V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari Bappeda Kabupaten Garut, informasi penduduk lokal, dan peta bahaya longsor tentatif sebelum dilakukan observasi lapangan, terutama pada area yang mempunyai kemiringan lereng sedang hingga tinggi. Dalam penelitian ini peta jalan sangat diperlukan untuk mengetahui rute guna menuju titik-titik longsor yang akan diteliti. Dari hasil pengamatan lapangan didapatkan sebanyak 43 titik longsor yang meliputi titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) maupun yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 2. Persebaran titik-titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 17 yang disajikan dengan latar belakang Citra GDEM (resolusi 30 meter), dimana terlihat bahwa mulai dari G. Cikurai ke Utara hanya terdapat 10 titik longsor, selebihnya 33 titik longsor terdapat di wilayah Selatan Kabupaten Garut (dari Gunung Cikurai ke Selatan). Banyaknya titik-titik longsor di wilayah Selatan tersebut dibandingkan dengan di wilayah Utara Kabupaten Garut disebabkan oleh kondisi morfologi di wilayah Utara didominasi oleh daerah landai sampai datar (sekitar 30% dari luas total daerah penelitian) sedangkan di wilayah Selatan sekitar 45% dari luas total daerah penelitian berupa daerah perbukitan. Titik-titik longsor yang ditemukan di Kabupaten Garut bagian Utara tersebut tersebar pada daerah perbukitan dan pegunungan vulkanik, baik di sisi Timur maupaun sisi Barat wilayah ini. Untuk persebaran titik-titik longsor di wilayah selatan tampak mempunyai pola memanjang berurutan, ke arah Selatan maupun ke arah Barat (Gambar17), dan ditemukan pada morfologi perbukitan dan pegunungan. Pola memanjang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh pola jalan yang dipakai untuk mencari titiktitik longsor, karena longsor banyak ditemukan tidak jauh dari tepi jalan. Dengan demikian sesungguhynya masih dimungkinkan terdapat titik-titik longsor lain yang belum dapat ditemukan dikarenakan tidak adanya aksesibiltas untuk mencapai titik-titik tersebut dan sulit medan di wilayah Kabupaten Garut Bagian

2 35 Selatan. Jika persebaran titik-titik longsor tersebut ini dilihat berdasarkan batas administrasi (kecamatan), maka Kecamatan Cisewu mempunyai titik longsor terbanyak. yaitu sebanyak 10 titik longsor, sedangkan Kecamatan Banjarwangi, Kadungora, Leles, Sucinaraja, Karangpawitan, dan Cisurupan mempunyai titik longsor terendah sebesar 1 titik longsor (Gambar 17 dan Tabel 8). Dengan demikian kecamatan Cisewu perlu mendapat perhatian tersendiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terkait dengan program pengurangan korban bencana alam atau mitigasi bencana longsor. Tabel 8. Sebaran titik longsor menurut batas administrasi No Kecamatan Titik Longsor 1 Banjarwangi 1 2 Kadungora 1 3 Leles 1 4 Sucinaraja 1 5 Karangpawitan 1 6 Cisurupan 1 7 Pakenjeng 2 8 Bungbulang 2 9 Cigedug 2 10 Cihurip 2 11 Caringin 3 12 Malangbong 4 13 Pamulihan 6 14 Cisompet 6 15 Cisewu 10

3 36 Gambar 17. Peta Sebaran Titik Longsor 36

4 37 Gambar 18. Peta Sebaran Titik Longsor Berdasarkan Administrasi 37

5 Analisis Penyebab Longsor di Kabupaten Garut Analisis penyebab longsor di daerah penelitian dilakukan dengan melihat keterkaitan antara persebaran titik longsor terhadap parameter yang digunakan untuk menilai penyebab longsor, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Dalam analisis ini ada tiga aspek yang digunakan untuk mengetahui penyebab longsor, yaitu jumlah titik longsor yang terdapat pada setiap area dari masing-masing parameter, kerapatan titik longsor pada setiap area dari masing-masing parameter, dan kerapatan frekuensi longsor. Seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi sebelumnya bahwa dalam penelitian ini perhitungan kerapatan didasarkan pada satuan luas 100 km² (dari setiap area dari masing-masing parameter), sedangkan frekuensi longsor dibatasi untuk kurun waktu sekitar 12 tahun, yaitu antara tahun 2000 sampai tahun Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dan Kemiringan Lereng Berdasarkan analisis tumpang tindih (overlay) antara titik longsor dengan kemiringan lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng-lereng dengan kemiringan 25-45%, 15-25%, dan 8-15%, sedangkan pada kemiringan lereng >45% sangat sedikit ditemukan titik longsor. Hal ini disebabakan oleh dua hal, yaitu adanya kendala aksesibiltas pada lereng >45% sehingga tidak ditemukan titik longsor, atau karena adanya penutup lahan berupa hutan yang mendominasi kelas lereng ini, sehingga tidak ada kejadian longsor karena penutup lahan ini berhasil mengurangi terjadinya longsor. Persebaran titik-titik longsor pada setiap kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 19. Tabel 9. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Ulangan Kejadian Kelas Lereng Jumlah Titik Longsor Longsor 0-3% % % % % >45% 1 4

6 39 Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang besar sebagai penyebab terjadinya longsor, sehingga pada wilayah dimana mempunyai kelas kemiringan lereng 25-45% maka titik longsor dan ulangan kejadian longsor banyak ditemukan. Pada kemiringan 0-3% dan 3-8% tidak ditemukan titik longsor disebabkan oleh topografi yang datar atau landai, sedangkan pada kemiringan lereng >45% terdapat 1 titik longsor yang teramati dan terdapat 4 total kejadian longsor.

7 40 Gambar 19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng 40

8 41 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Kemiringan Lereng Berdasarkan analisis yang dilakukan antara jumlah titik longsor terhadap luasan masing-masing kelas lereng didapatkan beberapa kelas kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 10, adapun secara grafis kerapatan titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Jumlah Titik Kerapatan Luas(ha) Luas(%) Lereng Longsor (titik/100km²) 0-8% ,0 8-45% ,5 42 1,7 >45% ,5 1 6,5 Titik/100km² Density 0-8% 8-45% >45% Kelas Lereng Gambar 20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa besarnya nilai kerapatan mengikuti besarnya kelas lereng, yaitu untuk kelas lereng >45% mempunyai kerapatan 6,5, untuk kelas 8-45% sebesar 1,7 dan untuk kelas 0-8% tidak ada titik longsor. Besarnya angka kerapatan titik longsor pada lereng >45% lebih banyak disebabkan oleh kecilnya luas kelas kemiringan tersebut di lokasi penelitian, sehingga nilai kerapatan ini dapat menjadi lebih besar lagi jika ditemukan titik-titik longsor yang lain pada wilayah kelas lereng >45%. Hal ini menggambarkan suatu peluang kejadian longsor yang cukup besar pada kelas kemiringan lereng ini.

9 42 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan informasi bahwa pada setiap titik longsor (atau di sekitarnya) dapat terjadi lebih dari satu kali kejadian yang dalam penelitian ini disebut kejadian ulang. Dengan demikian frekuensi kejadian longsor dapat dihitung dalam suatu kurun waktu (dalam penelitian ini kurun waktu = 12 tahun). Frekuensi ini digunakan untuk melihat suatu peluang terhadap kejadian ulang longsor di waktu yang akan datang. Gambaran besarnya nilai frekuensi pada setiap titik longsor disajikan pada Tabel 11 dan gambaran grafisnya pada Gambar 21. Berdasarkan hasil analisis frekuensi longsor terhadap kemiringan lereng ini diperoleh hasil bahwa pola kejadian yang terjadi mirip dengan hasil analisis pada kerapatan titik longsor, dimana besarnya nilai kerapatan frekuensi longsor mengikuti besarnya kemiringan lereng, sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa semakin besar kemiringan lereng akan mempunyai peluang yang besar terhadap terjadinya proses longsor dan terulangnya kejadian tersebut. Tabel 11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Total Frekuensi Kerapatan Luas(ha) Luas(%) Lereng Longsor (kejadian/100km²) 0-8% ,0 8-25% ,5 98 3,9 >45% ,5 4 26,1 Kejadian/100km² Density 0-8% 8-45% >45% Kelas Lereng Gambar 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng

10 Hubungan Elevasi dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan elevasi Dalam penelitian ini elevasi topografi dibedakan menjadi 5 kelas dengan interval 500 meter. Besarnya interval ini dipilih mengingat bahwa morfologi di daerah penelitian lebih didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan, sehingga diharapkan dengan interval ini dapat dilihat lebih baik pengaruh elevasi terhadap longsor. Selama melakukan observasi lapangan, elevasi titik longsor diukur atau ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Garmin 60Csx), sedangkan hasilnya berupa jumlah titik longsor pada setiap kelas elevasi disajikan pada Tabel 12 dan untuk persebaran spasial disajikan pada Gambar 22. Tabel 12. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Elevasi Titik Lokasi Longsor Total Kejadian Longsor 0-500m m m m 0 0 >2000m 1 4 Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa persebaran titik longsor terbesar terdapat pada elevasi meter, sedangkan jumlah titik longsor yang besar berikutnya pada elevasi meter dan meter. Untuk elevasi tidak ditemukan titik longsor, sedangkan pada elevasi >2000 m terdapat 1 titik longsor. Berdasarkan Gambar 22 dan Gambar 12 terlihat bahwa persebaran elevasi meter berada di lereng tengah gunungapi yang pada umumnya mempunyai penutupan lahan hutan, sehingga sangat wajar jika kejadian longsor jarang terjadi atau tidak ditemukan dalam penelitian ini. Untuk elevasi >2000 m ditemukan 1 titik longsor yang berada pada lereng atas atau puncak Gunungapi Papandayan dengan penutup lahan berupa lahan terbuka. Kondisi yang demikian sering menyebabkan terjadinya longsor.

11 44 Tinggi kejadian longsor pada elevasi meter ini apabila dilihat dari lokasinya mempunyai kemiringan lereng yang secara dominan berada pada kelas 25-45%, seperti yang terlihat pada Tabel 12, dimana pada tabel ini diperlihatkan hubungan antara persebaran kelas kemiringan lereng terhadap elevasi dan banyaknya titik longsor yang terjadi.

12 45 Gambar 22. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Elevasi 45

13 46 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Elevasi Berdasarkan hasil pemetaan persebaran titik longsor terhadap elevasi dan masing-masing luasan kelas elevasi didapatkan suatu nilai kerapatan nilai longsor seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan gambaran secara grafis hubungan tersebut pada Gambar 23. Tabel 13. Titik Longsor Pada Berbagai Kelas Elevasi Jumlah Titik Kerapatan Elevasi Luas(ha) Luas(%) Longsor (titik/100km²) 0-500m ,5 6 0, m ,6 >2000m ,5 1 2,1 2.5 Density Titik/100km² m m >2000m Elevasi Gambar 23. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Berdasarkan Tabel 13 dan Gambar 23 di atas terlihat bahwa kerapatan titik longsor mempunyai nilai yang semakin besar seiring dengan meningkatnya kelas elevasi. Hal ini menunjukan bahwa semakin bertambahnya elevasi akan mempunyai peluang semakin besarnya kejadian longsor. Fenomena ini cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring hingga terjal, semakin besar dan begitu pula umumnya terhadap peluang meningkatnya curah hujan. Pada Tabel 14 disajikan hubungan antara elevasi, kelas kemiringan lereng, dan jumlah titik

14 47 longsor, dimana pada tabel tersebut diterlihat bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng 15-45% dan pada elevasi dari meter. Tabel 15. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Elevasi Berdasarkan Kelas Lereng Elevasi Kelas Lereng Titik Lokasi Longsor Persentase (%) 0-500m 0-8% % % % 1 20 >45% m 0-8% % % % >45% 0 0 >2000m 0-8% % % % 0 0 >45% c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Ketinggian Hubungan antara frekuensi longsor terhadap elevasi dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan hasil seperti yang tersaji pada Tabel 15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa besarnya kerapatan frekuensi longsor berbading lurus dengan meningkatnya kelas elevasi. Kondisi ini secara grafis disajikan pada Gambar 24, dan terlihat bahwa peluang terulangnya longsor pada lokasi yang sama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya elevasi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi biogeofisik di sekitar titik longsor (kemiringan, curah hujan, penutup lahan) relatif sama. Tabel 15. Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Elevasi Luas(ha) Luas(%) Total Frekuensi Longsor mdpl ,5 13 1, mdpl ,9 >2000 mdpl ,5 4 8,4 Kerapatan (kejadian/100k m²)

15 48 Kejadian/100km² Density 0-500m m >2000m Elevasi Gambar 24. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Hubungan Formasi Geologi dengan Longsor a.persebaran titik longsor dengan formasi geologi Berdasarkan Peta Geologi skala 1: Lembar Garut dan Lembar Pameumpeuk, daerah penelitian tersusun dari 5 Formasi Geologi utama dimana nama dari masing-masing formasi tersaji pada Tabel 16. Formasi geologi digunakan sebagai parameter longsor dikarenakan formasi geologi mencerminkan jenis-jenis litologi yang menyusun atau yang membentuk tanah-tanah di daerah penelitian, disamping itu proses longsor tidak hanya membawa material permukaan (tanah) akan tetapi juga termasuk batuan induk yang ada di bawahnya. Dengan demikian aspek formasi geologi (karakterisitik litologi) sangat menentukan mudah tidaknya terhadap proses terjadinya longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan (Tabel 16) didapatkan bahwa titik longsor terbanyak terdapat pada fomasi geologi Anggota Tufa dan Breksi (23 titik) yang selanjutnya banyak pula terjadi pada fomasi geologi Batuan Gunungapi Muda, demikian pula dengan ulangan terjadinya longsor. Secara lengkap sebaran formasi geologi menurut tipe batuan diperlihatkan pada Tabel Lampiran 3

16 49 Tabel 16. Sebaran Titik dan Kejadian Longsor pada Formasi Geologi Formasi Geologi Titik Longsor Ulangan Kejadian Longsor Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai 1 1 Endapan Piroklastik 4 9 Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 4 6 Batuan Gunungapi Muda Anggota Tufa dan Breksi Melihat angka-angka pada tabel tersebut, tampak bahwa lapisan tufa yang tersusun dari material abu vulkanik bersifat kedap terhadap air dan menjadi licin pada saat hujan, sehingga lapisan ini dapat bertindak sebagai bidang luncur terhadap batuan breksi dan tanah yang terbentuk di atasnya. Dengan demikian cukup wajar jika pada formasi geologi ini banyak terjadi proses longsor. Selain itu perlu diketahui pula bahwa berdasarkan peta geologi yang digunakan, Formasi Anggota Tufa dan Breksi ini terbentuk pada zaman Tersier. Hal ini menyiratkan bahwa proses pelapukan pada formasi ini telah berjalan cukup lama, atau dengan kata lain material hasil pelapukan yang siap dilongsorkan sudah mempunyai ketebalan yang mencukupi. Pemikiran ini senada dengan pernyataan Barus (1999), yang menyatakan bahwa hubungan litologi dengan longsor terlihat jelas di daerah dimana longsor terbanyak berasal dari material sedimen berumur Tersier. Peta sebaran titik longsor untuk daerah penelitian pada berbagai formasi geologi dan kelas lereng disajikan pada Gambar 25.

17 50 Gambar 25. Peta Sebaran Titik Longsor pada Formasi Geologi 50

18 51 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Formasi Geologi Berdasarkan hasil analisis kerapatan titik longsor terhadap formasi geologi didapatkan beberapa nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 17. Adapun gambaran grafis dari kerapatan titik longsor tersebut disajikan pada Gambar 26. Tabel 17. Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Formasi Geologi Luas(ha) Luas(%) Titik Longsor Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Batuan Gunungapi Muda Kerapatan (titik/100km²) Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Anggota Tufa dan Breksi titik/100km² Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Density Batuan Gunungapi Muda Formasi Geologi Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Anggota Tufa dan Breksi Gambar 26. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Data tersebut di atas menunjukan bahwa nilai kerapatan titik longsor atau peluang terjadinya longsor di daerah penelitian terutama berada pada Formasi Anggota Tufa dan Breksi, kemudian pada Formasi Breksi Hasil Gunungapi Tua, dan pada Formasi Batuan Gunungapi Muda. Hal ini menyiratkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian banyak ditentukan oleh tipe batuan atau litologi yang mempunyai komposisi adanya bahan piroklastik halus (tufa) yang

19 52 dapat bertindak sebagai bidang luncur dan juga umur geologi (batuan) yang menggambarkan cukup lamanya proses pelapukan telah berlangsung pada batuan. Peluang ini untuk daerah peneltian diperbesar lagi oleh besarnya kemiringan lereng. Hal ini terlihat pada Tabel 18 dimana pada kemiringan lereng 15 hingga 45% terdapat sebanyak 20 titik longsor. Tabel 18. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan Kelas Lereng Formasi Geologi Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Kelas Lereng Titik Longsor Persentase (%) 0-8% % % % 0 0 >45% 0 0 Endapan Piroklastik 0-8% % % % 3 75 >45% 0 0 Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 0-8% % % % 0 0 >45% 0 0 Batuan Gunungapi Muda 0-8% % % % 3 35 >45% 1 5 Anggota Tufa dan Breksi 0-8% % % % >45% 0 0

20 53 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Formasi Geologi Menurut hasil analisis yang telah dilakukan, frekuensi longsor terhadap formasi geologi di daerah penelitian seperti tersaji pada Tabel 19, sedangkan gambaran grafis dari hubungan tersebut dipaparkan pada Gambar 27. Tabel 19. Kejadian Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Luas Luas Kejadian Kerapatan Formasi Geologi (ha) (%) Longsor (kejadian/100km²) Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Batuan Gunungapi Muda Anggota Tufa dan Breksi Kejadian/100km² Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Density Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Formasi Geologi Batuan Gunungapi Muda Anggota Tufa dan Breksi Gambar 27. Hubungan Kerapatan Frekuensi Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan tabel dan grafik tersebut di atas terlihat bahwa peluang terulangnya kejadian longsor pada lokasi yang sama mempunyai pola yang sama dengan persebaran titik longsor terhadap formasi geologi. Hal ini mengindikasikan bahwa banyaknya titik longsor pada formasi geologi tertentu sekaligus menunjukan peluang terulangnya kejadian longsor pada formasi tersebut.

21 Hubungan Jenis Tanah dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan jenis tanah Peta Tanah Jawa Barat (PUSLITANAK, 1988) skala 1: menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Garut mempunyai sebaran jenis tanah yang beragam. Mengingat skala peta pada tingkat tinjau, maka informasi terkait jenis tanah tidak menunjukan informasi yang detail. Namun berdasarkan hasil pengamatan titik-titik longsor selama observasi lapangan di dapatkan hasil bahwa titik longsor banyak ditemukan pada empat satuan peta tanah, yaitu (1) kompleks Regosol dan Litosol, (2) Latosol Coklat, (3) kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol, dan (4) Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat. Hubungan titik-titik longsor terhadap satuan peta tanah tersebut disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 28. Secara Lengkap sebaran jenis tanah di Kabupaten Garut disajikan dalam Tabel Lampiran 4. Tabel 20. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Jenis Tanah Jenis Tanah Titik Longsor Frekuensi Longsor Latosol Coklat 2 4 Komplek Regosol dan Litosol 1 5 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Melihat persebaran seperti pada tabel tersebut terlihat bahwa satuan peta tanah Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol mempunyai jumlah titik longsor terbanyak. Kompleks tanah ini secara geografis tersebar di Kabupaten Garut bagian Selatan yang mempunyai bahan induk Tufa dan Breksi berumur Tersier, sehingga kompleks tanah ini mempunyai lapisan tanah yang relatif dalam (karena proses pelapukan sudah lanjut) dan mempunyai lapisan kedap air yang berfungsi sebagai bidang luncur, yaitu yang berasal dari bahan induk tufa. Dengan demikian jika pada kompleks tanah ini terjadi banyak longsor menjadi cukup logis karena sangat terkait dengan bahan induk yang berasal dari bahan induk tufa dan breksi berumur Tersier.

22 55 Gambar 28. Peta Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah 55

23 56 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Jenis Tanah Berdasarkan hasil analisis titik-titik longsor terhadap luasan pada masingmasing jenis tanah didapatkan nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 21. Adapun gambaran grafis mengenai kerapatan titik longsor tersebut disajikan pada Gambar 29. Tabel 21. Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Luas Luas Jenis Tanah (ha) (%) Titik Longsor Komplek Regosol dan Litosol Latosol Coklat Kerapatan (titik/100km²) Komplek Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Density Titik/100km² Komplek Regosol dan Litosol Latosol Coklat Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Jenis Tanah Gambar 29. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan fakta tersebut di atas terlihat bahwa nilai kerapatan titik longsor atau peluang terjadinya longsor berada pada dua satuan peta tanah, yaitu Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat dan Kompleks Podoslik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol, dengan nilai kerapatan yang hampir sama yaitu 2,0 dan 1,9. Untuk Asososiasi Andosol Coklat dan Regosol mempunyai bahan induk dari Formasi Breksi Hasil Gunungapi Tua dan Formasi Endapan Piroklastik. Dari kondisi ini terlihat pada wilayah ini pelapukan sudah

24 57 berjalan lanjut, disamping itu material piroklastik itu sendiri merupakan produk gunungapi yang lebih mudah terlapukan di bandingkan dengan produk lain seperti aliran lava atau breksi vulkanik muda. Berdasarkan hal ini, maka peluang terjadinya proses longsor di wilayah ini cukup logis jika tinggi, dikarenakan bahan yang siap dilongsorkan sudah cukup tersedia (solum tanah dalam), apalagi di tunjang oleh kondisi toporgrafi berupa perbukitan dan pegunungan yang pada umumnya kaya dengan lereng yang miring hingga terjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 22, dimana pada kemiringan lereng 15 % hingga 45 % terdapat banyak titik longsor. Tabel 22. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan Kelas Lereng Jenis Tanah Kelas Titik Lereng Longsor Komplek Regosol dan Litosol 0-8% % % % 0 0 >45% Latosol Coklat 0-8% % % % 0 0 >45% 0 0 Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Jenis Tanah Persentase (%) 0-8% % % % >45% % % % % 8 50 >45% 0 0 Menurut hasil analisis yang telah dilakukan untuk kerapatan frekuensi longsor terhadap jenis tanah didapatkan hasil seperti tersaji pada Tabel 23 dan gambaran grafis hubungan antara frekuensi longsor dengan jenis tanah tersebut tersaji pada Gambar 30.

25 58 Tabel 23. Kejadian Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Luas Luas Kejadian Kerapatan Jenis Tanah (ha) (%) Longsor (Kejadian/100km²) Latosol Coklat Komplek Regosol dan Litosol Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Komplek Podsolik Merah Kekuningan, PodsolikKeKuning, dan Regosol Kejadian/100km² Latosol Coklat Density Komplek Regosol dan Litosol Jenis Tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Gambar 30. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan tabel dan grafik tersebut di atas terlihat bahwa peluang terbesar terulangnya longsor pada lokasi yang sama terjadi pada satuan peta tanah Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podoslik Kuning, dan Regosol, disusul oleh Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol sedangkan pada satuan peta tanah yang lain mempunyai peluang yang paling kecil. Hal ini menandakan bahwa kaitan antara bahan induk, umur formasi geologi (proses pelapukan), dan jenis tanah yang terbentuk mempunyai kaitan yang erat sebagai pemicu terjadinya longsor, apalagi terdapat pada lahan yang mempunyai kemiringan yang besar. Namun secara umum bahan induk pada kombinasi jenis tanah relatif sama, sehingga perbedaan peluang terulang tidak terlalu jauh sepeti terlihat pada Tabel 23.

26 Hubungan Curah Hujan dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini diambil dari data atribut Peta Land System (RePPProT, 1987) yang selanjutnya dilakukan proses tumpang tindih (overlay) tdengan persebaran titik longsor. Berdasarkan hasil analisis ini diketahui bahwa daerah dengan curah hujan mm/tahun tidak terdapat titik longsor sedangkan pada kelas curah hujan yang lain ditemukan beberapa titik longsor. Hal ini disebabkan pada kelas curah hujan mm/tahun berada pada lahan yang datar (dataran antar pegunungan) yang terdapat di Bagian Utara Kabupaten Garut. Berikut disajikan persebaran titik longsor (jumlah dan frekuensi) terhadap kelas curah hujan (Tabel 24). Tabel 24. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Curah Hujan Curah hujan mm/tahun Titik Longsor Total Kejadian Longsor Dari Tabel tersebut terlihat bahwa jumlah titik longsor banyak terdapat pada kelas curah hujan mm/tahun dan mm/tahun, masingmasing sebesar 15 dan 12 titik longsor dan dengan frekuensi kejadian longsor masing-masing 22 dan 30. Berdasarkan Gambar 31 terlihat bahwa persebaran kedua kelas curah hujan di atas berada di wilayah bagian Selatan Kabupaten Garut. Pola persebaran curah hujan yang demikian tampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi topografi, dimana perbukitan dan pegunungan di wilayah Selatan ini menyebabkan terjadinya hujan orografis yang berlimpah di bagian Selatan. Seperti diketahui bahwa curah hujan adalah anasir yang bersifat sebagia pemicu terjadinya longsor, apalagi terhadap tanah-tanah yang berusia lanjut di wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Suryaatmojo dan Seodjoko (2008), bahwa curah hujan bersifat meningkatan kadar air tanah, sehingga mengakibat menurunnya ketahanan material tanah/batuan, dan menyebabkan terbentuknya bidang gelincir sebagai pemicu tanah longsor.

27 60 Gambar 31. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Curah Hujan 60

28 61 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Curah Hujan Berdasarkan hasil pemetaan persebaran titik longsor terhadap curah hujan dan masing-masing luasanya didapatkan suatu nilai kerapatan titik longsor seperti yang tersaji pada Tabel 25 dan Gambar 32. Tabel 25. Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Curah hujan Kerapatan Luas(ha) luas(%) Titik Longsor mm/tahun (titik/100km²) Density Titik/100km² Curah hujan(mm/tahun) Gambar 32. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Berdasarkan Tabel 25 dan Gambar 32 di atas terlihat bahwa peluang terjadinya longsor berbading lurus dengan besarnya curah hujan. Berhubung persebaran curah hujan yang tinggi di Kabupaten Garut berada di Bagian Selatan, maka wialayh Selatan ini perlu mendapat perhatian atau kewaspadaan tersendiri terhadap longsor terutama pada lereng-lereng yang curam. Tabel 26 menunjukan kejadian longsor pada masing-masing kelas curah hujan yang banyak terdapat pada kelas kemiringan lereng 25-45%. Hasil analisis di atas memperlihatkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin besar curah hujan maka semakin besar pula peluang terjadinya longsor seperti yang

29 62 ditunjukkan oleh banyaknya titik longsor pada wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Zakaria (2011) bahwa curah hujan mempengaruhi kadar air dan kejenuhan air sehingga memicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah yang mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng dan menurunkan faktor keamanan lereng. Tabel 26. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Berdasarkan Kelas Lereng Curah hujan Persentase kelas Lereng Titik Longsor mm/tahun (%) % % % % 0 0 >45% % % % % >45% % % % % >45% 0 0 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Curah Hujan Dari hasil analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi longsor terhadap curah hujan didapatkan hasil seperti yang tersaji pada Tabel 27 dan gambaran grafis dari hubungan tersebut pada Gambar 33. Dari tabel dan gambar tersebut terlihat bahwa besarnya kerapatan frekuensi longsor berbading lurus dengan meningkatnya kelas curah hujan tahunan. Hal ini mengindikasi bahwa peluang terulangnya longsor pada lokasi yang sama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan.

30 63 Tabel 27. Frekuensi Longsor pada Berbagai Curah Hujan Curah Hujan Luas Total Frekuensi Frekuensi Luas (ha) mm/tahun (%) Longsor (kejadian/100km²) Density Kejadian/100km² Curah Hujan(mm/tahun) Gambar 33. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan Dengan demikian terulangnya kejadian longsor berpeluang besar pada bagian selatan Kabupaten Garut sehingga pada titik longsor di wilayah ini perlu mendapat kewaspadaan yang tinggi Hubungan Penggunaan Lahan dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dengan Penggunaan Lahan Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian longsor terjadi pada berbagai penggunaan lahan. Namun demiikian jumlah titik longsor terbanyak terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran, sedangkan pada penggunaan lain seperti hutan, pemukiman, dan ladang terdapat titik-titik longsor namun untuk penggunaan lahan yang lain tidak ditemukan titik longsor (Tabel 28) Dari tabel tersebut terlihat bahwa frekuensi longsor relatif tinggi pada penggunaan lahan berupa ladang dimana dari 3 kejadian longsor terulang sebanyak 10 kali. Hal ini menunjukan bahwa bentuk penggunaan lahan ladang relatif rentan terhadap kejadian longsor. Hubungan antara persebaran titik longsor dan penggunaan lahan secara spasial disajikan pada Gambar 34.

31 64 Tabel 28. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Titik Longsor Kejadian Longsor Perairan 0 0 Perkebunan 0 0 Lahan Terbuka 0 0 Semak Belukar 0 0 Sawah 0 0 Ladang 3 10 Hutan 5 9 Pemukiman 4 9 Kebun Campuran Tingginya kejadian longsor pada kebun campuran disebabkan oleh luasnya kebun campuran di wilayah bagian Selatan Kabupaten Garut (Gambar 34) dan berdasarkan pengamatan di lapangan kebun campuran secara umum menempati lereng-lereng yang curam atau mencapai pada bagian lereng atas dari perbukitan dan pegunungan. Untuk lebih lengkapnya sebaran data penggunaan lahan disajikan dalam Tabel Lampiran 5..

32 65 Gambar 34. Peta Sebaran Titik Longsor pada Penggunaan Lahan Tahun

33 66 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil analisis persebaran titik longsor terhadap luasan pada masing-masing penggunaan lahan didapatkan nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 29, adapun gambaran grafis mengenai kerapatan titik longsor disajikan pada Gambar 35. Tabel 29. Titik Longsor pada Penggunaaan Lahan Tahun 2012 Penggunaan Lahan Luas(ha) % Titik Longsor Kerapatan (titik/100km²) Perairan Perkebunan Lahan Terbuka Semak Belukar Sawah Hutan Ladang Pemukiman Kebun Campuran Titik/100km² Density Penggunaan Lahan Gambar 35. Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwa nilai kerapatan titik longsor paling besar berada pada penggunaan lahan kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa peluang terjadinya longsor pada penggunaan lahan kebun campuran cukup besar, sehingga penggunaan lahan ini perlu diwaspadai, atau perlu dilakukan pengelolaan yang baik, seperti pembuatan teras atau bentuk konservasi tanah lainnya secara intensif karena sebagain besar kebun campuran berada pada lereng-lereng yang curam. Tabel 30 berikut memperlihatkan

34 67 banyaknya kejadian longsor berada pada lereng 25-45% pada pengunaan lahan kebun campuran. Tabel 30. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Lereng Penggunaan Lahan kelas Lereng Titik Longsor Persentase (%) Ladang 0-8% % % % 0 0 >45% 0 0 Hutan 0-8% % % % 2 45 >45% 3 55 Pemukiman 0-8% % % % 0 0 >45% 0 0 Kebun Campuran 0-8% % % % >45% 0 0 c. Kerapatan Frekuensi Kejadian Longsor terhadap Penggunaan Lahan Menurut hasil analisis yang telah dilakukan terhadap analisis frekuensi longsor ini didapatkan hasil seperti tersaji pada Tabel 31 dan gambaran grafis terkait frekuensi longsor pada Gambar 36. Tabel 31. Kejadian Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Luas (ha) % Frekuensi Longsor Kerapatan (kejadian/100km²) Perairan Perkebunan Lahan Terbuka Semak Belukar

35 68 Sawah Ladang Hutan Pemukiman Kebun Campuran Kejadian/100km² Density Penggunaan Lahan Gambar 36. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil data di atas tampak bahwa kebun campuran mempunyai peluang terbesar terulangnya kejadian longsor pada titik yang sama, sedangkan pemukiman mempunyai peluang terbesar kedua yang disusul oleh hutan dan ladang. Terulangnya kejadian longsor di areal pemukiman pada umum dipengaruhi oleh aktifitas manusia memotong lereng dengan tujuan mendirikan bangunan atau rumah di lokasi lereng tersebut, meskipun tanpa disadari apa yang dilakukan tersebut berdampak negatif yaitu dapat memicu terjadinya longsor. Hutan pada umumnya menempati lereng-lereng yang curam sehingga wilayah hutan mempunyai kerentanan longsor yang tinggi yang diakibatkan oleh kemiringan lereng tersebut (Tabel 30). Setelah longsor, biasanya tutupan hutan menjadi terbuka (tanpa vegetasi), sehingga hal ini mudah memicu terjadi longsor kembali di waktu yang akan datang. Dengan demikian pada titik longsor tersebut bisa terulang kembali akibat tidak adanya akar dari vegetasi yang menahan tanah dan batuan. Hal serupa dapat terjadi pada penggunaan lahan ladang, karena tidak adanya vegetasi yang besar yang akarnya dapat menahan tanah dan batuan, dan

36 69 juga ladang-ladang tersebut umumnya menempati lereng yang miring, sehingga longsor sering terjadi secara berulang (Tabel 30). 5.3 Analisis Bahaya Longsor Dalam penelitian ini kelas bahaya longsor dibagi menjadi lima kelas yaitu sangat rendah, rendah, menengah, tinggi dan sangat tinggi. Untuk mendapatkan kelas tingkat bahaya longsor, formula seperti berikut dibawah ini digunakan seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi penelitian. Begitu pula nilainilai skor pada masing-masing parameter yang digunakan untuk menilai bahaya longsor. Rumus KBL = L + E + G + T + L + CH Keterangan : KBL = Kelas Bahaya Longsor L = Lereng E = Elevasi G = Geologi T = Tanah L = Lahan CH = Curah Hujan Berdasarkan hasil analisis bahaya longsor yang dilakukan sesuai dengan formula tersebut, didapatkan bahwa secara dominan daerah penelitian mempunyai kelas bahaya sedang, seperti disajikan pada Gambar 36. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa bahaya sangat tinggi sangat sempit hanya menempati 0.1% dari total luas daerah penelitian, bahaya tingg 33.5%, bahaya sedang 42.1%, bahaya rendah 19%, dan bahaya sangat rendah 5.3%. Untuk mengetahui gambaran persebaran spasial dari kelas-kelas bahaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 37. Dari Gambar 37 dapat diketahui bahwa bahaya sangat tinggi berlokasi di Kabupaten Garut bagian Selatan, dimana pada lokasi ini kelas kemiringan lereng >45% cukup dominan dan dengan pula nilai skor untuk masing-masing parameter yang lain. Untuk bahaya tinggi juga tersebar hampir merata di Kabupaten Garut bagian Selatan, dimana di wilayah ini curah hujan relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan berperan besar dalam menentukan tingkat bahaya longsor, disebabkan kondisi dari parameter-parameter lain mempunyai

37 70 nilai yang relatif agak seragam terutama dari sisi lereng dan relief. Berdasarkan kondisi bahaya longsor tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa Kabupaten Garut bagian Selatan sangat memerlukan perhatian dan pengelolaan lingkungan yang baik, bertujuan untuk menanggulangi bencana longsor. Jika dilihat dari batas adminitrasi, maka wilayah yang mempunyai kelas bahaya longsor yang tinggi ini meliputi kecamatan-kecamatan Bungbulang, Cikajang, Kecamatan, dan Pamulihan. Untuk mengetahui lebih rinci besarnya luas wilayah bahaya longsor di masing-masing wilayah adminitrasi dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6. Secara umum dapat disimpulkan di sini bahwa Kabupaten Garut bagian Utara, mempunyai luasan tingkat bahaya longsor yang jauh lebih rendah daripada wilayah Kabupaten Garut bagian Selatan. Pola sebaran kelas bahaya longsor dari hasil analisis penggabungan masing-masing parameter menunjukan pola yang spesifik, yaitu menyebar pada wilayah bertopografi perbukitan sampai pegunungan dengan kemiringan lereng dari miring sampai terjal dan dengan variasi berbagai faktor biogeofisik lainnya, seperti elevasi tinggi, penggunaan lahan kebun campuran, curah hujan tinggi, formasi geologi Tersier, dan jenis tanah yang mempunyai tekstur liat. Bedasarkan hal tersebut kelas bahaya tinggi mengikuti pola sebaran daerah di sekitar gunungapi dan perbukitan. Untuk lebih jelasnya agar bisa mengetahui sebaran daerah dan luas masing masing kelas bahaya longsor dapat dilihat pada Gambar 37 dan Gambar 38 berikut.

38 Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Luas (%) Gambar 37. Grafik Sebaran Luas Kelas Bahaya Tanah Longsor

39 72 Gambar 38. Peta Bahaya Longsor 72

40 Analisis Resiko Longsor Resiko merupakan suatu gambaran tentang tingkat konsekuensi yang dapat diterima umumnya berupa kerugian, baik jiwa maupun properti, yang dapat terjadi apabila proses-proses alam, dalam hal ini longsor, terjadi pada wilayah tersebut. Dalam penelitian ini gambaran resiko di formulasikan sebagai berikut. Resiko Longsor = Bahaya Longsor + Nilai Properti Berdasarkan fomulasi tersebut di atas, maka hasil penilaian bahaya longsor di atas dapat gunakan, yang terdiri dari 5 kelas bahaya longsor, sedangkan untuk properti diperhitungkan melalui penilaian kombinasi antara penggunaan lahan dengan infrastruktur seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi penelitian. Dalam hal ini properti dibagi juga menjadi 5 kelas untuk memudahkan perhitungan nilai resiko. Dari analisis nilai properti untuk daerah penelitian, didapatkan hasil bahwa nilai properti kelas rendah sangat mendominasi daerah penelitian (68.8%), disusul kelas sangat rendah (21.4%), dan kelas sedang (7.9%) seperti tergambar pada Gambar 39 dan persebaran spasial dari nilai properti dapat dilihat pada Gambar 40. Berdasarkan peta ini, tampak bahwa nilai properti kelas rendah tersebar di daerah dataran rendah maupun perbukitan yang didominasi oleh kebun campuran dan infrastruktur yang tidak merata, sedangkan persebaran nilai properti kelas sangat rendah terpusat pada wilayah yang mempunyai elevasi tinggi, yaitu di daerah puncak-puncak gunungapi, yang lebih didominasi oleh hutan tanpa adanya infrastruktur yang memadai. Untuk nilai properti kelas menengah mempunyai pola persebaran setempat-setempat dan tidak teratur mengikuti pola persebaran wilayah permukiman, sedangkan nilai properti kelas tinggi dan sangat tinggi mempunyai luasan relatif kecil dan tersebar terutama pada daerah perkotaan, seperti di Garut Kota dan di ibukota kecamatan lainnya.

41 Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi Luas (%) Gambar 39. Grafik Sebaran Luas Nilai Properti di Kabupaten Garut

42 75 Gambar 40. Peta Properti Kabupaten Garut 75

43 76 Dalam penelitian ini penilaian resiko dari aspek kerugian jiwa (aspek manusia) tidak di perhitungkan, karena keterbatasan data sehingga kerugian hanya di batasi pada aspek properti. Berdasarkan hasil analisis resiko yang dilakukan melalui proses tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya dengan peta properti didapatkan hasil bahwa tingkat resiko bahaya longsor di daerah penelitian didominasi oleh tingkat resiko sedang. Secara rinci besarnya presentase pada masing-masing tingkat resiko untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar 41, sedangkan persebaran spasial dari masing tingkat resiko tersebut disajikan pada Gambar 42. Berdasarkan pada Gambar 42 terlihat bahwa pola resiko longsor agak mirip dengan pola bahaya longsor, terutama untuk wilayah selatan. Hal ini disebabkan kondisi properti di wilayah selatan relatif hampir seragam. Nilai tertinggi untuk kelas resiko untuk daerah penelitian hanya mencapai kelas tinggi, sehingga kelas sangat tinggi tidak didapatkan, Hal ini disebabkan nilai properti di daerah yang mempunyai kelas bahaya longsor tinggi berkisar dari sedang hingga sangat rendah. Untuk kelas resiko sedang luasannya sangat dominan dan tersebar hampir di seluruh daerah penelitian, kecuali di wilayah daerah dataran antar pegunungan yang berlokasi di wilayah Utara Kabupaten Garut, dimana di wilayah-wilayah ini lebih didominasi oleh kelas resiko rendah dan sangat rendah. Besarnya persentase luasan dari masing-masing kelas resiko longsor untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar (41) Jika persebaran kelas resiko longsor tersebut dilihat dari sisi batas adminitrasi, maka wilayah-wilayah yang mempunyai kelas resiko longsor sedang hingga tinggi mencakup beberapa kecamatan, yaitu kecamatan-kecamatan Pekenjeng, Bungbulang, Cisewu, Telegong, Pamulihan, Cisompet, Banjarwangi, Cikelet, Cisurupan dan Cibalong. Untuk mengetahui besarnya masing-masing kelas resiko longsor pada masing-masing kecamatan dapat di lihat pada Tabel Lampiran 7. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa Kecamatan Pekenjeng, Bungbulang, Cisewu, Telegong, Pamulihan, Cisompet, Banjarwangi, Cikelet, Cisurupan dan Cibalong perlu mendapat perhatian dan prioritas untuk menanggulangi resiko longsor yang selalu membawa bencana bagi masyarakat.

44 77 Hal ini disebabkan kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai luasan kelas resiko longsor yang tinggi. Seiring dengan bertambah jumlah penduduk pada setiap tahun menyebabkan bertambahnya kebutuhan manusia, sehingga perubahan penggunaan lahan seringkali tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, Kabupaten Garut, terutama di wilayah bagian Selatan perlu melakukan perbaikan terhadap rencana tata ruangnya dan membuat kebijakan baru apabila ditemukan wilayah-wilayahnya berada pada kelas resiko tinggi. Dalam hal ini peta bahaya dan resiko longsor sangat penting untuk perencanaan wilayah Sangat rendah rendah Sedang Tinggi Luas (%) Gambar 41. Grafik Sebaran Luas Kelas Resiko Tanah Longsor

45 78 Gambar 42. Peta Resiko Longsor Kabupaten Garut 78

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

Gambar 1. Hasil Pengamatan Lapang

Gambar 1. Hasil Pengamatan Lapang Lampiran 86 Gambar 1. Hasil Pengamatan Lapang Gambar Gambar Longsor Sukalaksana, Kec.Sucinaraja X : 830452,Y : 9199898, Zona 48S Longsor Girimukti, Kec.Cisewu X : 77650,Y : 9188436, Zona 48S Longsor Pekenjeng,

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Fisik Daerah Geografi Kabupaten Garut secara geografis terletak di antara 6 0 56 49-7 0 45 00 Lintang Selatan dan 107 o 25 8-1088 o 7 30 Bujur Timur dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang terbagi menjadi beberapa golongan antara lain berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI 1) Ika Meviana; 2) Ulfi Andrian Sari 1)2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) imeviana@gmail.com;

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78 Identifikasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) Dr. Ir. M. Taufik, Akbar Kurniawan, Alfi Rohmah Putri Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil dan Analisis Peta Ancaman Bencana Tanah Longsor Pembuatan peta ancaman bencana tanah longsor Kota Semarang dilakukan pada tahun 2014. Dengan menggunakan data-data

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara astronomis Kabupaten Bantul terletak antara 07 0 44 04-08 0 00 27 LS dan 110 0 12 34 110 0 31 08 BT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di. Letak geografis Kecamatan Maja adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukahaji, Kecamatan

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

Identifikasi Daerah Rawan Longsor Identifikasi Daerah Rawan Longsor Oleh : Idung Risdiyanto Longsor dan erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008. Luas Panen (Ha)

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008. Luas Panen (Ha) Tabel 5.1.03 : Tambah Tanam,, dan Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.087 3.359 19.790 58.92 011. Caringin 1.308 1.110 6.524 58.77 020. Talegong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki tingkat kerawanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2007

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2007 TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI Kecamatan Tambah Tanam (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.861 2.568 14.265 55,55 011. Caringin 1.611 1.383 7.673 55,48 020. Talegong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan peneliti dalam menggunakan data penelitiannya (Arikunto, 2006). Sedangkan menurut Handayani (2010), metode

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 54 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Karakteristik Umum Wilayah 3.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Secara geografis wilayah studi terletak diantara 107 o 14 53 BT sampai dengan 107 o

Lebih terperinci

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh Catur Pangestu W 1013034035 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2015 ABSTRACT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah longsor merupakan suatu studi kasus terhadap berbagai kasus longsor yang terjadi di Kabupaten

Lebih terperinci

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006 TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 2.925 3.669 19.642 53,54 011. Caringin 795

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Tanah longsor adalah salah satu bencana yang berpotensi menimbulkan korban jiwa masal. Ini merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia. Hal ini mendorong masyarakat disekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006 LANDSLIDE OCCURRENCE, 4 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA 6 Maret 4, Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan juta m debris, orang meninggal, rumah rusak, Ha lahan pertanian rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana longsor lahan (landslide) merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Longsor lahan mengakibatkan berubahnya bentuk lahan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, khususnya bencana gerakan tanah. Tingginya frekuensi bencana gerakan tanah di Indonesia berhubungan

Lebih terperinci

TABEL PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT KECAMATAN, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH (SUSEDA KAB. GARUT 2005)

TABEL PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT KECAMATAN, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH (SUSEDA KAB. GARUT 2005) TABEL 3.19. PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH Laki-laki pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekolsekolah 010. Cisewu

Lebih terperinci

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha)

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha) Tabel 5.1.03 : Tambah Tanam,, dan Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2009 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.151 2.877 17.955 62,41 011. Caringin 1.562 1.503 9.345 62,18 020. Talegong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS A. Pengertian Persebaran Permukiaman Menurut N. Daldjoeni (1986:50), Pesebaran adalah menggerombol atau saling menjauhinya antara yang satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami bencana gerakan tanah adalah Provinsi Jawa Barat. Dari data survei yang dilakukan pada tahun 2005 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG

PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG PERKEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SEBAGAI PENDORONG EROSI DI DAERAH ALIRAN CI KAWUNG M. YULIANTO F. SITI HARDIYANTI PURWADHI EKO KUSRATMOKO I. PENDAHULUAN Makin sempitnya perairan laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis DEM Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih sempit, desain penelitian

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH I. PENDAHULUAN Keperluan informasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

Analisis Tingkat Kerentanan Tsunami Di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia

Analisis Tingkat Kerentanan Tsunami Di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia Analisis Tingkat Tsunami Di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut, Jawa Barat, Indonesia Zhafran Muhammad Asyam Bustomi 1, Taufiq Hadi Ramadhan 1, Hary Cahyadi 1, Dicky Muslim 2 1 Program Sarjana 2 Program Pasca

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN TANAMAN JATI PADA KERAWANAN LONGSORLAHAN DI SUB-DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS

KESESUAIAN LAHAN TANAMAN JATI PADA KERAWANAN LONGSORLAHAN DI SUB-DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS KESESUAIAN LAHAN TANAMAN JATI PADA KERAWANAN LONGSORLAHAN DI SUB-DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS Suwarno 1, Sutomo 2, dan Munandar 3 1,2 Dosen Pendidikan Geografi FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki daerah dengan potensi gerakan massa yang tinggi. Salah satu kecamatan di Banjarnegara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode 2011-2015 telah terjadi 850 kejadian bencana tanah longsor di Indonesia (BNPB, 2015).

Lebih terperinci