4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

dokumen-dokumen yang mirip
6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

BULETIN PSP ISSN: X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal 39-51

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PELUANG PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

Katalog BPS:

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1.2. Latar Belakang Masalah 1.3. Perumusan Masalah

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ)

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

Sriati Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor UBR

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KOMODITAS POTENSIAL DI TELUK LAMPUNG

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KOMODITAS POTENSIAL DI TELUK LAMPUNG 1

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

JENlS TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAM YANG SESUAI UNTUK DIKEMBANGXAN Dl BANTAl TlMUR KABUPATEN DONGGALA, SULAYESI TENGAHl.

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. Pendahuluan IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN INDRAMAYU

Transkripsi:

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya (culture) atau ekonomi. Secara budaya, ikan telah menjadi bagian dari menu konsumsi penduduk sejak berabad-abad sebelumnya (Wahyuni, 2007). Pada saat sekarang ini, dengan terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap ikan, nilai ekonomisnya menjadi semakin meningkat disamping ikan merupakan salah satu sumber protein murah bagi sebagian besar penduduk. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk sebesar 210 juta jiwa pada tahun 2000 dan dalam jangka waktu 35 tahun mendatang, populasi penduduk Indonesia akan bertambah dua kali lipat menjadi 400 juta jiwa sehingga ketersediaan pangan akan menjadi masalah, terutama yang terkait dengan tersedianya ikan sebagai bahan pangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sangat dibutuhkan adanya peningkatan penangkapan ikan. Alat tangkap dan armada penangkapan merupakan komponen utama dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu wilayah. Potensi sumber daya ikan dan kualitas sumber daya manusia yang baik tidak akan menjadi keberhasilan kegiatan perikanan tangkap, bila alat tangkap dan armada penangkapan yang dioperasikan tidak memadai terutama dalam spesifikasinya. Kondisi alat tangkap dan armada penangkapan yang digunakan nelayan akan mempengaruhi jumlah produksi, jenis ikan yang ditangkap, kualitas hasil tangkapan dan jangkauan operasi penangkapan. Dalam kaitan ini, maka kondisi alat tangkap dan armada penangkapan ini harus selalu diperhatikan dalam setiap upaya pengembangan kegiatan perikanan tangkap termasuk di Kabupaten Belitung. 4.1.1 Kondisi alat tangkap di Kabupaten Belitung Hasil analisis data lapangan menunjukkan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Belitung cukup beragam. Hal ini karena jenis sumber daya ikan yang bisa ditangkap di lokasi cukup banyak baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal,

maupun udang dan biota laut non ikan. Alat tangkap yang dominan digunakan diantaranya adalah pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang, dan trammel net. Gambar 6 memperlihatkan jumlah rata-rata alat tangkap tersebut yang dioperasikan selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. Trammel Net Pukat Udang Jermal Bubu Bagan Tancap Bagan Perahu Pukat Pantai Sero JIH JIL JIT Payang Pancing Tonda 2253 17 570 848 100 61 376 87 603 954 1354 5840 15475 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 Jumlah Alat Tangkap (unit) Gambar 6 Pemakaian alat tangkap selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 6, bubu merupakan alat tangkap yang jumlahnya paling banyak di Kabupaten Belitung, yaitu mencapai 15475 unit. Hal ini cukup wajar karena bubu diusahakan oleh nelayan skala kecil di Kabupaten Belitung, dimana setiap nelayan dapat mempunyai 5-10 unit bubu. Bubu tersebut umumnya dibuat dengan bahan utama berupa bambu yang relatif mudah ditemukan di Kabupaten Belitung, sehingga tidak begitu berat bagi nelayan untuk memilikinya beberapa unit. Alat tangkap lainnya yang cukup tinggi jumlahnya adalah trammel net, pukat udang, dan pancing tonda, yaitu masing-masing 5840 unit, 2253 unit, dan 1354 unit. Trammel net dan pukat udang banyak diandalkan nelayan dalam menangkap udang dan biota non ikan, yang kebutuhan dan potensinya cukup 66

tinggi di lokasi penelitian, serta harga jualnya yang mahal. Hal ini membuat nelayan di Kabupaten Belitung banyak tertarik untuk mengusahakannya, meskipun secara finansial belum tentu lebih baik dari yang lainnya. Pukat udang dan trammel net di Kabupaten Belitung termasuk alat tangkap yang mudah rusak karena lokasi pengoperasian pada umumnya adalah perairan dangkal. Perairan Kabupaten Belitung dan sebagian besar Selat Malaka termasuk perairan dangkal, sehingga alat tangkap yang menangkap ikan demersal dan biota laut non ikan sangat mudah tersangkut dengan karang atau benda-benda di dasar perairan. Jermal, sero dan jaring insang lingkar (JIL) termasuk alat tangkap yang jumlahnya sedikit di Kabupaten Belitung, yaitu masing-masing 17 unit, 61 unit, dan 87 unit. Sedikitnya jumlah jermal lebih disebabkan oleh biaya investasinya yang besar sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengusahakannya. Sero dan jaring insang lingkar (JIL) juga hanya diusahakan dalam skala besar, dimana setiap alat tangkap tersebut dapat mempekerjakan 8 15 nelayan. Lebih lanjut pembahasan tentang investasi ini disajikan dalam analisis kelayakan usaha pada Bab 5. 4.1.2 Kondisi armada dan daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Gambar 7 Peta daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung 67

Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung, sesuai dengan daerah penelitian terdapat di empat kecamatan yang tersebar di pesisir barat pulau Belitung, yaitu Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau dan Kecamatan Membalong. Perairan tempat penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan menyebar sampai ke pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar kecamatan-kecamatan itu, sehingga dalam melakukan penelitian, tidak dapat dilakukan spesifikasi secara detail asal muasal nelayan, karena mereka melakukan penangkapan ikan lebih diarahkan insting mereka sebagai nelayan tradisional dengan mempergunakan armada penangkapan yang mereka miliki. Pada Gambar 7 disajikan peta daerah penangkapan ikan yang terdapat di daerah penelitian. Di Kecamatan Sijuk lebih banyak dipakai alat tangkap ikan yang terdiri dari panjing tonda, sero dan bubu, sedangkan di Kecamatan Tanjung Pandan banyak digunakan payang, jaring insang hanyut (JIH), sementara itu di Kecamatan Badau nelayan banyak mempergunakan trammel net dan di Kecamatan Membalong nelayan lebih senang mempergunakan pukat pantai dengan sistem arisan dan berkelompok. Dalam melakukan penangkapan ikan, nelayan mempergunakan bermacam-macam armada untuk menangkap ikan dan dilengkapi dengan alat tangkap ikan yang mereka miliki. Secara garis besar, armada penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dapat dibagi dalam tiga kategori besar, yaitu armada/perahu tanpa motor, armada/perahu motor tempel, dan armada/perahu motor. Armada/perahu motor termasuk yang paling banyak dioperasikan di Kabupaten Belitung, yaitu rata-rata 1976 unit setiap tahunnya (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008). Gambar 8 menyajikan jumlah armada penangkapan ikan yang dioperasikan selama periode 2000 2009 di Kabupaten Belitung, baik untuk armada/perahu tanpa motor, armada/perahu motor tempel, maupun armada/perahu motor. 68

Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) 2500 2000 1500 1000 500 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Perahu Tanpa Motor Perahu Motor Tempel Perahu Motor Gambar 8 Jumlah armada penangkapan yang dioperasikan selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 8, jumlah armada/perahu motor yang beroperasi setiap tahunnya di perairan Kabupaten Belitung di atas 1000 unit. Operasi armada/perahu motor dengan jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sekitar 2225 unit, sedangkan yang paling rendah terjadi pada tahun 2000, yaitu hanya 1637 unit. Banyaknya jumlah armada yang beroperasi pada tahun 2005 diduga karena kegiatan usaha perikanan berkembang dengan baik dan hasil tangkapannya meningkat, sehingga mendorong pertumbuhan jumlah armada penangkapan yang dibutuhkan. Jumlah armada penangkapan yang tinggi ini di tahun 2005 juga terjadi pada jenis armada/perahu tanpa motor dan armada/perahu motor tempel. Pada tahun 2005, armada/perahu tanpa motor dan armada/perahu motor tempel di Kabupaten Belitung masing-masing mencapai 530 unit dan 56 unit. Jumlah yang rendah pada awal periode tahun 2000-2001 untuk ketiga kategori armada penangkapan memberi indikasi belum berkembangnya secara maksimal usaha perikanan tangkap di lokasi. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya pembinaan di kalangan nelayan, nilai produk perikanan yang rendah, perkembangan isu perikanan yang krusial di lokasi dan lainnya. Gambar 9 menyajikan kondisi jumlah armada/perahu tanpa motor dari jenis jukung dan perahu papan kecil selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. 69

Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) 600 500 400 300 200 100 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Jukung Perahu Papan Kecil Gambar 9 Jumlah armada/perahu tanpa motor dari jenis jukung dan perahu papan kecil selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Armada/perahu tanpa motor yang beroperasi di Kabupaten Belitung umumnya dari jenis jukung dan perahu papan kecil, sedangkan untuk perahu papan ukuran sedang dan besar tidak ada (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008 dan Ditjen Perikanan Tangkap, 2009). Untuk perahu ukuran kecil, pada tahun 2002-2005 pernah tidak dioperasikan, namun pada tahun 2006-2009 berkembang lagi dengan jumlah yang signifikan, yaitu mencapai 441 unit pada tahun 2006. Hal ini diduga karena pola penangkapan yang berubah/belum stabil di lokasi sehingga memberi peluang untuk tumbuh dan tenggelamnya sarana pendukung penangkapan yang digunakan. Pada tahun 2002-2005 jukung berkembang baik di Kabupaten Belitung, namun turun kembali pada tahun 2006 2009 seiring dengan bertambahnya perahu papan kecil. Melihat kondisi seperti ini, diduga jukung dan perahu papan kecil mempunyai fungsi yang relatif sama, sehingga dapat disubstitusikan dalam mendukung kegiatan perikanan tangkap di lokasi. Dalam kaitan dengan armada/perahu motor, armada yang beroperasi di Kabupaten Belitung berukuran maksimum 20 30 GT (Gross Tonnes). Gambar 10 menyajikan kondisi jumlah armada/perahu motor dari ukuran < 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, dan 20-30 GT selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. 70

Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) 2500 2000 1500 1000 500 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT Gambar 10 Jumlah armada/perahu motor dari ukuran < 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, dan 20-30 GT selama periode 2000 2009 di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa sebagian besar armada/perahu motor yang beroperasi di Kabupaten Belitung mempunyai ukuran < 5 GT. Hal ini sekaligus memberi penegasan bahwa dominasi perahu motor dalam kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung sebagian besar merupakan kontribusi armada 5 GT ke bawah. Armada/perahu motor dengan ukuran 10-20 GT paling banyak kedua di Kabupaten Belitung. Armada dengan ukuran ini banyak digunakan dalam operasi alat tangkap skala menengah seperti pancing tonda dan jaring insang. 4.2. Perkembangan Nelayan Kemajuan sektor perikanan sangat tergantung terhadap kondisi nelayan. Bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi kelautan yang akan dikembangkan, tidak bisa melepaskan diri dari tersedianya nelayan. Untuk itu perlu sejumlah agenda untuk pemberdayaan nelayan. (Arif Satria, 2004) Pertama, perlu diupayakan skim kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas nelayan, sehingga nelayan mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri. Kedua,memacu peningkatan kualitas SDM nelayan, tidak saja pengetahuan, tetapi juga ketrampilan serta kesehatan baik fisik maupun mental. Ketiga, mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat nelayan, untuk menciptakan 71

ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar. Keempat, memperkuat jaringan nelayan untuk membangun kerjasama dan saling pengertian antar masyarakat nelayan, khususnya dalam hal pemanfaatan sumber daya. Hal ini mengingat bahwa kegiatan perikanan adalah lintas wilayah administratif. Jaringan ini diarahkan untuk terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya, agar tidak terjadi konflik antar nelayan. Secara umum, nelayan di Kabupaten Belitung terbagi dalam tiga kategori, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan, dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan yang bekerja tetap merupakan nelayan yang menjadikan kegiatan penangkapan ikan sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarganya. Nelayan sambilan merupakan nelayan yang sebenarnya punya pekerjaan tetap, namun bila tidak ada kesibukan di pekerjaan tetap, mereka akan ikut secara serius bekerja pada kegiatan penangkapan ikan. Di Kabupaten Belitung, pekerjaan tetap dari nelayan sambilan ini biasanya bertani, berkebun atau buruh di perusahaan swasta. Nelayan sambilan merupakan nelayan yang sudah punya pekerjaan tetap dan pekerjaan sambilan bila ada waktu luang, namun bila pekerjaan tetap dan pekerjaan sambilan sedang off, mereka akan melakukan kegiatan penangkapan ikan (Pramono, 2005). Atau mereka juga bisa merupakan remaja yang menyempatkan diri ikut menangkap ikan pada saat libur sekolah yang tidak digunakan untuk bermain. Di Kabupaten Belitung, nelayan sambilan tambahan ini biasanya dari kalangan pedagang di pasar, petani yang mempunyai usaha sambilan di rumah, dan kalangan remaja. Nelayan tersebut dapat mengikuti usaha perikanan tangkap yang berbedabeda dari waktu ke waktu, tergantung pada peluang yang ada. Misalnya nelayan sero, kadang juga mengikuti usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH) bila kondisi arus laut kurang baik dan migrasi ikan yang ditangkap sero tidak begitu banyak. Nelayan Kabupaten Belitung punya kebiasaan selalu mengikutkan anak, saudara dan teman dekat pada usaha perikanan tangkap yang mereka jalankan bila mereka membutuhkan pekerjaan. Hal ini tentu memberi dampak sosial yang baik karena dapat meminimalisasi pengangguran dan konflik sosial lainnya. Tabel 3 menyajikan komposisi jumlah nelayan yang bekerja tetap, sambilan, dan sambilan tambahan periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. 72

Tabel 3 Jumlah nelayan yang bekerja tetap, sambilan, dan sambilan tambahan periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Tahun Nelayan Nelayan Nelayan Total Sambilan Tetap Sambilan Nelayan Tambahan (orang) (orang) (orang) (orang) 2000 6432 1326 128 7886 2001 7634 1376 102 9112 2002 7983 1348 198 9529 2003 8023 1342 247 9612 2004 8932 2145 0 11077 2005 8940 1085 46 10071 2006 4164 5112 0 9276 2007 4365 5210 0 9575 2008 4753 5712 0 10465 2009 6562 5441 12 12015 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung tahun 2009. Pada Tabel 3 terlihat jumlah nelayan yang bekerja tetap, berkembang meningkat setiap tahunnya pada periode tahun 2000 2005. Jumlah ini kemudian menurun drastis pada tahun 2005 ke 2006, yaitu dari 8940 orang pada tahun 2005 menjadi 4164 orang pada tahun 2006. Penurunan ini terjadi karena kalangan nelayan usia muda yang memiliki pendidikan cukup tinggi, serta adanya peluang pekerjaan yang dirasa lebih baik bagi mereka, seperti tawaran menjadi pengawai honorer di instansi pemerintah dengan harapan suatu saat dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan tawaran bekerja di luar daerah, seperti di Batam dan Malaysia. Kenyataannya memang pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I lalu, banyak tenaga honorer instansi pemerintah yang diangkat menjadi PNS. Namun jumlah nelayan tetap tersebut meningkat kembali di tahun 2009 menjadi sekitar 6562 orang, hal ini terjadi karena disamping adanya laju pertumbuhan penduduk, juga karena beberapa nelayan usia muda yang menerima tawaran kerja tersebut kembali bekerja sebagai nelayan akibat pekerjaan sebelumnya tidak memberikan kepastian. Jumlah nelayan sambilan cenderung meningkat dari tahun ke tahun meskipun pernah mengalami penurunan, yaitu dari 2145 orang pada tahun 2004 menjadi 1085 orang pada tahun 2005. Penurunan tersebut tidak begitu besar bila dibandingkan dengan peningkatan pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2006 73

meningkat tajam menjadi 5112 orang. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 terjadi karena terbukanya kesempatan menjadi nelayan sambilan bagi petani dan profesi lainnya akibat ditinggalkan oleh nelayan tetap usia muda yang mencari pekerjaan lain pada tahun 2005. Jumlah nelayan sambilan tersebut bertahan terus hingga tahun 2009, yang meningkat menjadi 5441 orang. Meskipun pada tahun 2008 sempat melonjak menjadi 5712 orang. Jumlah nelayan sambilan tambahan relatif berfluktuatif setiap tahunnya, namun secara umum kecenderungannya adalah menurun. Berdasarkan Tabel 3, jumlah nelayan sambilan tambahan pada tahun 2000 sekitar 128 orang, sempat meningkat menjadi 247 orang pada tahun 2003, namun menurun kembali hingga pada tahun 2009 hanya ada sekitar 12 orang. Hal ini terjadi karena kesempatan yang ada lebih banyak diisi oleh nelayan sambilan, dimana intensitas keikutsertaan dan tingkat keseriusannya relatif lebih baik daripada nelayan sambilan tambahan. Hal ini menjadi wajar karena pengusaha atau nelayan pemilik tidak mau kegiatan penangkapannya terganggu akibat ketidakjelasan anggota yang ikut serta. Secara umum, jumlah nelayan di Kabupaten Belitung memperlihatkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, meskipun tidak terlalu signifikan. Hal ini memberi indikasi bahwa ada dukungan potensi dari sumber daya lokal, bila hal ini dapat diteruskan maka kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dapat dikembangkan lagi. 4.3 Kondisi Produksi Ikan Sektor perikanan di Kabupaten Belitung dapat memproduksi ikan setiap tahunnya, baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, maupun udang dan biota laut non ikan lainnya. Produksi setiap jenis ikan tersebut terkadang berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, migrasi ikan, dan upaya penangkapan yang dilakukan nelayan Kabupaten Belitung setiap tahunnya. Alat tangkap yang umum dioperasikan nelayan dalam mendukung produksi ikan tersebut diantaranya adalah pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, jaring insang hanyut (JIH), pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang, dan trammel net. 74

Tabel 4 menyajikan jumlah produksi ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang dan biota laut non ikan yang menggunakan alat-alat tangkap tersebut selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. Tabel 4 Jumlah produksi ikan selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Tahun Ikan Pelagis Besar (ton) Ikan Pelagis Kecil (ton) Ikan Demersal (ton) Udang dan Biota Laut Non Ikan (ton) 2000 5951.90 4959.00 4553.20 538.40 2001 8235.22 4597.90 4656.10 776.40 2002 8919.72 5764.80 4350.10 683.70 2003 8919.60 5296.30 5032.90 888.60 2004 9071.20 4428.50 5287.60 1002.30 2005 10687.28 5470.00 5623.90 1125.50 2006 10987.00 5926.00 5376.80 809.40 2007 10939.90 6714.40 6090.20 826.50 2008 9857.82 6394.80 6366.80 595.30 2009 7051.00 6582.60 6015.30 815.80 Sumber : Olahan data (2010) Berdasarkan Tabel 4, secara umum di Kabupaten Belitung, produksi ikan pelagis besar lebih tinggi daripada produksi ikan pelagis kecil, ikan demersal, maupun udang dan biota laut non ikan. Produksi ikan pelagis besar tertinggi terjadi pada tahun 2005, 2006, dan 2007, yaitu berturut-turut mencapai 10687,28 ton; 10987,00 ton; dan 10939,90 ton. Peningkatan ini terjadi karena aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut, disamping terjadi migrasi ikan yang cukup banyak di lokasi tersebut, sehingga hasil tangkapan nelayan lebih baik. Gambar 11 menunjukkan trend upaya penangkapan gabungan (effort-gabungan) selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. 75

Upaya Penangkapan (trip) (unit) 2500000.00 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Ikan Pelagis Kecil Ikan Pelagis Besar Ikan Demersal Udang dan Biota Laut Non Ikan Gambar 11 Trend upaya penangkapan gabungan (effort-gabungan) selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung Produksi ikan pelagis kecil dan ikan demersal relatif berimbang selama periode tahun 2000 2009 di Kabupaten Belitung. Produksi tertinggi untuk ikan pelagis kecil terjadi pada tahun 2007, yaitu sekitar 6714,40 ton, dan produksi terendah terjadi pada tahun 2004, yaitu sekitar 4428,50 ton. Produksi ikan demersal pada tahun 2007 dan tahun 2008 termasuk paling tinggi, yaitu masingmasing mencapai 6090,20 ton dan 6366,80 ton, dan produksi terendahnya terjadi pada tahun 2004, yaitu sekitar 4350,10 ton. Bila dihubungkan dengan trend upaya penangkapannya (Gambar 11), maka upaya penangkapan ikan demersal lebih tinggi dan meningkat sangat tajam, upaya penangkapan ikan pelagis kecil lebih stabil dan cukup kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) potensi ikan demersal lebih kecil daripada potensi ikan pelagis kecil sehingga dengan upaya penangkapan yang lebih tinggi, jumlah hasil tangkapannya juga tidak meningkat lebih baik, (2) produktivitas penangkapan ikan demersal secara umum tidak lebih baik daripada penangkapan ikan pelagis kecil, sehingga tidak bisa meningkatkan hasil tangkapan meskipun upayanya ditingkatkan. Produksi udang dan biota laut non ikan termasuk paling rendah di Kabupaten Belitung. Hal ini wajar karena sumber daya ini umumnya lebih sedikit penyebarannya di perairan. Fluktuasi produksi udang dan biota laut non ikan ini tidak begitu besar di Kabupaten Belitung, dimana produksi paling tinggi terjadi 76

pada tahun 2004 dan 2005, yaitu masing-masing 1002,30 ton dan 1125,50 ton. Sedangkan produksinya yang termasuk rendah terjadi pada tahun 2000 dan 2008, yaitu masing-masing 538,40 ton dan 595,30 ton. Bila jumlah produksi ini dihubungkan dengan upaya penangkapannya, maka akan tampak bahwa upaya penangkapan yang cenderung naik (Gambar 11) tidak menyebabkan kenaikan pada jumlah produksi udang dan biota laut non ikan lainnya di Kabupaten Belitung. Apakah ini merupakan indikasi dari overfishing atau ada penyebab lainnya, pembahasan terkait stok akan menjelaskan kondisi potensi maksimum lestari dan tingkat pemanfaatan sumber daya udang dan biota laut non ikan tersebut. Penyebab lain yang mungkin terjadi adalah teknologi penangkapan udang dan biota laut non ikan yang tidak berkembang dengan baik, sehingga produktivitas penangkapan rendah dan bahkan cenderung turun, seiring bertambahnya umur alat tangkap. Selama ini, pukat udang dan trammel net merupakan alat tangkap yang banyak diandalkan oleh nelayan di Kabupaten Belitung, dan dapat menyebabkan penurunan produktivitas bila tidak dirawat dengan baik, apalagi misalnya dengan alasan ketidak-adaan biaya. Terkait dengan ini, maka pembinaan perlu terus diberikan kepada nelayan tersebut terutama dalam introduksi teknologi penangkapan dan pendugaan daerah penangkapan yang lebih baik. 4.4 Stok Sumber daya Ikan Seiring peningkatan produksi perikanan di Indonesia, penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri pun mengalami peningkatan. Jika tahun 2001, total penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,69 juta ton, pada 2003 telah mencapai 5,30 juta ton. Dengan demikian, pada periode tahun 2001 2003, rata-rata kenaikan konsumsi ikan dalam negeri mencapai 6,41 % per tahun (Wahyuni, 2007). 4.4.1 Stok sumber daya ikan pelagis besar Ikan pelagis besar merupakan sumber daya ikan yang sangat penting di Kabupaten Belitung, karena sumber daya ikan tersebut telah menjadi hasil tangkapan yang sangat penting bagi nelayan di Kabupaten Belitung, dimana 77

sekitar 44 % dari total hasil tangkapan nelayan, merupakan jenis ikan pelagis besar. Gambar 6 pada bagian sebelumnya menunjukkan hal tersebut. Adapun jenis-jenis ikan pelagis besar yang potensial di Kabupaten Belitung adalah cucut, tongkol, cakalang, dan tenggiri. Ikan tenggiri termasuk jenis ikan pelagis besar yang dominan ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung. Nilai produksi pada tahun 2008 mencapai Rp 59.297.750.000. Hal ini didukung oleh alat tangkap yang digunakan nelayan berupa pancing tonda dan payang, dimana mereka lebih terbiasa dan telah menggunakan alat tangkap tersebut secara turun-temurun. Hasil survey menunjukkan bahwa nelayan telah dapat mengadopsi beberapa teknologi dari luar dalam pengembangan alat tangkap yang digunakan, termasuk pada pancing tonda dan payang. Secara detail, alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung, yang terdiri dari pancing tonda, payang, jaring insang tetap, dan jaring insang lingkar, telah lama digunakan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian, meskipun dengan intensitas yang berbedabeda dari tahun ke tahunnya. Gambar 12 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung. 70000 60000 Produksi (ton) 50000 40000 30000 20000 MSY=45513.78 to 2005 2007 10000 2008 2006 2004 2003 2002 2009 2001 2000 F Opt=34364 tri 0 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000 Upaya Penangkapan (trip) Gambar 12 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung 78

Hasil analisis potensi sumber daya ikan pelagis besar menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer pada Gambar 12 memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung, yaitu sekitar 45513,78 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar 34364 unit. Nilai MSY memberi panduan bagi kegiatan produksi ikan pelagis besar di lokasi penelitian sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Sedangkan nilai F optimum memberi batasan bagi setiap upaya penangkapan terhadap sumber daya ikan pelagis besar di lokasi agar tidak melampaui jumlah unit yang ditentukan. Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung Produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar pada Gambar 13 tersebut perlu dikontrol dengan baik. Hal ini penting untuk menjamin stok sumber daya ikan pelagis besar di lokasi dan kelangsungan pemanfaatan juga terus dapat dilakukan. Gambar 14 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan Catch Per Unit Effort (CPUE) ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung. Berdasarkan Gambar 14 tersebut, slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar cukup landai 79

yaitu dengan nilai sekitar -0,00004. Hal ini memberi indikasi bahwa bila penangkapan dilakukan secara intensif, maka tidak begitu memberi dampak pada penurunan hasil tangkapan dan hal ini bersesuaian dengan penelitian Karyana (1993) di perairan pantai barat Kalimantan. Lampiran 4 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung. Y = -0.00004X+2.64896 Gambar 14 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung Hasil analisis lanjutan menunjukkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung hanya mencapai sekitar 19,91 %. Produksi tahunan rata-rata ikan pelagis besar selama periode tahun 2000 2009 sekitar 14953,46 ton, sedangkan produksi pada tahun 2009 mencapai sekitar 7051 ton. Baik produksi tahunan rata-rata maupun produksi tahun terakhir tersebut masih jauh di bawah MSY ikan pelagis besar sebesar 50.099,16 ton di lokasi penelitian. Terkait dengan ini, maka stok sumber daya ikan pelagis besar dapat dikatakan sangat memadai untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. Bila pengembangan tersebut direalisasikan dengan komoditas utama berupa ikan pelagis besar, maka tingkat pemanfaatan yang terjadi saat ini, nilai MSY dan F optimum hasil analisis dapat dijadikan acuan pengembangan termasuk dalam memobilisasi tenaga kerja, maupun sarana dan prasarana perikanan yang dibutuhkan di Kabupaten Belitung. 80

4.4.2 Stok sumber daya ikan pelagis kecil Sumber daya ikan pelagis kecil juga merupakan komoditas perikanan yang diandalkan di Kabupaten Belitung. Penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung biasanya menggunakan jaring insang lingkar, sero, jaring insang hanyut, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap. Alat tangkap tersebut umumnya dikembangkan secara turun temurun dan ada beberapa yang telah mengintroduksi teknologi yang dibawa oleh nelayan pendatang, seperti dari nelayan dari bugis dan jawa untuk alat tangkap jaring insang dan sero. Jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari ikan layur, layang, selar, lemuru, kembung, dan teri. Gambar 15 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung. Sedangkan Gambar 16 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung. Produksi (ton) 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 2000 2009 2002 2003 2004 MSY=7237.78 ton 2007 2006 2005 2001 2008 1000 0 F Opt=78654 trip 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 Upaya Penangkapan (trip) Gambar 15 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung 81

Y = -0.000001X+0.18404 Gambar 16 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 15, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung sekitar 7237,78 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar 78654 unit. Lampiran 12 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung. Gambar 17 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung 82

Gambar 17 menyajikan perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung yang bisa dikontrol dengan MSY dan F Optimum tersebut. Produksi tahunan rata-rata ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung selama periode 10 tahun terakhir sekitar 5613,43 ton. Bila nilai tersebut dihubungkan dengan nilai potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) maka tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung sekitar 77,56 %. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk pengembangan lebih lanjut sistem perikanan terpadu di perairan Kabupaten Belitung. Dengan produksi ikan pelagis kecil pada tahun 2009 sekitar 6582,60 ton, masih terdapat kemungkinan untuk lebih ditingkatkan lagi sebesar 10 20 % per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil yang bernilai -0,000001 memberi ruang untuk pengembangan tersebut, dimana dampak penangkapan intensif terhadap penurunan hasil tangkapan tidak begitu besar (slope landai). Bila dibandingkan dengan sumber daya ikan pelagis besar, maka pemanfaatan stok sumber daya ikan pelagis kecil masih tergolong rendah, yang berarti peluang pengembangannya di perairan Kabupaten Belitung tidak sebaik ikan pelagis besar. Terkait dengan hal ini, meskipun pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil masih dapat ditingkatkan, namun menurut Kimker (1994) harus dikontrol dengan baik sehingga pemanfaatan tersebut terus berkelanjutan di kemudian hari. 4.4.3 Stok sumber daya ikan demersal Ikan pelagis demersal yang terdapat di perairan Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari manyung, bawal, kakap, pepetek, kurisi, kerapu, dan pari. Ikan manyung, kurisi, kerapu termasuk ikan demersal andalan di perairan Kabupaten Belitung. Nilai produksinya pada tahun 2008 yaitu sekitar Rp 15.797.350.000 untuk ikan manyung Rp 27.252.600.000 untuk ikan kurisi, dan Rp 8.999.700.000 untuk ikan kerapu. Sedangkan alat tangkap yang diusahakan oleh nelayan di Kabupaten Belitung untuk menangkap ikan demersal tersebut terdiri bubu, sero, pancing tonda, dan jermal. Sebagian besar alat tangkap tersebut telah lama digunakan di lokasi penelitian, dan untuk usaha jermal banyak dipengaruhi oleh nelayan dari 83

Sumatera Utara, yaitu berupa bangunan jermal dari kayu gelondongan ukuran besar. Gambar 18 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung. 12000 10000 MSY=10671.05 ton Produksi (ton) 8000 6000 4000 2000 2002 2001 2003 2004 2005 2006 2009 2007 2008 2000 0 F Opt=985256 trip 0 250000 500000 750000 1000000 1250000 1500000 1750000 2000000 Upaya Penangkapan (trip) Gambar 18 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 18, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan demersal di Kabupaten Belitung sekitar 10671,05 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar 985256 unit. Nilai MSY dan F Optimum tersebut perlu dijadikan acuan dalam mengukur tingkat produksi dan upaya penangkapan ikan demersal yang dilakukan di Kabupaten Belitung. Bila perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan demersal (lihat Gambar 19) selama ini belum baik di Kabupaten Belitung, maka dengan acuan MSY dan F Optimum tersebut tentu dapat diperbaiki. Produksi tahunan rata-rata ikan demersal di Kabupaten Belitung selama 10 tahun terakhir mencapai sekitar 5335,29 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008), dan ternyata produksi ini masih jauh di bawah potensi maksimum lestari, dimana hingga saat ini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 49,58 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa stok sumber daya ikan demersal di Kabupaten Belitung dapat dikatakan memadai untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. 84

Gambar 19 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung Gambar 20 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung. Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal sangat landai yaitu dengan nilai sekitar -0,00000001. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan hasil tangkapan akan kecil kemungkinan untuk terjadi, meskipun pemanfaatan sumber daya ikan demersal melalui kegiatan penangkapan dilakukan lebih intensif lagi. Lampiran 22 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan demersal di Kabupaten Belitung. Y = -0.00000001X+0.02184 Gambar 20 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung 85

4.5 Stok Sumber daya Udang dan Biota Laut Non Ikan Sumber daya udang dan biota laut non ikan juga termasuk komoditas unggulan atau yang diandalkan di Kabupaten Belitung. Sumber daya ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga bila dimanfaatkan secara optimal dengan teknik yang tepat dapat memberikan banyak manfaat, terutama bagi kehidupan nelayan di Kabupaten Belitung. Sumber daya udang dan biota laut non ikan yang biasanya ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari udang putih, udang barong, udang lainnya, rajungan, dan cumi-cumi. Udang putih, rajungan, cumi merupakan komoditas biota laut non ikan andalan di Kabupaten Belitung, dimana nilai produksinya pada tahun 2008, yaitu masing-masing bernilai Rp 27.906.060.000, Rp 55.120.400.000, dan Rp 19.013.100.000. Penangkapan sumber daya ini di lokasi penelitian, biasanya menggunakan pukat udang dan trammel net. Selama ini, kegiatan penangkapan udang dan biota laut non ikan ini cukup banyak di lokasi penelitian, namun masih kalah besar bila dibandingkan dengan kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Penangkapan udang dan biota laut non ikan umumnya dilakukan oleh nelayan lokal, dan beberapa diantaranya mempunyai jaringan dengan restoran Sea Food yang terdapat di Kabupaten Belitung, Bangka maupun Batam. 2500 MSY=2102.80 trip 2000 Produksi (ton) 1500 1000 500 2002 2001 2000 2003 2004 2005 2006 2007 2009 2008 F Opt=21022 trip MSY =2390.13 ton 0 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 Upaya Penangkapan (trip) Gambar 21 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung 86

Gambar 21 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung. Berdasarkan Gambar 21, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung sekitar 2102,80 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapan yang optimum (F opt) sekitar 21022 unit. Lampiran 30 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung. Nilai MSY dan F Optimum tersebut dapat menjadi acuan dalam pengendalian produksi udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung, sehingga pemanfaatan potensi perikanan jenis ini dapat berkelanjutan hingga ke generasi yang akan datang. Gambar 22 menyajikan perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap udang dan biota laut di Kabupaten Belitung yang perlu dikendalikan menggunakan kedua acuan tersebut. Berdasarkan Gambar 22, upaya penangkapan yang menggunakan pukat udang (udang) meningkat tajam dari tahun ke tahun, sementara hasil tangkapan (produksi) yang didapat tetap rendah. Menurut Monintja (2005), kondisi seperti ini perlu dikaji lanjut apakah disebabkan oleh tingkat pemanfaatan yang sudah berlebihan atau alat tangkapnya yang dinilai tidak layak di lokasi tersebut. Gambar 22 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung 87

Produksi tahunan rata-rata udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung selama periode 10 tahun terakhir sekitar 806,19 ton. Bila nilai tersebut dihubungkan dengan nilai potensi maksimum lestari, maka tingkat pemanfaatan sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung mencapai sekitar 38,34 %. Dengan demikian, stok sumber daya udang biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung masih sangat memadai dan terbuka luas untuk pengembangannya. Terkait ini juga, maka produksi pukat udang yang rendah yang dipertanyakan pada paragraf sebelumnya adalah bukan disebabkan tingkat pemanfaatan yang sudah berlebihan. Bila produksi sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung pada tahun 2009 baru sekitar 815,90 ton, maka dapat ditingkatkan lagi hingga dua kali lipat dari produksi sekarang. Menurut Judith (1985), produksi biota laut dapat ditingkatkan bila hasil tangkapan masih lebih rendah daripada potensi lestari yang ada dan kecenderungan kegiatan penangkapan tersebut tidak merugikan secara ekonomi. Gambar 23 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung. Y = -0.000005X+0.20005 Gambar 23 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung 88

Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan (Gambar 23) yang bernilai -0,000005 memberi ruang untuk pengembangan usaha penangkapan udang dan biota laut non ikan tersebut. Slope yang landai tersebut menunjukkan bahwa penangkapan yang lebih insentif tidak akan berdampak nyata pada penurunan hasil tangkapan nelayan setiap tripnya. Slope juga memperkuat hasil analisis MSY dalam kaitannnya dengan stok sumber daya udang dan biota laut non ikan untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. 89