BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina, Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia, dan Jepang. Tujuan utama diselenggarakannya Six Party Talks adalah 1) menuntaskan proses denuklirisasi Korea Utara, 2) Mengakhiri Perang Korea melalui sebuah traktat perdamaian, 3) Membangun mekanisme regional untuk menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kawasan Asia Timur. 1 Putaran pertama Six Party Talks digelar pada Agustus 2003 dan mekanisme ini berhasil mencapai kesepakatan berupa Joint Statement pada 19 September 2005, dimana Korea Utara bersedia untuk menutup program nuklirnya dan kembali menaati Non Proliferation Treaty ( NPT ) serta mengizinkan monitoring International Atomic Energy Agency ( IAEA ). Walaupun demikian, proses implementasi kesepakatan menemui hambatan dan memicu keluarnya Korea Utara dari perundingan pada tahun 2009. Sejak saat itu perundingan terhenti sampai batas waktu yang belum ditentukan. 2 Keterlibatan Jepang dalam negosiasi ini memberikan pengaruh tersendiri dalam proses serta pencapaian-pencapaian Six-Party Talks. Hal ini tak terlepas dari posisi serta kebijakan yang diambil Jepang selama proses negosiasi yang cenderung bersifat keras. Dalam statement-nya pada pertemuan perdana Six-Party Talks di Beijing, perwakilan Jepang Mitoji Yabunaka menyampaikan bahwa Jepang hanya akan memberikan bantuan ekonomi serta normalisasi hubungan dengan Korea Utara 1 Pang Zhingying, The Six Party Process, Regional Security Mechanisms, and China -US Cooperation: Toward a Regional Secuirt Mechanism for New Northeast Asia?, The Brooking Institution, Maret 2009, diakses 1 September 2012, http://www.brookings.edu/~/media/research/files/pa pers/2009/3/northeast% 20asia% 20pa ng/03_northeast_asia_pang.pdf 2 Jayshree Bajoria, The Six-Party Talks on North Korea s Nuclear Program, 8 Maret 2013, diakses 1 September 2013, http://www.cfr.org/proliferation/six -party-talks-north-koreasnuclear-progra m/p13593
setelah tercapainya penyelesaian terhadap tiga poin utama: pengembangan nuklir, kepemilikan misil atau senjata pemusnah masal, serta kasus penculikan warga negara Jepang oleh Korea Utara. 3 Posisi Jepang tersebut terus dipertahankan selama jalannya perundingan dan menjadi karakter utama kebijaka n Jepang dalam Six-Party Talks. Perspektif Jepang dalam Six-Party Talks merupakan sebuah fenomena negosiasi yang menarik, dimana Jepang mendahulukan kepentingan nasionalnya diatas kepentingan bersama dalam masalah nuklir Korea Utara. Dalam sejarahnya, Jepang merupakan bekas kekuatan militer yang sangat ekspansionis. Perkembangan ekspansionisme Jepang ini akhirnya dapat dibendung setelah kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Kekalahan Jepang ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur politik serta keamanan Jepang. Melalui perubahan konstitusi menjadi konstitusi 1947, Jepang menjadi negara yang pasifis dan tidak lagi aktif secara militer. Pendekatan kebijakan keamanan Jepang pun berubah seiring dengan adanya perubahan fundamental dalam kondisi tersebut. Perubahan Jepang pasca Perang Dunia II melahirkan karakter baru bagi Jepang, dalam segi politik, ekonomi, juga keamanan yang bersifat spesifik. Karakter modern Jepang inilah yang selanjutnya menarik untuk dilihat lebih lanjut untuk menjelaskan posisi serta kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. Lebih lanjut, dalam pembahasannya, skripsi ini bertujuan untuk melihat secara holistik proses pembentukan sikap tersebut dengan pendekatan konsep serta teori yang relevan untuk membahasnya. Kepemilikan senjata nuklir memang menjadi isu yang problematik bagi Jepang, tidak hanya karena pengembangan nuklir memberikan efek deterence tersendiri bagi Jepang, kepemilikan nuklir Korea Utara juga berpotensi mengacaukan balance of power di Asia Timur dan di ranah global. Masalah-masalah ini perlu ditanggapi oleh negara sebagai aktor utama pembuat kebijakan. Salah satu bentuk tanggapan Jepang dalam merespon situasi ini adalah dengan bergabungnya Jepang dalam Six-Party Talks. Dalam pembahasan skripsi ini saya bermaksud untuk m elihat 3 MOFA, Press Conference by Secretary Japan-North Korea Relations Six Party Talks on North Korean Issue, 26 Agustus 2003, diakses 16 Maret 2013, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party/index.html
dimensi eksternal yang mempengaruhi posisi, sikap, serta kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. 1.2 Rumusan Masalah Dalam membahas tema skripsi ini, penulis akan mengangkat dua buah rumusan masalah sebagai fokus pembahasan selanjutnya, yaitu: 1. Bagaimana dinamika sikap dan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks 2003-2009? 2. Apa saja faktor eksternal yang mempengaruhi sikap dan kebijakan Jepang dalam Six Party Talks? 1.3 Landasan Konseptual Untuk mengelaborasi rum usan masalah yang diajukan, penulis akan menggunakan beberapa konsep serta teori yang dapat menjadi alat bantu dalam melihat keterkaitan antara faktor-faktor eksternal dengan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six-Party Talks A. Perspektif Neorealis Perspektif neorealis merupakan sebuah perspektif yang berakar dari realisme klasik dan neoklasik. Pencetus perspektif ini, Kenneth Waltz menekankan konsep anarki internasional sebagai fokus utama neorealisme. Selain itu Waltz juga menganggap perhatian mendasar negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup, serta menganggap bahwa masalah utama konflik negara adalah perang, dan bahwa tugas utama hubungan internasional diantara negara-negara berkekuatan besar adalah perdamaian dan keamanan. Walaupun demikian, neorealisme mengabaikan pertimbangan-pertimbangan normatif dalam realisme klasik dan neoklasik dan mencoba menyediakan perspektif yang lebih ilmiah. 4 Dalam bukunya Theory of International Politics, Waltz berupaya untuk menjelaskan tentang sistem politik internasional yang berfokus pada struktur sistem, interaksi antar unit-unit di 4 Robert Jackson & Georg Sorensen, Introduction to International Relations ( New York: Oxford University Press, 1999 ), 110-111
dalamnya, serta kesinambungan dan perubahan dalam sistem tersebut. 5 Perbedaan mendasar antara neorealisme dengan realisme klasik dan neoklasik adalah tidak adanya bahasan mengenai sifat dasar manusia seperti yang dimunculkan oleh Morgenthau atau Schelling. Dalam neorealisme, aktor-aktor tidaklah begitu penting karena struktur memaksa mereka bereaksi dengan cara-cara tertentu. Dengan kata lain, struktur mampu menentukan tindakan-tindakan aktor. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam neorealisme bentuk dasar hubungan internasional adalah struktur anarki. Negara -negara pada dasarnya memiliki fungsi yang serupa disamping perbedaan budaya, ideologi, konstitusi, atau personal yang berbeda, mereka semua menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Sedangkan perbedaan mendasar antara negara-negara ini terletak pada kapabilitas yang mereka miliki. Lebih lanjut lagi Waltz menjelaskan bahwa unit-unit negara dalam sistem internasional dibedakan oleh besar kec ilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa, struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem. Waltz juga menyatakan bahwa perimbangan kekuatan di dalam sebuah sistem dapat dicapai, walaupun perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yang anarkis. Untuk mewujudkan perimbangan kekuatan, Waltz meyakini bahwa sistem bipolar seperti yang terjadi selama Perang Dingin, merupakan sistem lebih stabil dan mampu menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan dibanding sistem multipolar. Dua negara dengan kekuatan besar akan tersebut akan bertindak sebagai pemelihara sistem. 6 Proses berjalannya Six Party Talks memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana sistem internasional seperti yang dijelaskan oleh kaum neorealis beroperasi dan mempengaruhi perilaku negara-negara yang terlibat di dalamnya. Jepang sebagai salah satu aktor utama yang terlibat dalam Six Party Talks tidak lepas dari pengaruh mekanisme ini. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan Jepang dalam Six Party Talks merupakan bentuk reaksi terhadap sistem multipolar di wilayah Asia Timur. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan memaparkan bagaimana sistem internasional di kawasan Asia Timur menjadi basis perilaku dan hubungan nega ra- 5 Kenneth Waltz, Theory of International Politics ( New York: McGraw Hill, 1979 ), 97 6 Waltz, Theory of International Politics, 204
negara di dalamnya. Pembahasan tentang sistem internasional di kawasan Asia Timur ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan kebijakan yang dibuat Jepang dalam Six Party Talks. B. External Factors Faktor-faktor eksternal atau global yang mempengaruhi foreign policy meliputi semua aktivitas yang berlangsung diluar batas negara yang secara kausal mempengaruhi pilihan-pilihan yang dimiliki negara. 7 Richard Snyder mengkategorikan external setting sebagai bagian dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Bentuk dari external setting dapat beragam, misalnya skema aliansi, kawan, lawan, organisasi internasional, aturan - aturan diplomatik, kebijakan-kebijakan negara lain, serta hubungan bilateral dan multilateral. 8 Terkait dengan faktor-faktor eksternal sebagai bagian kausal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, Rose menyampaikan dua model perilaku negara dalam sistem internasional, yaitu realisme ofensif dan realism e defensif. Kedua model ini bermula dari asumsi bahwa sistem internasional terdiri dari unitunit negara yang bertindak rasional dan memiliki motivasi dalam hal keamanan. Realisme ofensif berasumsi bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, keamanan merupakan sebuah kelangkaan sehingga setiap negara akan cenderung untuk mencapainya dengan cara memaksimalkan kemampuan relatif yang mereka miliki. 9 Dalam realisme ofensif, aktor rasional negara akan cenderung untuk mengambil langkah yang akan memicu konflik dengan aktor lainnya. Aktor negara akan memulai dengan motiv defensif, namun struktur dalam sistem internasional akan memaksa mereka untuk berpikir dan bahkan bertindak secara ofensif. 10 Untuk 7 Charles W. Kegley, World Politics: Trend and Transformation 11 th Edition ( Boston: Thompson Wadsworth, 2008 ), 57 8 Richard Snyder, Foreign Policy Decision-Making, ( New York: The Free Press of Glencoe, 1962 ), 212 9 Gideon Rose, Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy, The Perils of Anarchy: Contemporary Realism and International Security by Michael E. Brown, World Politics, Vol. 51, No. 1 ( Cambridge: Cambridge University Press, 19 98 ), 148-149 10 Rose, Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy, 148-149
memahami mengapa suatu negara bertindak demikian, realisme ofensif menyarankan untuk menganalisa kapabilitas relatif yang dimiliki negara tersebut dan lingkungan eksternal yang dihadapinya, karena faktor-faktor ini akan diterjemahkan sebagai kebijakan luar negeri. Dalam pembahasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi sikap dan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks, analisa terhadap faktor -faktor eksternal merupakan satu hal yang relevan. Faktor-faktor eksternal mempengaruhi bagaimana negara mempersepsikan dan bereaksi terhadap lingkungan di sekitar nya. Dalam Six Party Talks, Jepang berhadapan langsung dengan Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Rusia, serta AS. Interaksi yang terjadi anatara Jepang dengan lima aktor lainnya ini menciptakan sebuah dorong eksternal bagi Jepang untuk melakukan respon berupa sikap serta kebijakan luar negeri. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan menguraikan apa saja faktor eksternal yang mengiringi sikap serta kebijakan Jepang dalam Six Party Talks, seperti hubungan bilateral dengan aktor lain, adanya relasi aliansi, serta struktur dalam sistem internasional. 1.4 Argumentasi Utama Keterlibatan Jepang dalam Six Party Talks merupakan sebuah bentuk respon Jepang terhadap kondisi internasional yang sedang berlangsung, dalam konteks ini adalah masalah nuklir Korea Utara. Sesuai dengan pandangan neorealisme yang memandang bahwa sistem internasional mampu menentukan perilaku aktor, sikap dan kebijakan luar negeri Jepang terkait isu nuklir Korea Utara ( khususnya dalam kerangka Six Party Talks ) akan mengalami dinamika. Dinamika disini dimaksudkan sebagai perubahan sikap dan kebijakan luar negeri Jepang. Perubahan-perubahan tersebut dapat diketahui dengan mengamati proses berjalannya perundingan Six Party Talks, pencapaian-pencapaian yang berhasil dicapai Jepang, interaksi Jepang dengan aktor-aktor dalam perundingan, reaksi Jepang terhadap sikap dan kebijakan negara lain, serta adanya perubahan posisi dan stance Jepang terhadap kesepakatan. Pengamatan ini akan dilakukan dengan membatasi pengamatan pada level sikap serta kebijakan Jepang dalam Six Party Talks, dengan kata lain pengamatan tidak akan
membahas tentang perubahan interest/ kepentingan, karena menurut pengamatan sementara yang telah dilakukan penulis, kepentingan Jepang tidak mengalami perubahan signifikan dari awal hingga akhir putaran Six Party Talks. Jepang memiliki kepentingan yang cenderung stabil, namun sikap dan kebijakan luar negerinya mengalami perubahan. Sesuai dengan pengamatan sementara yang dilakukan penulis melalui pengumpulan sumber-sumber primer dan sekunder menyangkut sikap dan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks, penulis berpendapat bahwa dinamika memang terjadi pada level sikap dan kebijakan luar negeri. Beberapa kali Jepang mengubah sikap dan kebijakannya sebagai respon terhadap kondisi sistem internasional yang berlangsung saat itu. Secara garis besar sikap dan kebijakan luar negeri Jepang selama Six Party Talks dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu: 1. Kooperatif dimana Jepang cenderung comply terhadap kesepakatan-kesepakatan Six Party Talks, dan 2. Keras atau Ofensif dimana Jepang cenderung memilih untuk berselisih dengan kesepatan-kesepakatan Six Party Talks. Ofensif disini juga dimaksudkan sebagai sebuah bentuk sikap dan sifat kebijakan luar negeri Jepang yang menekankan superioritas dan agresifitas Jepang dalam perundingan, sesuai dengan pendapat Taliaferro tentang realisme ofensif, anarchy the absence of a worldwide government or universal sovereignty provides strong incentives for expansion. All states strive to maximize their power relative to other states, because only the most powerful states can guarantee their survival. 11 Selanjutnya Taliaferro juga menambahkan bahwa untuk meningkatkan posisi relatifnya, negara dapat menempuhnya melalui pengembangan senjata, diplom asi unilateral, kebijakan ekonomi luar negeri, maupun ekspansi. Dalam konteks Jepang, metode yang paling mungkin dilakukan adalah melalui jalan diplomatik dan kebijakan ekonom i luar negeri. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks dapat diidentifikasi melalui beberapa aspek. Aspek -aspek 11 Jeffrey W Taliaferro, Security Seeking under Anarchy: Defensive Realism Revisited, International Security, Vol. 25, No. 3 ( 2001 ): 128-129, http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/pdfplus/10.2307/2626708.pdf?accepttc=true
tersebut dapat berupa skema aliansi, kawan, lawan, organisasi internasional, aturan - aturan diplomatik, kebijakan-kebijakan negara lain, serta hubungan bilateral dan multilateral. Hubungan bilateral dengan Korea Utara akan menjadi salah satu faktor krusial yang akan menentukan sikap dan kebijakan Jepang dalam Six Party Talks. Hal ini diakibatkan karena secara geografis, Korea Utara sangat dekat dengan Jepang, namun secara politik Korea Utara sangat jauh dari Jepang. Hal ini ditambah dengan ancaman yang ditimbulkan oleh pengembangan nuklir serta masalah bilateral yang belum terselesaikan menjadi penghambat serta ancaman langsung terhadap keamanan dan kedaulatan Jepang. Selain itu sistematika aliansi Jepang dengan AS juga merupakan sebuah faktor penting, mengingat AS merupakan negara dengan kapabilitas besar yang juga terlibat langsung dalam proses Six Party Talks. Sistematika aliansi yang dibangun antara kedua negara pasca Perang Dunia II merupakan salah satu faktor utama penentu kebijakan luar negeri Jepang sampai saat ini. Terakhir, struktur keamanan di wilayah Asia Timur kontemporer juga mampu memberikan dorongan tersendiri bagi Jepang untuk menentukan pilihan-pilihan kebijakan luar negerinya. Munculnya Cina sebagai kekuatan baru dunia serta kuatnya bayang-bayang AS terhadap Jepang dan Korea Selatan juga menjadi faktor yang mempengaruhi pilihan-pilihan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks. 1.5 Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian skripsi ini akan mencakup dinamika Six-Party Talks dari sudut pandang Jepang dimulai dari putaran pertama Six-Party Talks pada 2003 sampai dengan keluarnya Korea Utara yang menandai berakhirnya Six-Party Talks pada 2009. Pembahasan skripsi ini juga akan dibatasi dengan fokus bahasan faktorfaktor eksternal yang mempengaruhi posisi serta kebijakan Jepang dalam Six -Party Talks. 1.6 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian mengenai Dinamika Kebijakan Luar Negeri Jepang dalam Six-Party Talks ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam menggunakan metode kualitatif, penulis akan melakukan penelitian
dalam tiga tahapan utama, yaitu: 1. Pengumpulan Data ( Data Collecting ); 2. Pengolahan Data ( Data Analysis ); dan 3. Laporan Penulisan ( Report Writing ). Pertama, pada tahap awal pengumpulan data yang akan dilakukan adalah menetapkan batasan parameter data yang dikumpulkan. Ide dari penulisan kualitatif adalah dengan sengaja menyeleksi informasi yang diperoleh dari data sekunder. Pengumpulan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini akan memanfaatkan berbagai buku, jurnal, c atatan/diktat kuliah, artikel, maupun terbitanterbitan lainnya baik yang berasal dari media massa baik cetak maupun internet yang relevan sebagai sumber referensi dan acuan bagi penulisan skripsi ini. Selanjutnya adalah tahap pengolahan data ( analisis ). Pada tahap ini, informasi dikelompokkan menjadi kategori dan diformat menjadi sebuah deskripsi, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah atau laporan penulisan. 1.7 Sistematika Penulisan Skripsi yang berjudul D inamika Kebijakan Luar Negeri Jepang dalam Six- Party Talks ini akan disusun sesuai sistematika berikut: Bab I: Pendahuluan Pada Bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Landasan konseptual, Hipotesis, Jangkauan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Dinamika Sikap Jepang dalam Perundingan Six Party Talks Bab ini akan menjelaskan tentang timeline serta proses berjalannya negosiasi Six-Party Talks dari pembentukannya pada tahun 2003 sampai dengan keluarnya Korea Utara pada tahun 2009 yang menandai berakhirnya rangkaian negosiasi ini. Pembahasan akan mengikutsertakan progres serta konsensus-konsensus yang telah dicapai dalam negosiasi. Bab III: Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Posisi, Sikap, dan Kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks Bab ini akan berisi identifikasi faktor eksternal yang menjadi basis posisi dan kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. Selain identifikasi, bab ini juga akan
mengelaborasikan hubungan antara faktor-faktor eksternal tersebut dengan realita kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. Bab IV: Penutup Bagian terkakhir dari skripsi ini yaitu Penutup akan mengakhiri skripsi ini dengan memberikan kesimpulan terhadap pembahasan bab-bab sebelumnya.