1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Seers, 1969). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan, pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusankeputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat dari Triliun Rupiah menjadi Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi meningkat dari 62% menjadi 65%, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35% menjadi 28%.

2 2 Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun (Triliun Rupiah) Uraian Penerimaan Dalam Negeri (PDN) a. Perpajakan b. Bukan Pajak Belanja Negara a. Pemerintah Pusat b. Transfer ke Daerah Dana Perimbangan a. DAU b. DAK c. DBH Dana Otsus & Penyesuaian Defisit % defisit terhadap PDB (0.5) (0.9) (1.3) (0.1) (1.6) (0.7) (1.1) Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013 Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7% per provinsi per tahun (Tabel 2). Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah (DJPK, 2005). Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2% menjadi 31.2% per provinsi per tahun. Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah 1 Tahun (%) Tahun DAU Pajak Bagi Hasil Kapasitas Kemandirian PAD 2 Daerah Pajak Fiskal Fiskal (%) Rata-rata Catatan: 1 Agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi; 2 total PAD dan dana bagi hasil; 3 Rasio PAD terhadap total belanja daerah Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah

3 3 Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari 4.9% pada tahun 2000 menjadi 6.5% pada tahun Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode hanya 0.02 persen poin per tahun (Tabel 3). Namun, ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap. Jika mengacu pada pendapat Seers (1969) mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat. Penurunan persentase penduduk miskin (headcount index) periode pertama ratarata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu 8-10% (Perpres RI No. 5/2010) dan target kemiskinan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia 2015 sebesar 7.5% maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai. Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun Tahun Pertumbuhan Ekonomi 1 (%) Indeks Gini Persentase Penduduk Miskin Rata-rata Perubahan Rata-rata Perubahan Catatan: 1 Perubahan PDB Riil (harga Konstan Tahun 2000) Sumber: BPS Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya meningkat dari 55.4% pada tahun 2005 menjadi 56.9% pada tahun 2011 (Tabel 4). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi

4 4 bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan. Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga (%) Tahun Pertanian Industri Perdagangan, Lainnya dan Pengolahan Hotel,Restoran Tidak Bekerja Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan unconditional grant (bantuan tidak bersyarat) seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009), pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode hanya naik masing-masing 19.0% per tahun. Sementara itu, belanja perdagangan naik 134% per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian Nanga (2006) menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal

5 5 lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak berdampak menurunkan kemiskinan. Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal tidak bersyarat (unconditional transfer) yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri (Oates, 1999). Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati (2012), Widarjono (2006), dan Kuncoro (2004), menemukan fenomena flypaper effect pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar. Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas fiskal lebih ketat (prudent). Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian. Perumusan Masalah Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat (unconditional grant) maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan

6 6 lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi belanja daerah (Hines dan Thaler, 1995). Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak (taxing power) dengan dasar hukum UU No. 28 tahun Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal. Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar. Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil yang telah ditetapkan dalam UU No. 33/2004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan (PPh) individual yang mayoritas merupakan pendapatan tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 33/2004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20% sehingga jumlah bagi hasil pajak yang diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan

7 7 Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian. 2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia. 3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa mendatang. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. 3. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. 4. Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada: 1. Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian periode historis dan peramalan Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: 1. Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupaten/kota provinsi sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupaten/kota. 2. Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan sesuai sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia yang

8 8 berlaku sejak tahun 2005, sehingga pengaruhnya tidak mencerminkan peran belanja modal daerah saja. 3. Konversi data nominal ke riil menggunakan rata-rata IHK beberapa kota di setiap provinsi dengan tahun dasar 2007 yang berbeda dengan tahun dasar PDRB yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini yaitu tahun Data pengeluaran penduduk dan indikator kemiskinan yang dirinci menurut sektor ekonomi tidak tersedia sehingga diolah dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun dengan klasifikasi sektoral mengacu pada pekerjaan utama kepala rumahtangga sesuai konsep SAKERNAS. Kebaruan dan Manfaat Penelitian Studi-studi empiris terdahulu umumnya menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pada periode awal desentralisasi tahun serta lebih fokus pada dampak DAU terhadap kinerja ekonomi daerah, antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Pardede (2004), dan Panjaitan (2006). Sementara studi empiris yang lebih difokuskan pada dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sangat sedikit, salah satunya adalah Nanga (2006). Namun, penelitian tersebut tidak mendekomposisi kemiskinan menurut sektor ekonomi dan lebih fokus pada dampak transfer fiskal. Selain itu, meskipun studi-studi empiris mengenai kemiskinan banyak dilakukan namun analisis secara sektoral sangat terbatas dan tidak terkait dengan kebijakan fiskal daerah. Studi terdahulu yang meneliti kemiskinan sektoral di Indonesia antara lain Suryahadi, et al. (2009) dan Suryahadi, et al. (2012). Sementara analisis kemiskinan sektoral merupakan hal penting karena fakta menunjukkan variasi sektoral dalam dinamika kemiskinan di Indonesia baik di tingkat nasional maupun provinsi. Di sisi lain, pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan melakukan strategi pertumbuhan pro-poor melalui efek pertumbuhan (growth) dan pemerataan pendapatan (equality) (de Janvry dan Sadoulet, 2010; Kakwani, 1993). Secara teori, pertumbuhan pada sisi penawaran agregat (aggregate supply) dipengaruhi oleh kebijakan fiskal melalui peningkatan kapasitas perekonomian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan melalui strategi pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika penerapan kebijakan fiskal daerah berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan terutama tingkat kemiskinan penduduk pertanian. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah melakukan analisis kemiskinan sektoral terkait peran kapasitas fiskal pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mempercepat tercapainya tujuan utama pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pemerataan distribusi pendapatan.

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN VERA LISNA

DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN VERA LISNA DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN VERA LISNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 014 DAMPAK KAPASITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang (UU) No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan sendiri urusan rumah tangga suatu daerah dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah untuk kemandirian keuangan daerah. Hal ini membuat topik tentang kemandirian keuangan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan bagaimana sebuah negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu mistar pengukur yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menempuh babak baru dalam kehidupan masyarakatnya dengan adanya reformasi yang telah membawa perubahan segnifikan terhadap pola kehidupan baik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang UNDP (United Nations Development Programme) mendefinisikan Indeks Pembangunan manusia sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (a process of enlarging the choice

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah terus-menerus menjadi prioritas pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002, p.16) instansi sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan pengeluaran yang manfaatnya cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Menurut Bahl (2008), desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai proses pelimpahan wewenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir akhir ini membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya suatu belanja pemerintah Daerah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya pendapatan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah untuk kemandirian keuangan daerah. Hal ini membuat topik tentang kemandirian keuangan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan Indonesia sejak tahun 2004 mengharuskan pemerintah untuk menyerahkan beberapa urusan untuk diselesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan. kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan. kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fiscal stress merupakan tekanan anggaran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi sistem pemerintahan telah dilaksanakan secara efektif di Indonesia sejak 1 Januari 2001. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia meliputi kekayaan laut berupa hasil ikan dan biota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan strategi yang bertujuan ganda. Yuwono, dkk (2005) menyatakan strategi tersebut adalah (1) pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah, Dalam UU tersebut perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia

Lebih terperinci

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA Disampaikan oleh: Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Dr. Ahmad Yani, S.H., Akt., M.M., CA. MUSRENBANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci