Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

MATERI DAN METODE. Prosedur

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

SERAT ALAMI DAN SERAT BUATAN (SINTETIS) SERAT ALAMI DAN SERAT BUATAN (SINTETIS)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Oleh : Lincah Andadari

Parameter yang Diamati:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

FILE 23 : MODUL V MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes,familyPhasianidae dan

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

TELUR ASIN 1. PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika.

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TOPIK PERCOBAAN Topik Percobaan : Reaksi Uji Asam Amino Dan Protein

SUHARTO. Balai Penelitian Ternak, Po Box 221, Bogor RINGKASAN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera yang liat dan elastis; serta mempunyai daya menahan panas dan meresap air (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Gusa et al. (2002) menyatakan bahwa apabila benang sutera telah ditenun, hasilnya adalah sehelai kain yang tidak hanya indah melainkan juga mempunyai sifat-sifat yang baik, diantaranya bersifat higroskopis, ringan tetapi kuat dan awet. Pori-pori yang terdapat pada sutera akan menyebabkan kenyamanan dan tidak panas saat baju dipakai. Selain itu, sutera memiliki daya menahan warna yang kuat sehingga warna tidak cepat pudar dan sutera bersifat seperti wool, jika kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera akan hangus dan mengkerut serta tidak mudah menimbulkan kebakaran (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Sutera yang selama ini dikenal berasal dari ulat sutera Bombyx mori, namun sekarang telah berhasil dilakukan budidaya penghasil sutera lokal, yakni ulat sutera Attacus atlas. Bila B. mori hanya bisa mengkonsumsi satu jenis pakan saja (daun murbei) dan menghasilkan filamen yang berwarna putih atau kuning, A. atlas bisa mengkonsumsi pakan yang bervariasi, seperti daun sirsak, daun teh, daun alpukat, daun durian, daun kenari, atau daun srikaya sehingga warna filamennya juga bervariasi dari cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna filamen sutera A. atlas dapat menambah kekayaan warna alami sutera dan tidak perlu dilakukan pewarnaan (Solihin et al., 2010). Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Taksonomi Ulat sutera liar A. atlas adalah salah satu jenis serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur, daerah selatan Cina, melintasi kepulauan Malaysia, Thailand dan Indonesia. Ulat sutera ini termasuk hewan polivoltin, artinya hewan ini

mengalami banyak siklus atau hidup beberapa generasi dalam satu tahun dan termasuk serangga polifagus, artinya serangga ini dapat memakan banyak jenis tumbuhan. Menurut Peigler (1989), A. atlas dapat hidup dan memakan sekitar 90 jenis tumbuhan dari 48 famili. Menurut Mulyani (2008), suhu dan kelembaban dalam ruangan pemeliharaan larva adalah 24-28 o C dan 46%-78%. Kondisi ini sesuai untuk pemeliharaan maupun pengokonan. Adapun klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989), sebagai berikut: Ordo : Lepidoptera Super famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub famili : Saturniinae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas Siklus Hidup A. atlas termasuk serangga holometabola, yaitu mengalami metamorfosis sempurna atau mengalami siklus kehidupan mulai dari fase telur larva pupa imago. Siklus hidup A. atlas dapat dilihat pada Gambar 1. Stadium telur berlangsung selama 1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan pupa 4-10 minggu (Awan, 2007). Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas Sumber: Mohn, 2000; Wikipedia, 2008; Indrawan, 2007 5

Telur. Telur berukuran panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Bentuk telur ulat sutera liar adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh imago jantan. Telur memiliki kerabang yang halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga cokelat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007). Larva. Stadium larva terbagi dalam enam tahapan instar, setiap instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting) pada larva. Instar pertama berlangsung selama 4-5 hari, instar kedua sampai instar keempat juga memiliki masa yang sama dengan instar pertama yaitu selama 4-5 hari, instar kelima berlangsung selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung selama 8-10 hari. Instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon (Awan, 2007). Pupa. Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna, karena dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pengokonan bahkan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian (Awan, 2007). Imago. Imago keluar melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbuka sempurna (Awan, 2007). Imago atau ngengat A. atlas betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm, sedangkan ngengat jantan memiliki panjang antena 23-30 mm, lebar 10-13 mm. Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing, sedangkan ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat jantan (Peigler, 1989). Umur imago jantan adalah 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari, imago betina mampu menghasilkan telur dengan jumlah berkisar antara 100 sampai 362 butir. Imago 6

betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva (Awan, 2007). Pakan Ulat Sutera Liar Attacus atlas A. atlas termasuk serangga polifagus yang dapat hidup pada 90 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan (Peigler, 1989). Salah satu jenis pakan utama di daerah Purwakarta adalah tanaman teh (Camellia sinensis) yang merupakan salah satu komoditas penghasil produk minuman penyegar. Tanaman teh ditanam di hampir 30 negara, terdiri dari sekitar 82 spesies dan dikonsumsi hampir di seluruh dunia, termasuk genus Camellia dari famili Theaceae yang dibedakan dalam beberapa varietas Cina, Assam, Cambodia dan hibrida-hibridanya. Jenis yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Sinensis (Camellia sinensis var. sinensis) dan Assamica (Camellia sinensis var. assamica) serta hibrid yang merupakan hasil persilangan antara jenis Sinensis dengan jenis Assamica. Tanaman teh dapat ditanam di tanah dengan ph yang rendah yaitu 4,0 5,5 dan dengan curah hujan 1.250 5.000 mm yang merata sepanjang tahun (Nurachman, 2006). Awan (2007) menyatakan bahwa pakan daun teh memiliki kandungan nutrisi, terutama kadar air yang cukup dan komponen kimia yang sangat disukai oleh ulat sutera, sehingga A. atlas dapat mengkonsumsi pakan dengan baik, dapat memanfaatkan pakan (daya cerna) yang banyak, bobot badan yang besar, produksi dan kualitas kokon yang lebih baik. Kokon Pembentukan Kokon Kokon dibentuk dari susunan serat-serat sutera yang dihasilkan dari kelenjar sutera. Informasi mengenai kelenjar sutera pada A. atlas belum didapat, sehingga sebagai pembanding menggunakan kelenjar sutera pada B. mori. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kelenjar sutera merupakan sepasang saluran panjang, berbelit di samping dan di bawah saluran pencernaan, kemudian berujung pada saluran pengeluaran di ujung kepala. Berdasarkan bentuk dan strukturnya, kelenjar ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu anterior, tengah dan posterior. Kelenjar bagian anterior merupakan saluran pengeluaran serat sutera, bagian tengah dan bagian posterior merupakan penghasil serat sutera. Menurut Samsijah dan Kusumaputera 7

(1975), kelenjar sutera bagian anterior berukuran kecil dan bermuara pada alat di bagian bawah mulut larva yang disebut spineret. Bila serat sutera telah memenuhi kelenjar, maka serat sutera secara berangsur-angsur dialirkan ke spineret, dikeluarkan dan ulat sutera mulai mengokon. Pembentukan kokon pada A. atlas dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan serat sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun, yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering, bagian ini biasanya disebut sebagai floss. Setelah menguatkan daun agar tidak jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut, bagian inilah yang biasanya digunakan untuk dipintal menjadi benang dan biasa disebut sebagai kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna (kulit kokon utuh) yaitu kulit kokon dengan floss (Awan, 2007). Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat di bagian ujung dan tepi daun, kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Terdapat lubang pada bagian anterior kokon sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips silindris, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna cokelat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari, gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering (Awan, 2007). Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk membuat kokon memerlukan sedikit serat-serat sutera dan memudahkan ulat untuk menempelkan floss-nya pada daun. Oleh karena itu, sisa serat sutera yang digunakan 8

untuk membentuk kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan tinggi (Mulyani, 2008). Kandungan dan Karakteristik Kokon Kokon dibentuk dari serat-serat sutera, yakni serat double yang terdiri dari fibroin (C 15 H 26 N 5 O 6 ) dan serisin (C 15 H 23 N 5 O 8 ) (Samsijah dan Andadari, 1992). Satu helai filamen sutera terdiri dari dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin (Lucas et al., 1978). Sihombing (1999) menyatakan bahwa fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, dan serin bersama asam-asam amino yang lain diantaranya asam aspartat, asam glutamat, fenilalanin, lisin, oksiprolin, prolin, dan tirosin. Fibroin adalah polipeptida yang dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glisin (43,5%), alanin (29,9%), serin (10,7%), dan tirosin (4,8%) (Hamamura, 2001). Serisin merupakan zat yang menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin (Lucas et al., 1978). Serisin adalah anyaman dari polipeptida yang dapat lunak dalam air panas, yang komposisi asam aminonya dicirikan dengan kandungan serin yang tinggi (Rui, 1998). Komposisi serat kokon sutera B. mori dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Serat Kokon Sutera Bombyx mori Komposisi Kandungan (%) Fibroin 70-80 Serisin 20-30 Materi lilin 0,4 0,8 Karbohidrat 1,2 1,5 Pigmen 0,2 (approx) Bahan anorganik 0,7 (approx) Sumber : Rui, 1998 Sama halnya dengan kokon B. mori, kokon A. atlas juga mengandung serisin dan fibroin. Unsur lainnya adalah lilin, garam-garam mineral dan zat warna lain (pigmen) alam berwarna kekuningan (Awan, 2007). Brown (1976) menyatakan bahwa sutera dicirikan dengan kekuatan tarik serat dan fleksibilitas yang tinggi serta kemampuan untuk meregang. Secara molekular, 9

sutera dibangun dari rantai panjang polipeptida yang merentang sepanjang poros serat. Distribusi asam amino dalam serat sutera sangat unik, sebagian besar rantai polipeptida dibangun dari tiga asam amino: glysin, alanin dan serin. Terdapat juga asam amino yang lain dalam jumlah yang sedikit. Komposisi asam amino disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kokon Bombyx mori Asam Amino Serisin (%) Fibroin (%) Glysin Alanin 14,1 5,3 43,5 29,9 Serin 30,8 10,7 Valin 2,8 2,1 Tyrosin 2,6 4,8 Amonia 6,9 1,6 Asam aspartat 15,4 1,5 Asam glutamat Threonin Lysin Phenylalanin Leucin Arginin Leucin Prolin Histidin Methionin 4,8 7,4 3,0 0,3 0,5 3,1 1,0 0,5 0,9 + 1,1 0,9 0,7 0,6 0,5 0,5 0,5 0,3 0,2 0,1 Sumber : Hamamura, 2001 Selanjutnya Brown (1976) menyatakan bahwa dalam serat sutera, sehelai filamen tersusun antara glysin dengan glysin. Glysin tersusun dari atom hidrogen sehingga sehelai filamen juga tersusun antara hidrogen dengan hidrogen. Kemudian bersama-sama dengan alanin dan serin yang juga saling menyusun. Struktur tersebut dapat digambarkan seperti: -(gly-ser-gly-ala-gly-ala)- seterusnya membentuk rantai panjang polipeptida. Serat sutera sangat kuat, daya regangnya dibangun oleh ikatan kovalen dari rantai polipeptida itu sendiri. Perebusan kokon dimaksudkan untuk 10

melepas ikatan kovalen pada atom hidrogen sehingga ikatan glysin terlepas. Serisin merupakan protein yang memiliki kandungan asam amino glysin dan alanin dalam jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fibroin. Terlepasnya ikatan glysin menyebabkan serin yang merupakan asam amino hidrofilik dapat larut dengan mudah sehingga serisin larut dalam perebusan kokon. Berbeda dengan kokon B. mori yang berukuran kecil dan berwarna putih atau kuning, kokon A. atlas memiliki keunikan tersendiri, yaitu berukuran lebih besar dengan variasi warna filamen dari cokelat muda sampai cokelat tua keemasan. Lapisan pertama bagian terluar adalah lembaran daun kering yang digunakan untuk menempel pada batang atau tangkai tanaman bagian ini mudah dilepas, lapisan kedua adalah selapis tipis rangkaian serat. Lapisan ketiga adalah lapisan keras yang terdiri dari rajutan sutera yang padat dan kompak (Faatih, 2005). Perbandingan kokon A. atlas dan B. mori dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Kokon Attacus atlas dan Bombyx mori Sumber: Koleksi Pribadi A. atlas membentuk kokon dengan lubang di bagian anterior (Gambar 3) sehingga akan memudahkan saat imago keluar, sedangkan B. mori membentuk kokon yang tertutup rapat sehingga jika imago keluar maka akan merusak kokonnya. Oleh karena itu terdapat perbedaan pada proses pemanenan kokon, pada B. mori panen kokon dilakukan sebelum imago keluar dari kokon sedangkan pada A. atlas panen kokon dapat dilakukan sesudah imago keluar sehingga dapat dimanfaatkan 11

imago/ngengatnya untuk kelangsungan hidupnya. Ghosh (2004) menyatakan bahwa hal yang istimewa pada kokon A. atlas, yaitu ketika sudah waktunya untuk keluar dari kokon, imago akan melubangi atau merusak dinding serisin tanpa merusak filamen fibroin sutera pembentuk kokon. Gambar 3. Lubang di Bagian Anterior pada Kokon Attacus atlas Sumber: Koleksi Pribadi Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban dan proses pengokonan (Sampe, 1991). Syarat kokon B. mori yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon yang berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk (Samsijah dan Andadari, 1992). Menurut Awan (2007), kokon cacat pada kokon A. atlas adalah kokon ganda, kokon berlubang, kokon tipis, dan kokon berkerut. Perebusan Kokon Perebusan pada kokon B. mori dilakukan untuk melepaskan filamen-filamen yang masih saling merekat. Filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin dilepas dengan cara merebus kokon dengan air panas atau uap panas sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera diurai dan digulung pada reel (Atmosoedarjo et al., 2000). Berbeda dengan B. mori, filamen yang 12

dihasilkan dari kokon A. atlas terputus-putus namun filamen tersebut dapat disambung kembali pada saat pemintalan. Kokon A. atlas tidak dapat diproses dengan pemrosesan yang biasa digunakan untuk kokon B. mori karena kandungan protein serisin yang membungkus filamen fibroin relatif lebih banyak dan sangat lengket (Solihin et al., 2010). Perebusan kokon A. atlas menggunakan larutan khusus, yang terdiri atas campuran bahan kimia berupa: air 1 liter, sabun netral 20 g/liter, teepol 2 cc/liter, dan NaOH 0,5 3 g/liter. Selama proses perebusan kokon, suhu air harus dijaga agar tetap stabil. Suhu yang digunakan untuk perebusan tersebut adalah 80 o C. Setelah perebusan, kulit kokon dicuci dengan tiga tahap pencucian, yaitu pencucian dengan air panas (± 70 o C), pencucian dengan air hangat (± 40 o C), dan pencucian dengan air dingin (Aini, 2009). Menurut Supitawati (1999), zat kimia yang digunakan untuk perebusan kokon A. atlas antara lain zat asam kuat atau basa kuat. Berdasarkan sifatsifat serat kokon sutera, serat kokon sutera lebih sensitif terhadap alkali daripada terhadap asam. Jika serat kokon sutera dimasukkan dalam larutan alkali kuat, serisinnya dapat larut, dan untuk mencegah terbentuknya alkali bebas maka digunakan sabun. Kualitas Filamen Pengujian kualitas filamen mengacu pada B. mori karena pada A. atlas belum ada standar untuk pengujian ini. Pengujian terhadap kualitas filamen yang diperoleh dari sebutir kokon, selain dilakukan terhadap parameter yang bersifat visual misalnya warna filamen, juga dilakukan uji secara laboratorium yang meliputi panjang filamen, daya urai kokon, ketebalan filamen, dan berat filamen, tetapi dalam penentuan kelas mutu kokon hanya diperlukan dua parameter yang penting yaitu panjang filamen dan daya urai kokon. Panjang filamen B. mori bervariasi menurut varietas ulat sutera, panjangnya mencapai 787,5 1350 meter, sedangkan daya urai kokon (kemudahan mengurai filamen sutera dari kokon), menunjukkan jumlah kali putus filamen selama diurai (Atmosoedarjo et al., 2000). Kokon A. atlas memiliki lubang di bagian anterior sehingga kokon yang diurai akan terputus-putus, namun filamen yang terputus dapat disambung kembali. Pengujian terhadap kualitas filamen meliputi: 13

1. Panjang filamen, ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal menggunakan kincir alat urai (reel/haspel). Panjang filamen sutera B. mori bervariasi menurut varietas ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2000). Awan (2007) menyatakan bahwa panjang filamen sutera A. atlas adalah 83,61 m/kokon, sedangkan Aini (2009) melaporkan ukuran panjang filamen yang lebih besar, berkisar antara 293-413,80 m/kokon. 2. Bobot filamen, ditentukan dengan mengurai satu kokon tunggal menggunakan kincir alat urai kokon. Bobot filamen proporsional dengan berat kulit kokon. Berat filamen sutera B. mori berkisar antara 80%-90% dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Awan (2007), bobot filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87 g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas berkisar antara 0,2486 0,3724 g/kokon. 3. Tebal filamen, dihitung dalam satuan denier. Tebal filamen sutera B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000) menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan 2,5052±0,1171 denier atau jika diamati secara mikroskopis sebesar 18 22 µ. 4. Persentase bobot filamen, yaitu persentase berat filamen terhadap berat kulit kokon tanpa floss (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000) menyatakan bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar 15,80%. 5. Daya urai kokon (reelability), menunjukkan kemudahan mengurai filamen dari kokon. Daya urai kokon B. mori sangat tergantung pada varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan, terutama kelembabannya. Selain itu, alat pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap daya urai kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan dan 52,69%-70,36% untuk kokon pupa betina. 6. Permukaan filamen, yang dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron. Menurut Gusa et al. (2002), pada pengembangan industri serat sutera perlu dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap kualitas filamen yang meliputi kemuluran, beban putus, kekuatan tarik, dan 14

kehalusan filamen serta pengamatan morfologi filamen dengan menggunakan mikroskop elektron. Penampang membujur filamen A. atlas dan B. mori secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Filamen B. mori agak membulat, sedangkan filamen A. atlas lebih pipih. Dilihat dari ukuran, filamen A. atlas lebih lebar bila dibandingkan dengan filamen B. mori. Banyak kristal yang terlihat menempel pada filamen A. atlas. Penampang melintang juga hampir sama (Gambar 5), seluruhnya memperlihatkan kenampakan pori-pori. Poripori yang terdapat pada filamen sutera akan menyebabkan kenyamanan dan tidak panas saat baju dipakai (Gusa et al., 2002). (a) (b) Gambar 4. Penampang Membujur Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan Perbesaran 500 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 500 X Sumber: Gusa et al., 2002 (a) (b) Gambar 5. Penampang Melintang Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan Perbesaran 2096 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 1060 X Sumber: Gusa et al., 2002 7. Sebagai informasi tambahan untuk pengujian kualitas filamen dapat dilakukan pula pengukuran terhadap bobot kulit kokon utuh, bobot floss dan bobot kulit kokon tanpa floss. 15

a. Bobot kulit kokon utuh, yaitu bobot kokon yang ditimbang setelah kulit kokon utuh dibersihkan dari kotoran dan kulit pupanya. Bobot kulit kokon utuh A. atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta memiliki ukuran berkisar antara 0,2-1,86 g/kokon dengan rataan sebesar 0,68 ± 0,24 g/kokon (Baskoro, 2008). b. Bobot floss, yaitu bobot lapisan terluar dari kulit kokon utuh. Bobot floss berkaitan dengan energi yang dikeluarkan A. atlas selain untuk memproduksi kulit kokon yang dapat dipintal menjadi benang. Bobot floss ini akan semakin besar jika tempat pengokonan juga besar, hal ini menyebabkan larva harus mengeluarkan energi yang besar untuk membuat kerangka (floss). Bobot floss kokon A. atlas dari Purwakarta adalah sebesar 0,18 ± 0,005 g/kokon (Baskoro, 2008). c. Bobot kulit kokon tanpa floss, yaitu bobot kulit kokon utuh setelah dikurangi bobot floss. Kulit kokon tanpa floss adalah bagian yang biasanya dipintal menjadi benang (Awan, 2007). Kulit kokon tanpa floss adalah bagian dalam setelah lapisan terluar (floss) pada saat mengokon. Kulit kokon tanpa floss yang dihasilkan dari A. atlas yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta memiliki bobot rataan 0,5 ± 0,2 g/kokon (Baskoro, 2008). 16