HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PERCOBAAN. C N C/N P K Ca Mg ph Cu Zn Mn (%) (%) ppm Kompos 9,5 0,5 18,3 0,5 0,8 0,6 0,2 7,2 41,9 92,4 921,8 Kompos diperkaya

BAHAN METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Juli 2017 memiliki suhu harian rata-rata pada pagi hari sekitar 27,3 0 C dan rata rata

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tajuk. bertambahnya tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, berat kering tajuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung Manis. Tanaman jagung manis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae (Tumbuhan),

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan pada pemberian pupuk organik kotoran ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kedalaman tanah sekitar cm (Irwan, 2006). dan kesuburan tanah (Adie dan Krisnawati, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Jagung manis atau lebih dikenal dengan nama sweet corn (Zea mays

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

Desti Diana Putri/ I.PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. pokok bagi sebagian besar rakyat di Indonesia. Keberadaan padi sulit untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. green bean dan mung. Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa nama

Transkripsi:

18 HASIL DAN PEMBAHASAN Agroekologi Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80 % wilayahnya adalah dataran rendah berupa rawa pasang surut dan lebak (Banyuasin, 2010). Berdasarkan tipe luapan, lokasi penelitian termasuk lahan pasang surut tipe luapan C yaitu lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil dan permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm (Widjaja-Adhi et al., 1997) (Gambar 4). Gambar 4. Klasifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Tipe Luapan Air Pasang (Widjaja-Adhi et al., 1997) Menurut Gandasasmita et al. (2006) lokasi penelitian termasuk dalam zona II artinya masih terdapat pada daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada namun energi pasang surut masih terasa berupa naik turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut namun saat musim kemarau pengaruh air asin dapat merambat sepanjang sungai sampai ke pedalaman. Berdasarkan data klimatologi, suhu di daerah penelitian 24.8-29.6 o C (Lampiran 1), kelembaban rata-rata 77-94 % (Lampiran 2), dan curah hujan berkisar antara 0.1-113.8 mm (Lampiran 3). Lahan pasang surut bila dibuka untuk pertanian diawali dengan penggalian saluran-saluran drainase. Saluran drainase terdiri atas saluran primer, sekunder, tersier dan kuarter. Lebar saluran primer, sekunder dan tersier masing-masing

19 adalah ± 12 m, 6 m dan 3 m. Lebar saluran kuarter adalah 60 cm dan kedalaman saluran 40 cm. Saluran sekunder merupakan saluran yang tegak lurus terhadap saluran primer dan menghubungkan saluran primer dengan saluran tersier. Saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan air ke lahan. Saluran kuarter merupakan saluran yang mengelilingi lahan (Gambar 5). a) Saluran Primer b) Saluran Sekunder c) Saluran Tersier d) Saluran Kuarter Gambar 5. Saluran Drainase di Desa Banyu Urip Kondisi Umum Hasil analisis tanah sebelum tanam menunjukkan tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi liat 57 %, debu 42 %, dan pasir 1 %. Tanah memiliki tingkat kesuburan yang baik dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Hal ini diduga karena lahan yang digunakan adalah bekas pertanaman kacang hijau dan diberi pupuk majemuk NPK. Kandungan P 2 O 5 tanah tergolong rendah. Derajat kemasaman tanah (ph) tergolong masam dengan ph 5.02 dan Al +3 tinggi yaitu 2.15 cmol (+)/kg. Nilai tukar kation Na dan K rendah, Ca sedang, dan Mg tinggi. Kapasitas tukar kation (KTK) sedang dan kejenuhan basanya (KB) sangat tinggi. Kandungan piritnya (FeS 2 ) adalah 0.11 % (Lampiran 4). Hasil analisis tanah

20 sesudah tanam menunjukkan rasio C/N tanah menjadi turun dari tinggi menjadi sedang, kelarutan Al 3+ berkurang, kandungan K tanah meningkat dan KTK tanah meningkat dari sedang menjadi tinggi (Lampiran 5). Air yang ada di saluran drainase berasal dari pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh terhadap kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl. Nilai daya hantar listrik (DHL) air termasuk rendah yaitu 488 us/cm hal ini diduga karena adanya pengaruh curah hujan sehingga DHL air menjadi lebih rendah meskipun air berasal dari pasang surut air laut. Derajat kemasaman air tergolong masam yaitu 5.4. Kadar lumpur yang ada di air 0.20 mg/l (Lampiran 6). Kedelai ditanam pada tanggal 15 Mei 2010. Lima hari setelah tanam (HST) kecambah kedelai mulai muncul di permukaan tanah dan pada saat 1 MST tanaman kedelai sudah terlihat tumbuh secara merata karena tingginya persentase tumbuh tanaman yaitu sebesar 96 %. Penyulaman dilakukan pada 5 HST dan penjarangan dan transplanting dilakukan pada 2 MST. Penjarangan dilakukan bertujuan untuk mengurangi persaingan antara tanaman dalam menyerap unsur hara dan radiasi matahari. Daun trifoliat tanaman sudah terbuka secara sempurna pada 2 MST. Pada saat memasuki 3 MST mulai terlihat gejala daun menguning. Hal ini terjadi karena pada 2-4 MST tanaman mengalami aklimatisasi. Pada awal aklimatisasi, akar dan bintil akar di bawah permukaan air mati dan selanjutnya tumbuh akar dan bintil akar di atas permukaan air. Kandungan N dalam jaringan tanaman dan N dalam daun menurun sehingga menunjukkan gejala klorosis (CSIRO, 1983). Oleh karena itu pada 3 sampai 6 MST tanaman diberi pupuk daun N. Selain itu tanaman yang ada di pinggir petakan terlihat lebih kuning dibandingkan tanaman yang ada di tengah petakan. Hal ini duga karena tanaman pinggir lebih stres karena serapan piritnya lebih tinggi. Pada saat memasuki 5 MST gejala daun yang menguning mulai berkurang dan warna daun mulai kembali berwarna hijau. Pada 42 HST tanaman sudah berbunga 50 % dan polong muncul pada 7 MST. Kedelai dipanen pada saat 13 MST. Teknik panen yang dilakukan adalah dengan memanen 40 tanaman pada luasan 2 m 2 setiap petak percobaan.

21 Serangan hama mulai terlihat pada 6 MST. Hama yang menyerang adalah ulat grayak (Prodenia litura) dan belalang (Valanga sp.). Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan pestisida yang berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l dan Fipronil 50 g/l. Hasil Bahan organik yang didekomposisikan adalah jerami padi. Kandungan jerami padi sebelum diinkubasi adalah N 3.36 %, P 0.26 %, K 0.83 %, Ca 1.96 %, Mg 1.02 %, Na 0.04 % dan 0.21 % S (Lampiran 7). Pemeliharaan kompos yang dilakukan adalah membolak-balik kompos untuk menjaga kelembaban dan aerasi kompos dan agar suhu tidak terlalu tinggi. Gaur (1981) menyatakan suhu optimum untuk dekomposisi bahan organik adalah 60 o C dan suhu maksimalnya adalah 70 o C. Suhu yang terlalu tinggi (>70 o C) dapat membunuh mikroorganisme. Mikroorganisme termofilik hanya dapat hidup di bawah suhu 70 o C. Hasil analisis kompos menunjukkan bahwa ph kompos tergolong basa. Menurut Djuarnani et al. (2009) 6-8 adalah kisaran ph kompos yang optimal. Rasio C/N pengomposan dengan aktivator pupuk kandang, kapur, dan urea lebih rendah dari pengomposan dengan aktivator efektif mikroorganisme. Makin rendah kandungan rasio C/N kompos menunjukkan mikroorganisme dekomposer bekerja lebih aktif dibandingkan dengan kompos yang mempunyai rasio C/N yang tinggi (Suwastika dan Sutari, 2009) (Lampiran 8). Berdasarkan Tabel 2 suhu kompos tiap minggunya tidak terlalu tinggi, berkisar antara 38-55 o C. Suhu pengomposan dengan menggunakan aktivator pupuk kandang, kapur dan urea paling tinggi pada 2 minggu setelah perlakuan (MSP) kemudian terjadi penurunan suhu pada 3 dan 4 MSP. Sebaliknya pada pengomposan dengan menggunakan efektif mikroorganisme suhu terus menurun tiap minggunya. Peningkatan suhu diduga terjadi karena makanan mikroorganisme berupa bahan organik cukup banyak sehingga pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme sangat intensif. Perombakan bahan organik yang intensif ini diiringi dengan pelepasan panas yang besar, sehingga suhu timbunan meningkat. Kemudian aktifitas mikroorganisme menurun diiringi dengan

22 penurunan suhu timbunan sampai pada akhir proses pengomposan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gaur (1981) menunjukkan bahwa kenaikan suhu dipengaruhi oleh bahan organik yang dikomposkan. Pada saat pengomposan bahan organik yang berasal dari gandum, jerami padi, sorgum dan daun Jamun (Syzqium cumini) suhunya tidak lebih dari 52 o C. Tabel 2. Suhu Kompos pada Dua Cara Pengomposan Perlakuan Kompos 1 MSP 2 MSP 3 MSP 4 MSP..... o C... Efektif mikroorganisme 45.55 40.00 36.67 30.56 Pupuk kandang, kapur dan urea 45.74 55.15 41.67 38.50 Keterangan: MSP = minggu setelah perlakuan Menurut Gaur (1981) saat suhu kompos di atas 40 o C maka mikroorganisme mesofilik akan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Mikroorganisme termofilik yaitu mikroorganisme yang dapat hidup pada suhu tinggi (45-60 o C). Proses dekomposisi dan aktivitas mikroorganisme berlangsung cepat pada kisaran termofilik. Menurut Djuarnani et al. (2009) ciri-ciri kompos yang sudah matang adalah wujud fisik kompos sudah hancur dan tidak menyerupai bentuk aslinya, tidak berbau, memiliki suhu yang hampir sama dengan suhu udara, berwarna coklat tua kehitaman dan warna kompos gelap coklat kehitaman menyerupai tanah (Gambar 6). Gambar 6. Cara Pengomposan Jerami Padi dengan Penambahan Aktivator

23 Tingginya aktivitas mikroorganisme pada pengomposan dengan aktivator pupuk kandang, kapur dan urea diduga karena pengaruh kapur dan urea. Pemberian kapur dapat meningkatkan ph kompos. Aktivitas mikroorganisme akan berlangsung optimal pada ph netral sehingga proses dekomposisi berlangsung cepat. Pemberian urea berperan sebagai sumber nutrisi bagi mikroorganisme untuk perkembangan dan pembentukan selnya. Tinggi, Jumlah Daun, Jumlah Cabang, dan Jumlah Buku Tanaman Berdasarkan hasil sidik ragam pada peubah pengamatan sebelum panen, cara pengomposan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 4 MST, jumlah daun pada 6 MST, dan bobot kering bintil akar. Dosis kompos berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada 2 dan 4 MST serta terhadap bobot kering bintil akar. Namun kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah lainnya. Tidak terdapat interaksi antara cara pengomposan dan dosis kompos (Lampiran 9). Berdasarkan hasil sidik ragam pada peubah saat panen, dosis kompos hanya berpengaruh terhadap bobot biji/2 m 2 (Lampiran 10). Pengomposan dengan aktivator pupuk kandang, kapur dan urea menghasilkan tanaman yang lebih tinggi pada 2, 4 dan 6 MST dibandingkan dengan pengomposan dengan efektif mikroorganisme. Namun pada 8 dan 10 MST pengomposan dengan efektif mikroorganisme menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dari pengomposan dengan pupuk kandang, kapur dan urea. Pada 6 MST jumlah daun pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme berbeda nyata lebih banyak dari pengomposan dengan pupuk kandang, kapur dan urea. Jumlah cabang, jumlah buku produktif dan buku non produktif pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme dan pengomposan dengan pupuk kandang, kapur dan urea tidak berbeda nyata secara statistik. Pengomposan dengan pupuk kandang, kapur dan urea memiliki buku produktif yang lebih dari pengomposan dengan efektif mikroorganisme (Tabel 3).

24 Tabel 3. Pertumbuhan Kedelai pada Berbagai Cara Pengomposan Peubah Pengamatan Cara Pengomposan Umur (MST) Efektif Pupuk Kandang, Mikroorganisme Kapur dan Urea 2 11.79 12.01 4 25.59b 27.14a Tinggi tanaman (cm) 6 59.43 60.25 8 81.97 81.47 10 83.29 82.56 2 1 2 4 6 6 Jumlah daun 6 13a 12b 8 15 15 10 14 14 6 2 2 Jumlah cabang 8 2 3 13 4 4 Jumlah buku produktif 13 24 25 Jumlah buku non produktif 13 4 4 Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 % Kedelai pada perlakuan tanpa kompos lebih tinggi pada 2, 4 dan 6 MST. Pada 8 dan 10 MST tanaman yang diberi kompos 10 ton/ha menghasikan tanaman yang paling tinggi. Pada 4 MST jumlah daun pada dosis 10 ton/ha berbeda nyata lebih banyak dari dosis 15 ton/ha, sedangkan pada 2, 6, 8 dan 10 MST jumlah daun tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah daun terus meningkat tiap minggu, dari 2 sampai 8 MST. Namun pada 10 MST jumlah daun mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena daun sudah mulai gugur. Jumlah cabang hanya diamati pada 6, 8, dan 13 MST karena pada 2 dan 4 MST tanaman belum mengeluarkan cabang. Jumlah cabang, jumlah buku produktif dan buku non produktif tidak berbeda nyata secara statistik. Buku produktif paling banyak dihasilkan pada dosis 10 ton/ha (Tabel 4).

25 Tabel 4. Pertumbuhan Kedelai pada Berbagai Dosis Kompos Peubah Pengamatan Umur Dosis Kompos (ton/ha) Tanaman (MST) 0 5 10 15 2 12.22a 12.06ab 11.60b 11.72b 4 27.59a 26.53ab 26.86a 24.47b Tinggi tanaman 6 61.63 59.16 60.53 58.07 8 82.55 79.78 84.59 79.98 10 83.66 80.74 85.73 81.57 2 2 1 2 1 4 6ab 6ab 6a 6 b Jumlah daun 6 12 12 12 12 8 15 14 15 16 10 14 13 14 15 6 2 2 2 2 Jumlah cabang 8 2 2 3 3 13 3 3 4 4 Jumlah buku produktif 13 24 24 26 23 Jumlah buku non roduktif 13 4 4 4 5 Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yan sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 % Tanaman yang tinggi, jumlah cabang dan jumlah buku produktif yang banyak merupakan perpaduan yang menguntungkan dalam menghasilkan produksi yang tinggi. Menurut Mulatsih et al. (2000) buku produktif berkaitan dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang. Buku produktif merupakan ketiak daun yang mempunyai kuncup bunga yang kemudian berkembang menjadi polong. Jumlah buku yang lebih banyak berarti mempunyai potensi yang tinggi sebagai tempat terbentuknya polong. Buku produktif yang banyak memungkinkan untuk terbentuknya polong yang banyak. Buku produktif dan buku non produktif hanya diamati pada saat panen. Bobot Kering Bintil Akar, Bobot Akar, Bobot Batang dan Bobot Daun Cara pengomposan, dosis kompos, dan interaksi antara cara pengomposan tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar, bobot kering batang, dan bobot kering daun. Cara pengomposan dan dosis kompos hanya berpengaruh nyata

26 terhadap bobot kering bintil akar (Lampiran 9). Pengomposan dengan pupuk kandang, kapur, dan urea memiliki bobot kering bintil akar yang lebih berat dibandingkan dengan efektif mikroorganisme masing-masing 1.03 g dan 0.69 g. Dosis juga nyata mempengaruhi bobot kering bintil akar. Lahan yang tidak diberi kompos menghasilkan bobot kering bintil akar yang lebih berat dibandingkan yang diberi kompos. Begitu juga dengan bobot kering akar, bobot kering batang, dan bobot kering daun namun tidak berbeda nyata secara statistik (Tabel 5). Tabel 5. Bobot Kering Bintil Akar, Akar, Batang dan Daun pada Beberapa Cara Pengomposan dan Dosis Kompos Perlakuan Bintil Akar Bobot Kering (g) Akar Batang Daun Ratio Tajuk/Akar Cara Pengomposan Efektif Mikroorganisme 0.69b 1.38 8.87 6.46 7.70 Pupuk Kandang, Kapur, 1.03a 1.80 10.09 7.26 6.27 dan Urea Dosis Kompos 0 ton/ha 1.20a 1.84 11.34 8.16 6.63 5 ton/ha 0.86ab 1.66 10.22 7.25 7.4 10 ton/ha 0.50b 1.27 6.90 5.05 7.12 15 ton/ha 0.87ab 1.60 9.48 6.99 6.77 Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 % Kadar dan Serapan Hara Daun Dosis kompos jerami hanya berpengaruh nyata terhadap kadar hara P dan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar hara K. Cara pengomposan dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hara yang lain dan serapan hara (Lampiran 9). Menurut kriteria Marschner (1986) kadar hara N, P dan Fe dalam daun mencukupi untuk pertumbuhan kedelai namun kadar hara K tergolong rendah dan ketersediaan Mn tergolong tinggi. Kadar hara P daun pada dosis 15 ton/ha merupakan yang tertinggi dan berbeda nyata dengan dosis 0 dan 5 ton/ha dan tidak berbeda nyata dengan dosis 10 ton/ha. Kadar hara K daun yang paling tinggi adalah pada dosis 15 ton/ha dan berbeda nyata dengan dosis yang lainnya (Tabel 6).

27 Tabel 6. Kadar dan Serapan Hara N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun pada Beberapa Cara Pengomposan dan Dosis Kompos Perlakuan N P K Fe Mn Cara Pengomposan Kadar Hara Daun... %........ppm... Efektif Mikroorganisme 5.42 0.38 1.53 422.33 208.75 Pupuk Kandang, Kapur dan Urea 5.35 0.39 1.47 324.08 205.83...Serapan Hara (mg/tanaman)... Efektif Mikroorganisme 350.18 24.23 98.20 2.88 1.35 Pupuk Kandang, Kapur dan Urea 386.50 27.77 107.07 2.52 1.50 Dosis Kompos Kadar Hara Daun... %........ppm... 0 ton/ha 5.34 0.35b 1.29c 390.83 199.83 5 ton/ha 5.61 0.37b 1.43b 448.67 213.50 10 ton/ha 5.15 0.38ab 1.54b 321.67 209.00 15 ton/ha 5.46 0.415a 1.72a 331.67 206.83...Serapan Hara (mg/tanaman)... 0 ton/ha 435.30 28.66 106.47 3.24 1.63 5 ton/ha 404.26 27.22 104.54 3.48 1.58 10 ton/ha 257.07 19.54 78.28 1.64 1.06 15 ton/ha 376.74 28.58 121.26 2.45 1.44 Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkantidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 % Produksi Kedelai Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dosis kompos hanya berpengaruh nyata terhadap bobot biji/2m 2 dan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pengamatan saat panen lainnya (Lampiran 10). Produktivitas pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme lebih tinggi dibandingkan dengan pengomposan dengan aktivator pupuk kandang, kapur dan urea walaupun tidak berpengaruh nyata secara statistik. Pengomposan dengan efektif mikroorganisme menghasilkan polong isi paling banyak yaitu 67 polong, bobot 100 biji yang paling tinggi yaitu 12.07 g dan bobot biji/2 m 2 lebih tinggi. Jumlah polong isi berkorelasi positif terhadap produksi. Makin banyak jumlah polong isi, makin besar peluang untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Pengomposan dengan efektif mikroorganisme

28 menghasilkan bobot biji/2m 2 sebanyak 477.33 g dan 464.58 g pada pengomposan dengan pupuk kandang, kapur dan urea yang bila dikonversi masing-masing adalah 2.38 ton/ha dan 2.32 ton/ha (Tabel 7). Tabel 7. Produksi Kedelai pada Berbagai Cara Pengomposan Cara Pengomposan Peubah Pengamatan Efektif Mikroorganisme Pupuk Kandang, Kapur, dan Urea Jumlah polong isi 67 64 Jumlah polong hampa 1 1 Bobot 100 biji (g) 12.07 12.04 Bobot biji/2 m 2 (g) 477.33 464.58 Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 % Dosis kompos 10 ton/ha menghasilkan polong isi paling banyak yaitu 69 polong. Bobot 100 biji paling tinggi dihasilkan pada dosis 15 ton/ha yaitu 12.16 g, namun tidak berbeda nyata secara statistika. Meskipun bobot 100 biji pada dosis 15 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 10 ton/ha, tetapi jumlah polong isi pada dosis 10 ton/ha lebih tinggi dari dosis 15 ton/ha. Bobot biji/2m 2 pada dosis 10 ton/ha berbeda nyata dengan dosis 0 dan 5 ton/ha dan tidak berbeda nyata dengan dosis 15 ton/ha. Dosis 10 ton/ha menghasilkan bobot biji/2m 2 yang paling tinggi yaitu 524.67 g (2.62 ton/ha), kemudian diikuti oleh dosis 15, 5 dan 0 ton/ha yang masing-masing nilainya adalah 492.50 g/m 2 (2.46 ton/ha), 433.83 g/m 2 (2.17 ton/ha) dan 432.83 g/m 2 (2.16 ton/ha) (Tabel 8). Tabel 8. Produksi Kedelai pada Berbagai Dosis Kompos Peubah Pengamatan Dosis Kompos (ton/ha) 0 5 10 15 Jumlah polong isi 66 64 69 64 Jumlah polong hampa 1 1 1 1 Bobot 100 biji (g) 12.15 11.90 12.01 12.16 Bobot biji/2 m 2 (g) 432.83b 433.83b 524.67a 492.50ab Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 %

29 Pembahasan Pengaruh Cara Pengomposan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Penambahan aktivator dapat mempercepat proses pengomposan dan meningkatkan kandungan unsur hara kompos. Berdasarkan hasil analisis kompos terjadi peningkatan unsur hara setelah jerami dikomposkan. Pengomposan dengan efektif mikroorganisme meningkatkan unsur K dan S pada kompos. Pengomposan dengan pupuk kandang meningkatkan unsur N, P, Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu, dan Zn pada kompos (Lampiran 8). Namun cara pengomposan belum berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai. Hal ini diduga karena kandungan hara pada kompos relatif sama. Produksi kedelai pada pengomposan dengan aktivator efektif mikroorganisme lebih tinggi dibandingkan dengan pengomposan dengan pupuk kandang yaitu masing-masing 477.33 g (2.38 ton/ha) dan 464.59 g (2.32 ton/ha). Pertumbuhan tanaman pada pengomposan dengan aktivator efektif mikroorganisme dan pupuk kandang dari umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST relatif meningkat tiap minggunya. Pertambahan tinggi dari 2 MST ke 4 MST adalah 130% dari tinggi pada 2 MST. Pertambahan tinggi dari 4 MST ke 6 MST adalah 127 % dari tinggi saat 4 MST. Jumlah daun dari 2 MST hingga 6 MST terus meningkat lebih dari 100 %. Memasuki 8 MST pertumbuhan mulai berhenti, pertambahan tinggi dan jumlah daun tidak terlalu banyak bahkan jumlah daun pada 10 MST menurun. Hal ini terjadi karena tanaman sudah berada pada fase generatif dan daun tanaman sudah mulai gugur. Hal ini juga sesuai dengan tipe pertumbuhan varietas Tanggamus yang tergolong tipe determinate (Lampiran 11). Kedelai pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme memiliki memiliki jumlah polong yang paling banyak. Polong yang banyak dan jumlah daun yang banyak merupakan perpaduan yang menguntungkan untuk produktivitas kedelai. Daun sebagai source dan polong sebagai sink. Source yang banyak dan sink yang banyak akan menghasilkan produksi biji yang tinggi sebaliknya source yang sedikit menyebabkan pengisian sink menjadi lebih lambat sehingga produksi biji menjadi sedikit. Hasil fotosintat di daun akan ditranslokasikan ke polong untuk pembentukan dan pengisian polong dan biji. Ghulamahdi et al. (2009) menyatakan jumlah daun yang banyak bermanfaat bagi

30 kedelai dalam memproduksi polong dan pengisian polong. Hal ini dapat dilihat dari bobot 100 biji. Bobot 100 biji kedelai pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme lebih tinggi dari pengomposan dengan pupuk kandang. Menurut Suwarto et al. (1994) terdapat korelasi antara pertumbuhan tajuk dengan akar. Penekanan pertumbuhan tajuk tanaman kedelai diduga karena banyaknya asilimat yang dialihkan ke akar untuk pembentukan dan pertumbuhan akar guna menggantikan akar-akar yang mati akibat terjenuhi air. Sebagai suatu mekanisme adaptasi morfologi terhadap budidaya jenuh air. Pengaruh Dosis terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Pertumbuhan tinggi, jumlah daun, dan jumlah cabang kedelai tiap minggunya menunjukkan respon yang berbeda-beda. Pada awal masa vegetatif, tanaman yang diberi kompos 0 ton/ha menghasilkan tanaman yang lebih tinggi. Dosis 10 ton/ha menghasilkan tanaman yang lebih tinggi pada 8 dan 10 MST dan membentuk percabangan yang paling banyak. Pada 4 MST jumlah daun lebih banyak dihasilkan pada dosis 10 ton/ha. Tanaman yang tinggi, jumlah daun, jumlah cabang, dan buku produktif yang banyak sangat menguntungkan dalam meningkatkan produksi kedelai. Irwan (2006) menyatakan tangkai bunga kedelai umumnya keluar dari ketiak tangkai daun yang disebut rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga. Bobot kering bintil akar pada dosis 0 ton/ha berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 5, 10 dan 15 ton/ha. Bobot kering akar, batang dan daun tidak berbeda nyata secara statistika diantara perlakuan dosis kompos. Pertumbuhan kedelai yang tidak diberi kompos lebih ke arah pertumbuhan dan perkembangan akar dan bintil akar. Hal ini berkaitan dengan adaptasi akar kedelai pada lahan yang kekurangan hara. Lahan yang tidak diberi kompos, ketersediaan hara dan bahan organiknya lebih sedikit sehingga perkembangan akar akan lebih ke dalam dan memperbanyak bulu-bulu akar untuk memperluas kontaknya dalam menyerap unsur hara. Bintil akar muncul bersamaan dengan pertumbuhan akar kedelai. Menurut Irwan (2006) perkembangan akar kedelai sangat dipengaruhi

31 oleh kondisi fisik dan kimia tanah, kecukupan unsur hara, serta ketersediaan air di dalam tanah. Sedangkan pada lahan yang diberi kompos, pertumbuhan cenderung ke arah pertumbuhan tajuk. Bobot kering bintil akar pada dosis 0 ton/ha nyata lebih tinggi dari dosis 10 ton/ha (Tabel 4). Hal ini diduga karena pengaruh kandungan N dalam tanah. Indradewa et al (2004) menyatakan saat aklimatisasi kandungan N dalam jaringan tanaman dan N dalam daun menurun. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya serapan nitrogen sehingga fotosintat dialokasikan ke bagian bawah tanaman (perakaran dan bintil akar). Ini berakibat aktivitas akar dan bintil akar mulai lebih awal dan dengan laju yang lebih cepat. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum tanam, kandungan N tanah tergolong sedang yaitu 0.23 % (Lampiran 4). Kandungan N tanah yang tergolong sedang ditambah dengan pemberian kompos dapat meningkatkan kandungan N tanah. Hasil analisis kompos menunjukkan kandungan N kompos pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme dan pupuk kandang berturut-turut adalah 6.32 dan 8.03 % (Lampiran 8). Pemberian kompos pada dosis 10 ton/ha dapat menambahkan N ke tanah sebanyak 632 kg/ha pada pengomposan dengan efektif mikroorganisme dan 803 kg/ha pada pengomposan dengan pupuk kandang sehingga kandungan N dalam tanah semakin tinggi. Berdasarkan data analisis tanah sesudah panen, kandungan N tanah pada lahan yang diberi kompos dengan dosis 10 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak diberi kompos (Lampiran 5). Mulatsih et al (2002) menyatakan pemberian N pada dosis tinggi dapat menurunkan infeksi bakteri Rhizobium melalui bulu akar, menurunkan jumlah bintil akar, sekaligus menghambat enzim nitrogenase. Sebaliknya, jika kandungan N dalam tanah sedikit maka pertumbuhan bintil akan menjadi lebih cepat. Kadar hara yang dibutuhkan oleh kedelai untuk pertumbuhan optimal adalah 2-5% N, 0.26 0.50 % P, 1.71 2.50% K, 50-500 ppm Fe dan 21-100 ppm Mn (Marschner, 1986). Kadar hara N, P dan Fe dalam daun mencukupi untuk pertumbuhan kedelai namun kadar hara K tergolong rendah. Rendahnya kadar hara K (1.29-1.71 %) belum mempengaruhi pertumbuhan karena tidak terlalu jauh dari batas optimum. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004) unsur

32 P berperan dalam proses pemecahan karbohidrat untuk energi, menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji. Kalium berperan dalam fotosintesis, translokasi gula dan reduksi nitrat. Pengaruh kompos pada dosis 10 ton/ha masih belum terlihat pada awal pertumbuhan. Hal ini diduga karena pengaruh lamanya inkubasi kompos ke tanah. Menurut Hardjowigeno (1989) faktor yang mempengaruhi lamanya dekomposisi bahan organik dalam tanah adalah ph tanah. Tanah dengan ph masam menyebabkan penghancuran bahan organik menjadi lebih lama. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum tanam, ph tanah tergolong masam (Lampiran 4). Oleh karena itu pengaruh kompos pada awal pertumbuhan masih belum terlihat. Menurut Bertham (2002) dan Wahjudin (2006) penambahan bahan organik berupa kompos dapat mengubah sifat kimia tanah seperti ph, menurunkan Al di dalam tanah sehingga P yang tersedia bagi tanaman lebih banyak, meningkatkan kelarutan unsur hara sehingga menjadi tersedia bagi tanaman, dan meningkatkan kandungan asam humat dan asam fulvat dalam tanah. Pengingkatan asam humat dan asam fulvat dalam tanah menyebabkan pertukaran hara menjadi lebih baik.