V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG"

Transkripsi

1 V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat Jawa Timur Provinsi Jawa Timur merupakan sentra produksi jagung terbesar di Indonesia. Pangsa produksi jagung Provinsi Jawa Timur terhadap produksi jagung nasional sekitar 30 persen. Bila dilihat perkembangannya, selama kurun waktu luas panen jagung di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 1.28 persen per tahun, yang diikuti oleh peningkatan produksinya sebesar 3.87 persen per tahun. Peningkatan produksi jagung lebih disebabkan karena peningkatan teknologi produksi, hal ini sebagaimana terlihat dari peningkatan produktivitas jagung yang relatif lebih besar dari peningkatan luas panennya yang mencapai 2.59 persen per tahun (Lampiran 5). Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan perekonomian nasional secara rata-rata mengalami kontraksi sebesar 1.8 persen. Akibat dari krisis ekonomi tersebut, harga-harga input pertanian mengalami kenaikan yang berpengaruh terhadap kegiatan usahatani. Oleh karena itu, selama periode luas panen jagung mengalami penurunan sebesar 7.31 persen per tahun, yang selanjutnya di ikuti oleh penurunan produksinya sebesar 4.0 persen pertahun. Relatif lebih kecilnya penurunan produksi disebabkan oleh masih meningkatnya produktivitas jagung sebesar 3.29 persen per tahun.

2 82 Selanjutnya pada kurun waktu , luas panen jagung mengalami peningkatan kembali sebesar 1.16 persen per tahun, yaitu meningkat dari 1.17 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 1.30 juta hektar pada tahun Peningkatan luas panen tersebut di ikuti oleh peningkatan produksinya yang relatif lebih tinggi yaitu sebesar 3.86 persen per tahun, yaitu meningkat dari 3.49 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5.27 juta ton pada tahun Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas sebesar 2.97 persen per tahun, dimana produktivitas meningkat dari 2.98 ton per hektar tahun 2000 menjadi 4.07 ton per hektar pada tahun Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2010) bahwa sentra produksi jagung di Jawa Timur meliputi Kabupaten-Kabupaten: Kediri, Malang, Sumenep, Bangkalan, Probolinggo, Situbondo, Blitar, Tuban, Lamongan dan Madiun. Perkembangan jagung di Jawa Timur di dukung oleh program intensifikasi jagung melalui dukungan teknologi budidaya dan pemenuhan kebutuhan benih unggul jagung. Semakin berkembangnya komoditas jagung juga disebabkan karena petani komoditas palawija termasuk jagung secara umum telah melakukan budidaya sesuai teknologi spesifik lokasi yang dianjurkan dan pemeliharaan yang intensif. Secara spesifik program pengembangan jagung di Provinsi Jawa Timur dilakukan melalui: (1) penyediaan benih sumber, (2) penggunaan benih unggul dan bersertifikat, (3) pengembangan dan peningkatan produktivitas tanaman jagung melalui penggunaan pupuk organik, dan (4) pengamanan produksi melalui: penggunaan agens hayati, sekolah lapang terpadu, dan bantuan benih (melalui Cadangan Benih Nasional/CBN) untuk tanaman yang puso misal akibat

3 83 kekeringan. Pemenuhan kebutuhan benih jagung didominasi dengan varietas hibrida. Kebutuhan benih jagung hibrida (2009) sebesar ton, dimana kebutuhan benih jagung hibrida tersebut dominan dipenuhi oleh produsen benih swasta. Selain itu, UPT pemerintah daerah (Unit Pelaksanan Teknis) khususnya dalam pengembangan perbenihan juga turut berperan dalam pengembangan benih unggul terutama benih komposit. Sementara itu, permasalahan yang masih dihadapi para petani adalah: (1) masih terdapatnya peredaran benih jagung tanpa merek, dengan mutu yang rendah, (2) benih jagung hibrida berlabel masih dirasakan mahal oleh petani, dan (3) masih kurangnya sinkronisasi antara perencanaan kebutuhan benih di tingkat petani dan produksi benih di tingkat produsen, sehingga azas 6 (enam) tepat belum tercapai secara maksimal. Dengan terdapatnya beberapa permasalahan diatas, pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan melakukan beberapa langkah perbaikan terkait perbenihan jagung antara lain melalui: (1) pelatihan bagi para produsen benih agar teknologi dan aturan-aturan terkait perbenihan tetap dapat dipertahankan sehingga komitmen menghasilkan benih bermutu yang diproduksi dipertahankan, (2) mengupayakan agar produksi benih sesuai permintaan pasar yang ada, dan (3) memberikan kesiapan kemitraan usaha diantara usaha menengah dalam memenuhi kebutuhan benih di Jawa Timur secara berkesinambungan sesuai azas 6 (enam) tepat Jawa Barat Pada Provinsi Jawa Barat, dalam kurun waktu luas panen jagung mengalami peningkatan sebesar 2.81 persen per tahun, yang diikuti oleh peningkatan produksinya sebesar 5.57 persen per tahun. Peningkatan produksi

4 84 jagung, disamping karena peningkatan luas panennya juga karena peningkatan teknologi produksi, hal ini sebagaimana terlihat dari peningkatan produktivitas jagung yang juga hampir sama dengan peningkatan luas panennya yaitu sebesar 2.76 persen per tahun (Lampiran 5). Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, maka di Provinsi Jawa Barat selama kurun waktu luas panen jagung mengalami penurunan sebesar 6.74 persen per tahun, yang selanjutnya di ikuti oleh penurunan produksinya sebesar 1.73 persen pertahun. Relatif kecilnya penurunan produksi disebabkan oleh masih meningkatnya produktivitas jagung sebesar 5.01 persen per tahun. Untuk kurun waktu , luas panen jagung mengalami penurunan 0.25 persen per tahun, yaitu dari hektar pada tahun 2000 menjadi hektar pada tahun Namun penurunan luas panen tersebut tidak diikuti oleh penurunan produksinya. Produksi jagung dalam kurun waktu tersebut masih dapat meningkat sebesar 6.67 persen per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2000 menjadi juta ton pada tahun Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas yang juga tinggi sebesar 6.92 persen per tahun, yaitu dari 2.97 ton per hektar tahun 2000 menjadi 5.76 ton per hektar pada tahun Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah pengembangan jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu: Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Wilayah pengembangan jagung yang sangat potensial ini telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan

5 85 sentra jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur, yang membujur dari arah utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis berbagai komoditi unggulan palawija khususnya jagung yang terdapat disembilan kabupaten tersebut diatas. Akselerasi peningkatan produksi jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak terlepas dari upaya-upaya, seperti: (1) akselerasi pemberdayaan petani dan kelembagaan ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani) yang terus ditingkatkan, (2) berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman Terpadu) jagung terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul hibrida, perbaikan tanam dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009). Produsen benih meliputi swasta/bumn dan kelompok tani penangkar. UPT daerah dalam pengembangan benih jagung di Jawa Barat adalah Balai Pengembangan Benih (BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk melakukan penangkaran benih jagung hibrida menjadi benih sebar. Jika kemitraaan telah berjalan secara baik, maka diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas benih unggul pada petani. Dengan perbaikan mutu benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur teknologi, sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain dengan berkembangnya

6 86 sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan kesempatan kerja pada usaha pemasaran benih unggul. Dengan semakin meningkatnya produktivitas jagung yang merupakan tanaman palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditas jagung, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dalam mendorong mengembangkan usahataninya dan peningkatan pendapatan petani. Dilihat dari aspek ketahanan pangan, peningkatan produksi jagung selain berperan dalam penyediaan bahan pangan, juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan konsumsi. Peningkatan produksi jagung juga akan mendorong pengembangan sektor atau subsektor lain seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan, dan perikanan Penggunaan Input Pada Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat Jawa Timur Input yang digunakan pada usahatani jagung antara lain: benih, pupuk urea, pupuk TSP, dan tenaga kerja. Berdasarkan data struktur ongkos usahatani jagung di Jawa Timur seperti disajikan pada Tabel 2, bahwa kisaran penggunaan benih jagung antara kg/ha. Bila dilihat perkembangan penggunaan benih jagung, pada kurun waktu meningkat sebesar 0.28 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya ( ) mengalami penurunan 1.71 persen per tahun. Secara keseluruhan penggunaan benih dalam kurun waktu mengalami penurunan sebesar 1.05 persen per tahun. Penggunaan benih jagung pada tahun 2009 mencapai 26 kg/ha, dan rata-rata penggunaan benih pada kurun waktu sebesar 28 kg/ha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010)

7 87 bahwa kebutuhan benih untuk varietas jagung hibrida sebesar 15 kg/ha dan untuk varietas komposit dan lokal sekitar 25 kg/ha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pertanaman jagung di Jawa Timur belum seluruhnya menggunakan varietas unggul hibrida. Secara nasional, penggunaan varietas hibrida baru sekitar 50 persen dari total luas panen. Penggunaan input pupuk urea dalam kurun waktu , antar tahunnya cukup bervariasi, dengan kisaran penggunaan antara kg/ha, dan rata-rata penggunaannya sebesar 174 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami peningkatan sebesar 1.40 persen per tahun pada kurun waktu , dan menurun sebesar 2.85 persen per tahun pada kurun waktu Secara umum periode , laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami peningkatan sebesar 0.17 persen per tahun. Penggunaan pupuk lainnya adalah pupuk TSP, dimana penggunaannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Pada kurun waktu , penggunaan pupuk TSP kurang bervariasi antar tahunnya, dengan kisaran penggunaan antara kg/ha, dan rata-rata penggunaan sebesar 31 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 0.62 persen per tahun pada kurun waktu , dan selanjutnya pada kurun waktu juga mengalami penurunan sebesar 0.36 persen per tahun. Secara umum periode , penggunaan pupuk TSP mengalami peningkatan sebesar 0.05 persen per tahun. Peranan pupuk sangat penting didalam peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian termasuk komoditas jagung dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2009, kebutuhan pupuk di

8 88 Provinsi Jawa Timur untuk komoditas jagung yaitu: (1) untuk pupuk urea sebesar ribu ton, (2) untuk pupuk Superphospat (SP) sebesar ribu ton, (3) untuk pupuk KCl sebesar ribu ton, dan (4) untuk Ponska sebesar ribu ton. Proporsi kebutuhan pupuk untuk jagung terhadap total kebutuhan pupuk di Provinsi sekitar persen untuk pupuk urea, persen untuk pupuk SP, persen untuk pupuk KCl, dan persen untuk pupuk Ponska (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, 2010). Bila di pandang rata-rata penggunaan pupuk pada tahun terakhir (2009), yaitu sebesar 169 kg/ha untuk pupuk urea dan 29 kg/ha untuk pupuk TSP. Penggunaan pupuk tersebut masih sangat jauh dengan rata-rata anjuran nasional misalnya pupuk urea untuk usahatani jagung hibrida sebesar 300 kg/ha dan untuk jagung komposit sebesar 200 kg/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Rendahnya penggunaan pupuk dapat disebabkan belum sepenuhnya usahatani menggunakan varietas unggul hibrida dan juga keterbatasan modal usahatani. Pada penggunaan input tenaga kerja, kisaran penggunaannya antara HOK (Hari Orang Kerja) per hari kerja, dengan rata-rata penggunaan sebesar 51 HOK per hektar. Bila dilihat perkembangan penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung pada kurun waktu , cenderung menurun sebesar 2.56 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya mengalami peningkatan 4.16 persen per tahun. Oleh karena itu, secara keseluruhan laju perkembangan penggunaan tenaga kerja dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 0.42 persen per tahun.

9 89 Tabel 2. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun Tahun Benih (Kg/ha) Urea (Kg/ha) TSP (Kg/ha) T.Kerja (HOK/ha) rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, ) Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, data penggunaan input pada struktur ongkos usahatani jagung disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diketahui bahwa

10 90 kisaran penggunaan benih jagung antara kg/ha, dengan rata-rata penggunaan sebesar 23 kg/ha. Bila dilihat perkembangan penggunaan benih jagung pada kurun waktu , secara rata-rata mengalami penurunan sebesar 4.79 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya ( ) mengalami peningkatan sebesar 3.27 persen per tahun. Secara keseluruhan laju perkembangan penggunaan benih pada kurun waktu mengalami penurunan sebesar 1.52 persen per tahun. Penggunaan benih jagung pada tahun 2009 mencapai 21 kg/ha, dengan rata-rata penggunaan pada kurun waktu sebesar 23 kg/ha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010) bahwa kebutuhan benih untuk varietas jagung hibrida sebesar 15 kg/ha dan untuk varietas komposit dan lokal sekitar 25 kg/ha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pertanaman jagung di Jawa Barat juga belum seluruhnya menggunakan varietas unggul hibrida. Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, penggunaan input pupuk urea dalam kurun waktu di Jawa Barat, antar tahunnya juga bervariasi, dengan kisaran penggunaan antara kg/ha, dan rata-rata penggunaan sebesar 112 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.45 persen per tahun pada kurun waktu , namun meningkat sebesar 2.43 persen per tahun pada kurun waktu Pada periode , secara umum penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.07 persen per tahun. Penggunaan pupuk lainnya adalah pupuk TSP, dimana penggunaannya lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Pada kurun waktu , kisaran penggunaan pupuk TSP antara kg/ha, dengan rata-rata

11 91 penggunaan sebesar 49 kg/ha. Penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.69 persen per tahun pada kurun waktu , dan selanjutnya pada kurun waktu penggunaannya juga menurun sebesar 1.89 persen per tahun. Secara umum periode , penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.89 persen per tahun. Penyediaan dan distribusi pupuk bersubsidi dihadapkan pada permasalahan yang kompleks khususnya yang berkaitan dengan semakin berkembangnya luas dan keragaman komoditas, pergeseran musim tanam, bencana alam dan kekeringan, pengaturan wilayah produsen pupuk. Oleh karena itu, terdapat alokasi volume dan wilayah pelayanan produsen dan distributor sampai kios pengecer. Secara total (tidak diketahui untuk per komoditas) pada tahun 2009, realisasi penyaluran pupuk urea sebesar ribu ton, SP sebesar ribu ton, ZA sebesar ribu ton, NPK sebesar ribu ton, dan pupuk organic sebesar ribu ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009). Bila di pandang penggunaan pupuk pada tahun terakhir (2009), yaitu sebesar 112 kg/ha untuk pupuk urea dan 49 kg/ha untuk pupuk TSP. Penggunaan pupuk tersebut masih sangat jauh dengan rata-rata anjuran nasional misalnya untuk pupuk urea pada usahatani jagung hibrida sebesar 300 kg/ha dan untuk jagung komposit sebesar 200 kg/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Rendahnya penggunaan pupuk tersebut di Jawa Barat juga disebabkan belum sepenuhnya usahatani menggunakan varietas unggul hibrida dan juga keterbatasan modal usahatani.

12 92 Tabel 3. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun Tahun Benih (Kg/ha) Urea (Kg/ha) TSP (Kg/ha) T.Kerja (HOK/ha) rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, ) Untuk penggunaan input tenaga kerja, kisaran penggunaannya antara HOK (Hari Orang Kerja) per hektar, dengan rata-rata penggunaan sebesar 120 HOK per hektar. Bila dilihat perkembangan penggunaan tenaga kerja pada

13 93 usahatani jagung pada kurun waktu cenderung menurun sebesar 4.00 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya ( ) mengalami peningkatan persen per tahun. Secara keseluruhan penggunaan tenaga kerja dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 5.26 persen per tahun Harga Jagung dan Harga Input di Jawa Timur dan Jawa Barat Jawa Timur Perkembangan harga jagung di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar persen per tahun. Harga jagung pipilan kering pada tahun 1985 sebesar Rp 129 per kilogram, dan pada tahun 2009 menjadi Rp per kilogram (Tabel 4). Menurut Kasryno, et.al., (2007) bahwa perubahan harga jagung lebih terdorong karena permintaan jagung terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan dan industri. Bahkan harga jagung internasional peningkatannya akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati. Hal ini dipicu karena semakin meningkatnya harga minyak bumi. Semakin meningkatnya harga jagung diharapkan akan semakin meningkatnya pendapatan petani, dengan catatan jika kenaikan harga input tidak lebih tinggi dari kenaikan harga jagung serta tingkat produktivitas jagung stabil. Menurut Hartoyo (1994) bahwa tinggi rendahnya produksi yang akan dicapai, selain ditentukan oleh teknologi yang digunakan juga ditentukan oleh tinggi rendahnya harga input dan harga output yang terjadi. Harga benih jagung pada kurun waktu mengalami peningkatan sebesar persen. Lonjakan harga benih jagung cukup tajam mulai tahun 2005 yaitu menjadi sebesar

14 94 Rp per kilogram, dan selanjutnya pada tahun 2009 menjadi Rp per kilogram. Tingginya harga benih jagung disebabkan oleh semakin mahalnya benih jagung hibrida yang rata-rata saat ini mencapai Rp per kilogram. Tabel 4. Rata-rata Harga Jagung dan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun Tahun Jagung (Rp/kg) Benih (Rp/kg) Urea (Rp/kg) TSP (Rp/kg) Upah T.Kerja (Rp/HOK) Rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, )

15 95 Sementara untuk harga pupuk urea dan TSP dalam kurun waktu juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar dan persen per tahun. Peningkatan harga pupuk tersebut disebabkan oleh semakin terbatasnya anggaran subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah per jenis pupuknya. Menurut Nuryartono (2009) bahwa meskipun besar subsidi semakin meningkat, misalnya dari tahun 2005 sebesar 0.90 triliun rupiah menjadi triliun rupiah tahun 2009, namun meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik. Meskipun harga pupuk urea dan TSP semakin meningkat, namun jumlah penggunaan pupuk dalam periode tetap meningkat. Untuk upah tenaga kerja, selama kurun waktu mengalami peningkatan sebesar persen pertahun. Upah tenaga kerja pada tahun 1985 sebesar Rp 792 per hari kerja dan pada tahun 2009 sebesar Rp per hari kerja. Bila diperhatikan perkembangan upah tenaga kerja antar tahunnya seperti disajikan pada Tabel 4 diketahui bahwa peningkatan upah tenaga kerja cukup tinggi sejak tahun 2003, yaitu sebesar Rp per hari kerja. Selanjutnya upah tenaga kerja pada tahun 2009 meningkat tajam lebih dari dua kali lipat yaitu menjadi sebesar Rp per hari kerja Jawa Barat Perkembangan harga jagung di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 9.95 persen per tahun (Tabel 5). Harga jagung pipilan kering pada tahun 1985 sebesar Rp 161 per kilogram, dan

16 96 pada tahun 2009 menjadi Rp per kilogram. Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, maka peningkatan harga jagung di Jawa Barat juga terdorong karena permintaan jagung terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan dan industri. Selanjutnya untuk harga benih jagung, selama kurun waktu juga mengalami peningkatan sebesar persen per tahun yaitu dari Rp 265 per kilogram tahun 1985 menjadi Rp per kilogram tahun Lonjakan harga benih jagung cukup signifikan mulai tahun 2005 yaitu menjadi Rp per kilogram, dan selanjutnya pada tahun 2009 harganya menjadi tiga kali lipat yaitu mencapai Rp per kilogram. Sebagaimana halnya telah diketahui bahwa harga benih jagung semakin meningkat karena semakin mahalnya benih jagung hibrida. Sementara untuk harga pupuk urea dan TSP dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar dan persen per tahun. Peningkatan harga pupuk tersebut diakibatkan oleh semakin terbatasnya anggaran subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah per jenis pupuknya. Meningkatnya harga pupuk urea dan TSP di Jawa Barat, juga diiringi oleh sedikit menurunya jumlah penggunaan pupuk dalam periode tersebut. Dengan demikian peningkatan harga pupuk di Jawa Barat juga berpengaruh terhadap penggunaan pupuk petani, dan sesuai dengan kemampuan permodalan petani. Untuk upah tenaga kerja, selama kurun Waktu mengalami peningkatan sebesar persen pertahun. Upah tenaga kerja pada tahun 1985 sebesar Rp 779 per hari kerja. Peningkatan upah tenaga kerja cukup tinggi sejak tahun 2002, yaitu sebesar Rp per hari kerja. Selanjutnya pada tahun 2009,

17 97 upah tenaga kerja meningkat tajam lebih dari dua kali lipat yaitu menjadi Rp per hari kerja. Tabel 5. Rata-rata Harga Jagung dan Input Benih Pada Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun Tahun Jagung (Rp/kg) Benih (Rp/kg) Urea (Rp/kg) TSP (Rp/kg) Upah T.Kerja (Rp/HOK) Rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, )

18 Rasio Harga Input Terhadap Harga Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat Jawa Timur Perkembangan rasio harga input terhadap harga jagung di Provinsi Jawa Timur di sajikan pada Tabel 6. Rasio harga input benih terhadap harga jagung pada kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 7.48 persen per tahun. Rasio harga tersebut berkisar antara Rasio harga meningkat pesat sejak tahun 2003 (6.00), dan pada tahun 2009 sebesar Hal ini menunjukkan bahwa harga input benih semakin lebih tinggi dibanding dengan harga output. Untuk rasio harga input pupuk (urea dan TSP) terhadap harga jagung peningkatannya pada kurun waktu masing-masing sebesar 1.27 dan 2.95 persen per tahun. Rasio harga pupuk relatif lebih kecil dibanding dengan rasio harga benih. Hal ini mengingat harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi pemerintah, melalui mekanisme penetapan harga eceran tertinggi (HET). Rasio harga pupuk urea dan TSP terhadap harga jagung secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1992, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Meskipun harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi, akan tetapi harga eceran tertinggi (HET) mengalami peningkatan seiring dengan kemampuan subsidi yang dialokasikan pemerintah. Selain itu, harga eceran pupuk juga lebih tinggi akibat biaya transportasi yang mahal sampai ke pelosok desa atau jika terdapat kelangkaan pupuk. Selanjutnya untuk rasio upah tenaga kerja terhadap harga jagung dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 1.39 persen pertahun. Hal yang menarik adalah bahwa rasio harga secara rata-rata diatas enam. Dengan

19 99 demikian dapat diketahui bahwa upah tenaga kerja besarannya secara rata-rata enam kali diatas harga jagung Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, perkembangan rasio harga input terhadap harga jagung di di sajikan pada Tabel 7. Rasio harga input benih terhadap harga jagung pada kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 6.44 persen per tahun. Rasio harga tersebut berkisar antara Rasio harga ini meningkat pesat sejak tahun 2005 (6.45), dan pada tahun 2009 sebesar Hal ini menunjukkan bahwa harga input benih meningkat lebih tinggi dibanding dengan harga output. Untuk rasio harga input pupuk (urea dan TSP) terhadap harga jagung peningkatannya pada kurun waktu masing-masing sebesar 3.11 dan 3.87 persen per tahun. Rasio harga pupuk juga relatif lebih kecil dibanding dengan rasio harga benih. Hal ini mengingat harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi pemerintah. Rasio harga pupuk urea terhadap harga jagung secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1996, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Sementara untuk rasio harga pupuk TSP, secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1991, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Meskipun harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi, akan tetapi harga eceran tertinggi (HET) senantiasa ditingkatkan sesuai subsidi yang dialokasikan pemerintah.

20 100 Tabel 6. Rasio Harga Input terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun Tahun Benih Urea TSP Tenaga Kerja Rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, ) (diolah) Selanjutnya untuk rasio upah tenaga kerja terhadap harga jagung dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar 3.08 persen pertahun. Hal yang menarik adalah bahwa rasio harga secara rata-rata diatas tujuh. Dengan

21 101 demikian upah tenaga kerja besarannya secara rata-rata tujuh kali diatas harga jagung. Rasio upah tenaga kerja meningkat pesat sejak tahun 2003 (10.83), dan pada tahun 2009 mencapai Tabel 7. Rasio Harga Input terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun Tahun Benih Urea TSP Tenaga Kerja rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, ) (diolah)

22 Keuntungan Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat Jawa Timur Keuntungan usahatani jagung merupakan selisih dari nilai penerimaan usahatani dengan total biaya usahatani yang mencakup biaya benih, biaya pupuk (urea dan TSP), biaya tenaga kerja luar keluarga, biaya pestisida, dan biaya lainnya (iuran, sewa alat pertanian dan pajak), yang disajikan pada Tabel 8. Selama kurun waktu , penerimaan usahatani di Provinsi Jawa Timur meningkat sebesar persen dan biaya usahataninya meningkat sebesar persen per tahun. Dengan demikian, keuntungan usahatani jagung juga meningkat sebesar persen per tahun. Penerimaan usahatani jagung meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp per hektar pada tahun 2009, sedangkan biaya usahatani jagung meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985, menjadi Rp per hektar pada tahun Sementara nilai keuntungan usahatani meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp per hektar pada tahun Peningkatan keuntungan usahatani jagung lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga jagung (10.62 persen per tahun), mengingat peningkatan produktivitas relatif lebih kecil (3.18 persen per tahun). Padahal untuk dapat mencukupi kebutuhan terutama untuk bahan baku pakan dan industri pangan diperlukan peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Mengingat Indonesia saat ini masih melakukan impor jagung untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Meningkatnya produktivitas jagung dapat berperan dalam pemenuhan berbagai kebutuhan, yaitu berperan sebagai substitusi impor, dan kedepan diharapkan untuk promosi ekspor.

23 103 Tabel 8. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun (Rp/Ha) Tahun Penerimaan Total Biaya Keuntungan rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, ) Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, nilai penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung disajikan pada Tabel 9. Selama kurun waktu , penerimaan usahatani meningkat sebesar persen dan biaya usahataninya juga meningkat

24 104 sebesar persen per tahun. Dengan demikian, keuntungan usahatani jagung juga meningkat sebesar persen per tahun. Penerimaan usahatani jagung meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp per hektar pada tahun 2009, sedangkan biaya usahatani jagung meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp per hektar pada tahun Sementara keuntungan usahatani jagung meningkat dari Rp per hektar pada tahun 1985 menjadi sebesar Rp per hektar pada tahun Peningkatan keuntungan usahatani jagung di Jawa Barat juga lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga jagung (9.95 persen per tahun), mengingat peningkatan produktivitas relatif lebih kecil (4.92 persen per tahun). Padahal untuk dapat mencukupi kebutuhan terutama untuk bahan baku pakan dan industri pangan diperlukan peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Sementara itu, hasil penelitian Julin, et.al., (2005) bahwa usahatani jagung dilahan sawah seperti di Lampung memberikan keuntungan sebesar 2.07 juta rupiah per hektar, di Sumatera Utara keuntungan usahatani sebesar 3.25 juta rupiah per hektar dan di Jawa Timur mencapai 2.36 juta per hektar Infrastruktur Pengembangan Komoditas Jagung : Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung serta Infrastruktur Jalan Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung Pemerintah Pengeluaran riset dan pengembangan jagung dalam penelitian ini merupakan pengeluaran untuk kegiatan riset atau penelitian dan pengembanga jagung yang dilakukan oleh instansi pemerintah khususnya pada Balai Penelitian Serealia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Pengeluaran riset dan pengembangan untuk jagung pada tahun 1985 mencapai

25 juta rupiah, kemudian meningkat menjadi 2.59 milyar rupiah pada tahun 1998 dan selanjutnya meningkat menjadi milyar rupiah pada tahun Rata-rata peningkatan pengeluaran riset jagung periode mencapai persen per tahun (Tabel 10 ). Tabel 9. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun (Rp/Ha) Tahun Penerimaan Total Biaya Keuntungan rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, ; Pusdatin- Kementan, ; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, )

26 106 Tabel 10. Perkembangan Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung di Indonesia, Tahun Total Anggaran Litbang Pertanian (Rp 000) Pangsa Riset jagung Terhadap Anggaran Litbang Pertanian (%) Riset Jagung Tahun (Rp 000) Rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: Badan Litbang Pertanian,

27 107 Adapun total anggaran penelitian dan pengembangan pertanian pada periode mengalami peningkatan sebesar persen per tahun, yaitu dari milyar pada tahun 1985 menjadi milyar pada tahun Selanjutnya bila dilihat pangsa pengeluaran riset dan pengembangan jagung terhadap total anggaran riset dan pengembangan pertanian selama periode waktu tersebut diatas mengalami penurunan sebesar 1.29 persen pertahun, yaitu pangsanya dari 2.55 persen pada tahun 1985 kemudian menurun pangsanya menjadi 1.60 persen pada tahun Dengan demikian alokasi biaya riset dan pengembangan jagung masih relatif rendah. Disisi lain bahwa target peningkatan produksi jagung nasional terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung. Meskipun alokasi anggaran riset masih terbatas, akan tetapi riset jagung terus ditingkatkan dengan dukungan pihak swasta nasional dan lembaga riset internasional. Meningkatnya pengeluaran riset dan pengembangan jagung diharapkan makin tinggi penciptaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya dapat diintroduksikan terhadap para petani dan akan berdampak terhadap peningkatan produksi jagung nasional Infrastruktur Jalan Jalan merupakan salah satu prasarana penting dalam transportasi darat. Hal ini karena fungsi strategis yang dimilikinya, yaitu sebagai penghubung antar satu daerah dengan daerah lain. Jalan sebagai sentra penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran, sangat dirasakan manfaatnya dalam rangka meningkatkan perekonomian suatu wilayah (BPS, 2009). Data infrastruktur jalan dalam penelitian ini merupakan data panjang jalan yang terdapat di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Data panjang jalan yang ada pada setiap provinsi

28 108 merupakan penjumlahan panjang jalan menurut tingkat kewenangan pembinaannya, yaitu jalan kabupaten/kota, jalan provinsi dan jalan Negara. Menurut BPS (2009), bahwa saat ini jalan kabupaten/kota masih merupakan bagian terbesar yaitu ribu kilometer atau proporsinya sekitar 82 persen dari total panjang jalan di Indonesia, sedangkan jalan provinsi dan negara masing-masing sebesar ribu kilometer dan kilometer atau proporsinya masing-masing sekitar 10 persen dan 8 persen. Jenis permukaan jalan terdiri dari: aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Jalan beraspal proporsinya paling besar yaitu persen, sedangkan jalan dengan permukaan kerikil sebesar persen, permukaan tanah sebesar persen dan lainnya sebesar 3.87 persen. Data perkembangan infrastruktur jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat disajikan pada Tabel 11. Di Provinsi Jawa Timur, total panjang jalan pada periode meningkat sekitar 2.11 persen per tahun yaitu dari kilometer pada tahun 1985 menjadi kilometer pada tahun Sementara di Jawa Barat, pada periode yang sama peningkatannya mencapai 2.39 persen per tahun, yaitu dari kilometer pada tahun 1985 menjadi kilometer pada tahun Secara rata-rata, panjang jalan di kedua provinsi tersebut meningkat sebesar 2.23 persen per tahun, yaitu dari kilometer pada tahun 1985 menjadi kilometer pada tahun Pengelolaan infrastruktur di pedesaan merupakan salah satu langkah kebijakan penting bagi percepatan pembangunan di pedesaaan (Sinar Tani, Mei 2011). Jenis infrastruktur dipedeasaan yang dipentingkan antara lain adalah jalan yang masuk ke pedesaaan. Semakin terbuka dan aksesnya infrastruktur jalan ke

29 109 pedesaan akan mempermudah arus barang dari dan ke pedesaan itu sendiri. Infrastruktur jalan yang baik akan menjadi lebih murah biaya transportasi, sehingga input-input pertanian yang dibutuhkan oleh para petani di pedesaan akan semakin mudah diperoleh dan harganya pun murah. Pada sisi lain, proses penjualan hasil pertanian pun jika dijual ke perkotaan atau tujuan pemasaran lainnya akan semakin mudah. Menurut Delis (2011) bahwa pengembangan infrastruktur jalan memiliki dampak besar terhadap aktivitas ekonomi di wilayah sentra produksi. Dengan demikian, terdapatnya infrastruktur jalan yang memadai di sentra produksi jagung akan memudahkan proses pemasaran jagung, dan juga akan mempermudah masuknya berbagai kebutuhan input usahatani jagung ke sentra produksi tersebut.

30 110 Tabel 11. Perkembangan Total Panjang Jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun (Kilometer) Tahun Jawa Timur Jawa Barat Rata-rata Rata-rata Perkembangan (%/thn) Sumber: BPS Jatim ( ), BPS Jabar ( ), Statistik Indonesia ( ), Statistik Transportasi/Perhubungan ( )

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan, dan kecukupan

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

Government Policy on Output and Input Prices for Corn Production Enhancement

Government Policy on Output and Input Prices for Corn Production Enhancement KEBIJAKAN HARGA OUTPUT DAN INPUT UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI JAGUNG Government Policy on Output and Input Prices for Corn Production Enhancement Adang Agustian 1, Sri Hartoyo 2, Kuntjoro 3, dan Made Oka

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar yang memberikan kontribusi sebesar 22,74 persen dibandingkan sektor-sektor lainnya, walaupun terjadi sedikit penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian

Lebih terperinci

DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE. Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1

DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE. Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1 DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia 2 Balai Pengkajian teknologi Pertanian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

SALINAN NOMOR 5/E, 2010 SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi negara berkembang seperti Indonesia landasan pembangunan ekonomi negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman pangan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penawaran output jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat bersifat elastis

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2007 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI Policy Brief PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI Pendahuluan 1. Produksi benih tanaman pangan saat ini, termasuk benih padi dan benih kedelai, merupakan

Lebih terperinci

Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani.

Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani. 28 Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani. Pendahuluan Kebutuhan benih bermutu untuk produksi tanaman pangan dan perkebunan relatif tinggi seiring dengan tujuan produksi yang lebih

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap pembangunan di Indonesia,

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada

Lebih terperinci

ANALISIS TITIK IMPAS USAHATANI KEDELAI

ANALISIS TITIK IMPAS USAHATANI KEDELAI ANALISIS TITIK IMPAS USAHATANI KEDELAI (Glycine max L.) VARIETAS ORBA (Suatu Kasus pada Kelompoktani Cikalong di Desa Langkapsari Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) Oleh: Apang Haris 1, Dini Rochdiani

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH 8.1. Penerimaan Usahatani Bawang Merah Penerimaan usahatani bawang merah terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini pertanian organik menjadi suatu bisnis terbaru dalam dunia pertanian Indonesia. Selama ini produk pertanian mengandung bahan-bahan kimia yang berdampak

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG NOMOR 1 BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG SERI E HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSUSI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Oleh : Feryanto (email: fery.william@gmail.com) Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) BPS PROVINSI JAWA TIMUR PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) No. 75/11/35/Th.XII, 3 November 2014 A. PADI Produksi Padi Provinsi Jawa Timur berdasarkan Angka Ramalan II (ARAM

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS 4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 1. Konstruksi Kebijakan Menimbulkan Dualisme Pasar dan Rawan Terhadap Penyimpangan Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan merupakan komoditi tanaman pangan kedua setelah padi. Akhir-akhir ini tanaman jagung semakin

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pupuk Kompos Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN DAN PERIKANAN KOTA SOLOK

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar

I. PENDAHULUAN. khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak dimulainya revolusi hijau (1970 -an), kondisi lahan pertanian khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar lahan pertanian Indonesia

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci