ANALISIS DAYA SAING UBI JALAR CILEMBU DI KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

III KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

IV METODOLOGI PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

ANALISIS SENSITIVITAS

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

Lampiran 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

Vol. 1, No. 2, September 2011

BAB IV METODE PENELITIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton)

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

3 KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. perdagangan antar wilayah, sehingga otomatis suatu daerah akan membutuhkan

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

III. METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Di Indonesia, budidaya

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS DAYA SAING UBI JALAR CILEMBU DI KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT SKRIPSI ANA HOERIDAH H34086006 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 iii

RINGKASAN ANA HOERIDAH. Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan TINTIN SARIANTI). Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor pertanian sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi sektor ersebut tidak dipersiapkan untuk bersaing dengan negara lain. Berdasarkan data dari global competitiveness report Tahun 2010-2011, daya saing global Indonesia berada pada urutan 44 tetapi Indonesia masih berada pada tahap factor driven ke efficiency driven. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia belum bisa mencapai efisiensi, terutama pada produk-produk pertanian seperti ubi jalar yang masih banyak diekspor dalam keadaan segar sehingga menyebabkan harga jual menjadi rendah. Indonesia berpotensi untuk budidaya ubi jalar dikarenakan sumber daya alam yang melimpah yang bisa menghasilkan ubi berkualitas baik. Pada Tahun 2009, Jawa Barat merupakan sentra produksi dan memiliki dua Kabupaten yang bisa menghasilkan ubi yang dipasarkan ke luar negeri. Ubi Cilembu merupakan komoditi unggulan yang telah diekspor ke Malaysia, Singapura, Jepang dan Hongkong. Berdasarkan sembilan indikator utama daya saing daerah, pengusahaan ubi Cilembu memiliki lima kendala dan empat peluang. Kendala tersebut diantaranya teknologi, kebijakan pemerintah daerah, perekonomian daerah, manajemen, dan sistem keuangan sedangkan peluang yang ada adalah pasar yang terbuka lebar (ekspor), sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan. Berkaitan dengan peluang dan kendala, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) dan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang. Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2011. Metode pengambilan responden dilakukan secara sengaja sebanyak 50 orang dan memenuhi kriteria, memiliki lahan sendiri, melakukan usahatani ubi lebih dari lima tahun, dan merupakan anggota kelompok tani. Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan alat analisis yang sama yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas. Sedangkan perbedaannya adalah produk, tujuan ekspor dan lembaga pemasaran. Hasil R/C 1,01 dari perhitungan biaya usahatani menunjukkan bahwa dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan maka mendapatkan penerimaan satu rupiah atau dengan kata lain pengusahaan ubi Cilembu mendapatkan laba normal. Dan yang didapatkan dengan menggunakan analisis PAM menunjukkan bahwa pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang memiliki keuntungan finansial maupun ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal tersebut bisa dilihat dari indikator KP (Rp 1.098,00) dan KS (Rp 7.613,00) yang positif. Sedangkan keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dilihat dari nilai PRC (0,56) dan DRC (0,15). Nilai PCR mengindikasikan bahwa pengusahaan ubi iv

Cilembu, bisa membiayai input domestik pada harga privat dan nilai DRC menunjukkan secara ekonomi efisien bila diproduksi di dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari indikator TO dan NPCO. Nilai TO yang diperoleh yaitu negatif (Rp -6.605,00) menunjukkan bahwa tidak ada subsidi pemerintah terhadap ubi Cilembu misalnya anggaran untuk meningkatkan produksi sehingga harga produsen lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Nilai NPCO yang didapat yaitu 0,29 sehingga kebijakan yang ada tidak menambah penerimaan untuk petani. Kebijakan terhadap input menilai indikator TI, NPCI dan TF. Nilai TI yang diperoleh yaitu negatif Rp 157,00 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input tradable contohnya pupuk Urea, SP-36 dan KCL, sehingga petani membeli lebih murah dari harga yang seharusnya. Nilai NPCI yang diperoleh adalah 0,52 mengindikasikan bahwa pemerintah bersifat protektif terhadap pupuk. Sedangkan TF yang diperoleh yaitu Rp 67,00 terjadi subsidi negatif, artinya petani membayar lebih mahal input bibit, pupuk kandang, tenaga kerja dan lahan. Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan secara keseluruhan yaitu inputoutput yang dapat ditunjukkan dengan indikator EPC, TB, PC dan SRP. Nilai EPC adalah 0,28 sehingga kebijakan pemerintah belum melindungi produsen domestik secara efektif dan menyebabkan tidak ada surplus produsen. Hal ini dapat terlihat dari indikator TB yang negatif Rp 6.515,00 dan PC 0,14. Nilai SRP yang diperoleh adalah negatif 0,70 menyebabkan petani mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan apabila terjadi kenaikan upah tenaga kerja dan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika masih menguntungkan secara finansial maupun ekonomi dan tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Sedangkan bila terjadi penurunan jumlah produksi sampai 50 persen, pengusahaan ubi jalar tidak menguntungkan secara finansial dan tidak memiliki keunggulan kompetitif walaupun masih menguntungkan secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. v

ANALISIS DAYA SAING UBI JALAR CILEMBU DI KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT ANA HOERIDAH H34086006 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vi

Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat : Ana Hoeridah : H34086006 Menyetujui, Pembimbing Tintin Sarianti, SP, MM. NIP. 19750316 2005 01 2 001 Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 1984 03 1 002 Tanggal Lulus : vii

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Ana Hoeridah H34086006 viii

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 18 April 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Apud Ropana dan Ibunda Nenah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Mandalaherang I pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN I Cimalaka. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN I Sumedang diselesaikan pada tahun 2005. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui penerimaan mahasiswa ekstensi pada tahun 2008, setelah tahun 2005 menjadi mahasiswa program Diploma Teknologi Industri Benih pada perguruan tinggi yang sama. ix

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi atas Rahmat, Hidayah, dan KaruniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta kebijakan pemerintah terhadap Agribisnis ubi Cilembu di Desa Cilembu (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong). Penulis menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan kendala dan keterbatasan dalam hal penyampaian informasi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bogor, Agustus 2011 Ana Hoeridah x

UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesain skripsi ini tidak terlepas dari dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak, dengan demikian penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Tintin Sarianti, SP.MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan waktu yang telah diberikan selama penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Heni K Daryanto, MEc dan Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji pada ujian sidang yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. 3. Ir. Popong Nurhayati, selaku dosen evaluator. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis. 5. Orangtua dan keluarga tercinta untuk dukungan dan doa yang diberikan. Semoga bisa menjadi kebanggaan untuk kita semua. 6. Suami tercinta dan Keluarga besar Ibrahim Siauta. 7. Petani Cilembu dan Nagarawangi atas kerjasamanya dalam memberikan informasi yang bermanfaat dalam penyelesain skripsi. 8. Auliya Ardayani, Mulyani dan teman-teman Agribisnis terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya. xi

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 6 1.3 Tujuan Penelitian... 11 1.4 Manfaat Penelitian... 11 II TINJAUAN PUSTAKA... 12 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis... 12 2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya saing... 14 2.3 Kebijakan Subsidi Pupuk... 15 2.4 Penelitian Tentang Ubi Jalar Cilembu... 16 III KERANGKA PEMIKIRAN... 18 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis... 18 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional... 24 IV METODE PENELITIAN... 26 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 26 4.2 Jenis dan Sumber Data... 26 4.3 Metoda Pengambilan Sampel... 27 4.4 Metoda dan Prosedur Analisis... 27 V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 35 5.1 Letak Geografis... 35 5.2 Jenis Tanah... 35 5.3 Iklim... 36 5.4 Penduduk... 36 5.5 Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang... 36 5.6 Komoditas Unggulan dalam Skala Optimistik Agribisnis... 37 5.7 Desa Penghasil Ubi Jalar... 38 VI HASIL DAN PEMBAHASAN... 40 6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan... 40 6.2 Analisis Daya saing Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang... 46 6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah... 49 VII ANALISIS SENSITIVITAS... 53 7.1 Terjadi Perubahan Upah Tenaga Kerja... 53 7.2 Terjadi Perubahan Jumlah Produksi... 54 7.3 Terjadi Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika 55 xii xiii xiv x

Halaman VIII KESIMPULAN DAN SARAN... 57 8.1 Kesimpulan... 57 8.2 Saran... 58 DAFTAR PUSTAKA... 59 LAMPIRAN... 61 xi

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita (Kg) Beberapa Bahan Pangan Tahun 2008 dan 2009... 3 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat... 3 3. Varietas Unggul Ubi Jalar yang telah Dilepas oleh Pemerintah Tahun 1977-2003... 4 4. Luas panen, Produktivitas, Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang tahun 2010... 7 5. Pendekatan Model Organisasi... 20 6. Jenis Data dan Sumber yang digunakan dalam penelitian... 26 7. Perhitungan Standard Convertion Faktor dan Shadow Price Exchange Rate Tahun 2006-2010 (milyar rupiah)... 30 8. Teori Matrik Analisis Kebijakan (Pilicy Analysis Matrix)... 32 9. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Sumedang 36 10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang Tahun 2010... 37 11. Kondisi Kawasan Agribisnis Padi dan Palawija Kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013... 37 12. Perbandingan Potensi Desa Cilembu Tahun 2010... 38 13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Privat Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha)... 42 14. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Sosial Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha)... 45 15. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/kg Ubi Jalar) 46 16. Indikator-Indikator Analisis PAM pada Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Tahun 2011... 47 xii

Nomor Halaman 17. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Harga Tenaga Kerja... 53 18. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Jumlah Produksi 50 persen... 54 19. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika... 55 xiii

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Indikator Utama atau Makro Penentu Daya Saing Daerah... 8 2. Kerangka Operasional Analisis Daya saing Ubi Jalar... 25 3. Stek Pucuk (Bibit) Ubi Cilembu... 28 4. Pupuk yang digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu... 29 5. Insekstisida yang digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu... 29 6. Pemanenan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Pria dan Wanita... 41 7. Pencucian Ubi Cilembu... 43 8. Contoh Kemasan Ekspor Tujuan Malaysia... 43 xiv

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009... 62 2. Deskripsi Varietas Ubi Jalar Cilembu... 64 3. Ubi Cilembu Berdasarkan Grade... 66 4. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi perubahan upah tenaga kerja... 67 5. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi perubahan jumlah produksi... 68 6. Tabel PAM Pengusahaan Ubi Jalar bila terjadi perubahan nilai tukar rupiah... 69 xv

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor pertanian sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi pada kenyataannya, sektor tersebut tidak dipersiapkan untuk dapat bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2010, pertumbuhannya hanya sekitar 3 persen, lebih rendah dari sektor pengangkutan dan komunikasi (12 persen), perdagangan (9 persen), dan jasa (4,9 persen), padahal sektor tersebut diperlukan untuk mendukung sektor lain sebagai bahan baku. Berdasarkan data dari global competitiveness report Tahun 2010-2011, daya saing global Indonesia berada pada urutan 44 yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 54. Walaupun ada peningkatan peringkat tetapi Indonesia masih berada pada tahap factor driven ke efficiency driven. Transisi tersebut menegidikasikan bahwa Indonesia, sudah memperbaiki sistem pemerintahan, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan, tetapi belum mengoptimalkan pilar pendidikan yang tinggi, efisiensi pasar barang, tenaga kerja, pembangunan pasar finansial, perluasan pasar dan teknologi 1. Pentingnya daya saing dalam perdagangan internasional, dikarenakan adanya peluang pasar dan globalisasi yang bisa mengakibatkan negara-negara baru bersaing satu sama lain. Apabila suatu negara tidak bisa meningkatkan daya saing, maka produk-produk impor menjadi semakin banyak dan akan mempengaruhi perekonomian nasional. Kondisi daya saing produk-produk pertanian di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Jepang, Singapura dan Cina. Indonesia masih mengekspor produk pertanian dalam bentuk segar sehingga harga jualnya rendah dan tidak bisa bersaing dengan produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi. 1 WEF_Global Competitiveness report 2010-2011. www3.weforum.org/docs/. 1

Ubi Jalar merupakan salah satu produk pertanian yang telah diekspor dalam bentuk segar maupun pasta. Indonesia memiliki lahan yang luas dan cocok untuk ditanami ubi jalar, tetapi permasalahan yang ada terkait dengan daya saing, jumlah produk bukan merupakan parameter tetapi kualitas produk yang lebih diutamakan. Peningkatan kualitas dapat dicapai melalui Standarisasi Produk Nasional dengan menggunakan logo SNI pada setiap produk yang dipasarkan di dalam dan di luar negeri (diekspor), logo SNI untuk ubi jalar adalah SNI 01-4493-1998 2. Salah satu kebijakan yang telah direalisaikan yaitu dengan melakukan akreditasi terhadap Laboratorium penguji Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian (Balitkabi) untuk mendapatkan jaminan tertulis tentang mutu suatu produk. Berdasarkan Nutrition Action Health letter, USA, ubi jalar menempati rangking satu dari 58 jenis sayuran sehingga disebut Sweet Potatoes is The King of Vegetables dan menurut WHO, ubi jalar mengandung vitamin A empat kali lebih tinggi dari wortel dan mengandung beta caroten serta antociamin 3. Indonesia berpotensi dalam pengembangan ubi jalar yang dapat dijadikan komoditi unggulan pada setiap wilayah yang mengindikasikan setiap propinsi bisa membudidayakan komoditi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan rata-rata konsumsi per kapita yaitu hanya 2,064 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan beras 84,24 kg/kapita/tahun sebagai makanan pokok. Menurut data BPS (2009), konsumsi pangan dari tahun 2008-2009 mengalami penurunan rata-rata sebesar 1 persen dapat dilihat pada Tabel 1. 2 SNI penguat Daya Saing Bangsa. http://docs.google.com/. 3 15 Februari 2009. Telo (Ubi jalar) Indonesia diminati Jepang dan Korea. Edisi 816. Agrobis : Hlm 29. http://onlinebuku.com/2009/03/12 2

Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita (Kg) Beberapa Bahan Pangan Tahun 2008 dan 2009 Jenis Bahan Makanan 2008 2009 Beras Lokal/Ketan Jagung basah dengan kulit Ketela pohon Ubi Jalar Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (diolah) 86,256 84,24 1,152 0,576 7,056 5,088 2,448 2,064 Pada tahun 2009, Jawa Barat merupakan propinsi sentra produksi ubi jalar di Indonesia yang memiliki produksi terbesar yaitu 469.646 ton dengan luas panen 33.387 ha dan produktivitas 140,67 ku/ha. Menurut data badan pusat statistik luas panen dan produksi ubi jalar di Jawa Barat berfluktuasi tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton) 2006 29.805 130,53 389.043 2007 28.096 133,73 375.714 2008 27.252 138,15 376.490 2009 33.387 140,67 469.646 2010 30.071 143,32 430.969 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Produktivitas total dari semua varietas yang ditanam menunjukkan adanya peningkatan, tetapi jika dilihat dari masing-masing varietas menunjukkan penurunan misalnya varietas ubi Cilembu yang disebabkan oleh teknologi budidaya yang masih tradisional, faktor cuaca dan hasil rata-rata produktivitas paling rendah diantara varietas unggulan yang telah di lepas tahun 1977-2003 (Tabel 3). 3

Tabel 3. Varietas Unggul Ubi Jalar yang telah di lepas oleh Pemerintah Tahun 1977-2003 No Varietas Tahun Pelepasan Rata-rata hasil (Ton/Ha) Umur (Bln) 1 Daya 1977 23 4 2 Borobudur 1981 25 3,5-4 3 Prambanan 1982 28-4 Muara Takus 1995 30-35 4-4,5 5 Mendut 1989 35 4 6 Kalasan 1991 40 2-3,5 7 Cangkuang 1998 30-31 4-4,5 8 Sewu 1998 28,5-30 4-4,5 9 Cilembu 2001 20 6-7 10 Sari 2001 30-35 3,5-4 11 Boko 2001 25-30 4-4,5 12 Sukuh 2001 25-30 4-4,5 13 Jago 2001 25-30 4-4,5 14 Kidal 2001 25-30 4-4,5 15 Shiroyutaka 2003 25-30 4-4,5 Sumber : Hilman, Yusdar, dkk dalam Jafar (2004) Jawa Barat memiliki dua Kabupaten sebagai sentra produksi ubi Jalar, yaitu Kuningan dan Sumedang. Di Kuningan para petani menanam varietas AC dan Bogor yang diekspor ke Jepang dan Korea dalam bentuk pasta, sedangkan di Sumedang memiliki komoditi unggulan yaitu Cilembu yang telah diekspor ke Jepang, Singapura, Hongkong, dan Malaysia. Sejak Tahun 2003, pengembangan ubi Cilembu dilakukan di Kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta dan Sukabumi. Walaupun pada Tabel 3, produktivitas ubi Cilembu dapat mencapai 20 ton/ha, tetapi pada kenyataannya hanya 11 ton/ha dikarenakan penggunaan bibit yang terus menerus dan tidak ada upaya pemuliaan tanaman (teknologi) untuk 4

mempertahankan kualitas ubi tersebut supaya bisa bersaing dengan varietas lain baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Potensi daya saing dapat ditingkatkan melalui program OVOP (one village one product) yang berarti satu daerah satu produk. Program tersebut merupakan kerjasama antara Kementrian Koperasi dengan berbagai Usaha Kecil Menengah (UKM) sejak tahun 2008 setelah ada kebijakan penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 tahun 2007 tentang penerapan pendekatan OVOP untuk pengembangan IKM. Program OVOP adalah program yang diarahkan untuk menghasilkan satu jenis komoditi unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu yang berarti suatu desa. Adapun unsur-unsur yang melatarbelakangi adanya program tersebut adalah adanya kesesuaian potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, permodalan yang memadai, pemanfaatan teknologi, dan dukungan pemerintah untuk menjadikan suatu daerah sebagai penghasil produk berbasis lokal namun berdaya saing global. Ubi Cilembu merupakan varietas yang paling rendah produktivitasnya dibandingkan dengan varietas lain, tetapi apabila dilihat dari segi ekonomi, ubi Cilembu memiliki harga jual yang tinggi. Di Jawa Barat, Ubi Cilembu mentah di tingkat pedagang besar seharga Rp 5.000,00-6.000,00 sedangkan untuk varietas AC dan Bogor hanya seharga Rp 2.400,00. Harga yang lebih tinggi, dikarenakan ubi Cilembu sudah terkenal di domestik dan luar negeri serta memiliki brand tersendiri yang menjadi nilai jual. Daerah pemasaran domestik meliputi Pulau Jawa, Bali dan Sumatera, biasanya ubi Cilembu digunakan sebagai bahan baku industri untuk diolah menjadi makanan seperti keripik, tape, dodol, keremes, selai, saus, tepung, aneka kue, mie, es krim dan sirup, sedangkan di luar negeri dipasarkan di Jepang dijadikan sebagai bahan pangan tradisional, diolah menjadi ethanol, bahan baku kosmetik dan minuman khas Jepang shake serta di Malaysia diolah dengan cara dioven. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Pasundan dan Fakultas Pertanian Universitas Widyatama, Bandung, ubi Cilembu mengandung karbohidrat 60,72 persen, protein 1,4 persen, 5

lemak 0,7 persen, gula total 14,16 persen, sukrose 8,47 persen, vitamin C 80 mg, riboflavin 0,4 mg, niacin 0,6 mg, dan tanin 0,1 mg/100 gram 4. Sebagai varietas unggul, ubi Cilembu sangat disukai oleh pelaku usahatani maupun konsumen dan menduduki peringkat teratas pesanan internasional seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Negara yang menjadi importir yaitu Jepang dengan mengimpor 15 ton per dua minggu, sedangkan untuk negara Singapura dan Vietnam masih dalam tahap penjajakan 5. Tetapi pada tahun 2010, ekspor ke Singapura sebanyak 10 ton dan Hongkong 4 ton per dua minggu telah direalisasikan. Dengan adanya pasar yang terbuka lebar bisa menjadi peluang untuk menjadikan ubi Cilembu sebagai komoditi daerah yang bisa bersaing di pasar internasional guna menambah pendapatan daerah setempat maupun sebagai devisa negara. 1.2 Perumusan Masalah Ubi Cilembu merupakan komoditi unggulan di Kabupaten Sumedang, dan terdapat dua Desa yang menjadi sentra produksi Ubi Cilembu yaitu Cilembu (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong). Dua desa tersebut mempunyai luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar pada Tahun 2010 yang paling besar diantara 10 kecamatan lainnya. Produktivitasnya bisa mencapai 14 ton/ha, dengan produksi 3 ton dan luas tanam rata-rata 2.300 Ha. Sehingga dua desa tersebut mengindikasikan bahwa keadaan tanah dan iklimnya lebih cocok dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Selain itu, menanam ubi jalar sudah menjadi aktivitas secara turun-temurun, sehingga lebih banyak pengalaman yang didapatkan oleh petani yang berpengaruh terhadap jumlah produksi. 4 Dwi Wiyana dan Rana Akbari. 24 Desember 2004. Ubi Cilembu Naik Pamor. Tempo.http://www.arsip.net/id/link.php?lh 5 TMA. 16 Desember 2004. Ubi Cilembu Sumedang Rambah Pasar Vietnam. Gatra. http://www.gatra.com/artikel.php?id=50639 6

Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Tahun 2010 Kecamatan Luas Panen (Ha) Produktivitas Sumedang Selatan (Ton/Ha) Produksi (Ton) 168 123,21 2.070 Sumedang Utara 85 13,68 1.163 Cimalaka 45 13,27 597 Tanjungsari 188 12,59 2.267 Sukasari 60 14,22 853 Rancakalong 222 13,69 3.079 Pamulihan 230 14,22 3.225 Situraja 87 13,29 1.156 Wado 43 12,33 530 Jatinunggal 64 12,19 780 Sumber : Dinas Pertanian Sumedang (2010) Ubi Cilembu bersifat spesifik lokasi sehingga mengindikasikan bahwa kedua desa tersebut memiliki keunggulan sumberdaya alam. Pola tanam yang dilakukan adalah padi-ubi jalar, karena jenis sawahnya adalah tadah hujan. Lahan yang baik ditanami ubi jalar adalah sawah. Ubi jalar biasanya ditanam pada musim kemarau, dikarenakan pada musim hujan, kadar air menjadi lebih banyak dan mengakibatkan rasa ubi cilembu menjadi pahit serta banyaknya hama dan cacing yang bisa mengakibatkan produksi menjadi turun. Produksi ubi Cilembu yang rendah bisa berimplikasi dengan keberlanjutan usaha budidaya tersebut dan dalam pemasarannya menjadi tidak terpenuhi baik untuk domestik maupun ekspor. Berkaitan dengan daya saing terutama keunggulan komparatif yang berasal dari keuntungan secara finansial, mengakibatkan penerimaan petani menjadi rendah dan tidak memiliki keunggulan kompetitif yang berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. 7

Daya saing berbasis potensi daerah memiliki indikator utama dan spesifik, indikator utama merupakan indikator makro yang melibatkan semua pihak baik pemerintah daerah, swasta dan lembaga sosial, serta pihak-pihak yang berperan dalam pertumbuhan perekonomian daerah. Menurut Sumihardjo (2008), setiap indikator dan sub indikator dalam implementasinya memerlukan pengelolaan yang terintegrasi, terencana, konsisten dan berkesinambungan. Terdapat sembilan indikator makro penentu daya saing daerah dapat dilihat pada Gambar 1. Perekonomian Daerah Keterbukaan Sistem Keuangan Infrastuktur dan sumber daya alam Ilmu pengetahuan dan teknologi Daya saing daerah Kelembagaan Sumberdaya manusia Governance dan kebijakan pemerintah Manajemen dan ekonomi mikro Gambar 1. Indikator Utama atau Makro Penentu Daya Saing Daerah Sumber : Pusdik dan Studi Kebank-sentralan BI 2002 : 16 diacu dalam Sumihardjo(2008) Indikator tersebut bisa tercapai jika ada suatu kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam memanfaatkan potensi yang ada misalnya dalam hal sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah yang lebih bisa mempromosikan produknya ke luar negeri (ekspor) yang akhirnya bisa meningkatkan perekonomian daerah. Terdapat lima kendala dan empat peluang dalam pengusahaan ubi Cilembu berdasarkan indikator utama tersebut diantaranya ilmu pengetahuan dan teknologi 8

sangat diperlukan untuk menjadikan ubi Cilembu sebagai komoditi unggulan Kabupaten Sumedang yaitu dengan menemukan alat untuk mengatasi hama lanas. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut telah dikaji oleh Institut Pertanian Bogor, tetapi petani tidak bisa mengaplikasikannya dikarenakan biaya untuk mengadopsi teknologi tersebut sangat mahal, sehingga diperlukan peran pemerintah untuk membantu dalam hal pendanaan yang bisa dilihat dari indikator sistem keuangan suatu daerah yang harus lebih memperhatikan pelayanan publik. Adanya bantuan pada saat pasca-panen pun harus diperhatikan karena belum adanya mesin pembersih dan pendingin. Mesin pembersih dibutuhkan untuk membersihkan kotoran ubi sebanyak 2 ton per hari hanya dua jam sedangkan dengan tenaga manusia memerlukan 10 tenaga kerja per hari. Mesin pendingin dengan suhu 12-13 0 C diperlukan untuk menyimpan ubi cilembu agar tahan 3 bulan untuk menghindari dari serangan hama dan ada kekhasan yang dimiliki ubi Cilembu yaitu rasa ubi akan lebih manis jika setelah panen disimpan dahulu 5-7 hari. Berdasarkan indikator perekonomian daerah, PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan lapangan usahanya Tahun 2010, didominasi oleh tiga lapangan usaha yaitu perdagangan, hotel, restoran (26,00 persen), industri pengolahan (24,07 persen) dan sektor pertanian (21,71 persen) diantaranya perkebunan (4,05 persen), tanaman bahan makanan (1,66 persen), peternakan (0,72 persen), perikanan (0,11) dan kehutanan (0,53). Tetapi pada kenyataannya, kebijakan terhadap bahan makanan (ubi Cilembu) tidak ada padahal sektor tersebut dapat menjadi keunggulan daerah Kabupaten Sumedang. Petani di Cilembu dan Nagarawangi bisa mengatur pola tanamnya dan menanam ubi jalar di kebun. Di Cilembu petani menanam ubi jalar setahun satu kali sedangkan di Desa Nagarawangi bisa menanam 2 kali, tetapi belum memenuhi permintaan domestik maupun ekspor yang terus meningkat. Daerah pemasaran domestik meliputi Jawa Timur yang membutuhkan pasokan 4-5 ton sedangkan Sumatera dan Bali 9 ton per bulan. Untuk ekspor ke Jepang 7 ton dan Malaysia 10 ton per minggu. Sedangkan produksi di Kabupaten Sumedang hanya bisa memenuhi 50 persen dari permintaan baik di domestik maupun ekspor 9

sehingga bisa menjadi peluang untuk menambah pendapatan daerah dan kesejahteraan petani menjadi meningkat. Berkaitan dengan sumeberdaya manusia, penduduk Cilembu dan Nagarawangi bermata pencaharian sebagai petani yaitu 744 orang (15 dan 20 persen) dari Pegawai Negeri Sipil serta pegawai lainnya yang kurang dari 5 persen. Kelembagaan yang dimiliki Desa Cilembu yaitu dua kelompok tani yaitu Kelompok Tani Sawah Lega dan Harapan Mulya. Lembaga pemasaran ubi Cilembu terdiri dari petani pedagang pengumpul pedagang besar atau eksportir. Dengan adanya semua lembaga pemasaran terdapat di desa Cilembu bisa menjadikan informasi tentang harga maupun kualitas produk bisa lebih transparan. Sedangkan untuk indikator sumberdaya alam sangat mendukung dan cocok untuk usahatani ubi Cilembu, sehingga bisa menghasilkan ubi dengan kualitas yang terbaik. Berdasarkan informasi, harga ubi Cilembu di tingkat petani adalah Rp 2.500,00 per kg, tengkulak Rp 5.000,00 per kg, dan di kios Rp 10.000,00 per kg. Sedangkan ubi yang sudah dioven berkisar antara Rp 13.000,00 per kg. Di supermarket Jepang, ubi Cilembu dijual dengan harga Rp 75.000,00 per kg, sedangkan di Singapura dijual dengan harga Rp 150.000,00/kg. Di tingkat pedagang pengumpul dilakukan grading menjadi 3 tingkatan berdasarkan berat diantaranya grade A yang memiliki berat 500 gr per buah dengan harga Rp 3.500,00 per kg, grade B 250 gr/buah dengan harga Rp 2.000,00 per kg dan grade C 125 gr per buah dengan harga Rp 1.000,00 per kg untuk pemasaran domestik, sedangkan untuk pemasaran ekspor ke Jepang memiliki berat antara grade A dan grade B, dengan kulit tanpa bercak, terhindar dari hama dan penyakit, berbentuk lurus, dan matang sedangkan untuk pemasaran ke Malaysia berbentuk umbi basah (segar), dilakukan grading berdasarkan ukuran S (170 gram) dengan harga Rp 5.000,00, L (300 gram), dan XL (500 gram) harganya Rp 7.500,00 (Lampiran 3). Perbedaan harga antara penjualan domestik dan ekspor, bisa menjadikan kesempatan kepada petani supaya lebih bisa mempertahankan kualitas produk sesuai dengan permintaan konsumen. Adanya peluang dan kendala berdasarkan indikator utama tersebut bisa menentukan daya saing berbasis potensi daerah komoditas unggulan ubi jalar 10

Cilembu. Daya saing bisa dilihat dari keunggulan yang dimiliki baik komparatif maupun kompetitif dan pengaruh kebijakan suatu negara terhadap keberlanjutan pengusahaan ubi Cilembu baik insentif maupun disinsentif yang akan menentukan efektivitas, efisiensi dan kelayakan suatu usaha. Adapun perumusan masalah yang bisa dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang? 2. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan ubi jalar? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis daya saing pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi Cilembu. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Petani lebih mengetahui keunggulan ubi Cilembu, bukan hanya dari produk tetapi pemasarannya. 2. Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam menyusun strategi pengembangan budidaya ubi Cilembu agar lebih meningkatkan daya saing. 11

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun 2000, sistem pertanian terus disempurnakan sehingga menjadi sebuah sistem agribisnis yang terintegrasi antara industri hulu, usahatani, industri hilir dan jasa pendukung. Hal ini berkaitan dengan Indonesia merupakan produsen terbesar untuk beberapa komoditas primer, tetapi belum memiliki kemampuan bersaing (Sudaryanto dan Adnyana, 2002) 6. Sistem agribisnis sangat berkaitan dengan kemampuan bersaing, Suryana (2002) berpendapat bahwa setiap subsistem harus berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi sehingga terwujud secara nyata dan konkrit pada skala ekonomi di lapangan 7. Berdayasaing memiliki ciri berorientasi pasar, sehingga memperluas pangsa pasar (internasional), mengandalkan produktivitas dan nilai tambah yang didukung dengan pemanfaatan modal, teknologi dan kreativitas sumberdaya manusia sehingga tidak mengandalkan sumberdaya yang melimpah dan tenaga kerja tidak terdidik. Berkerakyatan adalah mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki sehingga nilai tambah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh orang banyak dan menjadi pelaku utama dalam kegiatan agribisnis. Berkelanjutan dicirikan dengan kemampuan merespon perubahan pasar dengan cepat dan efisien, memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga berorientasi jangka panjang. Terdesentralisasi yaitu memiliki basis pendayagunaan keragaman sumberdaya lokal, sehingga kreativitas pelaku ekonomi daerah tersebut menjadi terpacu untuk meningkatkan kesejahteraan yang didukung oleh pemerintah daerah. 6 Bachrein, S. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Juni 2006. 7 Loc.cit 12

Pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang, sistem pertaniannya belum terintegrasi dengan baik. Pada industri hulu, hanya bisa memasok bahan baku berupa bibit, tetapi input lainnya seperti pupuk, masih dikendalikan oleh pemerintah dengan menggunakan pupuk bersubsidi dan insektisida yang tidak disubsidi. Alat-alat pertanian pun seperti sprayer masih menggunakan produk impor, sedangkan untuk cangkul, sabit dan parang sudah diproduksi di dalam negeri. Usahatani ubi Cilembu, pengelolaannya masih tradisional, dengan lahan yang sempit, dan teknologi yang masih terbatas. Lahan yang dimiliki berkisar antara 1400 m 2 7.000 m 2, sedangkan untuk lahan yang lebih dari satu hektar, para petani menyewa per musim. Sehingga bisa mengurangi keuntungan yang seharusnya diperoleh. Pada industri hilir, lembaga pemasaran untuk domestik yang ada pada usahatani Ubi Cilembu yaitu petani-pedagang pengumpul-pedagang besarpedagang eceran-konsumen, dan berdasarkan informasi dari pedagang besar, margin harga yang paling besar berada pada pedagang eceran atau kios. Harga di tingkat petani Rp 2.500,00 (7 persen), pedagang pengumpul Rp 3.500,00 dan pedagang besar Rp 5.000,00 (14 persen) serta pedagang eceran Rp 10.000,00 (50 persen) per kilogram. Margin yang terlalu besar di tingkat pengecer mengakibatkan keuntungan yang diperoleh tidak merata dan merugikan petani. Kios untuk pemasaran Cilembu sangat banyak di Cadas Pangeran dan lokasi tersebut dekat dengan tempat usahatani, sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar. Sedangkan untuk pemasaran tujuan ekspor, lembaga pemasaran yang terbentuk yaitu petani- pedagang besar atau eksportir-konsumen. Harga di tingkat petani yaitu Rp 2.000,00 dan di tingkat eksportir yaitu Rp 7.500,00 per kilogram. Perbedaan harga yang tinggi dikarenakan petani hanya berperan untuk menanam, sedangkan panen, transportasi, pencucian, sortasi, grading serta pengepakan oleh eksportir. Ekspor yang dilakukan adalah dengan melakukan ekspor langsung dan tidak langsung. Ekspor langsung melalui distributor yang berada di Malaysia, pedagang besar hanya melakukan pengiriman barang dan pengemasan sampai di 13

pelabuhan Tanjung Priuk, sedangkan untuk masalah transportasi (Kapal Laut) ke negara Malaysia menjadi tanggung jawab importir. Sedangkan untuk ekspor tidak langsung, melalui agen ekspor yaitu Perusahaan Bona Vista. Pedagang besar di Cilembu hanya melakukan pengemasan ke dalam keranjang bambu, dan perusahaan tersebut melakukan pengemasan sendiri dan diberi logo perusahaan pada kemasan serta mengekspor dengan produk-produk lain seperti sayuran maupun sabut kelapa. Jasa pendukung misalnya Bank, sebagai penyedia modal untuk petani, tidak dimanfaatkan oleh petani. Padahal dengan adanya Bank, maka petani bisa meningkatkan produksinya. Tetapi birokrasi yang terlalu rumit dan lama, menyebabkan petani tidak meminjam modal dari Bank. Koperasi yang terbentuk di Desa Cilembu, yaitu Koperasi Wanita Tani belum mampu mengolah ubi Cilembu menjadi makanan yang memiliki nilai jual tinggi hanya mengolah menjadi dodol atau keripik dan dipasarkan hanya sekitar Kabupaten Sumedang. Setiap subsistem dalam pengusahaan ubi Cilembu belum berdayasaing, masih menggunakan tenaga kerja tidak terdidik dan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang melimpah, walaupun sudah memperluas pemasarannya (ekspor). Informasi pasar tentang kualitas produk dan harga masih dikuasai oleh pedagang besar, sehingga petani hanya bersifat menerima harga (price taker). Kebijakan pemerintah belum mendukung sepenuhnya, terutama anggaran untuk pengembangan usahatani ubi Cilembu sehingga belum terdesentralisasi antara lembaga pemasaran yang terkait dengan pemerintah. 2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya Saing Penelitian tentang daya saing terus berkembang, awalnya hanya mengukur keunggulan komparatif yang dilakukan dengan berbagai metoda diantaranya Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Pada era globalisasi saat ini penuh dengan persaingan maka keunggulan kompetitif juga perlu dianalisis dan metoda Policy Analysis Matrix (PAM) adalah alat analisis yang bisa mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif. 14

Metoda PAM mengidentifikasi tiga analisis secara keseluruhan yaitu keuntungan privat, keuntungan sosial atau finansial, analisis daya saing dan dampak kebijakan. Analisis sensitivitas digunakan untuk mereduksi kelemahan karena PAM bersifat statis, sedangkan dalam kenyataan terdapat beberapa perubahan atau kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Penelitian dengan menggunakan metoda PAM dan analisis sensitivitas telah digunakan oleh beberapa peneliti dengan komoditi yang berbeda-beda dan menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada komoditi ubi jalar (Juarsa, 2008), pepaya di Desa Nagrak (Permana, 2007) dan manggis di Kecamatan Guguk (Irawadi, 2007) didapatkan bahwa analisis daya saing ketiga komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang menunjukkan bahwa pengusahaannya efisien secara finansial dan ekonomi. Terdapat perbedaan pada dampak kebijakan input dan output pada komoditi manggis yang menunjukkan bahwa transfer bersih bernilai positif mengindikasikan distorsi pasar terhadap input dan output bersifat melindungi petani seperti kemudahan dalam pemasaran hasil. Sedangkan pada komoditi ubi jalar dan pepaya bernilai negatif yang mengindikasikan kebijakan pemerintah tidak bersifat melindungi petani. Hal ini dikarenakan kebijakan belum efektif terhadap kedua komoditi sehingga tidak memberikan dampak positif untuk pengusahaannya. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah mengenai perubahan terhadap harga output, input, nilai tukar, serta analisis gabungan dan hasilnya tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. 2.3 Kebijakan Subsidi Pupuk Pada akhir tahun 1990-an, Pemerintah mengumumkan paket Kebijakan Desember 1998 diantaranya menghapus perbedaan harga pupuk, menghapus subsisi pupuk, menghilangkan monopoli distribusi pupuk, menghapus holding company sehingga mendorong kompetisi dan menghapus quota ekspor dan kontrol impor pupuk. 15

Pada tahun 2000, terjadi peningkatan harga gas, sehingga pada tahun 2001, pemerintah kembali memberikan subsidi dalam bentuk insentif gas domestik (IGD) sebagai bahan baku untuk produksi pupuk Urea walaupun jumlah nya tidak terlalu besar (PSEKP 2005). Tahun 2003 harga pupuk dunia menjadi meningkat, sehingga pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak hanya untuk pupuk Urea, tetapi untuk pupuk lainnya seperti SP-36, ZA dan NPK. Subsidi gas dinilai tidak efisien karena lebih tinggi harga pupuk eceran dibandingkan dengan HET, volume penyaluran tidak dapat dipastikan dan tidak tegasnya wilayah tanggung jawab distribusi. Dengan adanya ketidakefisienan tersebut, maka pada tahun 2006, mekanisme pupuk berubah menjadi subsidi harga (PSEKP 2006). Kebijakan ini berawal dari adanya peraturan Presiden RI Nomor 77 tahun 2005 tentang pengawasan yang meliputi pengadaan dan penyaluran (jenis, jumlah, mutu, wilayah dan waktu). Harga eceran tertinggi (Rp/kg) untuk pupuk Urea Rp 1.200,00, SP-36 Rp 1.550,00, ZA Rp 1.050,00, NPK Phonska Rp 1.750,00 dan pupuk organik Rp 500,00. Subsidi ditujukan untuk petani tanaman pangan, hortikultura, dan pekebun rakyat. Pada tahun 2008, Kebijakan baru Permentan Nomor 42 memberikan bantuan langsung, jumlah dan alokasi terdiri dari 41.796,5 ton pupuk NPK, 835.930,5 liter pupuk organik cair dan 125.389,5 ton pupuk organik padat. Walaupun ada kebijakan baru bantuan langsung, bantuan pemerintah terhadap petani Ubi Cilembu masih menggunakan kebijakan Tahun 2005 yaitu menggunakan harga eceran tertinggi (HET) dan penyaluran pupuk bersubsidi di untuk Kecamatan Rancakalong dan Pamulihan pada tahun 2010 masing-masing sebanyak 1.072 dan 616,50 ton Urea, 189 dan 91 ton SP-36, 206 dan 150 ton KCL, 524 dan 377 ton NPK Phonska. 2.4 Penelitian Tentang Ubi Jalar Cilembu Jawa Barat merupakan wilayah paling proritas bagi pengembangan ubi jalar, hal ini bisa dilihat dari perhitungan analytical hierarchy process (AHP) dengan vektor prioritas peringkat 1 dibanding dengan wilayah Jawa Tengah, Jawa 16

Timur, Yogyakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Menurut Surono (1999), tingginya vektor disebabkan faktor permintaan dan produktivitasnya tinggi serta indikator-indikator keunggulan komparatif relatif baik. Dengan adanya potensi tersebut, penelitian terhadap analisis daya saing ubi jalar Cilembu sebagai komoditi unggulan daerah Sumedang, Jawa Barat sangat penting dilakukan. Pada tahun 2007, Juarsa melakukan penelitian tentang daya saing ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan metoda PAM dan sensitivitas, sedangkan perbedaannya pada produk yang diekspor, tujuan ekspor dan lembaga pemasaran yang terkait dalam mendukung ekspor ubi jalar. Analisis daya saing terhadap ubi jalar di Kabupaten Kuningan menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif (daya saing). Dampak kebijakan pemerintah terhadap output masih bersifat menghambat dengan diberlakukannya pajak ekspor. Sedangkan untuk input tradable, petani membayar lebih murah dikarenakan adanya subsidi, sedangkan untuk non tradable, petani membayar lebih mahal. Untuk kebijakan secara keseluruhan, masih bersifat menghambat dan mengurangi penerimaan petani. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah terjadi perubahan harga ubi jalar, input pupuk, nilai tukar, dan jumlah produksi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan masih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Produk yang diekspor pada penelitian yang dilakukan Juarsa, adalah ubi jalar berbentuk pasta, tujuan ekspor Jepang dan Korea, dan melalui PT. Galih Estetika. Sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan, produk yang diekspor adalah ubi mentah, tujuan Malaysia, dan ekspor secara langsung oleh pedagang besar yang berada di Desa Cilembu. 17

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Ekonomi Internasional III KERANGKA PEMIKIRAN Keunggulan komparatif maupun kompetitif berawal dari adanya hubungan ekonomi antar satu negara dengan negara yang lain. Terdapat tiga bentuk hubungan ekonomi yaitu pertukaran hasil atau output (barang dan jasa), sarana produksi (modal, tenaga kerja, dan teknologi), dan segi kredit atau utang-piutang (Boediono, 1997). Permasalahan utama yang akan ada dalam ekonomi internasional adalah : a. Pola perdagangan yaitu faktor yang mempengaruhi suatu negara mengekspor atau mengimpor produk tertentu sehingga membentuk pola ekspor atau pola impor tertentu. b. Harga ekspor dan impor menunjukkan faktor yang menentukan harga. c. Manfaat perdagangan adalah pengaruhnya terhadap kesejahteraan nasional akibat adanya perdagangan. d. Pengaruh makro yaitu pengaruh hubungan perdagangan terhadap tingkat harga, GDP, jumlah uang beredar dan lainnya, e. Mekanisme Neraca Pembayaran yaitu proses penyesuaian neraca pembayaran bila terjadi perubahan situasi ekonomi seperti kenaikan harga ekspor dan kebijakan devaluasi. f. Politik Perdagangan Luar Negeri meliputi kebijakan tarif bea masuk, pelarangan impor, kuota, subsidi dan pajak ekspor. g. Persekutuan Perdagangan berkaitan dengan keuntungan maupun kerugian persekutuan perdagangan misalnya ASEAN. h. Modal Luar Negeri meliputi dampak dari adanya investasi luar negeri dan bantuan serta sikap pemerintah menghindari akibat negatif bantuan luar negeri. i. Pengalihan Teknologi yaitu bagaimana proses pengalihan teknologi menjadi efektif dan kebijakan pemerintah untuk memperlancar proses adopsi teknologi tersebut. 18

3.1.2 Keunggulan Komparatif Perdagangan akan terjadi karena suatu daerah bisa memproduksi barang tertentu secara lebih efisien dibandingkan dengan daerah lain. David Rivardo diacu dalam Ball et al menyatakan bahwa suatu negara akan mengimpor suatu komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif rendah dan akan mengekspor suatu komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif lebih tinggi sehingga akan terjadi spesialisasi produk. Pada kasus biaya tetap dalam menghasilkan setiap unit barang (constant cost), suatu negara akan berspesialisasi penuh yaitu negara tersebut akan mempergunakan seluruh sumber ekonominya untuk memproduksi barang tersebut dan mendapatkan barang lain dengan mengadakan perdagangan. Menurut Budiono (1997), terdapat tiga faktor utama yang menentukan keunggulan komparatif suatu negara yaitu : a. Tersedianya sarana produksi atau faktor produksi dengan jumlah dan macam yang berbeda antar negara satu dengan yang lain. Faktor produksi bisa berupa tenaga kerja, tanah (keadaan tanah dan kekayaan alam), barang modal dan kewirausahaan. Keunggulan komparatif akan lebih besar, jika suatu negara memiliki ketersediaan sarana produksi dalam jumlah yang relatif banyak. b. Adanya kenyataan bahwa dalam cabang-cabang produksi tertentu bisa memproduksi secara lebih efisien apabila skala produksi makin besar (economic of scale). Kurva biaya per unit yang menurun dalam jangka panjang bisa menentukan keunggulan komparatif dan suatu negara bisa mencapai economic of scale jika berproduksi lebih dahulu daripada negara lain dan memiliki pasar domestik yang luas. Dari sisi pengekspor, pengusaha sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka untuk meningkatkan keuntungan membuka pasar baru, sedangkan dari segi pengimpor, akan membeli barang tersebut dengan harga yang murah, daripada memproduksi dengan skala kecil. c. Adanya perbedaan dalam laju kemajuan teknologi. Teknologi adalah faktor produksi yang bisa mempengaruhi faktor produksi lain baik terhadap kualitas maupun kuantitas. Kemajuan teknologi dapat dibedakan menjadi 19

penghematan kapital, tenaga kerja dan bahan mentah setiap menghasilkan satu unit output. 3.1.3 Keunggulan Kompetitif Suatu perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif adalah memiliki sesuatu yang berbeda, melakukan hal yang lebih baik daripada pesaing dan melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pesaing. Menurut Kuncoro, M terdapat tiga model dalam keunggulan kompetitif yaitu model organisasi industri, berbasis sumberdaya dan gerilya, dan setiap model memiliki perbedaan dapat dilihat pada Tabel 5 8. Tabel 5. Pendekatan Model Organisasi Industri, Berbasis Sumberdaya dan Gerilya Keterangan Keunggulan kompetitif Penentu profitabilitas Organisasi Industri Posisi industri Karakteristik dalam industri, posisi perusahaan dalam industri Berbasis sumberdaya Memiliki aset dan kapabilitas yang khas Jenis, jumlah dan sumberdaya alam yang dimiliki perusahaan Gerilya Sementara Kemampuan untuk berubah dengan tindakan strategik Fokus Eksternal Internal Eksternal dan Perhatian utama Persaingan Sumberdaya kompetensi internal Situasi yang terus berubah radikal secara Sumber : Coulter (2002) dalam Kuncoro, M. 6 Kuncoro, M. Strategi bagaimana meraih keunggulan kompetitif. Erlangga. http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:rwbkrvrpnayj:fe manajemen.unila.ac.id/ 20

Model berbasis sumberdaya dapat diimplementasikan apabila suatu perusahaan memiliki sesuatu yang khas sehingga berbeda dari perusahaan lain dan bisa dijadikan suatu keunggulan dibandingkan dengan pesaing. Dengan adanya sumberdaya yang khas, maka perusahaan dapat meminimalisasi biaya sehingga menciptakan harga yang bersaing. Harga yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif adalah harga yang aktual diterima oleh konsumen maupun produsen. Dikarenakan asumsi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sulit ditemukan, maka keunggulan komparatif tidak bisa dijadikan sebagai indikator daya saing, tetapi harus diimbangi dengan kelayakan finansial untuk mengukur keunggulan kompetitif. Gittinger (1986), perhitungan dalam analisis finansial berbeda dengan analisis ekonomi berdasarkan lima hal yaitu : a.dalam analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga pasar baik untuk sumber-sumber yang digunakan dalam proses produksi maupun untuk hasil-hasil produksi. Sedangkan dalam analisis ekonomi digunakan harga bayangan yaitu harga yang telah disesuaikan untuk menggambarkan nilai ekonomi yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut. b.dalam analisis finansial pajak dihitung sebagai biaya yang dikeluarkan kepada instansi pemerintah sehingga harus dikurangkan dari benefit. Sebaliknya dalam analisis ekonomi pajak merupakan pembayaran transfer karena merupakan bagian dari benefit produsen yang diserahkan kepada pemerintah. c.dalam analisis finansial, subsidi yaitu pengurangan biaya produksi yang diterima produsen, sedangkan dalam analisis ekonomi dianggap sebagai beban masyarakat sehingga tidak mengurangi biaya produksi. d.dalam analisis finansial, biaya investasi meliputi biaya pada tahap permulaan yang dibiayai dengan modal sendiri. Di lain pihak, yang menjadi beban produsen adalah arus pelunasan pinjaman beserta bunganya pada tahap produksi. Sedangkan dalam analisis ekonomi, seluruh biaya investasi baik berasal dari dalam maupun pinjaman. Pelunasan pinjaman diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi. e.dalam analisis finansial, bunga atas pinjaman dianggap sebagai biaya. Bunga atas modal sendiri bukan merupakan biaya. Sedangkan dalam analisis ekonomi, 21

bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan sebagai biaya dan untuk pinjaman luar negeri diperhitungkan sebagai biaya. 3.1.4 Kebijakan Pemerintah Kebijakan adalah suatu instumen yang bisa mengubah outcome perekonomian, dalam pelaksanaannya ada kendala dan bisa menjadi penghambat atau pendukung tujuan yang akan dicapai serta akhirnya dievaluasi menjadi strategi. Kebijakan barang ekspor bertujuan untuk menstabilkan harga dengan mengatur barang agar barang tersebut ada di dalam negeri, sedangkan kebijakan barang impor yaitu melindungi produsen dari persaingan harga dengan barang luar yang lebih murah. a. Kebijakan Output Subsidi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap produsen dalam negeri dengan memberikan sumbangan keuangan yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk mendorong ekspor, bisa berupa pembayaran tunai dan pajak. Subsidi positif yaitu subsidi yang menyebabkan anggaran pemerintah berkurang, sedangkan subsidi negatif, pajak dan kuota menambah anggaran pemerintah, Hambatan-hambatan impor bisa berupa tarif yaitu pajak atau bea impor dan non-tarif kuantitatif berupa kuota. Bea Impor terbagi menjadi tiga yaitu bea ad valoreum yaitu pajak impor berupa persentase dari nilai faktur barang yang diimpor, bea spesifik yaitu jumlah tetap yang dikenakan atas unit fisik yang diimpor dan bea kombinasi. Kuota merupakan batasan jumlah barang yang diimpor bisa berupa hambatan ekspor sukarela yang ditentukan oleh negara pengekspor dan persetujuan tertib pemasaran yang merupakan persetujuan resmi antara negara pengekspor dan pengimpor untuk melindungi produsen lokal. b. Kebijakan Input Pupuk merupakan input yang sangat penting dalam suatu proses produksi dan kebijakan pemerintah terhadap pupuk yaitu berupa subsidi positif yang dikeluarkan pemerintah dan negatif yang dibayarkan kepada pemerintah. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi 22

dari pemerintah untuk kebutuhan petani. Kebijakan yang dijalankan pemerintah bisa terhadap input tradable dan non tradable berupa intervensi pemerintah berupa subsidi dan pajak. 3.1.5 Metoda Policy Analysis Matrix (PAM) Metoda PAM digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat analisis (Monke and Pearson diacu dalam Nurmalina et al) yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan dan pemasaran. Kelebihan dari metode PAM yaitu perhitungan dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam, dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe usahatani dan teknologi. Sedangkan kelemahannya tidak membahas masing-masing analisa secara mendalam dan hanya berlaku pada suatu saat saja (on the spot). Metoda PAM (Pearson.S, Gotsch.C, dan Bahri.S, 2005) merupakan suatu analisis yang mengidentifikasi tiga isu sentral kebijakan yaitu sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, apakah petani, pedagang, pengolah dan pemasar memiliki keuntungan pada harga aktual atau keuntungan privat. Isu kedua adalah dampak investasi publik dalam pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan tingkat efisiensi usahatani yang diukur pada tingkat keuntungan sosial dengan harga bayangan. Isu yang terakhir adalah dampak investasi baru baik dalam bentuk riset dan teknologi sehingga dengan adanya perbedaan sebelum dan sesudah investasi dapat menunjukkan ada tidaknya manfaat yang dapat diperoleh. 3.1.6 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan suatu alat yang langsung menganalisa pengaruh-pengaruh risiko dan ketidakpastian dalam analisa proyek. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan yaitu terdapatnya cost overrun, perubahan 23

dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, mundurnya waktu implementasi dan kesalahan dalam perkiraan hasil per hektar (Kadariah et al, 1999). Adapun kelemahan dari analisis sensitivitas yaitu tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisa parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu dan hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. 3.2 Kerangka Operasional Adanya program OVOP (one village one product) merupakan suatu peluang dalam pengembangan komoditi ubi jalar yang menjadi komoditi unggulan di Kabupaten Sumedang. Di Kabupaten Sumedang terdapat beberapa varietas ubi jalar diantaranya Cilembu. Permintaan ubi jalar semakin meningkat baik di kawasan domestik atau untuk ekspor dikarenakan adanya keunikan produk yang memberikan nilai tambah terhadap komoditi ubi jalar. Produksi di Kabipaten Sumedang hanya dapat memenuhi 50 persen permintaan di domestik maupun ekspor. Berdasarkan indikator utama daya saing, Ubi jalar Cilembu memiliki peluang dan kendala yang bisa menentukan apakah usahatani tersebut bisa memiliki potensi daya saing daerah yang bisa meningkatkan perekonomian daerah dan bisa mensejahterakan para petani. Kebijakan pemerintah daerah Sumedang terhadap output belum ada dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap komoditas tersebut dan tidak adanya alokasi anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan input misalnya pupuk, mendapatkan subsidi, sehingga petani membayar lebih murah. Adanya keunikan unsur hara yang dimiliki Desa Cilembu dan Nagarawangi bisa mempertahankan kualitas tetapi belum tentu menentukan keberlanjutan keberadaan produk dikarenakan produktivitas masih rendah sehingga tidak bisa memenuhi permintaan domestik maupun ekspor. Analisis PAM digunakan untuk mengukur keuntungan baik secara finansial (privat) yang menjadi indikasi keunggulan kompetitif dan keuntungan 24

sosial yang menunjukkan keunggulan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah dalam mendukung atau menciptakan hambatan-hambatan bagi keberlangsungan suatu usaha produksi. Sedangkan analisis sensitivitas digunakan untuk mereduksi kelemahan analisis PAM, dikarenakan pada kenyataannya pasti terdapat perubahan-perubahan biaya maupun manfaat seperti kenaikan upah tenaga kerja, penurunan produktivitas dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika. PELUANG 1.Program OVOP 2.Permintaan ubi jalar Cilembu belum terpenuhi KENDALA 1.Kebijakan Pemerintah 2.Keberlanjutan ekspor tergantung kualitas dan kemampuan daya saing Usahatani Ubi Jalar Cilembu Analisis Sensitivitas Analisis Daya Saing Metoda Policy Analysis Matrix (PAM) 1. Analisis Keuntungan : a. Privat Keunggulan Kompetitif b. Sosial Keunggulan Komparatif 2. Kebijakan Pemerintah : Output, Input, Input-Output Kesimpulan dan Saran Gambar 2. Kerangka Operasional Analisis Daya Saing Ubi Jalar 25

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa Desa tersebut merupakan sentra produksi ubi jalar Cilembu dengan memiliki karakteristik tanah dengan berbagai kandungan mineral dan hara unik yang membuat ubi dapat tumbuh sempurna dengan kualitas terbaik. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2011. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan petani dan pedagang pengumpul dengan bantuan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan literatur dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan LSI, Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumedang, dan lembaga terkait lainnya. Tabel 6. Jenis Data dan Sumber yang digunakan dalam Penelitian Jenis Data Sumber Data untuk perhitungan usahatani (Primer) Kuesioner (wawancara) Biaya Free on Board (FOB) Ubi Cilembu Eksportir di Cilembu Biaya FOB untuk Urea Internet Biaya CIF SP-36 dan KCL Internet (World Bank) Gambaran Umum lokasi penelitian Dinas Pertanian Sumedang Data ekspor dan impor, pajak, dan nilai tukar Badan Pusat Statistik Jakarta Penelitian terdahulu (Skripsi) Perpustakaan LSI 26

4.3 Metoda Pengambilan Sampel Jumlah responden yang dijadikan sampel sebanyak 50 petani di Desa Cilembu dan Nagarawangi dengan cara judgement sampling. Karakterisitik yang menjadi responden yaitu petani yang memiliki lahan sendiri (pemilik penggarap) dengan luasan lahan 1400 m 2 sampai 7.000 m 2, telah melakukan usahatani ubi Cilembu minimal 5 tahun dan menjadi anggota kelompok tani, sedangkan untuk pedagang pengumpul dan eksportir dilakukan dengan cara snowball sampling. Di Desa Cilembu terdapat 5 pedagang pengumpul, sedangkan eksportir hanya 1 orang. 4.4 Metode dan Prosedur Analisis 4.4.1 Membuat Tabel Privat Bujet Langkah pertama yang dilakukan untuk mengisi baris pertama yaitu membuat tabel hubungan input dan output fisik yang dihasilkan dari wawancara petani dengan bantuan kuesioner serta informasi dari aparatur desa. Langkah kedua yaitu membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk setiap input yang digunakan dan output yang dihasilkan, harga yang digunakan adalah harga pada saat penelitian dilakukan. Dan langkah yang ketiga adalah mengalikan jumlah fisik dengan harga privat sehingga didapat tabel privat bujet. Dari tabel yang dibuat didapatkan pendapatan, biaya dan keuntungan yang dihitung pada harga privat (harga aktual atau harga pasar). Pendapatan merupakan hasil perkalian antara harga dan jumlah yang diproduksi, biaya merupakan seluruh harga yang harus dibayarkan petani pada saat produksi baik untuk input tradable dan non tradable sedangkan keuntungan adalah pengurangan dari pendapatan dan biaya. Input yang digunakan adalah input tradable yaitu input yang diperdagangkan di dalam negeri dan luar negeri serta selalu mengacu pada harga dunia misalnya pupuk Urea, TSP, KCL, Phoska, Furadan, Curacron. Sedangkan input non-tradable yaitu hanya diperdagangkan secara domestik seperti pupuk kandang, bibit, tenaga kerja pada saat persiapan lahan, penanaman, pemupukan, 27

penyiangan dan pemanenan, modal yang digunakan berasal dari petani sendiri terbagi menjadi modal kerja dan membeli peralatan seperti cangkul, sabit, sprayer, parang dan lahan yang digunakan umumnya milik sendiri sedangkan outputnya yaitu ubi jalar Cilembu. 4.4.2 Penentuan Harga Bayangan Output Harga bayangan yang digunakan adalah harga jual pasar di perbatasan, yaitu free on board (f.o.b) di pelabuhan ekspor. Harga F.o.b adalah semua biaya untuk mendapatkan barang yang akan diekspor tetapi masih di pelabuhan ekspor seperti biaya pemasaran dan pengangkutan lokal, pajak, biaya penyimpanan, fumigasi, bongkar muat, harga di tempat usaha. 4.4.3 Penentuan Harga Bayangan Input a. Harga Bayangan Bibit Ubi jalar diperbanyak secara vegetatif (stek pucuk) dan bibitnya merupakan input yang non tradable sehingga harga bayangannya sama dengan harga finansialnya. Bibit ubi Cilembu dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Stek Pucuk (Bibit) Ubi Cilembu b. Harga Bayangan Pupuk dan Pestisida Untuk perhitungan harga bayangan pupuk Urea menggunakan f.o.b dikarenakan Indonesia memiliki pabrik yang berkapasitas 8,6 juta ton dan bisa memenuhi permintaan domestik, sehingga bisa mengekspor. Sedangkan untuk 28

pupuk SP-36 dan KCL, belum bisa memenuhi permintaan domestik, sehingga masih mengimpor dari negara lain. Untuk harga bayangan pupuk Sp-36 dan KCl menggunakan harga c.i.f yaitu biaya f.o.b pada saat ekspor, biaya pengangkutan, asuransi dan biaya bongkar barang. Peraturan kebijakan harga yang mengatur insektisida secara khusus belum ada dan masih dipenuhi oleh impor sehingga dengan menggunakan asumsi pasar persaingan sempurna harga bayangan sama dengan harga privat. Untuk Pupuk NPK Phonska masih dominan diproduksi untuk memenuhi permintaan dalam negeri sehingga harga bayangan adalah harga tanpa subsidi. Input-input tradable yang digunakan dalam usahatani ubi Cilembu dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Gambar 4. Pupuk yang Digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu Gambar 5. Insektisida yang Digunakan dalam Usahatani Ubi Cilembu 29

c. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga bayangan tenaga kerja tidak terdidik disesuaikan dengan tingkat pengangguran di lokasi penelitian. Tingkat pengangguran di Kabupaten Sumedang yaitu 9 persen, sehingga harga bayangan upah tenaga kerja tidak terdidik yaitu 91 persen dari upah harga finansialnya. d. Harga Bayangan Lahan Tanah atau lahan merupakan input non tradable dalam usahatani sehingga didasarkan dengan nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat dikurangi pajak. e. Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar Dollar menggunakan rumus yang telah diformulasikan oleh Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger (1986) yaitu : SER 2010 = OER 2010 SCF 2010 SER 2010 = Shadow exchange rate (nilai tukar bayangan) tahun 2010 OER 2010 = Official exchange rate (nilai tukar resmi) tahun 2010 SCF 2010 = Standart conversion factor (faktor konversi standar) tahun 2010 Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio nilai impor dan ekspor ditambah pajak dapat ditentukan sebagai berikut : SCF= M + X (M+Tm) + (X-Tx) Tabel 7. Perhitungan Standard Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate Tahun 2006-2010 (milyar rupiah) Tahun Xt Mt TXt TMt OERt SCFt SER 2006 909.204 550.810 636 56.938 9.020 0,963 9.367 2007 1.074.716 710.465 752 72.831 9.419 0,961 9.801 2008 1.500.374 1.414.711 1.050 107.838 10.950 0,965 11.347 2009 1.095.194 910.195 767 84.361 9.400 0,960 9.792 2010 1.416.856 1.218.256 992 110.876 8.980 0,960 9.354 Sumber : Statistik Indonesia (BPS, 2010) 30

f. Harga bayangan Peralatan Peralatan yang digunakan adalah cangkul, sabit, sprayer dan parang, pendekatan yang digunakan adalah penyusutan per musim menggunakan metode garis lurus (Fariyanti, 2008). Dp = C- S N Dp = depresiasi (penyusutan) C = harga beli (Rupiah) S = nilai sisa (5 % dan 10%) N = umur alat (tahun) 4.4.4 Metoda (Policy Analysis matrix / PAM) Alat yang digunakan untuk melihat daya saing ubi jalar adalah Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis matrix / PAM). PAM merupakan matrik yang terdiri dari komponen penerimaan, biaya dan keuntungan. Metoda PAM terdiri dari tiga baris dan 4 kolom. Baris 1 mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut ataupun rasio merupakan indikator keuntungan daya saing secara kompetitif. Baris 2 mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing komparatif yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial dimana efek kebijakan atau distorsi tidak ada. Baris 3 merupakan selisih anatara baris 1 dan 2 yang menggambarkan devergensi atau penyimpangan. Kolom pertama merupakan penerimaan, kolom kedua merupakan biaya input tradable, kolom ketiga biaya input non tradable dan kolom keempat merupakan keuntungan yaitu selisih antara penerimaan dan biaya. Terdapat asumsi yang digunakan dalam PAM yaitu perhitungan berdasarkan harga privat yaitu harga yang benar-benar terjadi atau harga setelah kebijakan, harga sosial yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna, 31

output bersifat tradable dan input yang dipisahkan ke dalam komponen asing dan domestik, serta eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. Tabel 8.Teori Matrik Analisis Kebijakan (Policy Anaysis Matrix) Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Tradable Non Tradable Nilai finansial (privat) A B C D Nilai Ekonomi (sosial) E F G H Dampak kebijakan distorsi pasar I J K L Sumber : Nurmalina, et al (2009) 4.4.4 Implikasi Indikator Matrik Kebijakan Keunggulan Kompetitif 1. D = A-B-C (keuntungan privat), jika D > 0, maka sistem komoditas memperoleh keuntungan privat sehingga mampu berekspansi kecuali apabila sumberdaya terbatas atau ada alternatif komoditas lain yang menguntungkan. 2. PCR = C/A-B (rasio biaya privat), jika PCR <1 maka sistem komoditas mampu membiayai faktor dimasukkannya pada harga privat, dengan kata lain komoditas tersebut memiliki daya saing secara kompetitif. Keunggulan Komparatif 1. H = E-F-G (keuntungan sosial), jika H > 0, maka usahatani telah berjalan efisien sehingga bisa berekspansi. 2. DRC = G/E-F (rasio biaya sumberdaya domestik), jika DRC < 1, maka sistem komoditi efisien dan memiliki keunggulan komparatif sehingga tanpa ada bantuan pemerintah masih tetap bisa berproduksi. Kebijakan Output 1. OT = I = A-E (Transfer output), menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan terhadap output yang mengakibatkan harga output berbeda dengan 32

harga input. Jika I > 0 menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen, artinya masyarakat membeli output dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya atau petani menerima harga output yang lebih tinggi daripada yang seharusnya. 2. NPCO = A/E (koefisien proteksi output nominal), digunakan untuk mengukur dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output. Jika NPCO < 1 terjadi pengurangan penerimaan petani akibat adanya kebijakan. Kebijakan Input 1. J = B-F (Transfer input domestik), menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradable, jika J < 0 adanya subsidi pemerintah terhadap input asing sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya. Subsidi yang dibebankan kepada pemerintah menyebabkan keuntungan produsen secara privat. 2. NPCI = B/F (Koefisien proteksi input nominal), jika NPCI < 1 petani menerima subsidi atas input asing sehingga petani dapat membeli input asing dengan harga lebih rendah. 3. K = C-G (Transfer Faktor), K > 0 adanya kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik dengan pemberian subsidi. Kebijakan Input-Output 1. EPC = (A-B)/(E-F) (Koefisien proteksi efektif) merupakan indikator dampak keseluruhan kebijakan input dan output. Sejauhmana kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi. EPC > 0 bahwa kebijkan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri. 2. TB = I (K-J) (Transfer bersih) merupakan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani apakah merugikan atau sebaliknya. L > 0 menunjukkan adanya tambahan surplus produsen yang disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan kepada input dan output. 3. PC = D/H (koefisien keuntungan) dampak insentif dari semua kebijakan output, input tradable dan domestik. PC > 1 secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. PC < 1 kebijakan 33

pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa kebijakan. 4. SRP = L/E (Nilai rasio Subsidi bagi Produsen) mengidentifikasi akibat kebijakan pemerintah yang menunjukkan penambahan atau pengurangan penerimaan. SRP < 0, produsen mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi. 4.4.5 Analisis Sensitivitas Analisis ini dilakukan untuk melihat kelayakan suatu usaha apabila terdapat perubahan-perubahan dan berdasarkan keadaan di lokasi penelitian terjadi perubahan upah tenaga kerja, jumlah produksi menjadi turun akibat faktor cuaca menjadi 50 persen dan nilai tukar mengalami apresiasi. Selain itu, dilakukan untuk mereduksi kelemahan analisis PAM yang bersifat statis yang tidak memungkinkan terdapat perubahan-perubahan faktor-faktor penting dalam usahatani ubi jalar. 34

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah 152.220 Ha yang terbagi kedalam luasan darat seluas 118.944 Ha (78,14%) dan pesawahan seluas 33.276 Ha (21,86%). Daerahnya berbukit-bukit dengan ketinggian tempat antara 25-1500 meter di atas permukaan laut, beriklim tropis terletak diantara garis Meridian 7 0 50 Bujur Barat, 68 0 45 Bujur Timur, 1 0 23 Lintang Selatan dan 1 0 43 Lintang Utara. Batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Indramayu dan Subang, sebelah Barat dengan Kabupaten Bandung, sebelah Selatan dengan Kabupaten Garut dan sebelah Timur dengan Kabupaten Majalengka. 5.2 Jenis Tanah Terdapat tiga jenis tanah di Kabupaten Sumedang yaitu Aluvial, Tektonik dan Vulkanik. Deskripsi, luasan dan lokasi mengenai jenis-jenis tanah antara lain : a. Tanah Aluvial yang terbentuk dari hasil sedimentasi tanah dengan bahan induk andesit, alluvium, dan koluvium dari aneka macam topografi datar, agak datar sampai sedikit bergelombang di daerah daratan, cekungan dan daerah aliran sungai luasnya 19.762 Ha. Terdapat di Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Ganeas, Cimalaka, Conggeang, Paseh, Buahdua, Surian, Tomo, dan Ujungjaya. b. Tanah Tektonik terbentuk dari bahan induk batu lempung, dengan topografi berombak, bergelombang dan berbukit kecil. Terdapat di Kecamatan Darmaraja, Cisitu, Jatinunggal, Jatigede, Tomo, Ujungjaya, dan Cibugel. c. Tanah Vulkanik terbentuk dari bahan induk andesit, topografi bergunung, berbukit kecil, berombak, bergelombang dan agak datar. Terdapat di seluruh kecamatan. 35

5.3 Iklim Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, keadaan curah hujan termasuk pada iklim agak basah yaitu tipe C. Selama tahun 2010, curah hujan berkisar dari 3.229 s.d 4.805 mm, dengan hari hujan berkisar dari 151 s.d 332 HH. 5.4 Penduduk Jumlah penduduk di kabupaten Sumedang pada tahun 2010 yaitu 1.091.323 orang (Sumber BPS kabupaten Sumedang). Jumlah penduduk berdasarkan lapangan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Jumlah Petani dan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Sumedang No Status Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase 1 Petani Penggarap 42.471 15 2 Pemilik Penggarap 177.270 64 3 Buruh tani 56.191 20 Berdasarkan tabel tersebut, petani yang memiliki lahan sendiri sebesar 64 persen dibandingkan jenis petani lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menanam komoditi sesuai dengan yang diinginkannya. 5.5 Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang Penggunaan lahan pada tahun 2010 dibandingkan dari tahun 2009 menunjukkan adanya perubahan alih fungsi lahan dari areal pertanian menjadi non pertanian seperti perumahan, jalan dan industri. Adanya pengurangan areal sawah bisa menyebabkan produksi ubi maupun padi menjadi berkurang. Perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 10. 36

Tabel 10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Sumedang Tahun 2010 Jenis Lahan Luas (Ha) Perkembangan 2009 2010 Sawah Irigasi Teknis 3.485 3.446-1,1317 Irigasi Setengah Teknis 5.742 5.494-4,5140 Irigasi Sederhana 14.741 15.479 4,7677 Tadah Hujan 6.437 5.754-11,8700 Bukan lahan Sawah 118.943 118.944 0,99 5.6 Komoditas Unggulan dalam Skala Optimistik Agribisnis Pada tahun 2004-2008, Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang telah menentukan komoditas unggulan yaitu Padi, Jagung, Ubi Jalar, Kedelai, Kacang Tanah, Jeruk Cikoneng, Sawo Sukatali, Salak, Pisang dan Mangga. Realisasi atau kondisi skala optimistik agribisnis komoditas unggulan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kondisi Kawasan Agribisnis Padi dan Palawija kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013 Komoditas Lokasi Target 2009-2013 Padi Tanjungkerta, 3.500 Ha Darmaraja, (7 unit) Sumedang Selatan, Conggeang, Ganeas Ubi Jalar Pamulihan, 1000 Ha Rancakalong (2 unit) Kedelai Ujungjaya, 1.500 Ha Jatinunggal (3 unit) Realisasi s/d 2008 Realisasi s/d 2009 Realisasi s/d 2010 1.500 Ha 2.000 Ha 2.500 Ha (3 unit) (4 unit) (5 unit) 100 Ha 150 Ha 200 Ha 150 Ha 200 Ha 250 Ha 37

Dengan adanya program yang didukung oleh pemerintah yaitu target penanaman ubi jalar Cilembu 1.000 Ha bisa menjadi peluang untuk pengusahaannya agar dapat meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan domestik maupun luar negeri. 5.7 Desa Penghasil Ubi Jalar Berdasarkan kondisi kawasan Agribisnis, Kecamatan Pamulihan dan Rancakalong adalah daerah yang ditentukan untuk pengembangan ubi jalar karena memiliki ekotype tanah yang hampir sama. Di Kecamatan Pamulihan memiliki luas wilayah 5.785 Ha yang terdiri dari 11 Desa sedangkan Kecamatan Rancakalong memiliki luas wilayah 5.228 Ha dan terdiri dari 10 Desa. Adapun perbandingan antara kedua desa dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Perbandingan Potensi Desa Cilembu Tahun 2010 (Kecamatan Pamulihan) dan Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Keterangan Desa Cilembu Desa Nagarawangi Luas Pesawahan 137,9 Ha/m 2 110,01 Ha/m 2 Sawah tadah hujan 40 Ha/m 2 10 Ha/m 2 Curah hujan 3528 mm 4000 mm Jumlah bulan hujan 5 bulan 5 bulan Suhu rata-rata harian 32 0 C 32 0 C Tinggi Tempat (dpl) 986 m dpl 700 m dpl Warna tanah Hitam Hitam Tekstur tanah Lampungan Lampungan Luas Lahan Ubi Jalar 45 Ha 30 Ha Potensi Ubi jalar 7 ton/ha 10 ton/ha Luas Lahan Padi sawah 137 Ha 110,01 Ha Potensi Padi sawah 4 ton/ha 9 ton/ha Jumlah petani 547 orang 972 orang Buruh Tani 203 orang 457 orang 38

Berdasarkan tabel tersebut, usahatani ubi Cilembu sangat cocok untuk ditanam di kedua desa tersebut, sehingga bdapat mengahsilkan ubi Cilembu yang berkualitas baik. Dari hasil menegristek di bidang pendayagunaan dan pemasyarakatan IPTEK bahwa, kedua desa memiliki karakteristik yang disyaratkan yaitu suhu rata-rata harian 27-32 0 C dan di bawah ketinggian 1.000 mdpl dengan tekstur tanah lempung. 39

VI HASIL DAN PEMBAHASAN Pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang dipusatkan di daerah pengembangan yaitu di Desa Cilembu (Pamulihan) sebagai penghasil ubi Cilembu dan Desa Nagarawangi (Rancakalong) yang memiliki ekotype tanah yang sama. Pada umumnya petani di kedua desa menanam beberapa jenis ubi yang ditanam, ubi ungu, merah dan kuning, tetapi mayoritas menanam ubi kuning yaitu ubi Cilembu. 6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan dalam Pengusahaan Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Pada pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang, komponen input yang digunakan adalah pupuk kandang dan bibit (non tradable) dan input tradable seperti Furadan, Urea, SP-36, KCL, Phoska, satuannya adalah Kg, dan Curacron adalah per botol. Terdapat perbedaan komponen penggunaan input pada kedua desa tersebut, petani di Desa Nagarawangi tidak menggunakan pupuk SP- 36 dan KCL. Tenaga kerja dikonversi menjadi Hari Orang Kerja (HOK) yang setara dengan Hari Kerja Pria (HKP), sedangkan tenaga kerja wanita (HKW) dikonversi dengan mengalikan 0,8 agar menjadi setara dengan HOK. Upah tenaga kerja di Nagarawangi relatif lebih murah yaitu Rp 25.000 ditambah dengan makan, rokok, dan kopi untuk laki-laki dan di Desa Cilembu, upah tenaga kerja lebih mahal, Rp 30.000 ditambah uang makan untuk laki-laki sedangkan untuk wanita di kedua desa mendapatkan upah yang sama yaitu Rp 15.000,00. Aktivitas yang dilakukan oleh petani adalah melakukan pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyemprotan, penyiangan dan pemanenan. Pada kegiatan pengolahan tanah, menggunakan tenaga kerja pria yang paling banyak diantara kegiatan lainnya, penanaman dan penyiangan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Tenaga kerja untuk pemanenan yaitu pria untuk menggali ubi, sedangkan wanita membersihkan ubi dari akar-akarnya dan memasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari bambu dapat dilihat pada Gambar 6. 40

Gambar 6. Pemanenan yang Dilakukan oleh Tenaga Kerja Pria dan Wanita Pada Tabel privat bujet, terdapat penerimaan yang merupakan hasil ratarata di kedua desa yaitu harga jual (P) dikali dengan jumlah produksi (Q), biaya produksi yang terdiri dari input tradable dan non tradable dan keuntungan yang bisa diperoleh petani dengan mengurangkan antara penerimaan dan biaya serta semuanya dihitung pada harga aktual (sebenarnya) dan dapat dijadikan untuk mengisi kolom yang pertama pada Tabel PAM. Perhitungan pada Tabel privat bujet menggunakan rata-rata di kedua desa dikarenakan ubi Cilembu untuk ekspor merupakan hasil produksi Desa Cilembu dan Nagarawangi. Keuntungan yang diperoleh petani (masa panen 5 bulan) dengan harga jual Rp 2.770,00 per kilogram yaitu sebesar Rp 12.333.129,00 yang berarti setiap bulan petani di Kabupaten Sumedang mendapatkan Rp 2.466.626,00 dan dengan menanam padi hanya mendapatkan Rp 2.394.036 per hektar. Nilai R/C yang didapat adalah 1,01 menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya produksi ubi jalar sama dengan penerimaan untuk satu kilogram ubi Cilembu denagn kata lain usahatani ubi di Cilembu berada pada titik impas. Pada Tabel 13 dapat dilihat keuntungan rata-rata produksi Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang. 41

Tabel 13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan privat Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) Input/Output Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Input tradable Output R/C non Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 1.878 274.188 KCL 135 2.103 283.905 TSP 131 2.073 271.563 Phonska 265 2.506 664.090 Curacron 7 26.683 186.781 Bibit Pupuk Kandang 1.804 835 1.506.340 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 27.250 4.796.000 Penanaman 20 24.188 483.760 Pemupukan 15 24.188 362.820 Penyiangan 38 24.188 919.144 Pemanenan 39 27.188 1.060.332 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan (Ha) 1 6.000.000 6.000.000 Total Penerimaan 11.225 2.720 30.532.000 Total Biaya (tidak termasuk lahan) 12.207.521 Keuntungan (tidak termasuk lahan) 18.324.479 Keuntungan bersih (termasuk lahan) 12.324.479 1,01 42

Langkah berikutnya dilakukan untuk mengisi baris kedua yaitu membuat Tabel bujet sosial dengan perhitungan berdasarkan harga bayangan. Harga bayangan ubi jalar dapat diperoleh dari harga ubi jalar per kilogram di perbatasan yaitu US$ 1,23 per kg dikalikan dengan SER tahun 2010 yaitu Rp 9.354,00 dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp 2.180,00/kg sehingga harga bayangan ubi jalar Cilembu sebesar Rp 9.325,00/kg. Harga f.o.b ubi Jalar Cilembu tahun 2010 terdiri dari biaya ongkos kontainer, bongkar muat, bea cukai, biaya pengangkutan kapal, biaya administrasi lainnya dan harga di lingkungan proyek sebesar Rp 11.087,50 yang dikonversi dengan nilai tukar rupiah (Rp 8.980,00) menjadi US$ 1,23 per kg. Untuk biaya tataniaga terdiri dari biaya pencucian (Rp 130,00), transportasi (Rp 125,00), pengemasan (Rp 75,00), lakban (Rp 900,00), kardus (Rp 700,00) dan bongkar muat (Rp 250,00) sebesar Rp 2.180,00 per kg. Adapun proses pencucian dan contoh kemasan dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Gambar 7. Pencucian Ubi Cilembu Gambar 8. Contoh Kemasan Ubi Cilembu Tujuan Ekspor Malaysia 43

Dalam proses produksi, harga bayangan pupuk ditentukan berdasarkan harga border price (free on board). Perhitungan harga bayangan pupuk Urea, FOB US$ 0,39 per kg dikalikan dengan SER tahun 2010 (Rp 9.354,00) dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp 240,00/kg (Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang), sedangkan untuk CIF KCL US$ 0,35/kg dan CIF SP-36 US$ 0,4/kg 9 dikalikan dengan SER tahun 2010 dan ditambah dengan biaya tataniaga. Untuk pupuk NPK Phonska memiliki harga bayangan yaitu Rp 6.650 yang merupakan harga non subsidi. Perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 3-5 kali dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Dikarenakan NPK Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Petrokimia Gresik. Harga Rp 6.650,00 diperoleh dari 3,8 dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk Pupuk NPK Phonska yaitu Rp 1.750 per kg. Sedangkan untuk insektisida menggunakan harga aktual, dengan asumsi pasar persaingan sempurna.tabel perhitungan Bujet Sosial untuk Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada Tabel 14. 9 World Bank. 2010. Commodity Price Data Pinksheet http://www.worldbank.org/prospect 44

Tabel 14. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Sosial Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/Ha) Input/Output Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Input tradable Output non Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 3.408 497.568 KCL 135 3.514 474.390 TSP 131 3.982 521.642 Phonska 265 6.650 1.762.250 Curacron 7 26.683 186.781 Bibit Pupuk Kandang 1.804 835 1.506.340 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 24.798 4.364.448 Penanaman 20 22.011 440.220 Pemupukan 15 22.011 330.165 Penyiangan 38 22.011 836.418 Pemanenan 39 24.741 964.899 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan (Ha) 1 5.931.375 5.931.375 Total Penerimaan 11.225 9.325 104.673.125 Total Biaya (tidak termasuk lahan) 13.283.719 Keuntungan (tidak termasuk lahan) 91.389.406 Keuntungan bersih (termasuk lahan) 85.458.031 45

Berdasarkan tabel tersebut biaya pada harga sosial menjadi lebih besar dikarenakan pada input tradable menggunakan harga dunia sehingga menjadi lebih tinggi, tetapi penerimaan yang didapatkan lebih besar menjadi Rp 9.325,00 sehingga mengakibatkan keuntungan menjadi lebih besar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga dunia untuk ubi jalar lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik. 6.2 Analisis Daya saing Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Analisis daya saing menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (PAM) bisa mengukur daya saing melalui pendekatan keunggulan kompetitif, komparatif dan dampak kebijakan terhadap input maupun output. Matriks PAM terdiri dari penerimaan, biaya input (tradable dan non tradable) dan keuntungan berdasarkan harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Matriks PAM yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 (Rp/kg Ubi Jalar) Keterangan Penerimaan Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Harga Privat 2.720,00 167,00 1.455,00 Harga Sosial 9.325,00 324,00 1.388,00 Dampak Kebijakan 1.098,00 7.613,00-6.605,00-157,00 67,00-6.515,00 Dari Tabel tersebut dapat diperoleh nilai sebagai indikator-indikator matriks kebijakan yang bisa menentukan keunggulan komparatif maupun kompetitif serta kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang (Tabel 16). 46

Tabel 16. Indikator-Indikator Analisis PAM pada pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di kabupaten Sumedang Tahun 2011 Indikator Nilai Keuntungan Privat (KP) 1.098,00 Keuntungan Sosial (KS) 7.613,00 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,57 Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) 0,15 Transfer Output (OT) -6.605,00 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,29 Transfer Input (IT) -157,00 Transfer faktor (TF) 67,00 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 0,52 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,28 Transfer Bersih (NT) -6.515,00 Koefisien Keuntungan (PC) 0,14 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,70 6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif suatu komoditas dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR). Indikator tersebut menunjukkan tingkat keuntungan secara finansial dan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya. Nilai KP yang didapat dari Tabel 15 yaitu Rp 1.098,00 dan PCR 0,57. Keuntungan Privat merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable dan domestik per satuan kilogram ubi jalar pada harga aktual. Berdasarkan Tabel, penerimaan petani secara finansial yaitu Rp 2.720,00 per kilogram sedangkan biaya input yang terdiri dari biaya tradable sebesar Rp Rp 167,00 dan biaya domestik sebesar Rp 1.445,00 sehingga keuntungan yang diperoleh yaitu Rp 1.098,00 per kilogram ubi jalar. Nilai keuntungan privat yang positif (KP>0) menunjukkan bahwa secara finansial pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang menguntungkan. 47

Indikator tersebut menunjukkan bahwa petani sebagai pemilik bisa memenuhi kebutuhan keuangannya dengan melakukan usahatani ubi Cilembu. Tingkat efisiensi alokasi sumberdaya dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR) yang merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable pada harga privat. Nilai PCR menunjukkan bahwa setiap satu Dollar Amerika yang diperoleh dari ekspor ubi jalar di kedua desa hanya dibutuhkan biaya input domestik sebesar 0,57. Dengan nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR<1) maka usahatani efisien secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif serta petani mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. 6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan nilai keuntungan sosial (KS) dan rasio biaya domestik (DRC) yang merupakan indikator menganalisis pengusahaan ubi jalar tetap memiliki daya saing tanpa bantuan pemerintah. Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan biaya input pada saat persaingan sempurna dan tidak ada efek divergensi baik kebijkan pemerintah maupun distorsi pasar. Keuntungan sosial diperoleh dari selisih penerimaan Rp 9.352,00 per kilogram dengan biaya input tradable sebesar Rp 324,00 dan biaya input domestik sebesar Rp 1.388,00 sehingga diperoleh keuntungan Rp 7.613,00 Keuntungan Sosial yang positif (KS>0) menunjukkan bahwa usahatani ubi di kedua desa menguntungkan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan meskipun tanpa ada intervensi pemerintah. Usahatani ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang bisa bermanfaat untuk masyarakat maupun pemerintah, dengan ekspor ubi Cilembu mendapatkan devisa sebagai tambahan penerimaan negara. Selain Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif bisa dilihat dari indikator DRC yang merupakan rasio antara biaya domestik dengan selisih penerimaan dikurangi biaya asing pada harga tanpa intervensi pemerintah (harga bayangan). Suatu usahatani akan efisien secara ekonomi jika DRC diperoleh 48

kurang dari satu (DRC<1), semakin kecil nilai DRC maka keunggulan komparatif yang dimiliki semakin besar, dan jika DRC lebih dari satu (DRC>1) menunjukkan pemborosan sumberdaya domestik. Nilai DRC yang diperoleh adalah 0,15, nilai tersebut mengindikasikan usahatani ubi efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif (daya saing). Dengan nilai DRC yang diperoleh maka komoditas ubi jalar lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan impor atau memiliki peluang ekspor yang tinggi. Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR (DRC<PCR) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan efisiensi dalam usahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang dan tanpa adanya kebijakan usahatani ubi Cilembu masih menguntungkan dan layak untuk dijalankan. 6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah bisa memberikan dampak positif dan negatif serta bisa mengatur kuantitas input maupun output suatu aktivitas ekonomi. Berdampak positif jika kebijakan bisa membantu produsen dalam negeri meningkatkan keuntungan dengan bisa memasarkan produknya untuk diekspor dan berdampak negatif jika kebijakan tersebut menghambat usahatani suatu komoditi. Indikator kebijakan usatahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang bisa dibagi menjadi tiga yaitu dampak kebijakan terhadap output, input, dan input-output. 6.3.1 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output bisa dilihat dari dua nilai yaitu Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nasional (NPCO). Transfer Output (OT) adalah selisih dari penerimaan privat dan penerimaan sosial. Nilai OT yang diperoleh adalah negatif (OT<0) yaitu Rp 6.605,00 yang mengindikasikan bahwa tidak ada insentif konsumen terhadap produsen, sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih rendah dari seharusnya sehingga terjadi transfer output dari produsen ke konsumen. Dengan kata lain, tidak ada subsidi output yang menyebabkan harga sosial lebih tinggi 49

daripada harga privat. Harga ubi Cilembu domestik yaitu Rp 2.720,00 sedangkan harga dunia sebesar Rp 9.325,00. Perbedaan harga tersebut menjadikan penerimaan produsen menjadi lebih rendah pada saat ada kebijakan pemerintah (harga aktual). Indikator lain yang bisa digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah yaitu Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Nilai NPCO yang diperoleh yaitu 0,29 yang mengindikasikan bahwa ada hambatan kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspor diantaranya pungutan-pungutan liar dan biaya bea cukai yang lebih tinggi apabila ekspor dilakukan pada hari libur sehingga tidak ada penambahan penerimaan. Petani hanya memperoleh 29 persen dari harga yang seharusnya yang menyebabkan petani tidak memperoleh insentif untuk meningkatkan produksi. Dengan tidak adanya transfer output dari konsumen ke produsen maka menyebabkan harga yang diterima oleh konsumen lebih rendah dari yang seharusnya dan terjadi kebijakan pemerintah yang melindungi konsumen domestik. 6.3.2 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah terhadap input bisa berupa subsidi dan hambatan impor untuk melindungi produsen. Untuk mengetahui adanya insentif pemrintah terhadap input bisa dilihat dari indikator Transfer Input (IT), Transfer Faktor (FT), dan Koefisien Proteksi Input Nasional (NPCI). Nilai Transfer Input (IT) merupakan selisih Biaya Input Tradable Privat dan Sosial. Jika nilai IT positif (IT>0), maka harga sosial input asing lebih tinggi dan produsen membayar lebih mahal. Nilai IT yang diperoleh untuk petani di Kabupaten Sumedang yaitu negatif Rp 157,00 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga produsen tidak membayar penuh untuk membeli input. Dari harga dunia yang berlaku petani hanya membayar 55 persen dari harga yang seharusnya, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah sebesar 45 persen. 50

Transfer Faktor (FT) menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable dan diperoleh dari selisih biaya input non tradable privat dan sosial. Jika nilai TF positif (TF>0) maka terjadi subsidi negatif dan nilai TF negatif (TF<0) maka terjadi subsidi positif. Nilai yang diperoleh yaitu 67,00 per kilogram mengindikasikan bahwa terjadi subsidi negatif dari pemerintah. Petani dirugikan karena membayar input non tradable lebih tinggi dari seharusnya dikarenakan pajak untuk kepemilikan tanah sebesar Rp 86.100,00 per hektar per musim tanam dan perhitungan upah tenaga kerja tidak terdidik pada harga sosial sebesar 91 persen dari upah yang sebenarnya. Dalam teorinya, harga bayangan untuk tenaga kerja tidak terdidik adalah 0, tetapi dengan melihat penelitian terdahulu, maka harga yang digunakan adalah tingkat pengangguran di Kabupaten Sumedang yaitu 9 persen. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio dari biaya input tradable privat dan sosial dan merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Dari hasil yang didapat NPCI kurang dari satu (NPCI<1) yaitu 0,51. Kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input asing dan produsen menerima subsidi atas input asing sehingga produsen membeli dengan harga yang lebih murah. Petani Cilembu menerima harga input yang lebih murah sebesar 51 persen dari yang seharusnya 6.3.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Kebijakan terhadap input dan output merupakan gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. Indikator dampak kebijakan input-output bisa dilihat dari Koefisien proteksi efektif (EPC), Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP), koefisien keuntungan (PC) dan Transfer bersih (NT). Koefisien Proteksi Efektif (EPC) adalah rasio antara penerimaan privat dikurangi biaya input tradable dengan penerimaan sosial dikurangi biaya input tradable dan menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang diperoleh yaitu 0,28 (EPC<1) menggambarkan kebijakan terhadap output maupun subsidi input bersifat 51

menghambat (tidak efektif) dan tidak memberikan insentif terhadap petani untuk berproduksi. Transfer bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan Privat dan keuntungan sosial (asumsi pasar persaingan sempurna) yang menggambarkan dampak kebijakan pemerintah terhadap penerimaan apakah menguntungkan atau merugikan. Nilai NT yang diperoleh bernilai negatif yaitu Rp 6.515,00 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif untuk meningkatkan produksi. Keuntungan yang diperoleh ketika ada kebijakan pemerintah lebih rendah Rp 6.515,00 per kilogram dibandingkan dengan tidak adanya campur tangan pemerintah. Dengan kata lain, apabila ada kebijakan pemerintah, penerimaan lebih rendah, hal ini bisa terlihat dari harga jual ubi Cilembu yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga privat. Pengaruh kebijakan secara keseluruhan dicerminkan oleh Koefisien keuntungan (PC) yang menyebabkan keuntungan privat berbeda dengan keuntungan sosial dan diperoleh dari rasio penerimaan privat dengan sosial. Nilai PC yang diperoleh yaitu 0,14 yang mengindikasikan bahwa keuntungan yang diperoleh petani hanya 14 persen dan kehilangan 86 persen keuntungan yang seharusnya diperoleh. Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) menggambarkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan karena adanya kebijakan pemerintah dan merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan harga bayangan. SRP yang negatif (<0) menyebabkan kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi. Nilai yang diperoleh yaitu -0,78 yang menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar 78 persen dari biaya sosialnya. 52

VII ANALISIS SENSITIVITAS Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap input dan output yang mempengaruhi keuntungan, daya saing suatu komoditi dan niali rasio dalam analisis PAM serta menggunakan asumsi-asumsi kondisi yang mungkin terjadi dalam usahatani ubi jalar. Pada penelitian ini dilakukan tiga macam analisis yaitu analisis sensitivitas terhadap upah tenaga kerja, kuantitas output (produktivitas) turun akibat cuaca yang tidak menentu, dan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dan Tabel PAM secara keseluruhan terdapat pada Lampiran 4, 5 dan 6. 7.1 Analisis Sensitivitas Bila Terjadi Perubahan Upah Tenaga Kerja Analisis sensitivitas terhadap tenaga kerja dilakukan untuk menguji sensitivitas efisiensi privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada saat penelitian, upah tenaga kerja untuk petani di Kabupaten Sumedang yaitu Rp 25.000,00, upah tersebut sudah ditambah dengan uang makan. Pada saat penanaman di kedua desa tersebut sangat banyak, maka membutuhkan tenaga kerja dari luar dengan upah yang lebih tinggi yaitu Rp 35.000,00 per HOK dan hal tersebut terjadi pada setiap tahun dengan asumsi faktor lainnya ceteris paribus. Perubahan indikator yang terjadi jika dilakukan analisis tersebut meliputi Keuntungan Privat (KP), Keuntungan Sosial (KS), Rasio biaya privat (PCR), Rasio biaya domestik (DRC), dan nilai untuk indikator tersebut bisa dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Upah Tenaga Kerja Nilai KP KS PCR DRC Sebelum Perubahan 1.098,00 Sesudah Perubahan 876,00 7.613,00 7.408 0,56 0,14 0,65 0,17 53

Berdasarkan tabel diatas, maka keuntungan mengalami penurunan dari Rp 1.098,00 menjadi Rp 876,00 untuk keuntungan privat, sedangkan untuk keuntungan sosial Rp 7.613,00 menjadi Rp 7.408 per kilogram. Dengan nilai yang masih positif (>0) untuk KP dan KS maka usahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang masih menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi bila terjadi kenaikan upah tenaga kerja. Untuk nilai PCR yaitu 0,65 nilai DRC 0,17 masih memiliki nilai kurang dari satu yang mengindikasikan bahwa usahatani ubi lebih memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun komparatif dibandingkan sebelum adanya perubahan upah tenaga kerja. Dengan meningkatnya upah hanya berdampak pada keuntungan yang didapatkan, tetapi untuk keunggulan kompetitif maupun komparatif menjadi lebih baik dengan nilai PCR dan DRC yang lebih tinggi. 7.2 Analisis Sensitivitas Bila Terjadi Perubahan Jumlah Produksi Jumlah Produksi pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 50 persen dikarenakan faktor cuaca yang tidak menentu dan sering terjadi hujan sehingga tanaman mudah terserang penyakit yang berakibat pada penurunan produktivitas. Selain faktor cuaca, penurunan produksi bisa diakibatkan oleh serangan hama lanas dan kualitas bibit yang dipakai secara terus menerus dan berdampak pada keuntungan petani, dengan adanya permasalahan tersebut, maka sensitivitas terhadap penurunan output perlu dianalisis kelayakannya dengan asumsi faktor-faktor lain tetap (ceteris paribus) dan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Jumlah Produksi 50 persen Nilai KP KS PCR DRC Sebelum Perubahan 1.098,00 Sesudah Perubahan -484,00 7.613,00 2.746,00 0,56 0,14 1,41 0,37 54

Berdasarkan Tabel 17, bila terjadi penurunan output sebesar 50 persen, maka nilai Keuntungan Privat menjadi negatif (KP<0) menjadi negatif Rp 484,00 per kilogram, nilai tersebut mengindikasikan berarti usahatani ubi jalar tidak menguntungkan secara finansial dan tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai PCR yang lebih dari satu (PCR>1) yaitu 1,41 sehingga sistem komoditas ubi jalar tersebut tidak mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Sebaliknya dengan Keuntungan Sosial, nilainya masih positif (KS>0) sehingga masih menguntungkan secara ekonomi, walaupun keuntungannya lebih rendah menjadi Rp 2.746,00. Dengan nilai KS yang masih positif, berdampak pada nilai DRC yang masih kurang dari satu (DRC<1), yang berarti usahatani Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang pada saat output turun masih memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan dengan nilai DRC yaitu 0,37. 7.3 Analisis Sensitivitas bila Terjadi Perubahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husni tahun 2003, ekspor produk pertanian dalam jangka panjang dipengaruhi oleh investasi privat di sektor pertanian, harga ekspor dan nilai tukar riil. Dikarenakan pengaruhnya sangat dominan terhadap komoditas yang memiliki orientasi dan potensi ekspor maka nilai tukar riil, sangat perlu dihitung sensitivitasnya untuk mengetahui dayasaing usahatani ubi jalar. Analisis yang dilakukan adalah bila nilai tukar Rupiah terhadap Dollar melemah menjadi Rp 10.950,00 dengan asumsi faktor lainnya ceteris paribus, nilai tersebut didasarkan pada nilai tengah kurs Rupiah lima tahun terakhir. Indikator yang dianalisis nilainya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Analisis Sensitivitas Usahatani Ubi jalar bila terjadi Perubahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Nilai KP KS PCR DRC Sebelum Perubahan 1.098,00 7.613,00 0,56 0,14 Sesudah Perubahan 1.098,00 10.054,00 0,56 0,12 55

Berdasarkan hasil pada Tabel 18, nilai Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) tidak berubah, dikarenakan nilai pada kedua indikator tersebut tidak berdasarkan nilai tukar, tetapi pada harga aktual. Sebaliknya dengan Keuntungan sosial (KS) yang meningkat menjadi Rp 10.054,00. Dengan hasil yang masih positif (>0) mengindikasikan bahwa usahatani ubi jalar masih menguntungkan secara finansial maupun ekonomi dan memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif dan komparatif yang ditunjukkan dengan nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu (<1) yaitu 0,56 dan 0,12. 56

VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan analisis matrik kebijakan (PAM), maka hasil penelitian Analisis Daya Saing Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa usahatani ubi jalar Cilembu menguntungkan secara finansial maupun ekonomi dan memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input domestik belum efektif karena produsen harus membayar lebih mahal dari yang seharusnya, sedangkan untuk input tradable efektif dikarenakan ada subsidi. Untuk kebijakan output bersifat menghambat yaitu adanya pungutan-pungutan liar dan tidak adanya kebijakan subsidi ekspor untuk komoditas ubi jalar. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah masih bersifat disinsentif terhadap petani untuk meningkatkan produksinya (NT yang negatif dan EPC <1) serta harus mengeluarkan biaya lebih besar dari biaya sosialnya (SRP negatif). Hasil analisis sensitivitas bila terjadi kenaikan upah tenaga kerja dan menguatnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika masih menguntungkan secara finansial maupun ekonomi dan tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Sedangkan bila terjadi penurunan jumlah produksi sampai 50 persen, pengusahaan ubi jalar tidak menguntungkan secara finansial dan tidak memiliki keunggulan kompetitif walaupun masih menguntungkan secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. 57

8.2 Saran Dengan melihat hasil penelitian, maka saran yang sebaiknya dipertimbangkan yaitu petani dan pengekspor ubi jalar agar terus mengembangkan usahatani ubi jalar karena menguntungkan dan memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun komparatif. Untuk Dinas Pertanian setempat, berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan output, maka diperlukan penelitian untuk penanggulangan hama lanas yang bisa menyebabkan ubi jalar di Kabupaten Sumedang tidak kompetitif. 58

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Usulan Pelepasan Ubi Jalar Cilembu. Bandung : BPSBTPH Jawa Barat dan DKI Jakarta. Anonim. 2010. Laporan Tahunan Pemerintah Kabupaten Sumedang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Ball D, et al. Bisnis Internasional. Buku 1 Edisi : 9. Jakarta : Salemba Empat. Bachrein S. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Juni 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Boediono. 1997. Ekonomi Internasional. Yogyakarta : BPFE UGM. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia : BPS Indonesia 2010. Jakarta : BPS. Fariyanti A. 2008. Modul Usahatani. Bogor : IPB. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Irawadi, A. 2007. Analisis Daya Saing dan Pemasaran Buah Manggis (Kasus di Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jafar, H.M. 2004. Prospek Bisnis Ubi Jalar. Jakarta : PT. Pustaka Sinar Harapan. Juarsa, MI. 2007. Daya Saing Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Malian H. 2003. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Produk Pertanian Dan Produksi Pertanian Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 Nomor 2, Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor : IPB. Pearson S, Gotsch C, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 59

Permana, L. 2007. Analisis Daya Saing Buah Pepaya (Carica papaya L) (Kasus di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja dan Desa Pasirgaok, Kecamatan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rachman, B. 2009. Kebijakan Subsidi Pupuk. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 Nomor 2, Juni 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Rachmina D, Burhanuddin. 2008. Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi. Bogor : IPB. Sumihardjo T. 2008. Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Bandung : Fokusmedia. Surono N. 1999. Analisis Daya Saing Beberapa Komoditi Tanaman Pangan Pada Beberapa Lokasi Pengembangan : Sebagai Bahan Pertimbangan Dalam Memilih Komoditi Unggulan dan Wilayah Andalan Bagi Pengembangannya [tesis] Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 60

LAMPIRAN 61

Lampiran 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Ubi Jalar Seluruh Provinsi Tahun 2009 Provinsi Luas Panen Produksi(Ton) Produktivitas(Ku/Ha) (Ha) Indonesia 183 874 2 057 913 111,92 Aceh 1 519 15 298 100,71 Sumatera Utara 12 359 140 138 113,39 Sumatera barat 4 153 77 476 186,55 Riau 1 230 9 736 79,15 Jambi 2 129 20 614 96,82 Sumatera Selatan 2 973 20 800 69,96 Bengkulu 2 197 20 930 95,27 Lampung 4 626 45 041 97,36 Bangka Belitung 600 4 828 80,47 Kepulauan Riau 185 1 427 77,18 DKI Jakarta 0 0 0,00 Jawa Barat 33 387 469 646 140,67 Jawa Tengah 8 767 147 083 167,77 DI Yogyakarta 574 6 687 116,50 Jawa Timur 16 203 162 607 100,36 Banten 2 942 34 549 117,43 Bali 6 285 78 983 125,67 Nusa Barat Nusa Timur Tenggara Tenggara 969 11 276 116,37 12 902 103 635 80,32 Kalimantan Barat 1 519 11 735 77,25 Kalimantan Tengah 1 537 10 763 70,03 Kalimantan Selatan 2 617 29 968 114,51 Kalimantan Timur 3 439 31 947 92,90 Sulawesi Utara 5 430 53 121 97,83 Sulawesi Tengah 2 815 29 821 105,94 62

Sulawesi Selatan 5 370 68 372 127,32 Sulawesi Tenggara 3 183 25 577 80,36 Gorontalo 358 3 456 96,54 Sulawesi Barat 1 430 15 756 110,18 Maluku 2 612 22 338 85,52 Maluku Utara 3 492 30 381 87,00 Papua Barat 1 044 10 599 101,52 Papua 35 028 343 325 98,01 Sumber : Badan Pusat Statistik (2009) 63

Lampiran 2. Deskripsi Varietas Ubi Jalar Cilembu Tahun dilepas : 8 Februari 2001 Asal :Desa Cilembu, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang Tipe : Merambat Umur : 5-7 bulan Bentuk daun : Menjari, pinggir daun rata Warna daun muda : Hijau keunguan Warna daun tua : Hijau keunguan Warna tulang daun : Bagian bawah hijau keunguan Warna tangkai daun : Hijau dengan lingkar ungu pada bagian ujung Panjang tangkai daun : 75-145 mm Warna bunga : Putih keunguan Warna batang : Hijau Panjang batang : 80-130 cm Warna kulit umbi : Krem kemerahan atau kuning Warna daging umbi mentah : Krem kemerahan atau kuning Warna daging umbi masak : Kuning Bentuk umbi : Panjang dan berurat nyata Rasa umbi : Enak, manis dan bermadu Tekstur umbi : Baik, tidak berair Rata-rata hasil : 12-17 ton/ha Potensi hasil : 20 ton/ha Ketahanan terhadap hama : Tahan penyakit kudis (Elsinoe batatas), peka terhadap lanas (Cilos formicarius) Keunggulan : Bentuk umbi panjang, bobot bahan kering umbi tinggi Daerah adaptasi : Cocok ditanam di lahan sawah tadah hujan setelah tanaman padi pada elevasi 800-1000 m Pengkaji dan Peneliti : Hamzah Basah, Titi Mulyati, Endang Priatna, Lenny, Ateng, Ngadimin PS, Agus Trismana, Agoes Soetrisna, Asep Rustaman, Entin Kartini, 64

Endang Sufiadi, Musli Rosmali, Ujang Dinar Husyari, Pathmi Noerhatini, Rijanti Rahayu Maulani, H. Nurdin, Hadi Surachmat, Basuki Satyagaraha. Sumber : BPSBTPH Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta (2000). 65

Lampiran 3. Ubi Cilembu berdasarkan Grade S, L, dan XL. 66