibandingkan dengan kasus 2 dan 3, dan tidak ditemukannya postur deserebrasi atau hilangnya reflex cahaya pada penderita ini. 13 Sedangkan untuk kasus 2 & 3, dari pemeriksaan radiologis didapatkan midline shift > 5mm, kompresi sisterna basal disertai perdarahan subdural merupakan prognosis buruk pada penderita cedera kepala berat yang disertai perdarahan intrakranial, menyebabkan angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-90% (51 % untuk GCS 6 & 7). Selain temuan radiologis diatas penyebab tingginya angka mortalitas perdarahan subdural antara lain pembedahan yang dilakukan >4 jam pascatrauma, mekanisme cedera akibat kecelakaan bermotor tanpa helm, usia lebih dari 65 tahun dan tekanan intrakranial >45 mmhg pascabedah. 13 Penyulit lain yang ditemukan pada kasus 2 & 3 adalah pneumonia, dan diduga terkait dengan defek imunitas pada sistem imunitas nonspesifik, makrofag dan fagosit, serta spesifik seluler dan humoral. Defek imunitas yang terjadi berupa 1) penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi, akibat supresi sel limfosit dalam mitogen, 2) menurunnya kemampuan limfosit B dalam memproduksi immuno-globulin, 3) menurunnya kemampuan selsel fagosit yaitu monosit dan netrofil dalam memusnahkan bakteri atau antigen lain, 4) Delayed type of hypersensitivity. Kondisi ini berlangsung segera setelah cedera kepala dan mencapai puncaknya pada hari ke sebelas setelah trauma dan akan pulih setelah tiga bulan, 14,15,16,17 sehingga pneumonia pada cedera kepala insidensinya mencapai 40 %-60 % 18,19 dan terutama terjadi dalam 3 hari pertama pada masa perawatan. 20,21 Keadaan ini menyebabkan perawatannya di ruang rawat intensif menjadi lama dan meningkatkan mortalitas hingga 50 %. 22 Di literatur disebutkan umumnya cedera kepala pada wanita hamil hampir selalu disebabkan oleh tindakan kekerasan dan 60% diantaranya merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga berulang 2,3,4,5,6 Ketiga pasien ini dilakukan tindakan kraniektomi untuk cedera kepalanya dengan atau tanpa tindakan seksio sesarea, memberikan resiko kematian dan kesakitan yang tinggi pada ibu dan janin terlepas dari besarnya usia kehamilan yang dialami ibu saat terjadinya cedera kepala. Suatu penelitian yang dilakukan di Negara Bagian Washington di Amerika Serikat didapatkan dari 693 wanita yang dirawat selama kehamilan dan mengalami cedera ringan akibat terjatuh memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelahiran sebelum waktunya (preterm), abruptio plasenta, kelahiran dengan induksi untuk ibu dan resiko untuk bayi mengalami fetal distress yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan yang tidak mengalami kecelakaan sebesar 2 kali lipat. 8 Untuk ibu, meningkatnya resiko kelahiran sebelum waktunya, terjadi karena kecelakaan menstimulasi kontraksi rahim, meskipun biomekanisme terjatuh mempengaruhi kontraksi rahim hingga saat ini

8 8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia belum pernah diteliti. Abruptio plasenta terjadi karena terjadi deselerasi tiba-tiba dari rahim yang menyebabkan hilangnya atau lepasnya penempelan plasenta dengan dinding rahim, beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan ketinggian dengan mekanisme abruptio plasenta, tetapi hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena ukuran tinggi saat terjadi kecelakaan ataupun terjatuh tidak diketahui ataupun tidak ditulis dalam laporan unit gawat darurat. Karena umumnya cedera yang terjadi pada ibu hamil tanpa disertai tanda kegawatan janin ataupun ibu berdasarkan monitoring selama di unit gawat darurat. 9 Untuk janin terjadinya abruptio placenta menyebabkan fetal distress dan hipoksia akibat menurunnya aliran darah ke uterus sehingga dapat berakhir dengan kematian janin. Hal ini lah yang menjadi alasan beberapa pusat kesehatan untuk merawat ibu hamil yang mengalami kecelakaan terutama bila usia kehamilan telah memasuki trimester ketiga, atau disertai dengan tanda kegawatan janin, perdarahan dari jalan lahir, atau mekanisme cedera yang hebat. Adapun kematian janin akibat cedera ibu berkisar 3,4 hingga 38 persen akibat abruptio plasenta, kematian ibu, dan syok pada ibu (Tabel 3). 9 Tabel 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian janin pasca trauma Ibu mengalami hipotensi ISS yang tinggi Terlempar dari kendaraan bermotor Ibu mengalami Fraktur pelvis Ibu tertabrak kendaraan bermotor Ibu mengkonsumsi alkohol Ibu berusia muda Tabrakan motor Ibu merokok Ruptur uteri Dikutip dari: Grossman NB. 9

9 Cedera Kepala Berat Pada Pasien Hamill 9 Tabel 4. Algoritma Manajemen Trauma pada wanita dengan kehamilan (adaptasi 9 ) Penanganan multidisiplin disertai dengan diagnostik dini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Dan terpenting dari semuanya adalah mencegah terjadinya kecelakaan pada ibu hamil. Daftar Pustaka 1. Piastra M, Pietrini D, Massini L, de Luca D, del Lungo LM, de Carolis MD, et al. Severe subdural hemorrhage due to minimal prenatal trauma: case report. J Neurosurg Pediatric 2009; 4 : Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD, Tubb RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical management of intracranial lesion in the pregnant patient: a 36-year institutional experience and review of a literature. Neurosurg 2009; 111: Muench MV, Canterino JC. Trauma in Pregnancy. Journal Obstet Gynecol Clin North Am 2007; 34: Weintraub AY, Leron E, Mazor M. The Pathophysiological of Trauma in Pregnancy: A review. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine 2006; 19(10): Subhas CH, Biswas GM. Trauma in Pregnancy: A 5-Year Prospective analysis of Feto-maternal outcome in tertiary centers. Journal Obstetric Gynecologic India 2004; 54(5): Sim Ki-Bum. Maternal persisten vegetative state with successful fetal outcome. Journal korean J

10 10 Jurnal Neuroanestesia Indonesia medical science The korean academy of medical science, 2001; 16: American College of Surgeons Committee on Trauma. Trauma pada Wanita. Dalam: Advanced Trauma Life Support for doctors student course manual Komisi Trauma IKABI;1997; Schiff M. Pregnancy outcomes following hospitalization for a fall in Washington State from 1987 to British Journal of Obstetric and Gynecology (BJOG) 2008;115: Grossman NB. Blunt Trauma in Pregnancy. American Family Physician Journal (AAFP) 2004;70: Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Br J Anaesth 2007;99: Valadka. AB, Narayan RK. Emergency room management of the head injury patient. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. The McGraw-Hill Companies, Inc. 1996; Teasdale GM. Mechanism of concussion, contusion and other efect of head injury. Dalam: Youman, eds. Neurological Surgery, 4 th ed. Vol 3. Philadelphia: W.B. Saunders Company; Greenberg MS. Head Trauma. Dalam: Greenberg MS, eds. Handbook of Neurosurgery. 7 th ed. New York: Thieme Medical Publisher; 2010, Smrcka M, Mrlian A, Klabusay M. Immune system status in the patients after severe brain injury. Bratislava Lekture Lysty 2005;106: Schmidt OI, Infanger M. The Role of neuroinflamation in traumatic brain injury. European Journal of Trauma 2004;3: Newsholme EA. Nutrition of Immune Cells: The Implication of Whole Body Metabolism. Dalam: Ptotein energy interaction. The International Dietary Energy Colsuntancy Group (I/D/E/C/G) 1991, Shapiro NI, Karas DJ. Absolute lymphocyte Count as a predictor of CD 4 count. Annual Emergency Medicine 1998, 32: Piek J, Chesnut RM, Marshall L F, Van Berkum- Clark M, Klauber MR. Extracranial complication of severe head injury. Journal of Neurosurgery 1992;77: Woratyla SP, Morgan AS, Mackay, Bernstein B, Barba C. Factors associated with early onset pneumonia in severly brain injured patients. J. Conn Med 1995;59: Berrouane Y, Daudenthum I, Riegel B, Emery MN, Martin G., Early onset pneumonia in Neurosurgical intensive care unit patients. J Host Infect 1998;40: Hsien AH, Bishop MJ, Kubilis PS, Newell DW, Pierson DJ. Pneumonia folowing closed head injury. J. Am Rev Respir Dis 1992;146: Rodriquez-Roldan JM, Altuna-Cuesta A, Lopez A, Garcia J, Martinez LJ. Prevention of nosocomial lung infection in ventilated patients: use of an antimicrobial pharyngeal nonabsorbable paste. J. Critical Care Medicine 1990;18:

11 LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI OUTCOME OF PATIENTS WITH INTRACEREBRAL AND INTRAVENTRICULAR HAEMORRHAGE AFTER AN EMERGENCY VP-SHUNT INSERTION Zafrullah Khany Jasa*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***) *) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh **) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Airlangga RSUD Dr.Soetomo Surabaya ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstract Background and Objective: Intraventricular and intracerebral haemorrhage is an acute condition that can occurs spontaneously due to hypertension or rupture of aneurism, and also can be occurs as a result from brain damage caused by trauma. Management in this acute condition can be done by either giving particular drugs or through surgical procedures. The aim of surgical procedure is to reduce a sudden increase of intracranial pressure as well as to evacuate hematome, in order to prevent functional neurology disturbance and damage. By performing this management, intracranial pressure is expected to decrease, and to reduce the risk of hydrocephalus resulted from an occlusion in brain ventricular system as one of the complication of intracranial haemorrhage. Subject and Method: Ventriculo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) was inserted during the first 72 hours after the event in 8 patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage due to stroke and trauma. Level of consciousness was assessed, by comparing the pre-operative and 72 hours post-operative using Glasgow Coma Scale (GCS), and the patient outcome was also assessed. Result: Six (75%) patients showed an increase GCS after VP-Shunt insertion, with 4 of them can be discharged from the hospital, whilst 4 patients died due to other complications. Conclusion: VP-Shunt insertion in acute condition in patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage is considered to be useful in accelerating the level of consciousness, even though the overall outcome of the patients is not significantly different. Keywords: intraventricular haemorrhage, intracerebral haemorrhage, Ventriculo-Peritoneal Shunt JNI 2102;1(3): Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraventrikuler dan intraserebral merupakan kejadian akut yang dapat timbul spontan terutama akibat hipertensi dan aneurisma yang pecah atau oleh karena cedera kepala akibat trauma. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan dapat berupa pemberian obat-obatan ataupun tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat mendadak dan mengeluarkan hematoma untuk segera memperbaiki gangguan fungsi dan mencegah kerusakan neurologis lebih berat. Tindakan ini diharapkan dapat menurunkan tekanan intrakranial serta mengurangi resiko timbulnya hidrosefalus akibat tersumbatnya sistem ventrikel di otak sebagai salah satu kompilkasi dari perdarahan intrakranial. Subjek dan Metode: Telah dilakukan tindakan pemasangan Ventrikulo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) pada 8 orang pasien yang mengalami perdarahan intraventrikuler atau perdarahan intraserebral oleh karena stroke dan trauma dalam 72 jam pertama setelah timbulnya gejala. Dilakukan perbandingan terhadap GCS awal sebelum operasi dan 72 jam setelah operasi serta luaran terhadap pasien terebut. Hasil: Didapatkan bahwa 6 orang pasien (75%) terjadi peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt. Dari pasien yang mengalami perbaikan GCS didapatkan selanjutnya 4 orang (50%) dipulangkan dan 4 pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi. Simpulan: Tindakan VP-Shunt pada keadaat akut terhadap pasien perdarahan intraventrikuler dan intraserebral diduga dapat memperbaiki tingkat kesadaran meskipun luaran pasien tidak menunjukkan perbedaan bermakna Kata Kunci: Perdarahan Intraventikuler, Perdarahan Intraserebral, Ventrikulo-Peritoneal Shunt JNI 2102;1(3):

12 2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia I Pendahuluan Perdarahan intraserebral (Intra Cerebral Haemorrhage) atau ICH merupakan problem kesehatan utama diberbagai negara dengan insiden bervariasi antara dalam setiap populasi dan 10-30% dari stroke yang dibawa kerumah sakit. Angka kematian cukup tinggi yaitu 50% dalam 30 hari dan separuhnya meninggal dalam 24 jam pertama setelah perdarahan awal. Lebih dari 40% kasus perdarahan meluas sampai ke intraventrikuler (Intra Ventriculer Haemorrhage) atau IVH yang menimbulkan hidrosefalus obstruktif sehingga memperburuk luaran. 1-4 Lebih dari 85% ICH timbul primer dari pecahnya pembuluh darah otak yang sebagian besar akibat hipertensi kronik (65-70%) dan angiopathy amyloid. Sedangkan penyebab sekunder timbulnya ICH dan IVH bisa oleh karena berbagai hal yaitu gangguan pembekuan darah, trauma, malformasi arteriovenous, neoplasma intrakranial, trombosis atau angioma vena. 3 Morbiditas dan mortalitas ditentukan oleh berbagai faktor, sebagian besar berupa hipertensi, kenaikan tekanan intrakranial, luas dan lokasi perdarahan, usia, serta gangguan metabolisme serta pembekuan darah. ICH merupakan kegawat daruratan derajat pertama yang dapat dengan segera menimbulkan kematian sehingga diagnosis dan penatalaksanaannya perlu dilakukan dengan segera. Penatalaksanaan awal dilakukan sejak di unit gawat darurat yaitu mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan optimalisasi oksigenasi segera. Gangguan respirasi dan GCS awal rendah (<8) biasanya membutuhkan tindakan intubasi segera. Tindakan pada tahap awal adalah memberikan obat-obatan yang mengendalikan tekanan darah sambil tetap mempertahankan perfusi otak, mengatasi kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan mendadak, kontrol suhu dan mencegah kejang. 5-7 Tindakan pembedahan dilakukan untuk mengeluarkan hematoma melalui kraniotomi evakuasi hematoma atau dengan extraventrikuler drainage (EVD). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang bermakna terhadap perbaikan fungsi neurologis setelah tindakan pembedahan dalam 72 jam setelah timbulnya perdarahan. Pembedahan dapat mempertahankan kehidupan pada 96% kasus dibandingkan 81% yang dapat dipertahankan hidup hanya dengan terapi obat-obatan. Umur harapan hidup dalam 3 bulan juga lebih tinggi pada kasus yang dilakukan tindakan pembedahan. 6-8 Timbulnya IVH yang kemudian disertai komplikasi hidrosefalus memperburuk luaran pada ICH spontan. Hampir 50% dari kasus ICH timbul hidrosefalus terutama pada pasien yang berusia lebih muda dan GCS yang lebih rendah Angka komplikasi hidrosefalus yang cukup tinggi setelah kejadian perdarahan intraserebral serta kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan luaran yang lebih buruk sehingga tindakan Ventricular-Peritoneal Shunt atau VP- Shunt segera, berpeluang memperbaiki luaran. II. Subjek dan Metode Pasien penelitian adalah pasien dengan kasus perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler yang timbul spontan atau oleh karena trauma dalam kurun waktu 3 bulan selama Juli sampai September 2011 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Gambaran CT-Scan kepala awal dijumpai perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler atau kombinasi keduanya (Gambar-1). Pada 3 orang pasien diduga sudah mulai dijumpai hidrosefalus. Setelah tindakan resusitasi dan stabilisasi terhadap kondisi awal pasien kemudian dalam 72 jam pertama dilakukan tindakan pembedahan yaitu pemasangan VP-shunt segera. Tidak dilakukan tindakan pembedahan lainnya terhadap lesi intrakranial dan tidak didapat cedera di bagian ditubuh lainnya (multi trauma). Semua pasien dirawat di Unit Terapi Intesif (Intensive Care Unit /ICU) setelah operasi dan dilakukan pemberian obat-obatan untuk mengatasi hipertensi, kenaikan tekanan intrakranial, pengendalian kadar gula darah serta masalah lainnya seperti gangguan elektrolit, aritmia dan kenaikan suhu. Dilakukan observasi dan pencatatan data terhadap GCS awal sebelum pembedahan, kemudian 72 jam setelah pembedahan dan luaran pasien (angka kehidupan). III. Hasil Selama waktu penelitian didapatkan 8 orang pasien dengan perdarahan intraserebral dan atau perdarahan intraventrikuler yang dilakukan tindakan VP-Shunt dalam 72 jam pertama setelah kejadian perdarahan. Hanya 3 orang pasien yang diduga sudah timbul hidrosefalus sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Pada pemeriksaan awal dijumpai 4 pasien (50%) dengan GCS 8 atau lebih rendah, dan 4 pasien lainnya GCS diatas 8 (Tabel 1).

13 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency 3 Tabel 1. Pemeriksaan GCS awal pasien GCS Awal Jumlah % > GCS: Glasgow Coma Scale III. Pembahasan Sebagian besar GCS awal pasien dengan perdarahan intraserebral dan intraventrikuler adalah 8 atau lebih rendah. Oleh karenanya Gambar 1: CT Scan Pasien ICH dan IVH sebaiknya dipisah dan diberi tanda dengan nomor pasiennya dan diagnosa CT-scannya Tabel 2. Perbaikan GCS setelah pemasangan VP-Shunt GCS setelah pemasangan VP Jumlah %-ase Shunt Meningkat 6 75 Tetap atau menurun 2 25 GCS: Glasgow Coma Scale Hasil observasi terhadap perbaikan GCS pascaoperasi dijumpai meningkat pada 6 orang pasien (75%) setelah 72 jam pascapemasangan VP-Shunt (Tabel 2). Pasien yang tidak mengalami peningkatan GCS adalah dengan GCS awal dibawah 8 disertai komplikasi hiperglikemia, hipertermia dan pneumonia yang diduga berhubungan dengan pemakaian ventilator. Tabel 3. Luaran pasien setelah pemasangan VP-Shunt Luaran Pasien Jumlah %-ase Pulang karena perbaikan 4 50 Meninggal 4 50 tindakan resusitasi pada tahap awal ditujukan terutama terhadap mempertahankan jalan nafas dan pernafasan serta mengoptimalisasi perfusi kardiovaskular untuk mencegah hipoksia dan kenaikan tekanan intrakranial yang mendadak. Pada tahap awal kejadian perdarahan intraserebral dan intraventrikuler dengan GCS 8 atau kurang maka harus dilakukan intubasi endotrakea serta bantuan ventilasi untuk menurunkan kebutuhan metabolisme otak serta mengontrol tekanan intrakranial. 3,4,7 Pasien pada penelitian ini semuanya dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi segera pada GCS dibawah 8, sedangkan 6 pasien setelah operasi pemasangan VP-Shunt tetap dipertahankan intubasi dan bantuan ventilasi selama 24 jam pascaoperasi. Kemudian pasien dinilai kembali setelah 24 jam pemasangan VP-Shunt untuk dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut. Hampir semuanya

14 4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia dilakukan pembedahan dalam 24 jam pertama setelah kejadian perdarahan dan hanya 1 orang yang dilakukan setelah 24 jam tetapi masih dibawah 72 jam pertama. Satu orang pasien adalah pascaoperasi kraniotomi evakuasi tumor dengan perburukan akibat komplikasi perdarahan intraserebral yang timbul setelah 24 jam observasi di ICU. Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang dapat menunjukkan gambaran perbedaan luaran pasien dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler yang dilakukan VP-Shunt segera untuk komplikasi hidrosefalus yang sering timbul setelah perdarahan akibat tersumbatnya sistem ventrikel. Tindakan VP-Shunt diharapkan juga mampu mengendalikan tekanan intrakranial yang meningkat. Penelitian oleh Andrew Whitelaw terhadap bayi dengan perdarahan intraventrikuler yang diberikan perbedaan terapi obat-obatan dan dilakukan VP-Shunt pada semua pasien tidak menunjukkan perbedaaan luaran yang berbeda. 11 Dilaporkan 2 kasus terjadinya perdarahan intraserebral setelah pemasangan VP-Shunt oleh karena hidrosefalus meskipun hal ini jarang sekali terjadi. 12 Hasil observasi terhadap 6 pasien yang mengalami perbaikan GCS menunjukkan adanya manfaat tindakan VP-Shunt yang dilakukan segera. Namun jumlah pasien yang cukup besar mungkin diperlukan untuk menentukan manfaatnya secara lebih jelas. Pasien yang dipulangkan karena mengalami perbaikan adalah 4 orang (50%) dengan 2 orang pulang GCS diatas 14 pada hari ke 7 dan 8 perawatan. Dua orang lainnya pulang setelah hari ke 19 dan 21 paca perawatan dengan GCS waktu pulang 9 dan 12. Semua pasien yang pulang adalah yang mengalami peningkatan GCS setelah dilakukan pemasangan VP-Shunt. Empat pasien meninggal yaitu 2 pasien meninggal pada hari ke 5 rawatan, 1 orang hari ke 7 rawatan dan 1 orang hari ke 17 rawatan (Tabel 3). Meskipun 2 orang pasien mengalami peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt pada perawatan di ICU mengalami perburukan oleh karena memiliki predisposisi hipertensi dan diabetes mellitus serta timbul komplikasi lebih lanjut yaitu pneumonia, hiperglikemia dan hipertermia. Hal ini diduga berhubungan dengan perawatan pasien selama masa kritis di ICU, penggunaan antibiotika yang adekuat serta terapi obat-obatan lainnya. Penelitian terhadap 586 pasien di 30 negara didapatkan bahwa mortalitas dalam 3 bulan pada pasien dengan perdarahan intraserebral adalah 34%. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa pasien meninggal 31% pada hari ke 7, 59% dalam 1 tahun, 82% pada 10 tahun, dan 90% lebih meninggal sampai 16 tahun kemudian. Suatu studi observasional terhadap 25 pasien perdarahan intraventrikel yang disertai hidrosefalus obstruktif yang dilakukan evakuasi perdarahan secara endoskopi menunjukkan perbaikan hidrosefalus pada 24 pasien (96%). Pada penelitian lainnya evakuasi perdarahan intraventrikular secara endoskopi menunjukkan angka perbaikan yang tinggi selama 2 bulan kemudian dibandingkan dengan melakukan tindakan drainase eksternal ventrikuler saja. 1 Berbagai hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa bila tindakan VP-Shunt dilakukan secara tepat maka luaran pasien dapat meningkat. Pada observasi pasien penelitian dijumpai peningkatan GCS yang bermakna pada 75% penderita meskipun secara jumlah sampel penelitian masih sangat kurang. Namun tindakan VP-Shunt yang dilakukan terlihat bermanfaat untuk menaikkan GCS pada awal perawatan pasien. Luaran yang sama antara pasien yang mengalami perbaikan dan akhirnya dipulangkan serta pasien yang meninggal pada sampel penelitian diduga dipengaruhi oleh mulitfaktor selama perawatan. Perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan ulang sehari setelah pemasangan VP-Shunt untuk mengevalusi timbulnya komplikasi (meskipun sangat jarang) perdarahan sekunder akibat tindakan pemasangan kateter serta resolusi dari hidrosefalus. 12 Pemberian obat-obatan selama perawatan sangat berpengaruh terhadap luaran pasien setelah pemasangan VP-Shunt. Pemberian terapi neuroprotektif, antikonvulsi, terapi homeostatik, cairan, nutrisi, pengendalian kadar gula darah dan suhu, pencegahan thrombosis serta pencegahan peningkatan tekanan intrakranial merupakan berbagai hal yang sangat kompleks dan saling berperan dalam perawatan pasien pasca perdarahan intraserebral dan intraventrikuler. 1,2,5 Kombinasi berbagai terapi diatas sebenarnya dapat diberikan namun membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga menimbulkan masalah utama pada pasien yang tidak mampu secara ekonomi untuk membeli semua obat-obatan yang dibutuhkan. Hal ini yang membuat luaran pasien menjadi berbeda pada banyak penelitian diberbagai negara. IV. Simpulan Pembedahan segera terhadap perdarahan intraserebral dan atau perdarahan intraventrikel yang dilakukan VP-Shunt segera dapat memperbaiki derajat kesadaran dalam 72 pasca tindakan. Hal ini dihubungkan dengan komplikasi

15 Luaran Pasien dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang dilakukan VP-Shunt Emergency 5 hidrocephalus yang sering timbul setelah terjadi perdarahan. Namun luaran pasien tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini disebabkan komplikasi lainnya yang timbul seperti pneumonia, hiperglikemia atau hipertermia. Perlu dilakukan studi retrospektif dalam kurun waktu lebih lama dengan jumlah pasien yang lebih besar untuk lebih mempertegas perlunya dilakukan tindakan VP-Shunt segera pada perdarahan intraserebral atau intraventrikel. Hasil observasi deskriptif ini dapat menjadi bahan penelitian lebih lanjut untuk mencari bukti manfaat tindakan VP-Shunt segera pada perdarahan intraserebral dan perdarahan intraventrikel. Daftar Pustaka 1. Qureshi AI, Mendelow AD, Hanley DF. Intracerebral haemorrhage. The Lancet 2009; 373: Mayer SA, Rincon F. Treatment of intracerebral haemorrhage. The Lancet Neurology 2005; 4: Elliott J, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage: a clinical review. Anesth Analg 2010; 110: Hanley DF. Intraventricular hemorrhage severity factor and treatment target in spontaneous intracerebral hemorrhage. AHA Journal; 2009: Flower O, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage. Current Opinion in Critical Care 2011; 17: Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR. Advances in the management of spontaneous intracerebral hemorrhage. Critical Care Clinics. 2007; 22: Broderick JP, Adams HP, Barsan W, Feinberg W. Guidelines of the management of spontaneous intracerebral hemorraghe. Stroke. 1999; 30: Rincon F, Mayer SA. Clinical review: critical care management of spontaneous intracerebral hemorrhage. Ciritical Care. 2008; 12: Bhattathiri PS, Gregson B, Prasad KS. Intraventricular hemorrhage and hydrocephalus after sponteous intracerebral hemorrhage: results from the STICH trial. Acta Neurochirurgica. 2006; 96: Diringer MN, Edwards DF, Zazulia AR. Hydrocephalus: a previously unrecognized predictor of poor outcome from supratentorial intracerebral hemorrhage. Stroke. 1998; 29: Whitelaw A, Evans D, Carter apa??. Randomized Clinical Trial of prevention of hydrocephalus after intraventricular hemorrhage in preterm infants: brain washing versus tapping fluid. Pediatrics. 2007; 119(5): 12. Zhou F, Liu Q, Ying G. Delayed intracerebral hemorrhage secondary to ventriculoperitoneal shunt: two case reports and a literature review. International Journal of Medical Sciences. 2012; 9(1): 65-7

16 PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK PADA ANAK MANAGEMENT OF BRAIN TRAUMA IN CHILDREN Muhammad AR *), Nazaruddin Umar *), Siti Chasnak Saleh **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU /RSUP. H. Adam Malik Medan Sumut Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya Abstract Head trauma (TBI) in children is a particular problem in neuroanestesi. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as children who are experiencing brain development / growth. In the event of trauma will cause mortality and morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of children. Skull fracture, epidural hemorrhage, subdural and intracerebral, brain edema may lead to an effect on growth and other organ. A boy, 4 years 10 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after falling from a vehicle due to traffic accidents. Come to the hospital approximately 6 hours after the accident, previously treated in nearly hospitals. On examination 10 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +, hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an additional examination brain damage due to trauma (GCS 10) + obtained frontoparietal bone fracture open fracture of the right frontal bone fracture + left + contusio hemorrhagic + anemia. Surgical debridement and correction of the broken bone fragments under general anesthesia. Post surgery patients cared for in ICUs with increased awareness, things got better. Then the patient at discharge after 15 days. Anesthesia management in head trauma the child has special problems that are different from adults. It is necessary to an understanding of the anatomy, physiology and psychology are both in preparation and stylists specifically so as to prevent or reduce the likelihood of postsurgery complications. Keywords: Head Trauma, Anesthesia in children, Anemia JNI 2102;1(3): Abstrak Trauma kepala (TBI) pada anak merupakan suatu problem khusus dalam neuroanestesi. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, disamping otak anak yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan. Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas dan morbilitas serta angka kecatatan yang lebih tinggi, yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Patah tulang kepala, perdarahan epidural, subdural dan intracerebral, edema otak akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan berefek pada organ-organ lain. Seorang anak laki-laki, 4 tahun 10 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah terjatuh dari kendaraan karena kecelakaan lalu lintas. Datang ke rumah sakit lebih kurang 6 jam setelah kecelakaan, sebelumnya dirawat di rumah sakit terdekat. Pada pemeriksaan didapat GCS 10, pupil isokor 2/2mm, reflek cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan didiagnosa kerusakan otak karena trauma (GCS 10) + didapatkan fraktur terbuka tulang frontoparietal kanan + fraktur tulang frontal kiri kontusio hemorrhagik + anemia. Dilakukan operasi debridemen dan koreksi fragmen tulang yang patah dengan bantuan anestesi umum. Pascabedah pasien di rawat di ICU dengan kesadaran meningkat, keadaan membaik. Kemudian pasien di pulangkan setelah 15 hari perawatan. Penanganan anestesi pada trauma kepala anak mempunyai problem khusus yang berbeda dengan dewasa, maka perlu pemahaman tentang anatomi, fisiologi dan psikologi yang baik dalam persiapan dan penatalaksanaan yang khusus sehingga dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit post operasi. Kata Kunci : Trauma Kepala, Anestesi pada anak, Anemia JNI 2102;1(3): I. Pendahuluan Trauma kepala pada anak sering menyebabkan kematian dan kecacatan, kecacatan akan mempengaruhi tumbuh kembangnya anak baik fisik maupun mental dikemudian hari. Adanya perbedaan anatomi fisiologi dan psikososial akan menjadi masalah khusus pada penanganan trauma 1

17 pada anak khususnya trauma kepala baik penatalaksanaan sebelum, selama dan setelah operasi. 1,2 Trauma multipel pada anak sering mengenai kepala. Kematian trauma pada anak sering disebabkan trauma kepala. Akibat terjatuh, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan ditempat bermain dan lain-lain sering menyebabkan trauma kepala pada anak. 3-5 Trauma kepala pada anak bisa disebabkan oleh satu injuri atau kombinasi berbagai injuri di kepala berupa luka pada kulit kepala, fraktur tulang tempurung kepala, fraktur tulang dasar tengkorak, kontusio serebri, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, hematom epidural, hematom subdural, perdarahan intraventrikular, trauma tembus dan trauma aksonal menyeluruh. 4,5 Sasaran dari penanganan pasien dengan trauma kepala adalah mengenal dan menangani secepatnya keadaan yang mengancam jiwa, dan mencegah atau meminimumkan terjadinya kerusakan otak sekunder (ABCDE neuroanestesi), 10-15% trauma kepala menyebabkan kematian anak sebesar 50%. Penanganan dalam hal ini bertujuan untuk membatasi berlanjutnya cedera primer dan mencegah atau meminimalkan cedera sekunder. 3-5 II. Kasus Anak laki-laki, umur 4 tahun 10 bulan, berat badan 22 kg, datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini dialami pasien sejak setelah terjatuh dari sepeda motor karena kecelakaan lalu lintas, sepeda motor yang ditumpangi korban ditabrak oleh mobil angkutan umum ± 5 jam sebelum masuk rumah sakit, awalnya pasien dirawat dirumah sakit terdekat (rumah sakit Pertamina Pangkalan Brandan Sumut) ± 100 km dari Medan, karena kekurangan fasilitas kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit di Medan dengan menempuh jalan darat 2-3 jam perjalanan dengan menggunakan mobil ambulan. Pasien tiba di rumah sakit Medan ± 5 jam setelah kejadian. Riwayat penyakit terdahulu tidak dijumpai, pengobatan yang telah diberikan dirumah sakit Pertamina oksigen 2-3 l/menit selang-hidung, infus Ringer asetat diguyur 1500cc, kemudian dilanjutkan dengan 10 tetes/menit, antibiotika Cefotaxim 300 mg intravena, Ranitidin ½ ampul intravena, Ketorolac 15 mg intravena, Asam tranexcanat ½ ampul intravena, Tetanus toxoid 0,5 cc. Pemeriksaan fisik: Nafas spontan, jalan nafas bebas, Malampati I, laju nafas 20x/menit, nafas teratur, suara nafas tambahan tidak dijumpai, gerak nafas tidak dijumpai, saturasi oksigen 100%, tekanan darah 110/70 mm Hg, laju nadi 96x/menit, perfusi pucat hangat kering, suara jantung 1 dan 2 tunggal teratur suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 10, pupil isokor 2/2 mm, reflek cahaya +/+, tidak dijumpai lateralisasi. Saluran makanan, saluran kemih, dan alat gerak dalam batas normal. Tidak dijumpai trauma ditempat lain. Kepala dibalut perban tampak berwarna kemerahan. Pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin 8,3 gr/dl, Ht 25% (dirumah sakit Pertamina). Hb 6,3 gr/dl, Ht 18% (dirumah sakit Medan), trombosit / mm 3, Natrium 134 mmol/l, Kalium 3,8 mmol/l, Cl 106 mmol/l. CT Scan kepala: perdarahan subaraknoid didaerah frontal kiri-kanan dan parietal kanan, juga tampak fraktur impressi dari tulang parietal kanan, dan fraktur tulang frontal kiri + edema serebri. Foto Ronsen dada: jantung dan paru dalam batas normal tidak tampak patah tulang rusuk dan tidak tampak pneumotorak. Diagnosa: Traumatic brain injury GCS 10 + Fraktur terbuka impressi tulang parietal kanan dan fraktur tertutup tulang prontal kiri + perdarahan subaraknoid didaerah frontal kiri-kanan dan parital kanan + edema cerebri + anemia. Rencana tindakan: Operasi debridemen dan koreksi fragmen tulang yang patah. Masalah : a. Cedera otak traumatika dengan tekanan intrakranial yang meningkat b. Anak-anak c. Anemia Gambar Preoperasi 2

18 Gambar CT Scan : Gambar Monitoring Selama operasi Gambar Lapangan Operasi Penatalaksanaan Anestesi 1. Persiapan Penjelasan ke keluarga tentang rencana dan tujuan tindakan operasi, prognosa dan komplikasi yang mungkin terjadi, pembuatan izin operasi. Persiapan darah: WB dan PRC, kamar operasi alat dan obat-obatan, ICU: alat monitoring ventilator bila perlu. 2.Prosedur Anestesi Jalur intravena sudah terpasang di vena radialis kiri sejak dari RS Pertamina dengan infus NaCl 0,9 %, ditambah 1 jalur intravena lagi ditempat lain untuk rencana tranfusi. Dipasang alat monitor tekanan darah non-invasif, denyut jantung, saturasi oksigen, EKG, precordial stetoskop, kateter urine, Et CO 2. Posisi terlentang, kepala ditinggikan Induksi: diberikan preoksigenasi 100% O 2, Fentanyl 25 µg, midazolam 2,5 mg, propofol 50 mg, rocuronium 20 mg, lidokain 2% 30 mg intravena, dilakukan ventilasi dengan O 2 100%. Intubasi: - Pipa endotrakheal no 5, non kinking, cuff, dipasang tampon. Pemeliharaan Anestesi : Sevofluran 0,5 1,5 % + O 2 5 L/menit + N 2 O 2 L/menit (tidak tersedia udara tekan), kontrol Ventilasi dengan target normokapnia. Manitol 20 % sebanyak 50 cc diberikan dalam 20 menit sebelum insisi kulit. Operasi berlangsung 2 jam 30 menit dengan monitoring selama operasi sebagai berikut : Tekanan Darah : / mmhg, Laju Jantung: kali per menit, Saturasi oksigen: %, Entidal CO 2 : mmhg Pendarahan: ± 500 cc lama dan baru, Urine 750 cc, Cairan masuk: NaCl 0,9 % 1000 cc, Manitol 20 % 50 cc, Koloid (berupa hydroxyl ethyl starch) 200 cc, Darah WB 750 cc, Darah PRC 250 cc Pascabedah Setelah operasi pasien dipindahkan ke ICU nafas spontan dengan ETT. Hari pertama pascabedah dini: Laju nafas 20 kali/menit, SpO %, suara nafas tambahan tidak dijumpai, tekanan darah 110/60 mmhg, laju nadi 88/mnt, perfusi hangat, kering, pucat, kesadaran belum bisa dinilai, Hb: 8,9 gr/dl, Ht: 26, Leukosit: 14400/mm 3, Trombosit /mm 3, Na: 134, K: 4,2, Cl: 106 Terapi: kepala ditinggikan 15 o, infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, tranfusi PRC 250 cc 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, proteksi otak, Vit C, fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc perjam dengan syringe pump. 4 Jam pascabedah: nafas spontan, laju nafas 18 kali, tidak ada suara tambahan, tekanan darah 120/70 mmhg, Nadi 88 kali/menit, SpO 2 99 %, GCS: 3x4, pupil isokor 2/2 mm, lateralisasi (-), Hb: 11,3 gr/dl, 3

19 Ht: 34%, Leukosit: 8700/mm 3, Trombosit: /mm 3. Dilakukan ektubasi. Selanjutnya evaluasi dan terapi hari kedua dan seterusnya seperti terlihat pada tabel berikut: Hari Pemeriksaan Penilaian Perencanaan II GCS 345. Pupil Isokor, 2/2, RC + / +, Lateralisasi Ө, Laju nafas 18 kali/mnt, SpO %, Tekanan darah 115/70, Nadi 85 kali, perfusi baik, demam (-), urine cukup. Hb 12,4 gr/dl, Ht 36 % Ada perbaikan infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, fentanil 200 µg + midazolam 15 mg dilarutkan dalam 50 cc NaCl 0,9 %, diberikan 2 cc perjam dengan syring pump III GCS 445. Pupil Isokor, RC +/+, Lateralisasi (- ), laju nafas 18 kali/mnt, SpO %, tekanan darah 110/70 mmhg, Nadi 88 kali, perfusi baik, urine cukup. GCS 445, pupil isokor 2/2, Reflek cahaya +/+, lateralisasi (-) Kejangkejang (+) 3x Laju nafas 18x/mnt, SpO 2 100%, Tensi 110/70, nadi 86x/mnt, perfusi baik, urine cukup, temperatur 38,5 0 C, Na 121 mmol/l, Kalium 4,5 mmol/l, Cl :36 mmol/l, kadar gula darah 104 miftal, Ada perbaikan Kejangkejang 3x, Demam (+) Hyponatr emia Terapi : infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl+Midaz olam, dikurangi bertahap, habis stop. Terapi tambahan: Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syring pump Dilantin : Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj 500 mg kp Koreksi Na NaCl 3% 150cc dalam 24 jam IV V VI s/d VIII pencukupan gas darah :PH 7,374, PCO 2 40, HCO 323,8, LCO 2 tabel 25,2, LBE 3,3, SpO 2 98% Kejangkejang (+), GCS 445, pupil isokor 2/2, RC +/+, laju nafas 18 kali/mnt, tekanan darah : 100/70, Laju nadi 96 kali, SpO 2 : 98 %, Temp. 36,8 0 C, urine cukup Kejangkejang (-) GCS 456 pupil isokor 2/2, RC +/+, lateralisasi (), Na 135, nafas 18x/mnt,SpO 2 99%, K = 3,8, Cl = 106, tekanan darah 110/60, nafas 80x/mnt, temp 36,7 0 C Sadar baik Nafas normal Hemodinamil stabil Urine cukup Kejangkejang (+) Demam (-) Kesadara n membaik Kejangkejang (-) Demam (-) infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Fentanyl stop, Midazolam dikurangi bertahap, habis stop. Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac 50 cc dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 1 cc per jam syringe pump Dilantin: Novalgin 300 mg intravena k/p Paracetamol Inj 500 mg kp Terapi: infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Totilac stop Propofol stop Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik, anti pendarahan, Vit C, Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin 1/3 ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv 4

20 IX s/d XV Pindah Ruang Sadar baik nafas normal Hemodinamik stabil Urine cukup Kejangkejang (-) Demam (-) Dipulangkan III. Pembahasan infus NaCl 0,9 % 10 tetes/mnt, antibiotik stop, anti pendarahan stop, Vit C stop, Stesolid rectal 5 mg, Phenitoin stop ampul per 8 jam Dilantin 30 mg Oral/8jam + B6 Pulv Adanya perbedaan anatomi, fisiologi, dan psikososial pada anak, menyebabkan perbedaan dalam penanganan baik pada pemeriksaan, penegakkan diagnosa, penggunaan alat-alat dan obat-obatan, sehingga menjadi suatu masalah khusus dalam neuroanestesi. 1,3,4 Perbedaanperbedaan tersebut dapat menyebabkan pada anak lebih mudah terjadi 2,3,9 trauma kepala karena kepala lebih besar dibandingkan dengan badan yang secara gravitasi kepala lebih duluan kena benturan, tulang kepala lebih tipis yang mengurangi proteksi isi tengkorak. Jaringan neural yang sedikit mengandung mielin yang menyebabkan jaringan saraf mudah rusak, pada anak lebih sering terjadi injuri yang diffus dan edema otak, dan peningkatan tekanan intrakranial lebih mudah terjadi. Dilihat dari segi fisiologi dan metabolisme: CMRO 2, aliran darah otak dan autoregulasi serebral. CMRO 2 pada anak 5,8 ml/100 gr jaringan/mnt, lebih tinggi daripada dewasa 3,5 ml/100 gr jaringan/mnt, sedangkan kebutuhan glukosa pada anak 6,8 ml/100 gr jaringan/mnt yang lebih tinggi dari perbandingan dewasa yaitu 5,5 ml/100 gr jaringan/mnt, aliran darah otak berubah menurut umur pada anak 3 sampai 12 tahun. Aliran darah otak 100 ml/100 gr jaringan/mnt lebih tinggi dari dewasa sekitar 53 ml/100 gr jaringan/mnt, dari hal di atas pada anak lebih cepat terjadinya iskemik dan hiperemia jaringan otak. 3 Disamping juga terdapat perbedaan dalam fisiologi respirasi dan sirkulasi pada anestesi anak umumnya. Dalam hal perbedaan tersebut diatas maka pengelolaan trauma kepala pada anak haruslah kita mengikuti/menyesuaikan dengan halhal tersebut diatas, baik pada pemeriksaan atau penanganan sebelum, selama dan setelah operasi. Pecahnya tulang kepala pada anak dapat disebabkan oleh bermacam sebab seperti trauma lahir kecelakaan lalu lintas trauma di tempat bermain kecelakaan rumah tangga. Fragmen tulang yang patah dapat menekan jaringan otak, terbukanya rongga kepala ataupun dapat berupa fraktur tulang dasar tengkorak, ini akan meningkatkan angka kematian dan kecacatan. 7 Bentuk cedera lain dari trauma kepala pada anak dapat berupa hematom epidural, subdural dan intraserebral, kontusio serebri dan edema serebri yang semuanya akan meningkatkan tekanan intrakranial. Penilaian sebelum operasi sangat terbantu dengan pemeriksaan CT-scan sehingga dapat menilai kerusakan-kerusakan jaringan otak yang terjadi dan tanda-tanda peningkatan intrakranial. Glasgow Coma Scale (GCS) Skor (GCS yang dimodifikasi untuk anak umumnya dapat digunakan untuk penilaian status neurologis, yang tabelnya dapat dilihat dibawah ini. 6 Tabel 1. Skala Koma Glasgow pada Anak: Buka mata Nilai 1 Tahun 0-1 Tahun 4 Buka mata secara Buka mata secara spontan spontan 3 Buka mata atas perintah suara 2 Buka mata atas respon nyeri Buka mata atas perintah seruan Buka mata atas respon nyeri 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R. 6 Tabel 2. Skala Koma Glasgow pada Anak: Gerakan Motorik Nilai 1 Tahun 0-1 Tahun 6 Mengikuti Perintah Mengikuti Perintah 5 Dapat melokalisasi nyeri Dapat melokalisasi nyeri 4 Gerakan Fleksi Gerakan Fleksi 3 Fleksi Abnormal Fleksi Abnormal 2 Gerakan Ekstensi Gerakan Ekstensi 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R. 6 5

21 Tabel 3. Skala Koma Glasgow pada Anak: Respon Suara Nilai > 5 Tahun 2-5 Tahun 0-2 Tahun 5 Berkomunikasi dan berorientasi dengan baik Berkatakata yang sesuai Bersuara yang sesuai 4 Berkomunikasi secara membingungka n 3 Berkata-kata yang tidak sesuai 2 Hanya mengeluarkan suara 1 Tidak ada respon Dikutip dari: Stock R. 6 Berkata-kata yang tidak sesuai Hanya bersuara Mendengku r Tidak ada respon Hanya bersuara Bersuara yang tidak sesuai mendengku r Tidak ada respon Pengelolaan jalan nafas merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan awal dari trauma kepala pada anak, yang merupakan bagian dari ABCDE neuroanestesi. Anak dengan kesadaran GCS diatas 10 dengan pernafasan yang adequat dan hemodinamik yang stabil dapat dilakukan pembebasan jalan nafas dengan cara sederhana dengan jaw-thrust manuver dan pemasangan jalan nafas oro/naso airway bila GCS < 9 perlu dilakukan intubasi trakhea. 2 Semua obat intravena untuk induksi seperti barbiturat, etomidat, propofol dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi trakhea, berpotensi terjadinya vasokonstriksi serebral, menurunkan aliran darah otak dan CMRO 2 dan dapat menurunkan tekanan intrakranial. 3-5,8 Opoid dan benzodiazepam dapat diberikan untuk memfasilitasi intubasi tetapi harus dengan dosis kecil. Lidokain umumnya diberikan sebagai obat anestesi tambahan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh rangsangan laringoskop dan intubasi trakheal. 2-5,8 Semua obat inhalasi menyebabkan vasodilatasi serebral. Tetapi penggunaan sevofluran dengan konsentrasi kurang dari 1 MAC tidak akan meningkatkan aliran darah otak dibandingkan dengan anestetika inhalasi lain, oleh sebab itu sevofluran lebih sering digunakan dibandingkan dengan isofluran, desfluran atau halotan pada trauma kepala anak. 2,3 N 2 O dapat meningkatkan tekanan intakranial Namun terpaksa digunakan untuk mencampur oksigen bila dikamar operasi tidak tersedia udara tekan untuk mencegah oksigen intoksikasi pada penggunaan oksigen 100% dalam waktu lama. 5,10,11 Obat pelumpuh otot sedikit memberi efek pada sirkulasi otak. Jalan infus intravena harus adequat untuk memasukkan kebutuhan cairan intravena. Pada anak hipovolemia dapat terjadi pada trauma atau luka robek dikepala. Cairan isotonik pada umumnya dapat digunakan selama anestesi dan untuk resusitasi serebral, cairan hipotonik harus dihindari dan cairan koloid masih dalam perdebatan, hipertonik salin 0,1-1ml/kg berat badan dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan meningkatkan tekanan perfusi otak. Monitoring rutin seperti precordial stetoskop, tekanan darah non invasif, laju nadi, temperatur, EKG, SpO 2, ETCO 2, kateter urine, dan bila perlu dengan keadaan tertentu invasif monitoring harus digunakan. Kontrol tekanan intrakanial harus dilakukan sampai selesai operasi, pasien di masukkan ke ICU kalau perlu pasien ditidurkan dan kontrol ventilasi apabila ada indikasi. 2,5,8 Pada hari ke-3 dimana pasien mengalami kejang selain diberikan anti kejang yang umum juga diberikan Hypertonic Lactate Solution 0,5 M (Totilac) suatu diuretik osmotik dengan tujuan untuk menarik cairan dari jaringan otak (mengurangi edema otak). Pada hari-2 setelah ventilator dilepaskan masih diberikan fentanyl - midazolam namun dengan dosis dikurangi bertahap dan digantikan dengan analgetik non narkotik dimana pasien tetap diawasi ICU. IV. Simpulan Penanganan anestesi pada cedera otak tramatika anak mempunyai masalah khusus yang membutuhkan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi dan psikososial dari anak. Pada kasus ini telah dilakukan penanganan dengan berbagai kekurangan baik alat, obat dan fasilitas yang ada, dengan hasil akhir pasien membaik dan dapat dipulangkan dengan keadaan dapat berjalan. Untuk penanganan pasien yang akan datang, agar penangganannya lebih baik perlu didalami pengetahuan dan penataan alat dan berbagai fasilitas untuk keperluan penanganan trauma pada anak, agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik lagi. Daftar Pustaka 1. Gilder F, Turner JM. Principles of Paediatric Neuroanaesthesia. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, eds. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care, 1st ed. London: Greenwich Medial Media LTP; 2000,

22 2. Vavilala MS, Chestnut R. Anesthesia Considerations for Pediatric neuroanesthesia. Dalam: Gupta AK, Gels AW, eds. Essential of Neuroanesthesia and Neurointensive Care, 1 th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, Hobbs AJ, Stirt JA. Pediatric Neuroanesthesia. Dalam: Sperry RS, Stirt JA, Stone AJ, eds. Manual of Neuroanesthesia, 1st ed. Philadelphia: Pensyvania, 1989; Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4 th ed. Philadelhia: Lippincot William & Wilkins; 2007, Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed, Philadelphia: Mosby; 2001, Stock R. Pediatric Head Trauma. Dalam: Corden TE, ed. Medscape reference, Updated; November 1; Su F. Traumatic Brain Injury in Children. Dalam: Corden TE, ed. Medscape Reference; updated November 2; Soriano SG, McManus ML. Pediatric neuroanesthesia and critical Care. Dalam:Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young s Neuroanesthesia, 5 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, Soriono SG, Eldred GE, Rockoff MA. Pediatric Neuro Anesthesia. Anesthesiology Clinic of North America 20 (2002), Hinz CP, Destch O, Hackher C, Kocks E. Coresponding minimum alveolar concentration of isoflurane and isoflurane / nitrous oxide have divergent effects on thalamic nociceptive signaling. Br J Anaesthesia; February 2007 ; 98 (2), Smith EW, Karsli C, Luginbuehl l, Bissonnette B. Effect of nitrous oxide on cerebrovacular reactivity to carbon dioxida in children during sevoflurane anaesthesia. Br. J Anaesth 2003 ; 91 (2):

23 PENANGANAN ANESTESI WANITA HAMIL UNTUK KRANIOTOMI EMERGENSI HEMATOMA SUBDURAL ANESTHETIC MANAGEMENT OF PREGNANT WOMAN FOR EMERGENCY CRANIOTOMY SUBDURAL HEMATOMA Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Hasan Sadikin -Bandung Abstract Trauma during pregnancy, including head injury, is the leading cause of accidental maternal death and morbidity, and complicates 6%-7% of all pregnancies which requires multidisciplinary patient s management. The anesthesiologist must understand the physiological changes of pregnancy, their implications, and the specific risks of anesthesia during pregnancy, so that the best anesthetic approach can be performed. The unique physiologic changes of pregnancy, particularly on the cardiovascular system, are both have advantage and disadvantage after acute traumatic injury. We reported a 28 years old parturient patient at weeks of pregnancy who was admitted to emergency department due to motorcycle accident with Glasgow Coma Scale (GCS) of E1M4Vt, Blood Pressure 130/70 mmhg, Heart Rate 72 x/minute, Respiratory Rate 16 x/minute.the patient was already intubated using an endotracheal tube no.6.5, the pupils were equal, round and still reactive to light stimulation, fetal heart rate (FHR) was x/minute, and head computed tomography scan showed right temporoparietal subdural hematoma. Endotracheal anesthesia was given with isoflurane, oxygen/air, with implementation of standard monitors and Doppler for FHR. The main aim of a neurosurgical intervention in a pregnant woman is to preserve the viability of both the mother and the infant. The main goal in the management of anesthesia for pregnant woman undergoing a non-obstetric surgery is to maintain the uteroplacental perfusion. The role of a multidisciplinary team in the care of high risk parturient patients cannot be avoided. Key word: pregnant woman, neuroanesthesia, traumatic brain injury, subdural hematoma. JNI 2102;1(3): Abstrak Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala, adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu akibat kecelakaan dan merupakan 6%-7% penyulit dari keseluruhan kehamilan dan pengelolaan pasien harus multidisiplin. Spesialis anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi pada wanita hamil, implikasinya, dan risiko khusus pemberian anestesi selama kehamilan sehingga dapat dibuat perencaan penanganannya. Perubahan fisiologi yang unik dari kehamilan, terutama sistem kardiovaskuler, mempunyai keuntungan dan kerugian setelah trauma. Kami melaporkan seorang pasien, umur 28 tahun, dengan umur kehamilam minggu masuk ke departemen emergensi akibat kecelakaan sepeda motor dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1M4Vt, tekanan darah 130/70 mmhg, laju nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, telah diintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5, pupil isokor, refleks cahaya positif, laju jantung fetus x/menit, dan hasil CT-scan menunjukkan adanya subdural hematoma temporoparietal kanan. Anestesia endotrakheal dengan isofluran, oksigen/udara dengan monitor standar dan Doppler untuk memantau laju jantung fetus. Tujuan utama intervensi bedah saraf pada wanita hamil adalah adalah untuk kelangsungan hidup ibu dan anak. Sasaran utama penanganan anestesi untuk wanita hamil yang tidak dilakukan operasi obstetri adalah mempertahankan perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisiplin dalam penanganan pasien parturien dengan risiko tinggi tidak dapat diremehkan Kata kunci: wanita hamil, neuroanestesi, cedera otak traumatik, hematoma subdura. JNI 2102;1(3):

24 I. Pendahuluan Trauma selama kehamilan, termasuk cedera kepala, adalah penyebab morbiditas dan kematian ibu akibat kecelakaan, dan merupakan 6%-7% dari penyulit keseluruhan kehamilan. 1 Trauma dihubungkan dengan keguguran dalam trimester pertama, kelahiran prematur, ruptur membran prematur, abrupsio plasenta, ruptur uterus, dan kelahiran mati. 2,3 Penyebab trauma pada kehamilan antara lain kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, penyerangan, pembunuhan, kekerasan dirumah, dan luka penetrasi. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan kontributor terbanyak pada kematian ibu dan janin akibat trauma. Fetal loss terjadi pada 0,03 0,09% kejadian trauma ibu. 3 Cedera otak traumatik pada wanita hamil mungkin disertai trauma ditempat lain dan resusitasi dini yang agresif pada ibu juga menghasilkan resusitasi pada fetus. Bila ada indikasi intubasi endotrakheal dan ventilasi, harus digunakan rapid sequence induction (RSI) dengan pentotal atau propofol dengan succinylcholin. Untuk menghindari kompresi vena cava, setelah 20 minggu kehamilan harus dilakukan left lateral tilt dari keseluruhan tubuh pasien, karena mengganjal panggul saja akan mengakibatkan tidak stabilnya columna vertebralis. 1 Difficult intubation ditemukan pada 1 dalam 300 wanita hamil. Walaupun tidak ada konsensus metode terbaik untuk pasien dengan cervical-spine injury, teknik fiberoptik mungkin lebih memungkinkan pada wanita hamil dengan cervicalspine injury karena adanya tambahan kesulitan yaitu adanya kehamilan dan tidak stabilnya leher. 1 Pengelolaan optimal memerlukan pengertian fisiologi maternal dan fetal, perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik obat, dan pendekatan yang sensitif terhadap pasien. Penyebab utama kematian fetal adalah akibat kematian ibu, diikuti dengan abrupsio plasenta. Pengelolaan pasien harus multidisiplin dan spesialis anestesiologi harus memahami perubahan fisiologi pada kehamilan, implikasinya, dan risiko spesifik dari anestesia selama kehamilan, sehingga dapat dirancang cara pengelolaan pasien yang baik. 1,4 Perubahan fisiologik yang unik pada kehamilan, terutama pada susunan saraf pusat, sistim respirasi, kardiovaskuler, hematologik, gastrointestinal dapat mempengaruhi teknik dan obat anestesi yang biasa diberikan pada pasien dengan cedera kepala. 5 Pada sistem kardiovaskuler, setelah kejadian cedera trauma akut, perubahan fisiologik ini dapat menguntungkan atau merugikan. Peningkatan fisiologik dalam volume darah dapat memberikan proteksi setelah cedera yang mana darah dialirkan ke organ vital. Akan tetapi, perubahan dalam laju jantung dan tekanan darah dapat membawa kearah kegagalan atau salah penilaian luasnya cedera dan kehilangan darah ketika dilakukan evaluasi awal suatu trauma. 1 II. Kasus Seorang wanita umur 28 tahun dengan G1P1A0, umur kehamilan minggu, perkiraan berat badan 60 kg, masuk ke Departemen Emergensi karena kehilangan kesadaran dan 2 jam sebelum masuk rumahsakit pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pemeriksaan Fisik GCS: E1M4Vt, tekanan darah 130/70 mmhg, laju nadi 72 x/menit, laju nafas 16 x/menit, jalan nafas bebas, terintubasi dengan pipa endotrakhea no.6.5, pupil bulat iskor, refleks cahaya positif. Status obstetricus: Uterus gravida: minggu, tinggi uterus: 24 cm, laju jantung fetal x/menit, perkiraan berat fetal 1000 gr. Pada regio parietal dextra hematoma (+), pada regio abdomen massa (+) pada level umbilical, pada regio lumbalis sinistra bruised (+). Pemeriksaan Lab PT:11.9 dtk INR:0.96 APTT:25.9dtk Hb:10.3 mg/dl Ht:30 % Leukosit:24.400/mm3, thrombosit /mm3, ureum:11 mg/dl, kreatinin: 0,44 mg/dl, glukosa darah:172 mg/dl, Na:135 meq/l, K:3,3 meq/l, AGD: ph: 7,448, pco 2 : 26,6, po 2 : 101,9, HCO 3 : 18,5, TCO 2 : 19,3, BE: -5,6, Sat O 2 : 97,8. Hasil CT-scan: CT-scan kepala: subdural hematoma temporoparietal kanan. Kesan CT-scan: Subdural hematoma dengan midline shift

25 Penanganan Anestesi Pasien tiba di kamar operasi dengan GCS E1M4Vt, tekanan darah 132/80 mmhg, laju nadi 92 x/menit, laju nafas 16 x/menit dengan pipa endotrakhea no 6,5. Pasien diinduksi dengan propofol 100 mg, fentanyl 125 µg, vecuronium 6 mg. Posisi head-up untuk mengurangi tekanan intrakranial. Dipasang alas pemanas untuk mempertahankan pasien dalam normotermi atau sedikit hipotermi. Rumatan anestesi dengan propofol infus µg kg/menit, 0,6-0,8 MAC isoflurane dan 50% oxygen:50% udara tanpa N 2 O. Ventilasi kendali dengan volume tidal 8 ml/kg dan nilai end tidal CO 2 pada mmhg. Lama operasi sekitar 2 jam. Monitoring selama pembedahan dengan pemantauan standar seperti EKG, SpO 2, end tidal CO 2, suhu tubuh, diuresis. Fetal heart rate (FHR) dimonitor dengan USG Doppler sebelum operasi dan selama pembedahan berlangsung dan secara periodik sampai 24 jam pascabedah. Pada akhir pembedahan, blokade neuromuskuler di reverse dan pasien dapat bernafas spontan. Tidak dilakukan ekstubasi sampai pasien betul sadar untuk melindungi jalan nafas dari regurgitasi dan aspirasi. Kondisi pasien pascakraniotomi GCS: E1M4V T dengan tekanan darah 125/73 mmhg, laju nadi 109 x/menit dan laju jantung fetal x/menit. Keterangan: GCS=Glaggow Coma Scale Keterangan: BJJ=bunyi jantung janin. HR=heart rate/laju jantung/laju nadi BJJ=bunyi jantung janin Pascabedah III. Pembahasan Pengelolaan Prabedah Tindakan yang terkoordinir penting untuk kelangsungan hidup ibu dan fetal. Fetus dipengaruhi secara tidak langsung oleh hipotensi ibu, vasokonstriksi arteri uterina, hipoksemia ibu, dan perubahan asam-basa ibu, tentu saja setiap perubahan pada fisiologi ibu dapat menurunkan perfusi uteroplasenta atau mempengaruhi pertukaran gas fetal. Tim emergensi yang melakukan intubasi melakukan normoventilasi dan memposisikan ibu miring kekiri untuk mencegah sindroma hipotensi supine. Pasien dilakukan pemeriksaan CT-scan. Pemeriksaan radiologik <5 rad tidak menyebabkan fetal

26 anomali atau keguguran. CT-scan <1rad, sehingga aman untuk fetus sepanjang periode kehamilannya bila perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan. 2 Adaptasi fisiologik ibu terhadap kehilangan darah sebagai berikut: Tabel 2: Adaptasi Fisiologik Ibu Hamil terhadap Kehilangan Darah Kehilangan darah Ringan 20 25% dari volume darah ( ml) Kehilangan darah Sedang 25 35% dari volume darah ( ml) Kehilangan darah Berat lebih dari 30% volume darah atau lebih dari ml Dikutip dari: Brown HL. 3 Takikardia ( kali per menit) Vasokonstriksi ekstremitas dingin dan pucat Tekanan arteri rerata turun 10 15% (70 75 mm Hg) Hipoksia jaringan Takikardia ( kali per menit) Gelisah Tekanan arteri rerata turun 25 30% (50 60 mm Hg) Oliguria (kurang dari 0,5 ml/kg BB) Syok hemoragik Hipoksia jaringan Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Hipotensi (Tekanan arteri rerata kurang dari 50 mm Hg) Perubahan kesadaran Anuria Disseminated intravascular coagulation (DIC) Pengelolaan kasus harus secara individual disesuaikan dengan kebutuhan pembedahan dan neuroanestesi serta umur kehamilan. Pertimbangan anestesi selama kehamilan adalah perubahan fisiologik. Wanita hamil berisiko tinggi untuk terjadi aspirasi maka tindakan profilaksis sangat penting sebelum dilakukan anestesi selama kehamilan, disebabkan karena wanita hamil mudah mengalami regurgitasi simptomatik dan silent, sebab wanita hamil selalu dalam kondisi lambung penuh. Rapid sequence induction (RSI) dianjurkan pada kehamilan trimester kedua untuk mengurangi risiko aspirasi. Bila ingin melakukan RSI, harus dipikirkan efeknya pada peningkatan tekanan intrakranial. 6 Perubahan fisiologik pada jalan nafas menyebabkan perlunya penilaian yang hati-hati pada jalan nafas dan perancangan pengelolaan jalan nafas sangat penting. 6 Sebagai akibat dari deposisi lemak dan edema jalan nafas bagian atas, wanita hamil diprediksi lebih sulit dilakukan intubasi. Pipa endotrakheal dengan ukuran yang lebih kecil dari yang biasa digunakan, harus siap untuk mengelola jalan nafas yang sulit, dan awake fibreoptic intubation harus dipertimbangkan bila diduga ada jalan nafas yang sulit. 5-8 Supine hypotension syndrome dapat dicegah dengan posisi ibu miring kekiri sedikitnya 15 0 untuk mengurangi kompresi aortocaval, hal ini diperlukan pada kehamilan lebih dari 20 minggu. 5,9 Selama kehamilan kebutuhan oksigen meningkat dan mekanik respirasi berubah disebabkan karena efek dari uterus yang gravid dan perubahan berat badan ibu. Penurunan functional residual capacity (FRC) dapat menyebabkan cepatnya terjadi desaturasi ibu selama hipoventilasi dan apnoe. Disebabkan karena tekanan oksigen arteri menurun 2 kali dibandingkan dengan wanita tidak hamil, maka pemberian oksigen sebelum induksi anestesi sangat penting. Pasien diberikan oksigen 3 menit sebelum induksi anestesi melalui kanul binasal atau 3 kali narik nafas panjang. Pada pasien yang koma akibat cedera otak traumatik, berikan oksigen melalui sungkup muka. 5 Tabel 2. Adaptasi Ibu pada trauma berhubungan dengan kehamilan Kategori Sistim Kardiovaskuler Sistim Hematologik Sistim Pulmonari Uterus Plasenta dan Sistim Gastrointestinal Adaptasi Curah jantung meningkat 30-50% Laju nadi meningkat x/menit Tekanan darah menurun Volume plasma meningkat 40-50% Eritrosit meningkat 30% Ventilasi semenit meningkat 30-40% FRC menurun 20% 20-30% shunt Peningkatan ukuran uterus Aliran plasenta, aliran tinggi dan tahanan rendah. Pengosongan lambung lambat Organ berpindah tempat Konsekuensi Klinis Adaptasi terhadap kehilangan darah Anemia dilusional Volume darah sirkulasi 6 Liter Respiratori alkalosis normal Penurunan PCO 2 Desaturasi cepat bila apneu atau supine Kehilangan darah cepat Organ abdomen berpindah Hipotensi pada posisi supine Risiko aspirasi Tempat cedera mempengaruhi kerusakan organ

27 Dikutip dari: Harris CM. 10 Waktu dilakukan Pembedahan dan Metode kelahiran Bila kraniotomi selama kehamilan adalah merupakan tindakan yang harus dilakukan, maka pilihan ditentukan oleh umur gestational fetus, dengan umur gestational 32 minggu sebagai cuttoff. Sebelum 32 minggu kehamilan diteruskan, tapi bila lebih dari 32 minggu dilakukan seksio sesarea lalu dilanjutkan dengan kraniotomi. Hal ini bukan saja disebabkan karena kelangsungan hidup dimulai dari 32 minggu tapi disebabkan saat ini risiko kelahiran preterm lebih kecil daripada risiko fetus yang ibunya mendapat terapi untuk hipotensi kendali, pemberian osmotik diuretik, dan hiperventilasi mekanik. 8 Bila operasi dilakukan pada kehamilan dini (umur kehamilan <24 minggu) pengelolaan fetalnya berdasarkan pertimbangan spesialis kebidanan. Spesialis anestesi mungkin menghadapi 3 skenario yaitu: 1) bayi tidak dilahirkan dan hanya dilakukan kraniotomi, dan 2) dilakukan seksio sesarea dulu baru kraniotomi atau 3) kraniotomi dulu baru seksio sesarea. Pada semua skenario tersebut, spesialis anestesi harus mengerti perubahan fisiologi wanita hamil, implikasinya, dan risiko khusus pemberian anestesi pada wanita hamil. 1 Pada kasus ini, wanita dengan kehamilan 28 minggu, maka tidak dilakukan seksio sesarea. Pengelolaan Intraoperatif Monitoring selama pembedahan dengan monitoring standar EKG, SpO 2, end tidal CO 2, suhu tubuh, diuresis selama pembedahan dan anestesi. FHR dipantau dengan Doppler sebelum, selama, dan pascabedah. Pertimbangan Hemodinamik Pemantauan tekanan darah invasif dianjurkan sebelum induksi anestesi, sehingga perubahan hemodinamik dapat dengan cepat diobservasi dan diterapi. Untuk memelihara perfusi otak dan perfusi uteroplasenta, mempertahankan stabilitas hemodinamik adalah penting, yang dapat dicapai dengan pemberian cairan, hindari kompresi aortocaval, profilaksis atau penggunaan segera obat vasopresor. Posisi ibu harus efektif untuk memindahkan uterus yang gravid kekiri. Bila memungkinkan untuk dilakukan pembedahannya, pasien ditempatkan pada posisi lateral untuk prosedur intrakranial yang lama. Bila tidak dipakai monitor tekanan darah invasif, bisa dengan monitor tekanan darah noninvasif otomatis kontinyu. Secara umum, tekanan darah harus diatur mendekati nilai awal. Bila tekanan darahnya dalam rentang 140/90 sampai 160/110 (preeclampsia ringan sampai berat), tekanan darah harus diturunkan sampai kira-kira sampai 140/90 mmhg. Pada operasi bedah saraf emergensi dimana tekanan intrakranial meningkat, penurunan tekanan darah tidak dianjurkan. Pasien ini tiba di kamar operasi dengan GCS E1M4Vt, tekanan darah 132/80 mmhg, laju nadi 92 x/menit. Pasien diposisikan left lateral untuk mencegah kompresi aortocaval dan head up 30 o untuk menurunkan tekanan intrakranial. Tekanan darah ideal pada pasien ini adalah sistolik mmhg dan diastolik mmhg. Bila terjadi bradikardi fetal berat intraoperatif, dilakukan tindakan untuk memper-baiki aliran uteroplasenta dan oksigenasi fetal dengan meningkatkan tekanan darah ibu, memastikan bahwa posisi pasien left lateral, dan normoventilasi. 1 Pengelolaan Ventilasi Pada wanita hamil, FRC menurun 20% dan konsumsi O 2 lebih tinggi daripada wanita yang tidak hamil. Hipokapnia dan hiperkapnia keduanya mengurangi aliran darah uterus, menimbulkan asidosis fetal dan depresi miokardium. Dengan demikian, selama pembedahan kita bertujuan untuk mempertahankan hipokapnia ringan untuk mencegah fetal stres, seraya menghindari hipoksia dan melakukan normoventilasi. Sebagai akibat dari peningkatan ventilasi selama kehamilan, tekanan CO 2 arteri normal pada steadystate adalah mmhg. Hiperventilasi kendali untuk menurunkan tekanan intrakranial masih merupakan opsi pada kasus peningkatan tekanan intrakranial akut. Walaupun efek klinis pada aliran darah plasenta masih diperdebatkan, hiperventilasi berat (PaCO 2 25 mmhg) dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri uterina dan menurunkan curah jantung ibu serta menurunkan pelepasan oksigen pada bayi dengan shifting kurfe disosiasi oxyhemoglobin ibu ke kiri. Hiperventilasi profilaksis pada pasien cedera kepala dengan mencapai PaCO 2 25 mmhg mempunyai efek buruk pada outcome pasien, karena itu, PaCO 2 dipertahankan dalam rentang mmhg. 1 Monitoring Fetal Heart Rate (FHR) dan Fetus Semua wanita hamil dengan umur kehamilan >20 minggu yang mengalami trauma harus dilakukan pemantauan cardiotocographic minimal 6 jam. 2 Monitoring FHR kontinyu mungkin dapat dilakukan pada kehamilan 18 minggu tapi dibatasi

28 kesulitan bila dilakukan operasi abdomen atau ibu obesitas. FHR harus diekpertise oleh operator yang berpengalaman yang mengerti perubahan yang terjadi selama anestesi dan pembedahan. Bila secara teknik memungkinkan, monitoring fetal dapat menunjukkan kestabilan hemodinamik ibu dan bukan indikator dari fetal well-being. 6 Variabilias FHR adalah indikator yang digunakan untuk melihat kehidupan fetal (fetal well-being) dan dapat dipantau dari kehamilan minggu kedepan. Anestetika mengurangi variabiltas dan frekuensi FHR, jadi pembacaannya harus diinterpretasi dalam konteks obat apa yang diberikan. Fetus manusia dapat merespon stimuli luar seperti kegaduhan, tekanan, nyeri, dan suhu dingin. Noksious stimuli menimbulkan respons otonom dan peningkatan stres hormon. Fetal bradikardi yang menetap umumnya menunjukkan adanya fetal distres. Neostigmin dapat menyebab-kan bradikardi fetal bila diberikan bersama glikopirolate disebabkan pengurangan transfer plasenta dari glikopirolate. 6 Nilai FHR intraoperatif yang terdeteksi segera, menyebabkan dilakukan optimalisasi hemodinamik dan oksigenasi maternal dengan terapi cairan, vasopresor, pemberian produk darah, hiperventilasi, atau pengaturan posisi. 6 Monitoring fetal menolong spesialis anestesiologi menilai adekuatnya perfusi bila terjadi hipotensi, atau bila jumlah besar volume cairan dan darah hilang. Pemantauan harus diteruskan dan evaluasi selanjutnya dilakukan bila uterus berkontraksi, perdarahan per vagina, iritabilitas uterus yang signifikan, cedera pada ibu, ruptur membran amnion. 2 Monitor FHR dapat digunakan dengan Doppler. Pasien ini dengan umur kehamilan minggu dan normal FHR adalah kali per menit, dan kita menggunakan monitor FHR dengan Doppler pada periode prabedah, selama pembedahan, dan pascabedah di neurointensive care unit selama 24 jam. Fetus sangat berisiko pada susunan saraf pusat pada umur kehamilan 8-15 minggu dan pertimbangan dilakukan seksio sesarea bila umur kehamilam 24 minggu keatas. Ada beberapa indikasi untuk seksio sesarea emergensi adalah kondisi ibu stabil dengan fetus dalam keadaan distress, ruptur uterine akibat trauma, uterus gravid mengganggu operasi intraabdominal ibu, dan bila ibu tidak akan selamat bila fetus masih hidup. Kalau fetus hampir meninggal atau sudah meninggal, pertolongan difokuskan pada pengoptimalan kondisi ibu. Seksio sesarea emergensi merupakan opsi untuk fetus dengan umur 24 minggu kehamilan dengan ibu sudah meninggal. Pada kasus ini kondisi fetus dan hemodinamik stabil, sehingga tidak ada alasan untuk dilakukan seksio sesarea. 2 Penggunaan monitor FHR selama operasi nonobstetri masih kontroversial. Penurunan variabiltas FHR dan penurunan nilai awal FHR dapat terlihat pada bayi sehat dan ibunya diberikan anestesi umum, agaknya, monitor FHR tetap berguna sebab terjadinya perubahan dapat disebabkan karena penurunan perfusi uteroplasenta seperti hipoksemia dan hipotensi. 8 Anestetika Dilakukan anestesi umum, dengan induksi intravena, dan rumatan anestesi dengan isofluran dan propofol kontinyu. Fasilitas intubasi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi. Prinsip anestesi adalah dengan ABCDE neuroanestesia. 11,12 Pemberian reverse pelumpuh otot dilakukan secara perlahan-lahan untuk mencegah peningkatan tibattiba dari asetilkholin yang dapat memicu kontraksi uterus. Polar molekul seperti obat pelumpuh otot tidak menembus barier plasenta secara nyata dan konsentrasi pelumpuh otot dalam darah fetal hanya 10-20% dari konsentrasi pelumpuh otot dalam darah ibu. Anestetika inhalasi isofluran dipakai dengan dosis dibawah 1,5 MAC untuk mempertahankan autoregulasi otak ibu serta tidak mengganggu reaktivitas pembuluh darah otak ibu terhadap CO 2. 11,12 MAC anestetika inhalasi menurun 30% selama kehamilan yang dimulai dari trimester pertama kehamilan. Perubahan ini dipostulatkan akibat lebih tingginya level endorphin dalam sirkulasi dan peningkatan konsentrasi progesteron yaitu suatu hormon yang mempunyai efek sedatif. Sebagai akibat dari wanita hamil lebih sensitif terhadap anestetika inhalasi, konsentrasi inspirasi anestetika inhalasi yang tidak menimbulkan depresi kardiovaskuler untuk wanita tidak hamil, dapat menimbulkan depresi kardiovaskuler pada ibu hamil. 8 Pemberian N 2 O menujukkan adanya kejadian abnormalitas struktur dan keguguran pada tikus dan saat pemberian menentukan beratnya efek N 2 O, efek ini pada permulaannya dipikirkan akibat inhibisi enzim methionin synthetase dan sterusnya terjadi penurunan kadar methionin dan tetrahidrofolat. Inhibisi maksimal aktivitas methionin synthetase terjadi pada level pemaparan anestetik yang tidak mempunyai efek teratogenik. Bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa efek fetal dari N 2 O adalah dari stimulasi alpha adrenergik dan selanjutnya menurunkan aliran

29 darah uterus. Efek ini dapat dilawan dengan anestetika inhalasi yang poten. 8 Pelumpuh otot tidak efek teratogenik pada dosis klinis. Opioid juga tidak menunjukan efek teratogenik baik pada penelitan hewan atau manusia. 7,8 Tabel: Induksi dan Rumatan anestesi untuk Kraniotomi pada wanita hamil Induksi anestesi Rumatan anestesi Tiopental 5-7 mg/kg Fentanyl 3-5 ug/kg Fentanyl 1-2 ug/kg/jam Isofluran 0,5-1%/N 2 O Lidokain 75 mg Pelumpuh otot non Rocuronium 0,9-1,2 mg/kg Ventilasi dengan sungkup depol Tiopental 5-6 dengan cricroid pressure, Oksigen 10% mg/kg/jam bila tight brain Dikutip dari: Cottrell and Young s. 8 Karena di Indonesia tidak tersedia tiopental, maka induksi intravena diganti dengan propofol dan rumatan anestesia dengan propofol infus µg kg/menit, 0,6-0,8 MAC isoflurane and 50% oksigen: 50% udara, tanpa N 2 O. Mannitol dan Terapi Cairan Berabagai cara untuk menegendalikan ICP, seperti posisi head-up, tidal voume rendah selamam ventilasi tekanan positif, dan hindari muntah. Mannitol yang diberikan pada wanita hamil secara lambat diakumulasi di fetus, dan fetal hiperosmolalitas akan menyebabkan perubahan fidiologis seperti produksi cairan paru fetal berkurang, penurunan aliran darah urinari, meningkatkan konsentrasi sodium plasma. Pada hewan coba, terjadi transfer cairan dari fetus ke ibu, meningkatkan kemungkinan terjadinya fetal dehidrasi. Akan tetapi, dalam satu laporan kasus, telah digunakan mannitol dengan dosis 0,25-0,5 g/kg dan aman. Furosemid merupakan alternatif lain tapi harus digunakan dengan hati-hati. Diuresis harus dipantau setiap jam. Terapi cairan intravena adalah yang bersifat isonatremik, isotonik, tidak mengandung glukosa untuk mengurangi risiko edema serebral dan hiperglikemia. 1 Pasien ini diberikan cairan 1500 ml NaCl 0,9% dan 500 ml ringer laktat. Penggantian cairan berdasarkan indikator diuresis dan diberikan cairan 3/4 jumlah diuresis. Terapi Antiemetik Kebanyakan obat antiemetik aman bila digunakan selamam kehamilan, dan dianjurkan penggunaan metoclopramide, antihistamin, dan droperidol. Serotonin 3 receptor (5-HT3) antagonist juga aman berdasarkan penelitian hewan coba dan pengalaman klinis dan telah digunakan selama kehamilan. 1 Pengelolaan Pascabedah Managemen Nyeri Setelah prosedur intrakranial, wanita hamil harus dirawat di ICU untuk obsevasi dan terapi selanjutnya. Walaupun secara umum rasa nyeri setelah kraniotomi lebih ringan dari rasa nyeri setelah operasi ekstrakranial, nyeri setelah kraniotomi bersifat sedang sampai berat pada 50% pasien. Analgesia pascabedah yang baik harus diberikan untuk kenyamanan dan mobilitas pasien serta untuk mengurangi gejolak hemodinamik yang tidak diinginkan. 1 Analgesia lebih baik dengan pendekatan multimodal kombinasi infiltrasi anestesi lokal, atau scalp blok, opioid dan paracetamol. Penelitian yang membandingkan morfin, kodein, dan tramadol untuk pengelolaan nyeri pascakranitomi menunjukkan bahwa morfin memeberikan efek terbaik dengan beberapa efek samping. Tramadol sangat terbatas penggunaannya disebabkan karena walaupun tidak menyebabkan depresi nafas, tapi menurunkan ambang kejang. Inhibitor cyclooxygenase 1 dan 2 ( inhibitor COX1 dan COX2) umumnya dihindari disebabkan karena efeknya pada fungsi platelet dan kemungkinan perdarahan setelah operasi intrakranial, atau karena kemungkinan komplikasi pada fetal (gagal ginjal, necrotizing enterocolitis, dan persistent fetal circulation after birth) khususnya bila diberikan setelah kehamilan 32 minggu. COX2 inhibitor seperti celexocib, parecoxib, dan valdecoxib tidak mempunyai efek pada platelet tapi belum dievaluasi efek pemberian selama kehamilan. 1 Pada pasien in diberikan metamizole 2 gram. IV. Simpulan Operasi bedah saraf jarang dilakukan pada wanita hamil, tapi diperlukan tim multidisiplin dan pertimbangan hati-hati tentang waktu pembedahan dan melahirkan bayi. Tujuan dari intervensi bedah saraf pada wanita hamil adalah memelihara kelangsungan hidup ibu dan fetal. Target utama pengelolaan anestesi untuk wanita hamil tanpa dilakukan operasi obstetrik adalah memelihara perfusi uteroplasenta. Peranan tim multidisplin dalam mengelola pasien hamil dengan risiko tinggi tidak dapat diremehkan.

30 Daftar Pustaka 1. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg 2008;107: Barraco RD, Chiu WC, Clancy TV, Como JJ, Ebert JB, Hess LW, et al. Practice management guidelines for the diagnosis and management of injury in the pregnant patient: the EAST Practice Management Guidelines Work Group. The Eastern Association for the Surgery of Trauma. 2005: Brown HL. Trauma in Pregnancy. Obstet Gynecol 2009;114: Mhuireachtaigh R, O Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical Anesthesia 2006; 18: Datta S. Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-4. USA: Springer; Bisri DY, Bisri T. Strategi untuk mencegah aspirasi isi lambung pada operasi cedera otak traumatika emergensi. JNI 2012,1(1): Wlody DJ, Weems LD. Neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, edisi-4. Philadelphia: Lippincott Willams & Wilkins; 2007, Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young s neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, Bisri DY, Redjeki IS, Himendra A. The comparative of effect of bolus-infusion oxytocin with infusion oxytocin on blood pressure, heart rate, and uterine contraction of women undergoing elective caesarean section with general anesthesia N 2 O-sevoflurane. InaJA 2010;1(1): Harris CM. Trauma and pregnancy. Dalam: Foley MR, Strong TH, Garite TJ, eds., edisi ke-3. New York: Mc Graw Hill Medical; 2011, Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah Citra; Bisri T. Penanganan Anestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012.

31 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI SUBDURAL HEMATOM IN PATIENT WITH ATRIAL FIBRILATION AND HYPERTENSIVE HEART DISEASE Agus Baratha Suyasa, *) Sudadi **) *) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Kasih Ibu Hospital, Denpasar Bali **) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito-Yogyakarta Abstract Traumatic Brain Injury (TBI) is one of the serious life-threatening condition in trauma victim, and as the major cause of disability and death in adult and children. Subdural hematoma is the most often focal intracranial lesion found, with the incidence of 24% in close head injury cases. Approximatelly 6-24% of Atrial Fibrilation (AF) contributes to ischemic stroke and sudden death because of heart failure. We reported a 63 years old female, diagnosed with subdural hematoma of the right temporoparietal, atrial fibrillation and hypertensive heart disease, who arrivde at the hospital with history of unconsciousness, and severe headache due to motor vehicle accident, and undergone a craniotomy clot evacuation and reposition fixation of the fractured bones. The procedure was performed under general anesthesia, using ETT No 7,5., controlled ventilation. NGT no 16 was inserted for gastric decompression. Two mg of Midazolam and 1,5 mg/kgbw of lidocain given intravenously 3 minutes prior to intubations was used as premedications, 100 μg intravenou Fentanyl,was given as co induction. Induction anesthesia was performed using 100mg propofol and 0,1mg/KgBW vecuronium to facilitate intubations. Maintenance of anesthesia was obtained using O 2, N 2 O, sevoflorane, continuous drip of 100 mg/hour propofol, 6mg/hour vecuronium,and 0,25mg/24hours of digoxin continuous drip was given. The procedure was done in 4 hours. During the operation, haemodynamic remained stable with SBP mmhg, DBP mmhg, HR bpm irregular and SaO %. EtCO 2 level was The patient was not extubated by end of surgery, because ECG monitor showed VES bigemini and rapid ventricular response of AF. The patient was directly transferred to the ICU after the procedure. Decreased in brain tissue oxygenation is the physiological impact of body system. Hypertension, arrhythmia, hyperglycemia, hyperthermia and hypernatremia can occur due to sympathetic storm. The most common arrhythmias that could occur are bradycardia, ectopic beat, irregular beat, atrial fibrillation and supraventricular tachycardia. Arrhythmias due to myocardial infarction or thromboemboli (AF and SVT) must be treated immediately when considered as a life threatening condition which provokes a hemodynamic instability and cerebral hypoxia Optimal pre-operative management including oxygenation, cardiorespiration stabilization, arrhythmia managemen and, adequate fluid status, will improve the outcome. Keywords: Traumatic Brain Injury, Subdural Hematom, Atrial Fibrilation, Hypertensive Heart Disease. JNI 2102;1(3): Abstrak Cedera kepala traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada korban kecelakaan, dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak-anak. Subdural hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang mengalami cedera kepala berat tertutup. Atrial Fibrilasi (AF) menyebabkan 6-24% kejadian stroke iskemik serta dapat terjadi kematian secara tiba-tiba karena gagal jantung. Seorang wanita 63 th dengan subdural hematom temporoparietal D, atrial fibrilasi dan penyakit jantung hipertensi, dengan riwayat jatuh dari motor, pingsan, mual dan nyeri kepala hebat. Rencana dilakukan kraniotomi evakuasi clot dan reposisi fiksasi fraktur. Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan ETT No 7,5, ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg. Lidocain 1,5 mg /KgBB 3 menit sebelum intubasi. Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi dengan propofol 100 mg. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 0,1 mg / KgBB. Pemeliharaan anestesi menggunakan O 2 + N 2 O + Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100 mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip 0,25mg/24 jam. Operasi dilakukan selama 4 jam. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan darah sistolik mmhg, tekanan darah diastolik 70-90mmHg, laju nadi (HR) x/mnt ireguler, SaO %, EtCO Ekstubasi tidak dilakukan dikamar operasi karena terdapat VES bigemini dan rapid ventricular respons terhadap AF, pasien kemudian dibawa ke ICU.

32 Penurunan oksigenasi jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia, hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik, denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika mengancam kehidupan, dan menyebabkan instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral, baik karena infark miokard maupun thromboemboli (AF dan SVT). Persiapan yang baik sebelum pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler termasuk terapi aritmia, serta status cairan yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih baik. Kata Kunci : Cedera Otak Traumatik, Subdural Hematom, Atrial Fibrilasi, Penyakit Jantung Hipertensi. JNI 2102;1(3): I. Pendahuluan Cedera kepala traumatik merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada korban kecelakaan, dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak-anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami cedera kepala traumatik setiap tahunnya di USA, dan orang diantaranya meninggal, serta sisanya mengalami kecacatan permanen. Hematoma subdural merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang mengalami cedera kepala berat tertutup. Cedera kepala traumatik memberikan efek yang besar pada kehidupan individual dan keluarganya termasuk biaya rumah sakit, rehabilitasi sosial serta perawatan jangka panjang. Penanganan yang cepat dan tepat diperlukan untuk mencapai outcome yang baik. 1,2 Atrial Fibrilasi (AF) merupakan kejadian aritmia jantung yang paling sering ditemukan pada praktek klinis dan merupakan sepertiga dari kasus gangguan irama jantung yang dirawat di rumah sakit serta jumlahnya meningkat setiap tahunya. Diperkirakan 2,2 juta orang di Amerika dan 4,5 juta orang di Eropa mengalami AF. Sebuah penelitian menyatakan bahwa AF menyebabkan 6-24% kejadian stroke iskemik, hal ini mungkin karena pada AF terjadi pengumpulan darah pada atrium kiri karena kontraksi yang tidak sinkron, sehingga menyebabkan terbentuknya trombus yang dapat menyumbat aliran darah di seluruh tubuh, seperti pembuluh darah otak yang menyebabkan stroke iskemik. Jika pembuluh darah paru-paru yang tersumbat, dapat terjadi kematian secara tiba-tiba karena gagal jantung. Namun 3-11% AF menunjukkan struktur jantung yang normal. 3,4 Keadaan ini saling memperberat, pada cedera kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas simpatis sebagai respon terhadap stress (sympathetic storming). Hipertensi, aritmia, hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik, denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika mengancam kehidupan, dan menyebabkan instabilitas hemodinamik baik karena infark miokard maupun thromboemboli (AF dan SVT). 5,9 II. Kasus Seorang wanita umur 63 tahun. BB 60 kg, masuk RS dengan Diagnosis : Subdural Hematom temporoparietal D Fraktur Rima Orbita Inferior D Fraktur Os Zygoma D Fraktur Os Temporalis D Atrial Fibrilasi Hipertensive Heart Disease Prosedur : Craniotomi, Trepanasi, Evakuasi Clot Reposisi fiksasi fraktur Anamnesis Seorang wanita 63 th, kiriman dari RS swasta kabupaten dengan cedera kepala sedang dan subdural hematom. Keluhan Utama: Sakit kepala hebat, setelah jatuh dari motor. Riwayat Penyakit Sekarang Pada tanggal 17 Desember 2011 pukul WITA, penderita terjatuh dari sepeda motor, karena terserempet mobil. Pingsan (+), mual (+), muntah (-) Penderita dibawa ke RS swasta di Singaraja, dilakukan CT-scan kepala. Kemudian penderita dirujuk ke RS Kasih Ibu Denpasar. Hasil CT-scan kepala menunjukkan perdarahan subdural regio temporoparietal kanan, fraktur rima orbita inferior kanan, fraktur tulang zygoma kanan, fraktur tulang temporalis kanan. Riwayat Asthma (-), Allergi (-), Hipertensi (+), Riwayat sakit jantung tidak jelas Riwayat jantung sering berdebar (+), riwayat sesak nafas (+)

33 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI 61 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: Sadar, tampak bengkak pada wajah, hematom pada mata kanan Survei Primer Airway Breathing Circulation Disability Bebas, oksigenasi 3 L/mnt O 2 nasal kanul Nafas spontan x/mnt, gerakan dinding dada simetris (+) Pola nafas Thorakoabdominal, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-) TD 180/90 mmhg, HR 90 x/mnt, irregular Bising (-), sianosis (-), ekstremitas hangat, temperatur : 36 o C Tingkat kesadaran : GCS = E3 M6 V5 = 14 Pupil kiri bulat 3 mm. Reflek cahaya (+). Pupil kanan tidak bisa di evaluasi. Motorik 5 / 5 / 5 / 5, Sensorik + /+ / + / + Reflek fisiologis (+) Defisit neurologis lain (-) Kalium Klorida Foto Thorak 4,3 mmol / L 108 mmol / L Paru : Corakan Bronchovaskular meningkat, kedua sudut costofrenicus tajam Jantung : Cardiomegali Survei Sekunder Kepala Leher Thorak TMD 5 cm. Brail hematom mata kanan, wajah bengkak Gerakan kepala bebas ke segala arah JVP tidak meningkat Bentuk dan gerakan dada simetris, jejas (-) Abdomen Supel, Bising Usus (+), jejas (-) Ekrstremitas Deformitas (-),hangat (+), Capilary refill <2 detik Motorik 5 / 5 Sensorik + / + 5 / 5 + / + CT- Scan Kepala (pre op) subdural hematom regio temporoparietal kanan fraktur rima orbita inferior kanan fraktur tulang zygoma kanan fraktur tulang temporalis kanan. Pemeriksaan Laboratorium pre op (18 Desember 2011) Haemoglobin 12,9 gr/ dl BUN 21,8 mg/dl Leukosit 13,5 / mm3 Creatinin 0,80 mg / dl Eritrosit 4000 / mm3 Haematokrit 38,1 % Trombosit / mm3 CT/BT 2.00/13.15 Gula darah 159 mg / dl Natrium 139 mmol / L

34 Gambaran EKG Assessmen : 1. subdural hematom regio temporoparietal kanan 2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. fraktur tulang temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular respons 6. Hipertensive heart disease Rencana Tindakan 1. Informed consent 2. Persiapan operasi, Infus NaCl 0,9% 24 tts/mnt 3. O 2 2L/menit nasal 4. Stabilisasi irama jantung, digoksin drip 0,25 mg/ 24 jam 5. Phenitoin 500 mg drip dalam 100 ml NaCl, habis dalam 1 jam 6. Operasi cito, kraniotomi evakuasi clot dan kranioplasti 7. Post operasi pemantauan di ICU ventricular respons dan VES bigemini. Post operasi dirawat di ICU. Status Anestesi Pengelolaan Anestesi Teknik pengelolaan anestesi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan ETT No 7,5, ventilasi kendali. NGT no.16 dipasang untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam 2 mg. Co induksi menggunakan fentanyl 100 μg, induksi dengan propofol 100 mg. Lidokain 1,5 mg /KgBB diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 0,15 mg/kgbb. Pemeliharaan anestesi dengan O 2 + N 2 O + Sevofluran. Propofol di berikan kontinyu 100 mg/jam, Vekuronium 6mg /jam, Digoksin drip 0,25mg / 24 jam. Operasi dilakukan selama 4 jam, evakuasi clot di regio temporoparietal kanan dan fiksasi fraktur tulang zygoma kanan. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar mmhg, tekanan darah diastolik 70-90mmHg, laju nadi (HR) x/mnt ireguler, SaO %, etco Pasca operasi pasien masih tetap kontrol ventilasi karena adanya rapid

35 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI 63 CATATAN HARIAN PASIEN DI ICU Tgl /jam Klinis Intake Lab/Penunjang Terapi Masalah Ket 18/12/2011 Hari KU : tersedasi, masih terintubasi A : Clear, terpasang ETTno 7,5 B : Ventilator BIPAP 12 P 15 ASB 10 FiO 2 80% Vesikuler +/+, rhonki -/- C : TD 205 / 105, N 122 X/mnt, ireguler SaO 2 96%, VES bigemini EtCO 2 33 D: GCS tdk dpt dinilai (DPO) Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/-, suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), oedem (-) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub dural hematom regio temporoparietal kanan 2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi rapid ventricular respon 6. Hipertensif heart disease 7. Congestif heart disease NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL Hb : 12,5 L : 17,93 HCT : 38,7 RBC : 4,09 Plt : 237 AGD ph : 7,17 pco 2 : 67 po 2 : 73 HCO3 : 24,4 BE : - 4,10 SO 2 : 90% Head up 30 0 Oksigenasi ventilator BIPAP12, P 15 ASB10 FiO 2 80% Weaning bertahap Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9%, 40 cc/jam Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab DL, AGD Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi Respirasi belum adekuat Extubasi dilakukan jika TV cukup Monitoring ketat /12/2011 Hari Ekstubasi KU : tersedasi, post ekstubasi A : Clear, NRM O 2 6L/mnt B : Spontan, RR18-20 x/mnt Vesikuler +/+, rhonki -/- C : TD 137 / 85, N 92 X/mnt, ireguler SaO 2 97%,VES jarang D: GCS, E3M6V5 = 14 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Kepala : terdapat bekas craniotomi Mata kanan tampak bengkak, hematom (+) Thx : vesikuler +/+, Rh -/-, whz -/-, suara jantung ireguler bising (-), gallop (-) Abd : Supel, NT (-), H / L ttb Ext : Sianosis (-), Pucat (-), edema (-) KU : CM, sesak nafas (-),panas (-) A : Clear B : Spontan, RR x/mnt Vesikuler +/+, rhonki -/- C : TD 130/73, N 82 X/mnt, SaO % D: GCS = E4M6V5 = 15 Pupil kanan tidak dapat dinilai Pupil kiri 3mm, RC (+) Ass : 1. post craniotomi evakuasi clot e.c sub dural hematom regio temporoparietal kanan 2. fraktur rima orbita inferior kanan 3. fraktur tulang zygoma kanan 4. Post cranioplasti fraktur tulang temporalis kanan. 5. Atrial fibrilasi non rapid ventrikular respon 6. Hipertensive heart disease 7. Congestive heart disease NaCl 0,9% 1000mL Asering 500mL NaCl 0,9% 1000mL Tutofusin OPS 500mL Head up 30 0 Oksigenasi NRM 6L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik drip fentanil 200μg+Tramadol 100 mg + Ketorolac 60 mg drip dlm 500 cc NaCl 0,9%, 40 cc/jam Digoxin drip 0,5mg / 24 jam Catapres 0,2 ug/kg/jam titrasi Amiodaron drip 900mg / 24jam Nifedipin 10 mg sublingual Nebuliser tiap 8 jam Lab AGD ulang Head up 30 0 Oksigenasi nasal 3L/mnt Ceftazidime 2x1 gr iv Pantoprazole 1x 40 mg iv Fenitoin 3x100 mg iv Ondansetron 2x4 mg iv Analgetik Ketesse 3x1 amp iv Amiodaron tab 1x 200 mg Nebuliser K/P Atrial fibrilasi Rapid ventrikular respon Hipertensi Atrial Fibrilasi Monitoring ketat Awasi tanda tanda Rapid Ventrikuler Respons Awasi tanda gagal jantung Boleh Pindah ke Ruangan

36 P emantauan T ekanan D arah,map, L aju J antung, S po2, etc O2 P as c abedah Keterangan: H0-Int : Hari ke-0, intubasi H0-Ext : Hari ke-0, extubasi H1 : Hari ke-1 III. Pembahasan A. Cedera Otak Traumatik S is tolik D ias tolik MAP D enyut J antung etc O 2 S po 2 H 0-Int H 0-E xt H 1 Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan jaringan saraf akibat axon yang putus (DAI). Setelah kejadian cedera otak primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia, hipotensi, gangguan biokimia dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya menyebabkan iskemik serebral. Cedera otak sekunder dapat di atasi maupun dicegah dengan intervensi medis yang baik. Indikasi dilakukan pembedahan jika terjadi kompresi pada sisterna basalis akibat karena resiko terjadinya herniasi. 1,2 1. Patofisiologi 1.1. Efek Sistemik Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada stadium awal cedera otak, seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan curah jantung. Pada cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel dan kehilangan darah yang banyak, respon yang muncul adalah hipotensi dan penurunan curah jantung. Hipotensi (TDS < 90 mmhg) saat tiba di Grafik Perubahan Hemodinamik Pascabedah rumah sakit meningkatkan mortalitas dan morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal, hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan central neurogenic pulmonary edema. Regulasi suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi dan memperberat cedera yang ada Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO 2 menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat maka akan semakin hipoperfusi dan hipometabolisme Pembengkakan Otak Akut dan Edema Serebral Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh penurunan tonus vasomotor serta peningkatan volume pada jaringan pembuluh darah serebral. Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak dan peningkatan TIK. Edema Serebral seringkali vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) dan iskemia. Kedua keadaan diatas dapat terjadi bersama dengan trauma kepala,jika keadaan tersebut tjd karena adanya hematom intra serebral, maka TIK yang terjadi akan menyebabkan penurunan CBF dan iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera akan menyebabkan herniasi batang otak melalui foramen magnum. 2

37 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Eksitotoksisitas, Inflamasi sitokin dan mediator Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protrein kinase, protease, NO sintetase dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan kereusakan DNA sehingga menyebabkan kematian sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu mikrosirkulasi. 2 Skema. 1. Patofisiologi pada Cedera Otak Traumatik Dikutip dari: Sakabe T et al. 2 Dikutip dari: Avelino AM, et al. 10 B. Subdural Hematom (SDH) Subdural hematom merupakan lesi fokal intrakranial yang paling sering dijumpai, sekitar 24% dari pasien yang mengalami cedera kepala berat tertutup. Subdural hematom disebabkan karena robeknya bridging vein kortikal diantara duramater dan piamater. Pada CT-scan tampak seperti gambaran bulan sabit, dan paling sering terjadi pada daerah lobus frontal inferior dan lobus temporal anterior. SDH diklasifikasikan menjadi (1) Akut, (2) Subakut, dan (3) Kronik. Outcome yang buruk terjadi jika terjadi SDH bilateral atau terakumulasi secara cepat, atau penanganan operasi ditunda lebih dari 4 jam. SDH akut berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas (mortality rate) SDH sangat tinggi mencapai 50%. Beberapa faktor mempengaruhi outcome pasien pada SDH termasuk umur, waktu darti kejadian cedera sampai penanganan, adanya pupil yang abnormal, GCS motor skor saat masuk, koma, lucid interval, gambaran CT scan (ketebalan hematom, midline shift), TIK postoperatif dan tipe pembedahan. Adanya kontusio serebral memperburuk prognosis SDH. 1,2,3 SDH menyebabkan kerusakan otak dengan meningkatkan TIK dan pergeseran struktur otak (shifting). Terapi utama SDH adalah evakuasi hematom dengan pembedahan, semakin lama pembedahan tertunda (delay time) semakin buruk kerusakan iskemik yang terjadi. Beberapa studi menyatakan penurunan morbiditasdan mortalitas pada pasien yang dilakukan evakuasi hematom segera. 1,2,3 C. Manajemen Perioperatif pada Cedera Kepala Traumatik Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala fokus pada stabilisasi dan mencegah cedera sekunder karena sebab sistemik dan intrakranial. Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan cervical spine, (2) Breathing: oksigenasi dan ventilasi, (3) Circulatory Status, (4) Associated Injury, (5) Status Neurologis (GCS), (6) Penyakit kronis penyerta, (7) Circumstances of injury: waktu kejadian cedera, lamanya tidak sadar, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat lain. 1,3,4 Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan ventilasi yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan, namun harus dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan intracranial. Setelah jalan nafas terkontrol, fokus penanganan terhadap resusitasi kardiovaskuler. Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala biasanya karena perdarahan. Keadaan ini harus

38 segera ditangani secara agresif dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vasopresor bila perlu. Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiovaskuler adalah terjadinya edema serebri. Osmolalitas serum total merupakan kunci terjadinya edema serebri. Ketika osmolalitas serum menurun maka akan terjadi edema serebri karena rusaknya sawar darah otak, sehingga cairan yang hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada tekanan darah yang relatif stabil karena hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan seharusnya tidak berdasarkan pada tekanan darah semata, namun juga pada produksi urine dan tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan produk darah dapat diberikan jika kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan perburukan outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera diberikan. 1,3,4 D. Manajemen peningkatan TIK Penurunan TIK dan pemeliharaan tekanan darah adalah hal yang krusial pada penanganan hipertensi intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat mempresipitasi reflek hipertensi arterial dan bradikardi (Trias Cushing). (1) Hiperventilasi; jika ditemukan tanda herniasi transtentorial pada pasien dengan cedera kepala berat, hiperventilasi sampai PaCO 2 30 mmhg harus segera dilakukan karena hiperventilasi dapat secara cepat dan efektif menurunkan TIK. (2) Terapi diuretik; manitol 0,25 1 g/kgbb infus selama 15 menit, dapat diulangi setiap 3-6 jam. (3) Posisi; elevasi kepala memfasilitasi drainase CSF dan vena serebral, serta dapat menurunkan TIK. (4) Barbiturat; barbiturat dikenal memiliki efek proteksi serebral dan menurunkan TIK. Barbiturat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan cedera kepala berat yang tidak mampu di kontrol dengan terapi medikal dan pembedahan. 1,3,4 respirasi dan kardiosirkulasi. Induksi anestesi dapat menggunakan obat anestesi intravena. Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskuler, namun pada kasus cedera kepala, harus dipikirkan efeknya terhadap aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intra kranial cairan serebrospinal, auto regulasi serta respon terhadap CO 2. Obat anestesi intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran darah otak adalah tiopental, etomidate, propofol dan midazolam. Untuk pemeliharaan anestesi dapat menggunakan anestesi intravena maupun inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu menurunkan TIK, memelihara suplai oksigen ke jaringan otak, dan menjaga otak dari iskemik akibat metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat, propofol, midazolam dan narkotik dapat menjadi pilihan karena efeknya yang baik dalam hal menurunkan CBF, TIK, dan CMRO 2. Untuk anestesi inhalasi, isofluran, sevofluran, dan desfluran dapat menjadi pilihan. Vekuronium merupakan pelumpuh otot pilihan karena efeknya minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut nadi. 1,3,4,7 Hipotensi intraoperatif karena perdarahan maupun karena perlakuan anestesi harus dihindari, karena dalam 24 jam pertama otak telah mengalami hipoperfusi. Pembengkakan otak intraoperatif ataupun herniasi dari tempat operasi dapat menjadi komplikasi dekompresi hematom. Dapat disebabkan karena posisi pasien yang kurang baik, ICH kontralateral, gangguan drainase vena, atau hidrocephalus akut karena perdarahan intraventrikuler harus segera ditangani. 3,4 F. Proteksi Serebral Menurunkan CMRO 2 tampaknya adalah cara kerja utama pharmakologi proteksi otak dan barbiturat memiliki efek tersebut. Barbiturat dosis tinggi direkomendasikan untuk mengontrol peningkatan TIK, dimana terapi medis dan pembedahan tidak mampu mengatasi peningkatan TIK ini. Penurunan suhu tubuh (hipotermia) o C dipercaya memiliki efek proteksi serebral. Mekanisme proteksi termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas, menghambat pembentukan radikal bebas dan edema. 1,3,4,7 E. Manajemen Anestesi Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan sekunder dan memberikan kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi umum menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi

39 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI 67 Tabel. 1. Terapi Hipertensi Intrakranial pada Cedera Kepala Traumatik Berat 4 Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial pada Cedera Kepala Traumatik Berat (Glasgow Coma Scale 8) 1. Pasang ICP monitor 2. Pertahankan CPP mmhg First Tier Therapy Drainase ventrikel (jika tersedia) Manitol 0,25-1 gr/kg iv (dapat diulang jika osmolaritas serum < 320 mosm/l dan euvolemik) Hiperventilasi untuk mencapai PaCO mmHg Second Tier Therapy Hiperventilasi sampai PaCO 2 < 30 mmhg (monitor SjVO 2, AvDO 2 dan CBF direkomendasikan) Terapi barbiturat dosis tinggi (koma barbiturat) Pertimbangkan Hipotermia Pertimbangkan terapi hipertensi Pertimbangkan kraniektomi dekompresi Dikutip dari: Bendo AA. 4 G. Atrial Fibrilasi (AF) Atrial fibrilasi merupakan penyakit aritmia jantung yang paling sering ditemukan. AF kadang muncul tanpa gejala, namun seringkali berhubungan dengan nyeri dada, kelelahan, atau penyakit jantung kongestif (CHF). Angka kejadian AF meningkat sesuai umur, 5% usia diatas 70 tahun mengalami AF. AF sering terjadi pada penyakit jantung kongestif / CHF (40%), bypass koroner jantung (25-50%), dan pada pasien kritis (15%). AF dapat meningkatkan resiko stroke sampai tujuh kali lipat, dan diperberat lagi jika terdapat hipertensi. 5,6 1. Gejala Klinis Atrial fibrilasi biasanya ditandai dengan denyut jantung yang cepat dan ireguler. Keadaan ini dapat menyebabkan palpitasi, angina, gejala kongestif, nafas yang pendek bahkan edema. Pada kebanyakan kasus AF terjadi sekunder terhadap penyakit yang lain. Adanya riwayat stroke, TIA, hipertensi, DM, gagal jantung dan demam rematik, menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki AF dengan komplikasi resiko tinggi. 5,6 2. Penatalaksanaan AF Tujuan utama penatalaksanaan AF adalah mencegah instabilitas kardiosirkulasi dan stroke, yaitu dengan cara mengontrol laju denyut ventrikel (rate control), mengontrol irama jantung (rhytm control) dan antikoagulant. Rate Control menurunkan denyut jantung mendekati normal, x/menit tanpa mengubah irama jantung. Rhytm Control mengembalikan irama jantung normal (cardioversi) dan menjaga irama dengan obatobatan. Rate Control dapat dicapai dengan obat-obatan dengan meningkatkan derajat hambatan pada AV node. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah golongan beta bloker (yang kardioselektif lebih baik), non dihidropiridine Ca chanel bloker (diltiazem, verapamil), dan glikosida jantung (digoksin). Selain obat diatas, amiodaron juga memiliki efek blokade AV node jika diberikan secara intravena. 5,6 3. Ventricular Rate Control Pada AF, sangat penting untuk mengontrol respon ventrikel (laju denyut ventrikel), jika hemodinamik tidak stabil dengan respon ventrikel cepat (Rapid Ventricular Respons), synchronized DC shock harus segera diberikan. Jika hemodinamik stabil, simtomatik dan fungsi ventrikel kiri normal,maka cukup dengan obat-obatan saja. Beta bloker, diltiazem, digoksin, magnesium, amiodaron atau sotalol dapat diberikan. Pada AF kronik digoksin sering menjadi pilihan, khususnya pada fungsi ventrikel kiri yang tidak baik. Beta bloker sering diberikan sebagai tambahan untuk meningkatkan daya kerja digoksin. Amiodaron juga memiliki hasil yang baik pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. 5,6 Gambar.1. Gambaran EKG Atrial Fibrilasi Dikutip dari: Prystowsky EN. 6 H. Penyakit Jantung Hipertensi Penyakit jantung hipertensi disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang kronis, namun penyebab kenaikan tekanan darah bisa bermacam macam. Hipertensi menyertai seperempat kasus gagal jantung. Studi komunitas menunjukkan hipertensi 50-60% berperan terhadap terjadinya gagal jantung. Hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan perubahan struktur miokard dan pembuluh koroner serta sistem konduksi jantung.

40 Perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya LVH, CAD, penyakit gangguan konduksi jantung, disfungsi sistolik dan diastolik miokard. Komplikasi yang terjadi manifestasinya dapat berupa angina, miokard infark, aritmia jantung (khususnya atrial fibrilasi), dan CHF. Perubahan pola makan, konsumsi obat antihipertensi yang teratur, olah raga yang teratur serta pengaturan berat badan yang ideal adalah hal yang perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan perbaikan outcome. 8 I. Implementasi Pada pasien ini prinsip penanganan praanestesi dan prioperatif telah dilakukan terutama penanganan airway, breathing, sirkulasi. Penanganan terhadap atrial fibrilasi yang terjadi, diberikan digoksin drip 0,25 mg/jam untuk kontrol laju denyut jantung dan kontrol terhadap tekanan darah. Pada pasien ini obat pro koagulan tidak diberikan karena memberikan efek kurang baik terhadap perdarahan subdural yang terjadi pada pasien ini serta respon ventrikel yang masih normal. Memang terjadi keterlambatan (delayed time) lebih dari 4 jam, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien ini, namun jika melihat kondisi klinis pasien, dimana GCS masih 14, tidak ditemukan tanda TIK yg meningkat serta tandatanda herniasi. Pemilihan jenis cairan dan obat anestesi telah dipilih yang memiliki efek yang baik terhadap otak (proteksi serebral) yaitu larutan isotonis dan hipertonis, obat anestesi intravena yang menurunkan TIK dan aliran darah otak, propofol, fentanil, lidokain, midazolam. Thiopental sebenarnya merupakan pilihan utama karena efeknya menurunkan CMRO 2, namun obat ini tidak tersedia. Pascabedah, terjadi respon cepat ventrikel terhadap atrial fibrilasi, peningkatan tekanan darah serta VES bigemini, sehingga diputuskan untuk menunda ekstubasi di kamar operasi. Amiodaron dan clonidin diberikan untuk mengontrol laju jantung, irama jantung serta peningkatan tekanan darah. IV. Simpulan Semua keadaan ini saling memperberat, pada cedera kepala traumatik terjadi peningkatan aktivitas simpatis sebagai respon terhadap stress (sympathetic storming). Sympathetic storming terjadi pada 24 jam pertama setelah cedera sampai beberapa minggu kemudian. Jika sympathetic storming tidak ditangani akan meningkatkan resiko cedera otak sekunder. Penurunan oksigenasi jaringan otak merupakan akibat dari dampak fisiologis pada sistem tubuh. Hipertensi, aritmia, hiperglikemi, hipertermi dan hipernatremi dapat muncul akibat sympathetic storming. Aritmia yang sering muncul adalah bradikardi, denyut ektopik, denyut ireguler, atrial fibrilasi dan supraventrikuler takikardi. Aritmia harus segera ditangani jika mengancam kehidupan, dan menyebabkan instabilitas hemodinamik serta hipoksia serebral, baik karena infark miokard maupun thromboemboli (AF dan SVT). Persiapan yang baik sebelum pembedahan yaitu oksigenasi, stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler termasuk terapi aritmia, serta status cairan yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih baik. V. Daftar Pustaka 1. Yarham S, Absalom A. Anesthesia for patient with head injury. Dalam: Gupta, Gelb, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders ; Sakabe T and Bendo A. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins ; Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. 4 th ed. USA: Mosby. 2001; Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Neuroanesthesia. 5 th ed. USA: Mosby. 2010; Holt A. Management of cardiac arrhytmias. Dalam: Oh TE, Bersten AD, Soni N, eds. Intensive Care Manual. 5 th ed. China: Butterworth-Heinemann;2003; Prystowsky EN. "Management of atrial fibrillation: therapeutic options and clinical decisions". Am J Cardiol 2000; 85 (10A): 3D 11D. 7. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra; Riaz K, Ali YS, Ahmed A. Hypertensive Heart Disease. Medscape Lemke DM. Sympathetic storming after severe traumatic brain injury. Clinical Article. Critical Care Nurse 2007; 27 : Avelino AM, Lam AM, Winn HR. Management of acute head injury. Dalam:

41 SUBDURAL HEMATOM DENGAN ATRIAL FIBRILASI DAN PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI 69 Albin MS, ed. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspective. USA : McGraw-Hill; 1997,

42 PERAN NEURO CRITICAL CARE PADA TATA LAKSANA PASIEN CEDERA AKSONAL DIFUS THE ROLE OF NEUROCRITICAL CARE ON DIFFUSE AXONAL INJURY MANAGEMENT Bambang Harijono, Siti Chasnak Saleh Departemen Anestesiologi dan Reanimasi RSUD dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Abstract Diffuse Axonal Injury (DAI) is a state of long-time unconsciousness, more than 6 hours in severe traumatic brain injury and without mass lesions of intracranial. According to how long the patient still in coma condition, DAI is divided into 3 categories, grade I (mild), grade II (moderate), grade III (severe). If this condition not addressed quickly and accurately, the patient may will get a permanent disability and still in a vegetative state condition. The importance of Neuro-anesthesiologist and Critical Care is to take care of the patient, from the trauma site until in the neurointensive care. A woman, 18 years old, weight 50 kg, height 165 cm. She had a motorcycle accident and unconscious from the trauma site until she got into the hospital. Intra Cranial Pressure (ICP) Monitoring and a treatment of traumatic brain injury in general was performes. On the 4 th day after trauma, the patient began to understand the command that was given and the GOS (Glasgow Outcomes Scale) is 3 (severe disability). DAI occurs due to severe brain injury after trauma resulting in impairment of consciousness with the absence of intracranial mass lesions and also ischemia. The various theories bring to the surface regarding the occurrence of DAI. The management in DAI is nothing specials, it contains the treatment in traumatic brain injury in general, the prevention of secondary injury and maintain ICP in normal condition is essentials. The prognosis is depends on the type DAI that was occurs. Keywords : anesthesia, diffuse axonal injury, traumatic brain injury. JNI 2102;1(3): Abstrak Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI) adalah keadaan penderita dengan kehilangan kesadaran, lebih dari 6 jam pada cedera otak traumatik berat dan tanpa lesi masa intrakranial. Berdasar lama kondisi koma pada pasien, DAI dibagi menjadi 3 kategori, kelas I (ringan), kelas II (sedang), kelas III (berat). Bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, kemungkinan pasien akan mengalami cacat permanen dan tetap dalam kondisi vegetative. Peran Neuro Anestesi dan Critical Care adalah untuk menangani penderita, dimulai dari tempat kejadian trauma hingga perawatan neurointensif. Seorang wanita, umur 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi 165 cm. Mengalami kecelakaan sepeda motor, kemudian penderita pingsan mulai dari tempat kejadian sampai dibawa ke rumah sakit. Dilakukan monitoring tekanan intrakranial (ICP) dan perawatan cedera otak traumatik berat pada umumnya. Pada hari ke 4 setelah trauma, penderita mulai sadar, dapat diperintah dan dengan nilai Glasgow Outcomes Scale (GOS): 3 (cacat parah). DAI terjadi karena cedera otak berat setelah trauma sehingga menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya lesi masa intrakranial maupun iskemik. Bermacam-macam teori dikemukakan mengenai terjadinya DAI. Penatalaksanaan DAI tidak ada yang khusus, dilaksanakan penanganan seperti pada cedera otak traumatik umumnya, hanya diperlukan pencegahan cedera sekunder dan mempertahankan tekanan intrakranial (ICP) dalam kondisi normal. Prognosa tergantung dari jenis DAI yang terjadi. Kata kunci : anestesi, cedera difus aksonal, cedera otak traumatik. JNI 2102;1(3):

43 I. Pendahuluan Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury / DAI) pertama kali diperkenalkan oleh Sabrina Strich, yang dikemukakan pada tahun 1956 dengan nama Diffuse Degeneratif of White Matter, yang kemudian dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury. Strich meneliti hubungan antara demensia dengan trauma kepala dan di tahun 1956 menegaskan, bahwa DAI mempunyai peran penting dalam perkembangan akhir demensia yang disebabkan oleh trauma kepala. Istilah Diffuse Axonal Injury baru populer pada awal tahun Cedera aksonal difus adalah keadaan penderita dengan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama, pada cedera otak berat yang disebabkan oleh karena trauma, dimana tanpa lesi masa intrakranial. Kehilangan kesadaran terjadi sejak saat cedera dan berlanjut sampai lebih dari 6 jam. 2 Akson adalah sel saraf panjang yang membawa impuls elektrik dari satu bagian sistem saraf ke bagian yang lain. Pada otak dan medula spinalis terdapat miliaran akson yang membawa informasi secara bolak-balik. 3 Pada DAI terjadi lesi yang luas didalam saluran white matter. Ini merupakan penyebab utama dari ketidaksadaran penderita dan dapat memburuk menjadi persistant vegetative setelah trauma kepala terjadi. 1 Pada 90% pasien DAI berat yang mengalami koma, tidak pernah sadar kembali. Banyak penulis lain yang menyatakan bahwa DAI dapat terjadi pada setiap derajat beratnya cedera kepala, dari ringan, sedang hingga cedera kepala berat. 2 Dengan campur tangannya seorang neuro critical care yang juga seorang neuro anestetist maka diharapkan akan mendapatkan hasil yang lebih baik dan penderita dapat beraktivitas normal kembali. DAI pada umumnya disebabkan karena penderita jatuh, perkelahian dan paling sering karena kecelakaan kendaraan bermotor dan juga kekerasan pada anak yang disebut sebagai Shaken Baby Syndrome. 1 II. Kasus Seorang wanita 18 tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 165 cm. Masuk RSUD dr. Soetomo, Surabaya bagian Instalasi Rawat Darurat tanggal 25 Februari 2012 jam Tanggal 25 Februari 2012 jam 14.00, penderita naik sepeda motor dan menyeberang jalan kemudian ditabrak dengan sepeda motor lain. Kejadian tersebut tidak diketahui secara pasti. Penderita langsung pingsan/tidak sadar ditempat kejadian dan tetap tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah sakit terdekat. Dari hetero anamnesa, penderita muntah dua kali dan penderita juga memakai helm pengaman. Penderita langsung dibawa ke RS Anwar Medika Krian, diberikan pertolongan dengan memasang infus dextrose 5%-0.45% NaCl, diberikan oksigen masker 8 liter/menit, dipasang neck collar, dilakukan foto dada dan cervical, tercatat tekanan darah 80/40 mmhg, nadi 120 kali/menit. Karena alat CT-scan RS Anwar Medika Krian rusak, pasien kemudian dirujuk ke RSUD dr. Soetomo dengan diagnosa cedera otak berat (COB). Setelah pasien tiba di RSUD dr. Soetomo (tanggal 25 Februari 2012, pukul 18.00) dilakukan pemeriksaan ulang diruang resusitasi, dengan hasil sebagai berikut. Pemeriksaan fisik Hasil Primary Survey: Jalan nafas bebas, terpasang neck collar. Nafas spontan, frekuensi 20 kali/menit, gerak dada simetris, kedua paru terdengar vesicular, tidak terdengar ronchi dan wheezing. Perfusi hangat, kering, merah, capillary refill time (CRT) normal, tekanan darah 125/87 mmhg, nadi 120 kali/menit. Respon terhadap rasa sakit/gcs 5 (1,1,3), reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3, lateralisasi (-), kejang (-), tanda fraktur basis cranii (-). Tanda-tanda ekstrimitas fraktur (-). Tindakan terapi sementara di UGD (ruang resusitasi) - Diberikan oksigen masker 10 liter/menit, serta dipersiapkan untuk intubasi setelah sebelumnya, memberi penjelasan dan minta persetujuan keluarga. - Infus diganti dengan NaCl 0,9% - Induksi dengan Midazolam 2 mg + 2 mg, Rocuronium 50 mg, ditambahkan Lidokain 60 mg secara intravena. Intubasi dengan ETT no. 7 diberi Cuff. Dilakukan kontrol ventilasi dengan FiO 2 50%. - Dilakukan pemasangan naso gastric tube - Pemeriksaan laboratorium lengkap dan CT-scan ulang. Hasil Secondary Survey: Jalan nafas bebas, terintubasi, gerak dada simetris, suara nafas vesikuler serta tidak terdengar ronchi juga wheezing pada kedua paru. Perfusi dan capilary refill time normal, tekanan darah 125/87 mmhg, nadi 105 kali/menit, tidak terdapat tanda-tanda perdarahan aktif. Tersedasi, pupil bulat isokor 3/3, reflek cahaya +/+, battle sign (-), panda sign (-). Terpasang kateter, produksi urine 50 ml/jam, kuning dan jernih. Abdomen supel, terpasang NGT. Lainnya dalam batas normal. 2

44 Pemeriksaan laboratorium Hb: 10.4 g/dl, Hct: 31.1 %, Leukosit: , Thrombosit: , BUN: 4.5 mg/dl, Sr. Creatinin: 0.39 mg/dl, Albumin: 4.29 g/dl, Gula darah: 103 mg/dl, SGOT: 33 u/l, SGPT: 22 u/l, APPT: 30.1/29.6 detik, PPT:13.8/11.5 detik, Na + : 135 mmol, K + : 2.88 mmol, Cl - : mmol. Analisa gas darah (FiO 2 50%) ph: 7.37, PaCO 2 : 33 mm/hg, PaO 2 : 293 mm/hg, HCO 3 : 19.1 mmol/l, Tot. CO 2 : 20.1 mmol/l, BE: -6.2 mmol/l. Foto dada (gambar 1.1): dalam batas normal. Foto leher (gambar 1.2): dalam batas normal. CT Scan (gambar 1.3 & 1.4): menunjukkan adanya edema otak, tanpa midline shift. Gambar 1. 1 Gambar 1. 2 Gambar 1. 3 Gambar 1. 4 Diagnosa akhir: pasien cedera otak berat (COB) dan cedera aksonal difus (DAI). Rencana terapi selanjutnya adalah: posisi head up 30, ventilasi dikendalikan, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24 jam, mannitol 4 x 100 ml/iv, antibiotik, dilakukan pemasangan ICP monitoring dengan anestesi umum di ruang operasi. Pengelolaan anestesi Keadaan saat di kamar operasi (jam WIB): Jalan nafas bebas, terintubasi, nafas dikontrol, gerak dada simetris, suara nafas vesikuler, ronchi dan wheezing tidak terdengar di kedua paru. Perfusi normal, CRT normal, tekanan darah 105/60 mmhg, nadi 95 kali/menit. Tersedasi, reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3. Terpasang kateter, produksi urine 100 ml/jam. Lainnya dalam batas normal. Diberikan tambahan terapi dengan Propofol 50 mg, Vecuronium 4 mg. Untuk rumatan diberikan Isofluran, O 2 50% serta udara 50%. Selain itu, juga diberikan Fentanyl 50 mcg/jam (1 mcg/kgbb/jam) serta Vecuronium 2 mg/jam (0.04 mg/kgbb/jam) dengan syringe pump. Selama operasi tekanan darah berkisar, Sistolik mmhg, Diastolik mmhg, Nadi kali/menit, SpO %. Keseimbangan cairan sebelum operasi: (cairan masuk) D5-0,45 NS: 1000 ml, NaCl 0.9%: 1000 ml, Mannitol: 200 ml, (cairan keluar) Urine: 400 ml. Keseimbangan cairan selama operasi: (cairan masuk) Koloid/voluven: 200 ml, NaCl 0.9%: 200 ml, (cairan keluar) Urine: 200 ml, Perdarahan: 150 ml. Dilakukan boor hole untuk pemasangan ICP Monitoring, mulai jam (durasi operasi: 2 jam). Kemudian dilakukan pemasangan drain intraventrikuler dengan menggunakan naso gastric tube no. 8 dan dilakukan fiksasi. ICP terukur berkisar 15 cmh 2 O, dan liquor jernih. Operasi selesai. Pascabedah Hari ke 0 pascabedah (26/2/2012): Jalan nafas bebas, terintubasi, kontrol ventilasi, FiO 2 : 50% kemudian diturunkan menjadi 30%. Tidak terdengar ronchi dan wheezing, suara nafas vesikuler. Tekanan darah 110/70 mmhg, nadi 70 kali/menit, suhu 37.2 C. Tersedasi, pupil bulat isokor 3/3, reflek cahaya +/+, ICP: 15 cmh 2 O. Terpasang kateter, produksi urine sekitar 50 ml/jam, kuning, jernih. Lainnya dalam batas normal. Terapi yang diberikan: posisi head up 30, ventilasi dikendalikan dengan sedasi morphine dan midazolam, analgesik, H 2 blocker, antibiotik, mannitol 4 x 100 ml, infus NaCl 0,9% 1500 ml/24 jam, pirasetam, drip KCl: 25 meq/12 jam. Hari ke I pascabedah (27/2/2012): Jalan nafas bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, FiO 2 3

45 30%. PS: 10, PEEP: 6, Trigger 2, sehingga didapat TV: 390, RR 16 kali/menit, MV: 6.1. Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing. Perfusi hangat, kering, merah, CTR normal, tekanan darah 109/80 mmhg, MAP: 80 mmhg, nadi 88 kali/menit. GCS 2, X, 5, pupil bulat isokor 3/3, ICP: 13 cmh 2 O, reflek batuk (+), EVD 150 ml. Terpasang kateter urine, dan lainnya dalam batas normal. Terapi yang diberikan: Infus Ringer dextrose 5% 1000 ml/24 jam, Sonde 6 x 250 ml (sonde nutrisi), Antibiotik, Phenytoin, Pirasetam. Hari ke II pascabedah (28/2/2012): Jalan nafas bebas, terintubasi, ventilator mode: spontan, PS: 6, Trigger 2, PEEP 6, FiO 2 30%. Sehingga menghasilkan TV , MV 7-8.4, RR kali/menit. SpO %. Tekanan darah 118/84 mmhg, nadi 88 kali/menit. GCS 3, X, 5, pupil bulat isokor 3/3, ICP : 8 cmh 2 O. Terpasang kateter urine dan lainnya dalam batas normal. Terapi yang diberikan; Infus Ringer dextrose 5% 1000 ml/24 jam, Sonde 6 x 250 ml (sonde nutrisi), Antibiotik, Phenytoin, Pirasetam. Pada hari ini pula, kondisi pasien membaik, dicoba nafas spontan, sehingga ekstubasi dapat dilakukan. Hari ke III pascabedah (29/2/2012): Jalan nafas bebas, nafas spontan, RR 20 kali/menit, suara paruparu vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing. Perfusi cukup, CRT normal, tekanan darah 128/84 mmhg, nadi 77 kali/menit. GCS 13 (3,4,6), reflek cahaya +/+, pupil bulat isokor 3/3, dilakukan pelepasan drain EVD. Terpasang kateter urine dan lainnya dalam batas normal. Pada hari yang sama, penderita pindah ruangan bedah saraf. III. A. Anatomi Pembahasan Otak besar (cerebrum) terdiri atas beberapa bagian antara lain, korteks cerebri (grey matter), white matter (substansi alba). Korteks cerebri atau biasa disebut grey matter adalah substansi grisia yang terletak pada permukaan hemisphere cerebri. Tiap hemisphere cerebri terdiri dari lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus occipitalis. Secara makroskopik, bagian ini mengandung badan sel saraf, dendrit dan ujung akson yang tidak bermielin. 2 Sedangkan white matter (substansi alba) merupakan bagian pusat dari hemisphere cerebri yang letaknya dibawah korteks cerebri. Medulla serebri terdiri dari substansi alba, ventrikulus lateralis dan kelompok nuclei. Secara makroskopik, bagian ini sebagian besar tersusun atas akson bermyelin. 2 B. Definisi Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury/DAI) merupakan bentuk cedera otak berat yang terjadi pada penderita cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury/TBI). 2 Cedera aksonal difus (DAI) terjadi karena cedera otak berat yang menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya lesi masa intrakranial ataupun kerusakan iskemik. Cedera otak (Head Injury) berdasarkan GCS di bagi menjadi 2 : 1. Cedera Kepala Ringan (Head Injury Grade I) Penderita dengan cedera kepala ringan memiliki skor GSC 13-15, bisa disertai dengan disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual dan muntah. 2. Cedera Kepala Sedang (Head Injury Grade II) Penderita dengan cedera kepala sedang memiliki skor GCS 9-12 atau GCS bisa lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis focal. Pada keadaan ini pasien masih bisa mengikuti perintah sederhana yang diberikan. 3. Cedera Kepala Berat (Head Injury Grade III) Penderita dengan cedera kepala berat memiliki skor GCS 8, dengan atau tanpa disertai dengan gangguan fungsi batang otak. Penilaian derajat kesadaran ini dilakukan sesudah stabilisasi pernafasan dan stabilisasi sirkulasi penderita untuk memastikan bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh cedera yang lain. 2 Pada kasus yang dibicarakan didapatkan penderita dengan GCS 5 (1,1,3), penilaian GCS ini diberikan setelah dilakukan primer survey dan resusitasi dengan oksigenasi, pemasangan infus dan neck collar, sehingga penderita tersebut termasuk dalam cedera otak berat ( Head Injury Grade III). C. Epidemiologi Cedera otak karena trauma merupakan penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Kejadian cedera otak dari waktu ke waktu tidak pernah berkurang. Faktor-faktor yang menyebabkan cedera otak antara lain: meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana transportasi, sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas. Meningkatnya kuantitas dan kualitas industri, terutama kendaraan bermotor, juga berpengaruh pada meningkatnya kecelakaan. Faktor lain seperti disiplin lalu lintas, sarana pendukung jalan yang relative tetap dan mudahnya untuk dapat memiliki kendaraan bermotor, juga memicu kecelakaan. 2 4

46 Cedera otak lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda antara tahun, dari pada anakanak dan orang tua, dan lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada wanita. Hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan laki-laki lebih sering beraktifitas atau lebih banyak menggunakan kendaraan. Sedangkan, pada kasus ini dialami oleh seorang wanita dewasa muda karena kecelakaan lalu lintas mengendarai sepeda motor. D. Mekanisme Cedera Kepala Mekanisme cedera kepala terbagi menjadi 3 macam pergerakan yaitu linier, rotasional dan angular. Pada umumnya banyak cedera kepala melibatkan 3 pergerakan tersebut. 1,2,3 Tidak seperti trauma otak yang terjadi karena benturan langsung, kerusakan dari otak pada DAI merupakan hasil dari pergeseran yang terjadi ketika kepala bergerak secara cepat dan paksa yang bisa terjadi pada kecelakaan kendaraan, jatuh dan lainnya. 1,2,3 Penyebab utama kerusakan pada DAI adalah gangguan pada akson. Sedangkan akson tersebut terlihat putih karena mengalami myelinisasi, sehingga disebut sebagai white matter. Akselerasi dan deselerasi pada kepala menyebabkan cedera pergeseran sehingga mengakibatkan kerusakan yang ditimbulkan karena adanya gesekan antara jaringan yang satu dengan jaringan yang lain. Ketika otak mengalami akselerasi, bagian dari komponen otak dapat bergeser/berotasi secara simetris dan meregangkan akson yang bersimpangan pada area yang berbeda, khususnya pada area pertemuan antara white matter dan grey matter. Dua per tiga dari lesi pada DAI terjadi pada area dimana terdapat pertemuan antara white matter dan grey matter. 1,2 Selama cedera trauma kepala, banyak gaya tekan yang terjadi pada otak. Tekanan/gaya inilah yang dapat menyebabkan perputaran dan pergeseran pada jaringan otak. Dengan perputaran dan pergeseran pada jaringan otak, akson yang panjang dapat meregang dan akhirnya putus sehingga impuls elektrik yang normal tidak bisa dihantarkan oleh akson. Disebut cedera aksonal difus karena secara umum, menyebabkan akson pada banyak area di otak dapat mengalami cedera secara simultan (bersamaan). Karena cedera ini dapat menyebar luas pada otak, bentuk dari cedera ini menjadi salah satu yang paling fatal dan menyebabkan cacat neurologis secara permanen 2,3,4. E. Patofisiologi Cedera Aksonal Difus (DAI) Lesi biasanya muncul pada white matter otak yang cedera karena DAI. Lesi ini memiliki ukuran yang bervariasi dari 1 15 mm dan dapat menyebar. DAI biasanya mempengaruhi daerah white matter, termasuk brain stem, corpus callosum dan cerebral hemisphere. Lobus otak yang biasanya cedera adalah pada bagian frontal dan temporal. Lokasi lainnya yang umum untuk DAI, termasuk white matter pada korteks serebri, corpus callosum, superior cerebral peduncle, basal ganglia, thalamus dan deep hemispheric nuclei. Area-area inilah yang mungkin lebih mudah rusak karena adanya perbedaan kepadatan antara area tersebut dengan area yang lain. 1,4,5 DAI ditandai dengan adanya akson yang terpisah karena putus akibat perenggangan secara tiba-tiba. Penyebab utama dari robeknya akson karena tekanan mekanis selama terjadi trauma, tetapi dapat juga akson tidak robek pada saat trauma, tetapi akson robek karena reaksi biokimia sekunder. Reaksi biokimia ini terjadi sebagai respon dari cedera utama dan terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera awal, sehingga menjadi penyebab rusaknya akson. 1,6 Proses yang terlibat di dalam cedera otak sekunder masih sulit untuk dimengerti, namun kenyataannya dapat diterima bahwa meregangnya akson selama cedera akan menyebabkan gangguan fisik dan degradasi proteolitik dari sitoskeleton. Keadaan ini juga membuka saluran Sodium (sodium channel) pada axolemma, yang menyebabkan terbukanya saluran Kalsium secara elektrik dan Kalsium masuk dalam sel. 1,4,6 Terdapatnya Kalsium dalam sel akan mengaktifkan fosfolipase dan enzim proteolitik, yang akan merusak mitokondria dan sitoskeleton sehingga menyebabkan pemutusan akson dan kematian sel. Akson secara normal berbentuk elastis, tetapi ketika meregang dengan cepat, akson menjadi rapuh dan sitoskeleton pada akson dapat patah. Ketidak selarasan komponen sitoskeleton setelah terjadi peregangan dapat menyebabkan putusnya akson dan matinya sel saraf. Transport yang dilakukan akson tetap terjadi sehingga mencapai titik dimana akson putus dan menyebabkan penumpukan materi yang di transport, sehingga terjadi pembengkakan. Ketika pembengkakan menjadi besar, dapat memutuskan akson pada tempat dimana sitoskeleton rusak dan membentuk sebuah benjolan. Benjolan ini disebut bola retraksi, tanda dimana terjadi DAI. Kejadian tersebut diatas membutuhkan waktu 1-2 hari setelah cedera. 1,4 Meskipun terkadang hanya sitoskeleton yang mengalami gangguan, biasanya aksolemma juga terganggu, sehingga menyebabkan masuknya ion Ca 2+ kedalam sel dan menyebabkan berbagai proses degradasi. Peningkatan kadar Ca 2+ dan Na + serta penurunan kadar K +, ditemukan langsung pada akson setelah cedera terjadi. Tingkat kadar Ca 2+ di 5

47 dalam sel yang tinggi, merupakan penyebab utama kerusakan sel setelah cedera, sehingga menghancurkan mitokondria. Hal ini akan memicu fosfolipase dan enzim proteolitik yang merusak saluran Na + dan merusak susunan sitoskeleton dan aksolemma. Kelebihan Ca 2+ dapat juga menyebabkan kerusakan blood brain barrier dan pembengkakan otak. Salah satu protein yang aktif dengan adanya Ca 2+ dalam sel adalah Calpain, yang merupakan Ca 2+ dependent non lysosomal protease. Sekitar menit setelah cedera, sebuah proses yang disebut calpain-mediated spectrin proteolisis (CMSP) terjadi. Calpain akan memecah molekul yang disebut spectrin, sehingga menyebabkan pembentukan blebs, memecah sitoskeleton dan membrane, yang akan langsung menyebabkan kematian sel. 1,5 Pada umumnya setelah 1 6 jam setelah proses cedera peregangan akson, munculnya Ca 2+ dalam sel, menjadi pertanda proses cedera sel yang menyebabkan apoptosis atau kematian sel. Mitokondria, dendrit dan bagian dari sitoskeleton yang rusak pada saat cedera, memiliki kemampuan terbatas untuk sembuh dan regenerasi, prosesnya membutuhkan waktu selama 2 minggu atau lebih. Setelah cedera, astrocyte dapat mengecil sehingga menyebabkan otak menjadi atropi. 1,4 F. Klasifikasi Berdasarkan studi mengenai neuro pathology, Adam s membagi dalam 3 gradasi. 1,2 Grade I : DAI ditandai dengan aksonal mikroskopik, tersebar luas dan menyebabkan banyak kerusakan pada lokasi tersebut. Grade II : DAI tersebut diatas, ditambah abnormalitas fokal pada corpus callosum. Grade III : DAI dengan lesi fokal pada rostral brain stem. DAI terdapat pada % penderita cedera otak berat dan memiliki ciri khas lesi yang kecil bilateral, tidak adanya perdarahan pada white matter, corpus callosum dan batang otak bagian atas. Sedangkan menurut lamanya koma, DAI dibagi dalam 3 kategori: Ringan : Koma selama 6 24 jam Sedang : Koma > 24 jam, tanpa postur decerebrate Berat : Koma > 24 jam disertai dengan postur decerebrate DAI dengan level sedang (moderate) merupakan bentuk yang paling sering dan muncul pada 45% dari semua pasien dengan DAI. DAI berat (severe) muncul dengan prosentase 36% dari semua pasien DAI, dan pada umumya memberikan hasil yang jelek, dengan mortalitas berkisar 50%. DAI berat akan membuat pasien berada dalam kondisi koma yang cukup dalam dan dengan jangka waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan sering disertai cacat berat dan menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom seperti : hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia. 2 G. Diagnosis Dasar diagnosa DAI dapat ditegakkan dengan gejala klinis, tingkat kesadaran dan deficit neurologis. DAI sulit dideteksi dengan teknik CT Scan atau teknik makroskopik lainnya, hanya dapat dideteksi secara mikroskopik. Terdapat ciri-ciri khas pada DAI yang mungkin muncul pada CT Scan dan MRI, yaitu dengan adanya perdarahan-perdarahan kecil yang terlihat pada corpus callosum atau cerebral cortex. Pemeriksaan MRI lebih berguna dan disenangi dari pada CT Scan. Pemeriksaan terbaru yaitu dengan Diffuse Tensor Imaging dapat menunjukkan derajat cedera yang ada di white matter yang tidak terdeteksi oleh MRI 1,6,7. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan cedera, dengan cara: MRI, untuk menunjukkan dengan rinci bagian-bagian dari otak, pemeriksaan ini lebih dipilih untuk mendiagnosis DAI. Sedangkan CT Scan tidak dapat diandalkan untuk dapat memberikan hasil yang pasti. Dapat juga dilakukan pemeriksaan Evoke potensial dan EEG. 4,6,7 H. Gejala DAI Gejala utama dari DAI adalah tidak sadar (koma) yang dapat berlangsung hingga 6 jam atau lebih. DAI sering diakibatkan karena cedera trauma deselerasi dan sering menyebabkan status vegetative persistence, terutama pada DAI berat. Karena DAI bersifat difus, secara umum tidak menyebabkan gejala neurologis fokal. Karena akson pada system saraf sentral tidak dapat tumbuh kembali, hal ini dapat menyebabkan cacat neurologis jangka panjang yang menyebabkan pasien dapat mengalami cedera lainnya. 2,3,6 Pada kasus yang dibicarakan tersebut diatas, penderita dengan COB dan dalam keadaan tidak sadar lebih dari 24 jam, dilakukan pemeriksaan CT scan didapatkan odema serebri, tanpa lesi dan iskemia otak dan tidak didapatkan postur decerebrate, sehingga penderita pada kasus tersebut didiagnosa sebagai DAI sedang. 6

48 I. Penatalaksanaan DAI tidak memiliki perawatan yang spesifik. Tindakan perawatan sangatlah komplek. Pemantauan neurologis, tindakan bedah dan tindakan kontrol ICP adalah perawatan yang standar. Tidak ada pengobatan khusus untuk DAI, yang dilakukan adalah pengobatan pasien cedera otak traumatik secara umum. Perawatan pada setiap pasien akan berbeda beda disesuaikan kasus per kasus. 1,2,3,6 Tindakan segera dilakukan untuk mengurangi pembengkaan di dalam otak, yang dapat menyebabkan kerusakan tambahan. Dalam beberapa kasus pemberian steroid dan obat lain yang diharapkan untuk mengurangi peradangan dan pembengkaan dapat dipertimbangkan, dan penderita tetap dalam pemantauan. Operasi bukan pilihan bagi penderita DAI. 2,6 Jika pasien menderita DAI ringan atau sedang, maka fase rehabilitasi akan dilakukan setelah penderita stabil dan sadar. Selama fase perawatan, pasien dan keluarganya akan bekerja sama dengan staf multidisiplin termasuk dokter, perawat, ahli terapi fisik dan pekerjaan, dan spesialis lain untuk merancang program individual yang diharapkan dapat mengembalikan pasien ke tingkat fungsi yang maksimum. Tahap rehabilitasi meliputi: terapi bicara, terapi fisik, terapi kerja, rekreasi terapi, adaptasi dengan alat alat latihan dan konseling. 2,6 Dalam penelitian pada tikus, pemberian Polyethylen Glycol bekerja sebagai sealant dari membran, sehingga mencegah terjadinya calsium influks. Sehingga pada tikus yang diperiksa dengan MRI tidak terjadi sitotoksik edema setelah 7 hari DAI 1. Kasus yang dibicarakan termasuk dalam DAI sedang, pada penderita tersebut diatas dilakukan tindakan pemantauan tekanan intrakranial dengan pemasangan drain intraventricular dan tindakantindakan serta terapi obat-obatan untuk mencegah kenaikan intrakranial, sehingga pada hari ke 3 perawatan dihasilkan peningkatan GCS, yang kemudian dilakukan ekstubasi dan penderita bisa alih rawat di bangsal. J. Prognosis Diperkirakan DAI dapat terjadi pada hampir setiap tingkat dari keparahan trauma kepala, dengan gegar otak dianggap salah satu bentuk yang lebih ringan. DAI dalam derajat ringan dan sedang, sangat dimungkinkan dapat pulih kembali, dan sedikit yang menimbulkan masalah jangka panjang. Sekitar 90% penderita DAI berat, tetap dalam keadaan vegetative persistence tanpa batas waktu, dan 10% penderita yang sadar dengan defisit fungsional permanen yang luas. 1,2,4,6 IV. Simpulan DAI merupakan bagian dari cedera otak traumatik yang berat, dimana masih banyak teori yang mendasarinya. Perawatan secara umum pada cedera otak traumatik dan mempertahankan ICP dalam kondisi normal sangat dianjurkan, dan harus dilakukan pencegahan terhadap terjadinya cedera sekunder, sehingga penderita tidak bertambah memburuk. Peran Neuro Anestesia dan Neuro Critical Care dalam mengelola penderita cedera otak traumatik berat harus diawali ditempat kejadian, transportasi, unit gawat darurat, neuroradiologi, kamar operasi dan perawatan neurointensif. Bila telah sadar penderita masih harus menjalani latihan (Rehabilitasi medik) untuk memaksimalkan fungsinya. Rehabilitasi medik meliputi: terapi bicara, terapi fisik, terapi kerja, terapi rekreasi dan masih banyak lagi, yang disesuaikan dengan kebutuhan dari pasien per pasien. Semua itu diharapkan dapat memaksimalkan hasil akhir penderita. Dalam kasus ini, kondisi terakhir penderita dapat dinyatakan dengan nilai GOS (Glasgow Outcomes Scale) adalah 3. Dimana penderita sadar perintah, namun belum mampu menjalankan aktifitas hidupnya secara independen. Daftar Pustaka 1. Iwata A, Stys PK, Wolf JA, Chen XH, Taylor AG, Meaney DF, Smith DH. Traumatic axonal injury induces proteolytic cleavage of the voltage-gated sodium channels modulated by tetrodotoxin and protease inhibitors. The Journal of Neuroscience 2004; 24 (19): Wahyu RH. Diffuse axonal injury Diakses pada tanggal 14 Februari Elliot J. Diffuse axonal injury Diakses pada tanggal 14 Februari Shipley C. Traumatic brain injury and diffuse axonal injury tic_brain_injury.html. Diakses pada tanggal 15 Februari

49 5. Douglas HS, David FM, et al. Diffuse axonal injury in head trauma. Dalam: Corrigan JD, ed. The Journal of Head Trauma Rehabilitation Knowledge Informing Care. Philadelphia: Wolthers Kluwer Health, Lippincot Williams & Wilkins;2012, Martin S. Diffuse axonal injury; axonalinjury/index.html. Diakses pada tanggal 15 Februari Titolo T. Diffuse axonal injury /articles/brain-injury/diffuse-axonal-injury/. Diakses pada tanggal 14 Februari

50 PENATALAKSANAAN ANESTESIA PADA PASIEN CRETIN DENGAN HIPOPITUITARISME SEKUNDER AKIBAT KRANIOFARINGIOMA ANESTHESIA MANAGEMENT IN CRETIN PATIENT WITH HYPOPITUTARISM SECONDARY OF CRANIOPHARYNGIOMA Theresia Monica Rahardjo, Iwan Fuadi, Tatang Bisri Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Abstract Craniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors. Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction. A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and delayed puberty. A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He has an elevated TSHs but normal T3 and ft4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N 2 O/O 2 and isoflurane. Anesthesia was maintained with isoflurane and a mixture of O 2 /air. Patient was in controlled breathing with an incremental dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room at Kemuning. The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control. Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the morbidity and mortality in this kind of disease. Key word : cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma JNI 2102;1(3): Abstrak Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat. Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan ft4 yang normal, LH dan FSH yang menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik

51 anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N 2 O/O 2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O 2 /udara. Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning. Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit ini. Kata kunci: cretin, hypopituitarism, craniopharyngioma JNI 2102;1(3): I. Pendahuluan Kraniofaringioma merupakan tumor selar dan paraselar dan merupakan 6-10% dari tumor pada anak-anak. Tumor ini merupakan tumor ke tiga tersering dari tumor intrakranial pada anak-anak dan paling sering dijumpai di daerah hipotalamus dan pituitari pasien pediatrik. Kraniofaringioma berasal dari sisa-sisa epitel skuamosa embrionik kantung Rathke s yang meluas ke daerah hipotalamus dan tumor ini sering ditemukan di daerah sela tursika serta jarang ditemukan di daerah nasofaring. 1 Gambar 1. Tumor kraniofaringioma yang telah mendesak dan menggantikan seluruh kelenjar pituitari yang normal. Dikutip dari: O Connor M. 6 Kraniofaringioma merupakan tumor jinak dengan pertumbuhan yang lambat dan terjadi terutama pada dekade pertama kehidupan dengan puncak pada usia di antara 5 sampai 15 tahun. Sekitar 25% dari tumor ini terdapat pada dekade ke tiga. Gejala dan tanda klinis kraniofaringioma tidak jauh berbeda dari tumor supraselar yang lain. Gejala umum adalah peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Gejala gangguan endokrin terdapat pada 80-90% pasien. Defek lapang pandang disebabkan dari kompresi kiasma optikus atau komponen lain dari aparatus optikus seperti saraf optikus dan dapat menyebabkan atrofi optik. Edema papila saraf optikus, yang disebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga berperan dalam gangguan penglihatan. 1-3 Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma disebabkan letak tumor yang berdekatan dengan kelenjar hipotalamus dan pituitari. Ukuran tubuh yang pendek abnormal ditemukan pada 50-86% pasien disertai dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat. 1-3 Pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder terhadap kraniofaringioma, merupakan tantangan bagi ahli anestesi disebabkan peran penting kelenjar pituitari dalam sistem endokrin, selain tubuh pendek dan kemungkinan masalah jalan napas. Tantangan dimulai selama penilaian preoperatif dan berlanjut selama pembedahan sampai periode pasca operasi. Keberhasilan penatalaksanaan anestesi dan pembedahan pasien dengan penyakit kelenjar pituitari, dalam hal ini kraniofaringioma, membutuhkan pendekatan multi disiplin dan sangat tergantung pada kualitas penatalaksanaan perioperatif.

52 menunjukkan sinus takikardia dengan denyut jantung 101 kali/menit. Gambar 2. Tanda dan gejala hipopituitarisme. Dikutip dari: Buja ML. 7 II. Laporan Kasus Seorang laki-laki berusia 20 tahun dengan diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect craniopharyngioma dan direncanakan untuk menjalani pengangkatan tumor kraniotomi dan penempatan shunt omaya dikonsulkan ke Bagian Anestesi pada tanggal 26 Maret Pasien ini memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri kemudian berlanjut ke mata kanan dan dia sudah buta pada saat datang ke rumah sakit. Dia juga mengalami kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terlambat. Dia memiliki kondisi fisik seperti anak laki-laki pada saat berusia 20 tahun dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Pemeriksaan fisik Tekanan darah 100/70 mmhg, nadi 100 kali/menit, respirasi 18 kali/menit dan suhu normal. Pemeriksaan laboratorium (23 Maret 2010) memberikan hasil yang normal dan subnormal. Hb 11,5 g%, Ht 33%, lekosit 6.900, trombosit Parameter koagulasi dalam batas normal. Tidak ditemukan ketidakseimbangan elektrolit yang berat, Na 144 meq, K 4,6 meq, Ca 4,52 meq, Mg 2,80 meq, hipokalsemia dikoreksi dengan kalsium glukonas 1 gr IV. Fungsi hati dan ginjal normal dengan SGOT 38, SGPT 29, ureum 17 dan kreatinin 0,71. Tidak ditemukan hiperglikemia dengan GDS 97. Profil endokrin (12 Maret 2010) menunjukkan peningkatan TSHs 4,8 ul/ml tetapi T3 dan ft4 normal yaitu 1,2 nmol/l dan 1,6 ng/dl. Penurunan LH 0,19 miu/ml dan FSH 0,8 miu/ml. Nilai prolaktin dan hormon pertumbuhan normal yaitu 2,3 ng/ml dan 0,051 ng/ml, tetapi terjadi penurunan kortisol 3,62 ug/dl. Pemeriksaan radiologi (8 Maret 2010) memberikan hasil yang normal. Tes fungsi paru (8 Maret 2010) menunjukkan adanya restriksi berat, tetapi hal ini berhubungan dengan tinggi dan berat badan dibandingkan usia pasien. EKG (8 Maret 2010) Gambar 3. Hasil CT Scan Pasien. Gambar 4. Profil hormonal pasien. Pengelolaan Anestesi: Pemasangan jalur intravena dilakukan sebelum induksi. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum. Induksi dilakukan dengan fentanil, pentotal, lidokain dan vekuronium dengan campuran N 2 O/O 2 dan isofluran. Rumatan anestesi dengan isofluran dan campuran O 2 /udara. Pernapasan pasien dikontrol selama operasi dengan pemberian dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk menurunkan tekanan dan volume intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah operasi selesai, pasien langsung dipindahkan ke ICU, dan setelah 5 hari berada di ICU pasien dikembalikan ke ruangannya di Kemuning.

53 Gambar 5. Profil hemodinamik pasien selama operasi. Gambar 6. Kondisi pasien post operatif di ICU. III Pembahasan Hal utama yang harus diperhatikan pada pasien kretin yang disebabkan hipopituitarisme sekunder terhadap kraniofaringioma ini, adalah gangguan endokrin akibat lokasi tumor yang mendesak kelenjar pituitari, selain dari tubuh yang pendek dan potensi masalah jalan napas selama laringoskopi dan intubasi. Penatalaksanaan Preoperatif Selain penilaian dan pemeriksaan yang umumnya dilakukan terhadap pasien saraf yang akann menjalani pembedahan dengan anestesi umum, penilaian dan pemeriksaan pasien yang akan menjalani operasi kraniofaringioma harus meliputi pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, profil endokrin, efek hiposekresi hormon dan fungsi penglihatan. 1,2 Terapi penggantian hormon preoperatif harus dilakukan selama periode preoperatif dan dilanjutkan selama periode operatif. Defisiensi ACTH dilaporkan terjadi pada 25 71% anak-anak dengan kraniofaringioma dan dapat menyebabkan hipotensi dan kematian selama stres seperti pada saat operasi. Defisiensi ACTH dapat terjadi selama pembedahan pada pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda defisiensi preoperatif, sehingga semua pasien dengan kraniofaringioma harus diberikan stress doses glukokortikoid sebelum pembedahan. Pasien yang telah menerima deksametason untuk kepentingan pembedahan tidak membutuhkan dosis steroid tambahan karena dosis deksametason umumnya jelas lebih besar dari dosis fisiologis yang dibutuhkan. 1,2,3 Pada pasien anak-anak dengan defisiensi ACTH, dosis penggantian hidrokortison tergantung usia. Pada anak-anak kecil, dosis penggantian sekitar 6 mg/m 2 luas permukaan tubuh sedangkan untuk anak-anak yang lebih besar dan remaja sekitar 9 mg/m 2. Dosis pemeliharaan hidrokortison harus disesuaikan seiring pertumbuhan dan peningkatan berat badan anak. Dosis yang berlebihan atau kurang, walaupun sedikit, dapat menyebabkan efek samping. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan tanda dan gejala Cushing syndrome dan menyebabkan hambatan pertumbuhan sedangkan dosis yang kurang dapat menyebabkan insufisiensi adrenal. Hidrokortison diberikan 3 kali/hari dan lebih disukai pada anak-anak karena efek restriksi pertumbuhan lebih ringan dan merupakan preparat glukortikoid dengan durasi kerja lama. 1,2,3 Pasien ini mengalami penurunan kortisol dan telah diberikan deksametason 8 mg/hari, yang bertujuan selain untuk menguragi edema di sekitar tumor, juga untuk mengisi kekurangan kortisol yang ada. Tidak diperlukan dosis tambahan steroid karena dosis deksametason tersebut sudah mencukupi dan melebihi dosis fisiologis yang diperlukan. Penatalaksanaan Intraoperatif Walaupun semua teknik anestesi dapat digunakan untuk prosedur operasi intrakranial, keberadaan peningkatan tekanan intrakranial membutuhkan perhatian khusus. Pada kondisi ini, penggunaan anestesi intravena dan menghindari penggunaan N 2 O telah direkomendasikan. Penggunaan obatobatan dengan durasi kerja pendek lebih dianjurkan karena mempermudah dan mempercepat pemulihan pada akhir pembedahan obat seperti propofol dan sevofluran jelas masuk ke dalam kategori tersebut. Selama pembedahan, ventilasi dengan target normokapnia atau sedikit hipokapnia harus dipertahankan. Opioid dengan durasi kerja pendek diberikan secara titrasi untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Pemberian opioid dengan durasi kerja panjang seperti morfin intravena atau kodein intramuskuler menit sebelum pembedahan berakhir dianjurkan supaya pasien tidak bangun dalam kesakitan. 1-5 Pada pasien ini, induksi dilakukan dengan fentanil, pentotal, lidokain dan vekuronium dengan campuran N 2 O/O 2 dan isofluran. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan campuran O 2 /udara. Pasien dikontrol pernapasannya dengan pemberian inkremental vekuronium untuk mempertahankan

54 relaksasi. Manitol dan furosemid diberikan untuk mengurangi tekanan dan volume intrakranial. Antibiotika profilaksis Pemberian antibiotika masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Walaupun sebagian ahli bedah tidak menggunakan profilaksis dan menyebutkan tidak ada masalah, hampir semua unit di UK mempertahankan pemberian antibiotika. Antibiotika yang umumnya diberikan adalah cefixime (cefuroxime 1.5 gr) saat induksi anestesi dan setiap 3 jam selama operasi. Tidak ada pemberian lebih lanjut pada periode post operatif untuk meminimalkan perkembangan organisme resisten. 2,4 Komplikasi operatif Pasien ini dioperasi dengan pendekatan transkranial karena ukuran tumor yang besar. Pembedahan tumor pituitari transkranial memiliki resiko serupa dengan prosedur intrakranial yang lain. Kerusakan lobus frontal akibat iskemia karena traksi lama dapat diminimalkan dengan hati-hati memasang retraktor dan pelepasan berkala dari retraktor. Trauma terhadap arteri karotis atau kiasma optikus dapat terjadi. Insidensi kejang post operasi lebih tinggi pada pembedahan subfrontal dibandingkan pendekatan lain. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan terapi antikonvulsan tetapi hal ini belum meyakinkan. Anosmia dapat juga terjadi karena kerusakan pada traktus olfaktorius. 2,4 Pemulihan dari anestesia Pemulihan yang mulus dan cepat dari anestesia setelah pembedahan otak memberikan kesempatan untuk penilaian neurologis lebih awal dan stabilisasi respirasi dan kardiovaskuler lebih baik. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan obatobatan anestesi dengan durasi kerja yang cepat. Ekstubasi harus dilakukan dengan tanpa atau sesedikit mungkin menyebabkan gejolak hemodinamik, selain harus memperhitungkan syarat-syarat ekstubasi pada pasien dengan operasi otak. Sebelum dilakukan ekstubasi segera post operatif harus memperhatikan beberapa hal yang penting seperti kesadaran pra bedah adekuat, operasi otak terbatas, tidak ada laserasi otak yang luas, bukan operasi fossa posterior yang luas yang mengenai saraf IX dan XII, bukan reseksi AVM yang besar, suhu normal, oksigenasi normal dan kardiovaskuler stabil. Ekstubasi pada pasien ini dilakukan setelah semua kriteria di atas telah terpenuhi. 2,3,4 Penatalaksanaan post operatif Penatalaksanaan post operatif meliputi penataklaksanaan jalan napas yang baik, analgesia post operatif yang memadai, pemberian cairan dan hormon yang sesuai dan pemantauan ketat untuk komplikasi post operatif. 2,4 Pasien ini dikirim langsung ke ICU setelah operasi selesai untuk pemantauan ketat kondisi hemodinamik dan pencegahan komplikasi penyakitnya. Setelah 5 hari di ICU, pasien dikembalikan ke ruangannya di Kemuning. Analgesia post operatif Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang lebih menyakitkan dibandingkan teknik transsphenoidal dan analgesia yang kuat diperlukan. Opioid telah menjadi analgesia post operatif utama pada pasien dengan operasi otak selama bertahun-tahun karena efek analgesia yang kuat. 2,3,4 Pasien ini mendapatkan morfin sebagai analgesia post operatif selama di ICU dan dosis perlahanlahan diturunkan sesuai dengan kondisi pasien. Saat pasien sudah mampu menerima nutrisi peroral, pemberian morfin intravena diturunkan dan digantikan dengan analgesia peroral. Terapi penggantian hormon Keamanan menjadi hal pokok sehingga semua pasien diasumsikan membutuhkan penggantian kortisol post operatif dalam jangka pendek. Penggantian harus diturunkan perlahan-lahan menjadi dosis pemeliharaan dalam beberapa hari. Regimen standar yang direkomendasikan adalah hidrokortison 50 mg 2 kali/hari pada hari pertama post operasi, 25 mg 2 kali/hari pada hari ke dua, dan menjadi 20 mg saat pagi dan 10 mg saat sore pada hari ke tiga. Pasien umumnya pulang dengan dosis ini. Dosis sore diberikan antara pukul dan pasien dengan mikroadenoma yang mensekresi prolaktin dapat lepas dari hydrocortisone dengan aman dalam beberapa hari pertama bila 20% kelenjar pituitari disisakan. Pada penyakit Cushing s, kortikotrof normal sangat disupresi dan penggantian dibutuhkan sampai beberapa minggu atau bulan. Penggantian hormon yang dilakukan pada periode preoperatif harus dilanjutkan pada periode post operatif, sampai evaluasi oleh ahli endokrin dilakukan. 1-5 Pasien ini telah mendapatkan deksametason 8 mg/hari dan pemberian obat ini dilanjutkan sampai periode post operatif di ICU. Pemberian deksametason disertai dengan pemantauan kadar glukosa darah berkala karena adanya resiko hiperglikemia pada pemberian obat tersebut. Komplikasi hormon post operatif Diabetes Insipidus Umumnya terjadi dalam 24 jam pertama dan timbul bila > 80% saraf yang mensintesis vasopresin rusak atau menjadi tidak berfungsi untuk sementara waktu. Hal ini harus diduga bila pasien menghasilkan urine > 1 liter dalam 12 jam dengan

55 konsentrasi Na + plasma > 143 mmol/l. Keluaran dan berat jenis urine harus diperiksa secara rutin setelah operasi pituitari. Bila hal ini terjadi, pemeriksaaan osmolaritas plasma dan urine yang teratur harus dilakukan. Diagnosis diabetes insipidus harus ditegakkan secara biokimiawi sebelum terpai dilakukan. Kombinasi dari peningkatan osmolaritas plasma (>295 mosmol/kg), urine hipotoni (< 300 mosmol/kg) dan keluaran urine yang banyak (> 2 ml/kg/h) merupakan kriteria untuk menetapkan diagnosis. Diabetes insipidus dapat diterapi dengan desmopressin acetate (DDAVP). Walaupun demikian, bila pasien sadar dan memiliki mekanisme haus normal, lebih aman untuk memberikan cairan seperti biasa dibandingkan pemberian cairan intravena yang berlebihan dan DDAVP. Penggunaan DDAVP yang berlebihan dapat menimbulkan hiponatremia yang akan menyebabkan kejang dan koma. Hampir semua kasus borderline diabetes insipidus membaik secara spontan dalam beberapa hari seiring dengan kembali normalnya fungsi lobus posterior. Pemberian DDAVP dibutuhkan pada pasien koma, pasien tanpa respon haus dan pasien dengan keluaran urine yang sangat banyak. Dosis DDAVP IM/IV yang direkomendasikan adalah 0.1 µg diulang bilamana perlu. Pada fase akut, dosis 0.04 µg IV memberikan respon adekuat dengan durasi yang lebih singkat. Pemantauan konsentrasi sodium dan osmolaritas plasma harus dilakukan sampai tercapai keseimbangan elektrolit dan cairan. 1-5 Hiponatremia Penyebab tersering hiponatremia setelah operasi pituitari adalah penggunaan DDAVP yang berlebihan. Hiponatremia juga dapat disebabkan, walaupun jarang, oleh SIADH karena pelepasan ADH non spesifik dari terminal neurosekretori pituitari posterior yang berdegenerasi. Hal ini menyebabkan retensi air dan kehilangan Na + urine sekunder. Umumnya bersifat sementara dan berlangsung sekitar 7 sampai 10 hari post operatif. Kondisi ini diatasi dengan restriksi cairan dan dipantau dengan pemeriksaan elektrolit berkala. Selain itu, hiponatremia setelah pembedahan intrakranial dapat disebabkan kecenderungan untuk diuresis sehingga terjadi kontrksi nyata volume sirkulasi dan ekstraseluler. Fenomena ini dikenal sebagai cerebral salt wasting syndrome (CSW) dan dapat sulit dibedakan dari SIADH. 1-5 Walaupun demikian, sangat penting untuk membedakan ke 2 kondisi tersebut karena terapi keduanya berbeda bahkan berlawanan. Pada SIADH, masalah disebabkan karena ekspansi volume ekstraseluler akibat retensi air sehingga terapi terbaik adalah membatasi asupan air sekitar ml/hari tergantung konsentrasi Na + plasma. Pada CSW, restriksi cairan tidak dapat mengkoreksi hiponatremia tetapi akan berbahaya karena akan lebih menurunkan volume intravaskuler. Larutan hipertonik digunakan untuk mengkoreksi hiponatremia pada CSW. Koreksi konsentrasi Na + yang rendah harus dilakukan dalam jam, dengan kecepatan peningkatan konsentrasi Na + plasma < 1 mmol/jam. Koreksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan mielinolisis pontin sentral. 1-5 IV. Simpulan Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini dengan kraniofaringioma yang disertai dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan yang baik mulai dari periode pre operatif, selama operasi sampai periode post operatif. Peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas yang berhubungan dengan tubuh yang pendek dan kecil merupakan potensi masalah pada pasien ini. Penatalaksanaan dan kerja sama yang baik di antara ahli anestesi, ahli bedah dan ahli endokrin sangat dibutuhkan dan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasienpasien dengan penyakit dan kondisi seperti ini. Daftar Pustaka 1. Halac I, Zimmerman D. Endocrine manifestations of craniopharyngioma. Childs Nerv Syst. 2005;21: Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws ER. Perioperative management of patients undergoing transphenoidal pituitary surgery. Anesth Analg. 2005;101: Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85: Jane JA, Laws ER. Surgical management of pituitary adenomas. Singapore Med J. 2002;43(6): Okafor UV, Onwuekwe IO, Ezegwui HU. Management of pituitary adenoma with mass effect in pregnancy: a case report. Cases Journal. 2009;2: O Connor M. Acquired Hypopituitarism [document on the internet]. Medpedia News & Analysis - Medpedia [diunduh 18 Agustus 2012]. Tersedia dari: com/news_analysis/173-cushings-cancer/entri es/51875-acquired-hypopituitarism. 7. Buja ML, Krueger GRF. Endocrine System. Dalam: Netter s Illustrated Human Pathology. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc;

56 PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PERDARAHAN INTRACEREBRAL YANG DISEBABKAN STROKE HIPERTENSI ANAESTHESIA MANAGEMENT IN INTRACEREBRAL BLEEDING CAUSED BY HYPERTENSION STROKE Muhammad AR*), Nazaruddin Umar*), Siti Chasnak Saleh**) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP. H. Adam Malik- Medan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya Abstract Intracerebral hemorrhage (ICH) is primary in many cases are caused by the rupture of blood vessels due to chronic hypertension called vasculopathy hypertensive hematoma due to intracerebral haemorrhage occurred which resulted in an increase in intracranial pressure and pressure on surrounding brain tissue causing neurological deficits. which if not treated quickly can result in death or disability, it is necessary fast and precise handling. A 56 year male 70 kg weight gain admission with a chief complaint of decreased consciousness occur suddenly, before os os complain of headaches and a history of high blood pressure and uncontrolled for a long time. After a physical examination and CT scan and an additional diagnosed with ICH with extensive Hemorrhage Stroke at left hemisfer + right hemiplegi hypertension. Craniotomy surgical decompression externa, with the help of general anesthesia, postoperative care of patients in ICU patients with a better awareness, improved general condition, blood pressure under control, but the neurological deficit persists, the patient returned / moved to a near by hospital for further treatment in the form of physiotherapy and hypertensive on day-to-22. ICH due to hemorrhagic stroke have a high mortality and high disability, neurological devisit difficult removed. Surgery aims to reduce intracranial pressure and prevent death and disability is. So rapid and appropriate action must be done immediately. Key words: hemorrhagic stroke, ICH, craniotomy, hemiplegia JNI 2102;1(3): Abstrak Perdarahan intracerebral (ICH) secara primer pada banyak kasus disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah akibat hipertensi kronis yang disebut hipertensif vaskulopati. Akibat perdarahan terjadi hematoma intracerebral yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis yang bila tidak diatasi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan, maka perlu penanganan yang cepat dan tepat. Seorang laki-laki 56 tahun berat badan 70 Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran yang terjadi tiba-tiba, sebelumnya paien mengeluh sakit kepala mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, sejak lama dan tidak terkontrol. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan tambahan serta CT Scan didiagnosa dengan Stroke Hemorrhage dengan ICH luas di hemisfer kiri + hemiplegi kanan + hipertensi. Dilakukan operasi kraniotomi dekompresi externa, dengan bantuan anestesi umum, post operasi pasien di rawat ICU kesadaran penderita menjadi membaik, keadaan umum membaik, tekanan darah terkontrol, namun defisit neurologis masih tetap, pasien pulang / pindah ke rumah sakit terdekat untuk perawatan lanjutan berupa fisioterapi dan kontrol hipertensi pada hari ke-22. ICH karena stroke hemorrhage mempunyai angka kematian dan kecacatan yang tinggi, defisit neurologis yang sukar dihilangkan. Tindakan operasi bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah kematian dan kecacatan tersebut. Maka tindakan yang cepat dan tepat harus segera dilakukan. Kata kunci: stroke hemorrhagic, ICH, kraniotomi, hemiplegi JNI 2102;1(3): I. Pendahuluan Perdarahan intrakranial dapat berupa perdarahan subarachnoid ( Subarachnoid hemorrhage = SAH) akibat pecahnya aneurisma serebral, perdarahan dari pecahnya arteriovenous malformation (AVM), dan perdarahan intraserebral (Intracerebral 1

57 Hemorrhage = ICH) yang disebabkan hipertensi kronis. 1-4 Perdarahan intraserebral adalah perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh trauma, yang darahnya masuk parenhim otak membentuk hematoma. ICH merupakan suatu penyakit yang berat dengan angka kematian dan kecacatan yang cukup tinggi. 1,3,5,6 Kematian sangat bergantung pada beratnya penyakit, makin berat makin tinggi angka kematian. 7 Beratnya penyakit dapat ditentukan dengan suatu skoring yang disebut Skor ICH, yang parameternya adalah tingkat kesadaran sewaktu pertama diperiksa, volume dari hematoma yang ditentukan dari gambaran CT-scan, lokasi dari hematoma apakah diatas atau dibawah tentorium. Makin tinggi skor ICH maka makin tinggi angka kematiannya. 6,7 Di Amerika Serikat mendekati kasus penderita ICH per tahun dengan angka kematian 50%. Duapuluh lima persen dari ICH spontan fatal dalam 24 jam pertama dan 25% lainnya dalam 3 bulan. 1,4,6 Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling beresiko terjadinya perdarahan intraserebral. 5,6 Hb 15,8 gr/dl, Ht 51 %, Leukosit , Trombosit , Ureum 30 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl, Uric acid 7,4 mg/dl, gula darah 140 mg/dl, Kolesterol 285 mg/dl < 200, Triglycerida 67 mg/ll < 150, HDL 42 mg/dl ( < 40), LDL 229 mg/dl ( <150), Na 139 mmol/l ( ), K 38 mmol/l (3,6 5,5), Cl 105 mmol/l ( ). CT Scan kepala ICH luas di daerah parietal kiri dengan midline shift lebih setengah centimeter. Foto Rongen dada kesan pembesarn jantung kiri, EKG hipertropfi ventrikel kiri. II. Kasus Seorang laki-laki, umur 56 tahun, berat badan 70 Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi sejak pagi hari, lebih kurang 12 jam sebelum datang ke rumah sakit, terjadi secara tiba-tiba, sebelumnya pasien mengeluh sakit kepala, mempunyai riwayat penyakit darah tinggi sejak lama, namun berobat tidak teratur. Awalnya dirawat dirumah sakit terdekat, dilakukan CT-scan dan didiagnosa dengan stroke hemorrhage kemudian penderita dirujuk ke rumah sakit di Medan oleh teman sejawat ahli penyakit saraf. Terapi yang telah diberikan adalah oksigen 2 Liter/menit selang hidung,infus manitol 20% diberikan 0,35 gr/kg berat badan (125 cc/6jam), infus ringer laktat 20 tetes/menit, citicolin 1 amp/ 6 jam, ranitidin 50 mg/ 8 jam, tablet nipedipin 3 x 10 mg. Pemeriksaan fisik Nafas spontan, jalan nafas bebas, laju nafas 18x/mnt, reguler, suara tambahan dan gerak tambahan tidak dijumpai, saturasi oksigen 98%. Tekanan darah 190/110 mmhg, laju nadi 100x/mnt, pulsasi kuat, suara jantung satu dan dua tunggal, suara tambahan tidak dijumpai. Kesadaran GCS 8, pupil anisokor, diameter kiri 4mm/kanan 2mm, reflek Cahaya +/+, hemiplegia kanan. Saluran cerna dan saluran kemih dalam batas normal, extremitas kanan hemiplegia. Pemeriksaan laboratorium: Gambar : CT Scan Diagnosa: Stroke hemorrhage dengan ICH luas hemisphere kiri + hemiplegia kanan + hipertensi. Dengan skor ICH = 2 (Angka kematian 26%). Rencana: kraniotomi dekompresi luar Penatalaksanaan Anestesi Persiapan: penjelasan ke keluarga tentang maksud dan tujuan operasi, prognose dan kemungkinan komplikasi serta cacat neurologis, pembuatan izin operasi, persiapan kamar operasi: obat-obatan dan peralatan, ICU: peralatan, monitoring dan ventilator Jalur intravena dipasang di dua tempat, lengan kiri dengan abocath 18 G, diberikan NaCl 0,9%, lengan kanan dipasang setelah penderita tidur dengan abocath 18 G juga diberikan NaCl 0,9%. Dipasang monitoring: tekanan darah non invasif, denyut jantung, EKG, saturasi oksigen, End tidal CO2, kateter urine. Induksi: diberi preoksigenasi dengan O % selama 5 menit, midazolam 5 mg, fentanyl 75 ug intravena. Diukur tekanan darah, turun + 30 %, propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidocain 2% 80 mg, diberikan ventilasi, intubasi dengan pipa endotrakheal non kingking diameter 7,5 mm, lalu periksa suara pernafasan kanan sama dengan kiri, cuff dikembangkan, fiksasi, lalu pasang tampon. Diberikan infus manitol 0,5 gr/kg BB. Pemeliharaan anestesi dengan sevoflurane 0,5 1,5 volume % + O 2 2 liter/menit + N 2 O 2 liter/menit. 2

58 Kontrol ventilasi dengan mempertahankan endtidal CO 2 berkisar 30-35mmHg. Operasi berlangsung selama 2 jam 45 menit dengan monitoring durante operasi sebagai berikut: Tekanan Darah: /80 90 mmhg (MAP: mmhg) Denyut Jantung: x mnt SpO 2 : % ETCO 2 : mmhg Gambar Monitoring Selama Operasi Didapati hematoma ml Tulang di simpan dibawah kulit. I I Pupil anisokor, ki>ka, Reflek Cahaya +/+, Tensi Darah: /70 90`( MAP ) mmhg, HR: 98x/mnt, Temp: 37 0 C.Urine: cukup Kesadaran: belum bisa dinilai TD:180 / 85 ( MAP 123 ) mmhg HR: 86 x / mnt Temp: 37 C Urine: cukup Demam ( - ) Kesadaran belum bisa dinilai Pupil Isokor, RC +/+, TD: 190/90 mmhg, HR: 90x / mnt, Tem: 37 0 C Urine Cukup Tirah baring dengan posisi headup 30 0 Kontrol Ventilasi FiO 2 40%, TV 550 ml, Frekuensi 14x /mnt I:E=1:2 :PEEP 5 cm H 2 0 IVFD Ringer Solution 25 tetes / menit AB: Inj Meropenem 1 gr / 12 jam Inj. Vit C 2 amp / 8jam Inj Alinamin F 1 amp / 12 jam Inj Fentanyl 300 ug + midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9 % sebanyak 50 ml 3 4 ml / jam/ syringe pump Modus Ventilator SIMV 8 PS 10 FiO 2 30% Inj Fentanyl 300 μg + midazolam 15 mg dalam NaCl 0,9% sebanyak 50 ml 2 ml / jam / syringe pump - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8 jam - Inj Fentanyl 3 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV - Adalat 10 mg 1x1 Aminofluid 15 tetes / menit Perawatan Post Operasi Gambar Lapangan Operasi Terlihat pada Tabel dibawah ini: Hari Pemeriksaan Penilaian dan Perencanaan II III TD: 180 / 95 (MAP 123 ) mmhg H R: 80 x / mnt Temp 37 C Pupil: Isokor R C +/+ Temp: 37,4 0 C, Sat O2 100% GCS 3x5, Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Hemiplegia kanan TD: 190 / 95 mmhg (MAP 126), HR:81x/mnt, Temp: 37,4 0 C, Sat Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8 jam Inj Fentanyl 2 cc, Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Lepas ventilator. Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8 jam Inj Fentanyl 1 cc, 3

59 III IV V VI O 2 100% Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Pupil isokor, Reflek Cahaya +/+, TD: /80-90 mmhg (MAP =108) HR: 70-80x/mnt Temp: 37,4 0 C, Urine Cukup Kesadaran Meningkat Hemiplegia kanan, Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, TD: /80-90 ( MAP 113) mmhg, HR: 76 x/mnt, Temp 37,2 C Urine Cukup GCS 15 (Sadar Baik), Pupil Isokor, Reflek Cahaya +/+, Hemiplegi kanan, TD: 150/90 (MAP110) mmhg, HR: 100x/mnt, urine cukup, demam (-) TD : 180/90 (MAP 120), HR: 76x/mnt, Hemiplegia kanan (+), Kalau gelisah midazolam 5 mg / IV Mulai fisioterapi Diet 2100 kcal/hari Terapi Tetap Seperti Jam Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8 jam Inj Fentanyl 1 cc, Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol 125 ml / 8 jam Inj Fentanil stop Adalat 20 mg 1x1 Ektubasi Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV - Manitol stop XI s/d XV XVI s/d XX Hemiplegia kanan, Afasia(+) TD: 150/85 (MAP 106) mmhg, HR:96 x /mnt, Temp: 38,0 0 C, TD: 140/80 (MAP 103) mmhg, HR: 80x/mnt, Obat ganti oral Perdipin stop Lasix 1 amp / 12 jam Inj Meropenem stop Cravit 500 mg / 12 jam Aff hecting Terapi seperti hari ke- 25 Lasix 1 amp / 24 jam XXI Pasien Pulang Cravit 500 mg/ 12 jam Adalat 20 mg Hari Sistol Diastol MAP Grafik 1. Pemantauan Tekanan Darah setelah operasi VII VIII s/d X Sadar baik, Afasia (+), Hemiplegia Kanan (+) TD: 170/85 (MAP 113) HR: 80x/mnt Temp: 37 0 C Pindah Ruangan TD: 160/85 (MAP 110)mmHg, HR:94 x /mnt, RR: 20 x /mnt, Temp: 37,5 0 C Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 20 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV Vit K Stop Vit C Teruskan Perdipin 0,5 mg/kg BB (bila TD <120, obat stop) Kesadaran Meningkat - IVFD R-Sol 10 gtt / menit - Inj Ranitidin 50 mg / 8 jam / IV Vit C Teruskan Perdipin Teruskan Gambar Pasien Post Operasi III. Pembahasan Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage /ICH) diklasifikasikan secara primer dengan penyebab utama adalah rupturnya pembuluh darah akibat injuri kronik pembuluh darah kecil serebral disebabkan oleh hipertensi (hipertensive vasculopathy). 1-7 Akibat perdarahan, darah masuk ke dalam parensim otak membentuk hematoma intracerebral, yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak sekitarnya, lokasi perdarahan bisa diberbagai tempat di serebral mulai dari permukaan sampai ke dalam ventrikel otak. Sel-sel darah yang masuk mengalami kematian atau lisis yang mengeluarkan toksin menyebabkan edema jaringan dan kerusakan jaringan sekitar (injuri sekunder) yang mengakibatkan defisit neurologis. Bila jumlah darah bertambah banyak dalam parensim 4

60 otak yang membentuk bekuan yang lebih besar akan menambah massa intrakranial, yang akan meningkatkan tekanan intrakranial dengan segala akibatnya. Persentase kematian dari ICH dapat ditentukan oleh suatu skor yang disebut SKOR ICH, yang parameternya adalah tingkat kesadaran (GCS) waktu ditentukan, volume dari hematoma, ada tidaknya perdarahan di ventrikel, lokasi hematoma di supra atau infratentorium, umur penderita (lihat tabel di bawah ini ): 7 Komponen Skor ICH Nilai Skor GCS Volume ICH, cm 3 Ya 1 Tidak 0 ICH di Infratentorial Ya 1 Tidak 0 Umur, Tahun >80 1 <80 0 Total skor ICH 0-6 Skor mortalitas 30 hari 0 0% 1 13% 2 26% 3 72% 4 97% 5 100% Sumber: Rost N, dkk 10 Perdarahan intraserebral merupakan suatu keadaan darurat medis yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat degan focus menstabilisasikan kardiorespiratori (ABCDE neuroanestesi) dan pencegahan/pengobatan komplikasi intrakranial Tujuan penanganan pada ICH adalah difokuskan pada penurunan tekanan intrakranial, menghentikan perdarahan, dan mengeluarkan hematoma. Segera setelah diagnosa ditegakkan lokasi dan besarnya hematoma diketahui dilakukan penanganan yang dapat berupa penanganan secara medikal atau pembedahan. Penanganan secara medical meliputi pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial, pemberian anti perdarahan. Karena hipertensi merupakan penyebab paling umum dari ICH spontan, pengaturan tekanan darah cukup penting, walaupun terdapat kontroversial dimana ada yang berpendapat bahwa kemungkinan terjadinya pemburukan jaringan yang rentan terhadap iskemik jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba yang menyebabkan cedera sekunder. 4,5,6 Namun pendapat lain tidak menerima pendapat tersebut, yang mengatakan pengaturan tekanan darah tampak aman dilakukan. 1,3,4,5,6,7 Perobahan autoregulasi pada penderita hipertensi dapat dilihat pada grafik di bawah ini: Sumber: Manoach S. Dalam: Newfield P, Cottrell JE 6 Penanganan pada peningkatan ICP meliputi posisi kepala ditinggikan 30 derajat, cegah batuk dan mengedan, pemberian infus diuretik manitol dan furosemid, hiperventilasi dengan mempertahankan EtCO 2 normokapnia. Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita perdarahan intraserebral dengan tujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial, menghentikan perdarahan, mengangkat hematoma, dan memperbaiki aliran cairan serebrospinalis. Pembedahan dilakukan untuk evakuasi hematom yang dapat dijangkau, tergantung lokasi hematoma di intraserebral. Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi atau kombinasi obat anestesi adalah pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial, karena semua obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian tekanan intrakranial, pemakaiannya sedapat mungkin harus diperhatikan mana yang lebih menguntungkan dalam neuroanesthesia. Semua penderita yang dirawat dengan perdarahan intracerebral di ICU harus mendapat perhatian dalam hal evaluasi radiologik, menjaga adequatnya respirasi dan sirkulasi, pengendalian tekanan darah, pencegahan hiperglikemi, hipotensi dan demam, pengendalian tekanan intrakranial, pengontrolan terhadap neurosurgical dan pencegahan kejang 5

61 V. Simpulan 1. Penyebab utama dari perdarahan intraserebral oleh karena hipertensi kronis merupakan suatu kelainan pada pembuluh darah kecil yang disebut Hipertensive Vasculophaty. 2. Pengendalian hipertensi sebelum terjadinya perdarahan adalah suatu sangat penting. 3. Usaha pembedahan dan anestesi merupakan suatu tindakan / upaya untuk menurunkan tekanan intrakranial, dan menghilangkan atau mengurangi efek penekanan dari hematoma. 4. Defisit neurologis yang sudah terjadi biasanya sulit dihilangkan 5. Pada kasus ini efek dari peningkatan intrakranial dapat diatasi, terlihat dengan membaiknya kesadaran umum dari pasien, walaupun defisit neurologi berupa hemiparese masih terlihat ada. 6. Perawatan selanjutnya adalah perlu dilakukan fisioterapi secara teratur 7. Rost N, Rosand J. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care, 1st ed, New York: Cambridge University Press; 2010, Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial Masses: Anesthetic Considerations. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young s Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, Godsiff LS, Matta BF. Intensive care management of intracranial haemorrhage. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, ed. Textbook of Neuro Anesthesia and Critical Care, 1st ed, London: Greenwich Medical Media; 2000, Petrozza PH, Prough DS. Post Operative and Intensive Care. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, ed. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed, Philadelphia: Mosby: Daftar Pustaka 1. Elliot G, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage; a clinical review. Anesth Analg 2010; 110 ; Hasan AE, Zacharatos H, Qurcshi A. Acute Hypertensive Response in Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage. New York: Cambridge University Press; 2010; Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic Brain Injury, Stroke, and Brain death. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4 th edition, Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2007, Qureshi AI, Tuhrim S, Brodereek JP, et al. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Eng J Med, May 2010; 344; 19; Naval NS, Nyquist PA, Carhuapoma JR. Medical Management of Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer SA, Hanley DF, eds. Intracerebral Hemorrhage. New York: Cambridge University Press; 2010; Qureshi AI, Anendelow AD, Hanley DF. Intracerebral Hemorrhage. Lancet 2009; 373;

62 MEMBRAN SEL NEURON DAN SAWAR DARAH OTAK SEBAGAI STRUKTUR PROTEKSI OTAK MEMBRANE NEURONAL CELL AND BLOOD BRAIN BARRIERE AS STRUCTURE BRAIN PROTECTION Rose Mafiana*), Tatang Bisri**) *) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH/ FK UNSRI Palembang **) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSHS/ FK UNPAD Bandung Abstract The brain is the body's vital organs are susceptible to damage. Have a high oxygen demand, is highly dependent on glucose, has a high metabolic rate, but have low adaptability of the injury and it is very difficult to regeneration. Injury on brain cells (neurons) is a serious condition because of risk for dysfunction and cells death. The brain needs for oxygen and glycogen constanly to produce the body's energy in the form of adenosine- 5'-triposphate (ATP) which is useful for maintaining life. Injury can interfere with the metabolism of these cells, reducing the production of ATP, reducing ATP reserves and cause glycolysis process in the body and the use of lactate as an energy source metabolisme. This pathological condition for the occurrence of damage cell and trigger to cell death through necrosis or apoptosis process. Therefore, the protective structure cell membran and cerebral vascular system such as special, the vascular structure is blood brain barrier. Keywords: brain, neurons, cell membrane, blood brain barrier JNI 2012;1(3): Abstrak Otak adalah organ vital tubuh yang rentan untuk rusak. Mempunyai kebutuhan oksigen yang tinggi, sangat tergantung terhadap glukosa, mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, tetapi mempunyai daya adaptasi yang rendah terhadap cedera serta sangat sulit beregenerasi. Cedara pada sel otak (neuron) adalah suatu kondisi yang serius yang dapat menyebabkan disfungsi dan kematian sel otak. Kebutuhan otak yang tinggi akan oksigen dan glikogen secara konstan adalah untuk memproduksi energi tubuh berupa adenosine-5 -triposphate (ATP) yang berguna untuk mempertahankan kehidupannya. Injuri sel dapat mengganggu metabolisme tersebut, mengurangi produksi ATP, menurunkan cadangan ATP dan menyebabkan proses glikolisis dan penggunaan laktat tubuh sebagai sumber energi metabolisme. Kondisi patologis ini memicu untuk terjadinya kerusakan sampai kematian sel melalui jalur nekrosis maupun apoptosis. Oleh karena itu otak dilindungi oleh membran sel dan sistem pembuluh darah otak yang bersifat spesifik, yang disebut sawar darah otak. Kata kunci: otak, neuron, membran sel, sawar darah otak JNI 2012;1(3): I. Pendahuluan Otak sebagai salah satu organ vital tubuh, adalah organ yang paling rentan untuk terjadi kerusakan. Secara anatomis otak dilindungi oleh tulang tengkorak yang rigid, proteksi metabolisme spesifik yang ditunjang sistem pembuluh darah dan membran sel yang istimewa. 1-3 Sel adalah unit terkecil dari tubuh yang dilapisi membran, terdapat dalam sitoplasma yang mengandung melindungi organela-organela sel yaitu nukleus, lisosome, badan golgi, mitokondria, ribosom, dan retikulum endoplasmik. Organelaorganela inilah yang berfungsi untuk memelihara kehidupan sel. 4-6 Komposisi utama membran adalah fosfolipid, kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen yang melekat pada molekul fosfolipid dan protein. Struktur komposisi lipid membran membuat permukaannya cukup lentur dan mampu bersifat sebagai partahanan yang selektif terhadap regulasi material yang keluar dan masuk sel, struktur protein berfungsi memfasilitasi transport molekul yang spesifik

63 2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia Fungsi otak sebagai pusat integrasi, kontrol tubuh dan penerus informasi memerlukan energi yang tinggi untuk selalu dapat berkomunikasi yaitu menerima signal, mengintegrasikan dan mengirim informasi melalui impuls elektriknya. Energi itu berasal dari ATP yang dihasilkan mitokondria adidalam sel otak dengan bahan baku nutrisi dan oksigen yang cukup. Injuri sel otak dapat menyebabkan disfungsi pada sel sampai kematian sel bila injuri tidak bersifat reversibel. 1-2,4 II. Sel saraf Sel adalah suatu unit terkecil tubuh. Sel saraf biasa disebut neuron. strukturnya terdiri dari komponen nukleus, sitoplasma, sitoskeleton. Komponen ini dibungkus oleh suatu membran sel yang mempunyai struktur yang kompleks yang disebut fluid mosaic model. 4-5 Secara umum isi organela sel saraf mirip dengan sel tubuh lain, tetapi lebih kaya akan mitokondria. Sedangkan struktur neuron berbeda, sesuai dengan fungsinya. Neuron mempunyai badan sel beserta komponennya, dendrit, akson dan terminal presinaptik. 1,6 Gambar 1: Sel neuron. Dikutip dari : Sherwood L. 4 Sel untuk sistem saraf disebut neuron, dimana tugasnya adalah sebagai pengintegrasi, menstimulus dan mentransmisikan aksi potensial melalui organisasi dari badan sel atau soma, dendrit sebagai penerima (input) dan axon sebagai pemberi (output). Neuron juga diproteksi dan disokong oleh neuroglia atau sel-sel glia. 2,4,6 Didalam sel diproduksi bioenergi ATP oleh organela-organela sel terutama mitokondria melalui siklus The Citric Acid (Krebs) Cycle (siklus TCA/Krebs). Sel otak membutuhkan banyak energi untuk aktifitasnya, sehingga selnya sangat kaya dengan mitokondria. Didalam sel terdapat nukleus tempat deoxyribonucleic acid (DNA) bereplikasi dan transkripsi. Organela lain yang terdapat dalam sel adalah badan golgi, ribosom, endoplasmik retikulum, lisosom dan sitoplasma. Koordinasi komponen ini berfungsi memelihara kehidupan sel. 4,6 Gambar 2: Membran Sel. Dikutip dari: Sherwood L. 5 Membran sel, selain melindungi sitoplasma sel dan isinya, dan membatasi kompartemen intraseluler, membran sel juga berfungsi sebagai: 1) permeabilitas membran yaitu mengontrol substansi yang masuk dan keluar sel, yang mana hanya molekul dengan sifat tertentu yang bisa melalui membran sel dan mempunyai berat molekul < 500 Dalton, 6 memelihara konsentrasi berbagai substansi substansi, 2) tempat melekatnya protein: dimana terjadi aktifitas enzim, transport protein, tempat melekat reseptor molekul dan marker, 3) tempat terjadinya transduksi sinyal: umumnya untuk hormon. 4) tempat komunikasi antar sel. 5 Struktur membran sel terdiri dari dua lapisan dengan komponen penyusunnya adalah fosfolipid, kolesterol, protein dan rantai oligosakarida kovalen yang melekat pada fosfolipid dan molekul protein. Dibanding komponen membran yang lain fosfolipid adalah struktur yang paling stabil, terhadap pergerakan dinding membran yang mempunyai lapisan hidropobik dan hidrofilik. Fosfolipid pembentuk membran terutama adalah fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilserine, fosfatidiletinolamin (sefalin) dan fosfatidilinositol. Pada membran sel fosfolipid selalu mengandung fatty acid (asam lemak), kepala fosfat pada fosfolipid bersifat hidrofilik dan ekor asam lemak bersifat hidrofobik. Kolesterol pada membran berfungsi menetralisir fosfolipid rantai panjang pada plasma membran menjadi lebih cair. Protein yang membentuk komponen membran adalah integral protein yang dapat melekat langsung pada kedua lapis membran lipid dan protein periferal yang melapisi permukaaan membran. 5

64 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier sebagai Struktur Proteksi Otak 3 Gambar 3: Sel membran. Dikutip dari: Sherwood L. 5 Neuron menerima pasokan substansi baik nutrisi maupun oksigen melalui sawar darah otak (blood brain barrier /BBB), yaitu suatu struktur spesifik diantara pembuluh darah yang terdapat diotak. 2-4,6, Proses transport substansi yang melintasi membran sel dan BBB bersifat spesifik. Umumnya proses transportasi tersebut melalui metode 2,4 : 1. Difusi simpel ( pasif) 2. Difusi difasilitasi ( pasif) 3. Transport aktif ( aktif) 4. Kotransport 5. Eksositosis, endositosis dan transitosis Simpel difusi (pasif) Adalah metode transport melintasi membran fosfolipid dari area yang mempunyai konsentrasi tinggi ke area yang lebih rendah konsentrasinya, sampai dynamic equilibriumnya tercapai. Proses ini tidak menggunakan energi, karena substansi hanya bergerak berdasarkan konsentrasi gradien. Substansi yang bergerak melintasi membran dengan cara ini adalah oksigen dan karbondioksida. Pergerakan air (H 2 O) melintasi membran juga melalui cara simpel difusi, tetapi lazim disebut osmosis. Tonisitas cairan adalah perbedaan konsentrasi cairan yang melintasi membran semi permeabel. Dikatakan isotonik bila kedua cairan mempunyai konsentrasi yang sama, hipotonik bila konsentrasinya lebih rendah dan hipertonik bila lebih tinggi. Difusi difasilitasi ( pasif) Adalah metode transport melintasi membran melalui transport protein tanpa menggunakan energi, karena substansi bergerak dari area dengan konsentrasi gradien yang tinggi ke area yang lebih rendah konsentrasinya. Contoh substansi yang bergerak seperti ini adalah larutan glukosa yang mempunyai konsentrasi tinggi masuk kedalam sel yang mempunyai konsentrasi yang lebih rendah. Transport aktif ( aktif) Adalah suatu metode dimana suatu substansi melintasi membran dari area dengan gradient konsentrasi rendah ke area yang lebih tinggi konsentrasinya dengan menggunakan transport protein. Contohnya adalah transport ion Na + dan K + melintasi membran dengan menggunakan fasilitas pompa aktif Na + dan K +, yang merupakan pompa protein. Energi pompa berasal dari ATP. Cotransport Adalah suatu metode transport suatu substansi melintasi membran secara berpasangan, dimana satu substansi melintasi membran transport secara aktif sedangkan substansi yang lain menyertainya secara pasif. Contoh pergerakan ini terjadi pada sel tanaman, dimana masuknya sukrose ke sitoplasma sel dibarengi dengan satu gugus H + yang dihasilkan oleh pompa proton. Eksositosis, endositosis dan transitosis. Adalah proses suatu partikel melintasi membran dengan bantuan vesikel. Dikatakan exotoksis bila vesikel mengeluarkan partikel keluar dari sel, misalnya pada pelepasan neurotransmiter. Endositosis adalah gerakan vesikel memasukkan partikel ke dalam sel. Transitosis adalah kombinasi endositosis dan eksotosis. Sawar Darah Otak Sawar darah otak adalah suatu struktur khusus pembuluh darah otak yang berguna untuk melindungi kerusakan neuron, merupakan suatu mekanisme proteksi tubuh terhadap neuron Dimulai dari penemuan Paul Enrich (1885), seorang ahli bakteriologi ketika menyuntikkan cairan pewarna melalui intravena untuk mewarnai organ-organ binatang pada percobaannya, ternyata otak tidak ikut diwarnai. Disimpulkannya bahwa otak adalah penerima pewarnaan yang buruk. Kemudian Edwin Gilman menginjeksikan trypan blue secara intravena, didapatkan pewarnaan dipleksus koroidalis dan meningen, tetapi tidak terdapat diotak. Tahun 1920 Stren and Gautier menemukan blood-csf barrier. Tahun 1960 diketahui bahwa suatu substansi memerlukan fasilitas transport untuk melintasi BBB. Antara tahun para peneliti memperkenalkan struktur BBB. 6

65 4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia Gambar 4: Area BBB pada otak. Dikutip dari Nolte J. 13 Tabel 1: Gambaran BBB. Ruang antara BBB dan sistem transportnya. 1. Area Darah-Otak: lokasi BBB pada sel endotel kapiler. Sistem transportasi substansi melintasi BBB adalah dengan transport aktif, dengan pompa + Na dan K + -ATP-ase pada permukaan membran endotel kapiler. Tight junction akan menahan substansi yang hidrofilik dengan berat molekul yang besar. 2. Area Darah cairan serebrospinalis: lokasi pada pleksus koroidalis Sistem transportasi dengan ultrafiltrasi plasma menyertai sekresi aktif cairan serebrospinalis, dan proses ini membutuhkan energi tinggi dari ATP, melalui komponen ATP-ase dan karbonik anhidrase. 3. Area cairan serebrospinalis dan darah vena: lokasi granulasi araknoid. Granulasi araknoid mentransmisikan cairan serebrospinalis kedalam sinus venosus serebri berdasarkan perbedaan tekanan. Untuk transportasi aktif, energi ATP sangat dibutuhkan. Dikutip: Weil RJ, et al. 8 a. Struktur anatomi sawar darah otak. Pada potongan memanjang struktur BBB akan terlihat sebagai berikut: Gambar 5: Strukur potongan memanjang BBB. Dikutip dari: Nimjee SM. 3 Potongan melintang BBB juga berbeda dengan pembuluh darah dari jaringan tubuh lain. Blood brain barrier pembuluh darah somatik Gambar 6: Beda pembuluh darah otak dan somatik. Dikutip dari: Schwartz JH. 6 Secara anatomis pembuluh darah otak mempunyai: 1) sel endotelial yang utuh dan padat. 2) membran basalis endotelial yang kuat dan mengandung proteglikan, sulfat heparin, lamnin, entactin dan kolagen. 3) tight junction interseluler rapat hampir tanpa celah diantara sel membran yang memungkinkan komunikasi diantara kompartemen. Struktur tight junction ini bersifat kontinyu, anastomosing dan mengandung komponen protein claudin, occludin, junction adhesion molecules dan accessory proteins. Fungsi protein claudin dan occludin ini pada tight junction adalah mengatur regulasi protein dengan merubah permeabilitas paraseluler, mengatur difusi secara selektif ion-ion dan molekul hidrofilik. Fungsi junction adhesion molecules adalah mengatur permeabilitas parseluler dan migrasi leukosit, termasuk adesi antar sel dan transmigrasi monosit melalui BBB, sirkulasi leukosit, platelet dan organ limfoid. Junction adhesion molecules memiliki superfamili imunoglobulin. Struktur endotelial mikrovaskuler seperti ini disebut Brain Microvasculer Endothelial Cell (BMEC) 4) kaya akan mitokondria 5) Perisit dengan otot polos yang menyelimuti pembuluh darah sebagai penyokong membran. Perisit bersifat

66 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier sebagai Struktur Proteksi Otak 5 menunjang kapasitas vasodinamik pembuluh darah yang dilindunginya dan membuat struktur tersebut lebih stabil, lebih resisten terhadap apoptosis dan juga bersifat sebagai fagosit, 6) processus Astroglia, yaitu ujung kaki astroglia yang mempunyai kandungan lipid tinggi, melingkupi 85% permukaan BBB Membran neuron lebih bersifat lipofilik, lebih mudah dilintasi substansi yang larut dalam lemak, sulit untuk substansi kompleks atau yang mempunyai berat molekul tinggi Fungsi lain astrosit pada glia adalah sebagai penyokong biokimia terhadap BMEC, termasuk mempengaruhi morfologis dan mengorganisasi struktur dinding pembuluh darah dibawahnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa astrosit bertanggung jawab terhadap maturasi dan generasi BBB. Astrosit juga berfungsi sebagai ko-regulasi beberapa sekresi sitokin seperti Leukemia inhibiting factor (LIF), Ca 2+ dependent signal pada IP3 intraseluler dan gap junction dependent pathway termasuk difusi ekstraseluler dari purigenic messenger. 6 Struktur pembuluh darah otak ini secara anatomis sangat berbeda dengan struktur pembuluh darah jaringan tubuh yang lain. Struktur pembuluh darah diluar otak cenderung berpori, tanpa perlindungan berlapis, mudah dilintasi air dan tidak kaya mitokondria. 4-6, Tabel 2: Perbedaan karakteristik BBB dan kapiler pembuluh darah lain. Karakteristik BBB Kapiler struktur Resistensi tight junction 5-10 ohm/sq.cm 2000 ohm/sq.cm Pori tidak ada ada Vesikel pinositik kurang banyak Mitokondria banyak jarang Tight junction Transport selektif Astroglia Dikutip dari: b. Fungsi Sawar Darah Otak Secara anatomi pertahanan BBB ini akan memproteksi otak terhadap substansi asing didalam darah yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan injuri sel otak, juga memproteksi otak terhadap hormon dan neurotransmitter yang didesain untuk bekerja dibagian tubuh yang lain serta memelihara kondisi lingkungan neuron yang sesuai karena otak termasuk organ yang rentan terhadap kondisi kritis. 6 Karakteristik substansi yang dapat melintasi BBB adalah substansi lemak yang mempunyai molekul yang kecil dan mudah menembus fosfolipid dengan ukuran kurang dari 500 dalton. Sebagai contoh adalah H 2 O 18 Dalton, insulin 3000 Dalton, virus berukuran jutaan Dalton sedangkan bakteri berukuran lebih berat dari virus. Sebagian besar dari obat-obat medis berukuran lebih dari 500 Dalton. 6-9 Karena karakteristik BBB ini maka jarang sekali ada infeksi yang bisa menembus sawar otak, bila infeksi itu terjadi maka akan sangat sulit untuk disembuhkan, karena antibodi terlalu besar ukurannya untuk menembus BBB. 6 Beberapa metode untuk transport obat melintasi BBB adalah melalui injeksi langsung pada tempatnya, merubah sifat osmosis permeabilisasi tight junction atau mengubah sifat secara biokimia misalnya pada vasoactive compound histamin. Cara lain yang sedang dikembangkan adalah dengan meningkatkan transitosis yang akan meningkatkan kemampuan endositosis membran pada sel otak melalui tehnik nanotehnologi. 6-9,14. Beberapa penyakit infeksi yang dapat terjadi diotak adalah: meningitis, yaitu penyakit inflamasi yang dapat merusak BBB dan dapat meningkatkan penetrasi beberapa substansi untuk masuk ke otak, Multipel Sclerosis yaitu penyakit autoimun, Latestage neurological trypanosomiasis (sleeping sickness) yang disebabkan protozoa dan Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML). 6-9 Secara normal transport substansi secara selektif yang dapat melalui BBB secara difusi, yaitu melintasi bilayer fosolipid (fosfolipid 2 lapis), adalah substansi yang bersifat lipofilik, termasuk barbiturat, librium, opium, heroin, morfin, cocain, nikotin, mariyuana, alkohol, amfetamin, metamfetamin dan lain-lain serta beberapa obat yang mampu mempengaruhi sistem saraf pusat seperti obat pereda nyeri yang spesifik, penurun panas, obat tidur dan sedasi, pencegah muntah, pengurang nafsu makan dan beberapa obat yang bersifat mengurangi ansietas dan obat yang digunakan untuk terapi depresi, parkinson, alzheimer, migren, epilepsi dsb. 5-6,9 Fasilitas transport substansi yang difasilitasi oleh sistem carier, terutama untuk transportasi asam amino yang bekerja untuk prekursor neurotransmiter, glukosa, glisin dan beberapa reseptor yang bekerja sebagai mediasi endositosis, seperti leptin dan insulin. 4-6,11-13

67 6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia darah dan dipisahkan dari ruang subarachnoid oleh membran araknoid. Gambar 7: Sistem transportasi substansi melintasi BBB. Dikutip: Well RJ, et al. 8 Pada otak ada area dimana struktur BBB lebih longgar dan memungkinkan beberapa substansi dapat melintas lebih mudah dibandingkan pada area dimana struktur BBB nya lebih rapat. Area ini dikenal sebagai organ sirkumventrikular. Area ini diisolasi dari otak oleh sel ependimal khusus yang disebut tanycytes yang berlokasi menutupi sepanjang permukaan ventrikel sampai area midline. 6-7 c. Organ sirkumverential Organ sirkumventrikuler ini terdiri dari: 1. Pineal body Adalah organ yang mensekresikan melatonin dan peptida neuroaktif. 2. Neurohypophysis (pituitary posterior) Adalah organ yang melepaskan neurohormon seperti oksitosin dan vasopresin. 3. Postrema area (area postrema) Adalah organ pusat muntah 4. Subfornical organ-chemoreceptive Adalah organ yang berperanan untuk memonitor level angiotensin darah. Organ ini penting pada regulasi cairan tubuh dan balans elektrolit. 5. Organum vasculosum (organ vaskulosa) dari lamina terminalis Adalah organ Chemosensory untuk mendeteksi peptida dan molekul-molekul lain. 6. Median eminance Adalah organ yang mengatur regulasi pituitari anterior yang melepaskan neurohormon. 7. Pleksus koroidalis Pleksus koroidalis adalah tempat dibentuknya cairan serebrospinalis (CSF) dan tempat konsentrasi molekul CSF diatur, untuk didistribusikan ke ventrikel IV pada dasar otak dan ventrikel lateralis yang terletak pada sisi kanan dan kiri hemisperium serebri. Pleksus koroidalis mengandung banyak pembuluh Fungsi area yang mengelilingi sirkumventrikular organ ini lebih terbuka dibanding BBB adalah untuk menerima respon terhadap faktor-faktor yang terjadi pada pembuluh darah sistemik. 8 Walaupun struktur BBB sangat spesifik dan ketat, BBB dapat rusak karena berbagai sebab seperti: 6,8 1) Hipertensi, tekanan darah yang tinggi menyebabkan jaringan endotelial rusak dan membuka struktur BBB, 2) Hiperosmolaritas, tingginya gradien suatu substansi dalam darah dapat menyebabkan kerusakan pada struktur pendukung BBB. Manitol dapat meningkatkan permeabilitas BBB, tetapi bersifat sementara, 3) Gelombang mikro dan radiasi, paparan gelombang mikro dan radiasi dapat menyebabkan kerusakan struktur BBB, 4) Infeksi, proses infeksi yang terjadi pada jaringan otak atau meningen misalnya meningitis, penyakit autoimun MS, trypanosomiasis suatu infeksi yang disebabkan trypanosoma protozoa, 5) Trauma, iskemia dan inflamasi, proses cedera sel baik secara langsung ataupun tidak langsung akan merusak BBB. Trauma kepala, inflamasi dan kaskade iskemia merupakan salah satu rangkaian proses yang dapat merusak BBB, 6) Genetik, disebabkan karena perkembangan BBB yang tidak lengkap pada masa pertumbuhan. 11 Mekanisme neurotoksisitas, dapat terjadi secara nonspesifik misalnya hipoksia: baik anoksia akibat paralisis respiratori dan kegagalan hemoglobin darah mengangkut oksigen, iskemia yang disebabkan hipotensi, perdarahan atau trombosis, henti jantung atau proses sitoksis yang disebabkan inhibisi oksidatif sitokrom, inhibisi metabolik dan hipoksia yang berulang. Sedangkan neurotoksik yang bersifat spesifik akan langsung menyerang target misalnya akson, mielin dan sinap. 9 Tumor otak, kebanyakan tumor otak mempunyai vaskularisasi yang abnormal yang merusak BBB, menyebabkan akumulasi cairan interstitiel (edema vasogenik), sedangkan pertumbuhan yang agresif dari astrositoma menyebabkab BBB ditutupi oleh tumor tersebut dan merubah vascularisasinya. Adanya mediator kimia yang dilepaskan sel tumor seperti sitokin, mediator inflamasi, growth factor menyebabkan kerusakan struktur BBB. Kejang akan meningkatkan permeabilitas membran, menyebabkan edema sitotoksik. 3,6,8-15. Tabel 2. Beberapa kondisi yang merubah permeabilitas BBB. Penurunan Permeabilitas BBB Peningkatan Permeabilitas BBB

68 Membran Sel Neuron dan Blood Brain Barrier sebagai Struktur Proteksi Otak 7 Intraseluler ciklic AMP Steroid Adrenomedulin Noradrenalin Glial-drived neurotrophic factor (GDNF) Basic fibroblast growth factor (bfgf) Polyunsaturated fatty acids (PUFA) Transforming growth factor-β (TGF- β) Dikutip : Well RJ, et al. 8 Bradikinin Histamin Serotonin (5HT) Thrombin Glutamat Purine nucleotides: ATP, ADP, AMP Endothelin-1 Adenosine Platelet-activating factor Phospholipase A2 Arachidonic acid Prostaglandin Leukotrins IL-1α, IL-1 β, IL-6, TNF-α Macrophage inhibitory protein: MIP-1 dan MIP-2 Complement polieptida, Radikal bebas, nitric oxida Kerusakan BBB dapat meningkatkan permeabilitas membran, menghilangkan proteksi terhadap paparan substansi yang berbahaya bagi otak, meningkatkan tekanan perfusi otak, menurunkan aliran darah otak, menyebabkan iskemia sampai menyebabkan kematian sel. 6,8-9 IV. Simpulan 1. Otak adalah organ vital yang sangat rentan terhadap kerusakan, sulit beregenerasi sehingga sangat dilindungi oleh tubuh. 2. Otak terdapat dalam struktur yang rigid, mempunyai struktur membran dan pembuluh darah yang spesifik sebagai salah satu bentuk proteksinya. 3. Struktur pembuluh darah otak itu disebut blood brain barrier (BBB), fungsinya untuk melindungi otak terhadap paparan substansi dan penyakit yang membahayakan kehidupan neuron. 4. Meningkatnya permeabilitas BBB oleh sebab apapun akan menyebabkan mudahnya transportasi substansi cair masuk ke sel, terjadinya perubahan koefisiens gradasi membran dan mudah terjadi edema seluler. Daftar Pustaka 1. Kass IS. Physiology and metabolisme of the brain and spinal cord. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2007, Werner C, Kochs E, Hoffman WE. Cerebral blood flow and metabolisme. Dalam: Albin MS, eds. Texbook of neuroanesthesia with neurosurgical and neuroscience perspective. New York: The McGraw & Hill; 1997, Nimjee SM, Grant GA, Winn HR, Janign D. Blood brain barrier. Dalam: Winn HR, eds. Youmans neurological surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011, Sheerwood L. Cell physiology. Dalam: Human physiology, from cell to system. Edisi ke -7. Australia: Brooks/ Cole; 2010, Sheerwood L. Plasma membran and membran potensial. Dalam: Human physiology, from cell to system. Edisi ke-7. Australia: Brooks/ Cole; 2010, Schwartz JH, Westbrook GL. The citology of neurons. Dalam: Kendell ER, Schwartz JH, Jessel TM, eds. Principles of neural science. Edisi ke-4. New York: McGraw- Hill, 2000, Mendelov A, Crawford PJ. Primary and secondary brain injury. Dalam: Reilly P, Bullock R, eds. Head injury. London: Chapman & Hall; 1997, Weil RJ, Oldfield EH. Cerebral edema. Dalam: Winn HR, eds. Youman neurological surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011, Laterra J, Goldstein GW. Ventricular organization of cerebrospinal fluid: blood brain barrier, brain edema and hydrocephalus. Dalam: Kendell ER, Schwartz JH, Jessel TM, eds. Principles of neural science. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill; Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial mass: anesthetic consideration. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cotrell and Young s neuroanesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011, Weyhenmeyer J, Gallman E. Vasculature. Dalam: Rapid review neuroscience. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007, Felten DL, Shetty AN. Neurons and their properties. Dalam: Netter s atlas of neuroscience. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier saunders; 2010, Nolte J. Blood supply of the brain. Dalam: Essential of human brain. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, Lange ECM, Ravenstijn PGM, Groenendal D, Steeg TJ. Toward of prediction of CNS drugeffect profiles in physiologyal and pathological

69 8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia conditios using microdialysis and mechanismbased pharmacokinetic-pharmacodynamic modeling. The AAPS Journ 2005;7(3)E Pardrige WM. Blood brain barrier delivery. Drug discovery today 2007;1/2(12):

70 PENATALAKSANAAN ANESTESI UNTUK TUMOR NEUROENDOKRIN ANESTHESIA MANAGEMENT FOR NEUROENDOCRINE TUMOR Syafruddin Gaus *), Tatang Bisri **) *)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Hasanudin Makassar **) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Padjadjaran Bandung Abstract Neuroendocrine tumor is commonly in adult patient with incidence 10-15% in all of intracranial neoplasm and highest at 4th-6th of life decade. Patients with neuroendocrine tumor have an unique challange for anesthesiologist because the important role of pituitary gland in endocrine system. The challange came during preoperative, intraoperative and postoperative periode. Many of anesthesia technique and anesthetics can use for neuroendocrine tumors surgery. The choice of anesthetics depend on comorbid diseases and history of anesthesia previously. If needed fast emergens for neurological evaluation, it can be use drug with fast elimination (ex propofol and remifentanil) or inhalation anesthetic with low coefficient partition (ex sevoflurane) is rational choice. The successful surgery and anesthesia management for neuroendocrine patient need multidisipline approach and depend on the quality of postoperative care. Key words: pitutary gland, endocrine system, neuroendocrine tumor, anesthesia technque. JNI 2102;1(3): Abstrak Tumor neuroendokrin sering ditemukan pada orang dewasa dengan angka kejadian 10%-15% dari seluruh neoplasma intrakranial dan tertinggi pada dekade ke 4 sampai ke 6 kehidupan. Penderita dengan tumor neuroendokrin mempunyai tantangan yang unik untuk dokter ahli anestesi karena peranan yang penting kelenjar hipofise pada sistem endokrin.tantangan ini mulai saat pemeriksaan prabedah dan berlanjut selama operasi serta periode pascabedah. Banyak teknik anestesi dan obat anestesi yang dapat diberikan pada pembedahan tumor neuroendokrin. Pemilihan obat anestesi tergantung pada penyakit komorbititas penderita dan riwayat anestesi sebelumnya. Apabila diinginkan penderita cepat sadar untuk segera dilakukan pemeriksaan neurologik maka dapat digunakan obat-obat yang cepat dieliminasi (misalnya propofol dan remifentanil) atau anestetika inhalasi dengan kelarutan dalam darah yang rendah (misalnya sevofluran) merupakan pilihan yang rasional. Keberhasilan pembedahan dan penatalaksaan anestesi pada penderita tumor neuroendokrin memerlukan pendekatan multidisiplin dan sangat tergantung pada kualitas perawatan perioperatif. Kata kunci: kelenjar hipofise, sistem endokrin, tumor neuroendokrin, teknik anestesi JNI 2102;1(3): I. Pendahuluan Prosedur pembedahan saraf baik elektif maupun emergensi, melibatkan peredaran darah, cairan serebrospinal, bersama dengan struktur tulang, tengkorak, dan sumsum tulang belakang. Faktor penting adalah mempertahankan tekanan perfusi serebral dan memfasilitasi lapangan pembedahan dengan meminimalkan kehilangan perdarahan dan mencegah peningkatan volume dan edema jaringan saraf. 1 Pemberian anestesi pada pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis meliputi semua hal pada pembedahan saraf intrakranial, juga pengertian yang spesifik mengenai pembedahan hipofisis. Pengetahuan mengenai anatomi dan fisiologi tumor diperlukan karena hormon hipofisis baik hiposekresi maupun hipersekresi dan akibatakibatnya, efek dari massa tumor, menyebabkan masalah-masalah yang berkaitan dengan anestesi. 2 Sebagai tambahan, beberapa perhatian telah diberikan sehubungan dengan pendekatan 0

71 pembedahan, baik itu transsfenoid atau, lebih sering, transkranial. 3 Tumor hipofisis terhitung 10-15% dari seluruh neoplasma intrakranial, cenderung jinak dan kadang-kadang ditemukan sebagai penemuan tidak sengaja dalam pemeriksaan postmortem (10-25% dari autopsi). Adenoma ini memiliki puncak insiden pada usia menengah dan dapat berupa mikroadenoma (< 1 cm) atau makroadenoma. 4 Neuroanatomi dan neurofisiologi otak secara umum Aliran darah otak (CBF) dan autoregulasi otak Otak menerima sekitar 15% dari curah jantung (sekitar 750ml/m pada orang dewasa) saat istirahat, sekitar 50 ml/100 g/m, walaupun beratnya hanya sekitar 2% dari total berat badan. 5,6 Metabolik yang tinggi dari otak (20% dari konsumsi oksigen basal dan 25% konsumsi glukosa basal) memerlukan aliran darah otak (ADO) yang terjamin. 6 Umumnya, ADO lebih besar pada substansia grisea dibandingkan substansia nigra, yakni sekitar 80 ml/100 g/m dan sekitar 20 ml/100g/m. ADO kurang dari ml/100 g/m dapat menyebabkan gejala neurologis yang terlihat dari melambatnya EEG, ADO antara ml/100g/m dapat menyebabkan EEG isoelektrik yang reversibel, dan ADO antara ml/100 g/m dapat menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. 7,8 Serupa dengan jantung dan ginjal, otak normalnya mentoleransi perubahan pada tekanan darah dengan sedikit perubahan pada aliran darah. Pada individu yang normal, ADO tetap konstan pada tekanan arteri rerata (MAP) antara mmhg (gb.1). Di luar batas ini, aliran darah bergantung pada tekanan. Tekanan di atas mmhg dapat mengganggu sawar darah otak dan menyebabkan edema dan perdarahan otak. 9 ADO sangat tergantung pada tekanan perfusi serebral dan resistensi pembuluh darah serebral. Hubungan antara tekanan perfusi serebral dan ADO diilustrasikan dengan persamaan berikut 6 : CBF = CPP / CVR CPP = MAP ICP CBF = MAP ICP CVR Kurva autoregulasi otak bergeser ke kanan pada pasien dengan hipertensi arteri yang kronik. Beberapa penelitian menunjukkan terapi antihipertensi jangka panjang dapat mengembalikan batas autoregulasi otak ke normal (Gambar 1). 7 Gambar 1. Autoregulasi aliran darah otak dalam keadaan normal. Dikutip dari: Morgan GE, et al. 7 Tekanan perfusi serebral (CPP) merupakan hasil pengurangan antara tekanan arteri rerata (MAP) dengan tekanan intrakranial (ICP). Di mana normal CPP adalah mmhg. Karena ICP nomalnya kurang dari 10 mmhg, maka CPP utamanya bergantung pada nilai MAP. 7 Peningkatan ICP yang sedang sampai berat (>30 mmhg) dapat mempengaruhi CPP dan ADO secara bermakna walaupun dalam MAP yang normal. Pasien dengan CPP yang kurang dari 50 mmhg seringkali menunjukkan perlambatan EEG, di mana pasien dengan CPP antara 25 dan 40 mmhg pada umumnya memiliki EEG yang datar. Tekanan perfusi yang menetap sampai kurang dari 25 mmhg menghasilkan kerusakan otak yang ireversibel. 7 Kompartemen intrakranial dan tekanan intrakranial Volume intrakranial sekitar 1700 ml dan dibagi menjadi 3 kompartemen fisiologis, yaitu: 1. Parenkim otak, sekitar 1400 ml (80%, dengan komposisi 10% adalah material padat dan 70% berupa cairan); 2. Cerebral blood volume (CBV), sekitar 150 ml (10%); dan 3. Cerebrospinal fluid (CSF), sekitar 150 ml (10%). Monro dan Kellie yang pertama kali menggambarkan hubungan antara volume dan tekanan dalam tengkorak yang intak pada orang dewasa, yang secara umum dikenal sebagai hukum Monro-Kellie, bahwa peningkatan volume salah satu kompartemen intrakranial akan menyebabkan peningkatan ICP, kecuali bila dapat dikompensasi dengan pengurangan volume salah satu kompartemen yang lain. Dalam hal ini, kompartemen CBV dan CSF memiliki peranan yang penting dalam merespon peningkatan volume intrakranial dengan meningkatkan aliran balik atau menurunkan ADO dan mengurangi jumlah CSF intrakranial. 10 ICP normal berkisar antara 5-15 mmhg, dan tidak selalu konstan tergantung dari perubahan fisiologis 1

72 seperti posisi, pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Bila ICP meningkat secara cepat, seperti yang terlihat pada cedera kepala, maka akan terjadi perubahan-perubahan sistemik, seperti hipertensi, lesi pada jantung dan aritmia, hipoksemia arteri, serta neurogenic pulmonary edema (NPE). Tahun 1901, Cushing menemukan adanya trias Cushing yaitu hipertensi, bradikardi dan melambatnya respirasi yang terjadi akibat peningkatan ICP. Walaupun peningkatan tekanan darah untuk mempertahankan ADO, namun dapat menyebabkan bertambahnya kenaikan ICP. Bradikardi biasanya hanya terjadi sebentar dan yang paling sering adalah terjadinya takikardi dan aritmia ventrikel. Pada keadaan dimana ICP sangat tinggi, dapat terjadi spasme arteri serebral yang dapat menyebabkan iskemik dan infark serebral. 11 Anatomi fisiologi hipotalamus dan hipofisis Otak terdiri dari banyak bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan. Bagian-bagian utama adalah medulla, pons, dan otak tengah (secara kolektif disebut batang otak), cerebellum, hipotalamus, talamus, dan cerebrum. 12 Hipotalamus berlokasi pada superior kelenjar hipofisis dan di bawah talamus, hipotalamus adalah suatu daerah kecil dengan banyak fungsi. 12 Kelenjar hipofisis berada pada dasar tengkorak di sella tursika, suatu kavitas bertulang di dalam tulang sfenoid, dan terbagi menjadi lobus anterior (adenohipofisis) dan posterior (neurohipofisis). 5 Kelenjar ini terdiri dari dua bagian yang terpisah secara histologi: lobus anterior, yang besar, merah muda, penuh vaskuler atau disebut adenohipofisis, dan lobus posterior yang lebih kecil berwarna putih keabu-abuan. Kelenjar ini terletak dalam fossa hipofisis atau sella tursica, berukuran sekitar 6x13x9 mm. Dinding dasar dan anterior sella dibentuk oleh dasar udara sfenoid, dinding posterior oleh clivus dan dinding lateral oleh sinus kavernosa yang mengandung arteri karotis dan nervus kranialis ke 3, 4, dan 6. 2 Hipotalamus mengatur hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior melalui pangaturan peptida (faktor pelepasan dan penghambatan hipotalamik) yang menjangkau hipofisis anterior oleh sistem vaskuler portal yang kompleks. Kontrol oleh sekresi hipotalamus adalah kompleks dan terjadi dari pengaruh neuron dan kimiawi, termasuk umpan balik dari hormon organ target. Kelenjar hipofisis anterior yang lebih besar menghasilkan setidaknya tujuh macam hormon. Kelenjar hipofisis posterior yang lebih kecil menyimpan dan menghasilkan dua macam hormon, yaitu hormon antidiuretik (ADH) dan oksitosin, yang disintesa dalam neuron hipotalamik khusus dan ditranspor sebagai granula dalam akson di bawah tangkai hipofisis ke kelenjar hipofisis posterior. 5 Gambar berikut (gb. 2 dan 3) memperlihatkan neuroanatomi dan neurofisiologi sella tursika hipofisis. 13,14 Gambar 2. Neuroanatomi sella tursica hipofisis. Dikutip dari: Netter FH, et al. 13 Gambar 3. Neurofisiologi sella tursica hipofisis. Dikutip dari: Netter FH, et al. 14 Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior dan posterior dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini: 5 Tabel 1. Hormon-hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior dan posterior. Hipofisis anterior Hormon pertumbuhan (Growth hormone) Prolactin Gonadotropin: Follikel-stimulating hormon Luteinizing hormon Adrenocoticotropin (ACTH) β- Lipoprotein Thyrotropin (TSH) Dikutip dari: Bendo AA, et al. 5 Hipofisis posterior Hormon antidiuretik (ADH) Oksitosin Sedangkan pengaturan hormon hipofisishipotalamus dapat terlihat pada tabel berikut ini 15 : Tabel 2. Hipofisis anterior dan pengaturan hormon hipotalamus. Hormon Pelepasan Inhibisi ACTH * Corticotrophin ---- releasing factor (CRF) GH * Growth hormone- Growth hormone 2

73 PRL * releasing factor (GRF) Prolactin-releasing factor (PRF) release-inhibiting hormone (GHRIH, somatostatin) Prolactininhibiting factor (PIF) Somatostatin TSH! Thyrotropin-releasing hormone (TRH) LH! Gonadotropinreleasing ---- hormone (GnRH) FSH! Gonadotropinreleasing ---- hormone (GnRH) * Polypeptida; Glycoprotein, dengan subunit alfa dan beta; subunit alfa adalah penanda serum untuk diagnosis tumor dan keberhasilan terapi. Dikutip dari: Matjasko MJ. 15 Gambar 4. Ringkasan pelepasan hormon oleh kelenjar hipofisis anterior dan posterior dikutip dari: sis.html Patologi Hipofisis Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu nonfunctioning dan hipersekresi atau functioning. Tumor hipofisis nonfunctioning biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis, peningkatan TIK, dan hipopituitarisme. Pembesaran tumor-tumor ini dapat menyebabkan gangguan selektif ataupun global terhadap fungsi hipofisis dengan penekanan pada kelenjar yang normal. Suatu pembesaran hipofisis yang tiba-tiba yang disebabkan oleh perdarahan spontan atau infark pada tumor memberikan gejala kompleks yang dikenal sebagai pituitary apoplexy, suatu kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai oleh defisit neurologi yang akut dan penurunan yang cepat oleh fungsi hipofisis. Terapinya termasuk pemberian kortikosteroid dan pembedahan dekompresi emergensi. 5 Tabel 3. Adenoma functioning : penyakit klinis dan terapi medikal. Penyakit klinis Acromegali Penyakit Cushing Hormon yg dihasilkan tumor Growth hormone Perkiraan kejadian (%) Terapi medikal 5-10 Somatostatin analog (octreotide) Penghambat reseptor GH ACTH Ketokonazole (blok sintesa kortisol) Gonadotrof FSH, LH 5 Tidak ada Prolaktinoma Prolactin Agonis dopamine (bromocriptine, cabergoline, pergolide) Null cell Tidak ada Tidak ada Thyrotropic TSH < 3 Somatostatin analog (ocreotide) Propylthiouracil Lainnya (termasuk adenoma sel campur) Tidak ada 20 Tidak ada ACTH=adrenocorticotropic hormone; FSH=follicle stimulating hormone, LH=luteinizing hormone, TSH=thyroid stimulating hormone. Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16 Gambar berikut ini (Gambar 5) memperlihatkan hubungan antara massa tumor hipofisis dengan efek sistemiknya. 16 Adenoma hipofisis functioning menghasilkan satu atau lebih hormon hipofisis anterior yang berlebihan, dan karenanya biasanya didiagnosa saat tumor berukuran kecil. Paling sering adalah prolaktinoma, diikuti oleh hormon pertumbuhan dan adenoma adrenokortikotrofin. Adenoma yang disekresi oleh tirotrofin atau hormon follikel stimulating dan luteinizing hormon adalah jarang. Produksi berlebihan hormon pertumbuhan sebelum pubertas menghasilkan gigantisme; setelah pubertas menjadi akromegali. Penyakit Cushing berkembang dari adenoma adrenokortikotrofin yang menyebabkan hiperplasia adrenal bilateral. 5 Prolaktinoma Tumor prolaktin terhitung lebih dari setengah tumor hipofisis functioning. Sebagian besar mikroadenoma (< 1cm) dan 90% terjadi pada wanita. Pada wanita dapat terjadi amenore sekunder dan galaktorea, di mana galaktorea tidak terjadi jika konsentrasi estrogen rendah. Pria dengan tumor prolaktin dapat memperlihatkan impotensi dan penurunan jumlah sperma dan tumor dapat didiagnosa selama pemeriksaan untuk fertilitas. 3

74 Gambar 5: Efek sistemik dan massa tumor pituitari. Suatu tumor pituitari dapat memperlihatkan manifestasi sistemik sekunder yang luas terhadap peranan sentral tumor pituitari dari sistem endokrin. Juga, perluasan massa intrasellar apapun dapat menghasilkan efek lokal sekunder terhadap penekanan pada srtruktur terdekat di dalam otak. DI = diabetes insipidus, ICA = Internal carotid artery. Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16 Prolaktin makroadenoma (> 1 cm) lebih sering pada pria dan dapat memberikan defek lapangan penglihatan sekunder akibat penekanan oleh massa tumor dibandingkan dengan masalah pada fertilitas. 2 Lebih dari 90% pasien berespon terhadap terapi medikal dengan agonis dopamin seperti bromokiptin, dan hanya beberapa yang dioperasi. Diagnosis MRI fossa hipofisis mengidentifikasi adanya tumor dan peningkatan konsentrasi prolaktin plasma menguatkan diagnosis. Batas atas normal untuk sirkulasi prolaktin bervariasi tergantung pada pemeriksaan, tetapi konsentrasi > 400 mu/ liter (20 ng/ ml) umumnya diterima sebagai peningkatan (2). Konsentrasi plasma berkorelasi dengan ukuran tumor. Mikroadenoma prolaktin umumnya mengasilkan konsentrasi mu/ liter, sedangkan konsentrasi >6000 mu/ liter biasanya berhubungan dengan makroadenoma. Tumor non-functioning yang besar juga dapat meningkatkan konsentrasi prolaktin melalui penekanan tangkai hipofisis (infundibulum), tetapi kadar prolaktin jarang melebihi 3000 mu/ liter. 2 Terapi Terapi utama prolaktinoma adalah dengan agonis dopamin, seperti bromokriptin. 2 Bromokriptin harus diberikan dalam dosis rendah (1mg) saat makan dan ditingkatkan sampai 5-15 mg/hari sampai kontrol optimal dicapai. Cabergoline merupakan alternatif terhadap bromokriptin. Lebih dari 90% pasien berespon terhadap terapi medikal. 17 Pembedahan adenoma diindikasikan pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap agonis dopamin, atau pada kasus yang jarang, jika efek samping obat (nausea, letargi, atau hidung tersumbat) membatasi kegunaannya. 2 Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini berfokus terutama pada massa prolaktinoma dan efeknya. 16 Peningkatan hormon pertumbuhan: akromegali Pasien akromegali merupakan tantangan yang paling besar untuk ahli anestesi. Kondisi prabedah pasien dan jalan napasnya dapat merupakan masalah. 18 Walaupun terapi pilihan adalah operasi 2, beberapa pasien dapat sedang dalam terapi medikal seperti agonis dopamin, somatostatin analog (mis. Ocreotide) atau dengan pregvisomant, suatu antagonis reseptor hormon pertumbuhan. Terapi prabedah seperti ini pada umumnya meningkatkan manifestasi akromegali. 16 Kardiovaskuler Penyakit jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien akromegali. 19 Penyebab kematian tersering pada akromegali yang tidak diterapi adalah kardiovaskuler, di mana 50% pasien meninggal sebelum umur 50 tahun. Hipertensi terjadi pada hampir 40% pasien akromegali. 16 Dapat juga terjadi kardiomegali, penyakit arteri koroner, penyakit katup mitral dan aorta, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan aritmia. 18 Pembesaran jantung kiri dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi sistemik, tetapi juga dapat terjadi setidaknya pada 50% pasien akromegali yang normotensi. Pemeriksaan ekhokardiografi menunjukkan peningkatan pada massa ventrikel kiri, stroke volume, curah jantung, dan waktu relaksasi isovolemik. Perubahanperubahan ini tidak tergantung dari hipertensi sistemik. Disfungsi diastolik dapat merupakan suatu tanda awal dari kardiomiopati akromegalik, tetapi fungsi sistolik pada umumnya masih ada. 18 Endokrin Akromegali juga dapat berhubungan dengan diabetes mellitus. Insulin sliding scale dapat diperlukan untuk menangani status endokrin yang fluktuatif setelah operasi. 18 Masalah jalan napas Peningkatan hormon pertumbuhan menyebabkan hipertrofi jaringan lunak pada mulut, hidung, lidah, palatum mole, epiglottis, dan lipatan aryepiglottic. Suara serak harus diwaspadai oleh ahli anestesi sebagai suatu kemungkinan adanya stenosis laring 18 atau trauma nervus laryngeal rekuren. 16 Penebalan laring dan jaringan lunak faring menyebabkan penyempitan pembukaan glottis, hipertrofi lipatan periepiglottis, pengapuran laring, 4

75 dan trauma nervus laringeus rekuren yang semuanya dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. 16 Sindrom obstruksi pernapasan didapatkan pada 25% pasien wanita dan pada 70% pasien pria. Obstructive sleep apnea (OSA) sekunder terhadap obstruksi jalan napas atas dapat berdampak sampai 70% pasien akromegali; namun depresi pernapasan sentral oleh etiologi yang tidak diketahui juga dapat terjadi. 16 Suatu riwayat mendengkur yang keras, periode apnea dan mengantuk di siang hari harus diperhatikan dan monitoring pascaoperasi harus dijaga. 2 Diagnosis Diagnosis diperoleh dengan pemeriksaan konsentrasi serum hormon pertumbuhan lebih dari 10 mu/ L (5 ng/ml), gagalnya penekanan serum hormon pertumbuhan sampai kurang dari 2 mu/ L (1 ng/ml) setelah pemberian 75 gr glukosa oral dan peningkatan IGF-I. Suatu pengukuran konsentrasi hormon pertumbuhan yang terisolasi dapat menyesatkan karena pelepasan yang tiba-tiba dan memiliki waktu paruh yang singkat. IGF-I, suatu somatomedin memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan karenanya merupakan pengukuran yang berguna untuk aktivitas hormon pertumbuhan rata-rata. 2 Gejala dan tanda klinis yang sering terjadi diperlihatkan dalam tabel 4 berikut 2 : Tabel 4. Gambaran klinis akromegali. Area yang terkena Wajah Tangan dan kaki Mulut/ lidah Jaringan lunak Tulang Kardiovaskuler Endokrin Lainnya Dikutip dari: Smith M, et al. 2 Terapi Gambaran klinis Pembesaran ukuran tengkorak dan pemendekan supraorbital; pembesaran rahang bawah (mandibula); penambahan jarak antara gigi/ maloklusi Bentuk sekop; sindrom carpaltunnel Makroglosia; penebalan faring dan jaringan lunak faring; OSA Penebalan kulit; perabaan doughlike pada telapak tangan Pembesaran vertebra; osteoporosis; kifosis Hipertensi; kardiomegali; gangguan fungsi ventrikel kiri Gangguan toleransi glukosa; diabetes Artropati; miopati proksimal Terapi utama adalah pembedahan, dengan atau tanpa tambahan radioterapi. Beberapa pasien berespon terhadap agonis dopamine dan, pada beberapa kasus, konsentrasi hormon pertumbuhan dan IGF-I dapat dinormalkan tanpa pembedahan. Somatostatin analog kerja panjang (seperti ocreotide) dapat berguna pada pasien-pasien yang tidak berespon terhadap agonis dopamin tetapi pemberiannya secara parenteral dan angka kejadian yang tinggi akan batu empedu membatasi penggunaannya. Baru-baru ini, suatu penelitian telah dilakukan terhadap preparat somatulin, suatu preparat lepas lambat, yang diberikan secara injeksi setiap 1-2 minggu. 2 Peningkatan hormon adrenokortikotropik: penyakit Cushing Gambaran penyakit Cushing yang relevan dengan anestesia adalah penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, imunosupresi dan infeksi sebelumnya, kerapuhan kulit dengan mudah memar (menyulit-an kanulasi vena), dan osteoporosis (yang meningkatan resiko fraktur selama pasien diposisikan). 18 Sebanyak 80% pasien Cushingoid memiliki hipertensi sistemik dan 50% dari pasien yang tidak terobati memiliki tekanan darah diastolik > 100 mmhg. Peningkatan kortikosteroid endogen menyebabkan hipertensi sistemik dengan berbagai mekanisme. Hidrokortison meningkatkan kardiak output sebagaimana produksi angiotensinogen hepatik. Peningkatan angiotensinogen mengaktivasi system renin-angiotensin, yang menyebabkan peningkatan volume plasma. Peningkatan bermakna glukokortikoid meningkatkan influx Na+ dalam sel otot polos pembuluh darah dan inhibisi glukokortikoid fosfolipase A2 menyebabkan penurunan sintesa prostaglandin vasodilator. Pasien dengan penyakit Cushing memiliki peningtan reseptor angiotensinogen II (tipe I) dan menguatan produksi triofosfat inositol dalam sel otot polos vaskuler. Hal ini meningkatkan sensitivias vasokonstriktor endogen seperti angiotensin II, epinefrin, dan norepinefrin. Sensitivitas terhadap katekolamin eksogen juga dapat meningkat. Abnormalitas EKG juga umum terjadi pada penyakit Cushing akibat hipertensi sistemik. Gelombang kompleks QRS voltase tinggi dan T inverse menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri dan kekakuan ventrikel kiri telah digambarkan. Menarik untuk dicatat bahwa, setelah reseksi adenoma berhasil, perubahan-perubahan ini biasaya kembali ke normal kurang dari 1 tahun. Echokardiografi dapat menunjukkan hipertrofi septum ventrikel yang tidak proporsional dan mengurangi kemampuan sistolik dinding tengah dan dengan disfungsi diastolik pada sekurangnya 40% pasien. 16 OSA juga umum terjadi pada penyakit Cushing. Penelitian polosomnografik menunjukkan sebanyak 5

76 33% pasien dengan penyakit Cushing memiliki sleep apnea ringan dan 18% yang berat. 16 Intoleransi glukosa terjadi sekurangnya pada 60% pasien penyakit Cushing dengan adanya diabetes mellitus pada lebih dari sepertiga dari keseluruhan pasien (2). Penelitian terbaru menganjurkan peningatan kadar glukosa darah >180 mg/ dl (10,1 mmol/l) harus diterapi dengan insulin intravena. 16 Eksoftalmus sebagai akibat sekunder peningkatan deposi lemak retro-orbital dapat terjadi pada sepertiga pasien dengan penyakit Cushing. Ahli anestesi dan bedah saraf harus menyadari adanya exoftalmus untuk menghindari terjadinya abrasi kornea, sebagai contohnya, yang dapat meng-anggu berhasilnya pembedahan. Hiperkortisolisme menyebabkan penipisan kulit. Kanulasi vena superfisial untuk akses intravena dapat menjadi sangat sulit dan trauma yang minimal saja dapat 16 menghasilkan memar. Apapun penyebab peningkatan sirkulasi kortisol, sindrom Cushing ditandai oleh berbagai aspek yang dipengaruhinya (tabel 5). Diagnosis Diagnosis dapat kompleks dan harus dilakukan pada pusat spesialis. Konsentrasi kortisol bebas pada urin, hilangnya kontrol kortisol diurnal dan kurangnya respon terhadap supresi deksametason semalaman merupakan prosedur skrining primer. Tingginya konsentrasi sirkulasi ACTH diindikasikan oleh kortisol urin > 275 nmol/ 24 jam dan gagalnya supresi konsentrasi kortisol serum sampai < 138 nmol/l setelah pemberian dosis oral 1mg deksametason pada malam hari sebelum sampling dilakukan. Jika ACTH tidak dapat dideteksi, maka dinyatakan sebagai suatu tumor kelenjar adrenal; konsentrasi antara 10 dan 100 ng/ L dinyatakan sebagai penyakit pituitary dependen, di mana konsentrasi > 200 ng/ L dinyatakan sebagai suatu sekresi ACTH ektopik. Seringkali, konsentrasi kortisol tidak di bawah batas normal dan karenanya memerlukan stimulasi atau tes supresi yang lain. Tes supresi deksametason dosis tinggi meliputi pemberian 2 mg deksametason setiap 6 jam selama 48 jam. Sindrom Cushing dependen hipofisis biasanya berespon dengan turunnya konsentrasi kortisol plasma dan urin pagi hari pada hari kedua. 2 Tabel 5. Gambaran klinis sindrom Cushing. Penampakan Redistribusi badan lemak; moon face ; obesitas trunkal atau buffalo Muskuloskeletal Miopati proksimal; osteoporosis; kolaps vertebra Kulit Striae ungu pada abdomen, pantat, paha; kulit yang rapuh dan mudah memar; hirsutisme; jerawat Endokrin Gangguan toleransi glukosa; diabetes Kardiovaskuler Hipertensi; abnormalitas EKG; hipertrofi ventrikel kiri Metabolisme Hipernatremia; hipokalemia; alkalosis Lainnya Sleep apnea ; reflux gastrointestinal; batu ginjal; maskulinisasi; gangguan mental Dikutip dari: Smith M, et al. 2 Terapi Terapi primer adalah pembedahan, dan angka kesembuhan pada <80% pasien. Medikasi prabedah dengan metyrapone atau betaconazole melawan efek samping peningkatan konsentrasi sirkulasi kortisol, yang biasanya menyebabkan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang bermakna. Jika pembedahan tidak mungkin dilakukan atau telah gagal, radioterapi merupakan pilihan kedua. Hal ini dapat disertai dengan adrenalektomi bilateral dan terapi penggantian mineralokortikoid dan glukokortikoid. Namun, adrenalektomi mengandung resiko terjadinya sindrom Nelson (hiperpigmentasi sebagai hasil sekresi MSH dan kompresi struktur parahipofisis) pada 20% pasien. Radioterapi hipofisis dan adrenalektomi memiliki efektivitas yang tinggi pada anak-anak. 2 Tumor sekresi glikopeptida (TSH, FSH dan LH) Adenoma tirotropik (TSH-secreting pituitary) adalah sangat jarang dan terjadi tidak lebih dari 2,8% dari semua tumor hipofisis. Adenoma tirotropik dapat menyebabkan hipofisis hipertiroidisme. Tanda-tanda dan gejala hipertiroidisme meliputi palpitasi, tremor, menurunnya berat badan, sulit tidur, dan berkeringat. Karena hipertirioidisme jarang disebabkan oleh adenoma hipofisis, kebanyakan pasien telah diterapi dengan penyebab hipertiroidisme yang lain, seperti penyakit Grave, sehingga tumor dapat berkembang dan menjadi besar pada saat diagnosis dilakukan. Pasien seringkali memiliki gejala yang berhubungan dengan efek lokal massa tumor. Hipertiroidisme harus dikontrol sebelum pasien menjalani pembedahan reseksi tumor. Medikasi antitiroid seperti propiltiouracil dapat menurunkan produksi hormon tiroid dan analog somatostatin seperti ocreotide dapat menekan produksi TSH dan dapat mengurangi ukuran tumor. 2 6

77 Adenoma gonadotrof biasanya terjadi sebagai adenoma inaktif tetapi kadang-kadang muncul bersamaan dengan pubertas premature atau sebagai perdarahan menstruasi pada wanita post menopause. Peningkatan konsentrasi prolaktin dapat terjadi < 80% adenoma endokrin inaktif karena kompresi pada tangkai hipofisis. Makroadenoma dapat terjadi karena penekanan pada sella tursika dan hipopituitarisme sekunder. Sekali lagi, terapi pillihan pertama adalah pembedahan. 2 Tumor non-function : adenoma nonfunction, kista rathke cleft, craniofaringioma Adenoma non-function (null cell) merupakan tumor hipofisis tersering kedua, terhitung sekitar 20-25% adenoma hipofisis. Craniofaringioma dan kista rathke cleft sangat jarang. Karena masingmasing tumor ini tidak terpengaruh oleh hipersekresi salah satu hormon, maka gejalanya hampir selalu muncul akibat efek lokal massa tumor. 16 Biasanya disadari jika ada gangguan penglihatan sekunder akibat penekanan ke chiasma atau sakit kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan oftalmologi adalah wajib untuk semua tumor yang meluas ke daerah suprasellar. Jika tidak terdapat gejala atau tandda penekanan, pasien biasanya diperiksa dengan pemeriksaan lapangan pandang dan MRI reguler. Peningkatan ukuran tumor, menurunnya lapangan penglihatan atau gejala-gejala lain yang memrlukan dekompresi dengan pembedahan, biasanya dikombinasi dengan radioterapi post operasi. Pemeriksaan status kortisol harus dilakukan jika ada tanda-tanda hipopituitarisme. 2 Karena itu, pasien harus diskrining untuk hipopituitarisme yang berhubungan dengan hipotiroidisme dan insufisisensi adrenal sebelum operasi. Disfungsi hipofisis posterior dan diabetes insipidus juga dapat terjadi, tetapi lebih kurang. 16 Pemeriksaan prabedah Pemeriksaan perioperatif pasien dengan tumor hipofisis memerlukan pemeriksan fungsi endokrin dan gangguan medis yang berhubungan dengannya. Tes endokrin dilakukan pada status basal yang diprovokasi oleh tes provokatif yang sesuai. Tes ini mendiagnosa tumor hiperfunsi atau hipofungsi, gangguan endokrin yang berlanjut, dan adekuatnya terapi. 5 Tabel berikut ini memperlihatkan pemeriksaan endokrin prabedah untuk tumor-tumor hipofisis. 15 Selama evaluasi anestesi, lokasi tumor, ukuran dan efeknya terhadap dinamika intracranial harus dipertimbangkan. Hipofisis mikroadenoma tidak menyebabkan efek massa. Tumor hipofisis dengan perluasan ke suprasellar, kraniofaringioma, dan tumor suprasellar yang lain mungkin saja menimbulkan efek massa. Tabel 6. Pemeriksaan endokrin prabedah untuk tumor hipofisis. Tes Fungsi Hipofisis anterior - Level basal hormon pituitary: GH, prolaktin, ACTH, TSH, FSH, LH - Level serum: kortisol (pagi dan malam), tiroksin, testosterone, estradiol - Level urin: 17-ketosteroid, 17-hidroksikortikosteroid, kortisol bebas, estrogen - Tes provokatif dan supresi sesuai indikasi: - Cadangan GH stimulasi glukagon - Supresi GH supresi glukosa (akromegali) - Cadangan Prolaktin tes provokatif klorpromazin atau pelepasan hormon tirotropin - Supresi deksametason dosis rendah dan tinggi (sindrom Cushing) - Tes metirapon (sindrom Cushing) Dikutip dari: Bendo AA, et al. 5 Tes Fungsi Hipofisis posterior - Cadangan ADH: osmolalitas serum dan urin sebelum dan setelah 8-12 jam pengurasan air Pada pasien-pasien ini, CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologi dievaluasi untuk melihat adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial. Semua pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis diberikan terapi glukokortikoid kerja singkat prabedah. Karena tumor melibatkan manipulasi atau pengangkatan kelenjar hipofisis anterior, defisiensi adrenokortipkotropin dan kortisol baik sementara maupun permanen dapat terjadi. Untuk menilai fungsi nervus optikus dan chiasma, dilakukan pemeriksaan penglihatan, termasuk pemeriksaan lapangan penglihatan. Jika pembedahan transsfenoidal direncanakan, suatu pemeriksaan otolaringologi dari hidung dan nasofaring juga dilakukan, dan kultur mukosa hidung diambil sebagai panduan terapi antibiotik jika terjadi infeksi pasca operasi. 5 Pemeriksaan sistem jalan napas dan pernapasan Pada pasien dengan akromegali, suatu penilaian mallampati grade 1 atau 2 dapat dipastikan sebagai suatu prediksi palsu mudah intubasi. Penyakit ini dikenal sebagai penyebab sulit intubasi dan pada beberapa kasus ventilasi dengan masker 7

78 juga dapat menjadi sulit. Peningkatan hormone pertumbuhan dapat menebalkan jaringan lunak faring dan laring, makkroglosi, penyusutan rima glottis dan hipertrofi fald ariepiglottis, palatum molle dan epiglottis. Suara serak atau stridor dapat menunjukkan suatu kelumpuhan nervus laryngeal rekuren atau stenosis laryngeal dan sepertiga pasien akromegali memiliki pembesaran tiroid yang dapat menyebabkan penekanan trakea. Kifosis dan buffalo hump terlihat pada penyakit Cushing juga dapat menyulitkan penatalaksanaan jalan napas pada pasien-pasien ini. Spirometri dan laringoskopi indirek mungkin dapat memberikan kekuntungan. Sleep apnea obstruktif juga sering pada pasien akromegali dan Cushingoid. Gejalanya seperti disebutkan terdahulu yaitu mengorok, mengantuk pada siang hari, sakit kepala, kesulitan konsentrasi dan mengingat. Hal-hal ini haruslah diidentifikasi dan dilakukan terapi pre-operatif untuk mengurangi resiko obstruksi jalan napas sebelum operasi. 20 Pemeriksaan sistem kardiovaskuler Pada semua pasien harus dilakukan pemeriksaan rutin EKG. Abnormalitas gelombang seperti T inverse dan kompleks QRS voltase tinggi sering ditemukan pada pasien dengan penyait Cushing. Hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, aritmia, dan penyakit jantung iskemik merupakan situasi yang sering terjadi dan menyebabkan mortalitas perioperasi yang tinggi. Ekhokardiogram dapat berguna jika ada disfungsi kardiak. Hipertensi berpengaruh pada 30% pasien dengan akromegali dan 85% pasien dengan sindrom Cushing dan harus dilakukan kontrol farmakologi sebelum pembedahan elektif. 20 Pemeriksaan neurologi Pemeriksaan nervus kranialis secara menyeluruh harus dilakukan sebelum operasi dengan perhatian pada pemeriksaan kemampuan dan lapangan pandang penglihatan (nervus kranialis II). Tumor dapat menekan chiasma optikus dan dapat menyebabkan hemianopia bitemporal. Setelah anestesi, diperlukan penilaian ulang fungsi nervus kranialis untuk melihat apakah pembedahan memberikan peningkatan atau perburukan. Juga harus diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan intrakranial sebelum operasi. 20 Pemeriksaan endokrin Diabetes mellitus dapat terjadi pada 25% pasien akromegali dan 60% pasien dengan sindrom Cushing. Gangguan toleransi glukosa bahkan lebih sering terjadi. Juga penting untuk menilai T4 dan TSH dan menormalkan fungsi tiroid sebelum pembedahan untuk menghindari aritmia dan ketidakstabilan kardiak. 20 Yang harus diingat. 20 : Riwayat Harus diingat untuk menanyakan gejala yang sering terjadi seperti penyakit jantung iskemik, peningkatan tekanan intra cranial, fungsi tiroid abnormal dan sleep apnea obstruksi Pemeriksaan Penilaian jalan napas Penilaian nervus kranialis Pencitraan MRI hipofisis (jika memungkinkan) Laboratorium Kalsium, glukosa darah, prolaktin basal TSH dan T4 Kortisol serum-ingat untuk kover glukokortikoid Lainnya EKG Echokardiogram Laringoskopi indirek Spirometri Terapi penggantian hormon Terapi penggantian hormon prabedah harus dilanjutkan sampai hari operasi. Secara umum, hidrokortison 100 mg harus diberikan saat induksi anestesi pada semua pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis. 2 Diikuti dengan 50 mg dua kali sehari pada pasca operasi hari pertama, 25 mg dua kali sehari pada pasca operasi hari kedua, 20 mg saat pagi hari dan 10 mg pada sore hari pada hari ketiga dan setelahnya sampai pasien dipulangkan. Pasien dengan penyakit Cushing dapat memerlukan tambahan penggantian glukokortikoid untuk beberapa minggu sementara pasien dengan tumor non-acth sekresi dapat dihentikan terapinya setelah beberapa hari. 2 Penggunaan hormon post-operatif level kortisol: berdasarkan <100 nmol/l: terapi rumatan dengan hidrokortison mg/ hari; tidak diperlukan tes aksis hipotalamik-pituitari (HPA) selama pasien adalah ACTH-defisiensi nmol/l: hidrokortison mg dosis tunggal di pagi hari, diperlukan pemeriksaan HPA lebih lanjut nmol/l: pasien-pasien ini hanya memerlukan penggantian glukokortikoid jika stress dan harus dilakukan pemeriksaan HPA 8

79 >450 nmol/l: tidak diperlukan penggantian glukokortikooid dan tidak diperlukan tes lebih lanjut. 18 Pendekatan pembedahan Tujuan utama pembedahan adalah pengangkatan tumor, yang dapat dicapai pada sebagian besar kasus. Pada prakteknya, pengangkatan tumor yang hampir total menyebabkan remisi endokrin dan debulking menyebabkan dekompresi chiasma. Biopsi tumor sendiri jarang diindikasikan. 2 Fossa hipofisis dapat dicapai dengan cara. 2 : - transsfenoid - transethmoid atau - transkranial Tumor-tumor dengan diameter kurang dari 10 mm biasanya dicapai dengan jalur transsfenoid (gb. 6), sedangkan tumor yang lebih besar dari 20 mm dan dengan perluasan ke suprasellar biasanya dicapai dengan kraniotomi bifrontal. 7 Jalur transsfenoid sendiri dipilih untuk sebagian besar kasus, merupakan pendekatan yang rasional untuk mikroadenoma dan biasanya cukup untuk tumor dengan perluasan ke suprasellar. 21 Dengan penggunaan antibioitik profilaksis, morbiditas dan mortalitas berkurang secara bermakna dengan pendekatan transsfenoid 7, keuntungan lain yaitu, akses midline ke sella dengan resiko minimal trauma otak atau perdarahan dan komplikasi pascabedah yang lebih rendah 2 seperti diabetes insipidus, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas, mengurangi retraksi lobus frontalis dan perlukaan eksternal; pembesaran visualisasi dan pengangkatan tumor-tumor kecil yang menyisakan jaringan normal; kurangnya frekuensi transfusi darah; dan memungkinkan pemulangan yang lebih cepat, waktu operasi yang relatif singkat, terutama untuk kasus rekuren. 4,5,22 Peningkatan ketepatan dan invasi jaringan yang lebih kurang diperoleh dengan penggunaan teknik navigasi. Operasi dilakukan dengan bantuan mikroskop melalui suatu insisi pada mukosa gusi di bawaah bibir bagian atas. Ahli bedah memasuki kavitas nasal, memotong melalui septum nasal, dan akhirnya memasuki dasar sinus sfenoid untuk masuk ke dasar sella tursika. 7 Gambar 6. Operasi endoskopi transsfenoid Dikutip dari: Pengangkatan tumor yang lengkap dapat dicapai pada sebagian besar kasus, tetapi tidak pada semua pasien. Keberhasilan pembedahan ditentukan oleh pengalaman ahli bedah, besarnya ukuran adenoma, dan derajat perluasan di atas sella tursika. Perluasan tumor ke dalam sinus kavernosa hampir selalu dihubungkan dengan pengangkatan yang tidak lengkap. Rekurensi adenoma hipofisis setelah pembedahan dilaporkan terjadi pada 10-25% pasien, biasanya dalam 4 tahun pertama. Karena itu perlu dilakukan pemeriksaan hormonal secara berkala dan pemeriksaan pencitraan direkomendasikan setiap tahun. MRI follow up biasanya dilakukan 3-4 bulan setelah pembedahan untuk memberikan waktu penyembuhan dan bersihnya sisa-sisa operasi. 23 Simpson menghubungkan angka rekurensi dengan luasnya pengangkatan tumor dan menemukan sistem grading berdasarkan luasnya reseksi (tabel 7). 21 Pendekatan endoskopi endonasal pada umumnya dilakukan dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih kurang pada kosmetik, gigi dan nasal. Sebagai tambahan, diabetes insipidus (DI) pascabedah dapat menjadi lebih kurang jika prosedur dilakukan secara endoskopi. 16 Banyak ahli bedah saraf menempatkan kateter intratekal lumbal untuk membantu visualisasi tumor. Kateter dapat digunakan untuk memanipulasi tekanan cairan serebrospinal dengan menginjeksi salin atau dengan mengalirkan cairan serebrospinal. 16 Gambar 7 memperlihatkan posisi pasien, ahli bedah dan ahli anestesi dalam pembedahan hipofisis melalui transsfenoid. 16 Manajemen anestesi Pemeriksaan prabedah Penatalaksanaan anestesi pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis pada dasarnya tidak berbeda dengan pasien-pasien yang akan menjalani kraniotomi. Prinsip-prinsip dasar 9

80 neuroanestesi tetap diberlakukan baik digunakan pendekatan transsfenoid maupun transkranial. 5 Tabel 7. Angka rekurensi lima tahun untuk meningioma berdasarkan luasnya reseksi. Derajat Deskripsi Angka rekurensi 5 th (%) 1 Pengangkatan lengkap 9 tumor makroskopi dengan eksisi dura dan tulang yang terlibat 2 Pengangkatan lengkap 19 tumor makroskopi dengan koagulasi dura/ tulang 3 Pengangkatan lelngkap 29 tumor makroskopi tetapi tidak ada terapi terhadap dura dan tulang yang terlibat 4 Tumor intrakranial 44 ditinggalkan in situ 5 Hanya dilakukan dekompresi tumor -- Dikutip dari: Stacey RJ, et al. 21 Semua pasien memerlukan pemeriksaan konsentrasi basal prolaktin, tes fungsi tiroid dan MRI dengan kualitas tinggi. 2 MRI lebih baik dalam mengidentifikasi mikroadenoma, sedangkan CT scan lebih baik dalam mendeteksi invasi ke tulang. 4 Sebagai tambahan dalam pemeriksaan umum preanestesi pada pasien bedah saraf, penilaian prabedah pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis harus meliputi: fungsi penglihatan, tandatanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, pemeriksaan endokrin pasien, dan efek dari hipersekresi hormon. 2 Perhatian khusus terutama diberikan pada akromegali dan penyakit Cushing karena memberikan tantangan unik pada ahli anestesi. Teknik anestesi yang digunakan haruslah dapat memfasilitasi lapangan pembedahan, mempertahankan perfusi serebral, menghindari hipertensi dan memfasilitasi pemulihan yang cepat. Teknik dan agen anestesi yang digunakan haruslah berdasar pada pemeriksaan prabedah yang seksama pada setiap pasien dengan mempertimbangkan semua komorbid yang ada. 2,20 Manajemen jalan napas Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain: a. akromegali b. penyakit Cushing c. posisi intraoperatif Gambar 7. Posisi pasien dan pendekatan pembedahan transsfenoid ke hipofisis. AS=asisten ahli bedah ( surgeon ), S= ahli bedah ( surgeon ), A=anesth (ahli anestesi). Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16 Pemeriksaan prabedah yang seksama haruslah diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi trakea. Ventilasi dengan bag dan masker pada umumnya memang sulit dilakukan pada pasien akromegali. Ada empat tingkatan jalan napas yang terlibat pada pasien akromegali: 1. tidak ada kelainan jalan napas yang terlibat 2. hipertrofi mukosa nasal dan faringeal, tetapi plika vokalis dan glottis masih normal 3. glottis teribat, termasuk stenosis glottis atau parese plika vokalis 4. kombinasi tingkat 2 dan 3, seperti abnormalitas glottis dan jaringan lunak. Trakeostomi direkomendasikan untuk grade 3 dan 4, tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa laringoskopi fiberoptik merupakan alternatif yang aman. 2 Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakeal standard dan harus memungkinkan ahli bedah menyelesaikan prosedur; namun, beberapa ahli bedah lebih memilih oral tube RAE ( right angle endotracheal ). 16 Tentu saja, intubasi nasal adalah kontraindikasi. 24 Tantangan terbesar dalam menangani jalan napas pasien akromegali adalah kesulitan intubasi trakea yang tidak diprediksi. Dalam suatu penelitian pasien akromegali oleh Schmitt, dkk menemukan bahwa 20% pasien akromegali yang dinilai sebagai Mallampati 1 dan 2 adalah sulit diintubasi. Karena itu ahli anestesi haruslah menyiapkan peralatan jalan napas yang bervariasi. Peralatan untuk 10

81 trakeostomi harus disiapkan jika perubahan jalan napas sangat bermakna. 2 Laringoskopi fiberoptik fleksibel juga dapat lebih menyulitkan. Teknik awake selalu memberikan batas keamanan yang lebih besar. 16 Penyakit Cushing berhubungan jelas dengan kesulitan intubasi (mis. OSA, obesitas). Karena itu, jalan napas harus diperhatikan dengan seksama. Adanya diabetes juga harus dipertimbangkan adanya penyakit reflux gastroesofageal dan melambatnya pengosongan lambung dan kemungkinan diperlukannya rapid sequence induction. 16 Setelah intubasi, mulut dan faring posterior harus di pack sebelum operasi dimulai. Hal ini tidak hanya mencegah perdarahan masuk ke daerah glottis selama operasi, tetapi juga masuknya darah dan secret ke dalam lambung yang akan merangsang timbulnya muntah pasca operasi. Pipa endotrakeal harus diposisikan untuk memungkinkan ahli bedah saraf mengakses tempat insisi. 2 Persiapan mukosa nasal Kebanyakan ahli bedah memilih injeksi agen vasokonstriksi ke dalam tiap rongga hidung sebelum pembedahan transsfenoid. 2 Injeksi xylometazoline (suatu simpatomimetik amin kerja panjang yang bekerja pada reseptor α) dengan atau lidokain 1% dengan adrenalin 1: ke dalam mukosa nasal menyebabkan vasokonstriksi yang dapat berlangsung sampai 8 jam, dan mengurangi perdarahan. 2,6,20 Posisi intra-operatif dan monitoring Setelah induksi anestesi, pasien diposisikan untuk pembedahan. Reseksi hipofisis transsfenoid pada umumnya dilakukan dengan posisi head-up untuk mengurangi pelebaran vena. Kepala dapat diputar sedikit untuk memfasilitasi lapangan pembedahan. 2 Posisi demikian menyebabkan emboli vena udara merupakan suatu resiko. Karena itu dapat dipertimbangkan monitoring precordial Doppler, end-tidal CO 2, dan end-tidal N Tube endotrakeal dan mesin anestesi harus ditempatkan berlawanan dengan lapangan pembedahan. Karena pemeriksaan radiografi seringkali diperlukan, suatu C-arm biasanya ditempatkan di sebelah kiri lapangan bedah. Semua yang berada dalam ruang pembedahan harus mengenakan proteksi yang memadai. 2 Monitoring selama pembedahan meliputi EKG, SpO 2, endtidal CO 2, dan tekanan darah arteri langsung. Adanya komorbid, terutama pada pasien penyakit Cushing, dapat memerlukan tambahan monitoring kardiovaskuler invasif. 2 Kateter arteri harus dipertimbangkan pada pasien dengan toleransi bergiat yang rendah, pada pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung bendungan, pada pasien dengan hipertensi yang sulit terkontrol, atau pada pasien dengan kardiomiopati yang terdokumentasikan. Adanya potensi terjadinya hipertensi tiba-tiba selama pembedahan transsfenoid menyebabkan ahli anestesi akan menempatkan kateter arteri untuk diagnosis dan terapi yang lebih awal. Harus diingat bahwa aliran darah melalui arteri ulnaris dapat dikompromikan sampai 50% pada pasien akromegali. Hal ini mirip dengan adanya atau riwayat sindrom tunnel carpal. Pada pasien-pasien ini, aliran darah ke tangan dapat sepenuhnya tergantung pada aliran arteri radialis. Kateterisasi pada arteri radialis berpotensi menghasilkan iskemia pada tangan, sehingga tempat keteterisasi alternatif untuk monitoring intraarterial (seperti femoralis) perlu dipertimbangkan. 16 Rekaman visual evoked potential (VEP) telah direkomendasikan untuk pembedahan pada area jalur penglihatan. 2 Proteksi pada bagian-bagian yang tertekan sangat penting karena operasi dapat memanjang. Mata harus rutin dilindungi dengan bantalan. Osteoporosis dan kulit yang tipis pada pasien dengan penyakit Cushing memudahkan terjadinya memar, fraktur patologis dan lecet pada daerah penekanan, sehingga diperlukan perhatian yang lebih pada pasien-pasien ini. 20 Pemilihan obat anestesi Pemilihan obat anestesi bergantung pada komorbid pasien yang bersangkutan dan riwayat anestesi sebelumnya. Perlunya pemulihan yang cepat untuk memungkinkan pemeriksaan neurologis yang segera menyebabkan penggunaan obat-obat dengan klirens yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan yang masuk akal. Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan hemodinamik yang lebih stabil dan pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Jika remifentanil digunakan, penting untuk memberikan analgesia peralihan dengan opioid yang lebih panjang masa kerjanya, jika tidak pemulihan dapat berkomplikasi dengan nyerinya pasien. Blok neuromuskuler dengan atrakurium atau vekuronium harus dipertahankan selama pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal (LCS), trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya insiden mual dan muntah pasca operasi. 2,16,20 11

82 Pemeliharaan anestesi Pembedahan hipofisis transsfenoid normalnya minimal blood loss, namun berpotensi terjadinya perdarahan yang bermakna karena hipofisis proksimal dari artri karotis interna. Sebenarnya, trauma arteri karotis intraoperatif jarang terjadi, tetapi berpotensi fatal, suatu komplikasi dari pembedahan transsfenoid. Pada kasus trauma arteri karotis yang tidak disengaja, hipotensi kendali dapat meningkatkan visualisasi dan menolong memfasilitasi perbaikan. Trauma seharusnya dijahit; namun pada prakteknya, seringkali dihentikan dengan penekanan dan pengguanaan obat hemostatik. Suatu balon kateter dapat dikembangkan dan ditempatkan pada daerah yang memerlukan tambahan tampon. 16 Perdarahan vena yang sedang dari sinus kavernosus merupakan masalah yang paling sering pada prakteknya dan cenderung terjadi lebih berat pada pasien dengan tumor yang lebih besar dan perluasan ke suprasellar. Ahli anestesi seharusnya memiliki akses intravena di ekstremitas manakala diperlukan. 16 Insersi drainase lumbal Untuk tumor hipofisis dengan perluasan suprasellar yang bermakna, ahli bedah biasanya meminta untuk dipasang drain subarachnoid lumbal. Cara termudah adalah dengan menggunakan kateter standar epidural 16 G. Biasanya diinsersikan pada L 3-4 dan dimasukkan 10 cm kateter dengan arah cephalad. Injeksi 10 ml normal saline ke dalam kateter (dengan teknik yang steril) menghasilkan peningkatan sementara tekanan LCS dan dapat menyebabkan tumor yang meluas ke suprasellar bergerak ke dalam daerah operasi. Suatu drainase lumbal juga dapat berguna pasca operasi untuk mengatasi kebocoran LCS. 20 Manajemen pasca operasi Jalan napas Resiko terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien dengan pembedahan hipofisis pada periode akut pasca operasi. Ahli anestesi harus meyakinkan bahwa pack tenggorokan telah diambil pada akhir pembedahan dan pasien harus diekstubasi dalam keadaan sadar untuk mengurangi resiko aspirasi darah. Tampon nasal seringkali ditinggalkan setelah pembedahan selesai sehingga patensi jalan napas orofaringeal sangat penting. Pasien akromegali dan pasien yang lain dengan riwayat obstruksi sleep apnea mungkin telah menggunakan CPAP saat malam hari pada periode prabedah. Nasal CPAP dapat tidak efektif jika masih terdapat tampon nasal pasca operasi. Lebih lagi, adanya resiko masuknya udara ke dalam kranium (pneumocephalus) melalui defek di sekitar dasar hipofisis. Walaupun normalnya hal ini hanya menyebabkan sakit kepala, jika udara tersebut tertekan, dapat terjadi tension pneumocephalus yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menurunnya kesadaran. Resiko utama pasien-pasien ini adalah hipoksemia, dan karena itu harus berada dalam pengawasan monitoring saturasi dan pemberian oksigen untuk beberapa hari pasca operasi. 20 Penilaian neurologis Pulih sadar dari anestesi idealnya smooth dan memungkinkan ahli bedah untuk melakukan penilaian dini dari fungsi nervus kranialis, utamanya nervus kranialis II VI yang sangat dekat dengan lapangan pembedahan. Pemulihan yang cepat dapat dicapai dengan menggunakan obat anestesi kerja singkat dan cepat dimetabolisme. 20 Analgesia Pasien biasanya mengeluhkan adanya sakit kepala frontal setelah operasi. Kodein telah digunakan untuk analgesia pasca operasi akibat efek sampingnya yang disukai. Opioid yang lebih kuat dapat digunakan bila perlu, terutama jika dilakukan pendekatan trans-kranial. 20 Dapat juga diberikan obat-obat antisteroid seperti ketorolak, atau acetaminophen. Sekali lagi, perhatian harus diberikan jika memberikan opioid pada pasienpasien dengan riwayat OSA. 16 Mual dan muntah Mual dan muntah merupakan komplikasi pasca operasi yang paling sering pada prosedur bedah saraf, dengan hampir 40% pasien dilaporkan terjadi mual muntah. Untuk menghindari terjadinya efek yang tidak diinginkan dari muntah seperti peningkatan tekanan intrakranial, profilaksis anti emetik harus diberikan pada semua pasien. 16,20 Komplikasi pembedahan hipofisis Pembedahan hipofisis dengan pendekatan transsfenoid biasanya hanya berhubungan dengan 3,5% dari seluruh komplikasi, namun harus diwaspadai oleh ahli anestesi terhadap komplikasikomplikasi berikut ini. 20 : 1. Perdarahan Perdarahan dari rusaknya arteri karotis interna atau vena-vena dalam dinding sinus kavernosus adalah komplikasi yang jarang. Tumor yang lebih besar dan penyebaran ke suprasellar lebih cenderung berdarah. Perdarahan vena dapat memerlukan packing, di mana perdarah arteri dapat dikurangi dengan hipotensi kendali dengan menggunakan obat-obatan intravena α 12

83 atau β bloker. Jika terjadi perdarahan arteri, pembedahan lebih lanjut harus ditunda dan pasien ditransfer ke ruang perawatan intensif secepatnya untuk monitoring, sedasi, dan ventilasi Kebocoran LCS Hal ini hanya dapat diidentifikasi ketika tampon hidung dilepaskan. Pasien dapat mengeluh sakit kepala, rhinorrhea, atau mengeluh adanya rasa asin di mulut akibat tetesan/ post nasal drips. Tes untuk mencurigai adanya LCS akan positif dengan glukosa. Gejala-gejala seperti rasa nyeri, kaku kuduk, fotofobia dan demam harus diwaspadai sebagai kemungkinan adanya meningitis dan diperlukannya terapi antibiotik yang sesuai. Kebocoran LCS yang menetap biasanya dapat diatasi dengan menempatkan drainase lumbal insitu selama jam untuk drainase LCS secara kontinyu. 20,21 3. Diabetes insipidus Diabetes insipidus (DI) neurogenik disebabkan adanya kerusakan sel sekresi ADH pada hipofisis posterior atau hipotalamus, atau pelepasan ADH yang lemah dari sel-sel ini. Karena fungsi ADH adalah menyebabkan retensi air pada tubulus distal ginjal dan duktus koledokus, maka DI ditandai oleh poliuri, kehausan, peningkatan osmolalitas plasma dan hipernatremia. Hal ini merupakan salah satu komplikasi tersering pada pembedahan hipofisis dan dapat berpengaruh sampai pada 50% pasien dalam jam pertama pasca operasi. Untuk membedakan DI dari penyebab poliuri yang lain pasca operasi, dianjurkan untuk memeriksa berat jenis dan urin output secara rutin. Poliuri dengan berat jenis urin < 1,005 dan osmolaritas yang rendah, < 300 mosm merupakan gambaran diagnostik DI. Sekali diagnosa ditegakkan, akses cairan dan monitoring ketat elektrolit dan urin merupakan strategi menejemen lini pertama. Pada beberapa kasus, penggunaan desmopressin (DDAVP, suatu analog ADH sintetis) dapat diperlukan. Kondisi ini biasanya sementara, sampai sel-sel yang lain mengambil alih produksi dan sekresi ADH. 20 Pengobatan harus dipertimbangkan jika trjadi ketidaksesuaian antara cairan masuk dan keluar, peningkatan natrium serum (diatas 145 meq/ L), dan jika keluaran urin bermakna saat tidur. Terapi dengan DDAVP biasanya cepat dan efektif tanpa peningkatan tekanan darah arteri. Pemberian oral biasanya efektif dan harus dipikirkan sebagai pilihan pertama. Dosis awal 0,1 mg DDAVP dapat diberikan biasanya efektif. Jika pasien tidak dapat diberikan secara oral, maka dapat diberikan 1 µg DDAVP secara subkutan. Pemberian jalur intravena biasanya jarang diperlukan. Karena DI sebagian besar sementara (> 95%), maka pemberian dosis tunggal biasanya telah memadai. Diperlukan monitoring ketat keluaran urin dan elektrolit serum untuk menghindari hiponatremia berlebihan Sindrom inappropriate produksi hormon antidiuretik (SIADH). Kondisi ini lebih jarang terjadi dibandingkan DI. Ditandai oleh pelepasan ADH dari hipofisis posterior yang rusak tanpa menghiraukan osmolaritas plasma. Tanda-tanda klinis termasuk osmolaritas plasma dan natrium serum yang rendah dan tingginya osmolaritas urin (lebih besar dari osmolaritas plasma) pada pasien yang euvolemik. Diagnosisnya dibuat eksklusi dan penyebab lain hiponatremia seperti sindrom Cushing, hipotiroidisme, diabetes mellitus, NSAID dan opioid harus dipisahkan terlebih dahulu. 20 SIADH biasanya terjadi sekitar satu minggu setelah pembedahan yang mana penyebab lain bisa terjadi lebih cepat. Kondisinya dapat diatasi dengan restriksi cairan untuk mengembalikan natrium serum ke normal. Pilihan yang lain termasuk penggunaan hipertonik salin dengan hati-hati untuk menghindari mielinolisis pontin yang berhubungan dengan pemberian natrium yang cepat. 16,20 5. Emboli udara vena Resiko terjadinya emboli sekitar 10% jika lapangan operasi lebih tinggi dari jantung. Namun, emboli udara vena yang bermakna secara klinis sehubungan dengan morbiditas dan mortalitas belum pernah dilaporkan pada pembedahan hipofisis Hipopituitarisme Setidaknya 27% pasien dengan hipopituitarisme pre operatif akan mengalami normalisasi fungsi setelah reseksi tumor. Kebanyakan pasien (90-95%) dengan fungsi pre-operatif hipofisis yang normal akan kembali pada pasca operasi; namun, semua pasien harus diskrining untuk tanda-tanda hipopituitarisme. Beberapa pusat melanjutkan pemberian kortikosteroid setelah pulang dengan evaluasi aksis adrenal-hipotalamus-hipofisis pada hari berikutnya. Pendekatan alternatif adalah dengan cepat me weaning pasien dari supplemen kortikosteroid setelah 24 jam dan pemeriksaan 13

84 kortisol pagi setiap hari. Dengan pendekatan ini, pasien hanya diberikan tambahan kortikosteroid jika terjadi gejala-gejala insufisiensi adrenal. Jika pasien merasa baik dan kortisol pagi > 10µg/dl, supplemen steroid tambahan biasanya tidak diperlukan dan pasien dapat dipulangkan tanpa penggantian steroid tambahan. Dengan cara ini, kebanyakan pasien tidak memerlukan tambahan supplemen kortikosteroid. 16 Tabel berikut ini memperlihatkan kejadian (insiden) komplikasi dari pembedahan transsfenoid 16 : Tabel 8. Komplikasi pembedahan transsfenoid. Komplikasi Insiden (%) Mortalitas < 0,5 Komplikasi mayor (kebocoran LCS, 1,5 meningitis, stroke iskemik, trauma vascular, perdarahan intrakranial, kelumpuhan nervus kranialis yang baru, dan kehilangan penglihatan) Komplikasi minor (penyakit sinus, perforasi septi, epistaksis, luka infeksi, 6,5 dan hematom) Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16 Tabel 9. Perbedaan SIADH dengan DI. SIADH Penampakan Hiponatremia Volume plasma Euvolemik (atau (pasien sadar) sedikit hipervolemik) Hipotonik (<275 Serum mosm/ L) Natrium serum Menurun (<135 Volume urin meq/ L) Osmolaritas urin Sedikit (tetapi tetap Natrium urin ada) Terapi Relatif tinggi (>100 mosm/ L) >20 meq/ L Restriksi cairan jika Na <120 meq/l, pertimbangkan hipertonik salin untuk mengoreksi Na (ttp kec.tdk lebih 1 meq/ L/ jam) Urea intravena Demeclocycline Lithium (jarang digunakan) Dikutip dari: Nemergut EC, et al. 16 DI Polyuri Euvolemik Hipertonik (>310 mosm/l) Meningkat (>145 meq/ L) Banyak (4-18L/ hari) Relatif rendah (<200 mosm/ L) >20 meq/ L DDAVP suportif (desmopressin) Gangguan keseimbangan air sebagai hasil dari terganggunya sekresi ADH merupakan salah satu komplikasi akut pascaoperatif. Tabel 9 di bawah ini meringkaskan perbedaan antara DI dan SIADH. 16 Adalah penting untuk membedakan DI dengan beberapa proses yang sering terjadi pada paien yang telah menjalani pembedahan hipofisis (tabel 10). Perlu diingat bahwa pasien akromegali memperlihatkan diuresis fisiologis setelah pembedahan reseksi tumor yang berhasil dan pengobatan dini dengan DDAVP seharusnya dihindari. 16 Pemeriksaan spesifik pasca operasi Akromegali Pengurangan kadar hormon pertumbuhan menghasilkan keringat yang cepat berhenti. Diabetes mellitus dapat lebih mudah terkontrol dan banyak pasien dapat ditangani hanya dengan diet dan hipoglikemik oral. Pada hari kedua, penting untuk dilakukan tes toleransi glukosa dengan kadar GH (mis.sebelum pulang). GH akan turun sampai di bawah 2 mlu/ l, dan idealnya di bawah 0,5 mlu/ l jika sembuh. Jika pasien belum sembuh, reeksplorasi dini biasanya bermanfaat. Angka kesembuhan bervariasi antara 60-80%. Jika pembedahan gagal, pasien perlu dikontrol sekresi hormone pertumbuhannya dengan analog somatostatin dan menjalani iradiasi hipofisis. 21 Tumor cushing Pasien yang sembuh akan menjadi tidak tergantung pada penggantian kortisol. Jika hidrokortison tidak diberikan selama prosedur, kadar kortisol dapat dicek pada hari berikutnya, sekitar 24 jam berikutnya. Jika pembedahan berhasil, kadar kortisol akan turun di bawah 50, tetapi penggantian harus segera dimulai. Kegagalan pembedahan menuntut re-eksplorasi yangtepat, utamanya jika ditemukan adenoma pada eksplorasi pertama. Kebanyakan pengarang yang telah berpengalaman melaporkan angka kesembuhan lebih dari 70%. Gagalnya terapi pembedahan pada penyakit Cushing memerlukan radioterapi. Akhir-akhir ini, metode untuk adrenalektomi bilateral dapat dikurangi dengan kontrol hipersekresi kortisol yang lebih disukai dengan ketokonazol. 21 Prolaktinoma Suatu operasi tunggal biasanya memadai untuk prosedur ini. Pasien wanita dapat medapatkan kembali siklus menstruasinya jika kadar prolaktin tetap sedikit di atas normal. Angka kesembuhan dari pembedahan bervariasi antara 50-70%. Angka kesembuhan untuk tumor invasif lebih rendah dari 20%, dengan terapi obat dan radioterapi yang biasanya diperlukan beberapa tahap setelah pembedahan

85 Gambar 8. Kelenjar hipofisis dan anatomi yang berhubungan. ICA=internal carotid artery, AntComArt= anterior communicating artery, ACA= anterior cerebral artery, MCA= middle cerebral artery, CNIII= cranial nerve III (occulomotor), CNV= cranial nerve V (trigeminal). Dikutip dari : Nemergut EC, et al. 16 Ringkasan Tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu nonfunctioning dan hipersekresi atau functioning. Tumor hipofisis nonfunctioning biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan dengan efek massa yang mengenai struktur-struktur yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis, peningkatan TIK, dan hipopituitarisme. Manajemen intra operasi Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain: a. akromegali b. penyakit Cushing c. posisi intraoperatif Pemeriksaan pre-operatif yang seksama haruslah diwaspadai ahli anestesi akan adanya kemungkinan kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi trakea. Pasien yang telah menjalani pembedahan lebih meningkatkan resiko obstruksi jalan napas pada periode pasca operasi, terutama pada pasien dengan riwayat OSA. Antisipasi kesulitan intubasi dan pertimbangan intubasi dengan fiber optic baik sleep maupun awake merupakan metode yang paling aman untuk mengamankan jalan napas. Anestesia untuk pembedahan hipofisis harus memungkinkan pemulihan yang cepat, karena itu pemilihan obat didasarkan pada cepatnya masa kerja dan mudahnya obat dimetabolisme. Juga bergantung pada komorbid pasien yang bersangkutan dan riwayat anestesi sebelumnya. Karena itu penggunaan obat-obat dengan klirens yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan. Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan hemodinamik yang lebih stabil dan pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Blok neuromuskuler dengan atracurioum atau vecuronium harus dipertahankan selama pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal, trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya insiden mual dan muntah pasca operasi. Pendekatan pembedahan transsfenoid merupakan metode yang paling sering digunakan untuk mencapai daerah hipofisis, dan penggunaan drainase lumbal dapat mengoptimalkan kondisi pembedahan. 2,6,20 Manajemen pasca operasi: Pada akhir operasi, ekstubasi dilakukan setelah kembalinya napas spontan, pengisapan faringeal dengan laringoskopi, dikeluarkannya pack dan kembalinya refleks laryngeal. Semua pasien harus diobservasi ketat setelah pembedahan sampai pulih dengan sempurna (fully awake). Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif atau high-care unit sekurangnya dalam 24 jam pasca operasi. 2 Penggantian hormon dilakukan bertahap sampai beberapa hari, direkomendasikan hidrokortison 50mg dua kali sehari pada hari pertama pasca operasi, 25mg dua kali sehari pada hari kedua, dan pada hari ketiga 20mg di pagi hari dan 10mg di sore hari. 2 Komplikasi-komplikasi pasca operasi: 1. Perdarahan 2. Kebocoran LCS 3. Diabetes insipidus 4. SIADH 5. Emboli udara vena 6. Hipopituitarisme Pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan karena tumor neuroendokrin, yaitu hipofisis dapat memberikan tantangan kepada ahli anestesi. Ahli neuro anestesi haruslah memiliki pemahaman tentang penyakit hipofisis dan implikasinya pada saat kunjungan perioperatif. Pendekatan transsfenoid berhubungan dengan beberapa masalah spesifik yang harus diantisipasi dan ditangani. Sangat diperlukan adanya kerjasama tim dan komunikasi yang baik antara ahli bedah saraf, ahli anestesi, perawat neuroendokrin, ahli patologi, ahli radiologi, dokter residen dan staf perawat terutama di ICU untuk keberhasilan penanganan pasien yang menjalani pembedahan hipofisis. 15

86 Daftar Pustaka 1. Nathanson MH, Simpson PJ. Neurosurgical anaesthesia. Dalam: Aitkenhead AR, Smith G, Rowbotham DJ, eds. Textbook of anaesthesia. 5th ed. London: Elsevier; 2007, Smith M, Hirsch NP. Pituitary disease and anaesthesia. Br J Anaesth. 2000;85(1): Razis PA. Anesthesia for surgery of pituitary tumors. Int Anesthesiol Clin. 1997;35(4): Adapa R, Gupta AK. Anesthesia for pituitary surgery. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care. 1st ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 4th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2001, Nortje J. Cerebral blood flow and its control. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw- Hill, Inc; 2006, Patel PM. Cerebral ischemia. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2008, Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Neurophysiology and anesthesia. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill Company, Inc; 2006, Timoveev I. The intracranial compartment and intracranial pressure. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care. Philadelphia: Elsevier - Saunders; 2008, Bisri T. Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah Citra; 1997, Scanlon VC, Sanders T. The nervous system. Dalam: Scanlon VC, Sanders T, eds. Essentials of anatomy and physiology. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2007, Netter FH, Craig JA, Perkins J. Neuroanatomy. Atlas of neuroanatomy and neurophysiology. Texas: Icon Custom Communication; 2002, Netter FH, Craig JA, Perkins J. Neurophysiology. Atlas of neuroanatomy and neurophysiology. Texas: Icon Custom Communications; 2002, Matjasko MJ. Anesthetic considerations in patients with neuroendocrine disease. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery. 3rd ed. Philadelphia: Mosby; 1994, Nemergut EC, Dumont AS, Barry UT, Laws ER. Perioperative management of patients undergoing transsphenoidal pituitary surgery. Anesth Analg. 2005;101: Jones TH. The management of hyperprolactinaemia. Br J Hosp Med Apr 19-May 2;53(8): Lim M, Williams D, Maartens N. Anaesthesia for pituitary surgery. J Clin Neurosci May;13(4): Melmed S, Braunstein GD, Chang RJ, Becker DP. Pituitary tumors secreting growth hormone and prolactin. Ann Intern Med Aug;105(2): Griffiths S, Perks A. The hypothalamic pituitary axis part 2: anaesthesia for pituitary surgery. Anaesthesia tutorial of the week. 2010; Stacey RJ, Powell MP. Sellar and parasellar tumors. Dalam: Moore AJ, Newell DW, eds. Neurosurgery principles and practice. London: Springer - Verlag; 2004, Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy, epilepsy, minimally invasive, and robotic surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young's neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010, Arafah BM, Nasrallah MP. Pituitary tumors: pathophysiology, clinical manifestations and management. Endocrine-Related Cancer. 2001;8: Paul M, Dueck M, Kampe S, Petzke F, Ladra A. Intracranial placement of a nasotracheal tube after transnasal trans-sphenoidal surgery. Br J Anaesth. 2003;91(4):

87 PENGGUNAAN DEXMEDETOMIDIN PADA NEUROTRAUMA THE USE OF DEXMEDETOMIDINE ON NEUROTRAUMA MM Rudi Prihatno*), Abdul Lian**), Nazarudin Umar**) *)Lab. Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unsoed-RSMS Purwokerto **)Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro-Semarang **) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Sumatra Utara-Medan Abstract The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector. The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety is maintained properly and not worsen the patient's condition. Keyword : dexmedetomidine, neurotrauma, brain protection JNI 2012;1(3): Abstrak Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju. Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak. Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien. Kata kunci : dexmedetomidin, neurotauma, proteksi otak JNI 2012;1(3): I. Pendahuluan Kegawatan saraf merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Kasus kecelakaan yang mengakibatkan gangguan saraf atau mengalami penurunan kesadaran, dengan derajat kesadaran yang bervariasi hingga GCS < 6. Pada pasien dengan GCS > 6 lebih sering gelisah dan tidak kooperatif. Selain itu, kondisi pasien yang tetap tersadar merupakan salah satu acuan penting dalam monitoring dan penilaian derajat kesadaran pasien. Permasalahan yang berkembang di ruang gawat darurat adalah bagaimana cara menenangkan pasien dengan medikasi yang tidak memperburuk keadaan atau kesadaran pasien hingga diberikan tindakan definitif, baik operatif maupun non-operatif. Maksud dengan memberikan penenang pada pasien adalah untuk mencegah pasien berbuat diluar kesadarannya yang dapat berakibat fatal pada dirinya sendiri. Beberapa kasus yang pernah terjadi antara lain pasien melepas semua jalur intravena yang terpasang, terjatuh dari tempat tidur, mengamuk yang mengakibatkan kegaduhan di ruang gawat darurat yang berakibat gangguan pada pelayanan dan menimbulkan ketidaknyamanan pasien yang lain. Berdasarkan kejadian-kejadian tersebut, maka beberapa RS menerapkan kebijakan untuk penatalaksanaan pasien-pasien dengan penurunan kesadaran dan cenderung kombatif untuk diberikan sedasi. II. Dexmedetomidin Dexmedetomidin merupakan agonis α-2 adrenoseptor yang sangat selektif sekali. Pemberian bila sesuai dengan dosis yang dibutuhkan dapat menimbulkan sedasi, anxiolisis, dan analgesia tanpa adanya depresi nafas. Pemberian obat-obatan agonis α-2 dapat mengurangi kebutuhan anestesi dikarenakan komponen simpatolitik, mampu menahan stabilitas hemodinamik selama operasi. 1 Agonis α-2 adrenoseptor merupakan subgroup dari reseptor noadrenergik yang terdistribusi luas di dalam dan diluar susunan saraf pusat (SSP). Agonis α-2 di otak terutama terkonsentrasi didalam pons dan medulla, suatu area yang terlibat dalam transmisi aktifasi sistem saraf simpatis dari pusat otak ke perifer. Stimulasi presinaptik reseptor α-2 dapat mengurangi pelepasan norepinefrin dan 1

88 2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia [Type text] 10-minute infusion to 250 minutes after an 8-hour infusion. No accumulation after infusions h.pharmacokinetics similar in young adults and elderly. Mechanism of actions A selective α2-adrenoceptor agonist. It s action is unique and different. Three subtypes of α2 adrenoreceptors have been described in humans: α2b, and α2c ( Fig). α2a, The α2a aktifasi reseptor α-2 pasca sinap hiperpolarisasi membran neural. 1 Dexmedetomidin menimbulkan efek sedatif dan ansiolitik melalui aktifasi adrenoseptor α-2 di locus ceruleus (LC), tempat terbesar inervasi noradrenergik di SSP. LC berperan sebagai modulator kunci untuk berbagai macam fungsi kritis otak seperti gairah, tidur, kecemasan, dan putus obat yang terkait dengan sindrom depresi SSP, seperti opioid. 1,2 Sedasi dihasilkan oleh agonis α-2 adrenoseptor, tidak seperti yang dihasilkan oleh obat-obatan sedatif tradisional, seperti benzodiazepine dan propofol, independen terutama terhadap sistem GABA. 1,2 Dexmedetomidin di Indonesia merupakan obat baru yang mulai dikenal luas awal tahun 2000, walaupun sebenarnya obat ini sudah lama diproduksi dan diteliti mulai awal tahun Penggunaan dexmedetomidin lebih banyak untuk sedasi pada pasien-pasien di ICU dan juga digunakan untuk pasien operasi bedah saraf, terutama awake craniotomy. Dexmedetomidin memiliki waktu paruh yang cepat ± 6 menit. Sembilan puluh empat persen dari dexmedetomidin merupakan protein terikat, dan konsentrasi rasio antara seluruh darah dan plasma adalah 0,66. 3 Biotransformasi dengan konjugasi (41%), n-metilasi (21%), atau hidroksilasi diikuti oleh konjugasi dalam hati. Metabolit tidak aktif diekskresikan dalam urin dan feses. Eliminasi waktu paruh dexmedetomidin antara 2-3 jam, dengan konteks-sensitif waktu paruh mulai dari 4 menit setelah infus selama 10 menit hingga 250 menit setelah infus selama 8 jam. Tidak ada akumulasi setelah infus jam. 3 Adrenoseptor agonis α2 terbagi menjadi 3 subtipe, yaitu α2a (didistribusikan di perifer), α2b dan α2c (ada di otak dan tulang belakang). Mekanisme umum dari adrenoseptor tersebut adalah: Aktivasi presinaptik dari α2-adrenoseptor menghambat pelepasan norepinefrin. Aktivasi pascasinap dari adrenoseptor α2 dalam sistem saraf pusat menghambat aktivitas simpatik dan dapat menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Analgesia timbul melalui mekanisme pengikatan dexmedetomidin untuk α2- adrenoseptor di sumsum tulang belakang. 3 adrenoreceptors are primarily distributed in the periphery, whereas α2b and α2c are in the brain and spinal cord. Gambar 1. Mekanisme agonis α-2 adrenoseptor Dikutip dari: Kumar GK 3 Presynaptic activation of alpha2-adrenoceptors inhibits the release of nor epinephrine. Postsynaptic activation of alpha2-adrenoceptors in the central nervous system inhibits sympathetic activity and can decrease blood pressure and heart Penggunaan rate, so sedation dexmedetomidin and anxiolysis can result sebagai from this agen activity. sedasi Analgesia is provided through binding of Dexmedetomidine to alpha2- adrenoceptors memberikan in the efek spinal cord. yang lebih baik dibandingkan The overall propofol response to terhadap α2 adrenoreceptors tingkat agonists kecemasan is related to the pasien. stimulation 3 of α2 adrenoreceptors located in the CNS and spinal cord. The α2 agonists produce their sedative-hypnotic Penelitian ini effect menitikberatkan by an action on α2 receptors pada in the monitoring locus caeruleus and an analgesic action at α2 receptors within the locus caeruleus and within the spinal cord. tekanan darah, nadi, SpO 2, bispectral index (BIS), faces anxiety scale (FAS). Hasil yang didapat menyatakan bahwa, dexmedetomidin sedikit menimbulkan depresi nafas bila dibandingkan propofol. Efek sedasi dexmedetomidin tidaklah sebaik propofol untuk mengatasi kecemasan berdasarkan hasil dari penilaian FAS, dimana pada pemberian propofol skor FAS menurun lebih cepat dibandingkan dexmedetomidin, akan tetapi penilaian kesadaran dengan metode mental aritmetika (MA) menunjukkan bahwa pasien masih dapat berhitung pengurangan pada tingkat sedasi ringan (BIS 75-85). 4 Efek analgesi dari dexmedetomidin dapat menurunkan penggunaan opioid hingga 30%-50%, akan tetapi potensinya tidak bisa menyamai kemampuan opioid, akan tetapi untuk kasus-kasus yang opioid tidak bisa maksimal, seperti nyeri neuropatik, maka pemberian agonis α-2 akan lebih menguntungkan. 1,5 Dexmedetomidin merupakan salah satu obat yang sangat berguna untuk penatalaksanaan kasus-kasus yang memerlukan sedasi dan juga penatalaksanaan nyeri. Mekanisme efek dalam mereduksi nyeri merupakan akibat dari aktifasi adrenoseptor α-2. 3,5 Mekanisme kerja dari dexmedetomidin dalam mereduksi nyeri berhubungan dengan aktifitasnya terhadap LC dan persarafan di tulang belakang (spinal cord) dengan mengaktifasi adrenoseptor α2c dengan cara melemahkan transmisi nosiseptik ke SSP. Penggunaan dexmedetomidin sudah sangat luas, tidak hanya untuk kasus-kasus bedah saraf saja, akan tetapi telah digunakan sebagai salah satu bagian dari penatalaksanaan sedasi di ruang terapi intensif serta dapat sebagai bagian dari pengelolaan anestesi pada pasien-pasien yang akan operasi nonbedah saraf dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi

LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI

LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI LUARAN PASIEN DENGAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL DAN INTRAVENTRIKULAR YANG DILAKUKAN VP-SHUNT EMERGENSI OUTCOME OF PATIENTS WITH INTRACEREBRAL AND INTRAVENTRICULAR HAEMORRHAGE AFTER AN EMERGENCY VP-SHUNT

Lebih terperinci

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di kalangan anak muda di seluruh dunia, prediksi hasil saat masuk RS sangat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala Akibat Trauma Cedera kepala umumnya diklasifikasikan atas satu dari tiga sistem utama, yaitu: keparahan klinis, tipe patoanatomi dan mekanisme fisik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intelektual serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. intelektual serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi terutama dalam bidang transportasi mengakibatkan meningkatnya jumlah dan jenis kendaraan bermotor dan hal ini berdampak pada meningkatnya kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

Primary Cerebellar Haemorrhage : Complications, Treatment and Outcome

Primary Cerebellar Haemorrhage : Complications, Treatment and Outcome Jurnal Bedah Saraf Primary Cerebellar Haemorrhage : Complications, Treatment and Outcome (Clinical Neurology and Neurosurgery Journal, Elsevier 2013) Oleh: Fadhilah Pembimbing: dr. Hanis Setyono, SpBS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab paling

Lebih terperinci

USULAN PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DAN OUTCOME PASIEN EPIDURAL HEMATOMA PASCA TREPANASI EVAKUASI HEMATOMA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

USULAN PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DAN OUTCOME PASIEN EPIDURAL HEMATOMA PASCA TREPANASI EVAKUASI HEMATOMA DI RSUP SANGLAH DENPASAR USULAN PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DAN OUTCOME PASIEN EPIDURAL HEMATOMA PASCA TREPANASI EVAKUASI HEMATOMA DI RSUP SANGLAH DENPASAR HING THEDDY NIM : 1114028204 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Diperkirakan insidensinya lebih dari 500 per 100.000 populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba

BAB I PENDAHULUAN. Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis yang terjadi tiba-tiba disebabkan oleh adanya gangguan perfusi ke otak. Manifestasi klinis dari stroke merupakan konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis crania serta organ didalamnya dimana kerusakan disebabkan gaya mekanik dari luar sehingga timbul

Lebih terperinci

TRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C

TRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C TRAUMA KEPALA Doni Aprialdi C11050165 Lusi Sandra H C11050171 Cynthia Dyliza C11050173 PENDAHULUAN Insidensi trauma kepala di USA sekitar 180-220 kasus/100.000 populasi (600.000/tahunnya) 10 % dari kasus-kasus

Lebih terperinci

MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA

MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA Dipresentasikan pada: Pengembangan Profesi Bedah Berkelanjutan (P2B2) XIII-2016 Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia (PABI) Lampung MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA DR.Dr.M.Z. Arifin,Sp.BS Department

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang. Kepala juga merupakan bagian yang paling sering

Lebih terperinci

DECOMPRESSIVE HEMICRANIECTOMY FOR SPONTANEOUS INTRACEREBRAL HEMORRHAGE

DECOMPRESSIVE HEMICRANIECTOMY FOR SPONTANEOUS INTRACEREBRAL HEMORRHAGE DECOMPRESSIVE HEMICRANIECTOMY FOR SPONTANEOUS INTRACEREBRAL HEMORRHAGE Satoru Takeuchi, M.D., Kojiro Wada, M.D.,Kimihiro Nagatani, M.D., Naoki Otani, M.D., and Kentaro Mori, M.D. Department of Neurosurgery,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011). BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011). Stroke merupakan penyebab

Lebih terperinci

ABSTRAK. Validitas Faktor-Faktor Resiko Kematian dalam 14 Hari pada Pasien Cidera Kepala Berat di RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK. Validitas Faktor-Faktor Resiko Kematian dalam 14 Hari pada Pasien Cidera Kepala Berat di RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK Validitas Faktor-Faktor Resiko Kematian dalam 14 Hari pada Pasien Cidera Kepala Berat di RSUP Sanglah Denpasar Latar Belakang : Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

Lampiran 1. Medan, 2013 Yang membuat pernyataan persetujuan. penjelasan. dr... Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Medan, 2013 Yang membuat pernyataan persetujuan. penjelasan. dr... Universitas Sumatera Utara Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :.. Umur : tahun L / P Alamat :.... Hubungan dengan pasien : Bapak/Ibu/anak/hubungan kerabat lainnya Dengan ini menyatakan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli Juni 2017

Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli Juni 2017 Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2016 - Juni 2017 1 Celine Tanriono 2 Diana C. Lalenoh 2 Mordekhai L. Laihad 1 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Lebih terperinci

PORTOFOLIO KASUS MEDIK

PORTOFOLIO KASUS MEDIK PORTOFOLIO KASUS MEDIK Oleh: dr. Sukron Nanda Firmansyah PENDAMPING: dr. Moch Jasin, M.Kes Portofolio Kasus No. ID dan Nama Peserta : dr. SukronNanda Firmansyah No. ID dan Nama Wahana: RSU Dr. H. Koesnadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit misalnya pada pasien

Lebih terperinci

MELAPORKAN HASIL CT SCAN KEPALA PADA PASIEN STROKE. DR. PAGAN PAMBUDI, Sp.S

MELAPORKAN HASIL CT SCAN KEPALA PADA PASIEN STROKE. DR. PAGAN PAMBUDI, Sp.S MELAPORKAN HASIL CT SCAN KEPALA PADA PASIEN STROKE DR. PAGAN PAMBUDI, Sp.S PERAN CT SCAN Gold standard dalam diagnosis stroke Dapat dijumpai gambaran Stroke iskemik Infark emboli Stroke hemorragik Intraserebral

Lebih terperinci

Hasil Akhir Penderita dengan Diffuse Brain Injury yang Dirawat di Neurosurgical Critical Care Unit RS Hasan Sadikin, Bandung

Hasil Akhir Penderita dengan Diffuse Brain Injury yang Dirawat di Neurosurgical Critical Care Unit RS Hasan Sadikin, Bandung Hasil Akhir Penderita dengan Diffuse Brain Injury yang Dirawat di Neurosurgical Critical Care Unit RS Hasan Sadikin, Bandung Suzy Indharty Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan kasus yang cukup banyak dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan dengan begitu

Lebih terperinci

MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH Topik : Bedah saraf Judul : Cedera Kepala ( 3b) Tujuan pembelajaran Kognitf II. 1. Menjelaskan anatomi kepala 2. Menjelaskan patogenesa cedera kepala 3. Menjelaskan diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kraniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, 2005). Pembedahan

Lebih terperinci

EMBOLI CAIRAN KETUBAN

EMBOLI CAIRAN KETUBAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN DEFINISI Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung scr cepat pd wanita dlm proses persalinan atau segera stlh melahirkan sbg

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Oleh: ADE SOFIYAN J500050044 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN : CEDERA KEPALA POST KRANIOTOMI HARI KE-2 DI RUANG SOFA RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : WIJAYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke memiliki serangan akut yang dapat dengan cepat menyebabkan kematian. Penderita stroke mengalami defisit neurologis fokal mendadak dan terjadi melebihi dari 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat kecelakaan lalulintas.(mansjoer, 2002) orang (39,9%), tahun 2004 terdapat orang dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. akibat kecelakaan lalulintas.(mansjoer, 2002) orang (39,9%), tahun 2004 terdapat orang dengan jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalulintas.(mansjoer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diabetes, penyakit lupus, atau mengalami infeksi. Prematuritas dan berat lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diabetes, penyakit lupus, atau mengalami infeksi. Prematuritas dan berat lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bayi yang dilahirkan sebelum masa gestasi 38 minggu dianggap sebagai bayi prematur. Ada banyak alasan yang menyebabkan kelahiran prematur, beberapa faktor seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas. Di Inggris misalnya, setiap tahun sekitar 100.000 kunjungan pasien

Lebih terperinci

Preeklampsia dan Eklampsia

Preeklampsia dan Eklampsia Preeklampsia dan Eklampsia P2KS PROPINSI SUMATERA UTARA 1 Tujuan Membahas praktek terbaik untuk mendiagnosis dan menatalaksana hipertensi, pre-eklampsia dan eklampsia Menjelaskan strategi untuk mengendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang

Lebih terperinci

Asuhan Keprawatan Cedera Kepala Agus K Anam,M.Kep

Asuhan Keprawatan Cedera Kepala Agus K Anam,M.Kep Asuhan Keprawatan Cedera Kepala Agus K Anam,M.Kep TERJADI TIAP 15 DETIK MATI TIAP 12 MENIT CEDERA KEPALA 50 % KEMATIAN PADA TRAUMA 60 % KEMATIAN AKIBAT KLL TATALAKSANA P R I M A R Y S U R V E Y A AIRWAY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah serta tingkat kompleksitasnya. 2. penyakit jantung semakin meningkat. 3 Di Washington, Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. jumlah serta tingkat kompleksitasnya. 2. penyakit jantung semakin meningkat. 3 Di Washington, Amerika Serikat, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian secara umum dan merupakan penyebab tersering kematian pada kehamilan di negara berkembang. 1 Angka kejadian penyakit

Lebih terperinci

Author : Olva Irwana, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Files of DrsMed FK UR

Author : Olva Irwana, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Files of DrsMed FK UR Author : Olva Irwana, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR http://www.yayanakhyar.co.nr 0 CEDERA KEPALA 1. Definisi Cedera kepala adalah trauma mekanik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan neonatal. Kematian neonatus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering mengganggu pertukaran gas. Bronkopneumonia melibatkan jalan nafas distal dan alveoli, pneumonia lobular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya

Lebih terperinci

Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview

Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview 1 Motto : Save our brain and nerve!! Time is brain!! 2 Latar belakang Sebagian besar kasus neurologi merupakan kasus emergensi. Morbiditas dan mortalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan penyakit dengan defisit neurologis permanen akibat perfusi yang tidak adekuat pada area tertentu di otak atau batang otak. Stroke dibagi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT MATERNITAS: EKLAMPSIA

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT MATERNITAS: EKLAMPSIA ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT MATERNITAS: EKLAMPSIA NIKEN ANDALASARI Pengertian Eklampsia Eklampsia adalah suatu keadaan dimana didiagnosis ketika preeklampsia memburuk menjadi kejang (Helen varney;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap tahunnya dan orang membutuhkan rawat inap untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap tahunnya dan orang membutuhkan rawat inap untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala mengenai hampir 1,5 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya dan 240.000 orang membutuhkan rawat inap untuk pengobatan trauma mereka (Frey et al.,

Lebih terperinci

LUARAN MATERNAL DAN PERINATAL PADA WANITA USIA LEBIH DARI 35 TAHUN di RSUP Dr. KARIADI, SEMARANG, TAHUN 2008

LUARAN MATERNAL DAN PERINATAL PADA WANITA USIA LEBIH DARI 35 TAHUN di RSUP Dr. KARIADI, SEMARANG, TAHUN 2008 LUARAN MATERNAL DAN PERINATAL PADA WANITA USIA LEBIH DARI 35 TAHUN di RSUP Dr. KARIADI, SEMARANG, TAHUN 2008 ABSTRAK Damayanti AR, Pramono BA, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN

ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN Definisi : penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15) Riwayat : Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Mekanisme cedera

Lebih terperinci

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita Saat menemukan penderita ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan tindakan selanjutnya, baik itu untuk mengatasi situasi maupun untuk mengatasi korbannya. Langkah langkah penilaian pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau

BAB I PENDAHULUAN. Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Trauma tumpul toraks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma neurologis yang terjadi. tiba-tiba karena cerebrovascular disease (CVD).

BAB I PENDAHULUAN. Stroke adalah sindroma neurologis yang terjadi. tiba-tiba karena cerebrovascular disease (CVD). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah sindroma neurologis yang terjadi tiba-tiba karena cerebrovascular disease (CVD). Cerebrovascular disease menunjukan kelainan otak yang dihasilkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksio sesaria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan masalah medis yang serius karena dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat, kecacatan dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Kecacatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bulan pertama kehidupan merupakan masa paling kritis dalam kelangsungan kehidupan anak. Dari enam juta anak yang meninggal sebelum ulang tahunnya yang ke lima di tahun

Lebih terperinci

Tipe trauma kepala Trauma kepala terbuka

Tipe trauma kepala Trauma kepala terbuka TRAUMA KEPALA TRAUMA KEPALA Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak / otak atau kulit seperti kontusio / memar otak, edema otak, perdarahan atau laserasi,

Lebih terperinci

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia (Kemenkes RI, 2010)

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia (Kemenkes RI, 2010) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asfiksia neonatal merupakan masalah global yang berperan dalam meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Insidensi asfiksia di negara maju 1,1 2,4 kasus

Lebih terperinci

Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Zafrullah Khany Jasa*), Fachrul Jamal*), Imam Hidayat**) *)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,**)Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Syiahkuala- RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstrak

Lebih terperinci

ABSTRAK. GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010

ABSTRAK. GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010 ABSTRAK GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010 Ezra Endria Gunadi, 2011 Pembimbing I : Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK. Perdarahan Subarakhnoid yang Disebabkan Ruptur Aneurisma Intrakranial

ABSTRAK. Perdarahan Subarakhnoid yang Disebabkan Ruptur Aneurisma Intrakranial ABSTRAK Perdarahan Subarakhnoid yang Disebabkan Ruptur Aneurisma Intrakranial Fanny Ardianti (0210161); Pembimbing I : Winsa Husin, dr, Msc. Mkes Pembimbing II : Dedeh Supantini, dr, SpS Perdarahan subarakhnoid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Traumatik brain injury (cedera otak traumatik/cot) yang umumnya didefinisikan dengan adanya kelainan non degeneratif dan non congenital yang terjadi pada otak, sebagai

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. W POST OP CRANIATOMY HARI KE- 2 DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DI ICU RSUI KUSTATI SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. W POST OP CRANIATOMY HARI KE- 2 DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DI ICU RSUI KUSTATI SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. W POST OP CRANIATOMY HARI KE- 2 DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DI ICU RSUI KUSTATI SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu disebabkan karena abruptio plasenta, preeklampsia, dan eklampsia.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu disebabkan karena abruptio plasenta, preeklampsia, dan eklampsia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Faktor penyebab kematian ibu hamil dipengaruhi oleh penyakit ibu, yaitu disebabkan karena abruptio plasenta, preeklampsia, dan eklampsia. Abruptio plasenta adalah terlepasnya

Lebih terperinci

POLA KEJADIAN HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INTENSIF ANAK RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

POLA KEJADIAN HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INTENSIF ANAK RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN POLA KEJADIAN HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INTENSIF ANAK RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN Enny Harliany Alwi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah

Lebih terperinci

INDIKATOR MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT

INDIKATOR MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT INDIKATOR MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT TUJUAN PEMBELAJARAN Tujuan Umum Setelah mengikuti materi ini mahasiswa diharapkan memahami tentang indikator mutu pelayanan rs Tujuan khusus, mahasiswa memahami: Pengertian

Lebih terperinci

PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA BAB I

PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA BAB I Lampiran Surat Keputusan Direktur RSPP No. Kpts /B00000/2013-S0 Tanggal 01 Juli 2013 PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA 2 0 1 3 BAB I 0 DEFINISI Beberapa definisi Resusitasi Jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

GAMBARAN PASIEN CEDERA KEPALA DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2013

GAMBARAN PASIEN CEDERA KEPALA DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2013 GAMBARAN PASIEN CEDERA KEPALA DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2013 1 Fonda Simanjuntak 2 Danny J. Ngantung 2 Corry N. Mahama 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi mendadak akibat proses patofisiologi pembuluh darah. 1 Terdapat dua klasifikasi umum stroke yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pengambilan data primer dari pasien cedera kepala tertutup derajat sedang berat

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pengambilan data primer dari pasien cedera kepala tertutup derajat sedang berat 46 BAB 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Desain penelitian Penelitian ini merupakan study prognostik dengan desain kohort. Pengambilan data primer dari pasien cedera kepala tertutup derajat sedang berat yang dirawat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN LUARAN PREEKLAMPSI DI RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO

KARAKTERISTIK DAN LUARAN PREEKLAMPSI DI RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO KARAKTERISTIK DAN LUARAN PREEKLAMPSI DI RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO 1 Wahyuni Silomba 2 John Wantania 2 Joice Kaeng 1 Kandidat SKRIPSI Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian

Lebih terperinci

JUMLAH PASIEN MASUK RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK DI RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - SEPTEMBER 2014

JUMLAH PASIEN MASUK RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK DI RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - SEPTEMBER 2014 JUMLAH PASIEN MASUK RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK DI RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - SEPTEMBER 2014 Vanesha Sefannya Gunawan 1, Johan Arifin 2, Akhmad Ismail 3 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Teori 1. Pengertian Prematur Persalinan merupakan suatu diagnosis klinis yang terdiri dari dua unsur, yaitu kontraksi uterus yang frekuensi dan intensitasnya semakin

Lebih terperinci

Objective: To find out the correlation between stroke subtype, vascular territory with pneumonia and mortality in acute stroke.

Objective: To find out the correlation between stroke subtype, vascular territory with pneumonia and mortality in acute stroke. Background: Dysphagia is a commonly morbidity after stroke, the presence of dysphagia has been associated with increased risk for pulmonary complication and even mortality.there is is emerging evidence

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan salah satu profesi yang terlibat dalam. yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan salah satu profesi yang terlibat dalam. yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keperawatan merupakan salah satu profesi yang terlibat dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan

Lebih terperinci

Gambaran Penderita Trauma Kepala di Rumah Sakit Umum Haji Medan Periode Januari Desember 2014

Gambaran Penderita Trauma Kepala di Rumah Sakit Umum Haji Medan Periode Januari Desember 2014 Ibnu Nafis, Juni 217, hlm 15-23 Vol. 6, No. 1 ISSN 2252-687 Gambaran Penderita Trauma Kepala di Rumah Sakit Umum Haji Medan Periode Januari Desember 21 Khoirunnisa Siregar,*Tri Makmur *Dosen Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

GAMBARAN CT SCAN KEPALA PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI BLU RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU MANADO PERIODE

GAMBARAN CT SCAN KEPALA PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI BLU RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU MANADO PERIODE GAMBARAN CT SCAN KEPALA PADA PENDERITA CEDERA KEPALA RINGAN DI BLU RSUP Prof. Dr. R. D. KANDOU MANADO PERIODE 2012 2013 1 Miranda Esther Irene Manarisip 2 Maximillian Ch. Oley 2 Hilman Limpeleh 1 Kandidat

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II Catatan Fasilitator Rangkuman Kasus: Agus, bayi laki-laki berusia 16 bulan dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten dari sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan stroke iskemik sebagai kasus utamanya (Fenny et al., 2014). Penderita penyakit

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan stroke iskemik sebagai kasus utamanya (Fenny et al., 2014). Penderita penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembunuh kedua dari daftar penyebab kematian di dunia setelah penyakit jantung iskemik adalah stroke. Stroke telah bertanggung jawab atas kematian 6.7 juta manusia

Lebih terperinci

LAMPIRAN FORMULIR PERSETUJUN MENJADI RESPONDEN

LAMPIRAN FORMULIR PERSETUJUN MENJADI RESPONDEN LAMPIRAN FORMULIR PERSETUJUN MENJADI RESPONDEN HUBUNGN PENGETAHUAN TENTANG TRAUMA KEPALA DENGAN PERAN PERAWAT (PELAKSANA) DALAM PENANGANAN PASIEN TRAUMA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT QADR TANGERANG

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA RUMAH SAKIT SUMBER KASIH CIREBON PERIODE JANUARI 2015 SEPTEMBER 2016

ABSTRAK HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA RUMAH SAKIT SUMBER KASIH CIREBON PERIODE JANUARI 2015 SEPTEMBER 2016 ABSTRAK HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA RUMAH SAKIT SUMBER KASIH CIREBON PERIODE JANUARI 2015 SEPTEMBER 2016 Hanifan Nugraha, 2016 ; Pembimbing I Pembimbing II : Wenny

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN KASUS-KASUS EMERGENSI KEBIDANAN YANG BERASAL DARI RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PRIMER DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA TAHUN

PENATALAKSANAAN KASUS-KASUS EMERGENSI KEBIDANAN YANG BERASAL DARI RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PRIMER DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA TAHUN ABSTRAK PENATALAKSANAAN KASUS-KASUS EMERGENSI KEBIDANAN YANG BERASAL DARI RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PRIMER DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA TAHUN 2011 Marsia Admya Jacob, 2011. Pembimbing I : Dr.

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Masalah. Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat. diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah Analisis Gas Darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang tergolong dalam famili Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua paling sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 45% dari kematian anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia (WHO, 2016). Dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode neonatus merupakan waktu yang paling rawan untuk kelangsungan hidup anak. Pada tahun 2015, 2,7 juta neonatus meninggal, merepresentasikan 45% dari kematian anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur

BAB 1 PENDAHULUAN. di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola hidup menyebabkan berubahnya pola penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung yang prevalensinya

Lebih terperinci

Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran

Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Nama Kuliah Kode/SKS Semester Status Mataajar : Keperawatan Gawat Darurat : KPA 4350 / 2 SKS : 8 (Delapan) :

Lebih terperinci