V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA. Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha. Iklim

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

III. KEADAAN UMUM LOKASI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 7. Lokasi Penelitian

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

III. METODOLOGI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

Transkripsi:

24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu sawah dan tegalan. Pada tahun 1990 luas sawah 121.260 ha (40,6%), sedangkan tegalan 26.810 ha (9%). Pada tahun 2001 luas sawah 112.740 ha (37,8%) dan tegalan 61.150 ha (20,5%). Pada tahun 2004 luas sawah 103.300 ha (34,6%), sedangkan luas tegalan 70.810 ha (23,7%) dan pada tahun 2008 luas sawah 99.920 ha (33,5%) sedangkan luas tegalan 46.990 ha (15,7%). Penggunaan lahan sawah menyebar pada setiap kecamatan, namun penggunaan lahan sawah yang dominan terdapat pada Kabupaten Bogor bagian timur. Pada tahun 1990 luasan sawah tertinggi terdapat pada kecamatan Jonggol, pada tahun 2001 terdapat pada kecamatan Cariu, pada tahun 2004 terdapat pada kecamatan Tajungsari, dan pada tahun 2008 terdapat pada kecamatan Sukamakmur. Sedangkan untuk penggunaan lahan tegalan luasan tertinggi pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masing-masing berada pada kecamatan Babakan Madang, Tenjo, Jasinga, dan Rumpin. Peta persebaran penggunaan lahan sawah dan tegalan serta penggunaan/ penutupan lahan lainnya pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.

25 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 0 7 1 3 '1 2 " 6 3 5 '3 6 " 6 2 3 '2 4 " 6 2 3 '2 4 " 6 3 5 '3 6 " 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 3 '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S 2 0 2 4 Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 1990 Gambar 7. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 1990 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 0 7 1 3 '1 2 " 6 3 5 '3 6 " 6 2 3 '2 4 " 6 2 3 '2 4 " 6 3 5 '3 6 " 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 3 '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S 2 0 2 4 Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2001 Gambar 8.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2001

26 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 0 7 1 3 '1 2 " 6 3 5 '3 6 " 6 2 3 '2 4 " 6 2 3 '2 4 " 6 3 5 '3 6 " 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 3 '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S 2 0 2 4 Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2004 Gambar 9.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2004 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 0 7 1 3 '1 2 " 6 3 5 '3 6 " 6 2 3 '2 4 " 6 2 3 '2 4 " 6 3 5 '3 6 " 1 0 6 2 4 '2 4 " 1 0 6 3 6 '3 6 " 1 0 6 4 8 '4 8 " 1 0 7 1 0 7 1 '0 0 " 1 0 7 1 3 '1 2 " Legenda: Jalan Arteri/Utama Jalan Kolektor Jalan Tol Nasional Sungai Penggunaan Lahan hutan pemukiman sawah semak belukar tegalan/ kebun campuran W N S 2 0 2 4 Kilometers E Sumber Data: Citra Landsat TM Tahun 2008 Gambar 10.. Peta Penggunaan/ Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2008

27 2001 1990 5.2 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Pada Setiap Periode Pola perubahan sawah dan tegalan serta penggunaan/ penutupan lahan lainnya pada masing-masing periode dapat dilihat pada Tabel 8. Proporsi pada setiap perubahan diperoleh dari hasil perbandingan antara luas perubahan dengan luas keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Bogor. Pada setiap periode, perubahan sawah yang tertinggi adalah menjadi tegalan (9,8%, 8,2%, dan 4,7%) begitu juga sebaliknya yaitu tegalan menjadi sawah (3,2%, 5,6%, dan 6,8%), hal ini disebabkan karena pada umumnya petani menanami lahan pertaniannya dua sampai tiga kali dalam setahun yang diselingi oleh tanaman palawija tergantung pada musim dan ketersediaan air. Pola tanam dalam setahun berdasarkan ketersediaan air disajikan pada Tabel 9. Namun, baik sawah maupun tegalan dapat berkurang luasnya menjadi penggunaan lain seperti pemukiman dan semak belukar, dan dapat juga bertambah dari penggunaan lahan lain seperti hutan dan semak belukar. Tabel 8. Perubahan Penggunaan/ Penutupan Lahan Pada Setiap Periode hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan 102.890 34,5 70 0,0 5.690 1,9 8.150 2,7 1.200 0,4 118.000 39,5 pmk 3.190 1,1 3.190 1,1 swh 2.770 0,9 85.240 28,6 29.370 9,8 3.880 1,3 121.260 40,6 teg 1.050 0,4 9.460 3,2 14.180 4,8 2.120 0,7 26.800 9,0 smk 420 0,1 12.350 4,1 9.450 3,2 7.000 2,3 29.220 9,8 total 102.890 34,5 7.500 2,5 112.740 37,8 61.150 20,5 14.200 4,8 298.470 100 2004 2001 hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan 93.900 31,5 190 0,1 2.880 1,0 4.440 1,5 1.480 0,5 102.890 34,5 pmk 7.500 2,5 7.500 2,5 swh 1.370 0,5 82.850 27,8 24.340 8,2 4.180 1,4 112.740 37,8 teg 4.490 1,5 16.600 5,6 36.520 12,2 3.540 1,2 61.150 20,5 smk 1.490 0,5 960 0,3 5.510 1,8 6.230 2,1 14.200 4,8 total 93.900 31,5 15.040 5,0 103.290 34,6 70.810 23,7 15.430 5,2 298.470 100 2008 2004 hutan pmk swh teg smk total Ha % ha % ha % ha % ha % ha % hutan 75.380 25,3 50 0,0 6.490 2,2 3.190 1,1 8.790 2,9 93.900 31,5 pmk 15.040 5,0 15.040 5,0 swh 2.620 0,9 72.470 24,3 14.160 4,7 14.050 4,7 103.290 34,6 teg 5.830 2,0 20.290 6,8 28.720 9,6 15.980 5,4 70.810 23,7 smk 2.910 1,0 680 0,2 920 0,3 10.930 3,7 15.430 5,2 total 75.380 25,3 26.440 8,9 99.920 33,5 46.990 15,7 49.740 16,7 298.470 100 Keterangan: pmk (pemukiman), swh (sawah), teg (tegalan), smk (semak belukar)

28 Tabel 9. Pola Tanam dalam Setahun Berdasarkan Ketersediaan Air Ketersediaan Air Cukup banyak air Cukup air Kekurangan air Pola Tanam dalam Setahun Padi Padi Palawija Padi Padi Bera Padi Palawija Palawija Padi Palawija Bera Palawija Padi Bera Sumber :Irigasi dan Sumber Daya Air Penggunaan lahan sawah terus mengalami penurunan pada setiap periode, dengan laju penurunan 774 ha/tahun pada periode 1990-2001, 3.150 ha/tahun pada periode 2001-2004, dan 840 ha/tahun pada periode 2004-2008. Sedangkan penggunaan lahan tegalan mengalami peningkatan pada dua periode yaitu periode 1990-2001 dengan laju peningkatan sebesar 3.120 ha/ tahun, dan periode 2001-2004 dengan laju peningkatan 3.220 ha/ tahun. Namun, mengalami penurunan pada periode 2004-2008 dengan laju penurunan sebesar 5.960 ha/ tahun. Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non-petanian dapat diketahui dengan menggabungkan penggunaan lahan sawah dan tegalan. Maka untuk pembahasan selanjutnya yang digunakan adalah penggabungan antara sawah dan tegalan. Penggunaan lahan sawah dan tegalan pada setiap tahun dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 11. Tabel 10. Luas dan Proporsi Sawah dan Tegalan Pada Setiap Tahun Tahun Luas Sawah dan Tegalan (ha) Proporsi Sawah dan Tegalan (%) 1990 148.060 49,6 2001 173.880 58,3 2004 174.100 58,3 2008 146.910 49,2

29 Proporsi (%) 60.0 58.0 56.0 54.0 52.0 50.0 48.0 46.0 44.0 1990 2001 2004 2008 Tahun Proporsi Sawah dan Tegalan (%) Gambar 11. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Pada Setiap Tahun Dari Tabel dan Grafik diatas dapat diketahui bahwa dari tiga periode yaitu antara tahun 1990-2001, 2001-2004, dan 2004-2008 sawah dan tegalan mengalami peningkatan pada periode 1990-2001 (2.350 ha/tahun) dan 2001-2004 (70 ha/tahun), kemudian mengalami penurunan yang signifikan pada periode 2004-2008 (6.800 ha/tahun). 5.3 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Karakteristik Fisik 5.3.1 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 sampai tahun 2008 sawah dan tegalan memiliki pola sebaran yang sama yaitu banyak dijumpai pada kemiringan lereng 15% dan semakin menurun proporsinya dengan semakin curamnya kemiringan lereng. Hal tersebut disebabkan lahan dengan kemiringan lereng yang datar memudahkan dalam pengelolaan, dan pada lahan-lahan dengan kemiringan curam dapat meningkatkan terjadinya erosi. Menurut Rahim (2002) topografi yang miring mempercepat aliran air yang dapat memperbesar erosi tanah.

30 proporsi (%) 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 15% 15%-30% 30%-50% > 50% lereng 1990 2001 2004 2008 Gambar 12. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Proporsi penggunaan sawah dan tegalan pada masing-masing kemiringan lereng disajikan pada Tabel 11. Pada kemiringan lereng 15% proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2001 yaitu sebesar 144.540 ha (83,1%). Pada kemiringan lereng 15%-30% dan 30%-50% proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar 31.830 ha (47,6%) dan 2.230 ha (7,2%). Sedangkan pada kemiringan lereng > 50% berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 620 ha (2,3%). Tabel 11. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Lereng 1990 2001 2004 2008 Ha % ha % ha % ha % 15% 131.830 75,8 144.540 83,1 141.390 81,3 120.630 69,3 15%-30% 17.290 25,8 28.370 42,4 31.830 47,6 26.150 39,1 30%-50% 990 3,2 2.080 6,7 2.230 7,2 2.120 6,9 > 50% 100 0,4 390 1,5 560 2,1 620 2,3 5.3.2 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa sawah dan tegalan pada tahun 1990 sampai tahun 2008 banyak mendominasi pada elevasi 250 mdpl, dan semakin menurun proporsinya dengan semakin tingginya elevasi. Hal tersebut disebabkan karena elevasi berkaitan dengan suhu udara, semakin tinggi elevasi maka suhu udara akan semakin rendah. Suhu udara inilah yang diperkirakan menjadi pembatas utama bagi penggunaan lahan sawah dan tegalan

31 (Gandasasmita, 2001). Selain itu, Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 mdpl sebagai kawasan usaha terbatas dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian >2000 mdpl sebagai kawasan lindung. 80.0 70.0 60.0 proporsi (%) 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 1990 2001 2004 2008 0.0 250 250-500 500-750 750-1000 1000-1250 1250-1500 >1500 elevasi (mdpl) Gambar 13. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing nilai elevasi disajikan pada Tabel 12. Pada elevasi 250 dan 250-500 proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar 123.750 ha (78,3%) dan 3.690 ha (58,9%). Proporsi sawah dan tegalan tertinggi pada elevasi 500-750 dan 750-1000 berada pada tahun 2001 yaitu sebesar 13.830 ha (37,1%) dan 2.620 ha (13,1%). Pada elevasi 100-1250 dan 1250-1500 proporsi tertinggi berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 760 ha (6,1%) dan 40 ha (0,6%), sedangkan pada elevasi > 1500 sudah tidak dijumpai penggunaan lahan sawah dan tegalan. Tabel 12. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Elevasi 1990 2001 2004 2008 Ha % ha % Ha % ha % 250 110.100 69,7 122.960 77,8 123.750 78,3 104.480 66,1 250-500 26.970 44,0 35.750 58,3 36.090 58,9 33.820 55,2 500-750 10.900 29,2 13.830 37,1 13.120 35,2 8.500 22,8 750-1000 2.180 10,8 2.620 13,1 2.570 12,8 1.930 9,6 1000-1250 70 0,5 240 1,9 480 3,9 760 6,1 1250-1500 40 0,6 >1500

32 5.3.3 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Berdasarkan pada Gambar 14 menunjukan bahwa pola penyebaran sawah dan tegalan bervariasi berdasarkan jenis tanah. Namun, penyebaran sawah dan tegalan pada tahun 1990 sampai 2008 yang terendah berada pada tanah andosol. Hal tersebut disebabkan tanah andosol terdapat pada daerah dengan elevasi yang tinggi dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai perkebunan. Menurut Soepardi (1983) tanah andosol berada di sekitar puncak gunung berapi, atau dataran tinggi mulai dari 1000 mdpl, dengan vegetasi utama adalah hutan. 90.0 80.0 70.0 pr o po rsi (% ) 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 1990 2001 2004 2008 10.0 0.0 aluvial andosol grumusol latosol podsolik mrh kuning regosol rensina Jenis Tanah Gambar 14. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Proporsi penggunaan sawah dan tegalan pada masing-masing jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 13. Proporsi sawah dan tegalan tertinggi pada tahun 1990 terdapat pada jenis tanah aluvial yaitu sebesar 27.380 ha (69,2%), pada tahun 2001 dan 2004 berada pada jenis tanah podsolik merah kuning yaitu sebesar 35.580 ha (74,2%) dan 40.970 ha (85,4%), dan pada tahun 2008 proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tanah grumusol yaitu sebesar 12.010 ha (73,9%). Menurut Subagyo (2004) tanah grumusol banyak digunakan untuk areal pertanaman padi sawah. Tanah grumusol terbentuk pada tempat-tempat yang tingginya tidak lebih dari 300 meter di atas muka laut dengan topografi agak bergelombang sampai berbukit, temperatur tahunan rata-rata 25 0 C dengan curah hujan kurang dari 2500 mm dan pergantian musim hujan dan musim kemarau nyata (Soepardi, 1983).

33 Tabel 13. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah 1990 2001 2004 2008 ha % ha % Ha % ha % Alluvial 27.380 69,2 28.310 71,6 28.450 71,9 22.300 56,3 Andosol 720 6,5 950 8,6 950 8,6 1.040 9,4 Grumusol 7.860 48,4 10.490 64,5 11.360 69,9 12.010 73,9 Latosol 81.560 46,6 95.410 54,5 90.130 51,5 77.610 44,3 podsolik mrh kuning 28.400 59,2 35.580 74,2 40.970 85,4 32.950 68,7 Regosol 3.970 63,9 4.060 65,4 3.430 55,3 2.980 48,0 Rensina 320 12,3 600 22,8 710 27,3 640 24,5 5.3.4 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Gambar 15 menunjukan pola sebaran sawah dan tegalan berdasarkan curah hujan dan proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing curah hujan dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa pola sebaran sawah dan tegalan bervariasi berdasarkan curah hujan. Namun, pada tahun 1990 sampai tahun 2008 proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada curah hujan 2247 mm/tahun, sedangkan proporsi sawah dan tegalan terendah berada pada daerah dengan curah hujan 3895 mm/tahun. Hal ini disebabkan daerah dengan curah hujan 2247 mm/tahun berada pada elevasi yang rendah sedangkan daerah dengan curah hujan 3895 mm/tahun berada pada elevasi yang tinggi sehingga tidak lagi menunjang budidaya lahan sawah dan tegalan. Pada daerah penelitian curah hujan tidak memiliki korelasi dengan ketinggian sehingga pada curah hujan 3995 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan kembali meningkat. p r o p o r s i (% ) 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 2247 2879 3017 3236 3767 3819 3895 3995 4136 Curah Hujan (mm/tahun) 1990 2001 2004 2008 Gambar 15. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan

34 Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa pada curah hujan 2247 mm/tahun, 3767 mm/tahun, 3995 mm/tahun, dan 4136 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2001 yaitu sebesar 21.470 ha (86,1%), 8.430 ha (72,5%), 16.770 ha (79,6%), dan 21.050 ha (39%), pada curah hujan 2879 mm/tahun, 3236 mm/tahun, 3819 mm/tahun, dan 3895 mm/tahun proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar 42.010 ha (65,3%), 3.750 ha (26,9%), 46.350 ha (69,9%), dan 650 ha (6,7%), pada curah hujan 3017 mm/tahun berada pada tahun 1990 yaitu sebesar 26.520 ha (81,1%), Tabel 14. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Curah Hujan 1990 2001 2004 2008 Ha % ha % Ha % ha % 2247 20.690 83,0 21.470 86,1 20.850 83,6 18.910 75,9 2879 26.270 40,8 35.730 55,5 42.010 65,3 35.370 55,0 3017 26.520 81,1 24.490 74,9 20.160 61,7 14.050 43,0 3236 3.150 22,6 3.620 25,9 3.750 26,9 2.610 18,7 3767 7.990 68,8 8.430 72,5 6.430 55,3 5.560 47,9 3819 32.100 48,4 43.420 65,5 46.350 69,9 42.240 63,7 3895 190 2,0 420 4,3 650 6,7 570 5,8 3995 15.990 75,9 16.770 79,6 15.270 72,5 10.270 48,7 4136 17.300 32,0 21.050 39,0 20.540 38,0 19.940 36,9 5.3.5 Pola Sebaran Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 sampai tahun 2008 sawah dan tegalan memiliki pola sebaran yang sama yaitu banyak dijumpai pada aksessibilitas 3 km dan semakin menurun proporsinya dengan semakin jauh jaraknya dari jalan utama. 80.0 70.0 60.0 proporsi (%) 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 3 km 3km - 6km 6km - 9km 9km - 12km >12 km Selang Jarak 1990 2001 2004 2008 Gambar 16. Grafik Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas

35 Proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada masing-masing aksessibilitas disajikan pada Tabel 15. Pada aksessibilitas 3 km proporsi sawah dan tegalan tertinggi terdapat pada tahun 2001 yaitu sebesar 83.760 ha (72,3%), pada aksessibilitas 3km 6km berada pada tahun 2004 yaitu sebesar 44.310 ha (60,5%), pada aksessibilitas 6km 9km berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 23.550 ha (50,1%), pada aksessibilitas 9km 12km dan > 12 km proporsi sawah dan tegalan tertinggi berada pada tahun 2004 yaitu sebesar 15.710 ha (48,7%) dan 11.790 ha (38,9%). Tabel 15. Proporsi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Jarak 1990 2001 2004 2008 Ha % ha % Ha % ha % 3 km 81.880 70,7 83.760 72,3 81.160 70,1 61.750 53,3 3km 6km 34.050 46,5 42.620 58,2 44.310 60,5 39.430 53,8 6km 9km 13.710 29,2 22.300 47,5 23.050 49,1 23.550 50,1 9km - 12km 11.180 34,6 15.070 46,7 15.710 48,7 15.500 48,0 >12 km 9.380 31,0 11.640 38,4 11.790 38,9 9.290 30,7 5.4 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Karakteristik Fisik 5.4.1 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng Pola perubahan sawah dan tegalan berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 17 dan proporsinya berdasarkan masing-masing kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 16. Proporsi (%) 18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 15% 15%-30% 30%-50% >50% Kemiringan Lereng penurunan 1990-2001 penurunan 2001-2004 penurunan 2004-2008 penambahan 1990-2001 penambahan 2001-2004 penambahan 2004-2008 Gambar 17. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan Lereng

36 Berdasarkan Gambar 17 dapat diketahui bahwa pada periode 1990-2001 dan 2001-2004 penurunan sawah dan tegalan banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%. Namun, pada periode 2004-2008 mengalami pergeseran yaitu penurunan banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%-30%. Sedangkan untuk pola penambahan sawah dan tegalan pada setiap periode banyak terjadi pada kemiringan lereng 15%-30%. Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan sawah dan tegalan telah mengalami pergeseran karena kalah prioritas dengan pemukiman. Menurut Barlowe (1986), setiap jenis penggunaan lahan (pertanian maupun non-pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan yang berbeda, dimana jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar. Oleh karena itu penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Besaran nilai economic land rent untuk beberapa penggunaan adalah: industri dan perdagangan > pemukiman > pertanian > hutan > lahan tandus. Tabel 16. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Kemiringan lereng Lereng 1990-2001 2001-2004 2004-2008 penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan Ha % ha % ha % ha % ha % ha % 15% 10.350 5,9 23.060 13,3 11.030 6,3 7,880 4,5 25.090 14,4 4.330 2,5 15%-30% 120 0,2 11.200 16,7 1.710 2,6 5,170 7,7 11.260 16,8 5.590 8,4 30%-50% 1.100 3,6 390 1,3 540 1,8 1.050 3,4 940 3,0 >50% 300 1,1 30 0,1 200 0,8 380 1,4 430 1,6 5.4.2 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Berdasarkan Gambar 18 dan Tabel 17 dapat diketahui bahwa penurunan sawah dan tegalan pada periode 1990-2001 banyak terjadi pada elevasi 250 mdpl, namun pada periode 2001-2004 dan 2004-2008 penurunan tertinggi bergeser menjadi elevasi 500-750 mdpl. Pola penambahan pada periode 1990-2001 dan 2001-2004 banyak terjadi pada elevasi 250 mdpl, sedangkan pada periode 2004-2008 mengalami pergeseran menjadi 250-500 mdpl. Pergeseran tersebut disebabkan karena sawah dan tegalan kalah prioritas dengan penggunaan pemukiman.

37 Proporsi (%) 20.0 18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 250 250-500 500-750 750-1000 1000-1250 1250-1500 >1500 Elevasi (mdpl) penurunan 1990-2001 penurunan 2001-2004 penurunan 2004-2008 penambahan 1990-2001 penambahan 2001-2004 penambahan 2004-2008 Gambar 18. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Tabel 17. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Elevasi Elevasi 1990-2001 2001-2004 2004-2008 penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % 250 9.470 6,0 22.330 14,1 8.130 5,1 8.920 5,6 23.220 14,7 3.950 2,5 250-500 750 1,2 9.540 15,6 2.580 4,2 2.920 4,8 6.870 11,2 4.590 7,5 500-750 100 0,3 3.030 8,1 2.030 5,4 1.330 3,6 6.580 17,7 1.960 5,2 750-1000 140 0,7 580 2,9 430 2,1 380 1,9 1.070 5,3 420 2,1 1000-1250 170 1,4 240 2,0 50 0,4 330 2,6 1250-1500 40 0,6 >1500 5.4.3 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Berdasarkan Gambar 19 dan Tabel 18 dapat diketahui penurunan dan penambahan sawah dan tegalan memiliki pola yang bervariasi terhadap jenis tanah. Penurunan sawah dan tegalan tertinggi pada periode 1990-2001 dan 2001-2004 berada pada tanah regosol, sedangkan penambahan sawah dan tegalan tertinggi pada kedua periode tersebut berada pada tanah podsolik merah kuning. Berbeda dengan periode 1990-2001 dan 2001-2004 pada periode 2004-2008 baik penurunan maupun penambahan sawah dan tegalan tertinggi berada pada tanah rensina. Menurut Soepardi (1983) tanah rensina di jumpai di daerah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun dengan kurang dari tiga bulan kering atau tanpa bulan kering yang pasti, terbentuk dari bahan induk batu kapur, bersifat masam, permeabilitas lambat, dan sangat peka terhadap erosi. Menurut Badan Pertanahan Nasional tanah dangkal berkapur seperti rensina sangat peka terhadap erosi dan longsor.

38 25.0 Propoorsi (%) 20.0 15.0 10.0 5.0 penurunan 1990-2001 penurunan 2001-2004 penurunan 2004-2008 penambahan 1990-2001 penambahan 2001-2004 penambahan 2004-2008 0.0 aluvial andosol grumusol latosol podsolik mrh kuning regosol rensina Jenis Tanah Gambar 19. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Tabel 18. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah 1990-2001 2001-2004 2004-2008 penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % aluvial 1.770 4,5 2.700 6,8 2.110 5,3 2.260 5,7 6.620 16,7 460 1,2 andosol 70 0,6 300 2,7 220 1,9 220 2,0 240 2,2 330 3,0 grumusol 2.620 16,1 870 5,4 1.300 8,0 1.950 12,0 latosol 7.230 4,1 21.090 12,0 9.830 5,6 4.550 2,6 20.190 11,5 7.670 4,4 podsolik mrh kuning 1.050 2,2 8.230 17,1 370 0,8 5.760 12,0 8.300 17,3 290 0,6 regosol 350 5,6 440 7,1 650 10,4 20 0,3 570 9,2 120 1,9 rensina 280 10,6 120 4,5 550 21,1 470 18,2 5.4.4 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Berdasarkan Gambar 20 dan Tabel 19, baik penurunan maupun penambahan sawah dan tegalan memiliki pola yang bervariasi terhadap curah hujan. Pada periode 1990-2001 penurunan banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan 3017 mm/tahun yaitu sebesar 18,3%, sedangkan penambahan banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan 3819 mm/tahun. Pada periode 2001-2004 penurunan banyak terjadi pada curah hujan 3767 mm/tahun, sedangkan penambahan banyak terjadi pada curah hujan 2879 mm/ tahun. Pada periode 2004-2008 penurunan banyak terjadi pada curah hujan 3995 mm/tahun, dan penambahan banyak terjadi pada curah hujan 3819 mm/ tahun.

39 30.0 Proporsi (%) 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 penurunan 1990-2001 penurunan 2001-2004 penurunan 2004-2008 penambahan 1990-2001 penambahan 2001-2004 penambahan 2004-2008 0.0 2247 2879 3017 3236 3767 3819 3895 3995 4136 Curah Hujan (mm/tahun) Gambar 20. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Tabel 19. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Curah Hujan Curah Hujan 1990-2001 2001-2004 2004-2008 penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % 2247 1.170 4,7 1.940 7,8 1.820 7,3 1.200 4,8 2.040 8,2 100 0,4 2879 1.050 1,6 10.520 16,3 140 0,2 6.420 10,0 7.390 11,5 750 1,2 3017 5.980 18,3 3.940 12,1 4.330 13,2 6.110 18,7 3236 170 1,2 640 4,6 340 2,4 470 3,3 1.690 12,1 550 4,0 3767 800 6,9 1.230 10,6 2.030 17,5 30 0,3 1.380 11,9 510 4,4 3819 630 0,9 11.950 18,0 500 0,8 3.430 5,2 11.000 16,6 6.890 10,4 3895 230 2,4 30 0,3 260 2,7 310 3,2 230 2,3 3995 500 2.4 1.270 6,0 2.280 10,8 790 3,7 5.600 26,6 590 2,8 4136 180 0.3 3.930 7,3 1.710 3,2 1.200 2,2 2.260 4,2 1.660 3,1 5.4.5 Pola Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Berdasarkan Gambar 21 dan Tabel 20 penurunan sawah dan tegalan pada setiap periode didominasi pada jarak 3 km. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan pemukiman menginginkan aksessibilitas yang dekat dengan pusat kota (pusat pertumbuhan) sehingga sawah dan tegalan kalah prioritas dan terkonversi menjadi pemukiman. Menurut penelitian Andriyani (2007) semakin dekat kawasan pertanian dengan wilayah perkotaan semakin berpeluang untuk terkonversi. Penambahan sawah dan tegalan pada periode 1990-2001 dan 2004-2008 banyak terjadi pada aksessibilitas 6 km 9 km, sedangkan pada periode 2001-2004 banyak terjadi pada aksessibilitas 3 km 6 km.

40 Proporsi (%) 20.0 18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 3 km 3km - 6km 6km - 9km 9km - 12km >12 km Selang Jarak penurunan 1990-2001 penurunan 2001-2004 penurunan 2004-2008 penambahan 1990-2001 penambahan 2001-2004 penambahan 2004-2008 Gambar 21. Grafik Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Tabel 20. Proporsi Perubahan Sawah dan Tegalan Berdasarkan Aksessibilitas Aksessibilitas 1990-2001 2001-2004 2004-2008 penurunan penambahan penurunan penambahan penurunan penambahan ha % ha % ha % ha % ha % ha % 3 km 8.990 7,8 10.880 9,4 9.030 7,8 6.430 5,5 21.700 18,7 2.290 2,0 3km - 6km 1.410 1,9 9.990 13,6 2.490 3,4 4.180 5,7 7.960 10,9 3.080 4,2 6km - 9km 60 0,1 8.640 18,4 1.180 2,5 1.940 4,1 3.170 6,8 3.680 7,8 9km - 12km 3.890 12,1 460 1,4 1.100 3,4 2.390 7,4 2.180 6,8 >12 km 2.250 7,4 150 0,5 2.560 8,5 60 0,2 5.5 Perubahan Sawah dan Tegalan Menjadi Pemukiman Penggunaan lahan pertanian (sawah dan tegalan) paling banyak mengalami perubahan menjadi pemukiman, dengan proporsi perubahan tegalan menjadi pemukiman adalah yang tertinggi (0,4%, 1,5%, dan 2%). Laju perubahan lahan sawah dan tegalan menjadi pemukiman untuk masing-masing periode adalah sebesar 400 ha/tahun, 1.700 ha/tahun, dan 1.870 ha/tahun. Hal tersebut menandakan bahwa pola perubahan yang terjadi adalah sawah tegalan pemukiman. Penelitian Marisan (2006) di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menyimpulkan bahwa peningkatan luasan area ruang terbangun sebagian besar (75,75%) berasal dari penutupan lahan kering, sementara itu peningkatan luasan area pertanian lahan kering sebagian besar berasal dari penutupan pertanian lahan basah (72,75%). Kondisi tersebut mengindikasikan adanya tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun, dimana berawal dari petanian lahan basah berubah menjadi pertanian lahan kering dan akhirnya menjadi ruang

41 terbangun. Selain itu, adanya peraturan Keppres No. 53 tahun 1990 tentang larangan konversi lahan sawah beririgasi teknis membuat masyarakat mengubah terlebih dahulu lahan sawah menjadi tegalan kemudian mengubahnya menjadi pemukiman, hal ini dilakukan untuk menghindari perbuatan melanggar peraturan tersebut (Andriyani, 2007). Perubahan luas sawah dan tegalan tersebut berkaitan dengan jumlah penduduk (data penduduk dapat dilihat pada Tabel 21). Laju pertumbuhan penduduk pada periode 1990-2001 tidak terlalu tinggi, begitu pula dengan laju pertumbuhan penduduk pada periode 2001-2004, sedangkan penurunan sawah dan tegalan yang cukup signifikan pada periode 2004-2008 disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi sehingga banyak penggunaan lahan sawah dan tegalan yang terkonversi menjadi pemukiman. Menurut Gandasasmita (2001) menurunnya proporsi lahan sawah ini terjadi karena jumlah penduduk yang lebih besar akan memerlukan pemukiman, sarana, dan prasarana lainnya yang lebih banyak sehingga sebagian dari lahan pertanian akan bergeser dan digantikan oleh sarana dan prasarana tersebut. Hubungan antara proporsi sawah dan tegalan dengan jumlah penduduk disajikan pada Gambar 22. Tabel 21. Jumlah Penduduk Tahun Total Penduduk Kerapatan Penduduk (jiwa/100 ha) 1990 2.969.787 29.698 2001 3.144.453 31.445 2004 3.408.810 34.088 2008 4.750.670 47.507 Sumber : BPS Kabupaten Bogor 60.0 58.0 56.0 proporsi (%) 54.0 52.0 50.0 48.0 46.0 44.0 29698 31445 34088 47507 kerapatan penduduk (jiwa/100 ha) swh+tgln Gambar 22. Grafik Hubungan Proporsi Sawah dan Tegalan dengan Kerapatan Penduduk

42 5.6 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sawah dan Tegalan Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sawah dan tegalan maka dilakukan analisis statistik dengan menggunakan metode binomial logit. Peubah yang berpengaruh terhadap perubahan sawah dan tegalan dapat diketahui melalui nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah. Nilai penaksiran positif menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat meningkatkan peluang terjadinya perubahan sawah dan tegalan, sedangkan nilai penaksiran negatif bersifat sebaliknya, yaitu menurunkan peluang perubahan sawah dan tegalan. Peluang perubahan sawah dan tegalan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Sawah dan Tegalan Level of Column Estimate Standard Wald p Effect Error Stat. Intercept 1 4.45571 549.9910 0.00007 0.993536 KELAS_LERENG 1 2-0.79380 0.0856 86.03082 0.000000 KELAS_LERENG 2 3-0.42315 0.0765 30.59630 0.000000 KELAS_LERENG 3 4 0.36308 0.1036 12.28982 0.000455 KLS_ELEVASI 1 5-3.71378 549.9910 0.00005 0.994612 KLS_ELEVASI 2 6-3.66022 549.9910 0.00004 0.994690 KLS_ELEVASI 3 7-3.30902 549.9910 0.00004 0.995200 KLS_ELEVASI 4 8-2.50768 549.9910 0.00002 0.996362 KLS_ELEVASI 5 9-2.43101 549.9910 0.00002 0.996473 KLS_ELEVASI 6 10-0.88034 549.9913 0.00000 0.998723 CURAH HUJAN 2247 11 0.29934 0.2163 1.91469 0.166443 CURAH HUJAN 2879 12 0.35704 0.1249 8.17826 0.004240 CURAH HUJAN 3017 13 0.02654 0.2013 0.01738 0.895127 CURAH HUJAN 3236 14-1.01467 0.1926 27.75532 0.000000 CURAH HUJAN 3767 15 0.14825 0.1659 0.79807 0.371672 CURAH HUJAN 3819 16 0.02798 0.0980 0.08149 0.775294 CURAH HUJAN 3895 17-0.12364 0.2380 0.26996 0.603356 CURAH HUJAN 3995 18-0.16352 0.1427 1.31363 0.251738 KODE_JARAK 1 19-0.05724 0.0917 0.38952 0.532553 KODE_JARAK 2 20-0.04511 0.0890 0.25698 0.612206 KODE_JARAK 3 21-0.04477 0.0971 0.21253 0.644795 KODE_JARAK 4 22-0.22286 0.1131 3.87934 0.048884 Scale 1.00000 0.0000 Pada Tabel diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang meningkatkan peluang perubahan sawah dan tegalan adalah faktor kelerengan, yaitu kelas lereng 3 (30% - 50%) dengan nilai penaksiran 0.36 dan curah hujan 2879 mm/tahun dengan nilai penaksiran 0.35. Sedangkan faktor yang berpengaruh menurunkan peluang perubahan sawah dan tegalan adalah (1) kelas lereng 1 ( 15%) dan kelas

43 lereng 2 (15% - 30%), (2) curah hujan 3236 mm/tahun, dan (3) kode jarak 4 (9km - 12km). Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel 23. Diperoleh nilai scaled deviance 1.07 dan pearson chi 0.93 yang menunjukan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama dengan kondisi di lapangan. Tabel 23. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan sawah dan tegalan Df Stat. Stat/Df Deviance 2852 3067.77 1.075655 Scaled Deviance 2852 3067.77 1.075655 Pearson Chi² 2852 2675.80 0.938218 Scaled P. Chi² 2852 2675.80 0.938218 Loglikelihood -1533.88