BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. yang dilakukan di Hotel Santika Premiere Slipi, Jakarta. Kuesioner yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Iklim organisasi (atau disebut juga suasana organisasi) adalah. serangkaian lingkungan kerja di sekitar tempat kerja

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. fase diyakini sebagai titik di mana ide ini pertama kali diadopsi, yaitu titik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. MSDM adalah mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh karyawan yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pertumbuhan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. adalah DKI Jakarta sehingga selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa studi yang mengkorelasikan antara tingginya job. Perusahaan tidak lagi hanya mencari calon karyawan yang memiliki

BAHAN AJAR 3 MOHD. KURNIAWAN. DP

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perusahaan akan berjalan baik dengan adanya sumber daya manusia.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tidaknya hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. karyawan untuk mendapatkan kinerja terbaik. memikirkan bagaimana cara perusahaan beradaptasi dengan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan dibahas hasil-hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Jones (2007) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara seorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian pada keluaran organisasi telah banyak dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

BAB I PENDAHULUAN. seperti yang tercantum dalam UU NO.36/2009 pengertian kesehatan adalah keadaan sehat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang telah ditetapkannya sendiri. Chaplin (2006) Life Satisfaction adalah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V. SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PADA PENELITIAN BERIKUTNYA. 5.1 Simpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbulnya tuntutan efisiensi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

Organisasi menjadi lebih tertarik pada work engagement setelah beberapa. hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang ada dengan arah strategis organisasi. Arah strategis organisasi

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah penduduk yang cukup banyak, hal tersebut juga akan. Kondisi tersebut mendatangkan peluang-peluang bisnis yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Hubungan employee engagement dan burnout pada karyawan divisi IT

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas sumber daya manusia (Cheng,

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB I PENDAHULUAN. efektifitas pengelolaan sumber daya manusia. Organisasi yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah penting karena manusia merupakan penggerak utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan organisasi. Terlebih, kepemimpinan dari seorang pemimpin

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

PENDAHULUAN. mampu untuk bekerja sama dan membantu rekan kerja serta melakukan. Orgnizational Citizenship Behavior (OCB) (Steve dan Thomas, 2014)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (negatif) dan teori Y (positif) (Robbins, 2008:225). Individu yang bertipe X

BAB 1 PENDAHULUAN. Psikologi dalam sebuah organisasi memberikan peranan penting pada

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi yang efektif semakin menyadari bahwa faktor yang sangat

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Work Engagement Konsep engagement atau keterikatan dipopulerkan oleh Kahn (1990) yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik, kognitif, dan emosional karyawan dalam peran kerjanya, serta seberapa besar karyawan tersebut menempatkan diri ke dalam interaksi antara hubungan pribadi dengan pekerjaannya dan pribadi dengan rekan kerjanya. Karyawan yang terikat akan menunjukkan keterlibatan secara fisik dalam tugas-tugas mereka, rasa waspada dan penuh perhatian, dan secara emosional terhubung dengan pekerjaan mereka dan rekan kerjanya. Kahn menjelaskan lebih lanjut bahwa work engagement secara psikologis hadir ketika karyawan melakukan peran kerjanya di organisasi dan ketika karyawan tersebut berinteraksi dengan rekan kerjanya. Rothbard (2001) juga mendefinisikan work engagement sebagai keterikatan yang hadir karena adanya psikologis dari diri karyawan yang terjadi ketika karyawan terikat penuh di dalam pekerjaannya. Work engagement melibatkan dua komponen, seperti perhatian dan absorption. Perhatian mengacu pada ketersediaan kognitif karyawan terhadap peran kerjanya sementara absorption mengacu pada sikap karyawan yang sedang asyik dalam 7

8 perannya serta mengacu pada pikiran karyawan yang seluruhnya difokuskan pada pekerjaannya. (Rothbard, 2001). Work engagement adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sejauh mana karyawan terlibat, berkomitmen, antusias, dan bersemangat terhadap pekerjaan mereka (Macey & Schneider, 2008). Menurut Bakker & Leiter (2010) work engagement diartikan sebagai keadaan psikologis yang positif atau kepuasan berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai tingkat energi yang tinggi dan identifikasi yang kuat terhadap pekerjaan seseorang. Schaufeli et al. (2002) menyatakan bahwa work engagement merupakan suatu keadaan yang positif. Work engagement berhubungan pada keadaan pikiran yang ditandai dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (rasa senang). Vigor dikaitkan dengan individu yang memiliki tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental saat bekerja dan hal itu berkaitan dengan kemauan dan ketekunan karyawan untuk meningkatkan usahanya. Dedication mengacu pada keterlibatan individu dalam pekerjaannya dengan rasa antusiasme, kebanggaan, dan tantangan di tempat kerja. Absorption mengacu pada keadaan karyawan dengan konsentrasi total, sangat asyik pada pekerjaannya, dan tidak dapat melepaskan diri dari pekerjaan (Schaufeli et al., 2002). Dengan demikian, karyawan yang terikat dalam pekerjaanya memiliki rasa enerjik, antusiasme yang tinggi, dan sikap efektif pada aktivitas pekerjaan mereka serta melihat diri sendiri mampu menangani tuntutan pekerjaannya.

9 2.1.2. Core Self-Evaluation (CSE) Menurut Judge et al. (1997), seseorang dapat menilai sendiri, orang lain, dan dunianya. Sebagai contoh, seseorang bisa sewaktu-waktu melihat diri mereka sendiri itu lemah atau melihat orang lain menjadi seseorang yang tidak dapat dipercaya. Seseorang mungkin berpikir bahwa hidup adalah suatu hal tidak menentu, kurang menyenangkan atau menganggap dunia sebagai tempat yang berbahaya. Penilaian fundamental ini, disebut coreevaluation. Judge et al. (1997), berpendapat bahwa core self-evaluation (CSE) sebagai suatu sifat pribadi yang akan menjelaskan sikap dan perilaku seseorang. CSE merupakan kesimpulan atau evaluasi dasar bahwa individu mengetahui tentang diri mereka sendiri. Judge et al., (2004) mengembangkan konsep CSE sebagai asumsi mendasar bahwa seseorang mengetahui tentang kelayakan, fungsi, dan kemampuan mereka di lingkungannya. Seseorang dengan CSE positif menilai diri mereka mampu, layak, dan dapat mengendalikan hidup. Seperti core-evaluation, CSE mempengaruhi penilaian, sikap, dan perilaku seseorang dalam situasi tertentu (Judge et al., 2004). Jadi, seseorang yang berpikir bahwa mereka berkompeten, dia akan melihat situasi (misalnya, pekerjaan) secara positif dan berperilaku konsisten di setiap situasi. CSE adalah gagasan yang terdiri dari 4 sifat yang terpisah namun berhubungan (Jugde et al., 1997), yaitu self-esteem, generalized selfefficacy, locus of control, dan emotional stability or neuroticism. Self-esteem

10 meliputi keseluruhan penerimaan diri, keinginan diri, dan harga diri (Judge et al., 2003.). Self-esteem adalah yang paling dasar dari komponen utama CSE karena merupakan nilai keseluruhan bahwa seseorang dapat menempatkan diri mereka dalam lingkungannya. Sifat kedua CSE, yaitu generalized self-efficacy, mengacu pada penilaian dari kemampuan dasar untuk melakukan dan menguasai keberhasilan di berbagai situasi (Locke et al., 1996). Bandura (1997) juga mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk berhasil melaksanakan dan melakukan tugas tertentu. Namun, definisi generalized self-efficacy menurut Bandura lebih global, tidak berfokus pada situasi tertentu. Generalized self-efficacy melibatkan keyakinan bahwa individu dapat berhasil menangani tuntutan hidup. Sifat CSE yang ketiga, yaitu locus of control, mengacu pada keyakinan tentang penyebab peristiwa dalam kehidupan (Judge et al, 2003). Seseorang dengan locus of control internal percaya bahwa mereka secara umum di arahkan dari peristiwa dalam kehidupan dan nasib mereka ditentukan oleh tindakan mereka. Sebaliknya, seseorang dengan locus of control eksternal percaya bahwa karena lingkungan atau keberuntungan dalam mengendalikan peristiwa, mereka tidak memiliki kontrol atas peristiwaperistiwa tersebut. Generalized self-efficacy lebih berhubungan pada kepercayaan tentang tindakan atau perilaku sementara locus of control lebih pada siapa yang mengontrol hasil.

11 Terakhir, neuroticism mengacu pada kecenderungan untuk menunjukkan penyesuaian emosional yang buruk dan pengalaman emosional yang negatif seperti rasa takut, permusuhan, rasa bersalah, dan depresi (Judge, 2003). Seseorang yang neurotic menginterpretasikan lingkungan sebagai ancaman yang menyebabkan rasa cemas, malu, tidak percaya diri, dan takut dalam situasi dan lingkungan baru. Dengan demikian, konsep CSE adalah unidimensional, dan empat sifat dasar tersebut menunjukkan sejauh mana individu menggambarkan diri mereka secara positif. 2.1.3. Iklim Psikologis Organisasi berusaha menciptakan suasana kerja atau iklim organisasi yang baik sehingga dapat menghasilkan persepsi individu dalam menanggapi iklim organisasi yang dapat disebut sebagai iklim psikologis (James & Ashe, 1990). Iklim psikologis merupakan persepsi individu atau interpretasi dari lingkungan organisasi termasuk struktur, proses, dan peristiwa, sejauh mana seorang individu merasa bahwa lingkungan psikologis itu bermakna dan cukup aman untuk mempengaruhi motivasi dan sikap seseorang (Baltes et al., 2009). Oleh karena itu, karena iklim psikologis melibatkan deskripsi individu dan interpretasi dari lingkungan organisasi, karyawan dalam konteks dan situasi kerja yang sama dapat mengembangkan persepsi dari lingkungan organisasi. Iklim psikologis akan dipersepsikan positif pada karyawan ketika karyawan merasa yakin bahwa

12 kontribusi yang mereka berika pada organisasi bermanfaat untuk pencapaian sasaran organisasi, dan hal ini akan membuat karyawan lebih terlibat dalam pekerjaannya (Schneider, et. al., 1998). Rego dan Cunha (2007) dalam penelitiannya pada 128 organisasi di Portugal menyatakan bahwa iklim kerja yang kondusif merupakan faktor yang penting dalam motivasi karyawan untuk memaksimalkan kinerjanya, bahkan membuat karyawan merasa senang atau bahagia dalam bekerja sehingga karyawan terikat dalam pekerjaannya. Karyawan akan mempersepsikan keadaannya berdasarkan situasi pekerjaannya yang dituangkan dalam keadaan psikologis masing-masing individu yang disebut dengan iklim psikologis. Namun dari beberapa penelitian tahun silam, konsep iklim psikolgis menjadi standar dan masih banyak penelitian yang membahas mengenai kerangka kerja untuk dimensi iklim psikologis. Iklim psikologis adalah konsep yang multidimensional. Koys dan DeCotiis (1991) menemukan delapan subdimensi iklim psikologis termasuk dukungan, pengakuan, keadilan, inovasi, otonomi, kepercayaan, kekompakan, dan tekanan dapat mewakili keseluruhan konsep dari iklim psikologis. Selain itu, Brown dan Leigh (1996) mengajukan enam dimensi dari iklim psikologis, yaitu manajemen yang fleksibel dan mendukung, kejelasan peran, kebebasan ekspresi diri, kontribusi karyawan terhadap tujuan organisasi, pengakuan dari organisasi, dan tantangan pekerjaan. Patterson et al., (2005) mengembangkan tujuh belas dimensi iklim psikologis, yaitu otonomi, integrasi, keterlibatan,

13 dukungan pengawasan, pelatihan, kesejahteraan, formalisasi, tradisi, inovasi dan fleksibilitas, fokus yang bertujuan, refleksivitas, kejelasan tujuan organisasi, efisiensi, usaha, umpan balik kinerja, tekanan untuk menghasilkan, dan kualitas. Penelitian Lee dan Ok (2015) masih kurang setuju pada dimensidimensi iklim psikologis tersebut. Salah satu alasannya adalah bahwa tidak semua dimensi iklim psikologis berpotensi untuk berbagai jenis dan karakteristik pekerjaan, peran, kelompok kerja, dan/atau organisasi. Oleh karena itu, pada penelitiannya, Lee dan Ok menggunakan empat dimensi dari penelitian perhotelan untuk mencerminkan kerja perhotelan dan organisasi. Dimensi iklim psikologis yang termasuk dalam penelitian ini adalah orientasi pelanggan, dukungan manajerial, layanan internal, dan informasi dan komunikasi (Amenumey dan Lockwood, 2008). 2.2. PERUMUSAN HIPOTESIS 2.2.1. Pengaruh Core Self-Evaluation pada Work Engagement Hubungan antara core self-evaluation (CSE) dan work engagement dapat dikembangkan menggunakan teori tiga kondisi psikologis Kahn (1990). Menurut Kahn, work engagement berkembang ketika tiga kondisi psikologis terpenuhi, yaitu kebermaknaan psikologis, keamanan psikologis, dan ketersediaan psikologis. Kebermaknaan psikologis mengacu pada hal yang positif, yaitu rasa pengembalian investasi diri dalam peran kinerja. Kebermaknaan psikologis menyangkut pada keyakinan bahwa pekerjaan

14 seorang karyawan itu berharga dan cukup bermakna untuk menambah nilai dan signifikansi karyawan untuk berprestasi di tempat kerja. Ketika karyawan percaya bahwa pekerjaan atau peran mereka signifikan dan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai diri atau organisasi, mereka akan membawa diri mereka ke dalam pekerjaan dan menunjukkan keterikatannya (Czarnowsky, 2008). Keamanan psikologis melibatkan kepercayaan dalam menunjukkan diri tanpa rasa takut atau timbulnya konsekuensi negatif untuk citra diri, status, atau karir karyawan (Kahn, 1990). Ketika karyawan percaya bahwa organisasi mereka memberikan lingkungan kerja yang dapat diandalkan dan diprediksi, dengan demikian karyawan akan lebih terikat dalam pekerjaannya. Terakhir, ketersediaan psikologis berfokus pada keyakinan bahwa seseorang dapat masuk ke dalam peran kerja dengan sumber daya fisik, emosional, dan psikologis untuk menyelesaikan pekerjaan (Kahn, 1990). Individu yang secara psikologis mengenali diri mereka sendiri untuk siap menanamkan fisik kognitif, dan energi emosional mereka cenderung menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam kinerja peran. Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan positif antara CSE dan work engagement yang mendukung teori tiga kondisi psikologis Kahn. Judge et al. (2003) mengatakan bahwa individu dengan self-regard positif akan menganggap pekerjaan mereka sebagai suatu hal menarik, menantang, dan signifikan. Locke et al. (1996) mengatakan bahwa individu dengan self-esteem yang positif secara intrinsik akan termotivasi karena

15 mereka menganggap pekerjaan yang menantang itu sebagai peluang untuk bisa mendapatkan keuntungan. Keuntungan tersebut datang ketika karyawan mencapai tujuannya, sehingga karyawan dengan CSE yang tinggi akan mendapatkan kebermaknaan psikologis. Rich et al. (2010) menemukan bahwa seseorang dengan CSE yang tinggi menilai tuntutan pekerjaan sebagai suatu hal yang lebih positif dan karyawan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menangani tuntutantuntutan pekerjaan secara efektif. Maka, karyawan dengan CSE yang tinggi akan menemukan makna peran dalam pekerjaan mereka, menilai lingkungan melalui pandangan positif, dan merasa lebih percaya diri. Hal positif ini dapat memotivasi karyawan untuk lebih terikat dalam pekerjaan. Studi sebelumnya di perhotelan juga mendukung pengaruh positif antara CSE dan work engagement. Karatepe dan Olugbade (2009) melakukan studi pada karyawan hotel dan menemukan bahwa self-effecacy yang positif mempengaruhi salah satu dimensi work engagement, yaitu absorption. Mereka menyimpulkan bahwa karyawan hotel yang kompetitif dan memiliki hubungan positif dengan aktivitas kerja mereka, maka akan senang hati terikat dalam pekerjaan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Ok (2015) di hotel-hotel yang ada di US berhipotesis bahwa core self-evaluation berpengaruh pada work engagement. Hasil menunjukkan bahwa core self-evaluation berpengaruh secara positif pada work engagement. Studi Karatepe dan Demir (2014) pada perhotelan juga menemukan bahwa karyawan hotel dengan CSE positif akan sangat terikat

16 pada pekerjaan mereka. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan antara variabel CSE dan work engagement, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1. Core self-evaluation karyawan berpengaruh secara positif pada work engagement. 2.2.2. Pengaruh Iklim Psikologis pada Work Engagement Seiring dengan teori tiga kondisi psikologis Kahn (1990), terdapat model stres kerja bernama model Job Demands-Resources (JD-R), yaitu kerangka kerja relevan yang memberikan latar belakang teoritis untuk penelitian tentang anteseden work engagement (Demerouti et al., 2001). Model JD-R menurut Demerouti menyatakan bahwa lingkungan kerja jatuh ke dalam dua kategori umum: job demands dan job resources. Job demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari pekerjaan yang memerlukan berkelanjutan fisik dan/atau (misalnya, kognitif atau emosional) usaha dari karyawan. Job demands tidak selalu negatif namun dapat berfungsi sebagai stres ketika perusahaan membutuhkan usaha yang tinggi dari karyawannya. Job demands yang membentuk aturan, disonansi emosional, tekanan waktu, kerja shift, dan beban kerja fisik adalah contoh tuntutan pekerjaan di industri perhotelan (Lee dan Ok, 2013). Job resources mengacu pada sumber daya kerja berupa fisik, psikologis, sosial, atau fitur organisasi dari pekerjaan yang membantu karyawan mencapai tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti mengurangi tuntutan pekerjaan dan konsekuensi secara psikologis, serta

17 merangsang pertumbuhan, pembelajaran, dan pengembangan seseorang. Contoh dari sumber daya kerja meliputi gaji, dukungan supervisor atau timbal balik pelanggan, otonomi kerja atau pemberdayaan (Demerouti et al., 2001). Penelitian sebelumnya berdasarkan teori JD-R menunjukkan bahwa banyak aspek positif dan mendukung lingkungan kerja yang terkait dengan work engagement. Misalnya, menurut Schaufeli dan Salanova (2007) mengatakan bahwa karyawan dapat menjadi terikat ketika supervisor melatih mereka dalam pekerjaan dan memberikan dukungan emosional. Selanjutnya, Maslach et al (2001) juga mengatakan bahwa karyawan yang mencapai tingkat keterikatan tinggi berada dalam sistem yang dirancang dengan pengakuan dari organisasi dan rekan kerja serta imbalan yang sesuai. Menurut Schaufeli dan Salanova (2007), kepemimpinan juga bisa menghasilkan work engagement karena pemimpin memberikan dukungan dan menginspirasi karyawannya. Persepsi karyawan terhadap pelatihan dan pengembangan merupakan peluang penting dalam work engagement, terutama keterampilan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. Dalam konteks perhotelan, studi Karatepe (2013) pada karyawan perhotelan menemukan bahwa politik organisasi yang dirasakan berhubungan negatif terhadap work engagement. Politik organisasi seperti pilih kasih antar rekan di departemen lain, ketidak adilan keputusan mengenai gaji dan promosi, tindakan untuk saling mempengaruhi, dan pelaksanaan kekuasaan dalam suatu organisasi yang menciptakan

18 lingkungan kerja ambigu dan tidak pasti, ini dapat menghalangi work engagement hotel dalam pekerjaan mereka. Berdasarkan artikel acuan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Ok (2015) berhipotesis bahwa iklim psikologis yang tercipta karena iklim kerja organisasi merupakan prediktor penting bagi work engagement. Hasil penelitian mereka mengatakan bahwa empat dimensi iklim psikologis yang digunakan dalam penelitian mereka berpengaruh positif pada work engagement. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan pengaruh dimensi iklim psikologis di industri perhotelan pada work engagement, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut: H2: Iklim psikologis karyawan berpengaruh positif pada work engagement. Secara khusus, H2a: Persepsi karyawan terhadap orientasi pelanggan berpengaruh positif pada work engagement. H2b: Persepsi karyawan terhadap dukungan manajemen berpengaruh positif pada work engagement. H2c: Persepsi karyawan terhadap pelayanan internal departemen lain berpengaruh positif pada work engagement. H2d: Persepsi karyawan terhadap berbagi informasi dan komunikasi antar departemen berpengaruh positif pada work engagement.

19 2.2.3. Peran Moderasi Iklim Psikologis Terhadap Pengaruh Core Self- Evaluation pada Work Engagement Dalam teori Conservation of Resources (COR) Hobfoll (2001) mendefinisikan sumber daya sebagai objek, karakteristik pribadi, kondisi, atau energi yang bernilai. Contoh sumber daya termasuk harga diri, kepercayaan diri, optimisme, dan self-efficacy. Teori COR berpendapat bahwa orang-orang termotivasi secara intrinsik untuk mendapatkan, mempertahankan, dan melindungi sumber daya ini. Ditambah dengan teori Job Demand-Resources (JD-R), teori COR dapat membentuk beberapa kesamaan untuk hipotesis efek interaksi core self-evaluation dan iklim psikologis pada work engagement. Jika asumsi teori COR mengenai akumulasi sumber daya dan penciptaan sumber daya disatukan ke dalam model JD-R, persepsi ketersediaan sumber daya organisasi (yaitu, iklim psikologis) akan memfasilitasi penggunaan dan akumulasi sumber daya pribadi (yaitu, core self-evaluation), dan dengan demikian dapat menyebabkan work engagement. Artinya, persepsi lingkungan kerja yang wajar dapat mengaktifkan dan/atau meningkatkan kepercayaan diri karyawan tentang kelayakan, kemampuan, dan fungsi mereka. Akibatnya, karyawan dapat sangat termotivasi dan pada gilirannya, akan menunjukkan tingkat keterikatan yang lebih tinggi (Xanthopoulou et al., 2008). Dalam lingkungan kerja yang positif dengan banyak sumber daya organisasi, karyawan dapat meningkatkan tingkat CSE mereka dan

20 menunjukkan tingkat engagement yang tinggi. Studi empiris sebelumnya telah menunjukkan efek dari iklim psikologis pada pengaruh core selfevaluation pada work engagement. Schaufeli dan Salanova (2007) mengungkapkan bahwa sumber daya organisasi seperti pembinaan supervisor, umpan balik, dan dukungan emosional meningkatkan kepercayaan dan keyakinan karyawan, yang mampu meningkatkan work engagement. Pelatihan atau pengembangan pengetahuan berpeluang untuk dapat membangun atau memperkuat ketahanan pribadi dan optimisme di kalangan karyawan, meningkatkan modal psikologis dan dengan demikian mendorong work engagement. Xanthopoulou et al., (2008) juga menyatakan bahwa sumber daya organisasi seperti otonomi, dukungan sosial, pembinaan pengawasan, dan pengembangan profesionalitas dapat meningkatkan kepercayaan diri karyawan, optimisme, dan self-efficacy, dan dengan demikian karyawan lebih cenderung menjadi terlibat dalam pekerjaannya. Selain itu, dalam studi perhotelan pada karyawan front-line hotel yang dikembangkan oleh Karatepe dan Olugbade (2009) dan Karatepe et al. (2010) menunjukkan bahwa karyawan dengan dukungan dari supervisor dan rekan kerjanya memiliki tingkat keyakinan lebih tinggi, iklim psikologis karyawan nantinya akan terikat penuh dalam pekerjaannya. Hasil ini konsisten dengan Xanthopoulou et al., (2008) studi yang dilakukan pada pramugari menyatakan bahwa dukungan rekan kerja merupakan hal penting bagi pramugari untuk meningkatkan keyakinan diri dan keterlibatan mereka dalam kinerja peran. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pramugari yang

21 bekerja di lingkungan yang mendukung akan lebih cenderung untuk percaya bahwa mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dan akibatnya, keyakinan positif ini menyebabkan perubahan positif dalam sikap seseorang tentang self-efficacy yang dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan keterlibatan pekerjaan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Ok (2015) pada industri perhotelan di US berhipotesis juga bahwa iklim psikologis memoderasi pengaruh core self-evaluation pada work engagement. Namun, hasil penelitian Lee dan Ok menunjukkan bahwa iklim psikologis tidak memoderasi pengaruh core self-evalution pada work engagement. Oleh karena itu, berdasarkan studi empiris sebelumnya yang menjelaskan hubungan dan pengaruh antara iklim psikologis, core self-evaluation, dan work engagement, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut: H3: Iklim psikologis karyawan memoderasi pengaruh positif core selfevaluation pada work engagement. Secara khusus, H3a: Persepsi karyawan terhadap orientasi pelanggan memoderasi pengaruh positif core self-evaluation pada work engagement. H3b: Persepsi karyawan terhadap dukungan manajemen memoderasi pengaruh positif core self-evaluation pada work engagement. H3c: Persepsi karyawan terhadap pelayanan internal departemen lain memoderasi pengaruh positif core self-evaluation pada work engagement.

22 H3d: Persepsi karyawan terhadap berbagi informasi dan komunikasi antar departemen memoderasi pengaruh positif core self-evaluation pada work engagement. 2.3. KERANGKA PENELITIAN Kerangka penelitian merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah penting (Sugiyono, 2009). Suatu kerangka berpikir akan menghubungkan secara teoritis antara variable penelitian, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Dengan demikian, kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang menjadi obyek permasalahan atau sintesis tentang hubungan antarvariabel yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan. Berikut bagan dari kerangka pemikiran penelitian ini: Core Selfevaluation H1 H3 (a-d) Iklim Psikologis Work engagement H2 (a-d) Orientasi pelanggan Dukungan manajemen Pelayanan internal Informasi dan komunikasi Gambar II.1. Kerangka Penelitian Sumber: Lee dan Ok (2015)

23 Variable independen : Core self-evaluation Variabel dependen Variabel moderasi : Work engagement : Iklim psikologis Berdasarkan kerangka penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian ini akan menguji pengaruh core self-evaluation pada work engagement dengan iklim psikologis sebagai variabel moderasi.