I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

SURAT PERNYATAAN. Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

REVITALISASI KEHUTANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi.

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA, Ir. MARTHEN KAYOI, MM NIP STATISTIK DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA i Tahun 2007

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO

BAB 2 Perencanaan Kinerja

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Pengantar Teori Ekonomi dan Moneter

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 625/KPTS-II/1998 TENTANG

KEPPRES 80/2000, KOMITE ANTAR DEPARTEMEN BIDANG KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN. Oleh : Budi Nugroho

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI MALUKU

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 132/KPTS-II/2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

Oleh/By : Triyono Puspitojati ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Luas hutan Indonesia menurut MoFEC (1999a) seluas 142 juta hektar, yang

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.40/VI-BPHA/2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

PENGARUH HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN KAMPAR KIRI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

GEOSTRATEGI INDONESIA

B. Maksud dan Tujuan Maksud

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan menjadi Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan undang-undang ini telah diikuti dengan berbagai perubahan peraturan-peraturan di bawahnya seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal dan lain-lain. Fenomena perubahan ini menarik untuk dikaji guna mengetahui apa yang telah terjadi baik dalam hal perubahan institusi maupun perilaku dan kinerja para pihak yang berhubungan dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam di Indonesia. Dalam kajian Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999) masalah pembangunan kehutanan yang dihadapi pada saat itu sehingga diperlukan perubahan institusi adalah sebagai berikut : Pertama, kekayaan alam dan potensi hutan baru sebagian kecil yang diketahui manfaatnya. Sebagian besar jenis flora, fauna dan mikroorganisme serta isi hutan lainnya masih belum diketahui kedudukan, fungsi dan perannya dalam sistem kehidupan. Sedangkan disisi lain pemanfaatan hutan produksi telah dilakukan secara intensif yang berorientasi pada produksi kayu dan telah terjadi kerusakan hutan yang luas, hal ini menyebabkan resiko hilangnya nilai hutan bagi kesejahteraan masa depan. Berdasarkan pemahaman atas permasalahan ini, perubahan yang dikehendaki

2 adalah peningkatan kemampuan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang isi hutan, dan perubahan pengelolaan hutan dari yang berorientasi kayu menjadi pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya serta menekan dampak kerusakan hutan. Pemikiran ini telah diadopsi dan diwujudkan dalam Undang- Undang No. 41 tahun 1999, yang secara khusus dinyatakan pada butir a dan b mukadimah dan pasal-pasal di dalamnya. Kebutuhan akan informasi yang lengkap dinyatakan dalam pasal 13 ayat 1, bahwa tujuan inventarisasi adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungan secara lengkap; Kedua, pemanfaatan hutan dirasakan belum memenuhi azas keadilan, dimana masyarakat di dalam dan di sekitar hutan masih hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan, sementara di pihak lain terdapat kelompok masyarakat yang meningkat kesejahteraannya dari memanfaatkan hutan. Perubahan menghendaki agar pemanfaatan hutan berkeadilan, dimana pemberian luas setiap unit HPH harus dibatasi, pembatasan ini dimaksudkan agar pengelolaan lebih rasional dan mampu memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang untuk berusaha. Disamping itu kesempatan bekerja dan berusaha melalui berbagai kerjasama antara pemilik HPH dengan masyarakat dapat dibuka lebih luas. Pemikiran ini telah diadopsi dengan memperkenalkan pembatasan luas IUPHHK dan mekanisme lelang. Namun demikian mekanisme lelang yang dibangun oleh pemerintah bukan merupakan mekanisme pasar bersaing, namun sebuah mekanisme pasar yang terdistorsi antara lain berupa hambatan teknik yaitu mekanisme yang mendasarkan pada kompetensi teknik, dan distrosi berupa rekomendasi pemerintah daerah.

3 1.1.2. Perkembangan Kinerja Makro Kehutanan Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), kinerja sektor kehutanan secara makro yang berupa data kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto cenderung menurun selama 14 tahun seperti disajikan pada gambar 1. Kecenderungan penurunan peran ini tidak dapat secara langsung disimpulkan sebagai penurunan kinerja kehutanan, karena peran yang menurun ini dapat saja terjadi karena faktor lain seperti peningkatan peran sektor lain yang lebih besar, atau masuknya industri baru seperti industri teknologi informasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik, maka pengetahuan tentang perkembangan produktivitas hutan alam layak untuk diperhatikan. Grafik 3.1 Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB 1993-2006 2 1.5 1 0.5 0 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 Gambar 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB Tahun 1993-2007

4 Secara umum produktivitas hutan cenderung menurun, atau setidaknya tidak lebih baik dari periode sebelum reformasi. Trend kenaikan yang terjadi sejak periode setelah 2001 diduga bukan merupakan kinerja pengelolaan hutan, mengingat bahwa pada tahun 1998 terdapat kondisi tidak normal dan pada tahun 2001 terdapat kebijakan moratorium penebangan, yang merupakan intervensi oleh pihak ekternal terhadap unit manajemen. Grafik 3.1 Rerata Produksi per Ha Hutan Alam 350 300 250 200 150 100 50 0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Gambar 2. Rarata Produksi Kayu per Hektar Pertahun pada Hutan Alam Sementara itu, Departemen Kehutanan (2007) dan Badan Libang Kehutanan (2007) menunjukkan bahwa laju deforestasi rata-rata tahunan pada periode tahun 1995-2005 seperti pada Tabel 1

5 Tabel 1. Laju Deforestasi tahun 1995-1997, 1998-2000 dan 2000-2005 1995-1997 Laju Deforestasi /tahun (Ha) 1.870.0 00 Periode 1998-2000 2.830.0 00 2000-2005 1.089.0 00 Data laju deforestasi yang menunjukkan angka positif mengindikasikan bahwa luas kerusakan hutan setiap tahun lebih besar daripada kemampuan merehabilitasi hutan. Data ini juga menunjukkan bahwa keadaan hutan di Indonesia semakin banyak yang mengalami kerusakan. Produktivitas setiap unit manajemen hutan alam dapat diperhatikan dari gambar 3. Rata-rata perusahaan memproduksi lebih sedikit kayu pada periode setelah reformasi. Penurunan ini dapat terjadi karena jatah tebang rata-rata perusahaan lebih kecil dan dimungkinkan pula bahwa produksi per hektar per perusahaan mengalami penurunan. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja sektor kehutanan sebelum reformasi dan sesudah reformasi tidak mengalami perubahan.

6 Grafik 3.3. Produksi Kayu Rerata Perusahaan 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Gambar 3. Rerata Produksi Kayu Per Perusahaan Tahun 1997-2007 1.1.3. Kebijakan Pasar dan Teknologi Kondisi hutan yang semakin memburuk telah direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pasar (market shocks) dan melalui kebijakan-kebijakan di bidang teknologi. Dengan asumsi bahwa pengusaha HPH tidak memiliki insentif untuk mengelola hutan dengan baik sebagai akibat tidak adanya pasar kayu bulat yang bersaing, maka IMF menganjurkan agar Indonesia membuka ekspor kayu bulat. Pembukaan pasar ekspor ini dilakukan pada tahun 2000, namun setelah berlangsung kurang lebih satu tahun pasar ekspor ini ditutup kembali karena pada saat yang bersamaan aktivitas illegal logging dan ekspor kayu illegal berkembang pesat. 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pemerintah juga mempercayai bahwa kerusakan hutan terjadi akibat dari jumlah permintaan melampaui batas kemampuan pasokan kayu yang dapat disediakan oleh hutan secara lestari. Untuk menurunkan permintaan kayu bulat, pemerintah

7 mengambil kebijakan restrukturisasi industri, diantara tujuan yang diinginkan adalah menurunkan kapasitas terpasang industri primer. Tidak berhasil menurunkan permintaan melalui restrukturisasi Industri, pemerintah kemudian menempuh kebijakan softlanding, yaitu melakukan intervensi di sisi penawaran dengan menurunkan secara tajam quota produksi kayu perusahaan HPH atau IUPHHK. Upaya mempengaruhi pasar juga dilakukan dengan standarisasi dan sertifikasi, pada waktu terjadi kampanye anti kayu tropis yang dimulai di Amerika Serikat, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara anggota ITTO menetapkan target tahun 2000 yaitu bahwa hanya perusahaan yang telah mengelola hutan secara lestari yang diijinkan berproduksi, target ini tidak pernah tercapai hingga saat ini. Berbagai skema sertifikasi, mulai dari sertifikasi model Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), hingga kepada model-model sertifikasi yang bersifat sukarela maupun wajib telah diberlakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah melalui goyangan pasar (market shocks) tidak mampu menghentikan penebangan hutan, bahkan pada kenyataannya ketika kebijakan itu dijalankan berkembang secara luas praktek illegal logging dan perdagangan illegal kayu bulat di pasar domestik maupun pasar internasional. Secara keseluruhan laju kerusakan hutan masih positif yang menunjukkan bahwa keseimbangan antara penebangan dan pembangunan hutan belum terwujud. Pemerintah juga melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan teknologi pengelolaan hutan. Sistem silvikultur telah mengalami berbagai perubahan dimulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian beralih menjadi Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI), berkembang pula Tebang Pilih Tanam Jalur

8 (TPTJ), kemudian Silvikultur Intensif (SILIN), Sistem Pembalakan Ramah Lingkungan (RIL, reduced impact logging), dan kebijakan-kebijakan teknik lainnya. Faktanya bahwa laju kerusakan hutan masih tetap positif. 1.1.4. Operasi Pengamanan Hutan Upaya untuk mencegah kerusakan hutan juga telah ditempuh melalui berbagai operasi pengamanan hutan. Kegiatan pengamanan hutan dilakukan secara rutin oleh jajaran polisi kehutanan di Dinas-Dinas Kehutanan seluruh Indonesia, merupakan tugas rutin yang wewenangnya telah lama di desentralisasikan. Lalu lintas kayu hasil tebangan telah diatur dengan keharusan membawa dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) yang kemudian diubah menjadi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), sebabagi upaya mencegah peredaran kayu illegal, namun instrumen ini tidak berhasil mencapai tujuannya. Di luar kegiatan rutin tersebut, juga dilakukan operasi-operasi yang melibatkan instansi pemerintah lainnya, pembentukan Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang beranggotakan aparat Kajaksaan, Polisi, hingga organisasi militer. Dalam perkembangannya tim ini diubah menjadi Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Tidak berhasil dengan pengorganisasian melalui tim, pemerintah menjalankan operasi-operasi pengamanan antara lain Operasi Wana Lestari, Operasi Wana Bahari, Operasi Wana Laga, dan lain sebagainya. Berbagai operasi-operasi tersebut tidak dapat menghentikan aktivitas yang merusak hutan, hal ini mendorong Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden yang memerintahkan kepada 18 instansti pemerintah pusat dan Gubernur

9 seluruh Indonesia di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan untuk memberantas praktek illegal logging. Departemen Kehutanan menempatkan program pemberantasan illegal logging sebagai salah satu program prioritasnya. 1.2. Rumusan Masalah Pada latar belakang tersebut diatas dijelaskan bahwa reformasi institusional belum mampu meningkatkan kinerja sektor kehutanan secara umum, dan secara khusus belum mampu mencapai tujuan pengelolaan hutan, tetapi yang terjadi laju kerusakan hutan pertahun masih positif pada angka di atas 1.000.000 Ha pertahun. Kebijakankebijakan untuk merestrukturisasi pasar dan induksi teknologi pengelolaan hutan telah dilakukan, serta operasi penegakan hukum telah ditangani lansung oleh Presiden Republik Indonesia namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sangat mungkin bahwa kebijakan pemerintah dibuat dalam rangka menjawab permasalahan yang diformulasikan secara salah. Dunn (1996) mengangkat isu kesalahan ketiga yang diambil dari pemikiran Howard Raiffa (1968), di dalam Nugroho (2008), yaitu : kesalahan karena memecahkan masalah yang salah karena salah memformulasikan masalah. Pernyataan ini menekankan bahwa sangat penting untuk merumuskan masalah dengan tepat agar diperoleh jawaban yang tepat pula. Memperhatikan kegagalan pemerintah dalam melakukan intervensi pasar dan induksi teknologi, serta penegakan hukum maka menjadi penting untuk memperhatikan aspek institusi yang merupakan

10 perangkat yang mengatur hubungan-hubungan para pihak dalam melaksanakan praktek-praktek yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dimungkinkan adanya berbagai masalah ditingkat peraturan, perilaku atau ditingkat kinerja yang memerlukan penelitian, hubungan-hubungan antar masalah digambarkan pada Gambar 4. Oleh karenanya berdasarkan kepada latarbelakang, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Mengapa perubahan peraturan pengelolaan hutan alam produksi tidak mampu menghasilkan kinerja pengelolaan hutan pemanfaatan yang baik, apakah respon pemerintah dan perusahaan bermasalah, dan masalah institusional apa yang Perubahan Institusional Tahun 1999 KINERJA SEKTOR KEHUTANAN UU No. 41 /99 PP Permen Permen PERILAKU PP Permen Permen KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN terjadi pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai dengan 2007?. Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Masalah Struktur, Perilaku dan Kinerja 1.3. Tujuan Penelitian

11 Sebagaimana telah dikemukanan diatas bahwa diduga telah terjadi kesalahan perumusan masalah dalam mengurus hutan di Indonesia sehingga perubahan peraturan, intervensi pasar, induksi teknologi dan penegakan hukum belum mampu memperbaiki kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji perubahan institusi di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi; 2. Mengkaji respon pemerintah dan perusahaan, dan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan hutan alam produksi, dan 3. Mengkaji dan merumuskan masalah institusi yang mendasar yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Dalam konteks ini institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibatasi pada peraturan-peraturan yang terkait dan penegakan atas aturan-aturan yang diberlakukan sejak tahun 1999 yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. Adapun wewenang dalam penelitian ini adalah kewenangan tentang pengelolaan hutan (forest management), wewenang yang dibahas dalam hal ini bukan wewenang yang dimaksudkan dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2004 dan perubahannya termasuk Undang-Undang no. 112 Tahun 2008. Pengelolaan hutan dibatasi pada pengelolaan hutan tingkat unit manajemen, sedangkan pemanfaatan hutan berupa hasil hutan kayu melalui mekanisme IUPHHK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan

12 Peraturan-peraturan yang digunakan dalam analisa ini dibatasi pada peraturan yang diterbitkan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan kayu di hutan alam produksi, dan jika diperlukan peraturan yang terbit susudahnya dimanfaatkan sebagai bahan pembahasan. Penegakan aturan difokuskan pada penegakan aturan administrasi yang menjadi wewenang Menteri Kehutanan, sedangkan penegakan hukum pidana digunakan sebagai bahan pembahasan apabila terdapat keterkaitan dengan subyek tertentu. Kinerja dalam penelitian ini adalah kinerja pengelolaan hutan, oleh sebab itu tidak melibatkan analisa atas kinerja sektor kehutanan. 1.5. Manfaat yang Diharapkan Dengan mengetahui arah perubahan instusi yang dilakukan oleh pemerintah, perilaku perusahaan atas peraturan dan masalah institusi yang sedang dihadapi, maka diharapkan dapat memberikan arahan guna membantu merumuskan pilihan-pilihan kebijakan publik dalam bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pembuka pandangan untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang diperlukan untuk menjawab masalah institusi ini. 1.6. Keterbatasan Penelitian

13 Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam beberapa hal sebagai berikut : 1. Penelitian tidak dimaksudkan untuk mempelajari hubungan antara kinerja tingkat mikro (IUPHHK) dengan kinerja makro (sektor kehutanan); 2. Tidak secara khusus mempelajari kinerja UU Kehutanan dalam mencapai tujuan baru pengelolaan hutan yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan lestari, dan optimalisasi aneka manfaat hutan dan distribusi manfaat yang berkeadilan; 3. Tidak mempelajari secara langsung latarbelakang, motivasi dan kendala yang dihadapi pembuat peraturan (regulator) dalam menghasilkan institusi yang efisien; 4. Kesenjangan waktu (lag) yang terjadi antara pemberlakuan kebijakan dengan terjadinya dampak dari kebijakan tidak secara khusus dijadikan pertimbangan dalam penelitian ini; 5. Penelitian lebih memfokuskan pada tataran konsep, sehingga aspek-aspek tentang biaya dan manfaat yang timbul akibat perubahan kebijakan tidak menjadi bagian dari penelitian ini; 6. Tidak dikaitkannya penelitian ini dengan aturan main yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan, menyebabkan gambaran tentang permasalahan yang dihadapi menjadi relatif lebih sederhana dibandingkan dengan kondisi aktual di lapangan, mengingat bahwa aturan main tentang desentralisasi juga mempunyai implikasi pada kompleksitas permasalahan; dan

14 7. Data contoh 40 perusahaan yang digunakan merupakan data yang tersedia di Departemen Kehutanan pada periode tahun 2008-2009, sehingga memungkinkan adanya bias terutama terhadap ijin-ijin yang diberikan dalam ukuran luasan yang kecil.