BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement 1. Pengertian Work Engagement Schaufeli & Bakker (2004) mendefinisikan work engagement sebagai kondisi jiwa yang puas dan bahagia terkait pekerjaan, ditandai dengan antusias, dedikasi, dan penghayatan. Schaufeli & Bakker (2003) di sisi lain menyatakan bahwa work engagement memiliki pengertian yang berkebalikan dengan burnout. Lain halnya dengan burnout, karyawan yang mengalami work engagement memiliki rasa semangat dan memiliki hubungan yang efektif dengan aktivitas pekerjaan mereka dan mereka melihat diri mereka sebagai orang yang mampu berurusan dengan baik terhadap tuntutan pekerjaan mereka. Kahn (Bakker, 2011) adalah salah satu pencetus pertama terbentuknya teori work engagement. Kahn (Bakker, 2011) mendeskripsikan engaged employees sebagai keadaan psikis, kognitif dan emosional yang sepenuhnya terfokus dengan peran pekerjaan mereka. Macey, Schneider, Barbera dan Young (Bakker, 2011) menambahkan engagement mengacu pada fokus energi yang diarahkan pada tujuan organisasi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa work enagement merupakan kondisi psikologis karyawan dalam bekerja yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penghayatan kerja yang tinggi. Bakker (2011) menjelaskan work engagement berbeda dengan kepuasan kerja karena work engagement menggabungkan kesenangan dalam bekerja yang tinggi (dedikasi) dengan aktivitas pekerjaan yang tinggi (kekuatan, penyerapan); 1
2 kepuasan kerja biasanya lebih kepada bentuk yang lebih pasif dalam kesejahteraan karyawaan. Keterlibatan kerja berbeda dengan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang mengarah kepada kinerja yang sangat lama; dalam hal ini biasanya lebih mengarah kepada puncak pekejaan yang berlangsung hanya satu jam atau bahkan kurang. Pada akhirnya, work engagement berbeda dengan motivasi, dalam hal ini juga mengacu pada kognisi (penyerapan) dan mempengaruhi (semangat), sebagai tambahan untuk motivasi (dedikasi). Tidak mengherankan jika kemudian keterlibatan kerja adalah prediktor yang lebih baik dalam kinerja pekerjaan dari banyak konstruksi sebelumnya. 2. Dimensi-dimensi Work Engagement Schaufeli & Bakker (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama pembentuk work engagement, yaitu: a. Vigor (Semangat) Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental yang memuaskan saat karyawan sedang bekerja, dapat dikarakterisitikan juga sebagai keinginan di dalam diri karyawan untuk menginvestasikan usahanya dalam bekerja dan ketekunan karyawan dalam menghadapi kesulitan saat bekerja. Schaufeli & Bakker (2003) juga menambahkan bahwa salah satu ciri dari vigor adalah tidak mudah lelah dalam bekerja. b. Dedication (Dedikasi) Dedikasi ditandai dengan adanya rasa bahwa pekerjaan itu adalah suatu hal yang penting bagi diri karyawan, karyawan merasa antusias dalam bekerja,
3 karyawan juga bangga atas pekerjaannya dan merasa tertantang oleh setiap apa yang dilakukan dalam bekerja. c. Absorption (Penghayatan) Penghayatan atau absorption dikarakteristikan dengan karyawan sepenuhnya terfokus dan merasa puas dalam pekerjaannya. Karyawan dengan penghayatan di dalam pekerjaannya akan merasakan waktu berlalu dengan cepat saat sedang bekerja dan merasa kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaannya. Shimazu, Schaufeli, Suzuki, Nashiwa, Kato, Sakamoto, Irimajiri, Amano & Goto (2008) menjelaskan bahwa vigor dikarakteristikan oleh tingkat tinggi dalam bersemangat dan memiliki ketahanan secara mental ketika bekerja. Dedikasi mengacu kepada keterkaitan secara kuat di dalam suatu pekerjaan dan merasa bangga dengan pekerjaannya. Penyerapan dikarakteristikan dengan menjadi konsentrasi sepenuhnya dan merasa puas dengan pekerjaannya. Lebih jauh, Bakker, dkk (2008) mengarakteristikan vigour dengan tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental ketika bekerja, keinginan untuk menginvestasikan usahanya di dalam satu pekerjaan, dan tetap gigih walaupun dihadapkan dengan kesulitan saat bekerja. Dedikasi mengarah kepada keterlibatan yang kuat di dalam satu pekerjaan, dan mengalami rasa yang signifikan, antusias, terinspirasi, bangga dan merasa tertantang. Penghayatan dikarakteristikan menjadi sepenuhnya terkonsentrasi dan menikmati di dalam satu pekerjaan dimana waktu berlalu dengan cepat dan karyawan menjadi sulit melepaskan diri dari pekerjaannya.
4 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement Bakker dan Demerouti (Chen & Cooper, 2014) menjelaskan secara komprehensif faktor-faktor anteseden dan konsekuensi-konsekuensi dari work engagement dalam sebuah model teoritis yang dinamakan Job Demands- Resources Model. Menurut model ini, sumberdaya-sumberdaya kerja (Job resources) dan sumberdaya-sumberdaya pribadi (personal resources) secara independen atau bersama-sama memprediksikan work engagement dan memiliki dampak positif tertentuk terhadap engagement ketika tuntutan-tuntutan kerja (job demands) tinggi; Engagement, pada gilirannya, berpengaruh positif terhadap performansi kerja (job performance). Jalur umpanbalik (the feedback loop) dalam model tersebut secara jelas menunjukkan bahwa karyawan yang engaged dan berkinerja memuaskan mampu untuk mengkreasikan sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya sendiri (job crafting), dan pada giliran berikutnya menjaga engagement karyawan sepanjang waktu dan mengkreasikan sebuah lingkaran keuntungan yang beruntun (a positive gain spiral).
5 Sumber: Bakker & Demerouti (Chen & Cooper, 2014) Bakker (2011) menerangkan bahwa terdapat bebarapa faktor yang mempengaruhi work engagement seseorang, yaitu: a. Job Resoursces Penelitian sebelumnya secara konsisten telah menunjukkan bahwa job resources seperti dukungan sosial dari rekan kerja, feedback kinerja, keragaman jenis kemampuan (skill), kemandirian, dan kesempatan belajar telah terkait secara positif dengan work engagement (Albrecht; Bakker dan Demerouti dalam Bakker, 2011) Job resoursce mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial dan organisasi pada pekerjaan yang mungkin (a) mengurangi tuntutan-tuntutan pekerjaan dan terhubung dengan fisiologis dan harga psikologis; (b) menjadi fungsional dalam mencapai tujuan kerja; atau (c) merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran, dan pengembangan (Schaufeli & Bakker dalam Bakker, 2011). Oleh sebab itu,
6 sumberdaya-sumberdaya (resources) tidak hanya dibutuhkan dalam hal tuntutan pekerjaan yang tinggi, namun juga penting untuk sumberdaya-sumberdaya itu sendiri (Bakker, 2011). Gupta, Acharya dan Gupta (2015) meneliti hubungan antara work engagement dengan job resources seperti dukungan dari atasan dan dukungan dari rekan kerja terhadap 261 sarjana dan mahasiswa di 10 Universitas di India. Hasilnya membuktikan bahwa sebesar 31% variasi work engagement dapat dijelaskan melalui dukungan dari atasan dengan tingkat signifikan 0,05. Dan sebesar 21% variasi work engagement dapat dijelaskan melalui dukungan dari rekan kerja dengan tingkat siginifikan 0,05. Dukungan dari rekan kerja maupun atasan seperti ada ketika membutuhkan pertolongan, pujian dan dorongan ternyata mampu meningkatkan efisiensi karyawan dalam bekerja, tidak hanya itu, dengan dukungan dan bantuan dari rekan kerja karyawan akan mampu mengaktifkan diri mereka dalam bekerja dan meningkatkan moral mereka dan karyawan akan secara aktif meningkatkan vigor, dedikasi dan penyerapan mereka terhadap pekerjaan. b. Personal Resources Personal resource adalah evaluasi diri yang positif yang dikaitkan pada ketahanan dan mengacu pada kemampuan individu untuk mengontrol diri dengan sukses dan memiliki dampak bagi lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, Ennis dan Jackson dalam Bakker, 2011). Semakin tinggi personal resources yang dimiliki seseorang, semakin positif seseoang menghargai dirinya sendiri, dan semakin dapat diharapkan tujuan keharmonisan-diri individu tersebut.
7 Beberapa penulis menginvestigasi hubungan antara personal resources dan work engagement. Sebagai contoh, penemuan sebelumnya bahwa personal resources seperti harga diri, efikasi diri, locus of control, dan kemampuan merasakan dan mengatur emosi merupakan prediktor yang positif bagi work engagement. Xanthopoulou, Bakker, Demerouti dan Schaufeli (Bakker, 2011) meneliti tiga personal resources (efikasi diri, self-esteem berdasarkan organisasi, dan optimisme) dalam memprediksi work engagement. Karyawan yang engage cenderung yakin bahwa mereka secara umum merasakan hasil yang memuaskan di dalam hidup mereka (optimisme) dan mereka yakin dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi di dalam organisasi (self-esteem). c. Job Demands Seperti yang telah disebutkan di atas, tuntutan-tuntutan pekerjaan (job demands) memiliki keterkaitan dengan job resources dalam memprediksi work engagement. Bakker dan Demerouti (2014) menjelaskan, terdapat dua kemungkinan tuntutan-tuntutan dan sumberdaya-sumberdaya (resources) memiliki hubungan pada kesejahteraan dan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja. Keterkaitan yang pertama adalah ketika job resources menahan tuntutantuntutan pekerjaan pada saat keadaan menekan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa job resources seperti dukungan sosial, kemandirian, feedback kinerja, dan kesempatan berkembang dapat mengurangi dampak dari tuntutan pekerjaan seperti tekanan pekerjaan, tuntutan emosi dan lain sebagainya. Karyawan yang memiliki beberapa job resources yang tersedia dapat lebih baik dalam mengatasi tuntutan pekerjaannya. Keterkaitan yang kedua yaitu ketika
8 tuntutan pekerjaan memperkuat dampak job resources dalam motivasi atau engagement. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa job resources menjadi penting dan memiliki dampak yang paling positif untuk work engagement ketika tuntutan pekerjan sedang tinggi. Khususnya, ketika pekerja dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang menantang, job resources menjadi berharga dan membantu dedikasi pekerjaan atau tugas yang sedang ditangani. Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi work engagement yaitu: 1) job resources 2) personal resources dan 3) job demands. Jika dikaitkan dengan theistic sanctifacrion of work yang salah satu fungsinya menurut Backus (2013) jika seseorang melakukan sanctification terhadap pekerjaan, hal tersebut dapat menjadi personal resource daripada sebagai sumber stres. Sehingga, hal ini sejalan dengan salah satu faktor yang terdapat di dalam model JDR (Bakker dan Demerouti, 2014) untuk memprediksi work engagement yaitu personal resources. Maka dapat disimpulkan theistic sanctification of work juga dapat menjadi prediktor untuk meningkatkan work engagement karyawan. B. Theistic Sanctification of Work 1. Pengertian Theistic Sanctification of Work Walker, Jones, Wuensch, Shahnaz & Cope (2008) mengartikan sanctification of work sebagai pengalaman psikologis, emosional dan spiritual seseorang yang merasakan bahwa aspek pekerjaan sebagai tanggung jawab mereka sehari-hari yang di dalamnya memiliki kualitas kesucian, dengan demikian hal tersebut dapat memiliki efek positif pada fungsi kerja mereka.
9 Pargament & Mahoney (Kurniawan, 2015) menjelaskan sanctification memiliki dua bentuk yaitu theistic atau nontheistic. Theistic sanctification melibatkan persepsi tentang manifestasi Tuhan secara langsung dalam aspekaspek kehidupan yang dianggap sakral. Aspek-aspek kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dilakukan bersama Tuhan, refleksi kehendak Tuhan, atau sebagai usaha menciptakan perasaan terhubungan dengan Tuhan. Nontheistic sanctification melibatkan bahasa yang secara tidak langsung terhubung dengan sesuatu yang bersifat ketuhanan. Aspek-aspek kehidupan dianggap sakral, mulia, ajaib, pengalaman spiritual mendalam, atau mengkreasi sebuah koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dibandingkan dirinya. Sanctification dapat dilakukan dengan cara theistic seperti ketika individu melihat objek dan peristiwa sebagai hal yang dapat mewakili manifestasi dari keyakinan dan / atau pengalaman mereka terkait dengan sesuatu yang lebih tinggi atau "Tuhan" (Mahoney et al., 1999). Atau, individu dapat mengsanctify objek atau peristiwa dengan cara non-theistic dengan mengilhaminya dengan cara sakral seperti kualitas kesucian (Mahoney, Pargament, Murray-Swank, & Murray, 2003) sementara tidak memberikan kepercayaan sesuatu yang lebih tinggi atau "Allah" sebagai contoh, seorang individu dapat dianggap belum ateis atau masih dapat disebut sebagai "sacredlike" kualitas untuk objek tertentu atau acara-acara seperti padang gurun atau pelestarian lingkungan. 2. Dimensi-dimensi Theistic Sanctification of Work Walker, Jones, Wuensch, Shahnaz & Cope (2008) menjelaskan dimensi dari sanctification of work adalah manifestation of God (MOG). Manifestation of
10 God dirancang untuk mengukur sejauh mana individu merasakan objek atau peristiwa sebagai manifestasi dari keyakinan agama mereka, pengalaman mereka terkait dengan Allah (Tuhan), dan iman mereka. The MOG merepresentasikan bentuk theistic sanctification. Manifestation of God (MOG) meneliti sejauh mana individu merasakan kekuatan yang lebih tinggi kepada Tuhan sebagai suatu hal yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Kurniawan (2015) menemukan struktur faktor Skala Manifestasi Ketuhanan dalam Bekerja tersusun oleh dua faktor yaitu persepsi tentang peran Tuhan dalam bekerja (perceived God role in work) dan persepsi tentang kesesuaian pekerjaan dengan keyakinan agama (perceived job fit religion). Kedua faktor tersebut secara bersama mampu menjelaskan 70,48% varian theistic sanctification of work. Perceived God role in work dan perceived job fit religion masing-masing mampu menjelaskan 62,15% dan 8,33% total varian theistic sanctification of work. 1. Perceived God role in work Karyawan-karyawan dengan theistic sanctification of work yang tinggi percaya dan merasakan keberadaan, dan kehadiran Tuhan dalam pekerjaan mereka. Mereka yakin adanya peran dan keterlibatan Tuhan dalam perkembangan karier pekerjaan mereka dan menganggap Tuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan pekerjaan mereka. Mereka juga percaya bahwa pekerjaan mereka merupakan refleksi dari kehendak Tuhan, refleksi pemahaman mereka atas apa yang Tuhan kehendaki dari mereka dan ketentuan-ketentuan
11 Tuhan yang berlaku pada kehidupan mereka juga mempengaruhi pekerjaan yang mereka lakukan. 2. Perceived job fit religion Karyawan-karyawan dengan theistic sanctification of work yang tinggi percaya bahwa pekerjaan mereka sesuai dengan identitas ajaran agama mereka dan yakin segala yang mereka lakukan terkait pekerjaan mengikuti/sesuai dengan ketetapan Tuhan yang ada dalam kitab suci agama mereka. Mereka yakin bahwa pekerjaan mereka merupakan wujud keberagamaan mereka dan mencerminkan apa yang mereka yakini tentang Tuhan. C. Hubungan Antara Theistic Sanctification of Work dengan Work Engagement Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia tidak dapat terlepas dari peran agama di dalam kehidupannya. Seperti yang dijelaskan oleh McCullough & Willoughby (2009) bahwa agama dapat berperan sebagai pengendali diri seseorang, dapat juga sebagai fasilitator pemantauan perilaku seseorang, dan agama juga berpengaruh terhadap kesehatan, kesejahteraan hidup dan perilaku sosial seseorang. Sehingga dalam hal ini theistic sanctification of work juga memainkan peran agama di dalamnya dimana hal tersebut berarti theistic sanctification of work juga dapat berfungsi sebagai kontrol diri seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Walker, Jones, Wuensch, Aziz, dan Cope (2008) menjelaskan terdapat beberapa dampak yang penting dari melakukan sanctification terhadap pekerjaannya, pertama yaitu, karyawan yang melakukan sanctification terhadap
12 pekerjaannya cenderung lebih menginvestasikan waktu dan usaha dalam jumlah besar ke dalam pekerjaannya tersebut. Kedua, karyawan yang melakukan sanctification pada pekerjaannya cenderung melindungi dan memelihara aspekaspek pekerjaannya di dalam hidup mereka. Ketiga, orang-orang yang melakukan sanctification terhadap pekerjaannya seharusnya lebih memungkinkan untuk memperoleh kepuasan dan kesejahteraan lebih besar dari pekerjaannya sebagai renungan terhadap ketuhanan. Melakukan sanctification pada satu pekerjaan dapat mengarahkan individu untuk menginvestasikan dirinya ke dalam pekerjaan dan mendapatkan kepuasan yang lebih besar dari pekerjaan mereka. Karyawan yang melakukan sanctification pada pekerjaannya akan cenderung menginvestasikan banyak waktu dan usahanya, berusaha keras mempertahankan dan melindungi, dan meraskan emosi spritual terkait dengan pekerjaan mereka. Selain itu, pekerjaan yang disucikan (sanctified) memungkinkan bertindak sebagai personal dan social resources daripada sebagai sumber-sumber tekanan stres. Jika suatu pekerjaan disanctify, ketika tekanan itu muncul, kemungkinan individu atau karyawan cenderung akan merespon sumber stres dengan cara yang positif. Karyawan akan melihat sumber stres sebagai tantangan daripada sebagai ancaman (Backus, 2013) D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka yang relevan, penelitian ini mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Diprediksikan akan ada hubungan positif antara theistic sanctification of work dan work engagement. Semakin tinggi
13 tingkan theistic sanctification of work maka akan semakin tinggi pula work engagement pada karyawan dan begitu juga sebaliknya.