VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

ANALISIS HASIL PENELITIAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

VII. SIMPULAN DAN SARAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH URBANISASI TERHADAP SUKSESI SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN SWASEMBADA PANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

2.4 Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian... 47

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

PERSIAPAN RPJMN TERKAIT PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN PEMERATAAN

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

Transkripsi:

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator validasi untuk menentukan kelayakan model ekonometrika dalam simulasi kebijakan pengeluaran pemerintah daerah disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Distribusi Indikator Kelayakan Model Berdasarkan Hasil Validasi Model Alokasi Pengeluaran Pemerintah No Indikator Klasifikasi Distribusi Jumlah Persentase (%) < 30 % 58 100.00 1 RMSE 30 60 % 0 0.00 > 60 % 0 0.00 < 30 % 40 68.97 2 RMSPE 30 60 % 10 17.24 > 60 % 8 13.79 > 0.8 38 65.52 3 R-Square 0.6 0.8 10 17.24 < 0.6 10 17.24 < 0.1 39 67.24 4 U-Theil 0.1 0.2 17 29.31 > 0.2 2 3.45 Validasi model untuk mengetahui daya prediksi model yang akan digunakan dalam simulasi kebijakan dengan menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), R-Square dan U-Theil. Pada penelitian simulasi kebijakan dan tidak untuk peramalan

155 (simulasi ex-ante) sehingga kriteria yang menjadi acuan utama adalah RMSE, R- Square dan Coefficient Theil (U-Theil) berserta dekomposisinya. Berdasarkan hasil validasi model dengan indikator RMSE menunjukkan seluruh persamaan memiliki nilai RMSE lebih kecil dari 30%. Nilai RMSPE lebih bervariasi tetapi sebagian besar masih di bawah 30% yaitu pada 40 persamaan (68.97%) sedangkan sisanya dengan nilai antara 30 60% pada 10 persamaan (17.24%) dan lebih besar dari 60% pada 8 persamaan (13.79%). Penyebaran nilai RMSPE yang bervariasi lebih disebabkan oleh faktor data terutama data kehutanan, pilihan komoditas pangan lahan kering dan perkebunan serta variasi antar kawasan. Kelayakan model juga terlihat dari nilai R-Square yang sebagian besar lebih besar dari 0.8 yaitu pada 38 persamaan (65.52%) dan 0.6-0.8 dan lebih kecil dari 0.6 masing-masing 10 persamaan (17.24%). Kedua indikator ini menunjukkan bahwa model cukup valid untuk digunakan dalam simulasi karena secara umum memiliki daya prediksi yang bagus. Kelayakan model juga didukung dengan nilai U-theil yang sebagian besar mendekati nilai 0 dimana sekitar 57 persamaan (96.55%) memiliki U-theil lebih kecil dari 0.2 dan nilai U-theil terbesar adalah 0.24 pada persamaan porsi luas areal perkebunan lainnya. Nilai U-theil yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan bahwa jika nilai mendekati 0 maka model mendekati sempurna dan sebaliknya semakin tidak sempurna jika mendekati 1. Kelayakan model juga diperkuat dengan hasil dekomposisi U-Theil (Lampiran 10) dimana bias proporsi (UM),

156 bias varian (UR) dan bias kovarian (US) sebagian besar mendekati 0 dan sebaliknya nilai kovarian (US) dan nilai kovarian (UC) mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa bias model akan semakin kecil dan nilai hasil prediksi mendekati nilai yang sebenarnya. Berdasarkan hasil validasi model dengan menggunakan berbagai indikator di atas maka secara umum dapat dinyatakan bahwa model alokasi pengeluaran pemerintah ini layak digunakan dalam simulasi kebijakan. Untuk melakukan simulasi ex-ante dimana proporsi RMSPE yang layak relatif kecil dibanding indikator lain diduga sebagai konsekuensi data pooling dimana terdapat variasi yang besar baik antar kawasan maupun antar komoditas. 6.2. Evaluasi Dampak Krisis dan Desentralisasi Fiskal Selama rentang waktu penelitian (1994 2003) perekonomian kawasan dapat digolongkan pada tiga periode, yaitu periode sentralisasi sebelum krisis (1994 1996), sentralisasi pasca krisis (1998 2000) dan periode desentralisasi (2001 2003). Perubahan kondisi sosial ekonomi dan kebijakan nasional terutama terkait dengan implementasi otonomi daerah menyebabkan adanya perubahan dalam pola penyusunan anggaran dan orientasi pembangunan daerah untuk masing-masing periode. Perubahan alokasi anggaran tidak hanya berupa alokasi pengeluaran rutin dan pembangunan tetapi juga alokasi antar sektor dalam pengeluaran pembangunan. Dampak perubahan pengeluaran pemerintah selama periode krisis dan desentralisasi terhadap alokasi sektoral dan penyebaran kredit perbankan disajikan pada Tabel 31.

157 No Tabel 31. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Alokasi Pembiayaan Pembangunan Jenis Pembiayaan 1 Sektor Pengeluaran Pembangunan Krisis ekonomi Desentralisasi Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar a. Transportasi -9.13-9.16-7.39-4.19-1.34-4.47 b. Pengembangan wilayah 5.05 3.73 5.02-7.59-6.11-7.02 c. Sumberdaya manusia -0.38-0.58-0.04-2.65-1.88-2.62 d. Lain-lain 0.90-0.67 0.91-0.61 1.23 0.07 Jumlah -3.56-6.67-1.49-15.04-8.11-14.04 2 Pengeluaran Rutin 3.56 6.67 1.49 15.04 8.11 14.04 3 Kredit a. Investasi dan Modal Kerja -6.13-2.52-3.81-17.51-21.53-16.02 b. UKM 9.25 10.18 11.82 4.23 4.40 2.77 c. Pertanian -12.16-5.83-8.30-20.12-27.80-17.58 Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya penurunan alokasi pengeluaran pembangunan terutama didorong oleh menurunnya alokasi sektor transportasi. Pada sisi lain alokasi sektor pengembangan wilayah mengalami peningkatan sebagai implikasi menurunnya aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga mendorong terjadinya ekspansi pembangunan pemukiman baru mengikuti perkembangan sektor pertanian. Hal ini diduga akibat peran sektor pertanian yang relatif besar dalam mengatasi berbagai pengaruh sosial ekonomi negatif akibat krisis ekonomi. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan diikuti dengan semakin meningkatnya alokasi pengeluaran rutin dan kecenderungan ini tetap berlanjut pada saat implementasi otonomi daerah. Kondisi ini merupakan salah satu dampak negatif dari kebijakan desentralisasi fiskal dimana kewenangan luas dalam pengendalian anggaran cenderung dimanfaatkan untuk meningkatkan alokasi pengeluaran rutin seperti belanja dan gaji birokrasi.

158 Penurunan sebagian besar alokasi sektor pengeluaran pembangunan ini menyebabkan semakin rendahnya ekspansi ekonomi oleh pemerintah terutama pada sektor produksi. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya penyebaran kredit sektor produksi yang mencakup investasi dan modal kerja serta sektor pertanian. Peningkatan proporsi kredit UKM lebih banyak disebabkan oleh penurunan yang tajam kredit usaha besar dan perubahan paradigma pemerintah daerah untuk lebih mengembangkan UKM. Penurunan ekspansi ekonomi ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab lambatnya perekonomian kawasan untuk kembali normal seperti saat sebelum krisis. Hal ini terlihat dari dampak krisis dan implementasi desentralisasi terhadap beberapa indikator ekonomi, sosial dan ekologi disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Evaluasi Dampak Krisis Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan No Variabel Krisis ekonomi Desentralisasi Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -1.10 0.36-0.54-0.54-1.33-0.36 2 Pertumbuhan output -4.92-7.27-6.85 2.56 2.99 1.60 3 PDB/Kapita 1.78 4.95 3.83 0.22 3.46 3.90 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja -0.32-1.27-0.95 0.65-0.06 0.30 2 Pengangguran terbuka 0.46 1.17 0.76 0.31 0.03 0.75 3 Pangsa TK Pertanian -0.08-0.98-2.30 5.13 5.55 4.23 Lingkungan 1 Laju deforestasi 11.05 22.06 9.85 12.47 19.36 8.14 2 Degradasi zona penyangga 9.96 10.19 9.18 2.29 0.92 2.01 3 Degradasi TNKS 1.77 1.24 1.58-0.22 0.12-0.05 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil evaluasi sesuai dengan diharapkan Implementasi desentralisasi fiskal meskipun mampu meningkatkan kembali laju pertumbuhan output tetapi kecepatannya belum mampu menutupi

159 penurunan yang terjadi selama periode krisis ekonomi. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama periode desentralisasi tidak banyak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan bahkan laju pertumbuhan output perkapita lebih tinggi pada periode krisis kecuali kawasan Sumatera Barat. Kondisi ini menyebabkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja menjadi menurun dan tingkat pengangguran semakin meningkat. Ketergantungan output terhadap sektor pertanian yang semakin berkurang ternyata tidak diikuti dengan semakin berkurangnya ketergantungan dalam penyerapan tenaga kerja. Pangsa output sektor pertanian yang menurun tetapi tidak diikuti dengan penurunan pangsa tenaga kerja sektor ini mengindikasikan bahwa selama periode desentralisasi telah mendorong semakin meningkatnya gap kesejahteraan antara sektor pertanian (pedesaan) dan nonpertanian (urban). Kondisi ini diduga menjadi penyebab utama semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan dan terindikasi dengan menurunnya porsi hutan kawasan dan meningkatnya degradasi hutan zona penyangga. Pada kawasan Jambi peningkatan degradasi zona penyangga relatif lebih rendah dibanding kawasan lainnya karena adanya perbedaan persepsi, tetapi sebaliknya degradasi hutan taman nasional masih mengalami peningkatan selama desentralisasi. Laju degradasi taman nasional selama periode desentralisasi pada kawasan Bengkulu dan Sumatera Barat disamping karena adanya unsur trade-off antara kawasan konservasi dan non-konservasi juga akibat adanya kesepakatan antar kawasan tahun 2001 untuk lebih memperhatikan upaya pelestarian taman nasional.

160 6.3. Evaluasi Dampak Kebijakan Peningkatan Alokasi Sektor Pengeluaran Pembangunan Prioritas Dampak peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor prioritas tanpa adanya perubahan dalam alokasi pengeluaran rutin dan pembangunan (tanpa adanya realokasi) terhadap penyebaran alokasi pengeluaran sektor-sektor pengeluaran pembangunan. Secara umum peningkatan alokasi salah satu sektor pengeluaran pembangunan akan diikuti dengan menurunnya alokasi sektor lain kecuali sektor pertanian, seperti disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor Lain Sektor prioritas No Sektor Pengeluaran Pembangunan Pengembangan Sumberdaya Transportasi Wilayah Manusia Bengkulu 1 Transportasi (%) 3.24-1.09-1.09 2 Pengembangan Wilayah (%) -0.46 3.24-0.46 3 Sumberdaya Manusia (%) -0.28-0.28 3.24 4 Sektor lain-lain (%) -0.58-0.58-0.58 Jambi 1 Transportasi (%) 3.24-0.99-0.99 2 Pengembangan Wilayah (%) -0.42 3.24-0.42 3 Sumberdaya Manusia (%) -0.26-0.26 3.24 4 Sektor lain-lain (%) -0.52-0.52-0.52 Sumbar 1 Transportasi (%) 3.21-0.94-0.94 2 Pengembangan Wilayah (%) -0.40 3.21-0.40 3 Sumberdaya Manusia (%) -0.24-0.24 3.21 4 Sektor lain-lain (%) -0.50-0.50-0.50 Keterangan: Angka TEBAL menunjukkan kenaikan alokasi sektor prioritas masing-masing kawasan Peningkatan alokasi salah satu sektor pengeluaran pembangunan prioritas akan diikuti dengan penurunan alokasi sektor prioritas lain dan sektor-sektor nonprioritas, dengan besaran bervariasi sesuai respon masing-masing sektor terhadap perubahan dalam rasio pengeluaran rutin terhadap pembangunan. Perubahan

161 alokasi sektor pengeluaran pembangunan ini selanjutnya akan mendorong perubahan struktur pembiayaan pembangunan sektor swasta, tetapi dengan dampak yang berbeda untuk masing-masing kebijakan seperti disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Sektor Prioritas Terhadap Penyebaran Kredit Perbankan Sektor prioritas No Kelompok Kredit Pengembangan Sumberdaya Transportasi Wilayah Manusia Bengkulu 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -2.51 0.75 1.85 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) -4.66 6.38-2.48 3 Sektor Pertanian (%) -4.49 0.25 3.49 Jambi 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -2.75 0.80 1.81 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) -4.52 6.53-2.28 3 Sektor Pertanian (%) -4.95 0.34 3.41 Sumbar 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -2.90 0.86 1.76 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) -4.46 6.54-2.19 3 Sektor Pertanian (%) -5.22 0.46 3.31 Kebijakan peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi akan mendorong menurunnya proporsi kredit investasi dan modal kerja, usaha kecil dan menengah, serta sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah akan mendorong peningkatan proporsi ketiga kelompok kredit. Dampak yang bervariasi terjadi akibat peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia yang mendorong peningkatan proporsi kredit pada sektor produksi yaitu kredit investasi dan modal kerja, serta kredit sektor pertanian, tetapi sebaliknya

162 menyebabkan menurunnya proporsi kredit usaha kecil dan menengah. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi sektor transportasi dan sumberdaya manusia akan mendorong peningkatan proporsi kredit usaha besar dan diduga menjadi faktor pendorong masuk investasi oleh usaha skala besar. Secara umum perubahan distribusi kredit perbankan ini juga didorong oleh perkembangan sosial ekonomi kawasan, seperti peningkatan output perkapita yang mendorong peningkatan kredit konsumsi, sehingga proporsi kredit investasi dan modal kerja akan mengalami penurunan. Perubahan dalam perilaku alokasi pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan ini selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan sosial, ekonomi dan lingkungan kawasan, seperti disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Evaluasi Dampak Peningkatan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Sektoral Masing-masing Kawasan No Ekonomi Variabel Sektor Pengeluaran Pembangunan Transportasi Pengembangan Wilayah Sumberdaya Manusia B J S B J S B J S 1 Pangsa PDB Pertanian -0.42-0.42-0.41 0.43 0.40 0.38 0.17 0.15 0.14 2 Pertumbuhan output 0.87 0.92 0.94-0.67-0.67-0.67-0.31-0.30-0.29 3 PDB/Kapita -1.18-1.05-0.89-0.26-0.33-0.33 2.48 2.43 2.23 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja -0.26-0.24-0.22-0.28-0.26-0.24-0.09-0.07-0.06 2 Pengangguran terbuka -0.27-0.29-0.31-0.15-0.16-0.16 0.21 0.19 0.18 3 Pangsa TK Pertanian 1.48 1.54 1.58 0.14 0.04-0.02-0.20-0.26-0.27 Lingkungan 1 Laju deforestasi -4.58-4.27-5.44 3.80 3.37 4.22 1.19 0.96 1.17 2 Degradasi zona penyangga -0.36-0.28-0.21 0.40 0.32 0.27 0.06 0.01 0.00 3 Degradasi TNKS 0.11 0.12 0.12 0.04 0.05 0.05-0.13-0.12-0.12 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan B = Bengkulu, J = Jambi dan S = Sumatera Barat

163 Hasil evaluasi dampak kebijakan masing-masing skenario (pilihan sektor prioritas) bervariasi dan sebaliknya antar kawasan dalam skenario yang sama relatif sama tetapi dengan besaran yang lebih bervariasi. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor transportasi tanpa diikuti dengan realokasi pengeluaran rutin mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan output melalui perubahan struktur perekonomian. Penurunan pangsa PDB sektor pertanian tidak diikuti dengan menurunnya pangsa tenaga kerja sektor pertanian yang mengindikasikan penurunan output perkapita sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan pangsa tenaga kerja sektor pertanian yang diikuti dengan penurunan pengangguran terbuka mengindikasikan adanya migrasi tenaga kerja dari sektor non-pertanian ke sektor pertanian. Peningkatan pangsa tenaga kerja sektor pertanian dan penurunan partisipasi kerja diduga menjadi penyebab peningkatan laju pertumbuhan output tidak diikuti dengan meningkatnya output perkapita sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Pada aspek lingkungan kebijakan prioritas sektor transportasi yang mendorong penurunan partisipasi kerja ini akan mengurangi tekanan terhadap lahan yang terindikasi dengan menurunnya laju deforestasi dan degradasi zona penyangga. Pada sisi lain tekanan terhadap taman nasional semakin meningkat sebagai implikasi dari penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor pengembangan wilayah tanpa diikuti dengan realokasi pengeluaran rutin mendorong semakin meningkatnya ketergantungan perekonomian kawasan terhadap sektor pertanian. Peningkatan pangsa sektor pertanian baik dalam pembentukan output maupun dalam penyerapan tenaga kerja menyebabkan laju pertumbuhan output semakin

164 menurun. Laju pertumbuhan output yang semakin lambat dan menurunnya tingkat partisipasi kerja akan menyebabkan semakin menurunnya output perkapita. Penurunan tingkat pengangguran terbuka merupakan implikasi dari menurunnya suplai tenaga kerja (partisipasi kerja) dan penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sektor pertanian. Dampak kebijakan ini yang cenderung tidak baik bagi perkembangan sosial ekonomi kawasan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Hal ini terlihat dengan meningkatnya laju deforestasi kawasan, degradasi hutan baik pada zona penyangga maupun taman nasional. Peningkatan alokasi pengeluaran sektor sumberdaya manusia akan mendorong peningkatan output perkapita tetapi akan diikuti dengan meningkatnya pengangguran terutama pada sektor non-pertanian. Hal ini terlihat dengan meningkatnya pangsa output dan penurunan pangsa tenaga sektor pertanian. Pada sisi lain penurunan suplai tenaga kerja yang diikuti dengan menurunnya tenaga kerja sektor pertanian mengindikasikan adanya peningkatan partisipasi sekolah pada daerah pedesaan dan diduga pengangguran terdidik lebih banyak berasal dari pedesaan. Pengangguran terdidik pada pedesaan ini akan memberikan tekanan terhadap kawasan non-konservasi dengan meningkatnya deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga tetapi peningkatan pengetahuan akan mengurangi tekanan terhadap taman nasional. Degradasi hutan taman nasional yang menurun diduga hanya bersifat sementara, karena dengan semakin berkurangnya sumberdaya di luar taman nasional suatu saat akan mendorong terjadinya peralihan pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional.

165 Berdasarkan hasil simulasi dampak peningkatan alokasi sektor pengeluaran pembangunan prioritas yang menyebabkan penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor lainnya akan berimplikasi menurunnya kinerja beberapa indikator sosial ekonomi dan lingkungan. Untuk itu perlu upaya lain terutama dengan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan yang dapat dilakukan melalui dua alternatif yaitu melalui peningkatan anggaran pembangunan dan realokasi pengeluaran rutin. Alternatif pertama dihadapi dengan kendala keterbatasan anggaran pembangunan, sehingga akan lebih realistis menggunakan alternatif kedua karena akan mendorong keseimbangan antara pengeluaran rutin dan pembangunan. Hal ini juga terkait dengan pola kebijakan penyusunan pengeluaran pemerintah daerah pada periode desentralisasi fiskal yang cenderung untuk meningkatkan alokasi untuk pengeluaran rutin dan mengurangi alokasi untuk pengeluaran pembangunan. 6.4. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Pengaruh peningkatan pengeluaran rutin terhadap perkembangan sosial ekonomi relatif kecil dan cenderung hanya akan mempengaruhi sisi konsumsi. Pada sisi lain pengeluaran pembangunan akan mampu mendorong peningkatan aktivitas ekonomi termasuk dalam mempengaruhi perilaku pembiayaan sektor swasta. Hasil simulasi dampak realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan tanpa adanya sektor yang menjadi prioritas terhadap penyebaran pengeluaran pemerintah dan kredit perbankan disajikan pada Tabel 36 dan 37.

166 Tabel 36. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Terhadap Alokasi Pengeluaran Sektor-sektor Pembangunan Tingkat realokasi pengeluaran rutin No Sektor pengeluaran pembangunan Perubahan Nilai simulasi 5% 10% 15% 5% 10% 15% Bengkulu 1 Transportasi (%) 1.16 2.08 2.84 12.76 13.68 14.44 2 Pengembangan Wilayah (%) 0.49 0.88 1.20 7.05 7.44 7.76 3 Sumberdaya Manusia (%) 0.30 0.54 0.73 4.67 4.91 5.10 4 Sektor lain-lain (%) 0.61 1.10 1.50 13.34 13.83 14.22 Pengeluaran Pembangunan 2.56 4.60 6.26 37.82 39.86 41.52 Jambi 1 Transportasi (%) 1.09 1.97 2.70 12.75 13.63 14.35 2 Pengembangan Wilayah (%) 0.46 0.83 1.14 6.73 7.10 7.41 3 Sumberdaya Manusia (%) 0.28 0.51 0.70 5.09 5.31 5.50 4 Sektor lain-lain (%) 0.58 1.04 1.43 13.09 13.55 13.94 Pengeluaran Pembangunan 2.42 4.36 5.97 37.65 39.59 41.20 Sumbar 1 Transportasi (%) 1.05 1.91 2.61 14.87 15.72 16.43 2 Pengembangan Wilayah (%) 0.44 0.80 1.10 7.59 7.95 8.25 3 Sumberdaya Manusia (%) 0.27 0.49 0.67 5.16 5.38 5.56 4 Sektor lain-lain (%) 0.56 1.01 1.38 10.44 10.89 11.26 Pengeluaran Pembangunan 2.33 4.21 5.77 38.06 39.94 41.50 Realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan akan teralokasi untuk masing-masing sektor pengeluaran pembangunan dengan besaran bervariasi sesuai dengan respon masing-masing sektor pengeluaran terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan. Respon pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih besar dibanding sektor lainnya menyebabkan kebijakan realokasi akan diikuti peningkatan lebih besar alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi. Sektor pengeluaran pembangunan prioritas lainnya bervariasi tetapi secara umum respon alokasi pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin terhadap

167 pembangunan lebih besar dibanding sektor sumberdaya manusia dan sektor-sektor pengeluaran lainnya. Realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan memiliki tren linear untuk setiap sektor pengeluaran pembangunan, dan realokasi 15% pengeluaran rutin akan menyebabkan peningkatan sekitar 6% alokasi pengeluaran pembangunan, sehingga mendekati rata-rata alokasi pengeluaran pembangunan sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu lebih dari 41%. Peningkatan alokasi sektor-sektor dalam pengeluaran pembangunan, selanjutnya akan mempengaruhi distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 37. Tabel 37. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan Terhadap Distribusi Kredit Perbankan Tingkat realokasi pengeluaran rutin No Jenis Pembiayaan Perubahan Nilai simulasi 5% 10% 15% 5% 10% 15% Bengkulu 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -1.55-2.78-3.79 82.41 81.18 80.18 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) 1.89 3.40 4.63 29.77 31.28 32.51 3 Sektor Pertanian (%) -2.92-5.24-7.14 61.14 58.82 56.91 Jambi 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -1.55-2.79-3.82 81.25 80.00 78.98 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) 1.75 3.16 4.33 30.31 31.72 32.89 3 Sektor Pertanian (%) -2.92-5.26-7.20 64.56 62.21 60.27 Sumbar 1 Investasi dan Modal Kerja (%) -1.54-2.79-3.83 74.53 73.28 72.24 2 Usaha Kecil dan Menengah (%) 1.67 3.01 4.13 49.77 51.11 52.23 3 Sektor Pertanian (%) -2.90-5.25-7.21 51.13 48.78 46.83 Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan mengindikasikan adanya ekspansi ekonomi oleh pemerintah daerah, sehingga mendorong meningkatnya tingkat pendapatan (output perkapita). Peningkatan pendapatan ini akan berpotensi mendorong peningkatan kredit konsumsi, sehingga akan mengurangi

168 proporsi kredit investasi dan modal kerja. Pada sisi lain aktivitas pembangunan dan aksesibilitas kawasan yang meningkat akan mendorong berkembangnya dunia usaha termasuk usaha kecil dan menengah sektor jasa dan perdagangan. Perkembangan perekonomian seperti ini akan berpotensi mendorong peningkatan proporsi kredit UKM sektor non-pertanian sehingga proporsi kredit sektor pertanian mengalami penurunan. Perubahan alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan ini akan mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Evaluasi Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin untuk Pembangunan pada Masing-masing Kawasan (%) Tingkat realokasi pengeluaran rutin No Variabel 5% 10% 15% B J S B J S B J S Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -0.23-0.21-0.20-0.41-0.38-0.36-0.55-0.52-0.49 2 Pertumbuhan output 0.36 0.35 0.35 0.64 0.64 0.64 0.87 0.87 0.87 3 PDB/Kapita 0.14 0.17 0.17 0.25 0.31 0.32 0.34 0.43 0.44 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.28 0.27 0.26 0.51 0.48 0.46 0.69 0.66 0.64 2 Pengangguran terbuka -0.29-0.28-0.27-0.52-0.51-0.50-0.71-0.69-0.68 3 Pangsa TK Pertanian -0.14-0.08-0.06-0.24-0.15-0.10-0.33-0.21-0.14 Lingkungan 1 Laju deforestasi -1.74-1.52-1.89-3.12-2.75-3.41-4.26-3.76-4.67 2 Degradasi zona penyangga -0.09-0.05-0.03-0.17-0.09-0.05-0.23-0.13-0.07 3 Degradasi TNKS 0.08 0.07 0.07 0.14 0.13 0.13 0.19 0.18 0.18 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan B = Bengkulu, J = Jambi dan S = Sumatera Barat Kebijakan realokasi pengeluaran rutin memberikan dampak sesuai diharapkan untuk seluruh indikator evaluasi kecuali degradasi hutan taman nasional. Peningkatan level realokasi pengeluaran rutin juga menunjukkan trend

169 linear, dimana semakin besar realokasi akan semakin besar dampaknya bagi perkembangan ekonomi, tenaga kerja dan lingkungan. masing-masing kawasan. Semakin besar penurunan ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian akan semakin meningkat laju pertumbuhan output. Laju pertumbuhan output yang semakin tinggi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja terutama sektor nonpertanian, dan meskipun supplai tenaga kerja meningkat tetapi dengan meningkatnya daya serap tenaga akan menyebabkan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Penurunan ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian dan berkembangnya dunia usaha akan mengurangi tekanan terhadap lahan. Laju deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan semakin menurun, tetapi degradasi hutan taman nasional meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan realokasi pengeluaran rutin harus diikuti dengan penataan alokasi antar sektor dalam pengeluaran pembangunan. 6.5. Evaluasi Dampak Kombinasi Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dan Peningkatan Sektor Pembangunan Prioritas Realokasi pengeluaran rutin untuk pengeluaran pembangunan sebesar 15% sudah mendekati rasio pada periode sebelum krisis yaitu pengeluaran pemerintah yang teralokasi ± 40% untuk pengeluaran pembangunan dan sisanya ± 60% untuk pengeluaran rutin. Alokasi ini diharapkan mampu mengembalikan kondisi sosial ekonomi seperti sebelum periode krisis melalui kombinasi realokasi pengeluaran rutin dengan kebijakan sektor prioritas. Skenario kombinasi kebijakan realokasi terdiri dari dua skenario untuk masing-masing sektor prioritas, yaitu;

170 1. Realokasi 15% pengeluaran rutin yang diprioritaskan sebesar 5% untuk sektor pengeluaran pembangunan yang menjadi prioritas, dan 2. Realokasi 15% pengeluaran rutin yang diprioritaskan sebesar 10% untuk sektor pengeluaran pembangunan yang menjadi prioritas. 6.5.1. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor transportasi melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan menyebabkan perubahan dalam alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor transportasi No Jenis Pembiayaan dan Sektor 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Pengeluaran Pembangunan 6.12 5.99 5.88 8.70 8.61 8.49 1 Sektor transportasi 3.24 3.24 3.21 6.47 6.48 6.43 2 Sektor pengembangan wilayah 1.01 0.96 0.93 0.78 0.74 0.72 3 Sektor sumberdaya manusia 0.62 0.59 0.57 0.48 0.45 0.44 4 Sektor lainnya 1.26 1.20 1.17 0.97 0.93 0.90 Kredit 1 Investasi dan Modal Kerja -3.98-4.17-4.27-6.72-7.09-7.43 2 UKM 3.33 2.99 2.77-0.09-0.43-0.68 3 Pertanian -7.47-7.80-7.98-12.43-13.10-13.72

171 Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih besar akan mendorong penurunan proporsi kredit sektor produksi (investasi dan modal kerja), dan kredit sektor pertanian. Pada sisi lain peningkatan proprosi kredit UKM hanya terjadi pada tingkat prioritas 5%, sedangkan jika terus ditingkatkan akan mendorong proporsi kredit non-ukm atau usaha besar. Hal ini mengindikasikan bahwa menambah tingkat prioritas sektor transportasi tidak secara linear mempengaruhi proporsi kredit usaha kecil dan menengah. Perkembangan distribusi pembiayaan pembangunan sektor publik dan swasta ini akan mendorong perubahan dalam berbagai indikator sosial, ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Transportasi Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan (%) Tingkat prioritas untuk sektor transportasi No Variabel 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -0.59-0.57-0.56-1.04-1.02-0.99 2 Pertumbuhan output 0.97 1.02 1.04 1.86 1.94 2.01 3 PDB/Kapita 0.09 0.15 0.20-0.89-0.74-0.52 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.58 0.56 0.54 0.45 0.44 0.42 2 Pengangguran terbuka -0.71-0.71-0.71-1.05-1.06-1.07 3 Pangsa TK Pertanian -0.01 0.15 0.26 1.24 1.47 1.68 Lingkungan 1 Laju deforestasi -4.79-4.45-5.67-9.40-8.76-11.11 2 Degradasi zona penyangga -0.27-0.18-0.12-0.62-0.46-0.29 3 Degradasi TNKS 0.20 0.20 0.19 0.33 0.33 0.32 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin sebesar 15% dengan peningkatan sektor transportasi mampu medorong laju pertumbuhan output, tetapi

172 pada level 10% tidak diikuti dengan peningkatan output perkapita. Laju pertumbuhan output melalui perubahan struktural dengan menurunnya pangsa output sektor pertanian tetapi tidak diikuti dengan struktur tenaga kerja karena meningkatnya porsi tenaga sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan ini mendorong terjadinya ketimpangan distribusi output antara sektor pertanian dan non-pertanian. Penurunan output sektor pertanian yang diikuti dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja pada sektor ini mengindikasikan konsentrasi kemiskinan pada daerah pedesaan termasuk pada kawasan sekitar taman nasional. Kebijakan ini juga mampu meningkatkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran menurun meskipun terjadi peningkatan supplai tenaga kerja (partisipasi kerja). Penyerapan tenaga kerja masih lebih dominan pada sektor pertanian tetapi dengan produktivitas yang relatif lebih rendah, sehingga output berkembang tidak secepat sektor nonpertanian, sehingga terjadinya penurunan output perkapita pada prioritas 10% sebagai implikasi dari kemiskinan sektor pedesaan. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan alokasi sektor transportasi sebagai sektor prioritas akan mendorong semakin meningkatnya degradasi hutan taman nasional. Kemiskinan pada pedesaan juga menyebabkan menurunnya aksesibilitas masyarakat terhadap kepemilikan modal terutama untuk budidaya pertanian. Kemampuan modal untuk mengolah lahan ini akan mengurangi konversi hutan untuk budidaya sehingga laju deforestasi mengalami penurunan tetapi pada sisi lain akan mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat. Luas hutan

173 kawasan yang masih mampu menyediakan sumberdaya tersebut akan mengurangi tekanan terhadap hutan zona penyangga sehingga degradasi hutan zona ini menurun. Penurunan tekanan pada zona penyangga taman nasional ini diduga bersifat sementara karena peralihan pemanfaatan sumberdaya akan terjadi jika sumberdaya hutan kawasan mulai langka. Skenario kombinasi realokasi pengeluaran rutin dengan prioritas pengembangan aksesibilitas ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi bersifat terbatas. Unsur trade off antar berbagai aspek pembangunan mengindikasikan adanya opportunity cost yang harus dibayar terutama distribusi pendapatan dan kerusakan areal konservasi. Pertumbuhan output yang meningkat ternyata diikuti dengan meningkatnya ketimpangan pembangunan antar sektor dan degradasi hutan taman nasional. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pembangunan sektor transportasi guna membuka aksesibilitas kawasan harus diikuti dengan pengembangan kesempatan kerja sektor non-pertanian terutama pada daerah pedesaan. Transformasi struktural pasar tenaga kerja ini dapat dilakukan dengan keseimbangan antara alokasi pengeluaran pembangunan sektor transportasi dengan sektor lain seperti sektor industri dan dunia usaha, sumberdaya manusia dan pengembangan wilayah. 6.5.2. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran

174 sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan menyebabkan perubahan dalam alokasi sektor-sektor pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 41. Tabel 41. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor pengembangan wilayah No Jenis Pembiayaan dan Sektor 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Pengeluaran Pembangunan 7.51 7.31 7.15 9.77 9.63 9.48 1 Sektor transportasi 2.39 2.28 2.21 1.84 1.77 1.71 2 Sektor pengembangan wilayah 3.24 3.24 3.21 6.47 6.48 6.43 3 Sektor sumberdaya manusia 0.62 0.59 0.57 0.48 0.45 0.44 4 Sektor lainnya 1.26 1.20 1.17 0.97 0.93 0.90 Kredit 1 Investasi dan Modal Kerja -3.61-3.61-3.54-3.53-3.46-3.32 2 UKM 8.83 8.70 8.58 15.59 15.54 15.41 3 Pertanian -7.52-7.52-7.40-8.47-8.35-8.07 Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor pengembangan wilayah sebagaimana sektor transportasi akan mendorong peningkatan kredit sektor konsumsi, dan terindikasi dengan menurunnya proporsi kredit sektor produksi yaitu kredit investasi dan modal kerja. Pengembangan wilayah akan mendorong peningkatan kesempatan usaha sektor non-pertanian skala kecil sampai menengah, dan diduga menjadi faktor utama meningkatnya proporsi kredit UKM dan menurunnya proporsi kredit sektor pertanian. Perbedaan kebijakan ini dengan prioritas sektor transportasi adalah peningkatan proporsi kredit UKM tetap terjadi meskipun tingkat prioritas ditingkatkan. Perubahan dalam alokasi sektor

175 pengeluaran pembangunan dan distribusi kredit perbankan selanjutnya berpotensi mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Pengembangan Wilayah Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Tingkat prioritas untuk sektor pengembangan wilayah No Variabel 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -0.34-0.31-0.29-0.03-0.01 0.00 2 Pertumbuhan output 0.53 0.52 0.51 0.05 0.03 0.00 3 PDB/Kapita 0.21 0.26 0.25 0.03 0.03-0.01 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.57 0.55 0.53 0.43 0.41 0.39 2 Pengangguran terbuka -0.86-0.85-0.83-1.12-1.11-1.09 3 Pangsa TK Pertanian -0.27-0.19-0.17-0.20-0.18-0.21 Lingkungan 1 Laju deforestasi -2.28-1.93-2.35 0.57 0.68 0.93 2 Degradasi zona penyangga -0.01 0.06 0.09 0.33 0.35 0.33 3 Degradasi TNKS 0.23 0.23 0.22 0.31 0.30 0.30 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin dan pengembangan wilayah mampu mendorong terjadinya transformasi struktural dalam pembangunan ekonomi. Perkembangan dunia usaha terutama sektor non-pertanian menyebabkan semakin menurunnya pangsa output dan tenaga kerja sektor pertanian, serta pertumbuhan output yang didorong oleh sektor non-pertanian relatif akan lebih cepat. Laju pertumbuhan output yang lebih tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja terutama pada sektor non-pertanian, sehingga output perkapita sebagai indikator kesejahteraan rakyat juga akan meningkat.

176 Kombinasi kebijakan ini pada aspek ekonomi dan tenaga kerja mampu menghasilkan dampak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi terhadap aspek lingkungan akan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap sumberdaya lahan dan hutan. Pada peningkatan sektor pengembangan wilayah sebesar 5% masih mampu menurunkan konversi hutan untuk penggunaan lain (deforestasi) dan degradasi hutan zona penyangga khususnya pada kawasan Bengkulu tetapi pada level prioritas 10% deforestasi kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor ini sebagaimana sektor transportasi relatif sangat terbatas. Kondisi ini juga terlihat dengan peningkatan degradasi hutan taman nasional yang semakin meningkat seiring meningkatnya prioritas pengeluaran pembangunan sektor ini. Peningkatan alokasi sektor prioritas dengan level yang lebih besar tanpa diiringi dengan peningkatan realokasi pengeluaran rutin malah akan menyebabkan laju pertumbuhan output dan output perkapita yang lebih rendah. Penurunan ini merupakan implikasi dari dampak peningkatan yang cenderung menurunkan pencapaian target pembangunan baik pada aspek ekonomi, tenaga kerja maupun lingkungan. Berdasarkan skenario kebijakan kombinasi ini dapat diindikasikan bahwa sektor pengembangan wilayah sebagai prioritas juga bersifat terbatas. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor ini harus dilakukan seiring dengan peningkatan alokasi sektor lain seperti sektor sumberdaya manusia.

177 6.5.3. Evaluasi Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Prioritas peningkatan pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia melalui realokasi pengeluaran rutin mengindikasikan alokasi pengeluaran sektor ini mengalami peningkatan terbesar dibanding sektor lain. Peningkatan alokasi sektor prioritas diikuti dengan peningkatan sektor lain yang bervariasi, serta berpotensi mempengaruhi distribusi kredit perbankan seperti disajikan pada Tabel 43. Tabel 43. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Distribusi Pembiayaan Pembangunan Tingkat prioritas untuk sektor sumberdaya manusia No Jenis Pembiayaan dan Sektor 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Pengeluaran Pembangunan 7.90 7.69 7.51 10.07 9.92 9.76 1 Sektor transportasi 2.39 2.28 2.21 1.84 1.77 1.71 2 Sektor pengembangan wilayah 1.01 0.96 0.93 0.78 0.74 0.72 3 Sektor sumberdaya manusia 3.24 3.24 3.21 6.47 6.48 6.43 4 Sektor lainnya 1.26 1.20 1.17 0.97 0.93 0.90 Kredit 1 Investasi dan Modal Kerja -2.89-2.92-2.94-1.77-1.81-1.84 2 UKM 3.38 3.12 2.96 1.82 1.63 1.50 3 Pertanian -5.46-5.50-5.53-3.35-3.41-3.46 Dampak perubahan alokasi sektor pengeluaran pembangunan terhadap distribusi kredit relatif sama dengan prioritas sektor transportasi. Proporsi kredit sektor produksi (investasi dan modal kerja) dan kredit sektor pertanian akan mengalami penurunan, sedangkan proporsi kredit UKM mengalami peningkatan tetapi dengan kecenderungan menurun seiring peningkatan alokasi pengeluaran

178 pembangunan sektor sumberdaya manusia. Perubahan dalam alokasi pembiayaan pembangunan ini selanjutnya mendorong perkembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan seperti disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Evaluasi Dampak Realokasi 15% Pengeluaran Rutin dengan Prioritas Sektor Sumberdaya Manusia Terhadap Indikator Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Level realokasi untuk sektor sumberdaya manusia No Variabel 5% 10% Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Ekonomi 1 Pangsa PDB Pertanian -0.50-0.47-0.45-0.44-0.41-0.40 2 Pertumbuhan output 0.75 0.75 0.75 0.61 0.61 0.61 3 PDB/Kapita 2.24 2.32 2.19 4.68 4.74 4.41 Sosial 1 Partisipasi angkatan kerja 0.71 0.68 0.67 0.74 0.72 0.71 2 Pengangguran terbuka -0.65-0.63-0.62-0.57-0.56-0.56 3 Pangsa TK Pertanian -0.53-0.43-0.36-0.78-0.71-0.65 Lingkungan 1 Laju deforestasi -3.92-3.49-4.35-3.52-3.17-3.97 2 Degradasi zona penyangga -0.22-0.13-0.08-0.21-0.14-0.09 3 Degradasi TNKS 0.12 0.12 0.11 0.03 0.03 0.03 Keterangan: Angka Tebal menunjukkan hasil simulasi sesuai dengan diharapkan Kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin dengan sektor prioritas sumberdaya manusia mampu mendorong laju pertumbuhan output melalui perubahan struktural dalam perekonomian. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan mampu mendorong semakin meningkatnya tenaga kerja dan kesempatan kerja sektor non-pertanian, sehingga pangsa sektor non-pertanian dalam pembentukan PDB kawasan semakin meningkat. Sumberdaya manusia yang meningkat baik melalui pendidikan formal maupun non-formal seperti pelatihan tenaga kerja mampu menciptakan lapangan kerja baru yang tidak

179 tergantung pada sektor pertanian. Laju pertumbuhan output yang didorong oleh berkembangnya sektor non-pertanian ini akan mampu mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja dan pada akhirnya akan mampu mendorong semakin membaiknya kesejahteraan (output perkapita). Ketergantungan output dan tenaga kerja terhadap sektor pertanian yang semakin menurun ini, akan mengurangi tekanan terhadap lahan sehingga konversi hutan kawasan dan degradasi hutan zona penyangga akan berkurang. Pada sisi lain kecenderungan laju degradasi hutan taman nasional seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap kualitas sumberdaya manusia ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi sektor ini masih dapat dilakukan sampai batas tertentu. Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia akan terus mendorong terjadinya peningkatan output perkapita dan penurunan degradasi taman nasional tetapi pada batas tertentu akan berdampak negatif terhadap aspek lain seperti laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran. Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa realokasi pengeluaran rutin yang dengan prioritas peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sumberdaya manusia akan memberikan hasil yang relatif lebih baik dalam menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek pembangunan. Untuk mencapai hasil yang lebih baik maka upaya peningkatan alokasi pengeluaran sektor ini sebaiknya juga diikuti dengan meningkatkan realokasi pengeluaran rutin untuk pembangunan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penurunan alokasi pengeluaran pembangunan sektor lain sebagai pendukung kebijakan, dan mampu

180 meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak diikuti dengan meningkatnya degradasi hutan taman nasional. 6.6. Evaluasi Dampak Kombinasi Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin dan Sektor Prioritas untuk Pembangunan Berkelanjutan Hasil simulasi kebijakan pembangunan sektoral atau hanya memperhatikan salah satu aspek pembangunan saja tanpa adanya peningkatan pengeluaran pembangunan melalui realokasi pengeluaran rutin hanya akan menimbulkan opportunity cost pada aspek lain. Hal ini terjadi karena adanya unsur trade off antara berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi tetapi tidak diikuti dengan pengendalian laju pertumbuhan penduduk akan memberikan dampak relatif kecil bagi tingkat kesejahteraan. Hal yang sama juga terjadi jika pertumbuhan output hanya mengandalkan salah satu sektor saja dan mengabaikan aspek keseimbangan antara sektor akan menimbulkan masalah baru seperti semakin timpangnya distribusi pendapatan. Pembangunan ekonomi kawasan yang masih bertumpu pada sektor pertanian tanpa diikuti dengan transformasi struktural akan menyebabkan tekanan lebih besar terhadap lahan seperti meningkatnya konversi hutan kawasan dan degradasi hutan pada areal konservasi. Pada sisi lain perubahan struktur ouput guna mendorong peningkatan laju pertumbuhan output tanpa diikuti perubahan struktur tenaga kerja akan berdampak semakin meningkatnya ketimpangan antara sektor pertanian (pedesaan) dan industri (urban). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk miskin pada daerah pedesaan, yang potensial

181 menjadi faktor pendorong utama terjadinya eksploitasi kawasan konservasi seperti taman nasional. Untuk itu upaya perlindungan taman nasional membutuhkan kebijakan pembangunan yang terintegrasi dengan memperhatikan keseimbangan tiga aspek pembangunan atau yang lebih dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability development). Hasil simulasi sebelumnya mengindikasikan bahwa kebijakan realokasi pengeluaran rutin yang diikuti dengan prioritas pengembangan sektor sumberdaya manusia memberikan hasil yang relatif lebih baik dibanding dengan prioritas sektor prioritas lainnya (transportasi dan pengembangan wilayah). Peningkatan alokasi pengeluaran pembangunan sektor sumberdaya manusia melalui realokasi pengeluaran rutin menunjukkan trend yang positif bagi upaya perlindungan taman nasional. Hal ini mengindikasikan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor ini masih dapat dilakukan tetapi harus diikuti dengan peningkatan realokasi pengeluaran rutin. Berdasarkan trend ini dilakukan kombinasi kebijakan realokasi pengeluaran rutin sebesar 20% dengan alokasi sebesar 15% diprioritaskan untuk pengembangan sumberdaya manusia, dan selanjutnya disebut dengan kebijakan alokasi pengeluaran pembangunan berkelanjutan 6.6.1. Alokasi Pengeluaran Pemerintah Berkelanjutan Kebijakan alokasi pengeluaran pembangunan berkelanjutan ini akan menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam alokasi pengeluaran sektor sumberdaya manusia dan diikuti dengan sektor lainnya kecuali sektor pertanian.

182 Alokasi untuk masing-masing sektor pengeluaran dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan disajikan pada Tabel 45. Tabel 45. Perubahan dan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan No Sektor Pembiayaan Perubahan (%) Hasil Simulasi (%) Bengkulu Jambi Sumbar Bengkulu Jambi Sumbar Pengeluaran Pembangunan 1 Transportasi 2.19 2.10 2.04 13.79 13.75 15.85 2 Pengembangan Wilayah 0.92 0.89 0.86 7.48 7.15 8.01 3 Sumberdaya Manusia 9.71 9.72 9.64 14.08 14.52 14.53 4 Lain-lain 1.16 1.11 1.08 13.88 13.62 10.96 Jumlah 13.97 13.82 13.62 50.76 50.95 50.65 Kredit 1 Investasi dan Modal Kerja -1.86-1.92-1.97 82.10 80.88 74.10 2 UKM 1.75 1.53 1.39 29.63 30.10 49.49 3 Pertanian -3.53-3.62-3.72 60.53 63.86 50.32 Tabel 45 menunjukkan bahwa realokasi pengeluaran rutin sebesar 20% akan meningkatkan alokasi pengeluaran pembangunan lebih dari 13.5% dengan peningkatan terbesar sektor sumberdaya manusia yaitu lebih dari 9%. Peningkatan juga terjadi pada seluruh alokasi sektor pengeluaran lain, kecuali sektor pertanian yang mengalami penurunan tetapi relatif kecil yaitu 0.05%. Alokasi sektor pengeluaran lain yang mengalami kenaikan cukup besar adalah sektor transportasi, sedangkan sektor pengembangan wilayah dan sektor-sektor lainnya mengalami peningkatan kecil dari 1%. Hal ini sebagai implikasi dari respon pengeluaran pembangunan sektor transportasi yang lebih tinggi terhadap perubahan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan dibanding sektor-sektor pengeluaran lainnya.

183 Realokasi menyebabkan rasio pengeluaran rutin dan pembangunan mendekati 50:50 yang menunjukkan batas minimal pengeluaran pembangunan, guna mencapai peningkatan kesejahteraan tanpa adanya peningkatan tekanan terhadap taman nasional. Alokasi pengeluaran pembangunan terbesar pada masing-masing kawasan berbeda, yaitu untuk kawasan Bengkulu dan Jambi sektor sumberdaya manusia diikuti dengan sektor transportasi dan pengembangan wilayah, sedangkan untuk kawasan Sumatera Barat sektor transportasi diikuti dengan sektor sumberdaya manusia dan pengembangan wilayah. Sektor pengeluaran pembangunan lain yang cukup besar pada ketiga kawasan yaitu sektor kesejahteraan sosial dan sektor lainnya. Alokasi ini mengindikasikan bahwa pengembangan sumberdaya manusia harus diikuti dengan peningkatan aksesibilitas dan pengembangan kawasan, serta upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Pada sisi lain pengembangan industri dan dunia usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja non-pertanian lebih banyak diserahkan pada sektor swasta dan pemerintah daerah hanya berperan sebagai motivator dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan dan sumberdaya manusia. Hal yang sama terjadi untuk pengembangan sektor pertanian penurunan alokasi ditujukan untuk mengurangi ekspansi lahan yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan. Tabel 45 juga menunjukkan bahwa perubahan struktural dalam pengeluaran pemerintah daerah atau sektor publik ini diikuti dengan perubahan distribusi masing-masing kelompok kredit perbankan. Peningkatan output perkapita mendorong peningkatan kredit konsumsi yang lebih tinggi dibanding

184 kredit investasi dan modal kerja, sehingga proporsi kredit investasi dan modal kerja mengalami penurunan. Pada sisi lain peningkatan proporsi kredit UKM merupakan implikasi dari berkembangnya berbagai jenis usaha kecil akibat meningkatnya aksesibilitas dan perkembangan kawasan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan memotivasi munculnya wirausahawan baru pada sektor industri dan jasa. Usaha kecil dan menengah akan berkembang dan kebutuhan modal akan meningkat baik untuk memulai maupun pengembangan usaha sehingga proporsi kredit UKM meningkat dan pada sisi lain usaha besar akan lebih dominan berkembang melalui investasi sektor swasta yang dananya diduga berasal pemilik modal dari luar kawasan. Perkembangan UKM juga lebih didominasi oleh usaha sektor nonpertanian dan ini terindikasi dengan menurunnya proporsi kredit sektor pertanian. Penurunan proporsi kredit sektor pertanian ini disamping akibat berkembangnya UKM non-pertanian juga akibat berkurangnya aktivitas pembangunan sektor pertanian seiring berkurangnya alokasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian. Perubahan dalam pembiayaan pembangunan ini akan mempengaruhi berbagai indikator ekonomi, sosial dan lingkungan. 6.6.2. Evaluasi Dampak Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pembangunan Berkelanjutan pada Aspek Ekonomi Kebijakan mendorong terjadinya transformasi struktural dalam pembangunan ekonomi, yaitu menurunnya peran sektor pertanian dalam pembentukan output dan penyerapan tenaga kerja disajikan pada Tabel 46.

185 Tabel 46. Evaluasi Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Struktur Perekonomian Kawasan Indikator No Kawasan Nilai Pangsa output sektor pertanian (%) Pangsa tenaga kerja sektor pertanian (%) Dasar 44.59 73.23 1 Bengkulu Simulasi 44.05 72.10 Perubahan -0.54-1.12 Dasar 45.20 73.62 2 Jambi Simulasi 44.68 72.59 Perubahan -0.52-1.03 Dasar 34.90 66.41 3 Sumbar Simulasi 34.40 65.45 Perubahan -0.50-0.95 Tabel 46 menunjukkan bahwa kebijakan ini mendorong terjadinya transformasi struktural pembangunan baik pada pasar output maupun tenaga kerja. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam pembentukan output kawasan, diikuti dengan penurunan peran sektor ini dalam penyerapan tenaga. Perubahan dalam struktur output kawasan akan mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian. Perbandingan antar kawasan menunjukkan bahwa semakin besar penurunan pangsa output sektor pertanian, semakin besar migrasi tenaga kerja sehingga porsi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian semakin kecil. Hal ini terindikasi dari penurunan pangsa output sektor pertanian kawasan Bengkulu yang diikuti dengan penurunan lebih besar pangsa tenaga sektor primer ini dibanding kawasan lainnya. Penurunan pangsa output sektor pertanian kawasan Bengkulu terutama didorong oleh menurunnya pangsa sub-sektor perkebunan dan pangan, meskipun pangsa sub-sektor kehutanan meningkat sebagai implikasi peningkatan produksi kayu budidaya yang berasal