5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain PAD yang sah. PAD merupakan salah satu sumber pembelanjaan daerah. Jika PAD meningkat maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi. Hal tersebut akan meningkatkan kemandirian daerah, sehingga pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi potensi daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. PAD adalah semua pendapatan yang diusahakan dan dikelola oleh daerah serta bersumber dari daerah itu sendiri yang merupakan total dari hasil-hasil pajak daerah, dinas-dinas daerah, dan pendapatan lainnya di luar pendapatan non asli. PAD merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus terus dipacu karena kontribusinya penting dalam peningkatan kemandirian Pemda (Pemerintah Daerah) agar tidak tergantung pada transfer Pempus (Pemerintah Pusat). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa PAD dipengaruhi oleh PDRB, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Seperti terlihat dalam Tabel 8 dan 9, pajak dan retribusi, yang merupakan komponen penyusun PAD, dipengaruhi secara nyata positif oleh PDRB, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Kesenjangan fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Kapasitas fiskal terdiri dari PAD dan DBH, kebutuhan fiskal merupakan total pengeluaran pemerintah. Sehingga semakin besar kesenjangan fiskal maka daerah diharapkan berusaha menggali sumber-sumber penerimaan potensial yang baru, dengan kata lain mendapatkan sumber pajak dan retribusi yang baru atau meningkatkan jumlahnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pajak terdiri dari PDRB dan kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Semua faktor tersebut berpengaruh nyata positif terhadap penerimaan pajak. Elastisitas terbesar dimiliki oleh PDRB, yaitu 0.651, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap kenaikan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar persen. Sedangkan jumlah penduduk elastisitasnya sebesar 0.118, yang berarti

2 76 dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen setiap kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar persen. Tabel 8 Hasil Estimasi Persamaan Pajak Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(1) intersep PDRB PDRB FISGAP fiskal gap POP populasi Adj. R 2 : d: 0.82 Faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi seperti sudah disebutkan di atas terdiri dari PDRB sektor non pertanian, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Elastisitas PDRB sektor non pertanian sebesar yang berarti dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen setiap kenaikan PDRB non pertanian sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan retribusi sebesar persen. Elastisitas kesenjangan fiskal sebesar 0.442, yang berarti dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen setiap kenaikan kesenjangan fiskal sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan retribusi sebesar persen. Koefisien jumlah penduduk sebesar 0,641, yang berarti dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen setiap kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan retribusi sebesar persen. Tabel 9 Hasil Estimasi Persamaan Retribusi di Indonesia Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(8) intersep PDRBNA PDRB sektor non pertanian FISGAP fiskal gap POP populasi Adj. R 2 : d: 0.64 Dana bagi hasil terdiri dari dana bagi hasil pajak dan SDA. Dana perimbangan pada dasarnya merupakan komponen dana perimbangan yang mendasarkan perhitungan perimbangan keuangan berdasarkan potensi daerah penghasil (Boediono, 2002). Dalam penelitian ini potensi daerah penghasil digambarkan dengan dummy SDA migas dan SDA pertambangan umum. Dari

3 77 tabel berikut dapat dilihat bahwa PDRB pertambangan dan penggalian berpengaruh nyata positif terhadap bagi hasil SDA. Setiap kenaikan PDRB pertambangan dan penggalian sebesar 1 persen akan meningkatkan bagi hasil SDA sebesar 1,219 persen. Tabel 10 Hasil Estimasi Persamaan Bagi Hasil SDA Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(15) intersep PDRBM PDRB pertambangan DSDAmigas dummy SDA migas DSDAtambang dummy SDA tambang Adj. R 2 : d: 1.00 Dana bagi hasil pajak merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Jenis pajak yang masuk dalam kategori ini adalah Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dana bagi hasil pajak terdiri dari PDRB perkapita dan investasi. PDRB perkapita mencerminkan daya beli penduduk suatu daerah, sehingga semakin besar PDRB perkapita maka output semakin besar, dan pajak dari produksi output tersebut semakin besar pula. PDRB perkapita berpengaruh nyata positif terhadap dana bagi hasil pajak, dengan elastisitas sebesar 0.711, artinya dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen setiap kenaikan PDRB perkapita sebesar 1 persen maka akan meningkatkan dana bagi hasil pajak sebesar persen. Investasi juga berpengaruh nyata positif terhadap bagi hasil pajak, dengan elastisitas sebesar 0.574, yang berarti dengan jika investasi naik 1 persen maka Bagi Hasil Pajak akan naik persen. Tabel 11 Hasil Estimasi Persamaan Bagi Hasil Pajak Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(22) intersep PDRBKP PDRB perkapita INV investasi Adj. R 2 : d: 0.83

4 78 Faktor-faktor yang mempengaruhi DAU dapat dilihat pada Tabel 12. Formula DAU menggunakan pendekatan fiscal gap, yaitu kebutuhan daerah dibandingkan dengan potensi penerimaan daerah. Alokasi DAU digunakan untuk menutup gap yang terjadi apabila kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAU secara nyata dalam penelitian ini yaitu kapasitas fiskal, jumlah pengeluaran, luas wilayah, dan jumlah penduduk. Kapasitas fiskal berpengaruh negatif terhadap DAU. Kapasitas fiskal mencakup PAD dan dana perimbangan. Kapasitas fiskal berpengaruh nyata negatif karena semakin besar kapasitas fiskal, maka daerah semakin mandiri sehingga bantuan dari pusat semakin kecil. Faktor-faktor lain selain kapasitas fiskal berpengaruh positif terhadap DAU. Tabel 12 Hasil Estimasi Persamaan DAU Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(26) intersep KAPFIS kapasitas fiskal TKL total pengeluaran P0 persentase pddk. miskin LUAS luas wilayah POP jumlah penduduk Adj. R 2 : d: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah Berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah membawa perubahan pada sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintahan daerah. UU ini menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan Pemda maka Pemerintah Pusat akan mentransfer dana perimbangan kepada Pemda. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintahan dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh daerah. Adanya transfer dana ini bagi Pemda merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri. Namun kenyataannya transfer dari Pempus merupakan sumber dana utama Pemda untuk membiayai belanja daerah. Sehingga belanja daerah lebih dipengaruhi oleh

5 79 sumber pembiayaan yang berasal dari transfer. Seperti terlihat dari tabel berikut, dana perimbangan berpengaruh nyata positif terhadap pengeluaran pertanian sedangkan pengaruhnya terhadap pengeluaran industri dan infrastruktur juga positif tetapi tidak signifikan. PAD berpengaruh positif terhadap pengeluaran pertanian dan infrastruktur tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa di Indonesia berlaku flypaper effect, hal tersebut berlaku untuk pengeluaran pertanian, dimana dana perimbangan lebih besar dan nyata pengaruhnya terhadap pengeluaran pertanian dari pada PAD. Hal itu berarti stimulus terhadap pengeluaran pertanian yang ditimbulkan oleh transfer lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengeluaran pertanian masih tergantung dari dana dari pemerintah pusat dan belum tercapai kemandirian daerah. Faktor-faktor yang berpangaruh nyata terhadap pengeluaran pertanian yaitu PDRB sektor pertanian, dana perimbangan, dan pengeluaran pertanian tahun sebelumnya. Dana perimbangan mempunyai elastisitas sebesar 0.31, dengan tingkat kepercayaan 99 persen dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan dana perimbangan sebesar 1 persen akan meningkatkan pengeluaran pertanian sebesar 0.31 persen. Tabel 13 Hasil Estimasi Persamaan Pengeluaran Pertanian Variabel Uraian Koefisien Prob. Elastisitas Jk. Pendek Jk.Panjang C(48) intersep PDRBA PDRB sektor pertanian PAD PAD DIMB dana perimbangan PTANI(-1) lag pengeluaran pertanian Adj. R 2 : h: Pengeluaran industri dipengaruhi secara nyata oleh PDRB sektor industri dan PAD. Elastisitas PDRB sektor industri sebesar 0.152, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap peningkatan PDRB sektor industri sebesar 1 persen akan meningkatkan pengeluaran industri sebesar persen. PAD berpengaruh nyata positif terhadap pengeluaran industri dengan elastisitas jangka

6 80 pendek sebesar 0.3 dan jangka panjang sebesar Sedangkan dana perimbangan tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran industri, berarti PAD memberikan stimulus yang lebih besar terhadap pengeluaran industri dari pada dana perimbangan. Tabel 14 Hasil Estimasi Persamaan Pengeluaran Industri Variabel Uraian Koefisien Prob. Elastisitas Jk.Pendek Jk.Panjang C(123) intersep PDRBI PDRB sektor industri PAD PAD DIMB dana perimbangan PIND(-1) lag pengeluaran industri Adj. R 2 : h: Tabel 15 menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur terdiri dari PDRB sektor jasa, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran infrastruktur tahun sebelumnya. Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata terhadap pengeluaran infrastruktur hanyalah PDRB sektor jasa. Tabel 15 Hasil Estimasi Pengeluaran Infrastruktur di Indonesia Variabel Uraian Koefisien Prob. Elastisitas Jk. Pendek Jk.Panjang C(56) intersep PDRBS PDRB sektor jasa PAD PAD DIMB dana perimbangan PINFR(-1) lag pengeluaran infrastruktur Adj. R 2 : h: Elastisitas jangka pendek PDRB sektor jasa sebesar 0.442, dengan tingkat kepercayaan 99 persen dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan PDRB sektor jasa sebesar 1 persen akan meningkatkan pengeluaran infrastruktur sebesar persen, sedangkan elastisitas jangka panjangnya sebesar 0.439, yang berarti peningkatan PDRB sektor jasa sebesar 1 persen dalam jangka panjang (respon tak

7 81 langsung dari perubahan PDRB sektor jasa terhadap pengeluaran infrastruktur melalui multiplier effect) akan meningkatkan pengeluaran infrastruktur sebesar persen. 5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB Sesuai dengan fungsi produksi Cobb Douglas, dimana output merupakan fungsi dari kapital dan tenaga kerja, maka faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB dalam penelitian ini terdiri dari pengeluaran pemerintah, investasi swasta, dan tenaga kerja. Semua faktor tersebut dihipotesiskan berpengaruh positif terhadap PDRB. Pengeluaran pertanian, tenaga kerja sektor pertanian dan investasi swasta berpengaruh nyata positif terhadap PDRB sektor pertanian. Elastisitas terbesar dimiliki oleh tenaga kerja sektor pertanian, dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap kenaikan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar persen. Pertanian merupakan sektor yang padat karya sehingga elastisitas tenaga kerjanya lebih besar dari pada elastisitas pengeluaran pertanian dan investasi. Pengeluaran pertanian berpengaruh nyata positif terhadap PDRB sektor pertanian dengan elastisitas sebesar 0.156, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap kenaikan tenaga kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar persen. Tabel 16 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Pertanian Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(70) intersep PTANI pengeluaran pertanian TKA tenaga kerja pertanian INV investasi Adj. R 2 : d: 0.27 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektor industri dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Faktor-faktor tersebut antara lain terdiri dari pengeluaran pemerintah untuk industri, investasi swasta, dan tenaga kerja sektor industri. Faktor-faktor tersebut berpengaruh nyata positif terhadap PDRB sektor industri. Elastisitas pengeluaran industri sebesar 0.378, yang berarti setiap kenaikan

8 82 pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sektor industri sebesar persen, pada tingkat kepercayaan 99 persen. Elastisitas investasi sebesar 0.639, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen peningkatan investasi swasta sebesar 1 persen akan memingkatkan PDRB sektor industri sebesar persen. Tenaga kerja sektor industri berpengaruh nyata positif terhadap PDRB sektor industri dengan elastisitas sebesar 0.362, nilainya terkecil diantara kedua variabel lainnya karena industri merupakan sektor yang padat modal. Tabel 17 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Industri Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(77) intersep PIND pengeluaran industri TKI tenaga kerja industri INV investasi Adj. R 2 : d: 0.32 Sektor jasa yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan Jasa-Jasa. PDRB sektor jasa dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, terdiri dari pengeluaran perdagangan, pariwisata, komunikasi dan informatika, tenaga kerja, lingkungan hidup, perhubungan, penataan ruang, dan perumahan. Tabel 18 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Jasa Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(84) intersep PINFR pengeluaran infrastruktur TKI tenaga kerja sektor jasa INV investasi Adj. R 2 : 82.6 d: 1.07 Sedangkan tenaga kerja jasa dalam penelitian ini mencakup tenaga kerja sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan Jasa-Jasa. Pengeluaran

9 83 pemerintah untuk infrastruktur, investasi, dan tenaga kerja berpengaruh nyata positif terhadap PDRB sektor jasa, dengan elastisitas terbesar dimiliki oleh pengeluaran infrastruktur, yaitu sebesar Elastisitas tenaga kerja sektor jasa sebesar 0.174, sedangkan elastisitas investasi sebesar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Penawaran tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja, begitu juga dengan permintaan tenaga kerja. Permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung pada permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi oleh perusahaan itu. Sehingga permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand). Todaro dan Smith (2000) menyatakan bahwa dalam pasar persaingan sempurna tidak ada produsen dan konsumen yang bisa mempengaruhi harga input, harga output, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan tingkat upah, hal itu ditentukan oleh harga output dan faktor produksi selain tenaga kerja. Kesempatan kerja dapat tercapai jika terjadi permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja. Besarnya tenaga kerja dalam jangka pendek tergantung dari besarnya efektivitas permintaan tanaga kerja yang dipengaruhi oleh kemampuan substitusi antar tenaga kerja dan faktor produksi yang lain, elastisitas permintaan hasil produksi, dan elastisitas penyediaan faktor-faktor pelengkap lainnya. Dalam statistik ketenagakerjaan di Indonesia kesempatan kerja merupakan jumlah orang yang bekerja tanpa memperhitungkan berapa pekerjaan yang dimiliki tiap orang, pendapatan, dan jam kerja mereka. Koefisien tenaga kerja lain dalam hasil pengolahan semua positif, hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada substitusi tenaga kerja antara tenaga kerja suatu sektor dengan tenaga kerja sektor lain. Permintaan output dalam penelitian ini didekati dengan PDRB. Sedangkan harga input dan harga tenaga kerja (upah) tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena adanya keterbatasan data. Faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 19. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yaitu PDRB sektor pertanian dan tenaga kerja sektor selain pertanian. Elastisitas PDRB sektor pertanian sebesar 0.929, yang berarti

10 84 dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah tenaga kerja sektor pertanian sebesar persen. Koefisien tenaga kerja non pertanian bertanda positif yang berarti tidak ada substitusi antara tenaga kerja pertanian dengan non pertanian. Tabel 19 Hasil Estimasi Persamaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(91) intersep PDRBA PDRB sektor pertanian TKNA tenaga kerja non pertanian Adj. R 2 : d: 0.05 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri dapat dilihat pada Tabel 20. Penyerapan tenaga kerja sektor industri dipengaruhi oleh PDRB sektor industri dan tenaga kerja sektor non industri. Semua faktor tersebut berpengaruh nyata positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri. Tabel 20 Hasil Estimasi Persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(98) intersep PDRBI PDRB sektor industri TKNI tenaga kerja non industri Adj. R 2 : d: 0.04 Elastisitas PDRB sektor industri sebesar yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah tenaga kerja sektor industri sebesar Elastisitas ini relatif kecil dibandingkan dengan elastisitas PDRB sektor pertanian, hal ini menandakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang lebih bisa menyerap tenaga kerja daripada sektor industri, atau dengan kata lain sektor pertanian merupakan sektor yang padat karya. Koefisien tenaga kerja non industri bertanda positif yang berarti tidak ada substitusi antara tenaga kerja industri dengan non industri.

11 85 Penyerapan tenaga kerja sektor jasa dipengaruhi secara nyata oleh PDRB sektor jasa dan tenaga kerja sektor non jasa. Elastisitas PDRB sektor jasa sebesar yang berarti dengan tingkat kepercayaan 99 persen setiap kenaikan PDRB sektor jasa sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah tenaga kerja sektor jasa sebesar persen. Koefisien tenaga kerja non jasa bertanda positif yang berarti tidak ada substitusi antara tenaga kerja sektor jasa dengan non jasa. Tabel 21 Hasil Estimasi Persamaan Tenaga Kerja Sektor Jasa Variabel Uraian Koefisien Probabilita Elastisitas C(105) intersep PDRBI PDRB sektor jasa TKNS tenaga kerja non jasa Adj. R 2 : d: 0.02 Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengeluaran industri adalah pengeluaran yang mampu menciptakan PDRB yang paling besar, tetapi kemampuan PDRB sektor tersebut dalam menciptakan lapangan pekerjaan lebih kecil dari PDRB sektor pertanian. Hal ini menandakan bahwa meskipun sektor industri merupakan sektor yang paling besar stimulusnya terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi sektor tersebut tidak bisa menyerap tenaga kerja sebanyak sektor pertanian, karena sektor industri merupakan sektor yang padat modal, sedangkan sektor pertanian merupakan sektor yang padat karya. 5.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kemiskinan yaitu PDRB per kapita, garis kemiskinan, trend dan persentase penduduk miskin tahun sebelumnya. Pendapatan per kapita berpengaruh nyata negatif terhadap kemiskinan dengan elastisitas jangka pendek sebesar , sedangkan elastisitas jangka panjangnya sebesar PDRB per kapita ini nyata pada taraf 5 persen. Peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti oleh pemerataan pendapatan akan cenderung menurunkan penduduk miskin, karena masyarakat yang paling bawah tingkat pendapatannya juga akan ikut terangkat bersamaan dengan peningkatan pendapatan per kapita.

12 86 Garis kemiskinan berpengaruh nyata positif terhadap kemiskinan, dengan elastisitas Garis kemiskinan mempengaruhi kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Variabel trend digunakan untuk menangkap keragaman antar tahun yang tidak terukur, yang tidak bisa direpresentasikan, misalnya perubahan teknologi, kalau dalam penelitian ini misalnya pemberian bantuan pada suatu tahun. Tabel 22 Hasil Estimasi Persamaan Kemiskinan Variabel Uraian Koefisien Prob. Elastisitas Jk.Pendek Jk.Panjang C(113) intersep PDRBKP PDRB per kapita GK garis kemiskinan TREND trend p0(-1) lag persentase pddk. miskin Adj. R 2 : h: Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Hasil validasi model penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 23. Validasi model dalam penelitian ini menggunakan Root Mean Square Percent Error (RMSPE), Koefisien Theil s (U-Theil) dan koefisien determinasi (R 2 ). RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen menyimpang dari nilai aktualnya dalam ukuran persen. Semua nilai RMSPE dalam penelitian ini di bawah 100 persen, yang tertinggi adalah variabel pengeluaran industri sebesar persen. Sehingga penyimpangan semua variabel endogen hasil estimasi dengan nilai aktualnya di bawah 60 persen. U-Theil berguna untuk mengetahui daya prediksi model untuk analisis simulasi. Dalam penelitian ini semua nilai koefisien Theil di bawah 0.15, nilai koefisien Theil yang tertinggi adalah koefisien Theil variabel pengeluaran industri, sebesar 0.147, sehingga model layak digunakan untuk peramalan. Nilai koefisien determinasi (R-Squared) dalam penelitian ini yang paling kecil adalah persen, dimiliki oleh variabel pengeluaran industri, hal tersebut tidak

13 87 terlalu buruk karena masih di atas 50 persen, selain itu sebagian besar di atas 90 persen, yang tertinggi adalah variabel total tenaga kerja sebesar persen, sehingga hasil validasi menggunakan koefisien determinasi cukup bagus. Koefisien determinasi menentukan seberapa besar variabel endogen hasil estimasi dapat menjelaskan variabel endogen aktual. Berdasarkan nilai RMSPE, U-Theil, dan koefisien determinasi maka dapat disimpulkan bahwa model layak digunakan untuk peramalan. Tabel 23 Hasil Validasi Model Fiskal dan Perekonomian di Indonesia Variabel Nilai dasar Nilai Aktual RMSPE Koef. U R-squared Pajak Retribusi Bagi hasil SDA Bagi hasil pajak DAU PAD Dana bagi hasil Dana perimbangan Total penerimaan Pengeluaran pertanian Pengeluaran industri Pengeluaran infrastruktur Total pengeluaran Kapasitas Fiskal Kesenjangan Fiskal PDRB sektor pertanian PDRB sektor industri PDRB sektor jasa PDRB PDRB perkapita Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja jasa Total tenaga kerja Kemiskinan Dampak Simulasi Kebijakan Simulasi penerimaan dalam penelitian ini dilakukan melalui peningkatan pajak, retribusi, bagi hasil SDA, bagi hasil pajak, dan DAU masing-masing

14 88 sebesar 10 persen. Simulasi tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa kenaikan DAU pada tiga tahun terakhir rata-rata sebesar 10 persen dan DAU tahun ini tidak boleh lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya. Alokasi DAU digunakan untuk menutup gap yang terjadi akibat kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerah. Oleh karena itu awal dari simulasi penerimaan dalam penelitian ini adalah peningkatan DAU sebesar 10 persen, kemudian diikuti oleh peningkatan dana bagi hasil dan PAD dengan persentase yang sama. Simulasi dilakukan dengan meningkatkan pengeluaran sektor industri sebesar 100 persen. Hal tersebut dilakukan karena sektor industri merupakan sektor yang berperan strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi karena sektor ini terkait langsung dalam menciptakan lapangan kerja, menambah penghasilan, dan mengurangi kemiskinan. Selain itu dilakukan simulasi dengan meningkatkan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen.karena sektor pertanian merupakan sektor yang berkaitan erat dengan ketersediaan pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga sektor tersebut berperan penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Kemudian untuk mengetahui alokasi anggaran yang tepat diantara ketiga sektor, maka dilakukan simulasi dengan peningkatan pengeluaran sektor infrastruktur yang senilai dengan 10 persen anggaran sektor pertanian, yaitu kurang lebih 7 persen. Dampak berbagai simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal dan perekonomian provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 24. Peningkatan pajak sebesar 10 persen memberikan dampak positif terhadap semua variabel, kecuali retribusi, DAU, dana perimbangan, kesenjangan fiskal, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Jika terjadi kenaikan pajak maka PAD naik, kenaikan PAD akan meningkatkan kapasitas fiskal, karena kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil. Dengan adanya peningkatan kapasitas fiskal, maka kesenjangan fiskal akan turun, dan hal tersebut akan menurunkan penerimaan retribusi. Pajak merupakan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, sehingga peningkatannya akan menurunkan DAU. Penurunan DAU berdampak pada penurunan dana perimbangan, karena komponen dana perimbangan adalah dana bagi hasil, DAU, dan DAK. Peningkatan pajak menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan.

15 89 Tabel 24 Variabel Dampak Berbagai Simulasi Kebijakan terhadap Kinerja Fiskal dan Ekonomi di Indonesia Tahun (%) Nilai dasar Skenario Pajak Retribusi Bagi hasil SDA Bagi hasil pajak DAU PAD Dana bagi hasil Dana perimbangan Total penerimaan Pengeluaran pertanian Pengeluaran industri Pengeluaran infrastruktur Total pengeluaran Kapasitas Fiskal Kesenjangan Fiskal PDRB sektor pertanian PDRB sektor industri PDRB sektor jasa PDRB PDRB perkapita Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja jasa Total tenaga kerja Distribusi pendapatan Kemiskinan Ket. : Skenario 1= peningkatan pajak 10% Skenario 2= peningkatan retribusi 10% Skenario 3= peningkatan bagi hasil SDA 10% Skenario 4= peningkatan bagi hasil pajak 10% Skenario 5= peningkatan DAU 10% Skenario 6= peningkatan pengeluaran pertanian 10% Skenario 7= peningkatan pengeluaran industri 100% Skenario 8= peningkatan pengeluaran infrastruktur 7% Peningkatan pajak menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan karena salah satu fungsi pajak adalah redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Dengan menurunnya ketimpangan distribusi pendapatan maka rata-rata provinsi di Indonesia telah berhasil melaksanakan

16 90 fungsi redistribusi. Fungsi redistribusi pajak terlihat pada pengenaan pajak progresif di Indonesia, dimana tarif pengenaan pajak dilakukan dengan persentase yang semakin tinggi dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik (Wikipedia, 2010), misalnya pajak progresif kendaraan bermotor. Pajak yang dipungut pemerintah akan digunakan untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Penurunan kemiskinan terjadi karena peningkatan PAD akan meningkatkan pengeluaran sektoral, peningkatan pengeluaran sektoral akan meningkatkan PDRB sektoral, yang selanjutnya meningkatkan PDRB dan PDRB per kapita. Peningkatan PDRB per kapita akan menurunkan kemiskinan. Peningkatan pajak sebesar 10 persen akan meningkatkan PAD sebesar persen, sedangkan dampaknya terhadap total penerimaan adalah sebesar persen. Peningkatan retribusi memberi dampak positif terhadap semua variabel, kecuali pajak, DAU, dana perimbangan, kesenjangan fiskal, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Pajak dan retribusi merupakan komponen dari PAD, dimana PAD merupakan komponen dari kapasitas fiskal. Pemberian DAU digunakan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, dan antar pemerintah daerah, sehingga jika kapasitas fiskal semakin besar maka DAU semakin kecil. Peningkatan retribusi sebesar 10 persen akan meningkatkan PAD sebesar persen. Peningkatan tersebut lebih kecil dibandingkan peningkatan yang diakibatkan oleh peningkatan pajak, hal itu terjadi karena penerimaan pajak daerah lebih besar daripada penerimaan retribusi. Dampak peningkatan bagi hasil SDA dan bagi hasil pajak terhadap penerimaan pajak, retribusi, DAU, PAD, kesenjangan fiskal, dan kemiskinan adalah negatif, sedangkan dampaknya terhadap variabel fiskal dan ekonomi yang lain semua positif. Peningkatan bagi hasil SDA akan meningkatkan dana bagi hasil, yang terdiri dari bagi hasil SDA dan pajak, dengan peningkatan tersebut maka kapasitas fiskal meningkat. Peningkatan kapasitas fiskal akan menurunkan DAU. Peningkatan kapasitas fiskal juga akan menurunkan kesenjangan fiskal, karena kesenjangan fiskal merupakan selisih dari total pengeluaran dengan

17 91 kapasitas fiskal. Penurunan kesenjangan fiskal akan diikuti oleh penurunan pajak dan retribusi, sehingga PAD pun menurun. Peningkatan bagi hasil SDA sebesar 10 persen akan meningkatkan dana bagi hasil sebesar persen, sedangkan peningkatan bagi hasil pajak sebesar 10 persen akan meningkatkan dana bagi hasil sebesar persen. Dampaknya terhadap total penerimaan masing-masing untuk dana bagi hasil SDA dan pajak adalah sebesar dan persen. Dampak peningkatan DAU sebesar 10 persen akan meningkatkan penerimaan daerah sebesar persen. Peningkatan DAU akan meningkatkan dana perimbangan, peningkatan dana perimbangan akan meningkatkan pengeluaran sektoral, yang pada akhirnya meningkatkan total pengeluaran. Dampak peningkatan DAU sebesar 10 persen terhadap pengeluaran pertanian adalah peningkatan pengeluaran tersebut sebesar persen. Sedangkan dampaknya terhadap pengeluaran industri adalah peningkatan sebesar persen, untuk pengeluaran infrastruktur dampaknya yaitu persen. Dampak peningkatan DAU sebesar 10 persen terhadap total pengeluaran adalah sebesar persen. DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan, tetapi ternyata pemberian DAU kepada daerah belum mampu menurunkan kesenjangan fiskal. Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa kenaikan DAU akan meningkatkan kesenjangan fiskal sebesar persen. Meskipun belum mampu meratakan kemampuan keuangan antar daerah, DAU telah berhasil menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Peningkatan DAU sebesar 10 persen akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan sebesar masing-masing dan persen. Hal itu terjadi karena peningkatan DAU akan meningkatkan dana perimbangan, kenaikan dana perimbangan akan menaikkan pengeluaran sektoral, selanjutnya meningkatkan PDRB sektoral. Peningkatan PDRB sektoral akan meningkatkan PDRB, kemudian meningkatkan PDRB per kapita. Pertanian merupakan sektor yang berperan sangat penting bagi pembangunan perekonomian nasional karena sektor pertanian merupakan sektor yang berkaitan erat dengan ketersediaan pangan, sehingga pemerintah harus berperan aktif dalam meningkatkan output sektor tersebut melalui kebijakan

18 92 peningkatan alokasi anggaran pertanian. Dalam penelitian ini, simulasi dilakukan dengan meningkatkan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen. Kenaikan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar persen. Sedangkan dampaknya terhadap total PDRB adalah sebesar persen. Peningkatan PDRB sektor pertanian sebesar persen akan diikuti oleh penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar persen, sedangkan dampaknya terhadap total penyerapan tenaga kerja adalah sebesar persen. Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen terhadap distribusi pendapatan adalah penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar persen, sedangkan dampaknya terhadap kemiskinan adalah penurunan persentase penduduk miskin sebesar persen. Peningkatan PDRB akibat peningkatan pengeluaran pertanian akan meningkatkan pajak sebesar persen, sehingga PAD juga naik, selanjutnya meningkatkan kapasitas fiskal. Selain itu, peningkatan pengeluaran pertanian akan meningkatkan total pengeluaran sehingga kesenjangan fiskal naik, hal tersebut akan menaikkan retribusi sebesar persen. Kenaikan pengeluaran industri sebesar 100 persen akan meningkatkan PDRB sektor industri sebesar persen. Dampak peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri adalah terjadinya penyerapan tenaga kerja sektor ini sebesar persen. Dampaknya terhadap total PDRB adalah peningkatan PDRB sebesar persen, sedangkan terhadap total penyerapan tenaga kerja adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar persen. Dampak peningkatan pengeluaran industri ini begitu besar terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi hal tersebut hanya simulasi, dengan hanya memperhatikan variabel-variabel yang ada dalam sistem persamaan, tetapi dalam kenyataan tentunya tidak demikian. Karena selain dipengaruhi oleh pengeluaran industri, karakteristik daerah juga menentukan, misalnya ketersediaan bahan baku, kemampuan pasar dalam menyerap hasil produksi, dan kemampuan sumber daya manusianya. Selain itu tidak semua daerah di Indonesia bisa dijadikan kawasan industri, penentuannya harus didasarkan pada potensi yang dimiliki daerah. Jadi penentuan suatu daerah sebagai kawasan bidang tertentu harus memperhatikan potensi daerah tersebut,

19 93 misalnya pemerintah sekarang ini berencana mengembangkan Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi, dan lumbung energi nasional; Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional; Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang, dan lumbung energi nasional; Bali dan Nusa Tenggara sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional; Sulawesi dan Maluku Utara sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional; Papua dan Maluku sebagai pengolahan sumber daya alam yang melimpah. Dari hasil pengolahan dapat dikatakan bahwa meskipun sektor industri mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibanding sektor pertanian tetapi dampaknya terhadap proporsi penyerapan tenaga kerja lebih besar dilakukan oleh sektor pertanian daripada sektor industri. Hal ini terjadi karena karakteristik sektor pertanian yang padat karya, sedangkan sektor industri merupakan sektor yang padat modal. Peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar persen dan kemiskinan sebesar persen. Dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari peningkatan pengeluaran pertanian, dampak terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan lebih besar dilakukan oleh peningkatan pengeluaran industri. Karena peningkatan PDRB per kapita akibat peningkatan pengeluaran industri lebih besar dari pada peningkatan PDRB per kapita akibat peningkatan pengeluaran pertanian. Kenaikan PDRB akibat kenaikan pengeluaran industri akan menaikkan pajak, kenaikan pajak akan menaikkan PAD, selanjutnya menaikkan kapasitas fiskal. Kenaikan kapasitas fiskal akan menurunkan kesenjangan fiskal, dan hal itu akan menurunkan retribusi. Meskipun retribusi turun, tetapi PAD tidak turun, hal itu terjadi karena kenaikan pajak lebih besar daripada penurunan retribusi. Sehingga kapasitas fiskal tetap naik dan dampaknya terhadap DAU adalah penurunan sebesar persen. Kenaikan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen akan meningkatkan PDRB sektor jasa sebesar persen, yang akan diikuti dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor tersebut sebesar persen. Dampaknya terhadap total PDRB yaitu sebesar 2.12 persen, sedangkan dampaknya terhadap total penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar persen. Kenaikan pengeluaran

20 94 infrastruktur berdampak pada penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan masing-masing sebesar dan persen. Kenaikan PDRB akibat kenaikan pengeluaran infrastruktur akan menaikkan pajak, kenaikan pajak akan menaikkan PAD, selanjutnya menaikkan kapasitas fiskal. Kenaikan kapasitas fiskal akan menurunkan DAU. Berdasarkan uraian di atas maka pengeluaran industri merupakan jenis pengeluaran yang dapat memberikan dampak terbesar terhadap PDRB. Jenis pengeluaran yang memberikan dampak terbesar kedua setelah pengeluaran industri adalah pengeluaran infrastruktur, sedangkan pengeluaran pertanian memberikan dampak terkecil terhadap PDRB. Meskipun pengeluaran industri memberikan dampak terbesar terhadap PDRB tetapi dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja relatif lebih kecil dibandingkan pengeluaran pertanian. Jika peningkatan PDRB sektor industri sebesar persen mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor tersebut sebesar persen, atau kurang lebih 30 persen dari peningkatan PDRB sektor industri, maka proporsi peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian sekitar 90 persen. Pengeluaran industri juga merupakan jenis pengeluaran yang memberikan dampak terbesar pada penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Dampak berbagai simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal dan ekonomi provinsi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 25. Untuk provinsi di Jawa kenaikan penerimaan pajak dan retribusi daerah sebesar 10 persen akan meningkatkan PAD masing-masing sebesar dan persen. Sedangkan dampaknya terhadap total penerimaan adalah sebesar masing-masing dan persen. Peningkatan bagi hasil SDA sebesar 10 persen akan meningkatkan penerimaan dana bagi hasil sebesar persen, sedangkan peningkatan bagi hasil pajak sebesar 10 persen akan meningkatkan dana bagi hasil sebesar persen. Sedangkan dampaknya terhadap total penerimaan adalah kenaikan total penerimaan masing-masing sebesar dan persen. Peningkatan DAU sebesar 10 persen akan meningkatkan total penerimaan sebesar persen. Peningkatan DAU ternyata belum berhasil menurunkan kesenjangan fiskal, hal ini terjadi karena peningkatan DAU akan meningkatkan dana

21 95 perimbangan, selanjutnya akan meningkatkan pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan kebutuhan fiskal, kesenjangan fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Sehingga jika kebutuhan fiskal meningkat maka kesenjangan fiskal meningkat. Peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen berdampak pada peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja masing-masing sebesar dan persen. Sedangkan dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan adalah penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar persen dan kemiskinan sebesar persen. Peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen akan meningkatkan PDRB sebesar persen dan penyerapan tenaga kerja sebesar persen. Dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan adalah penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar persen dan penurunan kemiskinan sebesar persen. Peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen akan meningkatkan PDRB sebesar persen dan penyerapan tenaga kerja sebesar persen. Peningkatan tersebut akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan masing-masing sebesar 2.1 dan persen. Berdasarkan uraian di atas maka provinsi di Pulau Jawa, pengeluaran industri provinsi merupakan jenis pengeluaran yang memberikan dampak terbesar terhadap PDRB. Tetapi dalam hal penyerapan tenaga kerja, pengeluaran pertanian memberikan dampak yang lebih besar dari pada pengeluaran industri. Dalam hal distribusi pendapatan, pengeluaran industri memberikan dampak terbesar dalam penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Pada dasarnya dampak peningkatan pajak, retribusi, bagi hasil pajak, bagi hasil SDA hampir sama dengan dampaknya terhadap rata-rata provinsi di Jawa. Perbedaannya yaitu peningkatan DAU di luar Pulau Jawa akan menurunkan penerimaan retribusi, sedangkan di Indonesia dan Jawa berdampak sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena kenaikan DAU akan menaikkan dana perimbangan, yang selanjutnya menaikkan pengeluaran sektoral. Peningkatan pengeluaran sektoral berdampak pada kenaikan kesenjangan fiskal. Kenaikan kesenjangan fiskal seharusnya menaikkan retribusi, tetapi tidak demikian di luar Jawa, karena penerimaan retribusi dipengaruhi oleh PDRB non pertanian.

22 96

23 97 Share PDRB pertanian terhadap total PDRB di luar Pulau Jawa (14 sampai 45 persen) masih tinggi, sehingga share PDRB non pertanian di luar Pulau Jawa tidak begitu tinggi sehingga pemerintah daerah sulit menemukan sumbersumber penerimaan retribusi, sehingga penerimaan retribusi turun. Peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen akan meningkatkan PDRB sebesar persen, hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar persen. Peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 2,54 persen. Sedangkan dampaknya terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 1,254 persen. Peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen akan meningkatkan PDRB dan pengerapan tenaga kerja masing-masing sebesar dan persen. Peningkatan PDRB yang cukup besar tersebut dapat terjadi jika daerah mampu menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya secara potensial, baik sumber daya alam maupun manusia. Peningkatan tersebut di luar Pulau Jawa tidak mudah karena infrastruktur dasar yang tersedia belum memadai. Menurut Menteri Perindustrian, jika akan dilakukan penyebaran pusat industri di luar Pulau Jawa melalui klaster industri berdasarkan wilayah, maka pembagunan infrastruktur dasar harus dilakukan, misalnya pembangunan jalan, prasarana pendidikan, dll. Luasnya wilayah kabupaten di luar Pulau Jawa dengan sebaran penduduk yang tidak merata membuat infrastruktur dasar menjadi mahal dan kurang menguntungkatn secara ekonomis. Sehingga pertumbuhan PDRB sebesar sebagai akibat simulasi peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen sulit tercapai. Peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen berdampak pada penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar persen dan penurunan kemiskinan sebesar 0.12 persen. Peningkatan pengeluaran industri sebesar 100 persen akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan sebesar masing-masing 9.46 dan persen. Peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan sebesar dan persen. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk provinsi di luar Pulau Jawa pengeluaran yang berdampak paling besar terhadap PDRB adalah pengeluaran industri,

24 98 sedangkan pengeluaran yang berdampak paling besar terhadap penyerapan tenaga kerja adalah pengeluaran pertanian. Selain berdampak terbesar terhadap PDRB, pengeluaran industri juga berdampak paling besar dalam penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Selain simulasi dari sisi penerimaan dan pengeluaran, dalam penelitian ini juga dilakukan simulasi campuran, yaitu gabungan simulasi penerimaan dan pengeluaran. Simulasi campuran dilakukan dengan meningkatkan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen, meningkatkan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran industri sebesar 100 persen, meningkatkan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen. Hasil simulasi campuran dapat dilihat pada Tabel 26. Peningkatan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen di Indonesia berdampak pada peningkatan PDRB sebesar persen dan penyerapan tenaga kerja sebesar persen, sedangkan dampaknya pada kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan yaitu penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar masing-masing persen dan persen. Peningkatan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran industri sebesar 10 persen di Indonesia berdampak pada peningkatan PDRB sebesar persen dan penyerapan tenaga kerja sebesar persen. Peningkatan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran industri sebesar 10 persen akan berdampak pada penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan sebesar masing-masing persen dan persen. Peningkatan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen di Indonesia berdampak pada peningkatan PDRB sebesar persen dan penyerapan tenaga kerja sebesar persen, selain itu peningkatan DAU sebesar 0.85 persen dan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan sebesar masing-masing 2.4 persen dan persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan DAU dan pengeluaran industri secara bersama-sama akan menimbulkan dampak yang paling besar terhadap peningkatan PDRB, penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah di Indonesia, sedangkan peningkatan DAU dan pengeluaran pertanian secara bersama-sama akan

25 99 menimbulkan dampak yang paling besar terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dampak peningkatan DAU dan pengeluaran industri secara bersama-sama di Jawa dan Luar Jawa terhadap peningkatan PDRB, penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan juga paling besar diantara dampak peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran pertanian, dan peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran infrastruktur. Tabel 26 Variabel Dampak Simulasi Kebijakan Campuran terhadap Kinerja Fiskal dan Ekonomi di Indonesia, Jawa, dan Luar Jawa Tahun (%) Skenario Indonesia Jawa Luar Jawa Pajak Retribusi Bagi hasil SDA Bagi hasil pajak DAU PAD Dana bagi hasil Dana perimbangan Total penerimaan Pengeluaran pertanian Pengeluaran industri Pengeluaran infrastruktur Total pengeluaran Kapasitas Fiskal Kesenjangan Fiskal PDRB sektor pertanian PDRB sektor industri PDRB sektor jasa PDRB PDRB perkapita Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja jasa Total tenaga kerja Distribusi Pendapatan Kemiskinan Ket. : Skenario 9 = peningkatan DAU 0.85% dan pengeluaran pertanian 10% Skenario 10= peningkatan DAU 0.85% dan pengeluaran industri 100% Skenario 11= peningkatan DAU 0.85% dan pengeluaran infrastruktur 7%

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang (UU) No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis pengaruh keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Secara teoritis, tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah :

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah : 87 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah : 1. Terdapat perbedaan kemampuan keuangan pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yaitu menunjukkan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia - 54 - BAB 3: KORIDOR EKONOMI INDONESIA A. Postur Koridor Ekonomi Indonesia Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menempuh babak baru dalam kehidupan masyarakatnya dengan adanya reformasi yang telah membawa perubahan segnifikan terhadap pola kehidupan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi sistem pemerintahan telah dilaksanakan secara efektif di Indonesia sejak 1 Januari 2001. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Keputusan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya suatu belanja pemerintah Daerah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya pendapatan akan

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua BAB II LANDASAN TEORI A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Di sisi penerimaan daerah, dengan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan asli daerah terus dilanjutkan, PAD diharapkan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan ekonomi daerah disusun dalam rangka memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci