1 A S C F I S I P U I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 A S C F I S I P U I"

Transkripsi

1 1 A SC FISIP UI

2 Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Makmur Keliat, Ph.D Asra Virgianita, MA Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D Agus Catur Aryanto Putro, S.Sos A SC FISIP UI

3 KATA PENGANTAR Laporan penelitian ini merupakan hasil penelitian tentang Tenaga Kerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Study Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tema penelitian ini menjadi tema penting mengingat urgensinya untuk menata kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Penelitian ini mengkaji kondisi delapan sektor yang telah disepakati di dalam Mutual Recognition Arrangement atau Mutual Recognition Agreement Framework. Analisis dirancang untuk: (1) mendapatkan gambaran mengenai nilai strategis berbagai sektor jasa yang disepakati di dalam ASEAN MRA dan MRA Framework; (2) memetakan daya saing pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor tersebut; (3) mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan muncul berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN di masing-masing sektor jasa. Dengan kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pada pembuatan kebijakan berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan tentu saja menempatkan kepentingan nasional Indonesia sebagai pertimbangan utamanya. Tim Peneliti ASEAN Study Center FISIP UI A SC FISIP UI

4 DAFTAR ISI Halaman Sampul 2 Kata Pengantar 3 Daftar Isi.. 4 Daftar Tabel, Grafik, Bagan 6 Bab I Pendahuluan... 8 I.1. Sejarah dan Perkembangan Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN... 8 I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian I.3. Tujuan Penelitian I.4. Konseptualisasi I.5. Cakupan Penelitian I.6. Metodologi Penelitian Bab II Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia: II.1. Pendahuluan II.2. Sektor yang Tumbuh dan Semakin Penting II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal II.4. Sektor Jasa dan Daya Saing Tenaga Kerja Terampil Bab III Jasa Keinsinyuran (Engineering Services) III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services III.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keinsinyuran III.3. Permasalahan SDM Insinyur Indonesia: Kekurangan Kuantitas & Kualitas III.4. Kebijakan Pemerintah / Tata Kelola Regulasi III.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab IV Jasa Arsitektur (Architectural Services) IV.1. ASEAN MRA on Architectural Services IV.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Arsitek IV.3. SDM IV.4. Tata Kelola/Regulasi IV.5. Infrastruktur Pendukung IV. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab V Jasa Keperawatan (Nursing Services) V.1. ASEAN MRA on Nursing Services V.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keperawatan V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar V.4. Tata Kelola/Regulasi V.5. Infrastruktur Pendukung A SC FISIP UI

5 V.6. Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan Bab VI Jasa Praktisi Medis/Dokter VI.1. ASEAN MRA on Medical Practitioners VI.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Praktisi Medis/Dokter VI.3. Sumber Daya Manusia VI.4. Tata Kelola/Regulasi VI.5. Infrastruktur Pendukung VI.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab VII Jasa Kedokteran Gigi (Dental Practitioners) VII.1. ASEAN MRA on Dental Practitioners VII.2. Gambaran Umum Sektor Kedokteran Gigi VII.3. Sumber Daya Manusia VII.4. Tata Kelola/Regulasi VII.5. Infrastruktur VII.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Bab VIII Tenaga Profesional Pariwisata (Tourism Professionals) VIII.1. ASEAN MRA on Tourism Professionals VIII.2. Gambaran Umum Sektor Pariwisata VIII.3 Sumber Daya Manusia VIII.4. Tata Kelola/Regulasi VIII.5. Infrastruktur VIII.6 Kesimpulan dan Rekomendasi BAB IX Surveying Qualifications IX.1. ASEAN MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications IX.2. Gambaran Umum Bidang Surveying di Indonesia IX.3. Sumber Daya Manusia, Tata Kelola dan Infrastruktur IX.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab X Jasa Akuntansi (Accountancy Services) X.1. Tentang ASEAN MRA Framework on Accountancy Services X.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Akuntansi X.3. Sumber Daya Manusia: Perlu Upaya Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas X.4. Tata Kelola/Regulasi X.5. Infrastruktur Pendukung X.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab XI Kesimpulan dan Rekomendasi A SC FISIP UI

6 DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN DAFTAR TABEL Tabel I.1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual Recognition Arrangement Framework Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, (dalam juta USD) Tabel II.2. Peringkat Negara-Negara Anggota ASEAN Tabel IV.1. Istilah dalam MRA ASEAN untuk Jasa Arsitektur Tabel IV.2. Distribusi Pekerjaan di Sektor Jasa.. 35 Tabel IV. 3. Tabel Klasifikasi dan Kualifikasi Jasa Konstruksi Tabel V.1. Daftar NRA di Negara Anggota ASEAN Tabel V.2. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar Negeri Tabel V.3. Perkiraan Kebutuhan dan Kekurangan Tenaga Perawat di Indonesia.. 44 Tabel V.4. Tumpang Tindih Aturan tentang Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Perawat Tabel V.5. Jumlah Mahasiswa Per wilayah Untuk Tahun Akademik 2008/ Tabel VI.1. Istilah dan Definisi terkait Jasa Dokter dalam MRA Tabel VI.2. Otoritas PMRA Di Setiap Negara ASEAN Tabel V1.3. Perkiraan Permintaan Tenaga Dokter Indonesia dari Luar Negeri Tabel VI.4. Kebutuhan dan Ketersedian Tenaga Medis di RSU Pemerintah dan Pemda Tabel VI.5. Rasio Dokter Spesialis di negara-negara ASEAN.. 56 Tabel VI.6. Regulasi Dokter Asing di Indonesia Tabel VI.7. Alokasi Pembiayaan Kesehatan Di Beberapa Negara.. 59 Tabel VII.1. Kebutuhan Dokter Gigi Berdasarkan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Target UHH di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan Tabel VII.2. Jumlah Dokter Gigi Per penduduk Tabel VII.3. Kebutuhan dan Kekurangan Dokter Gigi Berbagai Fasilitas Kesehatan di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan Tabel VII.4. Jumlah Dokter Gigi di Masing-Masing Provinsi, 2005 dan Tabel VII.5. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia Dari Luar Negeri Tahun 2014, 2019 dan Tabel VII.6. Jumlah Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/ Tabel VII.7. Jumlah Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/ Tabel VIII.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Internasional ke Negara-negara ASEAN. 74 Tabel VIII.2. Peringkat Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel Competitiveness Index), 2011 dan Tabel VIII.3. Peringkat dalam Pilar Sumber Daya Manusia, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, Tabel VIII.4. Peringkat dalam Pilar Infrastruktur Pariwisata, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, Tabel VIII.5. Peringkat dalam Sub Pilar Infrastruktur Transportasi Darat, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, Tabel IX.1. Jumlah Unit Kompetensi Bidang Informasi Geospasial A SC FISIP UI

7 Tabel IX.2. Peta Kompetensi Surveyor. 87 Tabel X.1. Jumlah Akuntan yang Menjadi Anggota Asosiasi Akuntan Nasional di Negara-negara ASEAN.. 94 Tabel X.2. Jumlah Akuntan Beregister, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik di Indonesia, Tabel X.3. Jumlah Lulusan S-1 Akuntansi di Indonesia Tabel XI.1. Pemetaan Nilai Strategis dan Daya Saing Tenaga Terampil Indonesia di 8 Sektor MRA dan MRA Framework Tabel XI.2. Rekomendasi Spesifik untuk Masing-Masing Sektor DAFTAR GRAFIK Grafik II.1. Komposisi GDP berdasarkan Sektor.. 19 Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama, Grafik III.1. Diagram Populasi Sarjana Teknik di Beberapa Negara Tahun Grafik III.2. Diagram Pertumbuhan Sarjana Teknik di Beberapa Negara: Grafik III.3. Diagram Proyeksi Kebutuhan Insinyur Indonesia Grafik IV.1. Jumlah Sarjana Teknik per 1 Juta Penduduk di beberapa Negara Grafik IV.2. Tambahan Sarjana Tenik per tahun / 1 juta penduduk Grafik V.1 Jumlah Program Studi Keperawatan per Wilayah di Indonesia Tahun Akademik 2008/ Grafik X.1. Pertumbuhan Jumlah Akuntan Publik. 95 Grafik X.2. Struktur Usia Akuntan Publik di Indonesia.. 96 DAFTAR BAGAN Bagan II.1. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global dalam Indeks Daya Saing Global Bagan V.1. Mekanisme Liberalisasi Jasa Perawat Berdasarkan MRA ASEAN A SC FISIP UI

8 I Pendahuluan I.1. Sejarah dan Perkembangan Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN Meskipun liberalisasi perdagangan di level global mengalami hambatan dengan berlarut-larutnya Putaran Doha yang dimulai sejak 2001 dan belum tuntas hingga hari ini, proses liberalisasi perdagangan mengalami perkembangan signifikan dengan kemunculan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas di level regional. Di Asia Tenggara sendiri, ASEAN telah berhasil menyepakati perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA, ASEAN Free Trade Area) yang mengharuskan negara-negara ASEAN mereduksi tarif hingga 0-5% untuk barang-barang yang diperdagangkan di antara negara-negara ASEAN dengan tenggat waktu pada tahun Namun, tercatat bahwa pada awal masa liberalisasi perdagangan, fokus lebih diutamakan pada perdagangan barang (goods) daripada jasa (services). Baru pada tahun 1970an, liberalisasi sektor jasa kemudian mendapatkan perhatian dan mengalami peningkatan yang signifikan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan investasi internasional. Walau demikian, Hartman dan Scherrer (2003) menegaskan bahwa 75% perdagangan jasa masih terjadi di negara maju yang menguasai seperlima dari total perdagangan jasa dunia. 2 Dalam upaya meningkatkan liberalisasi perdagangan jasa, WTO 3 kemudian membentuk GATS (General Agreements on Trade in Services) mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa. GATS menganut beberapa prinsip utama yaitu: yaitu prinsip non-diskriminasi yang terdiri dari most favoured nation principle (MFN Principle) dan national treatment, prinsip liberalisasi akses pasar, serta prinsip transparansi. 4 Selain itu, GATS secara rinci mengatur ruang lingkup perdagangan jasa dalam Pasal 1 dan 2 yang meliputi empat mode pasokan yaitu: 1. Mode 1 adalah pasokan lintas batas (cross border supply) yaitu penyediaan jasa di dalam suatu wilayah negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya. 2. Mode 2 adalah konsumsi luar negeri (consumption abroad) yaitu penyediaan jasa dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya. 3. Mode 3 adalah kehadiran komersial (commercial presence) yaitu penyediaan jasa oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya. 1 Berbeda dengan Uni Eropa, ASEAN tidak menerapkan Common External Tariff, sehingga negara-negara ASEAN dapat menerapkan tarif untuk barang-barang dari luar negara-negara ASEAN sesuai dengan kondisi masingmasing negara. 2 E. Hartmann dan C. Sherrer, Negotiations on Trade in Services-The Position of thetrade Unions on GATS (Geneva: FES, 2003), dalam Susan L. Robertson, Globalization, GATS and Trading in Education Service, Centre for Globalisation, Education and Societies, (Bristol: The University of Bristol), diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 dari: 3 Di bawah WTO terdapat tiga perjanjian yang dibuat yaitu GATT, GATS dan TRIPS. 4 General Agreements on Trade in Services, diakses dari gats_01_e.htm, diakses 21 Agustus A SC FISIP UI

9 4. Mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person) yaitu pernyediaan jasa oleh penyedia jasa dari satu negara anggota melalui kehadiran natural person dari suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota Aturan-aturan dalam GATS ini menjadi acuan utama dalam implementasi liberalisasi sektor jasa yang dilakukan tidak hanya di level internasional tetapi juga di level regional dan bilateral. Di level ASEAN, disepakatinya AFTA pada tahun 1992 menandai mulai dialihkannya fokus perhatian pada liberalisasi perdagangan di dalam sektor jasa (trade in services liberalization). Upaya melakukan liberalisasi perdagangan di sektor jasa ini diawali dengan disepakatinya AFAS (ASEAN Framework Agreement on Trade in Services) pada tahun AFAS dibangun dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diletakkan di dalam GATS, yaitu melalui proses negosiasi permintaan dan penawaran liberalisasi sektor jasa di antara negaranegara anggota. 5 Sejak disepakati pada tahun 1995, AFAS tidak terlalu berhasil mendorong liberalisasi sektor jasa di ASEAN. 6 Sayangnya, krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menghancurkan perekonomian dan melahirkan perubahan-perubahan sosial politik di sebagian negara ASEAN, termasuk motor-motor utamanya seperti Indonesia dan Thailand, sehingga proses perundingan untuk liberalisasi sektor jasa di level ASEAN pun tidak berlangsung dengan efektif saat itu. Setelah negara-negara ASEAN mulai pulih dari guncangan krisis Asia, negaranegara ASEAN kembali melihat potensi ASEAN untuk memajukan kesejahteraan masing-masing negara. Dalam konteks inilah muncul inisiatif-inisiatif baru untuk membuat ASEAN lebih efektif dan terintegrasi. Inisiatif-inisiatif inilah yang kemudian berujung pada dideklarasikannya ASEAN Concord II (atau Bali Concord II ) pada bulan Oktober Para pemimpin ASEAN bersepakat untuk mewujudkan satu masyarakat ASEAN yang memiliki tiga pilar: (1) Komunitas Keamanan ASEAN (ASC, ASEAN Security Community), (2) Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC, ASEAN Economic Community) dan (3) Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC, ASEAN Socio-Cultural Community). Sejak saat itu, liberalisasi sektor jasa di ASEAN pun menemukan momentum baru. Bali Concord II sendiri menyebutkan dengan tegas bahwa liberalisasi sektor jasa adalah salah satu elemen penting di dalam integrasi ASEAN: The ASEAN Economic Community is the realisation of the end-goal of economic integration as outlined in the ASEAN Vision 2020, to create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic region in which there is a free flow of goods, services, investment and a freer flow of capital, equitable economic development and reduced poverty and socio-economic disparities in year KTT ASEAN Ke-13 pada bulan November 2007 menyepakati diadopsinya Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC Blueprint) sebagai dokumen rencana yang komprehensif untuk memandu terwujudnya Komunitas Keamanan ASEAN pada tahun Dokumen tersebut menyatakan bahwa ASEAN tidak hanya akan menjadi 5 ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hal Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, An Assesment of Services Sector Liberalization in ASEAN, dalam Sanchita Basu Das (ed), ASEAN Economic Community Scorecard, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studes, 2013), hal A SC FISIP UI

10 satu pasar tunggal (single market), namun juga satu basis produksi tunggal (single production base) yang mensyaratkan aliran faktor-faktor produksi yang bebas, termasuk modal dan tenaga kerja terampil. 7 Cetak Biru ini merupakan milestone penting dalam liberalisasi sektor jasa di ASEAN karena menjadi titik balik untuk meninggalkan pendekatan request and offer yang berlarut-larut dan menetapkan target-target yang jelas dan terukur dalam melakukan proses liberalisasi sektor jasa ASEAN. 8 Dalam upaya mendukung liberalisasi sektor jasa ini, terutama terkait lalu lintas atau perpindahan tenaga kerja terampil, negara-negara anggota ASEAN menandatangani MRA (Mutual Recognition Agreement) pada tanggal 19 November MRA ini menjadi sebuah hal mutlak yang dilakukan untuk mendukung liberalisasi sektor jasa yang berasaskan keadilan/fairness. Dalam kaitan ini, terdapat sejumlah hakikat dari MRA. Pertama, negara tujuan atau negara penerima mengakui kualifikasi profesional dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau negara asal tenaga kerja terampil. Kedua, negara asal diberikan otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Ketiga, pengakuan tidak bersifat otomatis. Ada proses untuk penentuan standar dan persyaratan lainnya yang diterapkan baik di negara penerima maupun di negara asal. Dengan kata lain MRA tidak langsung memberikan hak untuk melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada akses pasar. Hal ini memberikan indikasi persoalan di level regional. Namun MRA merupakan langkah awal yang penting untuk mempromosikan perpindahan tenaga kerja terampil itu. Sejauh yang dapat dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini telah disepakti 8 MRA dan MRA Framework, yaitu (1) MRA untuk jasa teknik; (2) arsitek; (3) jasa perawatan; (4) praktisi medis; (5) praktisi gigi/dokter gigi; (6) jasa akuntan; (7) penyigian (surveying). Selain MRA sebagai rujukan utama dalam menjamin mobilitas tenaga kerja terampil, AFAS (Artikel 5 tentang domestic regulations on qualifications dan Artikel 6 tentang recognition on qualifications), dan AEC Blue Print secara jelas mengatur keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN. Walau demikian, Chia Siow Yue (2013) mencatat bahwa ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil yaitu: 1) disparitas yang besar antara upah dan kesempatan kerja; 2) geographical proximity dan lingkungan sosial-budaya dan bahasa; 3) disparitas perkembangan sektor pendidikan antara negara di ASEAN dan; 4) faktor kebijakan yang berlaku di setiap negara anggota. 9 Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan implementasi liberalisasi sektor jasa yang sudah disepakati dalam AEC, ASEAN bergerak cepat dengan disepakatinya ASEAN Agreement on the Movement of Natural Persons (MNP) yang ditandatangani pada November Kesepakatan ini memberikan jaminan hak dan aturan tambahan yang sudah diatur di AFAS tentang MNP dan juga memfasilitasi MNP dalam menjalankan perdagangan dalam jasa dan investasi. Namun kesepakatan ini sekaligus juga memberikan perlindungan bagi integritas batas negara anggota ASEAN dan tentu perlindungan terhadap tenaga kerja domestik dan pekerjan tetap di negara-negara anggota ASEAN. 7 Ibid,. hal Ibid,. hal Chia Siow Yue, Free Flow of Skilled Labor in the AEC, dalam Urata, S. dan M. Okabe (ed), Toward a Competitive ASEAN Single Market: Sectoral Analysis, (Jakarta: ERIA Research Project Report ), hal A SC FISIP UI

11 Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa kebijakan luar negeri, termasuk kesepakatan Indonesia pada perjanjian untuk melakukan liberalisasi sektor jasa, bukanlah perundingan yang hanya berada di satu tingkat saja. Pemerintah tidak hanya berunding dengan negara anggota ASEAN yang lain, namun juga dengan rakyatnya sendiri. Dalam kajian hubungan internasional, Robert Putnam sejak jauhjauh hari sudah mengingatkan bahwa diplomasi adalah sebuah two level game. 10 Ada kepentingan-kepentingan di dalam negeri yang harus diajak berunding dalam implementasi liberalisasi sektor jasa di Indonesia. Penelitian ini mencoba menangkap fenomena tersebut dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan yang terimbas liberalisasi sektor jasa ASEAN untuk duduk bersama. Untuk mendapatkan kedalaman, penelitian ini akan berfokus pada delapan sektor yang telah disepakati di dalam MRA atau MRA Framework. Dari kegiatan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih utuh tentang daya saing para pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor, hambatan-hambatan yang dihadapi untuk meningkatkan kapasitas SDM tenaga terampil Indonesia di masing-masing sektor, serta kebijakan seperti apa yang dapat dilaksanakan untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut. I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian Kajian-kajian mengenai evaluasi terhadap liberalisasi sektor jasa ASEAN saat ini didominasi oleh kajian-kajian yang mengukur tingkat pencapaian (atau kepatuhan ) negara-negara ASEAN pada target yang telah ditetapkan oleh Cetak Biru KEA. Dengan titik awal seperti demikian, dapat diduga bahwa mayoritas kajian-kajian tersebut kemudian melihat bahwa liberalisasi sektor jasa di ASEAN tidak terlalu berhasil dan mendorong pemerintah untuk berupaya lebih keras memenuhi komitmen liberalisasi sektor jasa. Dalam tulisan mereka yang melakukan penilaian tentang liberalisasi sektor jasa di ASEAN, Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, menyatakan bahwa dibandingkan dengan liberalisasi perdagangan barang ( trade in goods ) yang mereka sebut sebagai pencapaian yang baik sekali, the progress made in liberalizing trade in services...have not been as impressive ( kemajuan di dalam liberalisasi sektor jasa...tidaklah seberhasil itu ). Nikomborirak dan Jitdumrong mencatat bahwa implementasi yang sebenarnya dari rencana-rencana yang ditetapkan di dalam cetak biru KEA banyak yang tidak sesuai dengan tahapan yang telah disepakati di dalam cetak biru tersebut. Sebagai contoh, untuk sektor E-ASEAN yang merupakan salah satu prioritas utama dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN saja, paket liberalisasi jasa ASEAN ke 7 (AFAS 7) menetapkan angka yang di bawah target. Misalnya, Cetak Biru KEA menargetkan bahwa kepemilikan modal asing (ASEAN) di dalam layanan telepon genggam seharusnya dibebaskan sampai 70% pada tahun 2010, namun hanya Singapura saja yang mampu membuka sektor tersebut sampai di atas 70%. Negara lain rata-rata memberikan komitmen liberalisasi kepemilikan modal di sektor tersebut di bawah 50%. 11 Lagipula, menurut keduanya, pembatasan modal asing (yang dirundingkan di dalam proses liberalisasi sektor jasa ASEAN selama ini) bukan satu-satunya faktor yang menghambat perdagangan jasa. Nikomborirak dan Jitdumrong menyebutkan bahwa faktor-faktor lain seperti hak kepemilikan tanah, menggunakan jasa tenaga 10 Robert Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Games, International Organization, 42(3), 1988, hal Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, Op.cit,. hal A SC FISIP UI

12 kerja asing, serta tingkat kesulitan perizinan usaha juga menjadi pertimbangan penting bagi sebuah perusahaan untuk memiliki commercial presence di luar negeri. Dengan pembahasan tersebut, kedua peneliti ini menyatakan pesimismenya bahwa tampaknya kita tidak akan melihat kemajuan yang berarti dalam perdagangan jasa di ASEAN dalam waktu dekat ini. 12 Berkaitan dengan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN yang merupakan salah satu aspek penting dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN, pesimisme senada juga muncul. Chia Siow Yue, misalnya, menyebutkan bahwa hampir semua negara (anggota ASEAN) beralih dari kebijakan, peraturan, dan praktik-praktik yang ditujukan untuk memproteksi tenaga kerja terampil dan profesional dalam negeri dari kompetisi dengan tenaga asing. 13 Chia Siow Yue juga mengatakan bahwa salah satu mekanisme terpenting untuk menyukseskan liberalisasi sektor jasa ASEAN, yaitu kesepakatan-kesepakatan MRA, pun memiliki banyak masalah. Perundingannya memakan waktu yang lama dan rumit karena adanya perbedaan tingkat pembangunan di antara negara-negara ASEAN. Tak hanya perundingannya yang rumit dan memakan waktu, ia juga mengatakan bahwa implementasinya juga sering tersendat. Terlebih lagi, ia menyebutkan bahwa perundingan MRA tidak bisa secara otomatis diartikan terbukanya akses pasar dan mobilitas intra-asean yang efektif. Kondisi ini disebabkan oleh peraturan dan praktik bisnis domestik yang menghalangi mobilitas tersebut, termasuk aturan-aturan hukum yang termuat dalam undang-undang maupun aturan lainnya (seperti pembatasan pekerja asing dalam sektor tertentu, persyaratan dan prosedur visa, harus adanya pembuktian bahwa sebuah perusahaan membutuhkan tenaga kerja asing, dan seterusnya). 14 Kajian-kajian tersebut tidak mampu memberikan gambaran yang utuh mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan liberalisasi sektor jasa di ASEAN karena tidak melihat adanya pro-kontra terhadap gagasan liberalisasi sektor jasa itu sendiri. Gagasan liberalisasi (termasuk sektor jasa) berakar dari satu pemikiran ekonomi yang bukannya tanpa kritik. Dengan demikian, banyak kelompok masih memandang liberalisasi sektor jasa dengan pandangan negatif, sehingga masih melakukan penolakan-penolakan melalui berbagai saluran yang ada, termasuk melalui konstitusi. Hal inilah yang membuat proses perundingan dan implementasi MRA, dalam bahasa Chia Siow Yue, rumit dan berlarut-larut. Sayangnya, kebanyakan peneliti yang berlatarbelakang ekonomi ini mengkritik keadaan tersebut ( rumit dan berlarut-larut ) namun tidak lebih jauh lagi mencoba memahami mengapa hal tersebut menjadi berlarut-larut. Aspek penting kedua yaitu berkaitan dengan pemahaman bahwa kebijakan luar negeri adalah sebuah two level game, yang mengharuskan pemerintah sebuah negara tidak hanya bernegosiasi dengan negara lain saja, namun juga harus berunding dengan berbagai kelompok di dalam negeri. Dengan memahami dua hal tersebut, kita dapat memahami kenyataan bahwa meskipun dokumen ASEAN (yang tentunya disepakati oleh negara-negara anggota) memandang liberalisasi sektor jasa dengan sangat positif, banyak negara ASEAN cenderung berhati-hati untuk mengimplementasikannya dalam kebijakan nasional. 12 Ibid,. Hal Chia Siow Yue, Op.cit,. hal Ibid,. hal A SC FISIP UI

13 Penelitian ini mencoba mempertimbangkan kedua faktor itu di dalam penelitian melalui focus group discussion dengan para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN, terutama asosiasi-asosiasi profesi. I.3. Tujuan Penelitian Berangkat dari pemahaman tersebut, penelitian ini mencoba memberikan sumbangsih pada pembuatan kebijakan berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan melihat kepentingan nasional Indonesia sebagai pertimbangan utamanya. Untuk lebih fokus, penelitian ini mengkaji satu aspek khusus yaitu daya saing pekerja terampil Indonesia di delapan sektor yang telah disepakati di dalam Mutual Recognition Arrangement atau Mutual Recognition Agreement Framework. Penelitian ini dirancang untuk: (1) mendapatkan gambaran mengenai nilai strategis berbagai sektor jasa yang disepakati di dalam ASEAN MRA dan MRA Framework; (2) memetakan daya saing pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor tersebut; (3) mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan muncul berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN di masing-masing sektor jasa; dan (4) memberikan rekomendasi kebijakan. I.4. Konseptualisasi Untuk tujuan pembahasan, kajian ini memberikan beberapa pembatasan konsep. Pertama, konsep sektor jasa. Rujukan tentang rincian sektor jasa mengacu pada dokumen resmi GATS/WTO dan ASEAN. Dokumen Cetak Biru KEA sendiri menggunakan dokumen GATS W.120 sebagai rujukan untuk melakukan klasifikasi terhadap sektor jasa. Kedua, konsep liberalisasi. Pengertian yang dianut adalah tindakan-tindakan kebijakan yang dibuat dengan sengaja oleh pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan (entry barriers) dalam lalu lintas barang dan dan jasa antar negara. Ketiga, pekerja terampil (skilled labor). Definisi yang dianut bersifat terbatas. Pengertiannya adalah pekerja dalam sektor jasa dan memiliki mobilitas untuk berpindah kerja antarnegara baik sebagai individu maupun bagian dari pekerja perusahan multinasional. Istilah pekerja terampil juga meliputi tenaga ahli dan profesional. Keempat, mobilitas tenaga kerja terampil. Merujuk pada Chia Siow Yue (2011), konsep ini sealur dengan istilah movement of natural persons (MNP) dalam GATS/WTO yaitu mobilitas individul terampil dan para professional untuk kurun waktu yang tertentu baik sebagai individu yang mempekerjakan dirinya (selfemployed) atau sebagai pekerja dari suatu perusahan multinasional. Oleh sebab itu yang termasuk dalam MNP misalnya adalah para pengunjung bisnis, para investor dan pedagang yang melaksanakan kegiatan investasi dan perdagangan, perpindahan tenaga kerja antar perusahaan multinasional, dan kalangan profesional antara lain dokter, perawat, pengacara, akuntan, insinyur teknik, pekerja profesional IT, dan sebagainya. Karena itu, pengertian mobilitas, mengutip pendapat Marry Grace L tidak berarti absolute mobility atau totally free tetapi mobilitas yang terkelola 13 A SC FISIP UI

14 (managed mobility) atau melalui istilah perpindahan yang dipermudah (facilitated entry). 15 I.5. Cakupan Penelitian Penelitian ini akan berfokus pada 8 sektor jasa yang telah disepakati di dalam MRA atau MRA Framework. Pemilihan sektor berdasarkan MRA ini juga relevan karena penelitian ini berfokus pada daya saing tenaga terampil Indonesia. Kedelapan sektor tersebut adalah: Tabel I.1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual Recognition Arrangement Framework No Sektor Keterangan Waktu Disepakati 1 Engineering services MRA Desember Nursing Services MRA Desember Architectural Services MRA November Surveying MRA Framework November 2007 Qualifications 5 Medical practicioners MRA Februari Dental practicioners MRA Februari Accountancy Services MRA Framework Februari Tourism Professionals MRA Januari 2009 I.6. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah metode kualitatif. Metode yang pertama adalah kajian literatur. Ada dua sumber dokumen yang dianalisis. Pertama adalah sumber-sumber primer yang mencakup dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh ASEAN, kerangka regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang terkait dengan liberalisasi sektor jasa maupun wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. Kedua adalah sumber sekunder berupa laporan-laporan yang telah dihasilkan oleh berbagai lembaga kajian tentang liberalisasi sektor jasa baik di Indonesia maupun negara-negara ASEAN lainnya. Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang kondisi di berbagai sektor jasa tersebut, penelitian juga menggunakan wawancara mendalam (in depth interview) dan Focus Group Discussions. Sebagai sebuah penelitian kualitatif yang mementingkan kedalaman pemahaman, penelitian ini tidak dimulai dari metode yang kaku dan tidak berubah. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, penelitian ini secara fleksibel membangun konsep seiring dengan temuan-temuan baru yang ditemukan di dalam penelitian. Sebagai contoh, penelitian ini tidak langsung membuat standar tunggal untuk mengukur daya saing 8 sektor jasa tersebut. Seiring dengan berjalannya penelitian, terutama melalui interaksi dengan berbagai pihak yang terkait dengan 15 Mary Grace L. Riguer, ASEAN 2015: Implications of People Mobility and Services,ILS Discussion Paper Series 2012, hal. 11, diakses dari Implications-of-People-Mobility-and-Services1.pdf, Kamis, 22 Agustus A SC FISIP UI

15 liberalisasi sektor jasa ini, penelitian ini menggunakan tiga dimensi untuk mengukur daya saing sektor jasa, yaitu: (1) Sumber Daya Manusia (kualitas dan kuantitas); (2) Tata kelola; (3) Infrastruktur pendukung. Istilah infrastruktur di sini merujuk kepada An underlying base or foundation especially for an organization or system 16 secara fleksibel. Sesuai dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, definisi tersebut tidak diterapkan secara kaku dan sama untuk setiap sektor jasa. Dalam penelitian ini, aspek infrastruktur yang dilihat (fasilitas pendidikan, sarana transportasi, dan lain-lain) akan ditentukan seiring dengan berjalannya penelitian di dalam sektor tersebut. Di masing-masing sektor, berdasarkan FGD dan kajian literatur di sektor tersebut, kita akan melihat infrastruktur apa yang signifikan mempengaruhi daya saing pekerja terampil di sektor itu. Perumusan Masalah Liberalisasi sektor jasa ASEAN Daya saing pekerja terampil Indonesia Bagan I.1. Alur Logika Penelitian Konseptualisasi Sektor jasa Liberalisasi Pekerja terampil Mobilitas tenaga kerja terampil Pemetaan Sektor Jasa Identifikasi Sektor: GATS W/120 Pemilihan sektor Pengenalan terhadap nilai strategis Pemetaan daya saing pekerja terampil masing-masing sektor Identifikasi pemangku kepentingan Identifikasi Hambatan Pendekatan kualitatif, ditopang oleh pendekatan kuantitatif Analisis dokumen Focus Group Discussion dengan pemangku kepentingan terkait Pemetaan hambatan di masing-masing sektor Luaran Laporan akhir: pemetaan daya saing tenaga kerja terampil Indonesia dan hambatanhambatannya Rekomendasi kebijakan untuk optimalisasi manfaat liberalisasi sektor jasa ASEAN 16 The American Heritage Dictionary of the English Language, 4th Ed. (Boston: Houghton Mifflin Company, 2000). Diakses dari 15 A SC FISIP UI

16 Berkat dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini terlaksana dengan baik pada bulan Juli hingga bulan Desember Selama periode tersebut, semua kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan, meskipun dengan berbagai penyesuaian karena berbagai faktor. Sebagai contoh, FGD yang dilakukan oleh tim peneliti berhasil menghadirkan 6 Asosiasi profesi. Dengan demikian, masih ada lagi dua sektor yang belum berhasil dihadirkan dalam FGD karena permasalahan yang bersifat teknis (tidak ada waktu yang cocok). Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penelitian ini kemudian melakukan wawancara mendalam kepada narasumber dari dua asosiasi yang belum terlibat di dalam Focus Group Discussion, yaitu Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Kajian literatur dilaksanakan terus menerus selama penelitian ini, namun data-data yang mendalam didapatkan dari Focus Group Discussion yang melibatkan 8 asosiasi profesi atau lembaga yang terkait dengan 8 sektor jasa yang disepakati dalam MRA atau MRA Framework. Seiring dengan berjalannya penelitian, tim peneliti melakukan penyesuaian terhadap daftar yang akan dilibatkan dalam FGD berdasarkan relevansi pemangku kepentingan yang akan diundang tersebut. Tim peneliti juga memutuskan untuk membuat FGD ke dalam beberapa sesi supaya data yang didapatkan dapat lebih mendalam dan utuh. FGD akhirnya terlaksana dalam dua kali tanggal pelaksanaan, yaitu: FGD I: 26 Oktober 2013 FGD yang pertama ini dilaksanakan di Ruang Nurani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. FGD ini menghadirkan 4 (empat) Asosiasi profesi di antara 8 sektor yang diteliti. Keempat asosiasi tersebut adalah: (1) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang mewakili sektor jasa keinsinyuran, (2) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang mewakili sektor jasa keperawatan, (3) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang mewakili sektor jasa arsitek, dan (4) Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia yang mewakili sektor jasa pariwisata. Selain keempat asosiasi tersebut, hadir pula perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, serta kalangan akademisi. FGD II, 15 November 2013 FGD yang kedua terlaksana pada tanggal 15 November 2013 di Gedung Kuntjoroningrat, FISIP UI. Dalam FGD ini, pihak yang hadir adalah Ikatan Akuntan Indonesia dan Badan Informasi Geospasial. Ikatan Akuntan Indonesia mewakili sektor jasa akuntan dan Badan Informasi Geospasial dianggap representatif untuk berbicara masalah ini karena badan ini mengurusi sertifikasi tenaga kerja dalam bidang pemetaan di Indonesia. 16 A SC FISIP UI

17 Selain FGD, wawancara mendalam juga dilakukan pada 13 Desember 2013 dengan narasumber dari Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia. I.7. Susunan Laporan Penelitian Laporan ini disusun ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai penelitian ini, mulai dari pertanyaan masalah hingga metodologi yang digunakan, serta gambaran umum sektor jasa di Indonesia. Bagian kedua adalah bagian inti dari laporan ini yang berisi gambaran dalam setiap sektor. Di setiap sektor, dibahas mengenai isi MRA atau MRA Framework di sektor tersebut. Hal ini penting untuk melihat dampak MRA bagi sektor yang dibahas. Selanjutnya, di masing-masing pembahasan diberikan gambaran umum sektor untuk memberikan gambaran tentang nilai strategis dari sektor tersebut bagi Indonesia. Selanjutnya, laporan ini mengelaborasi dimensi-dimensi yang mempengaruhi daya saing tenaga kerja terampil Indonesia di sektor tersebut, yaitu: (1) kondisi sumber daya manusia; (2) tata kelola; dan (3) infrastruktur. Setelah itu, masing-masing bagian akan memberikan rekomendasi kebijakan untuk masing-masing sektor berdasarkan pembahasan permasalahan di masing-masing dimensi yang dibahas. Bagian ketiga berisi kesimpulan umum dari penelitian ini dan rekomendasirekomendasi kebijakan untuk pemangku kepentingan terkait. 17 A SC FISIP UI

18 II Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia: Potensial tapi Belum Optimal II.1. Pendahuluan Sektor jasa adalah salah satu sektor yang belakangan ini mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak di Indonesia. Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, menyampaikan bahwa peran sektor jasa dalam perdagangan internasional sangat penting dan oleh karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk terus mendukung sektor tersebut. Menurutnya, semakin maju perekonomian suatu negara, sektor jasa menjadi semakin penting dan melampaui pentingnya sektor agrikultur dan industri. 17 Pandangan senada juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat, yang menyampaikan bahwa sektor jasa adalah sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia dan menyumbang sekitar 60-80% dalam penurunan kemiskinan di Indonesia. 18 Di sektor swasta, berbagai pihak juga dengan serius memperbincangkan sektor tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), misalnya, menyelenggarakan Indonesia Services Dialogue dengan dukungan dari U.S. Agency for International Development (USAID) untuk mendorong perbaikan kebijakan di sektor jasa. 19 Pada saat yang bersamaan, banyak pihak juga mengakui bahwa sektor jasa Indonesia masih belum optimal. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Suryo Bambang Sulisto, menyampaikan bahwa Indonesia banyak kehilangan peluang di industri jasa. Kehilangan potensi keuntungan ini, yang menurutnya disebabkan oleh dominasi asing di sektor tersebut, jika diangkakan dapat mencapai sekitar 10 Milyar USD. 20 Sebelum membicarakan sektor-sektor jasa yang lebih spesifik pada bagian selanjutnya, penting untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi sektor jasa di Indonesia. Bagian ini dituliskan untuk memberikan gambaran umum yang singkat kepada pembaca mengenai sektor jasa di Indonesia tersebut. 17 Sektor Jasa Berpotensi Naikkan Daya Saing Indonesia, Republika, Jumat, 19 April 2013, diakses dari 18 Sektor Jasa Pegang Peranan Penting dalam Perekonomian Indonesia, diakses dari 19 Sila lihat 20 Sektor Jasa Belum Optimal, Riau Pos, 12 Oktober Diakses dari 18 A SC FISIP UI

19 II.2. Sektor yang Tumbuh dan Semakin Penting Sektor jasa adalah sektor yang tumbuh dengan sangat pesat di Indonesia, terutama dalam satu dekade terakhir ini. Kontribusinya bagi Pendapatan Nasional tercatat terus meningkat. Pada awal tahun 2000-an, sektor jasa menyumbang 44% dari GDP. Pada tahun 2010, kontribusi sektor jasa sudah mencapai lebih dari 50%. 21 Perkembangan ini dapat terlihat dengan jelas di dalam grafik berikut ini: Grafik II.1. Komposisi GDP berdasarkan Sektor Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia, Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di Meskipun demikian, banyak kalangan yang juga melihat hal ini dengan hatihati karena pertumbuhan sektor jasa ini bersamaan dengan merosotnya sektor industri. Sebagaimana dicatat oleh Chris Manning dan Haryo Aswicahyono (2012), Indonesia mengalami fenomena yang berbeda dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal perbandingan antara pertumbuhan sektor jasa dan sektor manufaktur. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, jasa tercatat tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan manufaktur yang tumbuh dengan sangat lambat. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia di mana sektor manufaktur berkembang sama cepatnya dengan sektor jasa di kedua negara tetangga tersebut (meskipun tetap lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan di masa sebelum krisis Asia 1997/1998). 22 Pertumbuhan sektor jasa ini juga terlihat dari jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut yang meningkat dengan pesat. Pada tahun 2000, ada sekitar 35 juta orang yang bekerja di sektor jasa dan terkait-jasa (services and 21 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia, Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di 22 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit. 19 A SC FISIP UI

20 services-related). Dalam sepuluh tahun, jumlah yang terlibat dalam sektor jasa menjadi 49,18 juta orang atau meningkat sekitar 14,18 juta orang. 23 Berkaitan dengan perdagangan, jumlah pekerjaan yang disediakan sektor jasa yang terkait dengan semua kegiatan ekspor (dengan mempertimbangkan hubungan langsung maupun tak langsung) tercatat lebih besar dari jumlah total pekerjaan yang diciptakan oleh semua ekspor manufaktur (makanan olahan, industri ringan dan berat). Ada 7,1 juta pekerjaan yang disediakan oleh sektor jasa yang terkait dengan kegiatan ekspor dan hanya 5 juta pekerjaan yang diciptakan oleh semua ekspor manufaktur. 24 Di dalam sektor jasa, ada beberapa kegiatan sektor jasa yang utama yang menyerap tenaga kerja paling banyak. Sektor perdagangan ritel adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak dengan 32% (tahun 2010), disusul dengan konstruksi (11%), pendidikan (9%), serta hotel dan restoran (8%). 25 Komposisi lengkapnya dapat dilihat dari grafik berikut ini: Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama, Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia, Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa sektor jasa adalah sektor yang semakin penting bagi perekonomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan nasional maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Dalam konteks ini, berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan liberalisasi 23 ILO Statistics (2013), dikutip dari Siti Tri Joelyartini, Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, presentasi dalam Focus Group Discussion di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 26 Oktober Ibu Siti Tri Joelyartini adalah Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan. 24 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit. 25 Ibid. 26 Manning dan Aswicahyono menyusun grafik tersebut dengan mengolah data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) A SC FISIP UI

21 sektor jasa yang menjadi salah satu elemen penting di dalamnya diharapkan dapat mendorong tumbuhnya sektor jasa dan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal Meskipun demikian, kita juga menyaksikan bahwa banyak pihak masih meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para pekerja Indonesia. Para pelaku sektor jasa yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi profesi yang diundang dalam FGD untuk penelitian ini secara umum menyampaikan kekhawatiran mereka bahwa liberalisasi sektor jasa akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku sektor jasa di dalam negeri. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita melihat neraca perdagangan jasa, Indonesia terus menerus mengalami defisit yang besar. Nilai impor jasa kita sekira dua kali lipat dari ekspor jasa kita, sehingga defisit kita mencapai lebih dari 10 milyar USD. Defisit ini terjadi secara konsisten hingga tahun 2012, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini. Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, (dalam juta USD) Sektor Jasa A. Jasa Transportasi B. Jasa Perjalanan (Travel) C. Jasa Komunikasi D. Jasa Konstruksi E. Jasa Asuransi F. Jasa Keuangan G. Jasa Komputer dan Informasi H. Royalti dan Imbalan Lisensi I. Jasa Bisnis Lainnya J. Jasa Personal, Kultural & Rekreasi K. Jasa Pemerintah Sumber: Siti Tri Joelyartini, Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Data asli diolah dari data Direktorat Statistik dan Ekonomi Moneter Bank Indonesia. 21 A SC FISIP UI

22 Di antara sektor-sektor jasa utama, hanya sektor jasa perjalanan (travel), komunikasi, dan jasa pemerintah yang secara stabil mengalami surplus. Satu kabar yang cukup menggembirakan adalah bahwa sektor jasa konstruksi juga mulai mengalami surplus sejak tahun 2011 dan kecenderungannya meningkat. Mengapa kita mengalami defisit dalam neraca perdagangan jasa? Salah satu yang dianggap menyebabkan masalah tersebut adalah permasalahan daya saing. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menyampaikan bahwa di banyak sektor jasa, pemain Indonesia kalah bersaing dengan pemain dari luar, seperti misalnya dalam sektor kesehatan (pasien Indonesia lebih memilih berobat ke Singapura) atau transportasi (penggunaan kapal asing untuk mengangkut barang dalam kegiatan ekspor impor atau sering disebut sebagai freight). 27 II.4. Sektor Jasa dan Daya Saing Tenaga Kerja Terampil Saat ini, kita belum memiliki parameter yang mengukur daya saing satu sektor jasa secara spesifik, kecuali di dalam sektor pariwisata (yang dikeluarkan oleh World Economic Forum). Untuk itu, pembahasan ini akan berangkat dari gambar besar daya saing Indonesia dengan melihat Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index). Indeks Daya Saing Global yang dipublikasikan setiap tahun oleh World Economic Forum memotret daya saing dari 142 negara di dunia. Indeks tersebut disusun dengan menggunakan 12 pilar yang digolongkan ke dalam tiga kategori yang disebut subindex, yaitu basic requirements (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat factor-driven ), efficiency enhancers (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat efficiency-driven, dan innovation and sophistication factor (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat innovation-driven ). Pilar yang masuk dalam subindeks basic requirements adalah: (1) institusi; (2) infrastruktur; (3) makroekonomi; dan (4) kesehatan dan pendidikan dasar. Pilar yang masuk ke dalam subindeks efficiency enhancers yaitu: (1) pendidikan tinggi dan pelatihan; (2) efisiensi pasar barang; (3) Efisiensi pasar tenaga kerja; (4) Perkembangan pasar keuangan; (5) Kesiapan teknplogi; dan (6) Ukuran pasar. Sementara itu, pilar yang masuk ke dalam subindeks innovation and sophistication factors adalah business sophistication dan inovasi. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Sektor Jasa Belum Optimal, Riau Pos. 28 Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report , (Jenewa: World Economic Forum, 2013), halaman A SC FISIP UI

23 Bagan II.1. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global Peringkat Indonesia di dalam Indeks Daya Saing Global meningkat dari peringkat 50 pada tahun 2012 menjadi peringkat 38 pada tahun Pada Indeks tersebut tahun 2012/2014, kita berada di bawah Singapura (peringkat 2 dunia), Malaysia (peringkat 25), Brunei (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38). 30 Walaupun Indonesia masih berada di bawah negara-negara tersebut, peningkatan peringkat Indonesia cukup signifikan. Indonesia berada tepat satu peringkat di bawah Thailand. Tabel II.2. Peringkat Negara-Negara Anggota ASEAN dalam Indeks Daya Saing Global Negara Peringkat Singapura 2 Malaysia 24 Brunei 26 Thailand 37 Indonesia 38 Filipina 59 Vietnam 70 Laos 81 Kamboja 88 Myanmar 139 Sumber: data diolah dari 29 Ibid., halaman Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report , (Jenewa: World Economic Forum, 2013). 23 A SC FISIP UI

24 Peningkatan ini secara umum disebabkan oleh kemajuan di dalam 10 dari 12 pilar yang digunakan untuk menilai indeks. Kemajuan paling pesat terjadi di pilar infrastruktur dan efisiensi pasar tenaga kerja. Meskipun demikian, penting untuk mencatat bahwa di 12 pilar tersebut, Indonesia masih banyak tertinggal. Salah satu kecenderungan yang mengkhawatirkan adalah penurunan di aspek kesehatan, terutama disebabkan oleh meningkatnya ancaman penyakit menular dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan, yang mempengaruhi nilai di subindeks basic requirements. 31 Pelonjakan peringkat Indonesia ternyata juga ditanggapi dengan skeptis. Banyak pelaku bisnis dan pengamat ekonomi yang terkejut dengan kenaikan peringkat Indonesia yang terutama disebabkan oleh peningkatan dalam infrastruktur, yang melihat bahwa pembangunan infrastruktur masih mandeg. 32 Berkaitan dengan tidak adanya satu parameter yang disepakati untuk mengukur daya saing pekerja terampil di sektor jasa, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat induktif. Alih-alih menetapkan pilar-pilar yang rigid untuk mengukur daya saing seperti dalam Indeks Daya Saing Global, penelitian ini mendiskusikan mengenai ukuran-ukuran kesiapan tersebut bersama dengan para pelaku atau tenaga kerja terampil di sektor tersebut. Melalui berbagai interaksi tersebut, penelitian ini kemudian menggunakan tiga dimensi yang menjadi panduan : (1) aspek sumber daya manusia; (2) tata kelola/regulasi; dan (3) infrastruktur. Ketiga dimensi tersebut tidak diperlakukan sebagai ukuran parametrik, namun sebagai panduan untuk menyelami permasalahan di masing-masing sektor jasa yang dibahas di dalam penelitian ini. 31 Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2013/ Pengusaha dan Pengamat Pertanyakan Indeks Daya Saing, diakses dari 24 A SC FISIP UI

25 III Jasa Keinsinyuran (Engineering Services) III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services Perjanjian MRA ASEAN dalam bidang sektor keinsinyuran (engineering services) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Indonesia diwakilkan oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Berbeda dengan sektor survei dan sektor akuntansi, MRA dalam sektor keinsinyuran telah ditandatangani oleh kesepuluh negara dan bukan lagi merupakan kerangka kerja (framework). Tujuan dari MRA sektor jasa keinsinyuran adalah untuk memfasilitasi perdagangan dan sebagai stimulan aktivitas ekonomi antarpihak melalui penerimaan kompetensi SDM dalam hal standar, kualifikasi, sertifikasi dan lisensi. Dalam artikel 1 MRA sektor keinsinyuran dijelaskan bahwa tujuan dari adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini adalah untuk memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran profesional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi. Di dalam MRA ini, terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa keinsinyuran. Apa yang dinamakan dengan sektor keinsinyuran (engineering services) merujuk kepada aktivitas yang berada di lingkup Central Product Classification (CPC) Code 8672 dari Provisional CPC yang diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Selain itu, apa yang disebut dengan graduate engineer merujuk kepada setiap warga negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di bidang keinsinyuran yang telah memperoleh pengakuan dan diakreditasi oleh otoritas nasional di suatu negara. Berbeda dengan graduate engineer, professional engineer (practitioner) merujuk kepada:..natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and is assessed by a Professional Regulatory Authority (PRA) of any participating ASEAN Member Country as being technically, morally, and legally qualified to undertake independent professional engineering practice and is registered and licensed for such practice by the Authority. ASEAN Member Countries may have different nomenclatures and requirements for this term. 33 Sebenarnya, tujuan umum dari MRA bidang keinsinyuran ini adalah untuk menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, metode dan spesialisasi yang secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negara-negara ASEAN. Ada tiga prinsip yang dilakukan dalam penyelenggaraan MRA bidang keinsinyuran ini, antara 33 MRA on Engineering Services Article A SC FISIP UI

26 lain: transparansi, ekuivalensi, dan harmonisasi. Dari transparansi inilah yang sedang digalakkan oleh Indonesia dalam hal sertifikasi yang transparan agar mampu memanfaatkan celah untuk menemukan hambatan (barriers) yang diciptakan untuk menahan aliran profesional keinsinyuran negara lain masuk ke Indonesia. Di lain sisi, transparansi ini dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa kualifikasi dan standar kompetensi di Indonesia memiliki kredibilitas yang baik. Ekuivalensi dimaksudkan agar keseragaman dalam hal standardisasi profesi keinsinyuran di masing-masing negara bisa diwujudkan melalui MRA ini. Hal tersebut bisa diwujudkan melalui harmonisasi kebijakan dari masing-masing negara yang disesuaikan dengan MRA yang sudah disepakati bersama. Agar seorang professional engineer bisa berpraktik di negara tujuan (host country) dan memperoleh gelar ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain mencakup: Telah menyelesaikan pendidikan tinggi bidang keinsinyuran Mendapatkan izin (lisensi) dari otoritas profesi nasional untuk berpraktik mandiri. Memiliki pengalaman kerja 7 tahun, 2 tahun di antaranya adalah pengalaman kerja di bidang keinsinyuran Sejalan dengan kebijakan Continuing Professional Development (CPD) dengan tingkat yang memuaskan Memperoleh sertifikat dari badan penyelenggara nasional dan tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika syarat di atas telah dipenuhi, maka professional engineer bisa mendaftarkan diri ke ACPE Coordinating Committee di bawah ACPE Registers. Insinyur yang telah memperoleh sertifikat ACPE bisa mendaftarkan diri kepada otoritas pengaturan profesional di host country untuk dicatat sebagai Registered Foreign Professional Engineers (RFPE). Jika seorang ACPE akan bekerja di host country, persyaratannya adalah ia tidak bisa bekerja secara mandiri, namun harus berkolaborasi dengan insinyur lokal yang telah memiliki standar kualifikasi yang sama. Adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini sebenarnya merupakan awal untuk masuk ke dalam penetrasi pasar bebas sektor keinsinyuran, awal untuk memastikan bahwa keseragaman dari kualitas sektor jasa keinsinyuran di negaranegara ASEAN itu sama. 34 Masih banyak peraturan dan standar yang bisa dibuat untuk mengarahkan kepada efisiensi dan daya saing. Tidak bisa diartikan bahwa kualitas insinyur dari seluruh negara ASEAN harus sama karena perbedaan titik awal dan kualitas SDM yang ada di berbagai negara ASEAN. Semisal, SDM insinyur di Singapura tidak bisa disamakan begitu saja dengan SDM insinyur di Filipina, atau negara lainnya. Dalam bidang keinsinyuran, sebenarnya di MRA ada dua yang diatur, pertama adalah bidang keinsinyuran (engineering services) dan sektor arsitektur (architectural services). Akan tetapi, keduanya dipisah karena sekalipun sama-sama rumpun keinsinyuran namun mempunyai karakteristik yang berbeda. Di Indonesia, 34 Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia dalam FGD di FISIP UI, 26 Oktober A SC FISIP UI

27 asosiasi yang membidangi keinsinyuran adalah Persatuan Insinyur Indonesia yang dibentuk pada tahun 1952 dan saat ini dipimpin oleh Ir. Bobby Gafur Umar, MBA hingga tahun III.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keinsinyuran Jasa keinsinyuran adalah jasa yang krusial khususnya dalam hal pembangunan fisik, infrastruktur, dan teknologi di suatu negara. Tanpa adanya sektor keinsinyuran, sektor-sektor ekonomi lainnya tidak akan berjalan, misal tidak adanya jalan yang memadai untuk mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lain; tidak berkembangnya fasilitas publik yang dibutuhkan, dan lain sebagainya. Di Indonesia, jasa keinsinyuran didasarkan pada bidang keilmuan dalam rumpun teknik dari kurikulum yang ada. Indonesia mengenal ada 12 jenis bidang dalam sektor keinsinyuran, antara lain: 1. Teknik Sipil 2. Teknik Mesin 3. Teknik Elektro 4. Teknik Fisika 5. Teknik Perminyakan 6. Teknik Industri 7. Teknik Geodesi 8. Teknik Kelautan 9. Teknik Kimia 10. Teknik Lingkungan 11. Teknik Pertambangan 12. Teknik Aeronautikal Sementara, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, nomenklatur dalam bidang keinsinyuran berbeda. Semisal, di Singapura, hanya diatur tiga bidang keinsinyuran saja, yakni teknik sipil, teknik elektro, dan teknik mesin, di Thailand dan Malaysia juga mempunyai nomenklatur yang berbeda dalam pengaturan bidang keinsinyuran. Hal ini sebenarnya memberikan tantangan bagi Indonesia, khususnya ketika ada insinyur Indonesia yang ingin bekerja di luar. Semisal insinyur Indonesia tersebut ahli dalam teknik perminyakan dan ingin bekerja di Singapura, sementara di Singapura hanya diatur tiga bidang keteknikan saja teknik perminyakan masuk ke dalam teknik sipil, semisal. Maka insinyur Indonesia tersebut harus mengambil tes yang disyaratkan oleh otoritas di Singapura agar kompetensi insinyur teknik perminyakan ini sesuai dengan kompetensi insinyur bidang teknik sipil. Nomenklatur-nomenklatur yang berbeda ini yang kemudian menjadi masalah, khususnya di Indonesia yang mempunyai bidang keinsinyuran yang banyak. Hal seperti itulah yang membuat sektor ini menjadi semakin kompleks karena beragamnya peraturan-peraturan yang terkait dengan penyediaan jasa keinsinyuran di masing-masing negara. Masing-masing negara memiliki lembaga sendiri yang memberikan lisensi bagi para insinyur dengan peraturan dan persyaratan yang berbeda-beda. 35 Diakses dari 27 A SC FISIP UI

28 Berkaitan dengan hal tersebut, kalangan asosiasi profesi keinsinyuran yang diwakili oleh Persatuan Insinyur Indonesia memandang perlunya memanfaatkan celah-celah yang bisa digunakan untuk menciptakan hambatan-hambatan agar arus masuk insinyur asing ke Indonesia bisa diperketat, semisal dengan mengeluarkan peraturan kebijakan yang mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan unsur lokal dalam produk keinsinyuran sehingga mau tidak mau insinyur asing harus mempelajari karakteristik lokal dalam keinsinyuran di Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari internal profesi insinyur di Indonesia, sudah siapkah sebenarnya mereka dalam menghadapi pasar bebas ASEAN? Apakah kebutuhan dalam negeri sudah mencukupi? Apakah infrastruktur yang diperlukan memadai untuk menunjang peningkatan kualitas SDM insinyur Indonesia? Bagaimana regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang keinsinyuran? III.3. Permasalahan SDM Insinyur Indonesia: Kekurangan Kuantitas & Kualitas Salah satu indikator dalam menentukan permasalahan insinyur di Indonesia adalah pemenuhan insinyur di dalam negeri dengan melihat pertumbuhan sarjana teknik yang dihasilkan oleh Indonesia setiap tahunnya. Akar permasalahannya berada pada pendidikan teknik yang ada di Indonesia secara keseluruhan. Seperti yang disampaikan di paparan sebelumnya bahwa kualitas SDM Indonesia disamakan dengan kualitas SDM insinyur yang ada di Singapura, atau Malaysia, sebab kualitas pendidikan yang menjadi faktor utama. Di Singapura dan Malaysia, universitasuniversitas yang menghasilkan sarjana teknik sebagian besar telah berstandar internasional ABET, sementara di Indonesia, hanya ada satu perguruan tinggi yang telah memperoleh sertifikat akreditasi perguruan tinggi ABET tersebut yaitu Institut Teknologi Bandung dan itu pun hanya di jurusan Teknik Elektronya saja, belum ke semua bidang di ITB. Hal ini yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi penyelenggara pendidikan teknik di Indonesia dan juga kementerian pendidikan yang terkait dalam penyusunan kurikulum dan standar kompetensi pendidikan teknik di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, durasi penyelenggaraan pendidikan teknik di Indonesia yang hanya empat tahun juga berkontribusi pada rendahnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Di luar negeri, durasi minimal untuk program sarjana teknik adalah lima tahun. Namun hal ini dicoba untuk diakali dengan membuat satu tahun tambahan program profesi bagi lulusan sarjana teknik agar persyaratan durasi yang ada di negara lain terpenuhi, tetapi permasalahannya adalah tidak semua lulusan sarjana teknik mengambil program profesi ini. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa penyelenggaraan pendidikan teknik di Indonesia belum sebagus negara-negara tetangga. Sementara jika berbicara masalah kuantitas dalam hal pemenuhan kebutuhan insinyur di dalam negeri, Indonesia masih sangat kekurangan insinyur. Data yang diperoleh dari PII menyebutkan bahwa populasi sarjana teknik di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia terpaut cukup jauh. 28 A SC FISIP UI

29 Grafik III.1. Diagram Populasi Sarjana Teknik di Beberapa Negara Tahun 2008 Sumber: PII 2013 Dari grafik di atas jelas terlihat bahwa dari segi rasio perbandingan populasi sarjana teknik di Indonesia per 1 juta penduduk di tahun 2008 masih sangat kecil dibanding Viet Nam, Malaysia, atau Thailand. Menurut Ketua PII, Bobby Umar, saat ini Indonesia kekurangan sekitar 1,2 juta insinyur. Idealnya, Indonesia memiliki 2 juta insinyur, sementara saat ini hanya memenuhi ribu saja. 36 Hal ini disebabkan salah satunya karena pertumbuhan sarjana teknik di Indonesia per tahunnya juga tidak setinggi negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Data mengenai pertumbuhan sarjana teknik tiap tahunnya tercermin di dalam grafik di bawah ini. 36 Selengkapnya lihat 29 A SC FISIP UI

30 Grafik III.2. Diagram Pertumbuhan Sarjana Teknik di Beberapa Negara: Sumber: PII 2013 Di Indonesia, per tahunnya pertambahan sarjana teknik per 1 juta penduduk hanya sekitar 164 saja, sementara di Malaysia per 1 juta penduduk bisa menghasilkan 367 sarjana teknik. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan kuantitas insinyur di Indonesia sangat terbatas. Jika diproyeksikan di tahun-tahun mendatang, kebutuhan akan sarjana teknik di Indonesia akan semakin meningkat namun pemenuhannya justru akan makin menurun. Persatuan Insinyur Indonesia memproyeksikan bahwa hingga tahun 2030 jika tidak ada perubahan kebijakan pendidikan yang mampu mendorong tumbuhnya sarjana teknik dengan pesat, maka tiap tahunnya Indonesia kekurangan sekitar insinyur dan kekurangan tersebut akan diisi oleh tenaga asing. 30 A SC FISIP UI

31 Grafik III.3. Diagram Proyeksi Kebutuhan Insinyur Indonesia Sumber: PII 2013 Rendahnya pertumbuhan sarjana teknik per tahunnya di Indonesia salah satunya disebabkan rendahnya input yang masuk. Hal ini bisa saja disengaja karena keterbatasan sumber daya pengajar bidang pendidikan teknik sehingga dengan argumen menjaga kualitas maka penyerapan mahasiswa teknik juga dibatasi, atau memang daya tarik fakultas teknik di perguruan tinggi di Indonesia menurun. Menurunnya daya tarik untuk masuk ke fakultas teknik ditengarai ada dua alasan, pertama, minimnya tantangan melakukan inovasi atau pengembangan teknologi, dan kedua, karena tidak ada penghargaan bagi sarjana teknik untuk bisa bekerja di bidang keteknikan, sehingga banyak akhirnya sarjana teknik yang bekerja di luar bidang yang digeluti semasa kuliah. 37 Data-data di atas merupakan analisis secara kuantitas atas pemenuhan kebutuhan insinyur di Indonesia di tahun-tahun mendatang, belum menyentuh aspek kualitas seperti yang dijelaskan di paparan sebelumnya. Jika dilihat secara kualitas, terbatasnya jumlah tenaga pendidik di perguruan tinggi yang menamatkan pendidikan hingga tingkat doktoral juga menjadi salah satu masalah. Ada beberapa alasan mengapa di Indonesia jumlah sarjana S3 di bidang teknik tidak banyak; pertama, karena minimnya pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program doktoral; kedua, mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan doktoral; ketiga, minimnya fasilitas yang ada di dalam negeri untuk menyelenggarakan program doktoral. Dengan terbatasnya jumlah sarjana doktoral tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada minimnya riset dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia. Dengan minimnya riset dan pengembangan, berarti pengembangan teknologi juga kurang berjalan dan sedikitnya 37 Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia saat FGD pada tanggal 26 Oktober 2013 di FISIP UI 31 A SC FISIP UI

32 inovasi, yang berdampak pada rendahnya teknologi yang dipatenkan. Semua hal ini menyebabkan pada rendahnya daya saing insinyur di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. III.4. Kebijakan Pemerintah / Tata Kelola Regulasi Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan bidang keinsinyuran sepertinya juga menjadi satu masalah tersendiri. Sebagai contoh, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, di mana di dalam undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan mineral dan batubara untuk membuat smelter di Indonesia paling lambat tahun Akan tetapi banyak perusahaan yang tidak mematuhinya, seperti Freeport di Papua. 38 Lebih spesifik, pemerintah tidak menyediakan pendidikan bagi masyarakat di daerah perusahaan mineral dan batubara tersebut dan kesalahan kebijakan pemerintah adalah menjual hasil mineral yang diambil dari bumi Indonesia begitu saja tanpa diolah terlebih dahulu sehingga yang diperoleh hanyalah nilai mentah saja tanpa adanya nilai tambah. Hal ini juga menjadi permasalahan yang menyebar ke hal lainnya. Karena tidak adanya peraturan pemerintah untuk mengolah hasil mineral atau batubara atau tambang di Indonesia, maka kesempatan kerja pun juga terbatas bagi sarjana teknik. Akhirnya, bidang non-teknik pun menjadi daya tarik bagi lulusan sarjana teknik. Di antara negara-negara ASEAN, hanya tiga negara yang belum mempunyai Undang-undang Keinsinyuran, yaitu, Indonesia, Laos, dan Myanmar. Saat ini rancangan undang-undang keinsinyuran sedang dibahas di DPR dan diharapkan paling lambat awal tahun 2014 sudah bisa disahkan. Menurut Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, UU Keinsinyuran penting untuk segera disahkan sebab perjalanan menuju MEA sudah semakin dekat. Undang-undang Keinsinyuran ini nantinya akan mengatur kebijakan pemerintah dalam melindungi masyarakat dan sumber daya alam Indonesia. Dalam persaingan di Masyarakat Ekonomi ASEAN nanti, insinyur luar negeri bisa menyerbu ke Indonesia, tetapi insinyur kita tidak bisa ke luar negeri karena kita tidak punya UU Keinsinyuran. Mereka tidak percaya dengan kualitas insinyur kita. 39 Dengan adanya UU Keinsinyuran maka proses standardisasi, sertifikasi, profesionalisme, serta kesetaraan dalam menghadapi MEA 2015 bisa lebih dikendalikan. Pembentukan RUU tersebut melibatkan sejumlah kementerian yaitu Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Riset dan Teknologi. Namun selain adanya tuntutan untuk segera mengesahkan RUU Keinsinyuran, pemerintah juga berharap nantinya jika RUU ini sudah disahkan maka profesi insinyur juga bisa melakukan kerja sama kemitraan antara publik dengan privat, sehingga koordinasi berjalan dengan baik antara pemerintah dengan swasta dan juga profesi insinyur. 38 Selengkapnya, lihat 39 Pernyataan yang diungkapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, dalam menanggapi mendesaknya UU Keinsinyuran untuk segera disahkan. Diambil dari 32 A SC FISIP UI

33 Dalam bidang infrastruktur sektor keinsinyuran, saat ini kurang memadai dan seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa salah satu faktor penarik bagi para lulusan SMA sederajat untuk tidak masuk ke fakultas teknik adalah minimnya fasilitas dan infrastruktur yang ada. Di dalam Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), investasi di dalam bidang infrastruktur secara keseluruhan akan bernilai sebesar triliun rupiah dari 2011 hingga tahun Kondisi infrastruktur saat ini dalam bidang keinsinyuran kurang terutama dalam bidang riset dan pengembangan, juga dalam teknologi yang dikuasai. Makin berkembangnya teknologi menuntut adanya upgrade dalam penguasaan atas teknologi tersebut untuk dimanfaatkan dalam pengembangan infrastruktur. III.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Sektor keinsinyuran merupakan sektor yang penting bagi pembangunan fisik di suatu negara. Sektor ini penting karena menyangkut pengembangan investasi dan penguasaan teknologi, serta berkaitan dengan inovasi. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa rekomendasi yang diusulkan terhadap sektor keinsinyuran: 1. Adanya keperluan mendesak untuk segera mengesahkan RUU Keinsinyuran agar peraturan mengenai profesi insinyur lebih memiliki kualifikasi dibanding sebelumnya yang belum ada UU yang mengaturnya. 2. Koordinasi dengan pemerintah dalam hal pendidikan agar kuantitas dan kualitas sarjana teknik bisa meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas perguruan tinggi penyelenggara pendidikan teknik. 3. Kebijakan pemerintah untuk tidak berorientasi pada penjualan hasil mentah atas sumber daya alam yang diperoleh dari bumi Indonesia dengan tujuan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi sarjana teknik. 4. Perlu adanya insentif dari pemerintah kepada profesi insinyur yang telah memperoleh sertifikat ASEAN. Sebab jika insinyur telah memperoleh sertifikat ASEAN namun tidak ada penghargaan lebih atau insentif dari pemerintah, maka dorongan bagi insinyur untuk mengambil sertifikasi ASEAN tidak akan terwujud. 33 A SC FISIP UI

34 IV Jasa Arsitektur (Architectural Services) IV.1. ASEAN MRA on Architectural Services MRA untuk jasa arsitektur ditandatangani pada tanggal 19 November 2007 di Singapura. Tujuan dari MRA ini dijelaskan dalam empat poin yaitu: Menfasilitasi mobilitas arsitek-arsitek; 2. Melakukan pertukaran informasi dalam upaya mempromosikan pengadopsian best practices dalam hal standar pendidikan arsitektur, praktik profesional dan kualifikasi-kualifikasi lainnya; 3. Melaksanakan spirit kerjasama ASEAN yang menekankan pada distribusi sumber daya yang fair dan benefit melalui riset kolaborasi; 4. Mendorong, menfasilitasi dan membangun pengakuan timbal balik dalam hal jasa arsitek dan menyusun standar dan komitmen untuk melakukan transfer teknologi di antara negara-negara anggota ASEAN. Melihat tujuan MRA jasa arsitek ini, terkesan lebih maju dalam lingkup kegiatannya terutama terkait poin 3 dan 4, yang menekankan distribusi sumber daya yang fair dan riset kolaborasi serta transfer teknologi. Poin-poin ini tidak disebutkan untuk MRA disektor lainnya seperti Keperawatan dan Kedokteran yang seyogyanya bisa juga ditujukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih luas. MRA ini juga mendefinisikan beberapa hal penting terkait istilah yang digunakan di sektor jasa arsitek sebagai berikut : 41 Tabel IV.1. Istilah dalam MRA ASEAN untuk Jasa Arsitektur ISTILAH DEFINISI INTI Architect A natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and has been assessed by a Professional Regulatory Authority (PRA) of any participating ASEAN Member Country as being technically, morally, and legally qualified to undertake professional practice of architecture and is registered and licensed for such practice by the Professional Regulatory Authority (PRA). ASEAN Member Countries may have different nomenclatures Kualifikasi dinilai oleh PRA Terdaftar dan memiliki lisensi 40 ASEAN MRA on Architectural Services diambil dari 41 Ibid. 34 A SC FISIP UI

35 Graduate Architect Registered Foreign Architect (RFA) and requirements for this term. A natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and has satisfactorily completed an architectural program that is assessed as meeting required criteria in architecture determined by a recognised professional architectural body or state authority. ASEAN Architect (AA) who has successfully applied to and is authorised by the Professional Regulatory Authority (PRA) of a Host Country to work, either in independent practice or in collaboration with one or more licensed Architects of the Host Country, where appropriate, in accordance with the prevailing Policy on Practice in Host Nations of the UIA Accord. Seseorang yang menyelesaikan program arsitektur Dinilai dan diakui oleh badan profesi arsitektur atau otoritas pemerintah Seseorang yang memiliki sertifikat AA Melamar ke host country baik secara independen maupun kolaborasi Catatan: Tabel diolah oleh Tim Peneliti Melihat tiga definisi di atas bisa terlihat jenjang yang harus dipenuhi di setiap kategori, yang mana pada dasarnya mensyaratkan kemampuan atau kualifikasi yang diakui baik oleh domestik maupun di level ASEAN. Seperti sektor lainnya, sektor jasa arsitektur juga melibatkan beberapa badan/organisasi dalam implementasi liberalisasi sektor jasa arsitektur ini. Badan-badan tersebut adalah; Profesional Regulatory Authority (PRA), Monitoring Committee (MC), dan ASEAN Architects Council (AAC). Ketiga badan ini memiliki fungsi masing-masing, akan tetapi secara umum bertugas untuk menjamin mobilitas jasa arsitektur berjalan sesuai kesepakatan yang ditandatangani. IV.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Arsitek Arsitek merupakan seseorang yang merancang bangunan dan memberikan advis pelaksanaannya serta sekaligus berperan sebagai pengawas dan pelaksana bangunan. Inti dari arsitek adalah merancang atau mendesain. Jasa arsitek atau yang disebut juga jasa konstruksi memberikan sumbangan dalam distribusi pekerjaan di ektor jasa. Tabel IV.2. Distribusi Pekerjaan di Sektor Jasa Sektor Persentase Perdagangan Ritel 32 Konstruksi 11 Pendidikan 9 Hotel dan Restoran 8 Kegiatan sosial 7 Transportasi Darat 7 Administrasi Pemerintah 7 Layanan Domestik 5 35 A SC FISIP UI

36 Pelayanan lain 14 Sumber: Data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010 dalam Manning dan Aswicahyono (2012), Op.Cit. Selain itu merujuk neraca jasa Indonesia tahun , jasa konstruksi ikut menyumbang nilai surplus yang cukup besar yaitu sekitar US$231 juta. Nilai tersebut menempatkan jasa konstruksi berada pada peringkat ketiga penyumbang defisit setelah jasa travel dan jasa komunikasi menempati posisi 1 dan 2 secara berturut. Dengan demikian sektor jasa arsitektur ini memiliki nilai ekonomis dan strategis dalam perekonomian Indonesia. IV.3. SDM Pelaku jasa arsitek ini tergabung dalam Ikatan Arsitek Indoensia (IAI) yang berdiri pada tanggal 17 September IAI ini memiliki link dengan ikatan profesi yang sama di tingkat regional yang disebut dengan Architects Regional Council of Asia (ARCASIA) dan ASEAN Asscoaition Planning and Housing (APPH). Sementara di level international yang disebut dengan Union Internationale des Architectes (UIA). Di level domestik, IAI tergabung sebagai anggota Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan Forum Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi. IAI bersama dengan LPJK melakukan serfikasi kompetensi dan keahlian arsitek. 42 Dalam hal kualitas, sektor jasa arsitektur Indonesia dapat dikatakan mempunyai daya saing cukup baik. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan dan penjenjangan yang terstruktur dengan baik yang kemudian memperjelas klasifikasi dan kualifikasi tenaga arsitektur. Berdasarkan klasifikasi nasional, tenaga ahli terdiri dari 40 sub klasifikasi termasuk Arsitek. Sementara tenaga terampil memiliki beranekaragam klasifikasi jabatan/pekerjaan. Adapun berdasarkan kualifikasi nasional, tenaga terampil terdiri dari teknisi/mandor/tukang. Sedangkan kualifikasi nasional untuk tenaga ahli dibedakan dalam tiga kategori yaitu ahli utama, ahli madya dan ahli muda. Adapun yang terkait dengan klasfikasi ASEAN, dibagi dalam 2 kategori yaitu untuk jasa arsitek disebut dengan ASEAN Architect (AA), sedangkan untuk insinyur disebut dengan ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). 43 Tabel IV. 3. Tabel Klasifikasi dan Kualifikasi Jasa Konstruksi Klasifkasi Nasional Tenaga Ahli 40 Sub Klasifikasi Tenaga Terampil Beranekaragam pekerjaan Kualifikasi Nasional Tenaga Ahli Teknisi/mandor/Tukang Tenaga Terampil Ahli Utama/Ahli Madya/Ahli Muda Klasifikasi ASEAN Arsitek Insinyur *Data diolah dari FGD 26 Oktober 2013 ASEAN Architect (AA) ACPE (Asean Chartered Professional Engineer) Adapun terkait dengan kuantitas tenaga ahli arsitek, dapat dikatakan masih kurang memadai. Merujuk pada jumlah anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) hanya orang. Jumlah ini sudah termasuk yang sudah purna tugas/wafat/tidak aktif. 42 Lihat 43 Data diambil dari FGD yang diselenggarakan di FISIP UI, 26 Oktober A SC FISIP UI

37 Adapun anggota IAI yang bersertifikat dan bisa berpraktik mandiri hanya 2.965, yang tersebar ke dalam berbagai klasifikasi. Untuk arsitek utama sebanyak 152, arsitek madya dan arsitek muda Sedangkan untuk level ASEAN Architects, hanya ada 45 orang, sementara Singapura dengan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia memiliki 30 orang tenaga ahli berstandar AA. Oleh karena itu, dengan jumlah penduduk yang besar, perlu kebijakan yang mendorong AA Indonesia terus bertambah, apalagi dengan menyongsong pasar bebas ASEAN. 45 Rendahnya jumlah AA Indonesia turut dipengaruhi oleh sistem kependidikan yang menetapkan 4 tahun sebagai masa studi mahasiswa program sarjana, padahal di ASEAN sarjana arsitektur minimal 5 tahun. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan 1 (satu) tahun untuk mendapatkan pendidikan profesi arsitek sesuai dengan durasi yang berlaku ditingkat regional/internasional. Data pada grafik di bawah juga memperlihatkan jumlah sarjana teknik di Indonesia per 1 juta penduduk terendah dibanding negara-negara lainnya. Bahkan Vietnam memiliki lebih banyak sarjana teknik yaitu sekitar 9,037 sarjana. Sedangkan untuk kawasan Asia Timur, Korea memiliki tingkat jumlah sarjana teknik yang sangat memadai. Hal ini tentu saja didukung oleh peran pemerintah yang kuat dalam merumuskan arah pengembangan sarjana teknik di Korea. 46 Grafik IV.1. Jumlah Sarjana Teknik per 1 Juta Penduduk di beberapa Negara Sumber: Data diolah dari FGD pada 26 Oktober 2013 Dalam hal tambahan sarjana teknik per tahun pun Indonesia juga menduduki peringkat terendah disbanding negara-negara lainnya termasuk beberapa negara ASEAN. Untuk negara ASEAN, Malaysia tercatat memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat baik Ibid. 45 Ibid. Lihat juga Peningkatan Jasa Kontruksi terkendala SDM diambil dari 46 Ibid. 47 Ibid. 37 A SC FISIP UI

38 Grafik IV.2. Tambahan Sarjana Tenik per tahun / 1 juta penduduk *Data diambil dari paparan FGD PII 26 Oktober 2013 Untuk sektor jasa arsitektur ini ada beberapa catatan penting yang perlu dicermati. Pertama, fakta bahwa kualitas pendidikan arsitektur yang belum merata. Hanya ada 140 perguruan tinggi tersebar dari Jakarta sampai Maluku Utara dan persebarannya terpusat di Pulau Jawa. Jadi kesenjangan pendidikannya juga sangat berbeda. Hal ini berdampak pada penilaian untuk sertifikasi. Kedepan, sistem sertifikasi akan disentralisir ke daerah, sehingga penilaian dilakukan oleh jasa sertifikasi profesi provinsi. 48 Hal ini akan memberikan dampak bertambahnya peluang putera daerah untuk bisa bersertifikat. Namun satu sisi, hal ini membawa kehawatiran akan menurunya standar sertifikasi sehingga akan sulit bersaing dengan arsitek mancanegara. Kedua, durasi pendidikan dasar arsitektur nasional 4 tahun tidak kompatibel dengan persyaratan yang berlaku secara internasional yaitu 5 (lima) tahun. Selain itu PPArs (Pendidikan Profesi arsitek) belum bisa diselenggarakan secara nasional. Selama ini hanya diselenggarakan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi yang besar saja. IV.4. Tata Kelola/Regulasi Sektor jasa arsitektur merupakan salah satu sektor yang memiliki perangkat kebijakan memadai dibandingkan beberapa sektor lainnya seperti jasa keperawatan. Aturan tersebut antara lain menyangkut kualifikasi arsitektur yang sudah tertata dengan baik. Misalnya seperti yang digambarkan di atas klasifikasi dan kualifikasi sudah dibuat sedemikian rupa sehingga jenjang pendidikan dan profesi arsitek secara jelas dapat dipahami. Terkait dengan durasi masa studi yang tidak sesuai dengan yang disyaratkan di level internasional, dibutuhkan regulasi pemerintah untuk melakukan penyesuaian, dengan mengupayakan koordinasi antara Kemendikbud dan IAI sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas proses sertifikasi. Adapun terkait rendahnya jumlah AA Indonesia antara lain disebabkan sulitnya mendorong arsitek bersertifikat untuk menjadi AA. Akan lebih efektif jika sertifkat daerah/nasional bisa disetarakan dengan AA. 49 Dalam lingkup usulan ini 48 Sistem sertifkasi dapat dilihat dari NYA.pdf 49 Ibid. 38 A SC FISIP UI

39 peran aktif pemerintah dibutuhkan untuk melakukan lobbi dan negosiasi di level regional. IV.5. Infrastruktur Pendukung Dalam hal infrastruktur pendukung untuk mendukung daya saing tenaga profesional dalam sektor jasa arsitektur yang utama adalah fasilitas pendidikan yang memadai termasuk di dalamnya adalah penambahan jumlah institusi pendidikan arsitektur. Selain itu perlu juga meninjau kembali distribusi keberadaan institusi pendidikan tersebut, sehingga semua wilayah memliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan jasa arsitek. Penambahan jumlah institusi kependidikan arsitek akan meningkatkan jumlah sarjana yang dihasilkan. Akan tetapi penting untuk tetap mengutamakan mutu ketimbang mengejar target kuantitas. Faktor kualitas adalah yang terpenting untuk dapat bersaing di pasar ASEAN maupun global. IV. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi Merujuk pada paparan di atas bisa disimpulkan bahwa sektor jasa arsitektur Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu sektor yang kompetitif sekaligus memiliki nilai stratgeis dan ekonomis dalam perekonomian Indonesia. Regulasiregulasi terbangun cukup baik, begitupun koordinasi antar lembaga terkait. Selain itu, standar kompetensi sudah terdefinisikan dengan baik, termasuk di dalamnya kejelasan jenjang pendidikan yang harus dilalui oleh seorang arsitek. Walau demikian terdapat beberapa permasalahan di luar hal-hal tersebut diatas yang perlu ditindak lanjuti yaitu: 1) Kualitas pendidikan arsitektur nasional yang belum merata; 2) Durasi pendidikan dasar arsitektur nasional yang 4 tahun tidak kompatibel dengan persyaratan dunia 5 tahun & PPArs belum bisa diselenggarakan secara nasional dan 3) Kuantitas sarjana arsitek yang cenderung menurun setiap tahun. Berkaitan dengan kondisi tersebut, ada beberapa hal yang dapat diupayakan: 1. Memperbaiki kualitas dan kuantitas serta distribusi institusi pendidikan arsitek. 2. Menyesuaikan durasi pendidikan arsitek nasional supaya kompatibel dengan standar ASEAN. 3. Memperkuat persyaratan praktik lintas batas negara ASEAN dengan persyaratan tambahan. Pemerintah dapat membuat regulasi kandungan lokal dalam setiap karya yang dihasilkan seperti misalnya karakter khas budaya yang ada di wilayah Indonesia. 4. Mempromosikan budaya nasional yang beridentitas, termasuk dalam pilihan gaya arsitektur. 39 A SC FISIP UI

40 V Jasa Keperawatan (Nursing Services) V.1. ASEAN MRA on Nursing Services Jasa tenaga profesional perawat merupakan salah satu sektor yang disepakati dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN. MRA untuk jasa perawat ditandantangani di Cebu, Filipina pada tanggal 18 Desember MRA ditandatangani dengan empat tujuan yaitu: Memfasilitasi mobilitas perawat professional di dalam negara-negara ASEAN; 2. Pertukaran informasi dan ahli dalam hal standar dan kualifikasi; 3. Mempromosikan pengadopsian praktik-praktik terbaik jasa perawat profesional; dan 4. Menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi perawat-perawat tersebut. Adapun perawat dalam MRA tersebut didefinisikan sebagai berikut: 51 Nurse refers to a natural person who has completed the required professional training and conferred the professional nursing qualification; and has been assessed by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional nursing practice; and is registered and/or licensed as a professional nurse by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin. This definition shall not apply to a technical level nurse. Dalam definisi tersebut terkandung makna secara jelas bahwa perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa keperawatan yang didapatkan secara formal dan secara administratif telah mendapatkan pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya masing-masing. Dengan demikian tergambarkan secara jelas bahwa hanya perawat-perawat yang mempunyai daya saing tinggi yang memiliki kesempatan untuk ikut dan mendapatkan keuntungan dalam pasar jasa perawat. Selain itu, peran negara menjadi poin penting terutama dalam menentukan dan meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga perawat untuk dapat memanfaatkan secara optimal implementasi liberalisasi jasa perawat di level ASEAN. Di Indonesia, terdapat tumpang tindih dalam mendefinisikan profesi perawat. Istilah perawat belum memiliki standar yang baku, sehingga posisi perawat profesional seringkali disamakan dengan jasa perawatperawat yang lebih menekankan pada keterampilan. 50 Lihat dokumen ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services diambil dari 51 Ibid 40 A SC FISIP UI

41 Dalam upaya implementasi MRA ini, ada dua badan yang bertanggung jawab yaitu: 1. Nursing Regulatory Authority (NRA), merupakan sebuah badan yang ditunjuk di masing-masing negara yang biasanya dipegang oleh kementerian kesehatan atau dewan perawat seperti di Kamboja, Singapura, Phillipnes dan Brunei, yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tenaga-tenaga perawat yang tersedia sudah memenuhi kriteria dan standadr kualifikasi yang disepakati. Dengan kata lain badan ini melakukan kontrol dan mengatur arus masuk dan keluar jasa perawat dari dan ke suatu negara. Beberapa negara seperti Brunei, Philipina, Singapura, dan Thailand menunjuk board of nursing sebagai badan yang menjalankan fungsi sebagai NRA. Hal ini mengindikasikan bagaimana posisi board of nursing dipandang memiliki posisi strategis di negara-negara tersebut. Sementara di Indonesia board of nursing masih dalam proses pendirian, dengan mengupayakan RUU keperawatan. Dengan demikian focal point MRA Keperawatan berada di Kementerian Kesehatan dalam hal ini Direktorat Bina Upaya Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medik Ditjen BUK Kemkes RI. Adapun badan yang ditunjuk oleh setiap negara sebagai berikut: 52 Tabel V.1. Daftar NRA di Negara Anggota ASEAN NRA Nursing Board of Brunei Ministry of Health, Kingdom of Cambodia Ministry of Health, Republic of Indonesia Ministry of Health Lao People's Democratic Republic Malaysia of Health & Midwifery Boards Ministry of Health & Myanmar Nursing and Midwifery Council Professional Regulation Commission, Board of Nursing Singapore Nursing Board Thailand Nursing Council Ministry of Health, Socialist Republic of Viet Nam Negara For Brunei Darussalam for the Kingdom of Cambodia for the Republic of Indonesia for Lao People's Democratic Republic for Malaysia for the Union of Myanmar for the Republic of the Philippines for the Republic of Singapore for the Kingdom of Thailand for Socialist Republic of Viet Nam 2. The ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (A-JCCN) merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan NRA masing-masing negara yang bertanggung jawab untuk melakukan pertukaran informasi, menyelaraskan dan mengharmonisasikan berbagai kebijakan-kebijakan di setiap negara. Di level inilah diskusi dan negosiasi terhadap berbagai aspek dalam pelaksanaan 52 Ibid. 41 A SC FISIP UI

42 liberalisasi jasa perawat yang dilakukan oleh masing-masing NRA yang ditunjuk (lihat tabel di atas). Untuk implementasi liberaliasasi jasa perawat ini, mekanisme yang disepakati dalam MRA dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan V.1. Mekanisme Liberalisasi Jasa Perawat Berdasarkan MRA ASEAN Recognition Registration License Monitoring the professional practice Conduct foreign Nurse Evaluation the qualifications and experiences of Foreign Nurses maintain high standards of practice of nursing in accordance with the code of professional conduct of the Host Country Catatan; Dirangkum dari MRA on Nursing Services Berdasarkan mekanisme di atas dapat dilihat bahawa fase pengakuan merupakan fase pertama yang harus dilakukan melalui proses registrasi dan mendapatkan license yang dikeluarkan oleh NRA negara asal. Kemudian, merujuk pada kesepakatan dalam MRA, setiap negara harus mengakui kualifikasi yang telah dikeluarkan oleh negara asal. Walau demikian harus diakui bahwa kesepakatan dalam MRA memberikan celah bagi beragamnya perlakuan host country terhadap tenaga perawat asing. Misalnya Artikel 3 Pasal 3.3. yang menekankan bahwa setiap perawat asing harus tunduk pada aturan atau regulasi domestik host country yang dapat dijadikan sebagai salah satu celah untuk menerapkan non tariff barriers. Dalam hal monitoring dan evaluasi, peran NRA dan A-JCCN menjadi focal point untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dan melakukan evaluasi atas pelaksanaan MRA tersebut. Walau demikian, perlu mencatat bahwa mekanisme evaluasi belum tertera secara detail dalam MRA yang disepakati. V.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keperawatan Profesi perawat memiliki porsi terbesar dalam persentase tenaga kesehatan, tidak hanya di Indoensia akan tetapi juga secara global. Di Indonesia data, proporsi perawat (termasuk perawat gigi) yaitu sebesar orang (44%) yang 42 A SC FISIP UI

43 kemudian diikuti oleh bidan (23%). 53 Lebih jauh, seiring dengan perkembangan dan dinamika global, tercatat bahwa perawat merupakan salah satu profesi yang mengalami peningkatan tren kebutuhan dalam beberapa dekade terakhir ini tidak hanya di level ASEAN tetapi juga di secara global. Pesatnya pertumbuhan lansia yang melonjak drastis menjadi salah satu penyebab tingginya kebutuhan akan perawat. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, perkiraan permintaan tenaga kesehatan Indonesia dari luar negeri meningkat pesat, dan perawat menempati porsi kebutuhan terbesar dengan perkiraan tingkat permintaan yang terus melonjak dari tahun 2014 sebanyak 9280 perawat, tahun 2019 sebanyak perawat dan tahun 2025 sebanyak perawat. Merujuk angka tersebut dapat dikatakan terdapat peluang besar bagi Indonesia dalam pasar tenaga perawat ASEAN. 54 Tabel V.2. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar Negeri No. Tenaga Kesehatan Perawat Dokter Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi Bidan Keteknisian Medis SKM Namun ada beberapa tantangan yang harus dihadapi tenaga perawat Indonesia antara lain tercatat bahwa banyak negara yang tetap memberlakukan entry barrier, sehingga tenaga perawat asing sulit masuk ke suatu negara. Ada dua argument dasar yang melandasi mengapa suatu negara tetap memberlakukan barrier, pertama, untuk menjaga terjadinya brain drain sehingga kecukupan tenaga perawat tetap terjaga, dan kedua adalah negara menempatkan sektor kesehatan sebagai salah satu pilar utama untuk menjaga ketahanan Negara sehingga sektor ini perlu bahkan harus di proteksi. 55 Kedua, adalah persaingan yang ketat dengan negara lainnya, contohnya Filipina sudah terkenal dengan sebagai leading supplier tenaga perawat Indonesia baik dtingkat global maupun regional ASEAN. Tercatat sudah perawat Filipina yang dikirim ke luar negeri. Ketiga, kualifikasi perawat Indonesia yang masih berstandar nasional. Terkait dengan peluang pasar tenaga perawat tersebut, MRA dilihat sebagai salah satu solusi yang tepat. Melalui MRA diharapkan akan tersedia tenaga perawat yang kompetitif. ASEAN juga melihat peluang tersebut, sehingga pada tahun ditandatangani MRA ASEAN on nursing services. Indonesia dengan alasan belum siap, meminta penundaan hingga 1 Januari Akan tetapi 53 Departemen Kesehatan RI Profil Tenaga Kesehatan tahun Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, Wawancara dengan PB IDI, Jakarta, 12 Desember A SC FISIP UI

44 sayangnya ketidaksiapan Indonesia dirasakan masih berlanjut hingga saat ini. 56 Menyangkut kesiapan Indonesia dalam meraih manfaat liberalisasi sektor jasa keperawatan, beberapa hal kunci yang perlu diperhatikan adalah kuantitas dan kualitas SDM termasuk didalamnya kemampuan bahasa dan kualifikasi tenaga perawat, dan regulasi-regulasi dari pemerintah yang dibutuhkan untuk mendukung penguatan jasa keperawatan Indonesia agar dapat bersaing di pasar ASEAN. V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar Berbicara tentang jumlah tenaga perawat, dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2003, disebutkan masih rendahnya rasio antara jumlah tenaga perawat dan jumlah penduduk yaitu dengan rasio 1:2850. Padahal jika merujuk indikator Indonesia Sehat 2010 disebutkan bahwa dibutuhkan 117,5 perawat per penduduk sebagai rasio ideal. Data pada tabel berikut juga memperlihatkan perkiraan peningkatan kebutuhan dan kekurangan tenaga perawat Indonesia tahun 2014, 2019 dan 2025 yang memperlihatkan bahwa walau terjadi peningkatan jumlah perawat tapi belum mencukupi untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan. 57 Tabel V.3. Perkiraan Kebutuhan dan Kekurangan Tenaga Perawat di Indonesia No Tahun Kebutuhan Kekurangan Sumber: Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, Langkah yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah perawat, antara lain memperbanyak insititusi pendidikan keperawatan. Walau demikian persebarannya masih terfokus di pulau Jawa (52,7%) baik untuk pendidikan D3 dan S1, diikuti pulau Sumatera (26%) dan Sulawesi (13%), sementara di wilayah lainnya dapat dikatakan masih sangat tertinggal. Untuk tingkat pendidikan S2, S3 dan Spesialis hanya ada di Pulau Jawa dengan jumlah sangat minim. 58 Selain itu, laporan penelitian DIKTI menyebutkan bahwa walau insititusi pendidikan keperawatan tumbuh pesat, hal ini belum mampu menjamin ketersediaan tenaga perawat yang memadai karena dua alasan. Pertama, banyak lulusan keperawatan yang tidak beekerja di bidangnya. Kedua, menjamurnya insititusi pendidikan keperawatan tidak diikuti oleh peningkatan kualitas institusi yang akan berkorelasi scara langsung dan tidak langsung terhadap lulusan. 59 Dengan kata lain, kualitas tenaga perawat yang rendah menjadi bagian dari persoalan ketersediaan tenaga perawat yang kompeten. 56 Komentar narasumber dari PPNI yang disampaikan dalam FGD ASC FISIP UI pada tanggal 26 Oktober Ibid.. 58 Data EPSBED - 19/08/2010 dalam Laporan Penelitian, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat, Research and Development Team, Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, DIKTI Ibid. hlm A SC FISIP UI

45 Penting juga untuk menyimak hasil penelitian DIKTI yang memaparkan hasil survei kepada perawat dan pengguna sebagai indikator persoalan kualitas tenaga perawat di Indonesia sebagai berikut: 60 bahwa dari persepsi perawat pelaksana, mayoritas perawat mempersepsikan kompetensi yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan harapannya. Jawaban serupa juga didapatkan dari sisi pengguna dan pasien yang menyatakan bahwa mayoritas pengguna dan pasien menyatakan saat ini bahwa kompetensi perawat yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan kompetensi. Juga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi saat ini dengan harapan responden akan kompetensi perawat yang diinginkan, yaitu sebesar 48,02%; 74,1% dan 36,2% dari responden perawat pelaksana, pengguna dan masyarakat. Kesenjangan antara harapan dan realita yang digambarkan dari hasil survei tersebut, diperkuat oleh data yang disampaikan oleh Bank Dunia tentang kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa inggris (44 persen), keterampilan penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen), dan keterampilan dasar (13 persen). 61 Untuk perawat, Center for International Trade Studies Thailand (2012) yang membuat tiga kategori dalam melihat kualitas tenaga terampil, mencatat bahwa kulitas perawat Indonesia berada pada kategori menengah yang ditempatkan sejajar dengan Thailand. 62 Terkait data di atas, hal lain yang perlu disoroti adalah tidak adanya kategorisasi/nomenklatur profesi perawat. Dari jumlah yang ada tidak diberi keterangan secara jelas tenaga perawat profesi level yang mana yang dibutuhkan. Padahal dari aspek pendidikan sudah terjadi pembedaan. Perbedaan ini menjadi penting karena terkait pada keputusan jasa keperawatan yang mana yang akan diliberalkan dan yang akan diserap. Persoalan ini sangat erat kaitannya dengan pendefinisian perawat yang masih tumpang tindih/tidak memiliki standar baku. 63 Kembali pada persoalaan ketersediaan tenaga perawat, seperti yang dijelaskan di depan ASEAN MRA on Nursing Services bisa menjadi satu solusi untuk pemenuhan ketimpangan antara jumlah tenaga perawat yang dibutuhkan dan tersedia. Walau demikian perlu mencatat bahwa free flow of services dalam skema MNP (movement of natural person) tidak dapat dibendung. Efek brain drain menjadi resiko proses ini. Adapun aspek lain yang perlu dilihat adalah keterbukaan pasar yang terlalu luas, akan memberikan efek tersingkirnya tenaga kerja domestik karena ketidakmampuan berkompetisi dengan perawat asing. Selain itu perlu juga menyimak apa yang disampaikan oleh Marry Grace L Riguer (2012) yang menggambarkan mobilitas MNP tidak sepenuhnya bebas akan tetapi lebih cenderung kepada pada mobilitas yang terkelola atau facilitated entry. 64 Dengan demikian, terdapat celah bagi pemerintah untuk memainkan peran dalam menjaga sektor jasa 60 Ibid.,hlm Marry Grace L.Riguer, ASEAN 2015: Implication of People Mobility and Services diambil dari Services.pdf. Lihat juga Makmur Keliat, Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN, Kompas, 11 Juni Ibid. 63 FGD ASC FISIP UI, 26 Oktober Lihat juga Keliat (2013), Loc.Cit. 45 A SC FISIP UI

46 keperawatan di Indonesia, terutama dengan menempatkan sektor jasa kesehatan (sebagai payung besar jasa keperawatan) sebagai salah satu pilar penting dalam menjaga ketahanan negara. V.4. Tata Kelola/Regulasi Seperti yang telah dijelaskan di atas, tingkat kebutuhan negara-negara maju maupun negara berkembang terhadap jasa keperawatan terus meningkat. Hal ini memberikan peluang bagi Indonesia dalam hal pendayagunaan jasa keperawatan ke luar negeri, baik dari Indonesia maupun yang akan ke Indonesia, baik untuk skema ASEAN maupun secara global. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui Permenkes 47 tahun 2012 tentang Pendayagunaan Perawat ke Luar negeri dan Permenkes 317 tahun 2010 tentang Tenaga Kerja Warga Negara Asing, yang salah satunya menekankan perlunya adaptasi tenaga asing yang akan masuk ke Indonesia. Walau demikian, hingga saat ini belum ada ketentuan detail bagaimana mengatur hal tersebut. Dalam upaya memanfaatkan peluang dan meningkatkan daya saing tenaga perawat Indonesia, jaminan mutu baik tenaga perawat maupun pelayanan keperawatan profesional, maka proses kredensial yang mencakup registrasi, sertifikasi, dan lisensi menjadi sebuah keharusan. Untuk registrasi diatur dalam Permenkes 1796 tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan di mana registrasi ini merupakan pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah mempunyai sertifikasi. Jadi sekalipun ada lulusan perawat baik dari perguruan tinggi maupun yang profesi, akan tetapi tidak memperoleh surat tanda registrasi (STR), maka lulusan tersebut tidak dapat bekerja sebagai perawat sekalipun merupakan lulusan profesi perawat. Lebih jauh, merujuk Permenkes yang sama, diatur juga standar kompetensi yaitu surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat ini dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI). Dalam hal sertifikasi ini, terdapat peraturan lain yang mengatur yaitu UU no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, di mana terdapat dua hal yaitu; sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. Sertifikat profesi sebagai pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. Kemudian sertifikat profesi ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan kementerian lain, lembaga profesi, dan sebagainya. Adapun sertifikat kompetensi, merupakan pengakuan kompetensi terhadap lulusan. Hal ini menjadikan proses tersebut (uji kompetensi) seolah sebagai exit exam sebelum peserta didik dinyatakan lulus. Sertifikat ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan lembaga profesi. UU tersebut sudah diterjemahkan ke dalam Permendikbud no 83 tahun 2013 tentang sertifikat kompetensi. Perbedaan kedua aturan ini dalam hal sertifikasi, kemudian memunculkan kebingungan aturan mana yang harus diikuti. Sementara Permenkes 1796 tahun 2011, terkesan terburu-buru karena hingga saat ini proses uji kompetensi untuk mendapatkan STR belum siap. 65 Ketidakjelasan dan tumpang tindih aturan ini akan 65 FGD, Op.Cit.. 46 A SC FISIP UI

47 mengganggu baik secara internal maupun terhadap rencana penerimaan perawat tenaga asing terutama dalam skema ASEAN. Tabel V.4. Tumpang Tindih Aturan tentang Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Perawat Permenkes 1796 tahun 2011 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Registrasi : Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya. Sertifikasi : Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Undang Undang no 12 th 2012 tentang Pendidikan Tinggi & Permendikbud No 83 tahun 2013 tentang Sertifikat kompetensi Pasal 43 : Sertifikat Profesi Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat profesi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 44 : Sertifikat Kompetensi Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya. Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi. 47 A SC FISIP UI

48 Sertifikat kompetensi dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu Dalam hal lisensi diatur melalui permenkes 17 tahun 2013 yang merupakan revisi permenkes 148 tahun 2010 ttg izin dan penyelenggaraan praktik perawat. Adapun ini Permenkes ini meyebutkan: Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Kerja Perawat (SIKP). Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Perlu dicatat bahwa SIKP dan SIPP ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hanya berlaku di satu tempat. Untuk memperoleh SIKP dan SIPP ini harus melampirkan STR, padahal proses STR yang direncanakan belum siap. Pada akhirnya proses kredensial yang diatur hanya merupakan sebuah rencana tanpa proses dan ketentuan yang jelas. Selain itu, dalam hal kategorisasi perawat atau isitilah profesi dan kependidikan profesi, aturan yang ada tidak sesuai dengan yang berjalan dalam sistem pendidikan. PP No 32 secara general membedakan perawat hanya menjadi 3 (tga) kategori yaitu perawat, perawat gigi dan bidan. Padahal perawat memiliki 9 (sembilan) level dimana pekerjaan dan pelayanannya beda. Ketika itu disamakan dalam pelayanan kesehatan, maka profesi perawat tidak tampak. 66 Dalam hal istilah profesi dan pendidikan profesi, juga terdapat perbedaan sehingga menimbulkan kebingungan. Terdapat standar ganda dalam regulasi pendidikan perawat terutama dalam bidang vokasi antara Kemenkes dan Kemdiknas. Jika merujuk aturan sebelumnya, pembuatan regulasi pendidikan juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Namun kemudian diambil alih oleh Kemdiknas. Hal yang penting juga dicatat adalah Kemdiknas dulu menyelenggarakan pendidikan kedinasan, yang kemudian berubah kependidikan umum tanpa ikatan dinas. Perubahan ini tidak diikuti dengan regulasi-regulasi yang jelas terutama untuk menempatkan atau mendefinisikan posisi lulusan. Saat ini pendidikan kedinasan hanya ada di level Program Magister, akan tetapi program diploma masih dibuka. Selain itu, dalam UU no 12 tentang pendidikan tinggi salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pendidikan vokasi paling tinggi setara dengan pendidikan sarjana, akan tetapi di pasal selanjutnya dikatakan bahwa bisa dikembangkan dalam jenjang magister terapan dan doktoral terapan. Hal ini dipandang tidak sesuai mengingat dasar pendidikan tetap vokasi. Yang perlu diupayakan adalah agar 66 Ibid 48 A SC FISIP UI

49 Kemenkes bisa menyelenggarakan pendidikan sampai doktor. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan daya saing jasa keperawatan Indonesia. 67 V.5. Infrastruktur Pendukung Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mengoptimalkan manfaat dalam liberalisasi sektor jasa keperawatan, kontribusi infrasturktur pendukung tak pelak akan senantiasa dibutuhkan. Infrastruktur kependidikan tidak hanya fisik akan tetapi juga regulasi menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Dalam ini, indikator penting untuk menelaah adalah jumlah perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan keperawatan dan jumlah mahasiswa yang mengikuti pendidikan tersebut. Berdasarkan data yang sudah disampaikan di depan, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keperawatan untuk semua jenjang pendidikan masih terpusat di Pulau Jawa. Sementara itu, kawasan Papua, Bali dan Nusa Tenggara, dan Kalimantan, perguruan tinggi penyelenggaran pendidikan keperawatan sangat minim dan hanya terfokus pada level S1 dan D3. 68 Grafik V.1 Jumlah Program Studi Keperawatan per Wilayah di Indonesia Tahun Akademik 2008/2009 Catatan: Grafik diambil dari Hasil Penelitian DIKTI (2010). Hal ini sekaligus mengindikasikan jumlah mahasiswa dan tentu saja lulusan pendidikan keperawatan terpusat di Jawa. Tercatat per tahun ajaran 2008/2009, jumlah total mahasiswa keperawatan di seluruh Indonesia adalah orang untuk semua jenjang pendidikan, yang didominasi oleh mahasiswa S1 dan D3. Yang penting dicatat pula bahwa dari sisi jumlah, program D3 mendapatkan jumlah mahasiswa yang lebih besar dari program S1. 67 Ibid. 68 Lihat Hasil penelitian DIKTI (2010), hlm A SC FISIP UI

50 Tabel V.5. Jumlah Mahasiswa Per wilayah Untuk Tahun Akademik 2008/2009 Wilayah D3 S1 S2 S3 Sp1 Sumatera Jawa Bali dan NT Kalimantan Sulawesi Papua&Maluku Sumber: Hasil Penelitian DIKTI Berdasarkan tabel di atas, ketersediaan jasa pendidikan tinggi keperawatan perlu ditingkatkan dan menfokuskan pada program S1. Hal ini dibutuhkan karena yang setara dengan profesi adalah perawat terdaftar yang memiliki gelar kesarjanaan plus pendidikan profesi. Adapun untuk lisensi perawat profesional, lama pendidikan yang ditempuh yaitu 3 (tiga) tahun dirasakan terlalu lama, dan tidak kompetitif untuk bersaing dengan tenaga perawat dari luar. Selain itu, aspek pendukung yang tidak kalah pentingya adalah keberadaan asosiasi yang dapat memberikan sumbasih dala memperkuat jasa keperawatan. Hingga saat ini belum ada badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat (Board of Nursing / Konsil Keperawatan). 69 Asosiasi yang ada saat ini seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) merupakan wadah komunikasi bagi perawat dirasakan cukup membantu dalam membawa aspirasi perawat dan berperan untuk meningkatkan pelayanan mutu pendidikan dan pelayanan jasa keperawata di Indonesia. Walau demikian, posisi kedua organisasi tersebut tidak berada secara langsung dalam lingkaran untuk merumuskan kebijakan. Oleh karena itu, keberadaan board of nurse seharusnya dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan. V.6. Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan Sektor jasa keperawatan adalah salah satu sektor yang menjadi prioritas dalam liberalisasi sektor jasa. Liberalisasi sektor jasa keperawatan memberikan sebuah peluang dan tantangan ke depan. Jika dilihat berdasarkan tren kebutuhan tenaga keperawatan baik ditingkat ASEAN maupun global, Indonesia memiliki peluang untuk ikut terlibat dalam pasar bebas ASEAN. Walau demikian banyak halhal yang perlu dipersiapkan mengingat beberapa kendala masih ada. Secara mendasar, masalah kuantitas dan kualitas menjadi sorotan utama dalam melihat kendala jasa keperawatan Indonesia dapat ikut bersaing. Ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya manusia, menjadi persoalan yang tidak hanya terkait kebutuhan untuk meningkatkan daya saing akan tetapi juga memenuhi kebutuhan domestik. Dalam hal kualitas, kita harus mengakui bahwa tenaga perawat Indonesia memiliki kelemahan bahasa. Selain itu, standar nasional yang belum baku terhadap profesi perawat, seperti definisi profesi perawat yang terlalu umum dan tumpang tindihnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh 69 Pembentukan board of nursing (atau semacamnya) sedang diupayakan saat ini melalui RUU Keperawatan. 50 A SC FISIP UI

51 pemerintah (domestic regulation) seperti proses sertfikasi dan jenjang pendidikan keperawatan memperlemah posisi Indonesia. Lebih jauh, kurangnya fasilitas pendukung terkait ketersediaan institusi pendidikan keperawatan yang minim dan hanya terpusat di Pulau Jawa ikut menyumbang terhadap tantangan Indonesia dalam bersaing di pasar ASEAN. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sektor jasa keperawatan di Indonesia baik dilihat sebagai upaya pembenahan untuk kepentingan domestik maupun dalam kerangka pasar ASEAN, perlu langkah-langkah strategis untuk dilakukan pemerintah. Adapun langkah-langkah tersebut antara lain: 1. Mengkaji kembali beberapa kebijakan di sektor jasa keperawatan terkait misalnya definisi tentang profesi perawat, proses sertifikasi yang tumpang tindih, dan jenjang kependidikan keperawatan. Regulasi Pendidikan Perawat terutama pada jalur pendidikan vokasi masih terdapat kebijakan ganda antara Kemenkes dan Kemendiknas. 2. Menyiapkan skenario atau perencanaan penempatan tanaga perawat Indonesia secara stratgeis. Hal ini perlu dilakukan mengingat persoalan kebutuhan tenaga perawat juga menjadi persoalan domestik. Strategi untuk menyelaraskan antara kepentingan domestic dan komitmen pasar bebas yang sudah disepakati mendesak untuk segera dilakukan. 3. Mengupayakan agar RUU keperawatan dapat segera disahkan, sehingga dapat berfungsi sebagai badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat. 51 A SC FISIP UI

52 VI Jasa Praktisi Medis/Dokter (Medical Practitioners) VI.1. ASEAN MRA on Medical Practitioners MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26 Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi (dental practitioners) dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan untuk: Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN; 2. Bertukar informasi dan meningkatakan kerjasama dalam skema MRA jasa dokter; 3. Mempromosikan pengadopsian best practices untuk standar dan kualifikasi; 4. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para pelaku jasa dokter Dalam MRA tersebut juga terdapat beberapa definisi terkait jasa praktisi medis/dokter sebagai berikut: 71 Tabel VI.1. Istilah dan Definisi terkait Jasa Dokter dalam MRA Istilah Definisi Inti Medical Practitioner A natural person who has completed the required professional medical training and conferred the professional medical qualification; and has been registered and/or licensed by the Professional Medical Regulatory Authority in the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional medical practice. Menyelesaikan pelatihan medis professional dan memiliki kualifikasi yang diakui Terdaftar/memiliki lisensi dari PMRA Specialist Foreign Medical Practitioner A Medical Practitioner who has the medical specialist training and postgraduate qualification(s) that are recognised by the Country of Origin and has been registered and/or licensed as a specialist if such registration is applicable in the Country of Origin; A Medical Practitioner including Specialist who holds the nationality of an ASEAN Member State, registered to practise medicine in the Country of Origin and Tenaga medis yang memiliki kualifikasi sebagai ahli (S2/S3) Terdaftar dan/atau memiliki lisensi sebagai specialist. Tenaga medis dan specialist berkebangsaan salah satu anggota ASEAN 70 ASEAN MRA on Medical Practitioners diambil dari 71 Ibid. 52 A SC FISIP UI

53 applying to be registered/ licensed to practise medicine in the Host Country. Terdaftar di negara asal dan mendaftar di negara tujuan untuk praktik di negara penerima Catatan: tabel diolah oleh Tim Peneliti Merujuk tabel di atas, terlihat bahwa bahwa definisi terkait jasa praktisi medis/dokter sangat menekankan pada keahlian dan kualifikasi. Bahkan untuk posisi specialiast secara jelas disebutkan memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana. Poin ini berbeda dengan MRA yang disepakati di bidang jasa keperawatan yang tidak menyebutkan persyaratan level pendidikan pascasarjana sebagai syarat. Hal ini mungkin disebabkan cara pandangan terhadap profesi dokter dan perawat yang dianggap sebagai sebuah strata. Padahal sesungguhnya cara pandang seperti ini mengotak-kotakkan profesi yang seharusnya dituntut memenuhi kualiifikasi yang sebaik mungkin. Dalam menjalankan MRA ini, seperti juga di bidang keperawatan ada dua badan yang berfungsi untuk mengimplementasikan MRA ini. Dua badan tersebut adalah: 1. Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) PMRA merupakan sebuah badan yang terdiri dari otoritas pemerintah setiap negara anggota ASEAN yang secara umum berfungsi untuk mengatur dan mengontrol praktik jasa medis dan pengobatannya. Otoritas di setiap negara secara detail ada dalam tabel dibawah ini: 72 Tabel VI.2. Otoritas PMRA Di Setiap Negara ASEAN Negara Anggota Brunei Darussalam Kamboja Indonesia Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Otoritas yang ditunjuk Brunei medical Board Cambodian medical Council and Ministry of Health Indonesian medical Council and Ministry of Health Malaysian Medical Council Myanmar Medical Council, Minsytr of Health Philippines Professional Regulation Commission, Board of Medicine, and Philippine Medical Association Singapore Medical Council and Specialist Accreditation Board Thailand Medical Council and Ministry of Public Health Ministry of Health 72 Detail tugas PMRA lihat ASEAN MRA on Medical Services. Ibid. 53 A SC FISIP UI

54 Otoritas yang ditunjuk oleh negara ASEAN untuk pelaksanaan MRA ini terfokus pada kementerian kesehatan. Walau demikian keberagaman otoritas yang ditunjuk tampak pada tabel di atas, bahkan satu negara seperti Filipina menunjuk tiga badan sekaligus. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa sektor jasa praktisi medis merupakan sektor penting dan strategis yang seharusnya dijaga dengan melibatkan berbagai stakeholders dalam implementasi MRA ini. Indonesia, selain kementerian kesehatan yang menjadi focal point, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) juga dilibatkan untuk turut memikirkan pelaksanaan MRA di bidang jasa medis ini. 2. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners (A-JCCMP) Seperti halnya di sektor keperawatan, MRA jasa praktisi medis ditindaklanjuti dengan pembentukan A-JCCMP yang terdiri dari perwakilan PMRA dari setiap negara anggota yang tidak lebih dari dua orang. Tugas A-JCCMP ini menfasilitas implmentasi MRA melalui upaya-upaya menyelaraskan aturan domestik dengan tujuan yang ingin dicapai dalam MRA. A-JCCMP juga secara menghimbau agar negara anggota mengikuti standarisasi dan mengadopsi mekanisme dan prosedur dalam MRA. Diharapkan hambatan-hambatan domestik sudah hilang pada tahun Indonesia dapat dikatakan lebih liberal dari negara lainnya. Hambatan national treatment dan akses pasar hampir dipastikan sudah tidak diberlakukan. Hal ini hampir mirip dengan yang terjadi di Thailand. Sementara di Filipina, UU Dasar negara melarang dokter asing praktik di Filipina. Adapun negara lainnya seperti Laos, Vietnam dan Kamboja belum memiliki regulasi yang ditentukan negaranya. Di Singapura dokter asing dipatok dengan standar yang tinggi. 73 Di sisi lain, MRA juga menyatakan bahwa setiap negara host memiliki statutory responsibilities untuk melindungi kesehatan, keselamatan dan lingkungan. Hal ini dapat menjadi celah untuk dapat memberlakukan aturan-aturan yang spesifk untuk menjaga kepentingan bangsa. Hal ini dikarenakan karakter MRA sendiri secara keseluruhan tidak bersifat otomatis. 74 Makmur Keliat dalam artikel Kompas (2013) menyatakan bahwa: MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain. Adapun mengenai mekanisme liberalisasi sektor jasa kedokteran ini sama dengan yang telah dijelaskan di sektor jasa keperawatan yaitu melalui tiga proses utama terkait recognition, monitoring dan evaluation. Proses sertfikasi dan kualifikasi dilakukan di negara masing-masing. Indonesia, menggunakan payung Permenkes No 1796 Tahun 2011 mengenai registrasi tenaga kesehatan termasuk didalamnya dokter dan perawat. 73 Lihat juga AJCCM: Jalan Panjang Menuju Kompetensi Bersama, Majalah Halo Internis, Edisi 19, September Lihat juga Keliat (2013), Loc.Cit 54 A SC FISIP UI

55 VI.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Praktisi Medis/Dokter Sektor jasa paraktisi medis merupakan salah satu sektor jasa kesehatan yang juga terus meningkat tren kebutuhannya. Tercatat, kebutuhan terhadap tenaga dokter di seluruh dunia diperkirakan akan terus meningkat hingga 14 persen. 75 Di Indonesia sendiri, jumlah permintaan tenaga dokter dari luar negeri diperkirakan akan terus meningkat sampai 2160 dokter spesialis dan 600 dokter umum pada tahun Tabel V1.3. Perkiraan Permintaan Tenaga Dokter Indonesia dari Luar Negeri No. Tenaga Kesehatan Dokter Spesialis Dokter Umum Total Data di atas mengindikasikan tingkat kebutuhan yang makin besar dan peluang pasar yang dapat dimanfaatkan dengan tren ini baik itu dilevel ASEAN maupun global. Di ASEAN upaya ini diformalkan melalui MRA jasa dokter yang sudah ditandatangani pada tahun Walau demikian, tercatat bahwa respon beragam terhadap kesepakatan ini. Secara positif kelompok yang pro melihat bahwa pasar bebas memberikan stimulus untuk meningkatkan daya saing. Sementara kelompok yang tidak setuju didasari pada dua alasan. Pertama, terdapat gap antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga dokter di Indonesia. Dengan demikian kebutuhan domestik harus menjadi prioritas. Tabel VI.4. Kebutuhan dan Ketersedian Tenaga Medis di RSU Pemerintah dan Pemda 2010 Tahun Dokter Spesialis Dokter Umum Kebutuhan Kekurangan Kebutuhan Kekurangan ,626 1,792 4, ,109 10,561 7,299 3, ,422 8,029 10,284 4,080 Kedua, seperti pada jasa keperawatan yang merupakan bagian dari jasa kesehatan, jasa praktik medis/dokter perlu diproteksi karena menyangkut masalah ketahanan negara. Sehingga dengan demikian, jasa kesehatan bukan sektor bisnis dan tidak seharusnya diperdagangkan. Selain itu mengingat kompetensi dokter Indonesia yang tidak mengenal sertifikasi internasional, liberalisasi jasa yang mensyaratkan kompetensi dan kualifikasi internasional hanya akan menyulitkan tenaga dokter Indonesia. 77 Liberalisasi jasa kesehatan, khususnya dokter, memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Hal ini sangat memungkinkan pelaksanaanya menjadi molor diakses dari 25 September Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, Wawancara PB IDI, 12 Desember A SC FISIP UI

56 Bahkan hingga kini dalam hal bisnis kesehatan dan penyamaan kurikulum pendidikan kedokteran masih dalam tahap penjajakan. Adapun praktik dokter lintas negara ASEAN masih diwarnai perdebatan dan belum ditemukan kata sepakat di antara anggota ASEAN sendiri. 78 Dengan demikian butuh waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa maksimal. Di wilayah lain seperti Eropa, butuh waktu 15 sampai 20 tahun untuk membahas praktik dokter asing. 79 VI.3. Sumber Daya Manusia Berdasarkan data Centre for Internasional Trade Thailand (2012), kualitas tenaga profesi praktisi medis (dokter) Indonesia ditempatkan pada kualitas menengah dan harus bersaing dengan Filipina dan Vietnam. 80 Situasi ini sama persis dengan situasi yang juga dihadapi oleh profesi perawat. Selain itu, laporan OECD menyebutkan bahwa rasio antara jumlah dokter dan perawat di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Rasio dokter dengan jumlah penduduk berada pada angka 0,3 untuk setiap penduduk. Jauh tertinggal dibandingkan dengan rasio Singapura (1,7), Malaysia (1,2), dan Filipina (1,1). 81 Laporan yang sama juga dipaparkan oleh laporan Penelitian DIKTI tentang Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter dimana data penelitian tersebut juga memperlihatkan rasio dokter spesialis di Indonesia yang masih rendah dibandingkan neara-negara ASEAN lainnya. 82 Singapura dan Filipina memiliki rasio diatas 100, sementara negara-negara lainnya dikisaran antara Indonesia tercatat memiliki rasio paling kecil yaitu 8, 14. Tabel VI.5. Rasio Dokter Spesialis di negara-negara ASEAN No. Negara Rasio Dokter per penduduk 1 Singapura Filipina Brunei Darusalam > 80 4 Malaysia > 60 5 Vietnam > 40 6 Myanmar > 20 7 Kamboja > 20 8 Laos 20 9 Thailand Indonesia 8,14 Selain itu tercatat bahwa hingga tahun 2010, rasio dokter umum per penduduk adalah sebesar 30,98, dimana rasio ini masih cukup jauh dari kondisi ideal. 78 Majalah Halo Internis, Edisi 19, September Ibid. 80 Dikutip dari Keliat, 2013, Loc.Cit. 81 Ibid. 82 Laporan Penelitian, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter diakses dari pada tanggal 12 November A SC FISIP UI

57 Berdasarkan Indikator Indonesia Sehat 2010, rasio ideal yaitu 40 dokter umum per penduduk. Sementara laporan tersebut mencatat bahwa dokter umum yang teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia hingga tahun 2010 sebanyak dokter. Hal ini berarti ketersedian dokter umum di Indonesia baru mencukupi 77,43% dari total kebutuhan dokter. 83 Yang penting juga dicermati, berbeda dengan dokter umum, laporan ini mencatat bahwa jumlah dokter spesialis yang teregistrasi hingga tahun 2010 mencapai dokter dengan rasio 8,14 dokter spesialis per penduduk. Rasio ini sudah melebihi target rasio ideal berdasarkan Indikator Indonesia Sehat 2010 yaitu 6 dokter spesialis per penduduk. Walau rasionya sudah melebihi target, laporan ini mencatat masalah distribusi dokter yang belum merata sebagai satu tantangan berikutnya. Tercatat Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi merupakan pusat-pusat distribusi dokter umum dan dokter spesialis. Walau demikian khusus Pulau Jawa, walaupun secara nominal jumlah dokter umum sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk, maka jumlah tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain. 84 Begitupun dalam hal jumlah pendidikan tinggi, Pulau Jawa mendominasi sebaran pendidikan tinggi untuk semua jenjang. Bahkan untuk pendidikan Spesialis level 1, hampir 75 % berada di Pulau Jawa. Hal ini tentu juga berdampak pada persebaran mahasiswa dan lulusan yang sudah pasti terpusat di Pulau Jawa juga. Sementara itu untuk standard kompetensi dokter, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) telah menerbitkan standard kompetensi dokter dan standard kependidikan kedokteran. Hal ini menjadi dasar dan rujukan baik dalam pendidikan maupun pelayanan seorang dokter. 85 VI.4. Tata Kelola/Regulasi Dalam hal tata kelola/regulasi, tahun 2011 UU Pendidikan Kedokteran telah dirancang. Implementasi dari UU Kedokteran ini memerlukan koordinasi anatara Kemenkes, Kemendiknas, KKI dan organisasi profesi kedokteran lainnya. UU ini diharapkan dapat menjadi solusi Indonesia untuk menyamakan kompetensi dengan negara ASEAN lainnya. Selain itu, dalam kerangka harmonisasi aturan di ASEAN, pemerintah perlu memperhatikan dan merujuk UU kesehatan, UU praktik kedokteran dan UU tenaga Kesehatan. Tanpa merujuk UU yang saling terkait, aturan yang komprehensif dalam upaya memaksimalkan manfaat pasar ASEAN akan sulit tercapai. Namun sesungguhnya, Indonesia merupakan negara yang meliberalkan sektor jasa kedokteran cukup longgar. Di Thailand, pemerintah mensyaratkan dokter asing untuk menguasai bahasa lokal. Sementara di Indonesia dari sisi bisnis kesehatan, perusahaan asing dapat memiliki saham hingga 70%, bahkan diizinkan untuk 83 Ibid. 84 Ibid. 85 Ibid. 57 A SC FISIP UI

58 mendirikan rumah sakit dengan syarat tetap menyediakan 25% kuota untuk pasien kurang mampu. 86 Sementara itu, dalam hal arus tenaga dokter asing, pemerintah telah membuat regulasi tentang dokter asing di Indonesia. Regulasi ini menjabarkan secara rinci, apa saja dokumen yang dibutuhkan dan dokter asing yang bagaimana yang dapat diakomodasi di Indonesia. 87 Tabel VI.6. Regulasi Dokter Asing di Indonesia Alur Regulasi Dokter Asing 1. Sertifikat kompetensi dari negara asal 2. STR dari Instansi yang berwenang di negara asal 3. Fotocopy ijasah yang diakui oleh negara asal 4. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji profesi 5. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari negara asal 6. Surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai dengan jabatan yang akan diduduki 7. Letter of performance dari instansi yang berwenang di negara asal 8. Surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara asal 9. Surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran etik dari organisasi profesi negara asal 10. Surat izin praktik dari negara asal yang masih berlaku 11. Surat pernyataan bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan, sumpah profesi kesehatan, dan kode etik profesi kesehatan yang berlaku di Indonesia. Lebih jauh pada tanggal 15 Februari 2013 dilaksanakan rapat Tim Koordinasi MRA-ASEAN yang pertama dan dhihadiri oleh unsur-unsur terkait. Adapun hasil utama rapat MRA-ASEAN ini, antara lain : 1. Menyosialisasikan informasi tentang isu-isu seputar MRA-ASEAN kepada unit esselon I dan II di Lingkungan Kemkes. 2. Fokus pada pembuatan template roadmap MRA dengan memperhatikan perkembangan terbaru dari berbagai negara ASEAN di tingkat regional ASEAN. Saat ini fokus kepada tiga profesi dahulu dan mempersiapkan diri kepada profesi kesehatan lainnya di masa mendatang. 3. Memperkuat proses pembuatan domestic regulation, data based tenaga kesehatan, dan mempublikasikan informasi tentang pendayagunaan TK-WNA khususnya di Indonesia. 4. Membuat program kegiatan yang lebih rinci dan diusulkan juga untuk bekerja sama dengan asosiasi profesi kesehatan. 86 Ibid. 87 Majalah Halo Internis, diakses dari EAN%20di%20Bidang%20Kesehatan_8.pdf tanggal 12 Oktober A SC FISIP UI

59 Sektor jasa praktisi medis/dokter ini dapat dikatakan memiliki tata kelola yang cukup baik. Hubungan kerjasama antar institusi seperti KKI dan Kementerian Kesehatan berjalan cukup baik. Walau demikian, catatan utama yang didapatkan dari narasumber mengenai liberalisasi sektor jasa kesehatan maupun kedokteran menekankan pentingnya negara ikut terlibat, pertama dengan argumen bahwa jasa kesehatan adalah sektor vital terkait ketahan negara, kedua, bahwa jasa kesehatan perlu dihindarkan dari aspek bisnis. VI.5. Infrastruktur Pendukung Berbicara infrastruktur pendukung untuk sektor jasa praktisi medis/dokter, poin penting yang perlu diperhatikan adalah fasilitas pendidikan baik terkait ketersediaan SDM dalam memperkuat pengajaran di bidang kesehatan/kedokteran, maupun ketersediaan teknologi kedokteran. Untuk SDM dalam bidang pendidikan, seperti yang telah dijelaskan di depan, fasilitas pendidikan dan SDM masih terpusat di daerah Jawa. Adapun dalam hal teknologi. Pendidikan kedokteran di Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura, di mana pemerintahnya memberikan perhatian yang besar dalam penguasaan teknologi kedokteran. Terkait dengan teknologi ini tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,2 % dari total health expenditure, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam yang menempatakn 6,6%. Selain itu, anggaran yang dialokasikan perlu transparansi dan pengalokasian yang efisien dan efektif. 88 Tabel VI.7. Alokasi Pembiayaan Kesehatan Di Beberapa Negara Indicator Indonesia Philipina Thailand Malaysia Kambodia Vietnam Total health expenditure (THE) as % of GDP General government expenditure on health as % of THE Private expenditure on health as % of THE Konsekuensinya, Indonesia masih berorientasi impor dalam pengadaan teknologi kedokteran baik high-tech maupun yang standar, sehingga hampir 90% alat-alat kesehatan yang beredar di Indonesia masih harus diimpor dari luar negeri. Bahkan tercatat nilai pasar alat kesehatan mencapai 7 triliun rupiah. 89 Keluhan 88 Chee, Grace, Michael Borowitz, Andrew Barraclough. September Private Sector Health Care in Indonesia. Bethesda, MD: Health Systems 20/20 project, Abt Associates Inc. September diakses tanggal 13 Desember A SC FISIP UI

60 narasumber penelitian ini juga diarahkan tentang minimnya dana untuk penguasaan teknologi, mengindikasikan minimnya perhatian pemerintah terhadap penguasaan sektor jasa dokter dan tidak dipandanganya sektor ini sebagai sektor strategis dan vital dalam urusan ketahanan negara. 90 VI. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari paparan diatas, hal utama yang dapat disimpulkan adalah perdebatan tentang liberalisasi sektor jasa dokter dan ketahanan negara. Hal ini mewarnai wacana-wacana tentang pasar bebas ASEAN khususnya di bidang kesehatan atau jasa praktisi medis/dokter. Selain itu persoalan SDM baik secara kuantitas maupun kualitas masih menjadi tantangan tersendiri. Gap antara kebutuhan dan ketersediaan masih mewarnai rencana implementasi liberalisasi sektor jasa medis. Selain itu fakta juga memperlihatkan baik distribusi jasa dokter maupun yang masih terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan. Adapun dalam hal kualitas, sektor jasa dokter Indonesia tercatat memiliki standar kompetensi yang berbeda dengan negara ASEAN lainnya. Hal ini menjadi tantangan bagi sektor jasa praktisi medis/dokter untuk mengupayakan level kompetensi dokter Indonesia yang setara dengan dokter dari negara tetangga/asean lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan dalam mengoptimalkan posisi sektor jasa praktisi medis/dokter ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: 1. Perlunya meningkatkan daya saing tenaga dokter Indonesia melalui peningkatan standar kompetensi, sambil mengupayakan untuk mengejar keseragaman kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. Dalam hal ini koordinasi antara Kemenkes dan Kemendiknas dan stakeholders lainnya menjadi kunci terbentuknya regulasi yang memadai untuk standar kompetensi dokter Indonesia. 2. Melakukan review secara rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk bisa mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lainnya; 3. Memperbanyak jumlah dokter dengan cara memperbanyak institusi pendidikan kedokteran. Selain itu, perlu memetakan kembali distribusi dokter dan intitusi kedokteran yang selama ini bertumpuk di Pulau Jawa. 4. Memperkuat infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan institusi pendidikan kedokteran yang memadai. 5. Terkait dengan praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk menggunakan celah dalam MRA untuk memposisikan dokter Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan dokter asing, misalnya melalui persyaratan penguasaan bahasa setempat. 90 Wawancara IDI, 12 Desember A SC FISIP UI

61 VII Jasa Kedokteran Gigi (Dental Practitioners) VII.1. ASEAN MRA on Dental Practitioners Pada tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand, negara-negara anggota ASEAN menyepakati Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners (selanjutnya MRA-DP). MRA-DP ini ditujukan untuk memfasilitasi mobilitas dokter gigi di dalam ASEAN, seiring dengan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk meliberalisasi sektor jasanya. Selain memfasilitasi mobilitas dokter gigi di kawasan ASEAN, diharapkan MRA ini dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi dan penguatan kerjasa dalah hal pengakuan tinggal balik dalam profesi dokter gigi, mempromosikan penerapan praktik terbaik (best practices) dalam standar dan kualifikasi, serta menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dokter gigi di ASEAN. 91 Dalam MRA-DP ini, dental practitioners didefinisikan sebagai a natural person who has completed the required professional dental training and conferred the professional dental qualification; and has been registered and/or licensed by the Professional Dental Regulatory Authority in the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional dental practice. 92 Dengan demikian, seseorang dapat disebut sebagai dokter gigi jika ia sudah menyelesaikan pendidikan profesional sebagai dokter gigi dan sudah mendapatkan kualifikasi sebagai dokter gigi serta mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang mengatur profesi dokter gigi di negaranya. Hal ini konsisten dengan apa yang selama ini berlaku bagi dokter gigi di Indonesia. Untuk dapat berpraktik sebagai dokter gigi di Indonesia (mendapatkan surat izin praktik sebagai dokter gigi), seseorang harus menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi dan mendapatkan rekomendasi dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Otomatis, berbeda dengan sektor lain seperti pariwisata yang pelaku jasanya tidak semua terdaftar atau sektor jasa akuntansi yang tidak semua akuntan beregisternya menjadi bagian dari asosiasi profesi, seluruh dokter gigi di Indonesia adalah anggota dari PDGI. 93 Sementara itu, spesialis (atau dokter gigi spesialis) merujuk pada seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis dan kualifikasi pascasarjana yang diakui oleh negara asalnya (country of origin) dan terdaftar atau memiliki lisensi sebagai dokter gigi spesialis yang berlaku di negara tersebut. Berdasarkan MRA tersebut, entitas yang diakui sebagai PDRA (Professional Dental Regulatory Authority) yang menjadi regulator dalam sektor jasa dokter gigi adalah Konsil Kedokteran Indonesia. PDRA di masing-masing negara ini berperan 91 ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel Wawancara dengan narasumber dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia, 13 Desember A SC FISIP UI

62 penting di dalam MRA berkaitan dengan mekanisme bagi dokter gigi yang ingin berpraktik di negara ASEAN yang lain. Seorang dokter gigi dari suatu negara ASEAN dapat mengajukan registrasi sebagai dokter gigi di negara ASEAN yang lain jika memiliki kualifikasi yang diakui oleh PDRA dari negara asalnya dan PDRA dari negara ASEAN yang lain yang ditujunya untuk menjadi tempat praktik (host country). Untuk itu, dokter gigi tersebut harus memiliki sertifikat praktik dokter gigi dan terdaftar secara sah sebagai dokter gigi berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh PDRA di negaranya (country of origin). Sebelum bisa berpraktik di negara ASEAN yang lain, dokter gigi maupun dokter gigi spesialis tersebut setidaknya harus sudah harus berpraktik minimal 5 tahun berturut-turut di negara asalnya serta mematuhi proses pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development) yang berlaku di negara tersebut. Selain itu, dokter gigi tersebut juga harus dinyatakan oleh PDRA dari negara asalnya bebas dari segala bentuk pelanggaran profesional atau pelanggaran etika, baik di tingkat lokal maupun internasional, yang berkaitan dengan praktik dokter gigi di negara asalnya dan di negara lain (dalam batas pengetahuan PDRA di negara tersebut). Ia juga tidak boleh sedang tersangkut masalah hukum di negara asalnya maupun di negara lain. 94 Syarat penting lain yang menunjukkan pentingnya PDRA di negara yang menjadi tempat tujuan dokter gigi tersebut berpraktik (host country) adalah bahwa untuk berpraktik di suatu negara, ia harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh PDRA (dan lembaga terkait lainnya) di negara tersebut. Dengan demikian, di Indonesia, KKI adalah lembaga yang berwenang untuk memberikan sertifikasi terhadap dokter gigi asing. Menindaklanjuti MRA-DP (dan MRA-MP) ini, pada tahun 2009 KKI menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan Melakukan Praktik Kedokteran di Indonesia. Melalui peraturan ini, KKI memperjelas tata cara memperoleh Surat Tanda Registrasi Dokter Gigi yang menandakan bahwa ia telah memiliki kualifikasi untuk melakukan praktik dokter gigi di Indonesia. Peraturan ini juga mengharuskan adanya surat rekomendasi dari PDGI cabang setempat di lokasi yang akan dijadikan tempatnya berpraktik. Selain itu, peraturan ini juga mensyaratkan adanya program Adaptasi, yang dijelaskan sebagai kegiatan pembelajaran dan pengajaran bagi dokter dan dokter gigi Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing lulusan luar negeri untuk penyesuaian kompetensi yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dan sikap serta perilaku yang sesuai sosiobudaya-kultural masyarakat, terkait dengan kondisi dan masalah kesehatan, agar dapat melakukan praktik kedokteran di Indonesia. 95 VII.2. Gambaran Umum Sektor Kedokteran Gigi Dari segi besaran ekonomi, sektor kedokteran gigi mungkin tidak besar jika dibandingkan dengan sektor yang lain seperti pariwisata atau konstruksi. Pada tahun 94 ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 157/KKI/PER/XII/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara ASEAN yang Akan Melakukan Praktik Kedokteran di Indonesia. 62 A SC FISIP UI

63 2011, diperkirakan bahwa total expenditure on health per kapita Indonesia ada pada angka 127 USD. Dengan demikian, sumbangsih sektor kesehatan ini secara keseluruhan merupakan 2,7 persen dari total GDP. 96 Tentu saja, sektor kedokteran gigi lebih kecil dari angka tersebut. Namun, implementasi Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014 nanti diperkirakan akan meningkatkan sumbangsih sektor kesehatan ini. Program JKN tersebut saja diperkirakan akan membutuhkan anggaran hingga 40 triliun rupiah. Meskipun demikian, nilai vital kedokteran gigi tidak dapat dilihat hanya dengan menilik besaran ekonominya saja. Baik MRA-DP maupun peraturan KKI yang dikeluarkan untuk menindaklanjutinya memberikan penekanan pada kondisi sosiobudaya-kultural masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan (gigi) adalah sebuah hal yang penting sekaligus kompleks sehingga berkaitan dengan banyak aspek. Narasumber dari PDGI menyampaikan kritiknya pada pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan, yang mereduksi kesehatan (gigi) sebagai komoditas. 97 Kiprah dokter gigi tentu saja sangat berkaitan dengan aspek lain di masyarakat, karena kesehatan adalah salah satu elemen penting di dalam pembangunan manusia (human development). Tidak hanya itu, sektor kesehatan juga akan berdampak pada pembangunan ekonomi dan sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor ini seharusnya dilihat dengan mempertimbangkan kebutuhan nasional akan tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah dokter gigi. Salah satu indikator penting yang dapat kita lihat untuk mendapatkan gambaran mengenai sektor jasa kedokteran gigi di Indonesia adalah dengan melihat proyeksi kebutuhan dokter gigi berdasarkan target Usia Harapan Hidup yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Data tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Tabel VII.1. Kebutuhan Dokter Gigi Berdasarkan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Target UHH di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan 2025 Jenis Tenaga Dokter Gigi Tahun 2014 Tahun 2019 Tahun 2025 Rasio per penduduk Jumlah Rasio per penduduk Jumlah Rasio per penduduk Jumlah 11, , , Catatan: Target UHH tahun 2014: 72 tahun; Target UHH tahun 2019: 73,1 tahun; Target UHH tahun 2025: 73,7 tahun Sumber: Diolah dari data Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMK, Badan PPSDMK, Kemenkes. 96 Data World Health Organization, diakses dari 97 Wawancara dengan narasumber dari PDGI, 13 Desember A SC FISIP UI

64 VII. 3. Sumber Daya Manusia Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lain, Indonesia cukup tertinggal dalam hal jumlah dokter gigi per penduduk. Menurut World Health Statistics dari WHO, Indonesia memiliki rasio jumlah dokter gigi per penduduk di bawah beberapa negara ASEAN yang lain, termasuk Myanmar. Indonesia berada dalam posisi yang sejajar dengan Laos, yaitu 0,4 dokter gigi per penduduk. Singapura berada pada peringkat teratas dengan 3,3 dokter gigi setiap penduduk. Brunei Darussalam dan Malaysia juga berada di atas Indonesia dalam hal rasio jumlah dokter gigi per penduduk dengan 2,1 dokter gigi (Brunei Darussalam) dan 1,4 dokter gigi (Malaysia). 98 Tabel VII.2. Jumlah Dokter Gigi Per penduduk Negara Jumlah Dokter Gigi Per penduduk Singapura 3,3 Brunei Darussalam 2,1 Malaysia 1,4 Myanmar 0,5 Indonesia 0,4 Laos 0,4 Kamboja 0,2 Filipina Tidak tersedia Thailand Tidak tersedia Vietnam Tidak tersedia Sumber: WHO, 2013 Meskipun demikian, perlu hati-hati untuk mengatakan bahwa angka tersebut menunjukkan kecukupan atau ketidakcukupan jumlah dokter gigi di suatu negara. WHO sendiri mengatakan tidak ada satu aturan baku tentang jumlah ideal dokter gigi dalam setiap penduduk. Meskipun demikian, dipahami secara umum bahwa jika rasionya rendah, biasanya berarti jumlah dokter gigi memang kurang. Kementerian Kesehatan RI sendiri menetapkan bahwa angka ideal untuk Indonesia Sehat 2010 adalah 11 dokter gigi untuk setiap penduduk (berarti 1,1 per penduduk). 99 Dengan demikian, masih ada kesenjangan yang harus dikejar. Selain kebutuhan umum, menarik untuk menilik kebutuhan dan kekurangan dokter gigi di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia berikut ini: 98 World Health Organization, World Health Statistics 2013, (Jenewa: WHO, 2013), halaman Research and Development Team, Health Professional Education Quality, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), halaman A SC FISIP UI

65 Fasilitas Kesehatan Rumah Sakit Umum Milik Kementerian Kesehatan Dan Pemerintah Daerah Fasilitas Kesehatan/ Rumah Sakit TNI Fasilitas/ Rumah sakit Bhayangkara Polri Puskesmas Tabel VII.3. Kebutuhan dan Kekurangan Dokter Gigi Berbagai Fasilitas Kesehatan di Indonesia Tahun 2014, 2019 dan Kebutuhan Kekurangan Kebutuhan Kekurangan Kebutuhan Kekurangan , Catatan: Kebutuhan merupakan perhitungan dengan menggunakan standar ketenagaan pada fasilitas kesehatan. Sumber: Kementerian Kesehatan, Pusdokkes Polri, 2010, Kesehatan Kemhan dan TNI, Data diperoleh dan diolah dari FGD tanggal 26 Oktober 2013 Dari data tersebut, kita melihat bahwa kebutuhan dokter gigi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan target Usia Harapan Hidup yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, diperkirakan akan ada kekurangan dokter gigi di masa yang akan datang jika tidak ada langkah-langkah antisipasi yang dilakukan. Catatan penting lain harus diberikan terkait dengan kuantitas dari dokter gigi di Indonesia ini adalah distribusinya. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup tinggi di antara daerah-daerah di Indonesia. Daerahdaerah di wilayah Indonesia Timur cenderung memiliki jumlah dokter gigi yang sedikit jika dibandingkan dengan wilayah yang lain. 65 A SC FISIP UI

66 Tabel VII.4. Jumlah Dokter Gigi di Masing-Masing Provinsi, 2005 dan 2012 Propinsi Jumlah Dokter Gigi Jumlah Dokter Gigi ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH D I YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT M A L U K U MALUKU UTARA IRIAN JAYA BARAT 4 28 PAPUA 7 32 Sumber: Bank Data Kementerian Kesehatan, Dalam aspek kualitas sumber daya manusia, penting untuk diingat ASEAN memiliki tingkat pembangunan yang berbeda-beda, sehingga ada beberapa perbedaan di dalam standar praktik dokter gigi (misalnya berkaitan dengan prosedur apa saja yang harus diambil jika pasien mengeluhkan gejala-gejala tertentu). Dengan demikian, MRA memberikan ruang bagi PDRA di masing-masing negara untuk menetapkan standar kualifikasi di masing masing negara. 100 Bank Data Kementerian Kesehatan, diakses dari 66 A SC FISIP UI

67 Menurut penuturan dari narasumber, kualitas dokter gigi Indonesia dapat bersaing dengan dokter gigi dari negara lain, termasuk dari negara-negara ASEAN. 101 Hal ini juga ditunjukkan dengan cukup tingginya permintaan dokter gigi Indonesia dari luar negeri. Tabel VII.5. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia Dari Luar Negeri Tahun 2014, 2019 dan 2025 NO TENAGA KESEHATAN Perawat Dokter Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi Bidan Keteknisian Medis Radiografer SKM Sumber: Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK Kemenkes, 2011 VII.4. Tata Kelola/Regulasi Undang Undang yang mengatur mengenai praktik dokter gigi adalah Undang Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang Undang inilah yang memberikan wewenang kepada sebuah badan independen bernama Konsil Kedokteran Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Konsil ini memainkan peran penting yaitu sebagai lembaga yang mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. 102 Konsil inilah yang melakukan registrasi dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, serta melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedoran gigi yang dilakukan bersama dengan lembaga lain yang terkait. 103 Karena itu, di dalam MRA-DP, KKI adalah lembaga yang dianggap sah menjadi PDRA yang berwenang di Indonesia. Karena karakter dari sektor ini yang relatif eksklusif karena mereka yang hendak berpraktik sebagai dokter atau dokter gigi harus melalui proses pendidikan yang panjang (berbeda dengan pariwisata yang cenderung terbuka), tata kelola di dalam sektor jasa kedokteran gigi ini berjalan dengan cukup baik. Kerja sama antar lembaga yang terkait, seperti KKI dengan Kementerian Kesehatan dan dengan asosiasi profesional yaitu PDGI juga berjalan dengan cukup baik. Sebagai contoh, setiap dokter gigi yang hendak mengajukan izin praktik harus memiliki rekomendasi dari PDGI setempat. Meskipun demikian, narasumber penelitian ini juga memberikan catatan pada pemerintah, terutama berkaitan dengan proses liberalisasi di sektor jasa kedokteran ini. Catatan ini lebih ditujukan kepada Kementerian Perdagangan sebagai motor dari 101 Wawancara dengan narasumber dari PDGI, 13 Desember Undang Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal Undang Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal A SC FISIP UI

68 proses liberalisasi sektor jasa di ASEAN. PDGI yang mewakili para dokter gigi Indonesia merasa bahwa Kementerian Perdagangan harus melibatkan para dokter gigi dalam penyusunan kesepakatan-kesepakatan liberalisasi. Menurutnya, hal ini penting karena kesehatan tidak boleh dilihat hanya sebagai komoditas perdagangan. 104 VII.5. Infrastruktur Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari dokter gigi, pendidikan adalah salah satu infrastruktur yang paling penting. Secara nasional, hingga tahun 2011 tercatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa ada 25 program studi S1 Pendidikan Dokter Gigi di Indonesia. Lebih dari separuh, yaitu 15, berada di pulau Jawa. Program S1 Pendidikan Dokter Gigi juga ada cukup banyak di Sumatera dengan 6 program. Hal ini konsisten dengan jumlah program Profesi Dokter Gigi yang juga terpusat di Jawa. Lebih dari separuh Program Profesi Dokter Gigi di Indonesia, yaitu 8 program, berada di Pulau Jawa. Tabel VII.6. Jumlah Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/ Dengan gambaran program studi kedokteran gigi yang demikian itu, jumlah mahasiswa pendidikan kedokteran gigi pun terkonsentrasi di Pulau Jawa. 104 Wawancara dengan narasumber dari PDGI, 13 Desember Research and Development Team, Health Professional Education Quality, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi. 68 A SC FISIP UI

69 Tabel VII.7. Jumlah Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/ *Data diolah dari Dikti VII.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Sektor Kedokteran Gigi adalah salah satu sektor yang penting. Dari segi besaran ekonomi, sektor kedokteran gigi mungkin tidak besar jika dibandingkan dengan sektor yang lain seperti pariwisata atau konstruksi. Pada tahun 2011, diperkirakan bahwa total expenditure on health perkapita Indonesia ada pada angka 127 USD. Dengan demikian, sumbangsih sektor kesehatan ini secara keseluruhan merupakan 2,7 persen dari total GDP. Tentu saja, sektor kedokteran gigi lebih kecil dari angka tersebut. Namun, implementasi Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014 nanti diperkirakan akan meningkatkan sumbangsih sektor kesehatan ini. Meskipun demikian, nilai vital kedokteran gigi tidak dapat dilihat hanya dengan menilik besaran ekonominya saja, karena kesehatan sangat berkaitan dengan pembangunan manusia yang lebih luas. Dari segi kualitas, dokter gigi Indonesia cukup percaya diri untuk dapat bersaing dengan rekan-rekannya dari negara-negara ASEAN yang lain. Meskipun demikian, dari segi kuantitas, kita masih memiliki kekurangan jumlah dokter gigi jika merujuk pada jumlah dokter gigi ideal yang ditargetkan oleh pemerintah. Dalam hal jumlah pula, Indonesia masih tertinggal dari banyak negara ASEAN yang lain. Dalam aspek rasio dokter gigi per penduduk, Indonesia berada dalam posisi yang sejajar dengan Laos dan berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Myanmar. Tentu saja hal ini berkaitan dengan bentang alam Indonesia yang sangat luas dan beragam. Hal ini juga berkaitan dengan infrastruktur pendidikan kedokteran gigi yang masih terpusat di Jawa. Dalam aspek tata kelola, sektor kedokteran gigi tergolong cukup mapan. Karena karakter dari sektor ini yang relatif eksklusif karena mereka yang hendak berpraktik sebagai dokter atau dokter gigi harus melalui proses pendidikan yang panjang (berbeda dengan pariwisata yang cenderung terbuka), tata kelola di dalam sektor jasa kedokteran gigi ini berjalan dengan cukup baik. Kerja sama antar lembaga 106 Research and Development Team, Health Professional Education Quality, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi. 69 A SC FISIP UI

70 yang terkait, seperti KKI dengan Kementerian Kesehatan dan dengan asosiasi profesional yaitu PDGI juga berjalan dengan cukup baik. Berdasarkan gambaran tersebut, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dijalankan untuk meningkatkan daya saing dari dokter gigi Indonesia: 1. Memperkuat koordinasi antara PDGI, Kementerian Kesehatan, dan KKI dengan Kementerian Perdagangan melalui pelibatan perwakilan dari dokter gigi di dalam proses-proses yang berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN. 2. Meningkatkan kualitas dan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan program pendidikan kedokteran gigi dengan mempertimbangkan distribusi wilayah. 3. Menegaskan bahwa sektor kesehatan, termasuk kesehatan gigi, bukanlah semata-mata bersifat ekonomi. Ia harus dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi pembangunan manusia sehingga harus ada perhatian khusus untuk menjamin bahwa liberalisasi tidak akan memberikan dampak negatif pada masyarakat. 70 A SC FISIP UI

71 VIII Tenaga Profesional Pariwisata (Tourism Professionals) VIII.1. ASEAN MRA on Tourism Professionals Pariwisata adalah salah satu sektor yang ditetapkan sebagai prioritas dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN. Bersama dengan transportasi udara, e-asean, dan layanan kesehatan, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang disepakati menjadi paket awal dari pelaksanaan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan tenggat waktu tahun Untuk mendukung liberalisasi sektor jasa pariwisata tersebut, disusunlah kesepakatan ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals (selanjutnya disebut sebagai MRA-TP). Penting untuk melihat MRA-TP ini sebagai kesinambungan dari proses yang telah berlangsung sejak disepakatinya liberalisasi sektor jasa ASEAN. Sebelumnya, para pemimpin ASEAN pada tahun 2002 juga sudah menyepakati ASEAN Tourism Agreement yang ditujukan untuk mendorong penciptaan kondisi yang kondusif bagi liberalisasi sektor jasa di ASEAN. Di dalam ATA yang disepakati dalam KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, pada tahun 2002, disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk saling bekerja sama dalam membangun sumber daya manusia di dalam industri pariwisata dan perjalanan (tourism and travel industry) dengan langkah-langkah berikut: Menyusun pengaturan yang non-restriktif untuk mempermudah negaranegara anggota ASEAN untuk mendayagunakan keahlian para tenaga profesional pariwisata yang tersedia di kawasan dengan menggunakan pengaturan yang bersifat bilateral; 2. Mengintensifkan pembagian sumber daya dan fasilitas bagi pendidikan pariwisata dan program-program pelatihan; 3. Meningkatan kurikulum pendidikan pariwisata dan keahlian tenaga profesional dalam bidang pariwisata serta menyusun standar kompetensi dan prosedur sertifikasi, yang diharapkan dapat mewujudkan pengakuan timbal balik terhadap keahlian dan kualifikasi di bidang tersebut di antara negara-negara ASEAN. 4. Memperkuat kerja sama pemerintah-swasta di dalam pengembangan sumber daya manusia; 5. Bekerja sama dengan negara-negara, perkumpulan negara-negara, serta organisasi internasional untuk membangun sumber daya untuk pariwisata. 107 ASEAN Economic Community Blueprint, A2 (21), halaman ASEAN Tourism Agreement, Article VIII. 71 A SC FISIP UI

72 Jika kita perhatikan, MRA-TP dapat dilihat sebagai kelanjutan yang lebih konkret, dengan penyesuaian, dari apa yang termaktub di dalam ATA tersebut. Sebagai contoh, MRA-TP mengatur bahwa jika seorang tenaga profesional pariwisata asing (foreign tourism professional) ingin diakui oleh negara ASEAN yang lain selain negara asalnya serta dapat bekerja di negara tersebut, orang tersebut harus memiliki sertifikat kompetensi yang sah dalam satu bidang pekerjaan yang khusus sebagaimana yang dijelaskan dalam Common ASEAN Tourism Curriculum (CATC). Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi Tenaga Profesional Pariwisata (Tourism Professional Certification Board, TPCB) yang berwenang di masing-masing negara ASEAN. 109 Kesepakatan ini tentu senada dengan artikel VIII dari ATA tahun 2002, seperti dalam hal mendorong mobilitas tenaga profesional pariwisata di negara-negara ASEAN serta kesepakatan tentang sertifikasi serta adanya kurikulum bersama. Sedikit penyesuaian dalam MRA ini adalah bahwa MRA ini disepakati secara bersama-sama oleh negara-negara ASEAN dan tidak hanya bersifat bilateral. Di dalam MRA-TP, ada enam mekanisme atau komponen yang dibangun untuk mendorong terciptanya mobilitas tenaga kerja terampil di dalam bidang pariwisata. Keenam komponen tersebut adalah: 1. The National Tourism Professional Board (NTPB), 2. The Tourism Professionals Certification Board (TPCB), 3. The Common ASEAN Tourism Curriculum (CATC), 4. The ASEAN Tourism Professionals Registration System (ATPRS), 5. The ASEAN Tourism Qualifications Equivalency Matrix (ATQEM), 6. The ASEAN Tourism Professional Monitoring Committee (ATPMC). Komponen pertama dan kedua ada di tingkat nasional di masing-masing negara. NPTB (namanya bisa berbeda-beda di tiap negara) berfungsi untuk mengatur dan menjaga kualitas dari sistem pendidikan dan pelatihan keahlian dalam bidang pariwisata, sementara TPCB berperan untuk melakukan penilaian dan sertifikasi terhadap tenaga profesional di bidang pariwisata sesuai dengan standar kompetensi nasional. NPTB, di dalam mengelola sistem pendidikan dan pelatihan keahlian dalam bidang pariwisata, merujuk kepada kurikulum CATC yang telah disepakati di level ASEAN dan menerapkannya dalam kurikulum nasional yang kemudian akan menjadi basis penilaian dan sertifikasi dari TPCB. TPCB yang melakukan sertifikasi terhadap tenaga profesional pariwisata di masing-masing negara ASEAN ini kemudian bersama-sama menyokong The ASEAN Tourism Professionals Registration System (ATPRS), sebuah sistem digital yang berisi data tenaga profesional pariwisata di seluruh negara anggota ASEAN dengan detail keahlian masing-masing sesuai CATC. Karena masing-masing negara tetap memiliki perbedaan-perbedaan karena NTPB dan TCPB ada di level nasional masing-masing negara anggota ASEAN, MRA-TP ini juga mengamanatkan untuk menyusun The ASEAN Tourism Qualifications Equivalency Matrix (ATQEM) untuk memberikan gambaran tentang penilaian kesejajaran (conformity assessment). Untuk memastikan sistem yang saling berkaitan satu sama lain ini berjalan baik, MRA-TP juga mencetuskan adanya panitia pengawas yaitu The ASEAN Tourism Professional 109 ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, (Vietnam: ASEAN Secretariat, 2013), halaman A SC FISIP UI

73 Monitoring Committee (ATPMC) di level ASEAN. 110 ATPMC dibentuk pada tahun 2010 di Lombok, Indonesia. Anggota dari ATPMC ini adalah perwakilan dari Organisasi Pariwisata Nasional dan NTPB dari masing-masing negara ASEAN. 111 Kompleksitas dari sistem yang dibangun di dalam MRA-TP ini merupakan tantangan tersendiri karena dengan demikian ada banyak hal yang harus disiapkan oleh negara-negara ASEAN untuk mengimplementasikan MRA-TP ini (belum termasuk menyiapkan tenaga profesional negaranya sendiri untuk meningkatkan daya saing negaranya). Untuk itu, senada juga dengan ATA, upaya mengimplementasikan MRA-TP ini juga melibatkan banyak pihak lain, seperti ASEAN-Australia Development Cooperation Program (AADCP). 112 VIII.2. Gambaran Umum Sektor Pariwisata Sektor pariwisata adalah sektor yang sangat penting di dunia. Secara global, diperkirakan bahwa sektor pariwisata dan perjalanan (tourism and travel) menyumbang sekitar 9% dari GDP dan lapangan pekerjaan di seluruh dunia. 113 Karena karakternya yang khas, sektor ini merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dari banyak kalangan masyarakat. Di negara-negara anggota ASEAN sendiri, pariwisata merupakan salah satu primadona. The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012 yang diterbitkan oleh World Economic Forum memperkirakan bahwa sumbangan pariwisata pada GDP gabungan negara-negara ASEAN mencapai 4,6 persen. Jika pengaruh tidak langsungnya dihitung, kontribusi sektor ini bisa mencapai 10,9 persen. 114 Tentu saja jumlah ini merupakan komponen yang cukup signifikan dari sumbangan sektor jasa yang mencapai 50,13% (tahun 2011). 115 Bagi Indonesia sendiri, pendapatan dari wisatawan asing mencapai 7,952 miliar USD atau 1,1% dari total GDP Indonesia. 116 Dari segi penyerapan tenaga kerja, sektor pariwisata ini diperkirakan secara langsung menyerap sekitar 9,3 juta orang di seluruh ASEAN. Dalam persen, jumlah itu membentuk sekitar 3,2 persen dari total pekerjaan. Secara tidak langsung, sektor ini juga berdampak pada 25 juta pekerjaan di negara-negara ASEAN. 117 Sektor ini juga tumbuh dengan cukup pesat di Asia Tenggara. Pada tahun 1991, ASEAN dikunjungi oleh 20 juta orang wisatawan internasional. Jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 81 juta pada tahun Artinya, dalam 20 tahun 110 ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman Daftar inisiatif yang didanai oleh AADCP dapat dilihat di ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, (Bangkok: World Economic Forum, 2012), halaman vii. 114 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman ASEAN Secretariat, ASEAN Statistical Yearbook 2012, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2013). 116 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman A SC FISIP UI

74 jumlahnya meningkat menjadi empat kali lipat. 118 Tahun 2008, jumlah wisatawan internasional mencapai 65 juta. Dengan demikian, ada pertumbuhan sebesar 16 juta wisatawan internasional dalam kurun empat tahun. 119 Tabel VIII.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Internasional ke Negara-negara ASEAN Country Intra- ASEAN Extra- ASEAN Total Intra- ASEAN Extra- ASEAN Total Brunei Darussalam 98,0 127,7 225,8 124,2 117,9 242,1 Cambodia 552, , , , , ,9 Indonesia 2.774, , , , , ,7 Lao PDR 1.285,5 719, , ,2 532, ,6 Malaysia , , , , , ,3 Myanmar 462,5 198,3 660,8 100,4 716,0 816,4 The Philippines 254, , ,4 331, , ,5 Singapore 3.571, , , , , ,3 Thailand 4.125, , , , , ,3 Viet Nam 515, , ,7 838, , ,0 ASEAN , , , 5 Sumber: ASEAN Tourism Statistics , , , 0 Menarik untuk mencermati bahwa wisatawan internasional yang berasal dari luar ASEAN ternyata lebih banyak yang mengunjungi negara-negara anggota ASEAN. Di hampir semua negara anggota ASEAN, wisatawan asing yang berasal dari luar ASEAN lebih banyak dari wisatawan asing yang berasal dari negara ASEAN yang lain. Pengecualian dari kecenderungan ini adalah Malaysia, yang jumlah wisatawan asing dari negara ASEANnya (hampir 19 juta) jauh melampaui wisatawan asing dari negara-negara di luar ASEAN (hampir 6 juta). Melihat angka-angka tersebut, kita dapat mengatakan bahwa Indonesia cukup tertinggal di dalam sektor jasa pariwisata jika dibandingkan dengan beberapa negara 118 ASEAN Secretariat, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Handbook, halaman A SC FISIP UI

75 ASEAN yang lain seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Dengan kekayaan potensi wisata Indonesia yang melimpah, tentu saja hal ini menunjukkan adanya masalah dan tantangan di dalam pengembangan sektor pariwisata kita. Apa yang membentuk angka-angka kunjungan wisatawan internasional/asing tersebut? Mengapa Indonesia dengan potensi wisata yang luar biasa dapat tertinggal dari Malaysia atau Thailand dan bahkan Singapura yang kecil dari segi wilayahnya? Hal ini berkaitan dengan daya saing sektor pariwisata. World Economic Forum menerbitkan sebuah laporan yang mengukur daya saing sektor Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel) dari 140 ekonomi di seluruh dunia. Dalam pemeringkatan tersebut, Indonesia menduduki peringkat 70. Peringkat ini berada di bawah Singapura (10), Malaysia (34) dan Thailand (43). 120 Dengan demikian, peringkat indeks daya saing ini konsisten dengan jumlah kunjungan wisatawan asing ke masing-masing negara ASEAN. Tabel VIII.2. Peringkat Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel Competitiveness Index), 2011 dan 2013 Negara Singapura Malaysia Thailand Indonesia Brunei Darussalam Vietnam Filipina Kamboja Laos Tidak masuk Tidak masuk Myanmar Tidak masuk Tidak masuk Sumber: The Tourism & Travel Competitiveness Report 2013 Hal yang menarik adalah bahwa semua negara ASEAN mengalami peningkatan peringkat kecuali Thailand dan Brunei Darussalam. Indonesia memang di atas Brunei, Vietnam, Filipina, dan Kamboja (Laos dan Myanmar tidak masuk pemeringkatan), namun peringkatnya tidak terpaut jauh dengan Brunei, Vietnam dan Filipina. Sementara itu, untuk melampaui Thailand jarak peringkatnya cukup jauh (terpaut 27 peringkat). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak harus dibenahi di dalam sektor pariwisata ini. Laporan ini memotret daya saing tenaga terampil Indonesia di bidang pariwisata dengan cara melihat tiga aspek terkait, yaitu sumber daya manusia, regulasi/tata kelola, dan infrastruktur pendukung. Berbeda dengan sektor lain yang belum ada indeks pengukurnya, WEF telah menerbitkan Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel Competitiveness Index). Meskipun demikian, tulisan ini tidak menggunakan indeks tersebut dengan mentah-mentah. Pilar-pilar indeks tersebut dikelompokkan dalam tiga dimensi yang digunakan dalam 120 Jennifer Blanke dan Thea Chiesa (ed.), The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013, (Jenewa: World Economic Forum, 2013). 75 A SC FISIP UI

76 penelitian ini dengan alasan konformitas dengan pembahasan yang lain. Pada saat yang bersamaan, penilaian dalam Indeks tersebut tidak dijadikan sebagai penilaian peringkat semata, namun lebih sebagai panduan untuk memahami kondisi dan permasalahan di aspek tersebut. VIII.3 Sumber Daya Manusia Karakter unik dari sektor jasa pariwisata ini membuat sektor jasa ini relatif lebih terbuka bagi masyarakat dari berbagai kalangan. Meskipun ada lembaga pendidikan resmi yang memberikan pendidikan dalam berbagai bidang keahlian pariwisata, para pelaku pariwisata relatif lebih terbuka dengan orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang tersebut. Pengalaman dan keahlian praktis seringkali dilihat lebih penting. 121 Hal ini membuat sulit sekali untuk mengukur dan membandingkan kondisi sumber daya manusia dalam sektor jasa pariwisata ini. Dalam salah satu pilar yang digunakan untuk mengukur Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel Competitiveness), para peneliti dari WEF mencoba mengukur sumber daya manusia dengan melihat dua aspek, yaitu pendidikan dan pelatihan (untuk mengukur kualitas) serta ketersediaan pekerja yang layak (the availability of qualified labour, kuantitas). Berdasarkan data dari WEF tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke 51 dalam aspek sumber daya manusia di sektor pariwisata. Indonesia tertinggal cukup jauh dari Singapura yang menduduki peringkat 2. Indonesia berada dalam satu rentang yang mengumpulkan Malaysia (peringkat ke 37) dan Brunei Darussalam (peringkat 47). Indonesia, dalam aspek ini, lebih baik dari Thailand yang berada di peringkat ke Tabel VIII.3. Peringkat dalam Pilar Sumber Daya Manusia, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011 Negara 2011 Singapura 2 Malaysia 37 Brunei Darussalam 47 Indonesia 51 Vietnam 72 Thailand 74 Filipina 86 Kamboja 109 Laos Tidak masuk Myanmar Tidak masuk Sumber: ASEAN Tourism & Travel Competitiveness Report FGD tanggal 26 Oktober 2013 dengan narasumber dari APPSI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Seluruh Indonesia). 122 World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman A SC FISIP UI

77 Parameter yang digunakan dalam Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan ini bermanfaat untuk mendapatkan gambaran umum, namun tidak dapat mendapatkan gambaran yang lebih utuh dari kondisi sumber daya manusia di sektor jasa pariwisata Indonesia. Kualitas pendidikan secara umum (yang digunakan dalam indeks ini) tidak dapat menangkap gambaran mengenai kualitas sumber daya manusia di sektor ini. Menurut narasumber FGD dari APPSI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Seluruh Indonesia), ada beragam bidang pekerjaan di dalam sektor jasa pariwisata ini, mulai dari pemandu wisata, pendamping pariwisata ekstrim (seperti diving atau snorkeling) yang membutuhkan keahliah khusus, hingga sopir. Masing-masing memiliki set keahlian yang berbeda dan dengan kebutuhan tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Di bidang pariwisata yang memiliki keahlian khusus seperti snorkeling atau diving, profesional asing (dari luar ASEAN) lebih menonjol. Namun, di sektor yang lain, terutama yang tidak membutuhkan tingkat pendidikan atau sertifikasi tertentu, kebanyakan pekerjanya tidak berasal dari pendidikan pariwisata tertentu. Bagi banyak pelaku pariwisata di Indonesia, bahkan sertifikasi seringkali tidak dianggap penting. Pengalaman, keahlian dan jaringan personal lebih berpengaruh. 123 Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu masalah penting dalam menghadapi liberalisasi jasa ASEAN adalah terbatasnya jumlah tenaga professional pariwisata yang memiliki sertifikasi resmi. Selain mempersulit pendataan mengenai jumlah tenaga kerja di sektor tersebut, hal ini juga menunjukkan bahwa para pelaku industri pariwisata Indonesia masih belum terlalu memperhatikan hal-hal yang bersifat administratif yang akan berkaitan dengan kemampuan kita mengoptimalkan MRA- TP. Meskipun demikian, pihak APPSI menyampaikan bahwa dari segi kualitas, Indonesia termasuk cukup baik di bidang ini, meskipun banyak yang tidak memiliki sertifikasi. 124 Keunggulan lain, di dalam kaitannya dengan kompetisi untuk pasar dalam negeri Indonesia, adalah bahwa pariwisata sangat erat kaitannya dengan obyek wisata. Tentu saja, orang Indonesia sewajarnya memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap negerinya sendiri dibandingkan orang-orang dari negara ASEAN yang lain. Tentu saja, hal ini juga berlaku bagi pelaku industri pariwisata di masing-masing negara anggota ASEAN. Inilah yang disebut APPSI sebagai kompetensi patriotisme (atau mungkin lebih tepat kompetensi empati ). 125 VIII.4. Tata Kelola/Regulasi Saat ini, Undang Undang yang menjadi dasar bagi kepariwisataan di Indonesia adalah Undang Undang nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Undang Undang ini merupakan revisi dari Undang Undang No. 9 tahun Dalam Undang Undang tersebut, pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi) memiliki kewenangan yang besar dalam tata kelola kepariwisataan karena Pemerintah Provinsi lah yang memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di 123 FGD 26 Oktober FGD 26 Oktober FGD 26 Oktober A SC FISIP UI

78 wilayahnya (pasal 29 butir b) serta melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendaftaran usaha pariwisata (pasal 29 butir c). Sementara itu, Pemerintah Pusat berperan untuk menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, mengoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi, menyelenggarakan kerja sama internasional, menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan serta mengembangkan kebijakan pengembangan Sumber Daya Manusia (pasal 28). Dengan demikian, tata kelola kepariwisataan di Indonesia, termasuk dalam rangka menyesuaikan diri dengan MRA-TP, melibatkan pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hal ini tentu berkaitan dengan penerapan otonomi daerah atau desentralisasi seiring dengan berjalannya reformasi. Hal ini memunculkan tantangan tersendiri, karena pariwisata yang disediakan untuk wisatawan internasional seringkali dilakukan secara lintas daerah, sementara basis perizinan ada di tangan masing-masing pemerintah daerah (secara teknis dilaksanakan oleh pemerintah tingkat dua, yaitu kabupaten dan walikota). Sebagai contoh, para pelaku pariwisata yang memiliki lisensi di Jakarta seharusnya harus mengurus lisensi lain lagi jika hendak mengantarkan wisatawan ke Bogor. Jika dari Bogor wisatawan ingin melanjutkan ke Yogyakarta, lisensi yang diperlukan pun harus diurus lagi. Karena kerumitan ini, para pelaku pariwisata seringkali tidak mengikuti peraturan perizinan tersebut secara ketat, namun melalui kesepahaman di antara para pelaku pariwisata di berbagai daerah tersebut ( tahu sama tahu ). 126 Sikap tahu sama tahu ini mencerminkan bahwa para pelaku jasa pariwisata di Indonesia, dan bahkan di tingkat ASEAN, sebenarnya tidak terlalu terikat oleh regulasi secara ketat. Sebagai sebuah bidang yang cenderung terbuka, peraturan seringkali tidak dianggap terlalu penting. Narasumber penelitian ini menceritakan bagaimana para pemandu wisata Indonesia, petugas hotel, atau Chef dari Filipina, dapat bekerja di negara lain di ASEAN tanpa terlalu memperhatikan sertifikasi. Menurutnya, pengalaman dan keahlian yang bersifat praktis lebih diutamakan. 127 Meskipun hal ini memberikan fleksibilitas bagi para pelaku jasa pariwisata, tentu hal ini berdampak negatif pada konsumen karena ketiadaan standar pelayanan yang dapat dijamin dengan baik. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa regulasi di bidang pariwisata masih belum optimal. Namun, membuatnya optimal seharusnya dilakukan bukan dengan menambah lagi regulasi karena regulasi yang ada ini pun sudah cukup memberikan kerumitan bagi tenaga profesional pariwisata. Penting untuk melakukan harmonisasi tata kelola nasional dan daerah. Salah satu gagasan yang mungkin dilaksanakan adalah pembuatan satu pintu untuk lisensi/perizinan di level nasional, namun melibatkan pemerintah daerah sehingga semangat otonomi daerah dapat juga terjaga, sebagaimana semangat UU No. 10 tahun 2009 tersebut. 126 FGD 26 Oktober FGD 26 Oktober A SC FISIP UI

79 VIII.5. Infrastruktur Dalam FGD yang dilaksanakan untuk penelitian ini, narasumber kami menyebutkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi para pelaku jasa pariwisata di Indonesia adalah infrastruktur yang kurang baik. Indonesia memiliki banyak tujuan wisata yang menarik, namun sulit dijangkau wisatawan karena infrastruktur yang tidak memadai. Hal inilah yang membuat Singapura yang sebenarnya tujuan wisatanya terbatas melampaui Indonesia dalam jumlah kunjungan wisatawan asing setiap tahunnya (tahun 2011, Indonesia mencatat kunjungan 7 juta wisatawan asing sementara Singapura mencatat 13 juta wisatawan asing). 128 Hal ini diiyakan dengan jelas oleh data-data yang terkait. The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report mencatat bahwa mayoritas negara ASEAN memang memiliki permasalahan besar dalam hal ini. Untuk mengukur peringkat daya saing pariwisata dan perjalanan, WEF menggunakan pilar tourism infrastructure yang melihat infrastruktur yang spesifik berkaitan dengan pariwisata, seperti jumlah hotel dibandingkan populasi, jumlah penyewaan mobil besar nasional, serta jumlah mesin ATM dalam setiap satu juta penduduk. Dalam pilar ini, Indonesia menduduki peringkat yang tidak terlalu bagus karena hanya berada di peringkat 116 dari 140 negara. Dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain yang masuk dalam penelitian WEF tersebut (berarti kecuali Myanmar dan Laos), Indonesia hanya unggul dari Kamboja yang berada di peringkat 131. Berikut ini adalah tabel lengkap peringkat negara-negara ASEAN dalam pilar infrastruktur pariwisata: Tabel VIII.4. Peringkat dalam Pilar Infrastruktur Pariwisata, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011 Negara 2011 Singapura 33 Thailand 40 Malaysia 74 Brunei Darussalam 91 Filipina 98 Vietnam 110 Indonesia 116 Kamboja 131 Laos Tidak masuk Myanmar Tidak masuk Sumber: ASEAN Tourism & Travel Competitiveness Report 2012 Meskipun demikian, penting untuk menyikapi pemeringkatan dalam infrastruktur spesifik dalam pariwisata ini penting untuk disikapi dengan hati-hati, 128 FGD 26 Oktober A SC FISIP UI

80 karena kondisi masing-masing negara yang berbeda. Sebagai contoh, indeks ini menggunakan ukuran jumlah hotel dibandingkan penduduk dan jumlah penyedia jasa penyewaan mobil besar di tingkat nasional. Dengan bentang alam Indonesia yang luas dan beragam serta terdiri dari pulau-pulau ini, wajar jika Indonesia memiliki peringkat yang rendah di dalam pilar ini. Namun, gambar yang jelas bahwa infrastruktur adalah masalah di dalam pariwisata adalah bahwa infrastruktur transportasi darat Indonesia masih jauh tertinggal. Dalam peringkat kualitas transportasi darat, TTCI menempatkan Indonesia di peringkat 82. Di antara negara-negara ASEAN yang masuk dalam indeks tersebut, Indonesia hanya berada di atas Kamboja (peringkat 103) dan Filipina (peringkat 114). Tabel VIII.5. Peringkat dalam Sub Pilar Infrastruktur Transportasi Darat, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011 Negara 2011 Singapura 2 Malaysia 36 Brunei Darussalam 49 Thailand 56 Vietnam 77 Indonesia 82 Kamboja 103 Filipina 114 Laos Tidak masuk Myanmar Tidak masuk Sumber: ASEAN Tourism & Travel Competitiveness Report 2012 Penting untuk mengingat bahwa MRA-TP berkaitan dengan Moda 4 dalam sektor jasa pariwisata ini, yaitu mendorong mobilitas tenaga kerja terampil dalam bidang pariwisata. Artinya, para profesional pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan daya saing mereka jika mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata di negara lain dengan baik, seperti misalnya membuka bisnis pariwisata di Singapura atau Malaysia yang peringkatnya lebih baik, lalu diintegrasikan dengan pariwisata Indonesia (misalnya: Paket Wisata ASEAN). Untuk itu, perlu dukungan pemerintah untuk memetakan peluang di sektor ini di berbagai negara ASEAN yang lain. VIII.6 Kesimpulan dan Rekomendasi Secara umum, sektor jasa pariwisata adalah sektor yang potensial karena potensi wisata Indonesia yang kaya. Meskipun demikian, potensi ini masih belum termanfaatkan dengan baik, sebagaimana ditunjukkan oleh tingkat kunjungan 80 A SC FISIP UI

81 wisatawan ke Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara ASEAN yang lain. Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar dan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia hanya di bawah 10% (7,6 juta dari 81 juta) dari total wisatawan asing yang berkunjung ke seluruh negara ASEAN. Dari segi kualitas sumber daya manusia, secara praktis tenaga profesional pariwisata di Indonesia mampu bersaing dengan tenaga profesional pariwisata dari negara ASEAN yang lain. Meskipun demikian, ada beberapa masalah yang harus diperhatikan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu masalah penting dalam menghadapi liberalisasi jasa ASEAN adalah terbatasnya jumlah tenaga professional pariwisata yang memiliki sertifikasi resmi. Selain mempersulit pendataan mengenai jumlah tenaga kerja di sektor tersebut, hal ini juga menunjukkan bahwa para pelaku industri pariwisata Indonesia masih belum terlalu memperhatikan hal-hal yang bersifat administratif yang akan berkaitan dengan kemampuan kita mengoptimalkan MRA-TP. Dari segi tata kelola/regulasi, Indonesia juga masih belum optimal. Yang pertama berkaitan dengan masih belum terintegrasinya pengelolaan di level nasional dan daerah. Karena pariwisata yang disediakan untuk wisatawan internasional seringkali dilakukan secara lintas daerah, sementara basis perizinan ada di tangan masing-masing pemerintah daerah (secara teknis dilaksanakan oleh pemerintah tingkat dua, yaitu kabupaten dan walikota), muncul kerumitan bagi para profesional pariwisata. Karena kerumitan ini, para pelaku pariwisata seringkali tidak mengikuti peraturan perizinan tersebut secara ketat. Hal ini sekaligus menunjukkan karakter khas dari sektor jasa pariwisata ini sebagai sebuah bidang yang cenderung terbuka sehingga peraturan atau hal-hal administratif seperti sertifikasi seringkali tidak dianggap terlalu penting. Dari aspek infrastruktur, Indonesia juga masih tertinggal, bahkan cukup jauh, dari beberapa negara ASEAN yang lain. Penting untuk mengingat bahwa MRA-TP berkaitan dengan Moda 4 dalam sektor jasa pariwisata ini, yaitu mendorong mobilitas tenaga kerja terampil dalam bidang pariwisata. Artinya, para profesional pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan daya saing mereka jika mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata di negara lain dengan baik. Berdasarkan gambaran tersebut, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan untuk meningkatkan daya saing tenaga profesional pariwisata di Indonesia: 1. Harmonisasi tata kelola kepariwisataan di Indonesia, misalnya dengan membentuk layanan satu pintu untuk lisensi/perizinan di level nasional dengan melibatkan pemerintah daerah. 2. Para profesional pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan daya saing mereka jika mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata di negara lain dengan baik, seperti misalnya membuka bisnis pariwisata di Singapura atau Malaysia yang peringkatnya lebih baik, lalu diintegrasikan dengan pariwisata Indonesia (misalnya: Paket Wisata ASEAN). Untuk itu, perlu 81 A SC FISIP UI

82 dukungan pemerintah untuk memetakan peluang di sektor ini di berbagai negara ASEAN yang lain. 3. Perbaikan infrastruktur pariwisata dan infrastruktur pendukung seperti infrastruktur transportasi darat dan udara. 4. Mendorong tenaga profesional pariwisata di Indonesia untuk memiliki sertifikasi. Karena banyak pelakunya saat ini masih tidak memandang hal tersebut penting, pemerintah harus proaktif dengan tidak menunggu para profesional ini datang untuk diuji. Pemerintah bisa mendatangi tempattempat di mana banyak profesional ini berkumpul dan melakukan proses sertifikasi di tempat tersebut (semacam Sertifikasi Profesional Pariwisata Keliling ). 82 A SC FISIP UI

83 IX Surveying Qualifications IX.1. ASEAN MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications Sebagai salah satu sektor yang masuk di dalam pasar jasa ASEAN, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications ditandatangani di Singapura, pada tanggal 19 November 2007 oleh kesepuluh perwakilan negara-negara ASEAN. Pada saat itu, dokumen MRA ASEAN dalam bidang surveying ini perwakilan Indonesia ditandatangani oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Seperti halnya MRA di bidang-bidang lainnya, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications juga mengandung gambaran dan aturan umum mengenai pengaturan bidang surveying di ASEAN. Di dalam kerangka kerja MRA bidang surveying qualifications, ada beberapa pendefinisian mengenai bidang surveying qualifications. Pertama, yang disebut dengan surveyor adalah warga negara dari negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana pada universitas atau perguruan tinggi pada program surveying yang telah diakui oleh otoritas kompetensi. Kedua, surveying professional merujuk kepada surveyor yang memiliki pengalaman atau keahlian teknis yang sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh otoritas kompetensi. Sementara, yang disebut dengan surveying services adalah satu atau lebih dari satu aktivitas yang terjadi di atas atau di bawah permukaan tanah atau laut dan dikelola oleh asosiasi dengan pekerja profesional seperti yang didefinisikan dalam International Federation of Surveyors (FIG), yang dijelaskan di dalam Appendix II di dalam MRA tersebut. 129 Di dalam Appendix II MRA Framework for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications disebutkan definisi FIG tentang fungsi dari surveyor. 130 Menurut FIG, yang disebut dengan surveyor adalah a professional person with the academic qualifications and technical expertise to conduct one, or more, of the following activities: to determine, measure and represent land, three-dimensional objects, pointfields and trajectories; to assemble and interpret land and geographically related information, to use that information for the planning and efficient administration of the land, the sea and any structures thereon; and, to conduct research into the above practices and to develop them Di dalam Article III di MRA tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi aturan umum mengenai pengakuan sektor survei di negara-negara ASEAN. Pertama adalah masalah pendidikan. Dalam hal pendidikan, seorang calon surveyor harus bisa memenuhi kompetensi pendidikan yang disyaratkan di negara asalnya (home country) sesuai dengan aturan dan kualifikasi yang ada di negara asalnya. Sementara, jika ia ingin mendapatkan pengakuan di negara lain, calon surveyor ini harus memenuhi standar yang diberikan oleh negara tujuan (host country) di mana ia ingin memperoleh pengakuan. Kedua, masalah examinations. Negara-negara ASEAN 129 ASEAN Framework Arrangement MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article Di dalam ulasan berikutnya penggunaan istilah surveying bersifat interchangeable dengan pemetaan, survei. 83 A SC FISIP UI

84 mengakui bahwa bisa jadi ada persyaratan bagi para calon surveyor untuk memenuhi ujian yang ditujukan untuk memastikan bahwa aplikan mempunyai pengetahuan yang memadai atas praktik, standar, dan peraturan lokal dan nasional di host country. Namun jika calon surveyor profesional sudah memperoleh pengakuan nasional di home country, maka ia bisa saja tidak perlu mengikuti seluruh ujian yang disyaratkan di host country, sepanjang persyaratan pendidikan dan persyaratan profesional lainnya telah terpenuhi. 131 Aturan umum yang ketiga adalah masalah pengalaman (experience), di mana aplikan harus memenuhi standar minimum durasi pengalaman teknis profesional dalam hal surveying setelah lulus sarjana. Jumlah dan jenis pengalaman yang disyaratkan harus sesuai dengan yang diminta oleh host country, jika belum terpenuhi, aplikan bisa melengkapinya di negara tujuan. Aturan pengakuan keempat adalah proses pengakuan (recognition process) yang mensyaratkan bahwa seluruh negara ASEAN harus memastikan bahwa semua standar yang diadopsi terkait pengakuan, regsitrasi atau lisensi atas surveying professional dari negara ASEAN lainnya harus berdasarkan kompetensi dan bisa diakses dengan mudah. Negara-negara ASEAN setuju bahwa perihal registrasi dan/atau lisensi dari surveying professional pada yurisdiksinya disesuaikan dengan hukum dan peraturan domestik, kebijakan, standard an kebutuhan nasional. 132 Dengan kata lain, peraturan domestik masih dijadikan sebagai pertimbangan untuk menerapkan standar regional di kalangan negara-negara ASEAN. Meskipun di dalam kerangka kerja MRA dalam bidang surveying ini diatur mengenai hak negara untuk mengatur bagaimana bidang surveying diatur di dalam negeri, di dalam Article IV dijelaskan bahwa pengaturan lokal tersebut harus disesuaikan dengan tujuan dari perjanjian kerangka kerja tanpa menciptakan hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary barriers) bagi pengakuan surveying professional yang akan masuk ke suatu negara. Satu hal yang menarik untuk dilihat adalah dibandingkan dengan sub sektor jasa lain yang sudah diatur dalam masing-masing MRA, sektor surveying ini di seluruh negara ASEAN dipegang oleh instansi pemerintah, sementara di sektor MRA lainnya didelegasikan kepada asosiasi profesi dengan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait. Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena bidang survei pemetaan berhubungan langsung dengan kekuasaan geografis suatu negara dengan kata lain berkaitan pula dengan kedaulatan negara dalam hal geografi. Oleh sebab itu, dalam Appendix I di dalam kerangka kerja MRA surveying tersebut, competent authority dari setiap negara dipegang oleh instansi pemerintah di bawah kementerian. Di Indonesia sendiri, otoritas yang merupakan representasi Indonesia dalam MRA framework bidang surveying didelegasikan kepada Badan Informasi Geospasial (atau sebelumnya dikenal dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Selain itu, tidak semua informasi geospasial yang dimiliki oleh badan informasi bidang geospasial tersebut bisa dipublikasikan. Banyak jenis data yang memang tidak bisa dibagi secara luas dan hanya untuk kepentingan negara saja. 133 Hal ini bisa jadi mencakup pemetaan potensi sumber daya alam yang ada di suatu negara dan jika informasi mengenai hal ini bisa diakses dengan mudah akan dapat 131 ASEAN Framework Arrangement for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article 3.2 (b) 132 Ibid,. Article 3.4 (b) 133 Disarikan dari 84 A SC FISIP UI

85 dimanfaatkan oleh pihak investor asing untuk melakukan eksplorasi sumber daya di negara tersebut yang mana pengelolaan sumber daya seharusnya berada penuh di tangan negara. IX.2. Gambaran Umum Bidang Surveying di Indonesia Di Indonesia, bidang survei dan pemetaan menjadi sangat vital karena keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau membentang di teritori Indonesia. Perlu adanya kualitas surveyor yang tinggi untuk mampu memberikan produk pemetaan yang komprehensif di Indonesia. Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku badan nasional yang mengurusi bidang pemetaan merupakan badan yang lahir dari Peraturan Presiden nomor 94 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang menggantikan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional yang telah ada sebelumnya. Jika dibandingkan dengan sektor jasa lainnya, sektor survei di Indonesia belum memiliki asosiasi profesi bidang pemetaan. 134 Seluruh koordinasi mengenai survei dan pemetaan di Indonesia berdasarkan Federasi Surveyor Internasional berada di bawah BIG dan Badan Pertanahan Nasional. Di Indonesia memang ada asosiasi perusahaan survei dan pemetaan, akan tetapi tidak mencakup individu profesi di dalamnya, hanya mendata perusahaan yang bergerak di bidang pemetaan dan survei. Data terakhir yang diperoleh menyebutkan bahwa di dalam Asosiasi Perusahaan Survei dan Pemetaan Informasi Geospasial, terdapat 103 perusahaan yang tercatat, namun dari jumlah itu hanya 66 perusahaan yang aktif sebagai anggota di asosiasi tersebut. 135 Kompetensi bagi bidang informasi geospasial (IG) di Indonesia distandardisasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Penyusunan SKKNI bidang IG ini merupakan bagian dari pembangunan SDM IG secara nasional, agar dapat mendukung kebijakan One Map Solution. SKKNI bidang IG disusun berdasarkan amanat UU No 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial terutama pasal 55 dan 56. Penyusunan SKKNI bidang IG sudah mulai dibangun tahun 2012, dan diharapkan tahun ini sudah bisa mulai diterapkan. Saat ini penyusunan Rancangan SKKNI (RSKKNI) telah selesai dilaksanakan oleh Tim Perumus yang terdiri dari sekitar 60 pakar-pakar dari berbagai keahlian dibidang IG. 136 SKKNI ini secara umum penting untuk menjaga kualitas sumber daya manusia yang secara spesifik memiliki keahlian teknis di suatu bidang. Dalam bidang pendidikan dan pelatihan, secara umum SKKNI penting untuk memberikan informasi untuk pengembangan program dan kurikulum serta digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan penilaian dan sertifikasi. Untuk dunia usaha atau industri dan penggunaan tenaga kerja, SKKNI ini penting untuk membantu rekrutmen pegawai, membantu penilaian dan evaluasi kerja, membuat uraian jabatan kerja, dan untuk mengembangkan program pelatihan yang spesifik berdasar kebutuhan dunia atau industri. Sementara untuk institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi, SKKNI bidang informasi geospasial penting sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program sertifikasi bidang informasi 134 Berdasarkan informasi narasumber dari Badan Informasi Geospasial pada FGD 15 November Diolah dari situs BIG Selenggarakan Verifikasi Internal RSKKNI Bidang Informasi Geospasial, diakses dari 85 A SC FISIP UI

86 geospasial sesuai dengan kualifikasi dan level kompetensi profesi survei. Semua fungsi tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas SDM dalam rangka menjamin kualitas data/informasi spasial yang dihasilkan. Dalam bidang IG, SKKNI dikelompokkan ke dalam 6 sub bidang: 1. Survei Terestris 2. Hidrografi 3. Fotogrametri 4. Penginderaan jauh 5. Kartografi 6. Sistem informasi geografis Dari masing-masing bidang tersebut, terdapat unit kompetensi yang menjadi kualifikasi untuk menentukan standar kompetensi seorang surveyor sesuai dengan bidang keahlian spesifik. Unit-unit kompetensi ini merupakan kumpulan persyaratan teknis yang harus dikuasai oleh seorang surveyor untuk menguji kemampuannya. Tabel IX.1. Jumlah Unit Kompetensi Bidang Informasi Geospasial LEVEL SUB-BIDANG JUMLAH UK 1 Surveying 14 2 Hidrografi 33 3 Fotogrametri 16 4 Pengindraan Jauh 21 5 SIG 13 6 Kartografi 5 JUMLAH 102 Sumber: BIG 2013 Selain itu, dalam penyusunan SKKNI IG ini, diklasifikasikan pula kualifikasi berdasarkan jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh lulusan di bidang informasi geospasial mulai dari ahli hingga level operator. Peta kompetensi tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini: 86 A SC FISIP UI

87 Tabel IX.2. Peta Kompetensi Surveyor Akademik Pendidikan Vokasi Kualifikas i Pelatihan / Pengalaman S3 IX Ahli 3 S2 Pend. Spesialis Pend. Terapan VIII Ahli 2 VII Ahli 1 S1 D4 VI Teknisi / Analis 3 D3 V Teknisi / Analis 2 D2 IV Teknisi / Analis 1 D1 III Operator 3 SM II Operator 2 SD I Operator 1 Sumber: BIG 2013 IX.3. Sumber Daya Manusia, Tata Kelola dan Infrastruktur Tidak bisa banyak yang digali dalam bidang surveying qualifications ini terutama terkait data mengenai profesi yang ada di dalamnya karena memang tidak adanya data yang bisa diakses mengenai hal itu. Sekalipun rancangan SKKNI dibuat untuk masing-masing bidang di sektor surveying, akan tetapi jumlah sumber daya manusia yang berada di bidang sektor surveying di Indonesia saja tidak bisa diakses. Hal ini menyulitkan bagi publik untuk mengetahui bagaimana gambaran pekerja terampil Indonesia dalam hal surveying. Dalam paparan berikut ini akan diuraikan kelebihan dan permasalahan apa yang dihadapi oleh sektor surveying di Indonesia. Berdasarkan data dari narasumber ketika diskusi dengan perwakilan dari BIG, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat sebagai gambaran umum kompetensi pekerja survei di Indonesia. Pertama, secara umum kualitas pekerja survei di Indonesia itu sangat bagus. Jika dilihat berdasarkan kategorisasi kompetensi pekerja survei, tingkatan di Indonesia secara umum di atas Kualifikasi VII, yang berarti secara rata-rata sudah berada pada level Ahli 1 ke atas. Bahkan, jika dibandingkan dengan kualitas tenaga survei dengan negara-negara ASEAN lainnya, kualitas tenaga survei di Indonesia jauh lebih baik. Akan tetapi, sayangnya tidak ada data kuantitatif yang mendukung penjelasan tersebut. 137 Hal ini tentunya amat disayangkan sebab jika 137 FGD 15 November A SC FISIP UI

88 data primer mengenai jumlah tenaga ahli maupun terampil dalam bidang survei tersedia, maka akan lebih bisa dipetakan kompetensinya berdasar standar kompetensi yang ada. Kedua, dari sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik seperti dijelaskan sebelumnya, kualitas produk pemetaan di Indonesia pun juga dinilai sebagai salah satu yang terbaiik di dunia. Sebagai contoh, pemetaan daerah pesisir dan garis pantai di Indonesia merupakan pemetaan pesisir terbaik di dunia. 138 Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan yang muncul di dalam sektor surveying di Indonesia yang cukup krusial. Permasalahan-permasalahan tersebut mencakup ketiadaan asosiasi pekerja survei hingga regulasi pemerintah. Pertama, ketiadaan data primer yang memuat jumlah tenaga terampil atau ahli di Indonesia mengenai survei, yang meliputi: kebutuhan tiap tahun atas tenaga survei apakah kita kekurangan atau memiliki tenaga yang cukup, jumlah lulusan dari perguruan tinggi yang bergerak di bidang survei seperti dari bidang geografi, geologi, kebumian, dan ilmu terkait lainnya. Kedua, ketidakjelasan mengenai asosiasi profesi surveyor Indonesia. Di awal paparan mengenai sektor surveying dijelaskan bahwa di Indonesia belum ada asosiasi bagi profesi surveyor dalam pemetaan. Jika dilihat dari situs FIG, untuk profil negara Indonesia, referensi yang diambil merujuk kepada Badan Pertanahan Nasional, Bakosurtanal (BIG), Kementerian Komunikasi dan Informasi, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Sementara, ternyata ada Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) yang didirikan semasa Orde Baru yang bergerak dalam bidang survei dan pemetaan. Namun ternyata tidak ada keterkaitan antara BIG, BPN, dengan ISI, khususnya dalam hal koordinasi mengenai profesi survei dan pemetaan. Jika dilihat dari kebijakan pemerintah, terutama dalam hal penyelenggaraan profesi di bidang pemetaan, cukup disayangkan bahwa penyerapan lulusan dari sarjana ilmu-ilmu terkait survei di Indonesia tidak tinggi. Hal ini menyebabkan sedikitnya peluang bagi sarjana dari ilmu-ilmu terkait untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan pendidikan dan keahlian yang diperoleh ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu akibatnya adalah banyak sarjana geografi, semisal, yang justru bekerja di sektor non-pemetaan karena penyerapan tenaga di bidang pemetaan tidak sebanyak tenaga ahli yang tersedia. Adanya tumpang tindih peraturan juga menjadi salah satu kendala dalam hal koordinasi. Dalam hal survei dan pemetaan, Badan Pertanahan Nasional juga merupakan salah satu otoritas pemerintah yang memiliki kewenangan, khususnya dalam mengeluarkan lisensi untuk surveyor. Hal ini menjadi rancu ketika di dalam MRA bidang surveying, pihak yang menjadi delegasi Indonesia adalah Badan Informasi Geospasial, namun BIG justru tidak mengeluarkan lisensi atas surveyor. Infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi permasalahan dalam pengembangan kualitas profesi survei di Indonesia. Hal ini merupakan satu masalah besar sebab dengan bentang Indonesia yang sangat luas, memang diperlukan anggaran yang besar untuk memenuhi tingkat kebutuhan infrastruktur dan teknologi dalam pemetaan. Semisal, dalam hal pemetaan perbatasan wilayah Indonesia, problematika kelembagaan perbatasan Indonesia yaitu belum memiliki aturan 138 Disampaikan ketika forum penjurian sesi presentasi makalah di acara pemilihan mahasiswa berprestasi nasional di Bandung, Juli 2013 oleh Prof. Widyo Nugroho Sulasdi, Guru Besat Geologi ITB 88 A SC FISIP UI

89 baku dan grand design, serta model pengelolaan yang dikembangkan masih parsial. Persoalan yang muncul, komite-komite perbatasan diketuai oleh instansi berbeda, hubungan pemerintah-daerah belum memiliki mekanisme jelas, tidak adanya kontrol dan monitoring, serta lemahnya hubungan koordinatif. 139 IX.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Sektor survei dan pemetaan merupakan bidang yang sangat vital bagi kedaulatan negara dan oleh sebab itu MRA Framework dalam bidang survei dan pemetaan ini menempatkan instansi pemerintah, badan nasional, atau kementerian terkait sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk berkoordinasi secara regional dalam konteks ASEAN. Mengingat vitalnya sektor surveying, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan keunggulan geografis agar mampu menghasilkan tenaga atau pekerja terampil dalam hal surveying. Jika pemanfaatan keunggulan geografis ini bisa dilaksanakan, maka tidak mustahil bahwa daya saing atau kekompetitifan Indonesia dalam hal surveying benar terwujud. Akan tetapi, di dalam sektor pemetaan ini, justru Indonesia belum mampu memanfaatkan keunggulan yang dimiliki. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masalah yang ada seperti dijelaskan di bagian sebelumnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menyarankan beberapa rekomendasi untuk perbaikan di dalam sektor pemetaan, antara lain: 1. Koordinasi intra-sektor yang harus diperjelas. Seperti yang disebutkan di atas bahwa ketidakjelasan mengenai asosiasi profesi tenaga survei membuat absennya wadah bagi profesi surveyor untuk bisa menyatukan kebutuhannya melalui ikatan profesional. Sekalipun ternyata ISI merupakan asosiasi profesi surveyor, dalam kaitannya dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN, ISI harus bekerja sama dengan BIG selaku badan nasional yang ditunjuk untuk menangani MRA dalam bidang surveying agar terdapat harmonisasi kebijakan. Harmonisasi kebijakan harusnya juga dilakukan dengan Badan Pertanahan Nasional sebab badan tersebut yang mengeluarkan lisensi mengenai surveyor di Indonesia yang resmi dari pemerintah. 2. Kaitannya dengan penyediaan data mengenai tenaga profesi survei dan pemetaan, perlunya asosiasi yang jelas berguna untuk mengumpulkan data mengenai anggota yang ada di dalam asosiasi profesi tersebut. Ketersediaan data mengenai anggota profesi survei dan pemetaan akan membantu menentukan sejauh mana jumlah tenaga survei di Indonesia telah mencukupi kebutuhan yang diperlukan, atau justru masih belum mencukupi. Selain itu, penyediaan data juga penting untuk melihat kompetensi dan kualifikasi anggota profesi agar mampu bersaing baik dalam skala nasional, dan khususnya untuk menghadapi liberalisasi dalam sektor survei dan pemetaan. 3. Dalam hal pemanfaatan sumber daya manusia, penyerapan lulusan perguruan tinggi atas sederajat dalam bidang kebumian, geografi, geologi, dan sejenisnya perlu ditingkatkan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, yang diartikan membutuhkan ahli dalam bidang survei dan pemetaan dalam skala besar pula. 139 Laporan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Pakar Geopolitik Kelautan dan Pesisir, 25 Januari 2011, diakses dari _Komisi_II_DPR_RI_dengan_Pakar_Geopolitik,_Kelautan_dan_Pesisir.pdf 89 A SC FISIP UI

90 X Jasa Akuntansi (Accountancy Services) X.1. Tentang ASEAN MRA Framework on Accountancy Services Pada tanggal 26 Februari 2009, negara-negara ASEAN menyepakati MRA Framework untuk sektor jasa akuntansi (accountancy services). Pihak yang mewakili Indonesia adalah Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sebagai sebuah MRA Framework, kesepakatan tersebut tidak langsung mengatur secara detail namun memberikan panduan mengenai prinsip-prinsip besar dan kerangka kerja sama yang dapat menjadi panduan untuk negosiasi lebih lanjut tentang MRA di sektor tersebut di antara negara-negara ASEAN. Di dalam dokumen tersebut, definisi Accountancy Services merujuk pada kegiatan-kegiatan yang masuk ke dalam klasifikasi Central Product Classification (CPC) 862 dari Provisional CPC dari Persatuan Bangsa-Bangsa, ditambah dengah berbagai jasa terkait akuntansi atau jasa-jasa yang bersifat insidental bagi penyedia Jasa Akuntasi, yang ditentukan oleh kesepakatan di antara atau kesepakatan bersama negara-negara ASEAN yang menegosiasikan MRA di sektor Jasa Akuntasi (sebagai tindak lanjut dari MRA Framework yang disepakati tahun 2009 ini). 140 Menurut CPC 862, jasa akuntasi, audit dan bookkeeping digolongkan sebagai bagian dari subsektor A dari Jasa-Jasa Bisnis di dalam Services Sectoral Classification List (MTN.GNS/W/120). Di dalam Provisisonal CPC, kategori Accounting, auditing and bookkeeping services" (atau sering disebut dengan CPC 862) tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kategori. Di dalamnya terdapat Accounting and Auditing Services (CPC 8621) yang meliputi: (1) financial auditing services (CPC86211, yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap catatan pembukuan serta bukti-bukti pendukung organisasi yang lain dengan tujuan untuk menyampaikan opini tentang apakah pernyataan keuangan dari organisasi tersebut telah menunjukkan dengan baik posisi keuangan organisasi tersebut pada tanggal tertentu dan hasil-hasil dari kegiatannya pada periode yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum ); (2) accounting review services (CPC 86212; yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap financial statements tahunan atau sementara dan berbagai informasi pembukuan yang lain, yang cakupannya lebih kecil dibandingkan audit sehingga tingkat keyakinannya lebih rendah dibandingkan dengan audit), (3) Compilation of financial statements services (CPC 86213, yaitu jasa menyusun laporan keuangan berdasarkan informasi yang diberikan oleh klien. Tidak ada jaminan yang diberikan mengenai akurasi dari laporan tersebut.), dan (4) jasa akuntansi yang lain (CPC 86219). Kategori yang lain adalah jasa pembukuan ( bookkeeping services ) yang diberi kode CPC 8622, yaitu jasa mengklasifikasi dan mencatat transaksi bisnis dalam 140 ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, pasal A SC FISIP UI

91 nilai uang atau unit penilaian tertentu di dalam buku catatan keuangan (books of account). 141 MRA Framework tersebut juga menggariskan prinsip-prinsip dasar mengenai dasar-dasar pengakuan profesi di sektor jasa akuntansi. Dalam aspek persyaratan pendidikan, MRA Framework ini menggariskan bahwa Akuntan Profesional Aktif ( Practicing Professional Accountant ) dari sebuah negara anggota ASEAN yang menginginkan pengakuan untuk dapat bekerja di negara anggota ASEAN yang lain harus memenuhi syarat-syarat pendidikan akuntan di negara asalnya, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk mengakui bahwa orang tersebut telah memenuhi syaratsyarat pendidikan di negara tempatnya akan bekerja (host country). MRA Framework ini juga menggariskan bahwa akuntan profesional yang menginginkan pengakuan di negara ASEAN yang lain juga harus menunjukkan kompetensinya untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan-peraturan domestik dari Host Country yang ditujunya. Selain itu, ia juga harus memenuhi persyaratan pengalaman yang ditentukan di dalam peraturan domestik dari Host Country. Dalam MRA Framework ini kita melihat bahwa peraturan domestik berkaitan dengan jasa akuntansi akan sangat berpengaruh dalam menentukan jalannya MRA di sektor jasa akuntansi tersebut. MRA Framework ini mengakui keberagaman peraturan domestik di dalam jasa akuntasi di masing-masing negara ASEAN dan tidak hendak memaksakan keseragaman. Bahkan, di dalam pasal 4 dokumen tersebut disebutkan bahwa: Any bilateral or multilateral MRAs on Accountancy Services between or among ASEAN Member States shall not prejudice the rights, powers and authority of each ASEAN Member State and its NAB and/or PRA and other regulators of the profession to set and regulate the necessary Domestic Regulations. 142 Meskipun demikian, MRA Framework ini juga mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk menggunakan standar dan panduan dari International Federation of Accountants (IFAC) dengan tetap memperhatikan peraturan domestik di masing-masing negara anggota ASEAN. IFAC adalah organisasi yang menaungi asosiasi-asosiasi akuntan di seluruh dunia. Sekarang, IFAC terdiri dari 173 anggota yang tersebar di 130 negara dan yurisdiksi. Berdasarkan perkiraan jumlah anggota dari organisasi akuntan yang menjadi anggota IFAC, IFAC menaungi sekitar 2,5 juta akuntan di seluruh dunia. 143 Ikatan Akuntan Indonesia, asosiasi yang menaungi para akuntan di Indonesia, aktif dalam keanggotaan IFAC sejak tahun Pada tahun 2011, Ahmad Hadibroto dari Indonesia terpilih menjadi salah satu anggota dewan organisasi IFAC periode Di ASEAN sendiri, Indonesia menjadi salah satu pendiri ASEAN 141 Dokumen WTO Secretariat Note, S/C/W/73, 4 December 1998, diakses dari ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, pasal About IFAC, diakses dari Diakses dari RI Masuk Anggota Dewan Organisasi Profesi Akuntan Dunia, diakses dari 91 A SC FISIP UI

92 Federation of Accountants yang didirikan pada tahun Sekretariat IAI di Jakarta bahkan menjadi sekretariat dari federasi akuntan se-asean tersebut. 146 X.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Akuntansi Jasa akuntansi adalah salah satu sektor jasa yang penting tidak hanya karena ia berperan penting dalam produksi barang dan jasa yang lain, namun juga karena akuntansi sangat penting bagi implementasi dan penegakan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keuangan. Sebagai contoh, melalui proses audit yang dilakukan oleh akuntan, kita dapat mengetahui apakah sebuah lembaga atau perusahaan memiliki kondisi keuangan yang sehat atau tidak, atau apakah ada kebocoran dalam anggaran negara atau perusahaan. Jika kita berbicara tentang jasa yang ditawarkan oleh penyedia jasa akuntan, sebenarnya jasa yang ditawarkan tidak hanya sebatas pada jasa akuntansi saja. Panorama of EU Industry 1997 menyatakan pengamatannya bahwa tidak ada kaitan yang kaku antara jasa akuntansi dengan bidang kegiatan dari profesi akuntan. Hal ini disebabkan karena keahlian-keahlian yang dibangun oleh para akuntan untuk menghasilkan, memproses, menganalisis atau mengaudit informasi keuangan dapat digunakan pula untuk tujuan lain. Banyak penyedia jasa akuntan melebarkan sayapnya ke jasa perpajakan dan konsultan manajemen. 147 Sektor ini menjadi semakin kompleks karena beragamnya peraturanperaturan yang terkait dengan penyediaan jasa akuntansi di masing-masing negara, seperti yang diakui di dalam ASEAN MRA Framework on Accountancy Services. Masing-masing negara memiliki lembaga sendiri yang memberikan lisensi bagi para akuntan dengan peraturan dan persyaratan yang berbeda-beda. Masing-masing negara juga memiliki standar akuntansi yang berbeda-beda. Jika dilihat dari penguasaan pasar, sektor jasa akuntansi ini didominasi oleh entitas yang dikenal sebagai Big 4, yaitu empat perusahaan besar penyedia jasa akuntansi yang menguasai pasar dunia. Keempat perusahaan tersebut adalah PricewaterhouseCoopers (PwC), Ernst & Young, Deloitte, dan KPMG. Sebelumnya, entitas ini disebut sebagai Big 5, yaitu empat perusahaan Big 4 yang telah disebutkan ditambah dengan Arthur Andersen. Arthur Andersen menyerahkan hak untuk berpraktik sebagai akuntan setelah terbukti bersalah dalam skandal Enron pada tahun Keunggulan dari Big 4 ini dapat dipahami karena jaringan internasionalnya yang luas membuatnya memiliki keunggulan komparatif dibanding kantor akuntan kecil dan menengah yang operasinya hanya di satu negara saja. Seiring dengan globalisasi yang mendorong bisnis yang lintas-negara, dominasi Big 4 ini tak terbendung. Secara kumulatif, keempat perusahaan ini mempekerjakan lebih dari staf di seluruh dunia dengan partner mengawasi piramida pekerjaan 146 Diakses dari Dokumen WTO Secretariat Note, S/C/W/73, 4 December 1998, diakses dari 92 A SC FISIP UI

93 yang berisi sekitar profesional. 148 Pada tahun 2012, gabungan pendapatan dari keempat perusahaan tersebut mencapai 110 Miliar USD. Di Asia, pendapatan keempat perusahaan tersebut jika digabungkan telah berlipat ganda dari 7 milyar USD pada tahun 2007 menjadi 18,5 milyar USD pada tahun 2002, dengan pertumbuhan tahun mencapai 8%. 149 Di Indonesia, keempat perusahaan Big 4 ini juga mendominasi. Dwi Setiawan Susanto, Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia, menyebutkan bahwa keempat perusahaan global ini atau afiliasinya di Indonesia mendominasi sekitar 70-80% pasar di sektor jasa akuntansi di Indonesia. 150 Berkaitan dengan kondisi tersebut, kalangan akuntan Indonesia yang tergabung dalam IAI cenderung memandang liberalisasi sektor jasa akuntan di ASEAN pada tahun 2015 nanti dengan pandangan negatif. 151 Menanggapi pandangan tersebut, pemerintah justru mendorong para akuntan Indonesia untuk tidak sekedar bertahan, namun juga menyerang dengan mengekspor jasanya ke negara-negara ASEAN yang lain. 152 Untuk mampu bersaing di ASEAN, apalagi melakukan ekspansi ke negara ASEAN yang lain, tentu akuntan Indonesia harus memiliki daya saing. Bagaimanakah daya saing akuntan Indonesia? Apakah sektor ini sudah didukung dengan tata kelola/regulasi dan infrastruktur yang baik? X.3. Sumber Daya Manusia: Perlu Upaya Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Setelah reformasi pada tahun 1998, banyak Undang Undang baru yang diterbitkan untuk menciptakan good governance dan mencegah terjadinya kejahatan keuangan seperti korupsi. Sebagai dampaknya, lembaga di berbagai sektor kini diwajibkan oleh negara untuk mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian dari Kantor Akuntan Publik yang independen. Berdasarkan data dari IAI, ada organisasi yang perlu mendapatkan WTP, mulai dari lembaga pemerintah, perusahaan, hingga yayasan dan lembaga swadaya masyarakat. 153 Dengan demikian, peluang di sektor jasa akuntansi ini terbuka lebar. Dengan perekonomian Indonesia yang tumbuh di atas 5% per tahun, kebutuhan akan jasa akuntansi juga diprediksikan akan semakin membesar. Namun, jika kita melihat data jumlah akuntan Indonesia, peluang besar ini belum dapat dipenuhi oleh jumlah akuntan tanah air. Dengan jumlah penduduk di atas 240 juta, Indonesia jauh tertinggal di dalam jumlah akuntan yang bergabung ke 148 The Big 4 Firms Performance Analysis, diakses dari Ibid. 150 FGD 15 November Lihat misalnya artikel di dalam laman resmi IAI, Akuntan Indonesia Gamang Menghadapi AFTA 2015 (sic.), diakses dari Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, dalam peringatan Hari Ulang Tahun IAI ke-55 pada tahun Mahendra Harapkan Akuntan Indonesia Tidak Hanya Defensif, diakses dari esia%20tidak%20hanya%20defensif&kat=akuntansi 153 Paparan IAI dalam FGD 15 November A SC FISIP UI

94 dalam asosiasi akuntan nasional (di Indonesia adalah IAI). Pada tahun 2013, Indonesia memiliki akuntan yang tercatat sebagai anggota IAI. Dari segi jumlah nominal saja, jumlah tersebut merupakan sekitar separuh dari jumlah akuntan yang bergabung di dalam asosiasi profesi akuntan di Singapura yang mencapai Jumlah ini juga di bawah Malaysia yang mencatat akuntan sebagai anggota asosiasi akuntan nasional di negara tersebut. Jumlah ini juga kalah jauh jika dibandingkan dengan ekonomi terbesar kedua di ASEAN yaitu Thailand, dengan jumlah akuntan yang menjadi anggota asosiasi. Jumlah akuntan yang menjadi anggota asosiasi di masing-masing negara ASEAN dapat dilihat di dalam tabel berikut ini: Tabel X.1. Jumlah Akuntan yang Menjadi Anggota Asosiasi Akuntan Nasional di Negara-negara ASEAN No Negara Asosiasi Brunei BICPA Kamboja KICPAA Indonesia IAI Laos LICPA Malaysia MIA Filipina PICPA Singapura ICPAS Thailand FAP Vietnam VAA Myanmar MAC Sumber: IAI (2013) Tentu saja, tidak semua akuntan bergabung di dalam asosiasi akuntan. Di Indonesia, tercatat sejumlah akuntan beregister (Mei 2013). Namun, dari jumlah tersebut, tidak semuanya aktif sebagai akuntan. Dalam tabel di bawah ini, digambarkan data jumlah akuntan, akuntan publik dan Kantor Akuntan Publik di Indonesia. 94 A SC FISIP UI

95 Tabel X.2. Jumlah Akuntan Beregister, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik di Indonesia, Akuntan Beregister Akuntan Publik Kantor Akuntan Publik Cabang Kantor Akuntan Publik KAP yang bekerjasama dengan KAP Asing/Organisasi Audit Asing Sumber: IAI (2013) Jumlah Akuntan Publik yang berada di kisaran seribuan ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang lain. Pada tahun 2012, jumlah Akuntan Publik di Malaysia tercatat sekitar orang. Di Thailand, jumlah Akuntan Publik tercatat pada angka sekira 6000 orang. Sementara itu, tercatat sejumlah orang Akuntan Publik di Filipina. 154 Jika kita perhatikan, jumlah Akuntan Publik di Indonesia tidak bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Grafik X.1. Pertumbuhan Jumlah Akuntan Publik Sumber: Kementerian Keuangan Akuntan Indonesia Gamang Menghadapi AFTA 2015 (sic.), diakses dari Diakses dari 95 A SC FISIP UI

96 Selain jumlah, hal lain yang menjadi tantangan adalah struktur usia dari Akuntan Publik di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, 62% dari Akuntan Publik kita berusia di atas 50 tahun. Yang berusia tahun merupakan 25% dari total Akuntan Publik Indonesia. Hanya ada 97 Akuntan Publik di Indonesia yang usianya di bawah 40 tahun. Grafik X.2. Struktur Usia Akuntan Publik di Indonesia Sumber: Kementerian Keuangan 156 Berkaitan dengan beragamnya standar akuntansi yang berlaku di masingmasing negara, sulit untuk menemukan ukuran untuk menunjukkan kualitas dari akuntan Indonesia jika dibandingkan dengan yang lain. Meskipun demikian, dokumen World Bank tentang Report on the Observance of Standards and Codes dalam bidang Accounting and Auditing tahun 2010 (selanjutnya disebut dengan Accounting and Auditing ROSC 2010) menyebutkan beberapa catatan yang dapat menjadi panduan kita untuk mendapatkan gambaran mengenai kualitas dari akuntan publik di Indonesia. Laporan yang disusun dengan melibatkan berbagai stakeholders dalam bidang akuntansi dan audit di Indonesia tersebut misalnya menyebutkan bahwa tingkat kesesuaian dengan standar akuntansi yang berlaku berbeda di antara Kantor Akuntan Publik dengan ukuran yang berbeda. KAP dengan ukuran kecil biasanya lebih sulit untuk mempersiapkan quality control dari audit karena keterbatasan sumber daya. Di KAP besar yang berafiliasi dengan KAP Asing yang besar (The Big 4), hasil audit seringkali dianggap mampu memenuhi standar internasional namun ada beberapa kasus di mana quality control juga tidak terjaga dengan baik karena proses audit lebih banyak dilakukan oleh akuntan junior. 157 ROSC 2010 tersebut juga melakukan wawancara dengan pihak PPAJP Kementerian Keuangan yang kemudian menemukan bahwa dari lebih dari 400 KAP 156 Diakses dari World Bank, Accounting and Auditing Report on the Observance of Standards and Codes 2010, diakses dari 96 A SC FISIP UI

97 yang ada di Indonesia, hanya sedikit yang mampu memenuhi standar akuntansi yang ada dengan baik. Beberapa compliance gap yang muncul antara lain: Banyak auditor tidak melakukan audit planning dengan baik. 2. Banyak dokumentasi yang diperlukan tidak disiapkan di dalam laporan. Bahkan ketika proses yang dilakukan benar, tidak semua dokumentasi ini dimasukkan dalam laporan untuk menunjukkan bukti dari hasil audit tersebut. 3. Banyak auditor dianggap tidak secara serius melakukan upaya untuk mendeteksi pemalsuan (fraud). 4. Banyak auditor tidak melakukan upaya untuk memeriksa asumsi going concern (keberlangsungan usaha) yang digunakan oleh manajemen. 5. Banyak auditor tidak terlalu serius untuk menerapkan langkah-langkah yang ketat untuk mengenal, menilai, dan merespon resiko dari financial misstatement yang mungkin ditimbulkan oleh tidak tersedianya penjelasan tentang hubungan dengan berbagai pihak yang lain. 6. Auditor seringkali menerima begitu saja valuasi dari pihak manajemen tanpa secara kritis memberikan penilaian. Auditor juga sering begitu saja menerima penilaian dari auditor yang lain tanpa memeriksa kualitas dari auditor yang menyusun laporan tersebut. Compliance Gap ini kemudian memunculkan beberapa persepsi terkait kualitas jasa akuntansi di Indonesia. Meskipun para pelaku pasar menganggap bahwa ada peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir, para pelaku pasar cenderung lebih percaya kepada laporan yang dihasilkan oleh KAP besar yang berafiliasi dengan The Big 4. Selain itu, ada pula persepesi bahwa sarjana akuntansi yang baru saja lulus tidak memiliki kemampuan praktis dan kurang pelatihan profesional. 159 Permasalahan-permasalahan tersebut dapat digambarkan menjadi semacam kondisi telur-ayam: Kualitas Akuntan Publik Indonesia banyak yang belum memenuhi standar internasional karena pasar jasa akuntansi dikuasai oleh segelintir KAP yang berafiliasi dengan The Big 4, sehingga mayoritas KAP Indonesia tidak mampu menyediakan program untuk meningkatkan kualitas akuntannya. Sebaliknya, pasar jasa akuntansi dikuasi oleh The Big 4 karena kualitas akuntan di mayoritas KAP Indonesia dipersepsikan oleh pasar sebagai kurang dapat diandalkan jika dibandingkan dengan The Big 4. Hal inilah yang melandasi penolakan IAI pada tahun 2005 terhadap rencana liberalisasi sektor jasa akuntansi. IAI menyarankan yang seharusnya dilakukan adalah Mutual Recognition Arrengement yang dilakukan terbatas secara bilateral. Persaingan di antara KAP Indonesia terjadi di pasar yang kecil (sekitar 20% karena kue besar sudah didominasi oleh Big 4 yang menguasai sekitar 80% pasar). Jika ditambah dengan akuntan asing dari negara ASEAN yang lain, dikhawatirkan akuntan 158 Ibid. 159 Ibid. 97 A SC FISIP UI

98 Indonesia akan mengalami kesulitan. 160 meningkatkan kualitas akuntan Indonesia. Diperlukan upaya yang serius untuk Salah satu permasalahan penting lainnya adalah bahwa seringkali ukuran yang digunakan oleh pasar (dan World Bank di dalam ROSC-nya) untuk mengukur kualitas akuntan adalah kesesuaian dengan standar internasional, dalam hal ini adalah IFRS (International Financial Reporting Standards) yang disusun oleh International Accounting Standard Board (IASB). James Perry dan Andreas Nolke, dalam The Political Economy of International Accounting Standards, menunjukkan bahwa pembuatan standar akuntansi tersebut harus dilihat sebagai sebuah fenomena politik. 161 Dalam hal ini, kedaulatan negara dalam menentukan standar akuntansi dipindahkan pada entitas swasta yaitu IASB yang didorong oleh perusahaanperusahaan dari negara maju. Tentu saja, Kantor Akuntan Publik Global yang besar seperti Deloitte, PricewaterhouseCoopers, KPMG dan Ernst & Young memiliki kesiapan yang jauh lebih baik untuk memenuhi standar tersebut dibandingkan dengan KAP lokal. Untuk meningkatkan daya saing akuntan Indonesia, IAI saat ini sedang melakukan proses konvergensi dengan IFRS, yaitu dengan menyesuaikan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan IFRS. Penyesuaian yang paling baru akan mulai berlaku pada 1 Januari X.4. Tata Kelola/Regulasi Secara umum, tata kelola dalam sektor jasa akuntansi ini sudah cukup mapan dan semakin baik. Accounting and Auditing ROSC 2010 dari World Bank menyebutkan bahwa secara umum, para pemangku kepentingan melihat bahwa kerangka institusional untuk pelaporan keuangan perusahaan telah menjadi semakin baik dalam 10 tahun terakhir (tahun 2000-an). 163 Undang-Undang yang menjadi dasar bagi penyediaan jasa akuntansi di Indonesia adalah Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan dan Undang-Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Undang- Undang No. 5 tahun 2011 mencabut pasal 4 dan 5 dari UU No. 34 tahun Berdasarkan UU No. 5 tahun 2011 tersebut, Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: Fadilah Kartikasasi, Siapkah Akuntan Indonesia Menghadapi Persaingan Global, diakses dari James Perry dan Andreas Nolke, The Political Economy of International Accounting Standards, Review of International Political Economy, Vol. 13. No. 4, 2006, halaman Dewan Standar Akuntansi Keungan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI), Progress Report DSAK IAI: Perkembangan Konvergensi IFRS di Indonesia, dipresentasikan di Hotel Arya Duta, Jakarta, 30 Juli World Bank, Accounting and Auditing Report on the Observance of Standards and Codes Undang Undang No. 5 tahun 2011, pasal A SC FISIP UI

99 a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah; b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan Publik; f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan h. tidak berada dalam pengampuan. Undang-Undang tersebut juga mengatur bahwa pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik dan/atau KAP atas informasi keuangan historis suatu klien untuk tahun buku yang berturut-turut dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu. 165 Hal ini dianggap penting untuk menjaga independensi auditor dan sekaligus menyehatkan persaingan di antara akuntan publik. Hal ini terbukti misalnya pada dampak pembatasan pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan pada satu klien. Pada tahun 2003, Kementerian Keuangan menerbitkan KepMenkeu RI No. 359/KMK.06/2003 yang merupakan revisi dari KepMenkeu RI No 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik yang membatasi jasa audit umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP maupun masing-masing partnernya. Akuntan dibatasi maksimal melakukan audit selama 3 tahun berturut-turut untuk klien yang sama dan KAP dibatasi maksimal untuk 5 tahun berturut-turut. Sebelumnya, satu KAP dapat menangani 1 klien hingga sepuluh tahun berturut-turut dan menyebabkan persaingan yang tidak sehat. 166 Dengan demikian, kita melihat bahwa peraturan-peraturan terkait dengan jasa asuransi di Indonesia dapat dikatakan telah cukup mapan dan semakian membaik. Meskipun demikian, IAI mencatat ada beberapa hal yang harus diperbaiki, antara lain: a. Dalam UU yang ada, Akuntan hanya sebagai gelar, b. Daftar Register Akuntan masih diperlakukan hanya sebagai suatu proses administratif, c. tidak ada proses pembinaan, d. jumlah riil yang bergelar akuntan yang masih berprofesi sebagai Akuntan tidak dapat diketahui. e. belum ada privilege untuk pemegang gelar Akuntan. 165 Undang Undang No. 5 tahun 2011, pasal Fadilah Kartikasasi, Siapkah Akuntan Indonesia Menghadapi Persaingan Global 99 A SC FISIP UI

100 Dengan latar belakang tersebut, IAI mengusulkan untuk melakukan redefinisi terhadap Akuntan sebagai gelar profesi. Dengan demikian, setiap akuntan harus memiliki karakteristik: (1) mengikuti proses pendidikan di bidang akuntansi dan lulus ujian sertifikasi profesi akuntansi; (2) memiliki pengalaman di bidang akuntansi; (3) Menjaga kompetensi dengan mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan (PPL); dan (4) menjadi anggota asosiasi profesi (profesional body). 167 Dengan demikian, diharapkan kualitas dan daya saing akuntan Indonesia akan meningkat. Setelah reformasi pada tahun 1998, banyak Undang Undang baru yang diterbitkan untuk menciptakan good governance dan mencegah terjadinya kejahatan keuangan seperti korupsi. Sebagai dampaknya, lembaga di berbagai sektor kini diwajibkan oleh negara untuk mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian dari Kantor Akuntan Publik yang independen. Hal ini juga diharapkan akan mendorong perkembangan jasa akuntansi di Indonesia. Beberapa UU tersebut adalah: UU NO. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal UU NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas UU NO 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan UU NO 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan UU NO. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian UU NO. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara UU NO 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik UU NO 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik Selain peraturan Undang Undang, panduan penting lain dalam tata kelola sektor jasa akuntansi adalah standar akuntansi yang digunakan. Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, masing-masing negara sebenarnya memiliki standar akuntansi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, sejak tahun 1990-akhir, muncul dorongan atau tekanan untuk mendorong berlakunya satu standar global. Pada tahun 1998, World Bank meminta Big Five (waktu itu Big 4 ditambah Arthur Andersen) untuk berhenti menggunakan nama mereka di laporan keuangan di Asia kecuali laporan tersebut mengikuti standar internasional. 168 Hal ini dianggap memberikan tekanan bagi otoritas-otoritas di berbagai negara untuk menyesuaikan 167 FGD 15 November Financial Times, 19 October, 1998, p A SC FISIP UI

101 standar mereka. 169 Pada tahun 2005, seluruh perusahaan di Bursa Efek di wilayah Uni Eropa harus menyesuaikan dengan standar IFRS. 170 Menyikapi perkembangan tersebut, Indonesia juga melakukan proses konvergensi dengan standar IFRS sejak tahun 2000-an akhir. Saat ini, proses tersebut masih terus berlangsung. PricewaterhouseCoopers membuat perbandingan antara PSAK dengan IFRS dan menunjukkan bahwa banyak bagian dari IFRS telah diadopsi ke dalam PSAK, meskipun masih cukup signifikan pula bagian yang belum diadopsi (seperti misalnya konsep Fair Value Measurement dalam IFRS 13). 171 X.5. Infrastruktur Pendukung Infrastruktur juga sangat berkaitan dengan dua aspek sebelumnya, yaitu sumber daya manusia dan tata kelola/regulasi. Untuk mendorong pertumbuhan jumlah akuntan yang memadai dan berkualitas, tentu harus ada infrastruktur pendidikan akuntan yang baik. Dalam hal ini, kita dapat melihat kondisi infrastruktur pendukungnya dengan melihat jumlah perguruan tinggi yang menyediakan jasa pendidikan akuntansi dan lulusan yang dihasilkannya. Data dari IAI memperlihatkan bahwa pada tahun 2010, perguruan tinggi kita menghasilkan orang yang lulus dari pendidikan akuntansi. Jumlah ini meningkat sangat signifikan dari tahun 2009 yang meluluskan orang. Yang menarik, jumlah lulusan dari Perguruan Tinggi Negeri justru berkurang dari menjadi Lonjakan yang signifikan disumbangkan oleh Perguruan Tinggi Swasta. Pada tahun 2010, jumlah lulusan pendidikan akuntansi dari pendidikan swasta melonjak menjadi dari pada tahun sebelumnya. 172 Tabel X.3. Jumlah Lulusan S-1 Akuntansi di Indonesia Tahun Universitas Negeri Swasta TOTAL Data diolah dari FGD 26 Oktober Dokumen WTO Secretariat Note, S/C/W/73, 4 December 1998, diakses dari James Perry dan Andreas Nolke, The Political Economy of International Accounting Standards, halaman PricewaterhouseCoopers, IFRS and Indonesian GAAP (PSAK): Similarities and Differences, (Jakarta: PwC, 2013). 172 FGD 15 November A SC FISIP UI

102 Jika kita bandingkan jumlah lulusan ini dengan jumlah akuntan beregister, maka ada kesenjangan yang cukup tinggi. Artinya, banyak sekali lulusan pendidikan akuntansi yang tidak berkarir sebagai akuntan. Ditambah dengan temuan dari Accounting and Auditing ROSC 2010 yang menyebutkan bahwa lulusan S-1 akuntansi kurang memiliki kemampuan praktis dan keahlian profesional akuntan, diperlukan pendidikan profesional untuk mengejar kesenjangan tersebut. Berkaitan dengan upaya konvergensi dengan IFRS, perlu ada pula pelatihan-pelatihan lanjutan bagi akuntan profesional. X.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Di masa yang akan datang, sektor jasa akuntansi diperkirakan akan semakin tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Prospek ini juga ditambah dengan upaya Indonesia untuk menegakkan good governance, sehingga kebutuhan akan jasa akuntansi akan semakin besar. Meskipun demikian, sektor yang tumbuh besar tidak berarti bahwa semua pelakunya akan mendapatkan bagian. Sektor jasa akuntansi di Indonesia sekarang besar, namun banyak KAP Indonesia yang harus bersaing untuk memperebutkan pasar kecil karena sebagian besar pasarnya sudah didominasi oleh KAP yang berafiliasi dengan The Big 4. Secara umum, sektor jasa akuntansi Indonesia sudah cukup liberal, sebagaimana ditunjukkan oleh peran besar dari The Big 4 di dalam pasar jasa tersebut. Liberalisasi sektor jasa dalam bentuk Mode 4 yang didukung melalui MRA, jika nanti disepakati, akan meningkatkan tingkat persaingan di sektor tersebut. Dari segi sumber daya manusia, kuantitas dan kualitas akuntan Indonesia saat ini masih harus digenjot lagi. Upaya mendorong konvergensi antara PSAK dengan IFRS diharapkan dapat meningkatkan daya saing akuntan Indonesia tidak hanya di level ASEAN tapi juga di tingkat global. Meskipun demikian, penting untuk dicatat juga bahwa keunikan standar akuntansi di Indonesia sebenarnya juga merupakan keunggulan tersendiri untuk akuntan Indonesia, sehingga proses konvergensi ini juga harus dipertimbangkan dengan cermat. Berkaitan dengan hal ini, keterbatasan infrastruktur pendidikan, terutama pendidikan profesional, harus dengan segera ditangani. Dari segi regulasi dan tata kelola, secara umum kondisi sektor jasa akuntansi cukup baik dan dianggap mengalami peningkatan. Berangkat dari kondisi tersebut, harus ada upaya serius untuk menaikkan daya saing dari akuntan Indonesia. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain: 1. Menyempurnakan sistem pendidikan profesional akuntan dengan melakukan beberapa perubahan dalam regulasi (misal: akuntan sebagai profesi, tidak sekedar gelar ). Contoh lainnya adalah mendorong penerapan Chartered Accountant. 2. Konvergensi dengan IFRS harus dilakukan dengan cermat sesuai dengan kebutuhan nasional. 3. Berkaitan dengan nilai strategis suatu sektor, perlu ada pembatasan bahwa hanya akuntan Indonesialah yang dapat terlibat di dalam pelayanan 102 A SC FISIP UI

103 jasa akuntansi di sektor tersebut. Sebagai contoh, lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah seharusnya diaudit oleh KAP Indonesia. 4. Melakukan pemetaan potensi pasar jasa akuntan di dalam negeri dan di negara-negara ASEAN yang lain. 5. Membangun komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat profesional yang lain untuk saling mendorong daya saing Indonesia di masing-masing sektor. Sebagai contoh, IAI dapat membantu rumah sakit di Indonesia menjadi lebih baik secara manajemen sehingga dapat bersaing dengan rumah sakit di Malaysia atau Singapura. Untuk itu, ada usulan untuk membangun Masyarakat Profesional Indonesia. 103 A SC FISIP UI

104 XI Kesimpulan dan Rekomendasi XI.1. Kesimpulan: Pemetaan Nilai Strategis dan Daya Saing Sektor-Sektor Jasa yang Disepakati dalam MRA dan MRA Framework Sektor jasa adalah sektor yang semakin penting bagi perekonomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan nasional maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Dalam konteks ini, berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan liberalisasi sektor jasa yang menjadi salah satu elemen penting di dalamnya diharapkan dapat mendorong tumbuhnya sektor jasa dan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Meskipun demikian, kita juga menyaksikan bahwa banyak pihak masih meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para pekerja Indonesia. Para pelaku sektor jasa yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi profesi yang diundang dalam FGD untuk penelitian ini secara umum menyampaikan kekhawatiran mereka bahwa liberalisasi sektor jasa akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku sektor jasa di dalam negeri. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita melihat neraca perdagangan jasa, Indonesia terus menerus mengalami defisit yang besar. Nilai impor jasa kita sekira dua kali lipat dari ekspor jasa kita, sehingga defisit kita mencapai lebih dari 10 milyar USD. Defisit ini terjadi secara konsisten hingga tahun Di sisi lain, di banyak sektor, kehadiran penyedia jasa dari luar Indonesia dianggap perlu karena adanya kesenjangan antara kebutuhan tenaga profesional di sektor tersebut yang tidak mampu dicukupi oleh tenaga profesional dari dalam negeri. Dalam konteks inilah, penting untuk memahami kondisi daya saing tenaga terampil dan profesional Indonesia di berbagai sektor jasa, supaya liberalisasi sektor jasa dapat bermanfaat bagi Indonesia tanpa memberikan dampak negatif yang dapat mengganggu para profesional Indonesia di sektor jasa. Penelitian yang berfokus pada delapan sektor yang disepakati dalam perjanjian MRA dan MRA Framework ini menemukan gambar yang beragam, namun juga memiliki beberapa keseragaman. Secara umum, dari segi kuantitas sumber daya manusia, hampir semua sektor (insinyur, arsitek, perawat, dokter, dokter gigi, dan akuntan) memiliki kekurangan jumlah tenaga profesional di bidang tersebut. Di sektor pariwisata, karakter sektor pariwisata yang terbuka membuat kita sulit memberikan penilaian terhadap kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan. Meskipun demikian, kita mengetahui bahwa banyak pelaku tidak memandang penting sertifikasi, sehingga hal ini juga dapat mengurangi daya saing, setidaknya secara formal, di dalam penerapan MRA. Di bidang surveying, tidak tersedia data yang memadai. 104 A SC FISIP UI

105 Dalam hal kuantitas ini, aspek distribusi juga menjadi masalah yang penting. Di hampir semua sektor, mayoritas SDM yang tersedia terkonsentrasi di Jawa. Di sisi lain, kehadiran tenaga asing juga belum tentu menyelesaikan masalah ini karena justru akan menambah persaingan di tempat yang persaingannya sudah ketat seperti di Jawa atau khususnya Jakarta. Di sektor akuntansi misalnya, jumlah pasar begitu besar namun KAP Indonesia harus berebut di antara mereka sendiri karena mayoritas bagian dari pasar itu sudah didominasi oleh y ang berafiliasi dengan The Big 4. Dari sisi kualitas, gambar yang didapatkan beragam dengan kekhasan masingmasing, mulai dari sektor surveying yang dianggap menjadi salah satu yang terbaik di kawasan (bahkan untuk pemetaan pesisir termasuk terbaik di dunia), sampai perawat yang kekacauan tatakelolanya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya yang membutuhkan banyak peningkatan. Dalam aspek tata kelola, gambar yang didapatkan pun beragam. Ada sektorsektor yang relatif mapan seperti dokter, dokter gigi, dan akuntansi. Namun, ada juga sektor yang tata kelolanya masih dipenuhi masalah seperti tumpang tindih peraturan atau koordinasi antar lembaga yang kurang baik seperti sektor jasa keperawatan. Ada pula yang belum memiliki UU khusus seperti sektor jasa insinyur. Salah satu yang menjadi benang merah adalah kurangnya koordinasi di antara pelaku sektor jasa tersebut dengan pihak-pihak yang menjadi motor di dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN dan tiadanya satu strategi bersama untuk memanfaatkan liberalisasi jasa ASEAN untuk kepentingan Indonesia. Dalam aspek infrastruktur, keberagaman juga muncul. Meskipun demikian, secara umum hampir semua sektor memiliki kekurangan dalam hal infrastruktur dengan derajat yang berbeda-beda. Hal penting lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa permasalahan di satu sektor berkaitan dengan berbagai faktor lain yang terkait. Sebagai contoh, lambatnya pertumbuhan insinyur di Indonesia berkaitan dengan strategi pembangunan nasional yang tidak mendorong profesi insinyur Indonesia untuk berkembang. Gambar yang beragam itu dapat dirangkum ke dalam peta berbentuk tabel berikut ini: Tabel XI.1. Pemetaan Nilai Strategis dan Daya Saing Tenaga Terampil Indonesia di 8 Sektor MRA dan MRA Framework Sektor Nilai Strategis SDM Tata Kelola Infrastruktur Insinyur Sektor yang memberikan nilai tambah pada industri ekstraksi sumber daya alam. Berperan penting dalam pembangunan Kuantitas sangat kurang, idealnya ada 2 juta insinyur di Indonesia, namun saat ini hanya tersedia ribu. Belum ada undangundang yang mengatur keinsinyuran secara khusus, sehingga belum ada kejelasan tata Terbatas dan pendidikan masih tertinggal dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. 105 A SC FISIP UI

106 Arsitek Perawat Dokter fisik negara. Bagian dari pengembangan fisik negara, seperti untuk infrastruktur. Bagian dari total Health Expenditure yang merupakan 2,7 persen dari total GDP. Berkaitan dengan pembangunan manusia. Semakin penting seiring pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Bagian dari total Health Expenditure yang merupakan 2,7 persen dari total GDP. Berkaitan dengan pembangunan manusia. Semakin penting seiring pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Kualitas cukup memadai. Kuantitas masih kurang memadai. Hanya ada 45 Arsitek ASEAN di Indonesia. Kekurangan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, termasuk dalam aspek bahasa. Ada kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan. Distribusi jasa dokter masih terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera. Standar kompetensi yang berbeda dengan negara ASEAN lainnya. kelola profesi insinyur Sudah cukup baik, tapi perlu penyesuaian dengan standar ASEAN (mis: pendidikan arsitek di ASEAN membutuhkan 5 tahun, di Indonesia 4 tahun) Banyak tumpang tindih peraturan. Nomenklatur tidak jelas. Koordinasi antar lembaga kurang baik (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja). Cukup mapan. Perlu dukungan pemerintah untuk mendorong keunggulan dokter Indonesia. Terbatas dan pendidikan masih tertinggal dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. Terbatas, masih terpusat di Jawa Infrastruktur dan pendidikan masih tertinggal dari beberapa negara ASEAN. 106 A SC FISIP UI

107 Dokter Gigi Pariwisata Surveying Bagian dari total Health Expenditure yang merupakan 2,7 persen dari total GDP. Berkaitan dengan pembangunan manusia. Semakin penting seiring pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Pendapatan dari wisatawan asing mencapai 7,952 miliar USD atau 1,1% dari total GDP Indonesia. Sektor yang terbuka, sehingga dapat mendorong kesejahteraan masyarakat luas, termasuk di daerah. Berkaitan dengan integritas wilayah Indonesia. Dari segi kualitas dapat bersaing. Dari segi kuantitas, masih ada kesenjangan antara kebutuhan dengan jumlah yang ada. Distribusi juga belum merata. Dari segi kualitas, dapat bersaing. Karena sifatnya yang cenderung tidak mementingkan administrasi, data jumlah tidak tersedia. Dari segi kualitas, termasuk yang terbaik di dunia. Namun, pendataan kurang baik sehingga sulit menilai kecukupan jumlah. Cukup mapan dan berjalan baik. Desentralisasi menciptakan peluang namun juga memunculkan masalah tata kelola. Peraturan tidak terlalu diperhatikan di lapangan. Tata kelola di masingmasing subsektor di dalamnya cukup baik, namun koordinasi di antara subsektor yang berbedabeda masih harus diperbaiki. Ada beberapa tumpang tindih, Terkonsentrasi di Pulau Jawa. Indonesia cukup tertinggal dibandingkan negara ASEAN yang lain. Tidak ada data. Namun, secara umum dipercaya bahwa karena produknya baik, maka infrastrukturnya cukup memadai. 107 A SC FISIP UI

108 Akuntan Berperan penting dalam produksi barang dan jasa yang lain; penting bagi implementasi dan penegakan peraturanperaturan yang berkaitan dengan keuangan. Jumlah Akuntan Publik tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN; jumlah Akuntan Publik di Indonesia tidak bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun; ROSC dari World Bank mencatat bahwa masih banyak kelemahan auditor Indonesia; Telur-Ayam ada dalam kualitas, karena pasar dikuasai KAP asing, KAP Indonesia tidak bisa mengembangkan kualitas dan karena tidak bisa mengembangkan kualitas, pasar lebih menyukai jasa KAP global yang dianggap lebih memenuhi standar internasional. misalnya antara BIG dengan BPN. Cukup mapan dan semakin membaik. Upaya konvergensi di standar global. Jumlah program studi akuntan cukup banyak, namun tidak semua lulusannya menjadi akuntan. Kurangnya pelatihan profesional. 108 A SC FISIP UI

109 XI.2. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah berikut ini: 1. Penguatan koordinasi antar institusi pemerintah yang terkait dengan memperkuat Sekretariat Nasional ASEAN, dengan salah satu fokus kongkritnya adalah membangun strategi untuk memperkuat daya saing di 8 sektor yang telah disepakati dalam MRA dan MRA Framework, termasuk dengan memetakan peluang di dalam negeri dan di negara-negara ASEAN. 2. Menggalakkan upaya mendorong daya saing di 8 sektor yang telah disepakati dalam MRA dan MRA Framework sesuai dengan keadaan di masing-masing sektor tersebut. Rekomendasi spesifik akan ditambahkan di bagian selanjutnya dari bagian ini. 3. Mendorong pemerintah dan para pemangku kepentingan yang lain untuk memrakarsai pertemuan rutin yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Ada gagasan untuk membuat Masyarakat Profesional Indonesia, khususnya yang melibatkan 8 sektor tersebut. 4. Pemerintah harus bertindak proaktif dengan mendorong berbagai inisiatif untuk menjangkau para pelaku di sektor jasa tersebut di Indonesia dan membangun kesiapan mereka. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pembuatan mekanisme yang dapat memberikan insentif yang lebih nyata jika seorang insinyur, arsitek, akuntan atau yang lain memiliki sertifikasi ASEAN. 5. Penelitian ini memberikan batasan hanya pada kepentingan dan kebutuhan pekerja terampil di bidang jasa yang diakomodasi melalui asosiasi profesi terkait. Penelitian mengenai analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity, dan Threat) tenaga terampil sektor jasa di Indonesia perlu segera dilakukan sebagai lanjutan penelitian ini dengan memasukkan bahasan mengenai kepentingan pengguna jasa dan stake holder lainnya. Berikut ini adalah daftar rekomendasi yang ditujukan untuk pemerintah, asosiasi dan media yang bersifat spesifik di masing-masing sektor. Media menjadi salah satu sasaran hasil penelitian ini, mengingat bahwa media sangat mempunyai peran strategis untuk melakukan sosialisasi informasi tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN kepada seluruh laipsan masyarakat dan mengawal persiapan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun stakeholders lainnya. 109 A SC FISIP UI

110 Tabel XI.2. Rekomendasi Spesifik untuk Masing-Masing Sektor Sektor Jasa Insinyur Rekomendasi Pemerintah Asosiasi Media 1. Mendorong anggota asosiasi untuk melakukan sertifikasi profesi insinyur ASEAN. 2. Bersama dengan pemerintah menyusun kurikulum pendidikan keteknikan untuk meningkatkan kualitas sarjana teknik. 3. Membangun komunikasi dengan asosiasi profesi yang lain untuk memastikan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN 1. Adanya keperluan mendesak untuk segera mengesahkan RUU Keinsinyuran agar peraturan mengenai profesi insinyur lebih memiliki kualifikasi dibanding sebelumnya yang belum ada UU yang mengaturnya. 2. Koordinasi dengan pemerintah dalam hal pendidikan agar kuantitas dan kualitas sarjana teknik bisa meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas perguruan tinggi penyelenggara pendidikan teknik. 3. Kebijakan pemerintah untuk tidak berorientasi pada penjualan hasil mentah atas sumber daya alam yang diperoleh dari bumi Indonesia dengan tujuan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi sarjana teknik. 4. Perlu adanya insentif dari pemerintah kepada profesi insinyur yang telah memperoleh sertifikat ASEAN. Sebab jika mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja terampil/profesional Indonesia. (Rekomendasi untuk kalangan media secara umum berlaku untuk seluruh sektor jasa yang disebutkan dalam penelitian ini) 1. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Komunitas Ekonomi ASEAN Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pemerintah mengenai keberadaan dan kebutuhan asosiasi profesi yang akan masuk ke dalam Komunitas Ekonomi ASEAN. 3. Secara kritis mengawasi kesiapan pemerintah dalam menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN A SC FISIP UI

111 Arsitek Perawat insinyur telah memperoleh sertifikat ASEAN namun tidak ada penghargaan lebih atau insentif dari pemerintah, maka dorongan bagi insinyur untuk mengambil sertifikasi ASEAN tidak akan terwujud. 1. Menyesuaikan durasi pendidikan arsitek nasional supaya kompatibel dengan standar ASEAN. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan arsitek. 3. Memberikan persyaratan tambahan dalam praktik arsitek lintas negara ASEAN seperti dengan regulasi tentang kandungan lokal dalam setiap karya yang dihasilkan sesuai dengan karakter khas budaya yang ada di wilayah Indonesia. 4. Mempromosikan budaya nasional yang beridentitas, termasuk dalam pilihan gaya arsitektur. 1. Mengkaji kembali beberapa kebijakan di sector jasa keperawatan terkait misalnya definisi tentang profesi perawat, proses sertifikasi yang tumpang tindih, dan jenjang kependidikan 1. Mendorong arsitek Indonesia untuk melakukan sertifikasi ASEAN Architect. 2. Bersama dengan pemerintah menyusun kurikulum pendidikan keteknikan untuk meningkatkan kualitas sarjana arsitektur. 3. Membangun komunikasi dengan asosiasi profesi yang lain untuk memastikan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja terampil/profesional Indonesia. 1. Mendorong pemerintah agar segera mengesahkan RUU Keperawatan sehingga Konsil Keperawatan di Indonesia bisa segera didirikan. 2. Lebih aktif menyosialisasikan mengenai professional nurse 111 A SC FISIP UI

112 keperawatan. Regulasi Pendidikan Perawat terutama pada jalur pendidikan vokasi masih terdapat kebijakan ganda antara Kemenkes dan Kemendiknas. 2. Menyiapkan skenario atau perencanaan penempatan tanaga perawat Indonesia secara strategis. Hal ini perlu dilakukan mengingat persoalan kebutuhan tenaga perawat juga menjadi persoalan domestik. Strategi untuk menyelaraskan antara kepentingan domestic dan komitmen pasar bebas yang sudah disepakati mendesak untuk segera dilakukan. 3. Mengupayakan agar RUU keperawatan dapat segera disahkan, sehingga dapat berfungsi sebagai badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat. dengan profesi medis lainnya agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai profesi perawat. 3. Bersama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan asosiasi perawat terkait melakukan sinkronisasi mengenai kurikulum pendidikan keperawatan, baik di level sekolah menengah hingga perguruan tinggi. 4. Mendorong perawat yang belum tersertifikasi agar segera melakukan sertifikasi profesi perawat. Dokter 1. Perlunya meningkatkan daya saing tenaga dokter Indonesia melalui peningkatan standar kompetensi, sambil mengupayakan untuk mengejar 1. Mendorong anggota profesi dokter untuk menyelaraskan kompetensi dan kualitas profesi dokter baik di tingkat domestik, maupun di tingkat regional dengan negara- 112 A SC FISIP UI

113 keseragaman kompetensi bersama di antara negara-negara ASEAN. 2. Mereview secara rutin standar kompetensi yang sudah dibuat untuk bisa mengikuti perkembangan standar kompetensi di negara lainnya; 3. Memperbanyak jumlah dokter dengan cara memperbanyak institusi pendidikan kedokteran. Selain itu, perlu memetakan kembali distribusi dokter dan intitusi kedokteran yang selama ini bertumpuk di Pulau Jawa. 4. Memperkuat infrastruktur pendukung dalam hal ini teknologi kedokteran dan institusi pendidikan kedokteran yang memadai. 5. Terkait dengan praktik dokter asing, pemerintah perlu memikirkan untuk menggunakan celah dalam MRA untuk memposisikan dokter Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan dokter asing, misalnya melalui persyaratan penguasaan bahasa setempat. negara ASEAN. 2. Bersama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan asosiasi terkait untuk memperketat ujian kompentensi dokter seiring dengan makin banyaknya jumlah fakultas kedokteran di Indonesia. 3. Membangun komunikasi dengan asosiasi profesi yang lain untuk memastikan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja terampil/profesional Indonesia. Dokter Gigi 1. Meningkatkan kualitas dan jumlah 1. Mendorong anggota profesi dokter 113 A SC FISIP UI

114 Profesional Pariwisata lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan program pendidikan kedokteran gigi dengan mempertimbangkan distribusi wilayah. 2. Menegaskan bahwa sektor kesehatan, termasuk kesehatan gigi, bukanlah semata-mata bersifat ekonomi. Ia harus dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi pembangunan manusia sehingga harus ada perhatian khusus untuk menjamin bahwa liberalisasi tidak akan memberikan dampak negatif pada masyarakat. 1. Harmonisasi tata kelola kepariwisataan di Indonesia, misalnya dengan membentuk layanan satu pintu untuk lisensi/perizinan di level nasional dengan melibatkan pemerintah daerah. 2. Para profesional pariwisata Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan daya saing mereka untuk menyelaraskan kompetensi dan kualitas profesi dokter gigi baik di tingkat domestik, maupun di tingkat regional dengan negaranegara ASEAN. 2. Bersama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan asosiasi terkait untuk memperketat ujian kompentensi dokter gigi seiring dengan makin banyaknya jumlah fakultas kedokteran di Indonesia. 3. Memperkuat koordinasi antara PDGI, Kementerian Kesehatan, dan KKI dengan Kementerian Perdagangan melalui pelibatan perwakilan dari dokter gigi di dalam proses-proses yang berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN. 1. Memperkuat koordinasi antara asosiasi di sektor pariwisata untuk meningkatkan kualitas performa pariwisata di Indonesia. 2. Melakukan sosialiasi di kalangan asosiasi di sektor pariwisata tentang Komunitas Ekonomi ASEAN Membangun komunikasi dengan asosiasi profesi yang lain untuk 114 A SC FISIP UI

115 jika mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan pendukung pariwisata di negara lain dengan baik, seperti misalnya membuka bisnis pariwisata di Singapura atau Malaysia yang peringkatnya lebih baik, lalu diintegrasikan dengan pariwisata Indonesia (misalnya: Paket Wisata ASEAN). Untuk itu, perlu dukungan pemerintah untuk memetakan peluang di sektor ini di berbagai negara ASEAN yang lain. 3. Perbaikan infrastruktur pariwisata dan infrastruktur pendukung seperti infrastruktur transportasi darat dan udara. 4. Mendorong tenaga profesional pariwisata di Indonesia untuk memiliki sertifikasi. Karena banyak pelakunya saat ini masih tidak memandang hal tersebut penting, pemerintah harus proaktif dengan tidak menunggu para profesional ini datang untuk diuji. Pemerintah bisa mendatangi tempat-tempat di mana banyak profesional ini berkumpul dan melakukan proses sertifikasi di tempat tersebut (semacam Sertifikasi Profesional memastikan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja terampil/profesional Indonesia. 115 A SC FISIP UI

116 Surveying Pariwisata Keliling ). 1. Memperjelas koordinasi intrasektor. 2. Menetapkan asosiasi yang memiliki legitimasi penuh sebagai asosiasi profesi di tingkat nasional. 3. Dalam hal pemanfaatan sumber daya manusia, penyerapan lulusan perguruan tinggi atas sederajat dalam bidang kebumian, geografi, geologi, dan sejenisnya perlu ditingkatkan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas. 1. Mendirikan asosiasi surveying yang profesional dan terpisah dari pemerintah. 2. Melakukan pendataan mengenai lulusan sarjana di bidang ilmu terkait surveying. 3. Bersama dengan pemerintah menyusun dan meningkatkan rancangan kurikulum pendidikan kebumian atau yang berkaitan dengan sektor surveying 4. Bersama dengan pemerintah melakukan harmonisasi dengan Badan Pertanahan Nasional, BIG, dan instansi terkait. 5. Membangun komunikasi dengan asosiasi profesi yang lain untuk memastikan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja terampil/profesional Indonesia. 116 A SC FISIP UI

117 Akuntansi 1. Menyempurnakan sistem pendidikan profesional akuntan dengan melakukan beberapa perubahan dalam regulasi (misal: akuntan sebagai profesi, tidak sekedar gelar ). Contoh lainnya adalah mendorong penerapan Chartered Accountant. 2. Berkaitan dengan nilai strategis suatu sektor, perlu ada pembatasan bahwa hanya akuntan Indonesialah yang dapat terlibat di dalam pelayanan jasa akuntansi di sektor tersebut. Sebagai contoh, lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah seharusnya diaudit oleh KAP Indonesia. 3. Melakukan pemetaan potensi pasar jasa akuntan di dalam negeri dan di negara-negara ASEAN yang lain. 1. Mendorong anggota asosiasi untuk melakukan sertifikasi profesi akuntan ASEAN. 2. Konvergensi dengan IFRS harus dilakukan dengan cermat sesuai dengan kebutuhan nasional. 3. Membangun komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat profesional yang lain untuk saling mendorong daya saing Indonesia di masing-masing sektor. Sebagai contoh, IAI dapat membantu rumah sakit di Indonesia menjadi lebih baik secara manajemen sehingga dapat bersaing dengan rumah sakit di Malaysia atau Singapura. Untuk itu, ada usulan untuk membangun Masyarakat Profesional Indonesia. 117 A SC FISIP UI

118 Profil Tim Peneliti Dr. Makmur Keliat, Lahir di tahun 1961, Makmur Keliat meraih gelar Ph.D dari School of International Studies, Jawaharlal Nehru University, India. Dia memperoleh gelar sarjananya dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini dia merupakan staf pengajar senior di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia. Di samping mengajar, dia juga aktif terlibat dalam beberapa penelitian. Ketertarikan akademisnya adalah pada bidang tanggung jawab dan peranan negara. Dia juga saat ini tercatat sebagai Kepala Divisi Kerjasama Asia Timur ASEAN Study Center FISIP UI dan merupakan anggota dari Network of East Asia Think- Tank. Makmur telah menuliskan beberapa karya yang dipublikasikan dalam bentuk buku, artikel, maupun jurnal. Asra Virgianita, M.A, Lahir di Makassar pada tahun 1974, Asra Virgianita memperoleh gelar sarjananya dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia pada tahun Dia melanjutkan studi S2 dan memperoleh gelar MA dalam Studi Internasional dari Graduate School of International Studies, Meijigakuin University, Yokohama, Jepang pada tahun Saat ini dia sedang menyelesaikan disertasi untuk program doktoral di universitas yang sama di Jepang. Dia tercatat sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia sejak Pengalaman risetnya dimulai pada tahun 1997 ketika berperan sebagai asisten riset pada penelitian dengan topik Bantuan Pemerintah Jepang kepada Indonesia. Sejak itu, beberapa penelitian juga telah diselesaikan oleh Asra dan dia telah menulis beberapa karya yang telah dipublikasikan baik dalam artikel, working paper, dan jurnal. Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D, Lahir di Yogyakarta pada tahun 1985, Shofwan memperoleh gelar sarjananya dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia di tahun Dia memperoleh penghargaan mahasiswa berprestasi tingkat nasional pada tahun 2006 dari Dikti dan menjadi juara pertama dalam kontes esai tingkat dunia The 39th St. Gallen Symposium di Swiss pada Mei Shofwan melanjutkan pendidikan S2 pada tahun 2007 dan juga memperoleh gelar Ph.D dari Ritsumeikan University, Jepang pada tahun Sejak menyelesaikan doktoralnya tahun 2013 lalu, dia terlibat sebagai pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI. Ketertarikannya dalam bidang akademis adalah pada isu-isu globalisasi, politik kontemporer, kajian ekonomi politik, dan kajian internasional. Shofwan juga telah menulis karya akdemis yang dipublikasikan dalam bentuk artikel, jurnal, dan beberapa tulisan akademis lainnya. Agus Catur Aryanto Putro, S.Sos. Lahir di Boyolali pada Agustus 1991, Catur (begitu ia disapa) menyelesaikan pendidikan sarjananya dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia pada Agustus Pengalaman risetnya dimulai ketika pada semester VII, dia terlibat sebagai asisten peneliti dalam penulisan buku Tanggung Jawab Negara bersama dengan Makmur Keliat, Ph.D. Dia tercatat sebagai asisten perkuliahan dari September 2012 hingga Juni 2013 pada mata kuliah Dinamika Pemikiran Ekonomi Politik Internasional dan Institusi Keuangan Internasional. Ketertarikan akademisnya adalah bidang ekonomi politik internasional. 118 A SC FISIP UI

119 119 A SC FISIP UI

Executive Summary. Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Executive Summary. Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Executive Summary Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia bekerja sama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Tim Peneliti: Makmur Keliat, Ph.D Asra Virgianita, MA Shofwan Al Banna

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI Jakarta, 15 Mei 2013 AGENDA Perkembangan Profesi Akuntansi AEC 2015 2 Pertumbuhan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 J.S. George Lantu Direktur Kerjasama Fungsional ASEAN/ Plt. Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Jakarta, 20 September 2016 KOMUNITAS ASEAN 2025 Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi secara luas telah membuka perekonomian dunia dalam skala yang hampir

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi secara luas telah membuka perekonomian dunia dalam skala yang hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi secara luas telah membuka perekonomian dunia dalam skala yang hampir tidak terbatas. Globalisasi juga menuntut ASEAN menciptakan integrasi regional di Asia

Lebih terperinci

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015 Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015 TRANSFORMASI ASEAN 1976 Bali Concord 1999 Visi ASEAN 2020 2003 Bali Concord II 2007 Piagam

Lebih terperinci

Pengembangan MRA Sektor Perbankan Menyongsong MEA 2015 dan ABIF Ir. Sumarna F. Abdurahman M.Sc. Ketua BNSP

Pengembangan MRA Sektor Perbankan Menyongsong MEA 2015 dan ABIF Ir. Sumarna F. Abdurahman M.Sc. Ketua BNSP Pengembangan MRA Sektor Perbankan Menyongsong MEA 2015 dan ABIF 2020 Ir. Sumarna F. Abdurahman M.Sc. Ketua BNSP Implementasi MEA 2015 Pada Tahap Awal Di Prioritaskan Pada 12 Sektor Lima Aliran Bebas (Free

Lebih terperinci

PELUANG TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI MEA Oleh: Tiesnawati Wahyuningsih, SH., MH (FISIP)

PELUANG TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI MEA Oleh: Tiesnawati Wahyuningsih, SH., MH (FISIP) PELUANG TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI MEA 2015 Oleh: Tiesnawati Wahyuningsih, SH., MH (FISIP) (tesna@ut.ac.id) Abstrak MEA akan diberlakukan tanggal 31 Desember 2015, maka akan menyebabkan aliran

Lebih terperinci

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA KESEHATAN DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS ASEAN 2015

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA KESEHATAN DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS ASEAN 2015 STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA KESEHATAN DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS ASEAN 2015 Disajikan oleh : Kepala Pusat Perencanaan &Pendayagunaan SDMK Pada RAKORNAS ISMKI 2014 Jakarta, 11 Oktober 2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

Professional Veterinarian

Professional Veterinarian Professional Veterinarian MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 : SIAPKAH PROFESI VETERINER INDONESIA? Bambang Pontjo Priosoeryanto, Ketua III Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jasa, aliran investasi dan modal, dan aliran tenaga kerja terampil.

BAB I PENDAHULUAN. jasa, aliran investasi dan modal, dan aliran tenaga kerja terampil. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap negara pasti memiliki hubungan interaksi dengan negara lain yang diwujudkan dengan kerja sama di suatu bidang tertentu. Salah satu diantaranya adalah

Lebih terperinci

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013 KESEMPATAN KERJA MENGHADAPI LIBERALISASI PERDAGANGAN Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Jakarta, 5 Juli 2013 1 MATERI PEMAPARAN Sekilas mengenai Liberalisasi Perdagangan

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

PROFESI AKUNTANSI MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

PROFESI AKUNTANSI MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PROFESI AKUNTANSI MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang konstruksi berperan membangun struktur dan infra struktur di suatu negara. Infrastruktur yang memadai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 31 / PRT / M /2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 31 / PRT / M /2006 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 31 / PRT / M /2006 TENTANG MONITORING COMMITTEE DALAM RANGKA PELAKSANAAN ASEAN MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT ON ENGINEERING SERVICES ( CPC 8672 ) MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

MEMASUKI BURSA TENAGA KERJA DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

MEMASUKI BURSA TENAGA KERJA DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DRAFT BUKU PANDUAN SOSIALIASI MEMASUKI BURSA TENAGA KERJA DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN OLEH: MUHAMMAD BADARUDDIN TESSA H. KARTIKA CENTER FOR POLITICS AND GOVERNANCE STUDIES (CPGS) UNIVERSITAS BAKRIE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

MEMBANGUN TIM EFEKTIF

MEMBANGUN TIM EFEKTIF MATERI PELENGKAP MODUL (MPM) MATA DIKLAT MEMBANGUN TIM EFEKTIF EFEKTIVITAS TIM DAERAH DALAM MEMASUKI ERA ASEAN COMMUNITY 2016 Oleh: Dr. Ir. Sutarwi, MSc. Widyaiswara Ahli Utama BPSDMD PROVINSI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

STRATEGI DAN PROGRAM INDONESIA KOMPETEN DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

STRATEGI DAN PROGRAM INDONESIA KOMPETEN DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN STRATEGI DAN PROGRAM INDONESIA KOMPETEN DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN dipresentasikan oleh Prof. Richardus Eko Indrajit indrajit@post.harvard.edu SEKILAS TENTANG MEA 2015 MEA in a Glimpse Masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PADA KONTRAKTOR DI SURABAYA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

ANALISIS KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PADA KONTRAKTOR DI SURABAYA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ANALISIS KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PADA KONTRAKTOR DI SURABAYA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Raynaldo Vea Winanda 1, Devin Ham 2 and Paulus Nugraha 3 ABSTRAK : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING (TK-WNA) DI INDONESIA. Dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes BADAN PPSDMK KEMENTERIAN KESEHATAN RI

PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING (TK-WNA) DI INDONESIA. Dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes BADAN PPSDMK KEMENTERIAN KESEHATAN RI PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING (TK-WNA) DI INDONESIA Dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes BADAN PPSDMK KEMENTERIAN KESEHATAN RI Pendahuluan Indonesia meliputi 17 504 pulau dengan 240 juta

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

Kondisi Tenaga Kesehatan RI memasuki ASEAN Community 2015

Kondisi Tenaga Kesehatan RI memasuki ASEAN Community 2015 Kondisi Tenaga Kesehatan RI memasuki ASEAN Community 2015 Dr Hargianti Dini Iswandari, Drg,MM anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Semarang, 11 Oktober 2013 1 BENDERA NEGARA PENDUDUK

Lebih terperinci

BAB 2 MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT

BAB 2 MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT 22 BAB 2 MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT Dalam Bab 2 ini penulis akan membahas sejarah mengenai Mutual Recognition Arrangement dan definisinya yang dikutip dari beberapa sumber. 2.1 Sejarah Kemunculan Mutual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang dapat distandardisasi secara internasional di setiap negara.

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang dapat distandardisasi secara internasional di setiap negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi saat ini menuntut adanya suatu sistem akuntansi internasional yang dapat distandardisasi secara internasional di setiap negara. Harmonisasi terhadap

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Masyarakat Bisnis Indonesia dan Eropa Mengidentifikasi Peluang Pertumbuhan Menuju Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa Indonesia

SIARAN PERS. Masyarakat Bisnis Indonesia dan Eropa Mengidentifikasi Peluang Pertumbuhan Menuju Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa Indonesia SIARAN PERS Masyarakat Bisnis Indonesia dan Eropa Mengidentifikasi Peluang Pertumbuhan Menuju Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa Indonesia Pada Dialog Bisnis Uni Eropa - Indonesia (EIBD) keempat yang

Lebih terperinci

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat dilakukan melalui pengelolaan strategi pendidikan dan pelatihan, karena itu pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan penelitian ini membahas mengenai alasan yang melatarbelakangi penulisan penelitian, apa yang ingin diketahui peneliti dalam penelitian ini yang kemudian menjadi rumusan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X. Jl. Tamansari No.1 Bandung

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X. Jl. Tamansari No.1 Bandung Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Liberalisasi Bidang Jasa dan Tenaga Kerja dalam ASEAN Mutual Recognation Arrangement on Medical Practitioners dan Implementasi Perlindungan Hukumnya bagi Praktisi Medis/Dokter

Lebih terperinci

LIBERALISASI PERDAGANGAN. Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global. Urip Sedyowidodo

LIBERALISASI PERDAGANGAN. Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global. Urip Sedyowidodo LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA TENAGA KERJA Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global Urip Sedyowidodo 1 ASEAN Mutual Recognition Arrangement Pada tgl.19 November 2007, negara-negara ASEAN menandatangani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

JURNAL ILMU EKONOMI & SOSIAL, VOL.VIII, NO. 2, OKTOBER 2017; p-issn: e-issn: SIAPKAH INDONESIA MENGHADAPI MEA?

JURNAL ILMU EKONOMI & SOSIAL, VOL.VIII, NO. 2, OKTOBER 2017; p-issn: e-issn: SIAPKAH INDONESIA MENGHADAPI MEA? JURNAL ILMU EKONOMI & SOSIAL, VOL.VIII, NO. 2, OKTOBER 2017; 81-90 SIAPKAH INDONESIA MENGHADAPI MEA? Christianus Yudi Prasetyo Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta ABSTRAK Negara-negara yang

Lebih terperinci

SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Phone/Fax:

SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Phone/Fax: DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Phone/Fax: 021-385-8213 www.depdag.go.id KTT ASEAN Ke-13: Penandatanganan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN)

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok, di mana terdiri dari 10 Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi institusional regional atau kawasan jika ditelusuri kembali asalnya, mulai berkembang sejak berakhirnya Perang Dingin dimana kondisi dunia yang bipolar

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dalam era globalisasi sekarang ini, perekonomian internasional merupakan salah satu pilar utama dalam proses pembangunan dunia yang lebih maju. Organisasi-organisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu pendorong peningkatan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional, melalui kegiatan ekspor impor memberikan keuntungan

Lebih terperinci

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN Disepakatinya suatu kesepakatan liberalisasi perdagangan, sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk mempermudah kegiatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi negara merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, perdagangan internasional merupakan inti dari ekonomi global dan mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan Internasional dilakukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 110 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab terakhir ini bertujuan untuk menyimpulkan pembahasan dan analisa pada bab II, III, dan IV guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu keuntungan apa yang ingin diraih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PERSAINGAN PERDAGANGAN JASA DI BIDANG KONSTRUKSI DALAM RANGKA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PERSAINGAN PERDAGANGAN JASA DI BIDANG KONSTRUKSI DALAM RANGKA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PERSAINGAN PERDAGANGAN JASA DI BIDANG KONSTRUKSI DALAM RANGKA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Farida Nur Hidayah 1, Kholis Roisah 2 r_kholis@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015

Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015 Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 segera dimulai. Tinggal setahun lagi bagi MEA mempersiapkan hal ini. I Wayan Dipta, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK,

Lebih terperinci

MENILIK KESIAPAN DUNIA KETENAGAKERJAAN INDONESIA MENGHADAPI MEA Oleh: Bagus Prasetyo *

MENILIK KESIAPAN DUNIA KETENAGAKERJAAN INDONESIA MENGHADAPI MEA Oleh: Bagus Prasetyo * MENILIK KESIAPAN DUNIA KETENAGAKERJAAN INDONESIA MENGHADAPI MEA Oleh: Bagus Prasetyo * Dalam KTT Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) ke-9 yang diselenggarakan di Provinsi Bali tahun 2003, antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah diaudit oleh akuntan publik. Selain itu, kondisi perekonomian domestik

BAB I PENDAHULUAN. yang telah diaudit oleh akuntan publik. Selain itu, kondisi perekonomian domestik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan jasa profesi akuntansi, khususnya jasa akuntan publik di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Banyak peraturan perundangundangan yang mewajibkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KESEPAKATAN FREE FLOW OF SKILLED LABOR DI ASEAN DENGAN PERUBAHAN PRINSIP ORGANISASI ASEAN S K R I P S I

HUBUNGAN ANTARA KESEPAKATAN FREE FLOW OF SKILLED LABOR DI ASEAN DENGAN PERUBAHAN PRINSIP ORGANISASI ASEAN S K R I P S I HUBUNGAN ANTARA KESEPAKATAN FREE FLOW OF SKILLED LABOR DI ASEAN DENGAN PERUBAHAN PRINSIP ORGANISASI ASEAN S K R I P S I OLEH CHURIN HAYATI ALIN NIM 070810030 PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Organisasi Regional di Asia Tenggara dimulai dari inisiatif pemerintah di lima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Lebih terperinci

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi Free Trade Area (AFTA) dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. pada ASEAN Economic Community (AEC) yang mana merupakan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi Free Trade Area (AFTA) dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. pada ASEAN Economic Community (AEC) yang mana merupakan pedoman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi ini persaingan sangat ketat terutama dalam dunia bisnis. Budaya, teknologi dan pendidikan merupakan bagian dalam kehidupan manusia yang secara

Lebih terperinci

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama)

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama) PERSETUJUAN ASEAN-KOREA MENGENAI PERDAGANGAN JASA LAMPIRAN/SC1 REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS Komitmen Jadwal Spesifik (Untuk Paket Komitmen Pertama) pkumham.go 1 LAOS- Jadwal Komitmen Spesifik Moda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016, yang merupakan sebuah integrasi ekonomi yang didasarkan pada kepentingan bersama

Lebih terperinci

MAXIMIZING THE MULTI-STAKEHOLDER COLLABORATION TO ACHIEVE THE TARGET OF FOREIGN TOURISTS VISIT TO INDONESIA

MAXIMIZING THE MULTI-STAKEHOLDER COLLABORATION TO ACHIEVE THE TARGET OF FOREIGN TOURISTS VISIT TO INDONESIA MAXIMIZING THE MULTI-STAKEHOLDER COLLABORATION TO ACHIEVE THE TARGET OF FOREIGN TOURISTS VISIT TO INDONESIA By: DR SUTRISNO IWANTONO Board Member of Indonesian Hotel and Restaurant Association Dialogue

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menampung dan mewujudkan aspirasi tersebut.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menampung dan mewujudkan aspirasi tersebut. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka melakukan upaya pencegahan terhadap ancaman internal maupun eksternal terhadap kawasan Asia Tenggara di masa mendatang, menciptakan integrasi regional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada prinsipnya, pertumbuhan ekonomi dapat dirangsang oleh perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin pertumbuhan, pertumbuhan dipimpin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Peningkatan kinerja..., Suntana Sukma Djatnika, FT UI.,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Peningkatan kinerja..., Suntana Sukma Djatnika, FT UI., BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan penelitian. 1.1.1. Latar belakang. Jalan merupakan sarana transportasi darat yang mempunyai peranan besar dalam arus lalu lintas barang dan orang, sebagai penghubung

Lebih terperinci

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, DALAM HUKUM DAN BISNIS.

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, DALAM HUKUM DAN BISNIS. Diskusi Partner HPRP Lawyers dengan Media Jakarta, 21 Mei 2015 MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, DALAM HUKUM DAN BISNIS. A. LATAR BELAKANG MEA Berdasarkan penetapan para kepala negara/ kepala pemerintah ASEAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Jumlah Akuntan Publik Sumber: PPPK Kementerian Keuangan RI (2014),

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Jumlah Akuntan Publik Sumber: PPPK Kementerian Keuangan RI (2014), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Profesi akuntan publik di Indonesia terus berkembang khususnya sejak tahun 1989. Menurut Gede Muhammad dalam buku Teori Akuntansi (2005), ada beberapa faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak terlepas dari pranata-pranata hukum

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak terlepas dari pranata-pranata hukum 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Peranan penerapan suatu sistem hukum dalam pembangunan demi terciptanya pembentukan dan pembaharuan hukum yang responsif atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ASEAN atau ASEAN Community merupakan komunitas negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ASEAN atau ASEAN Community merupakan komunitas negaranegara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas ASEAN atau ASEAN Community merupakan komunitas negaranegara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu cepat diiringi dengan derasnya arus globalisasi yang semakin berkembang maka hal ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007 (Business&Economic Review Advisor, 2007), saat ini sedang terjadi transisi dalam sistem perdagangan

Lebih terperinci

KESIAPAN INDONESIA DALAM MENARIK INVESTASI ASING MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

KESIAPAN INDONESIA DALAM MENARIK INVESTASI ASING MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN KESIAPAN INDONESIA DALAM MENARIK INVESTASI ASING MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 (The Readiness of Indonesia in Attracting Foreign Investment Facing ASEAN Economic Community 2015) SKRIPSI Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ADB (Asian Development Bank) dan ILO (International Labour. Organization) dalam laporan publikasi ASEAN Community 2015: Managing

BAB I PENDAHULUAN. ADB (Asian Development Bank) dan ILO (International Labour. Organization) dalam laporan publikasi ASEAN Community 2015: Managing BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ADB (Asian Development Bank) dan ILO (International Labour Organization) dalam laporan publikasi ASEAN Community 2015: Managing integration for better jobs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan internasional. Dalam situasi globalisasi ekonomi, tidak ada satupun

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan internasional. Dalam situasi globalisasi ekonomi, tidak ada satupun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara adalah perdagangan internasional. Dalam situasi globalisasi ekonomi, tidak ada satupun negara yang tidak

Lebih terperinci

BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN. Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam

BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN. Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam AEC 2015, negara-negara anggota yang telah tergabung

Lebih terperinci

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini CAPAIAN MEA 2015 Barang Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini Tariff 0% untuk hampir semua produk kecuali MINOL, Beras dan Gula ROO / NTMs Trade & Customs Law/Rule National Trade Repository (NTR)/ATR Fokus

Lebih terperinci

XII Tahun BNSP: Perkembangan dan Tantangan

XII Tahun BNSP: Perkembangan dan Tantangan XII Tahun BNSP: Perkembangan dan Tantangan Oktober, 2017 PENGANTAR Sesuai Peraturan Presiden (PP) No.24 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, BNSP adalah lembaga independen yang bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi ekonomi di berbagai belahan dunia. Proses integrasi ini penting dilakukan masing-masing kawasan

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS DAN KAPABILITAS TENANT INKUBATOR MENYONGSONG MEA: STUDI KASUS INKUBATOR TEKNOLOGI LIPI

PENGUATAN KAPASITAS DAN KAPABILITAS TENANT INKUBATOR MENYONGSONG MEA: STUDI KASUS INKUBATOR TEKNOLOGI LIPI PENGUATAN KAPASITAS DAN KAPABILITAS TENANT INKUBATOR MENYONGSONG MEA: STUDI KASUS INKUBATOR TEKNOLOGI LIPI Adi Setiya Dwi Grahito dan Syahrizal Maulana Pusat Inovasi LIPI, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 47

Lebih terperinci

INOVASI GOVERNMENTAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

INOVASI GOVERNMENTAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 INOVASI GOVERNMENTAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 1 : 1 Potret Kabupaten Malang 2 Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 3 Kesiapan Kabupaten Malang Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 maka ada beberapa kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia, di antaranya: (1)

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT TO ESTABLISH AND IMPLEMENT THE ASEAN SINGLE WINDOW (PERSETUJUAN UNTUK MEMBANGUN DAN PELAKSANAAN ASEAN SINGLE WINDOW)

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki ASEAN Community. Pergerakan bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki ASEAN Community. Pergerakan bebas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki ASEAN Community. Pergerakan bebas dari barang-barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan kebebasan arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian suatu negara di berbagai belahan dunia, termasuk negara

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian suatu negara di berbagai belahan dunia, termasuk negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pesat merupakan tujuan utama dari kegiatan perekonomian suatu negara di berbagai belahan dunia, termasuk negara yang sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS Pengaruh Globalisasi Terhadap Perekonomian ASEAN Globalisasi memberikan tantangan tersendiri atas diletakkannya ekonomi (economy community) sebagai salah satu pilar berdirinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia membutuhkan kemampuan untuk menguasai lebih dari satu bahasa untuk menunjang karir, pergaulan, dan pendidikan. Karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar negara-negara di dunia dalam hal perekonomian merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian dari setiap negara. Sebuah

Lebih terperinci