HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor Kutudaun Aphis craccivora yang dipelihara dan diidentifikasi berasal dari pertanaman kacang panjang, sedangkan A. gossypii berasal dari pertanaman cabai. Kedua spesies kutudaun tersebut diperoleh di daerah Dramaga, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil pengamatan, kutudaun A. craccivora mempunyai ciriciri serangga dewasa (imago) berwarna hitam mengkilat, dan pradewasanya berwarna hitam kusam. Kutudaun ini hidup berkoloni biasanya banyak ditemukan di pucuk tanaman, bunga, polong, dan permukaan bawah daun kacang panjang. Hal ini sesuai dengan Blackman & Eastop (2000) yang menyatakan bahwa ciriciri A. craccivora adalah imago hidup mempunyai tubuh berwarna hitam mengkilat, sedangkan tubuh pradewasanya berwarna abu-abu berlilin, koloni pradewasa berkumpul pada titik tumbuh (pucuk) tanaman inang, dan biasanya diikuti oleh semut. Hasil identifikasi berdasarkan imago yang telah diawetkan dalam preparat mikroskopik A. craccivora Koch.menunjukkan bahwa kutudaun ini adalah imago aptera dengan panjang tubuh 2,1 mm (Gambar 1A), kepala tempat antena melekat tidak berkembang (weakly developed) (Gambar 1B), panjang sifunkuli 0,52 mm, panjang kauda 0,26 mm dan jumlah rambut pada kauda 5 helai (Gambar 1C). Ukuran menurut Blackman & Eastop (2000) panjang tubuh aptera berkisar antara 1,4-2,2 mm sedangkan alatae 1,4-2,1 mm, sifunkuli pada A. craccivora terlihat jelas tanpa alat bantu (perbesaran), kepala tempat antena melekat (antennal tubercle) tidak berkembang, jumlah rambut pada kauda 4-7 helai, dan abdomen bagian atas memiliki bercak hitam yang kompak dan hampir menutupi semua permukaan abdomen bagian dorsal.
14 a Skala : 1 mm (B) b c d e (A) (C) Gambar 1 Preparat kutudaun A. craccivora Koch. Kutudaun tidak bersayap (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Abdomen (b), Sifunkuli (c), Kauda (d), Tungkai (e). Preparat kepala tempat antena melekat tidak berkembang (B). Preparat kauda dan sifunkuli (C). Berdasarkan hasil pengamatan, ciri-ciri kutudaun A. gossypii adalah imago mempunyai tubuh berwarna kuning, hijau, hijau kekuningan, dan merah bercampur kuning. Imago yang berwarna hijau dan berukuran besar adalah imago yang memperoleh sumber makanan yang melimpah. Kutudaun ini memiliki variasi warna, hidup berkoloni dan biasanya banyak ditemukan pada pucuk daun, tangkai daun, permukaan daun bagian bawah, dan buah cabai. Menurut Blackman & Eastop (2000) ciri-ciri A. gossypii mempunyai warna yang lebih bervariasi, sebagian besar berwarna hijau gelap, hampir mendekati hitam, tetapi imago dalam koloni yang padat dan suhu yang tinggi kemungkinan panjangnya tidak lebih dari 1 mm dan berwarna kuning pucat sampai hampir berwarna putih. Sifunkuli berwarna gelap dan kauda berwarna pucat atau kehitaman. Seringkali diikuti dengan koloni semut. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kutudaun ini adalah imago A. gossypii Glover. aptera (tidak bersayap), memiliki panjang tubuh 1,4 mm (Gambar 2A), kepala tempat antena melekat tidak berkembang (weakly developed) (Gambar 2B), panjang sifunkuli 0,24 mm, panjang kauda 0,12 mm dan jumlah rambut pada kauda 6 helai (Gambar 2C). Menurut Blackman & Eastop (2000) panjang aptera 0,9-1,8 mm, sedangkan alatae 1,1-1,8 mm, kepala
15 tempat antena melekat (antennal tubercle) tidak berkembang, jumlah rambut pada kauda 4-7 helai. a Skala : a 0,5 mm (B) b b c d c e d (A) (C) Gambar 2 Preparat kutudaun A. gossypii Glover. Kutudaun tidak bersayap (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Tungkai (b), Abdomen (c), Sifunkuli (d), Kauda (e). Preparat kepala tempat antena melekat tidak berkembang (B). Preparat kauda dan sifunkuli (C). Hubungan Antara Jumlah Kutudaun dan Masa Inkubasi VMB Berdasarkan hasil penelitian pada tanaman bengkuang, gejala awal yang muncul terlihat jelas pada daun yaitu daun menjadi melengkung keatas atau ke bawah, semakin hari lekukannya semakin jelas, akhirnya daun mengerut dan keriting pada bagian tengahnya. Tanaman bengkuang belum menghasilkan bunga dan polong hingga 4 minggu pengamatan. Menurut Agrios (2005) gejala awal daun yang terinfeksi BCMV adalah daun menjadi bergelombang dan selanjutnya warna daun menjadi berubah dan tidak merata, seiring dengan berjalannya waktu daun melengkung kebawah dan keatas, selanjutnya daun terlihat mengerut dan tahap selanjutnya terjadi mosaik, malformasi daun, dan green vein banding (penebalan di sekitar pertulangan daun berwarna hijau tua)
16 Efisiensi penularan VMB dengan jenis dan jumlah vektor yang berbeda dapat dilihat dari masa inkubasinya. Adapun data pengamatan masa inkubasi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Hubungan Antara Jumlah Vektor dan Masa Inkubasi VMB. Jumlah Vektor (ekor) Aphis craccivora Masa inkubasi VMB (hari) Aphis gossypii 1 24.5 + 6.5 a * 27.1 + 2.3 a 3 18.7 + 7.0 b 23.7 + 5.8 a 5 14.4 + 1.1 bcd 20.0 + 7.5 a 7 17.1 + 5.1 bc 21.8 + 5.9 a 10 14.9 + 6.3 bcd 17.9 + 7.3 a K - - * Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan patogen untuk memperbanyak diri dalam tanaman sejak patogen tersebut diinokulasikan hingga gejala pada tanaman muncul (Bos 1990). Penularan VMB dengan A. craccivora satu ekor memberikan masa inkubasi lebih panjang secara nyata dibandingkan dengan perlakuan jumlah kutudaun lainnya, sedangkan penularan dengan jumlah kutudaun 3, 5, 7 dan 10 ekor tidak menunjukkan masa inkubasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan konsentrasi virus mencapai optimal setelah jumlah kutudaun bertambah menjadi 3 ekor, dan peningkatan jumlah kutudaun menjadi 5, 7, dan 10 ekor tidak berpengaruh terhadap percepatan masa inkubasi (Tabel 1). Sebagian besar virus membutuhkan 2 sampai 5 hari atau lebih untuk mengekspresikan gejala dari daun yang diinokulasi. Sekali virus masuk ke dalam floem, maka akan sangat cepat virus tersebut menuju daerah pertumbuhan (meristem apikal) atau bagian penting lainnya. Dalam floem, virus menyebar ke seluruh tanaman secara sistemik dan masuk ke sel parenkim yang berbatasan
17 dengan floem melalui plasmodesmata (Agrios 2005). Berdasarkan analisis data, penularan VMB dengan A.craccivora memiliki rata-rata masa inkubasi lebih singkat dibandingkan penularan dengan A. gossypii. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurlaelah (2006) yang menyatakan bahwa pada penularan VMB, gejala yang muncul pertama kali terlihat pada A. craccivora, A. glycines, dan terakhir pada A. gossypii pada perlakuan jumlah kutudaun 10 ekor. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara virus dengan jenis vektornya. Penularan VMB dengan A. gossypii dengan jumlah 1, 3, 5, 7 dan 10 menunjukkan masa inkubasi yang lebih panjang dibandingkan dengan A. craccivora (Tabel 1). Penularan VMB dengan jumlah kutudaun yang semakin sedikit berkolerasi dengan waktu inkubasi yang lebih panjang, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kutudaun A. gossypii dari 1 sampai 10 ekor tidak berpengaruh pada masa inkubasi VMB. Jumlah kutudaun sebagai vektor berhubungan dengan konsentrasi virus yang ditularkan. Konsentrasi virus yang terdapat pada stilet satu ekor kutudaun A. gossypii lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi virus pada 3, 5, dan 10 ekor kutudaun, dengan asumsi setiap stilet mempunyai ukuran dan kapasitas yang sama untuk menyimpan virus (Kusnadi 1991). Pada penelitian ini konsentrasi virus dari satu ekor kutudaun A. gossypii diduga merupakan konsentrasi optimal dalam pengaruhnya terhadap masa inkubasi VMB sehingga peningkatan konsentrasi virus yang dibawa vektor tidak mempercepat masa inkubasinya. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Fatmawati (2003) yang menyatakan bahwa masa inkubasi penularan virus mosaik kuning pada tanaman kabocha dengan satu ekor A. gossypii relatif lebih lama dibandingkan dengan penularan yang menggunakan 3, 5, dan 10 ekor kutudaun. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena perbedaan jenis virus dan spesies tanaman yang digunakan. Matthews (1970) mengatakan bahwa tanaman akan menunjukkan perbedaan respon kerentanannya terhadap infeksi virus yang ditularkan satu spesies vektor kutudaun. Hubungan antara jumlah kutudaun sebagai vektor untuk menularkan virus mempunyai hubungan yang cukup erat dengan masa inkubasi (Fatmawati 2003; Nurlaelah 2006). Tetapi ada kalanya hal itu tidak terjadi karena kemungkinan
18 adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Hadidi et al. (1998) interaksi antara tanaman inang, virus, vektor, dan lingkungannya sangat rumit. Lingkungan berpengaruh terhadap vektor dan virus. Sebagai contoh, temperatur tidak hanya mempengaruhi kebiasaan vektor secara langsung tetapi juga mempengaruhi penggandaan virus dan translokasinya dalam tanaman. Pada penelitian ini telah diupayakan kondisi lingkungan yang seragam sehingga setiap tanaman (inang) mendapatkan temperatur yang sama (homogen) di rumah kaca. Pengaruh Inokulasi VMB terhadap Kejadian Penyakit dan Tipe Gejala Hasil pengamatan terhadap kejadian penyakit dan tipe gejala pada tanaman bengkuang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Kejadian penyakit (KP) 1) dan tipe gejala 2) hasil penularan VMB dengan A. craccivora dan A. gossypii Perlakuan A. craccivora Tipe gejala A. gossypii Tipe gejala (ekor) 1 9/10 Mo, Md 8/10 Mo 3 9/10 Mo, Md 9/10 Mo 5 9/10 Mo, Md 7/10 Mo, Md 7 9/10 Mo, Md, Vb 10/10 Mo, Vb 10 10/10 Mo, Md, Vb 10/10 Mo, Md, Vb K 0/10-0/10-1) KP = n/n ( tanaman bergejala/ tanaman uji), berdasarkan gejala & ELISA untuk yang tidak bergejala 2) Mo: mosaik, Md: malformasi daun, Vb: vein banding Kejadian penyakit pada bengkuang dengan perlakuan vektor A. craccivora sebanyak 1 sampai 7 ekor menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 90%, dan pada perlakuan 10 ekor kejadian penyakitnya mencapai 100%. Kejadian penyakit dengan perlakuan A. gossypii lebih bervariasi yaitu pada perlakuan satu ekor sebesar 80%, kemudian pada perlakuan 3 ekor kejadian penyakit mencapai 90%, tetapi pada perlakuan 5 ekor hanya mencapai 70%, dan pada perlakuan 7 dan
19 10 ekor mencapai 100%. Adanya variasi kejadian penyakit ini diduga disebabkan adanya ketahanan individu tanaman yang berbeda. Matthews (1991) menyatakan bahwa ada beberapa tipe ketahanan dan imunitas terhadap virus tertentu dengan berdasar pada kekomplekkan populasi inang diantaranya kekebalan yang melibatkan setiap individu dari suatu spesies. Selain itu, pada perlakuan A. gossypii dengan jumlah kutudaun 5 ekor diduga mempengaruhi kejadian tersebut; (1) kondisi kutudaun yang berbeda, dan (2) saat periode makan akuisisi, pada perlakuan jumlah 5 ekor terdapat kutudaun yang tidak menusukkan stiletnya pada daun yang mengandung virus atau menusukkan stiletnya pada bagian daun yang mempunyai konsentrasi virus yang rendah. Menurut Astier et al. (2007) vektor virus memiliki keragaman dan spesifitas dalam menularkan virus. Secara umum penularan virus dengan vektor serangga melibatkan interaksi molekuler yang sangat spesifik untuk tiap kombinasi virusvektor. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum suatu virus hanya ditularkan oleh satu spesies vektor atau spesies yang secara taksonomi berdekatan. Adanya variasi kejadian penyakit dan masa inkubasi yang panjang dari VMB yang ditularkan A. gossypii kemungkinan karena interaksi virus-vektor yang kurang spesifik dibandingkan interaksi VMB-A. craccivora. Matthews (1970) menyatakan bahwa konsentrasi virus pada infeksi tanaman secara sistemik kemungkinan berbeda pada seluruh bagian jaringan tanaman bahkan pada jaringan yang berdekatan. Hal ini dapat mempengaruhi efisiensi kutudaun memperoleh virus. Djikstra & Jager (1998) juga menyatakan bahwa ketidakberhasilan proses penularan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya kemungkinan kutudaun tidak menghisap jaringan tanaman dan beberapa kutudaun jatuh ke tanah dan hilang. Adapun Agrios (2005) menyatakan bahwa dalam penularan virus tular stilet, virus akan mudah hilang melalui gesekan yang terjadi selama kutudaun melakukan proses pengenalan pada sel tanaman inang. Kejadian penyakit VMB yang ditularkan oleh vektor A. craccivora cenderung lebih tinggi dibanding kejadian penyakit yang ditularkan oleh A. gossypii. Selain itu waktu inkubasi penularan dengan A. craccivora lebih singkat dibandingkan dengan penularan A. gossypii. Hal ini menunjukkan bahwa
20 A. craccivora lebih efisien dan efektif sebagai vektor virus tersebut. Walaupun penularan dengan A. gossypii menyebabkan masa inkubasi lebih panjang, namun satu ekor kutudaun A. gossypii atau A. craccivora sudah efisien menularkan VMB pada bengkuang. Uji efisiensi penularan virus penyebab penyakit mosaik kuning menunjukkan bahwa satu ekor A. gossypii mampu menularkan virus-virus penyebab penyakit mosaik kuning pada tanaman kabocha walaupun efisiensinya relatif rendah (Fatmawati 2003). Efisiensi penularan oleh kutudaun dapat memberikan informasi dalam rangka mencari strategi pengendalian yang tepat untuk pengendalian VMB. Dengan mengetahui jumlah minimal kutudaun yang efisien untuk menularkan VMB, maka populasi kutudaun dapat dikendalikan pada saat yang tepat, atau waktu penanaman bengkuang dapat diatur agar saat tanaman rentan terhadap serangan kutudaun bertepatan dengan saat populasi vektor kutudaun rendah atau tidak ada. Pada tabel 2 dan gambar 3 terlihat bahwa tipe gejala VMB pada bengkuang yang ditularkan A. craccivora dan A. gossypii menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Pada A. craccivora perlakuan 1, 3, dan 5 ekor gejala yang muncul didominasi oleh tipe mosaik dan malformasi daun, dan pada perlakuan kutudaun 7 dan 10 ekor tipe gejala yang muncul adalah mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Pada penularan VMB dengan A. gossypii 1 dan 3 ekor, tipe gejala yang ditimbulkan adalah mosaik. Perlakuan dengan jumlah 5 ekor tipe gejalanya adalah mosaik dan malformasi daun, dan dengan jumlah vektor 7 ekor didominasi oleh mosaik dan vein banding. Pada perlakuan jumlah 10 ekor gejala yang muncul adalah mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Penularan VMB dengan A. craccivora menunjukkan gejala yang lebih parah dibandingkan penularan dengan A. gossypii (Gambar 3). Jika dibandingkan dengan penularan VMB secara mekanis, penularan dengan kutudaun menunjukkan gejala yang lebih parah dan efisiensinya lebih tinggi (Desmiarti 2006). Menurut Matthews (1991) gejala yang berkembang pada tanaman yang tidak resisten maupun toleran akan dipengaruhi oleh genotipe inang dengan berbagai cara. Kemunculan dan keparahan gejala tergantung pada strain virus,
21 varietas tanaman, waktu infeksi, dan kondisi lingkungan. Strain yang berbeda pada virus yang sama memiliki perbedaan efisiensi dalam proses penularan yang hanya ditularkan oleh sebagian spesies kutudaun dan setiap varietas tanaman yang berbeda mempunyai ketahanan yang berbeda pula. Waktu infeksi mempengaruhi keberhasilan proses infeksi virus pada jaringan tanaman. Biasanya waktu yang tepat untuk inokulasi adalah pagi atau sore hari. Kondisi lingkungan diantaranya temperatur, kelembaban, dan angin dapat mempengaruhi pergerakan dan aktivitas makan kutudaun (Matthews 1991). VMB dapat ditularkan ke tanaman kacang panjang, buncis, dan kapri. Umumnya di lapang bengkuang ditanam tumpang sari dengan tanaman kacang panjang. Mengingat BCMV menginfeksi kacang-kacangan, maka penanaman tumpang sari seperti ini sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan penularan virus antar jenis tanaman dapat terjadi via kutudaun (Desmiarti 2006; Damayanti et al. 2008). Uji ELISA Tanaman Bengkuang yang Tidak Bergejala Selain terdapat tipe gejala seperti pada tabel 2, terdapat juga daun yang tidak menampakkan gejala pada tanaman uji setelah diinokulasi oleh vektor A. craccivora dan A. gossypii. Pada perlakuan jumlah A. craccivora 1, 3, 5, dan 7 ekor sebanyak 8 tanaman tidak menampakkan gejala, sedangkan pada perlakuan jumlah A. gossypii 1, 3, 5 dan 10 ekor sebanyak 11 tanaman tidak menampakkan gejala (Tabel 3). Agrios (2005) menyatakan bahwa virus laten adalah virus yang menginfeksi inang tertentu tanpa menyebabkan perkembangan gejala visual, sedangkan inangnya disebut symptomless carier. Untuk konfirmasi kejadian penyakit, virus pada tanaman tidak bergejala diuji menggunakan ELISA. Hasil uji ELISA menunjukkan sebagian sampel tanaman mengandung virus dengan konsentrasi tinggi, padahal gejala visual tidak terlihat. Menurut Agrios (2005) virus menginduksi sintesis protein baru yang dilakukan oleh inang, beberapa diantaranya adalah bahan-bahan aktif secara biologi (enzim, dll.) dan mungkin bertentangan dengan metabolisme normal inang. Hal ini diduga menyebabkan inang melakukan metabolisme normal seperti biasanya sehingga inang tidak
22 bereaksi terhadap benda asing yaitu virus dan akhirnya inang tidak menunjukkan ekspresi gejala yang seharusnya. (A) (B 1 ) (C 1 ) (B 2 ) (C 2 ) (B 3 ) (C 3 ) (B 3 ) (C 3 ) Gambar 3 Variasi gejala VMB pada bengkuang. Daun sehat (A), hasil penularan A. craccivora: malformasi daun parah, malformasi daun, dan mosaik (B 1 -B 3 ) dan hasil penularan A. gossypii: malformasi daun, mosaik, green vein banding (C 1 -C 3 )
23 Menurut Bos (1990) infeksi yang benar-benar laten tidak dikenal untuk virus tumbuhan, tanaman sesungguhnya hanya tidak menunjukkan gejala, meskipun konsentrasi virus mungkin tinggi. Pengujian menggunakan ELISA sangat penting karena dapat mendeteksi virus tanaman yang tidak menampakkan gejala visual pada konsentrasi rendah. ELISA dapat mendeteksi konsentrasi terendah virus yaitu 1-10 ng/ml (Djikstra & Jager 1998). Sebagian kecil virus menyerang seluruh jaringan meristem baru, namun sebagian besar lainnya meninggalkan titik tumbuh batang atau akar yang mengakibatkan tanaman terlihat bebas virus (Agrios 2005). Tabel 3 NAE Tanaman Bengkuang yang Tidak Menunjukkan Gejala Perlakuan 1) Rata-rata Rata-rata NAE 2) Hasil Perlakuan Hasil NAE Buffer 0,104 (-) Buffer 0,104 (-) Kontrol (+) 3,059 (+) Kontrol (+) 3,059 (+) Kontrol (-) 0,111 (-) Kontrol (-) 0,111 (-) C1,1 0,125 (-) G1,2 0,142 (-) C1,7 0,297 (+) G1,8 3,123 (+) C3,1 0,153 (-) G1,9 0,130 (-) C5,2 0,123 (-) G3,1 0,118 (-) C5,8 3,092 (+) G3,3 3,072 (+) C7,1 0,426 (+) G3,6 0,558 (+) C7,8 3,103 (+) G5,1 0,162 (-) C7,9 0,140 (-) G5,7 0,147 (-) G5,8 0,200 (-) G10,7 3,106 (+) G10,8 0,244 (+) 1) C= A. craccivora, G= A. gossypii, angka pertama yang menyertai huruf menunjukkan perlakuan jumlah kutudaun dan angka kedua setelah koma menunjukkan ulangan ke- n. 2) NAE; Nilai Absorbansi ELISA. Uji dinyatakan positif jika NAE sampel uji nilainya 2x NAE kontrol negatif
24 Pada tabel 3, perlakuan jumlah A. craccivora C1,7; C5,8; C7,1 dan C7,8 menunjukkan hasil uji ELISA positif, sedangkan pada perlakuan C1,1; C3,1; C5,2; dan C7,9 menunjukkan hasil negatif. Sementara dapat dilihat pada hasil uji ELISA perlakuan A. gossypii G1,8; G3,3; G3,6; G10,7 dan G10,8 menunjukkan hasil positif, sedangkan pada G1,2; G1,9; G3,1; G5,1; G5,7 menunjukkan hasil negatif. Hasil uji ELISA mengkonfirmasi KP dan menunjukkan bahwa kemunculan gejala dipengaruhi oleh faktor ketahanan individu tanaman yang berbeda. Pada tanaman-tanaman yang tidak bergejala dan ELISAnya negatif, jumlah kutudaun tidak berkolerasi dengan kemunculan gejala. Dugaan lainnya adalah adanya perbedaan konsentrasi virus yang dibawa kutudaun pada stiletnya saat menularkan VMB saat makan akuisisi, sehingga virus yang terbawa stilet kutudaun yang ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehat konsentrasinya rendah. Sehingga, walaupun jumlah kutudaun yang digunakan lebih dari satu, namun tidak cukup untuk menginfeksi bengkuang. Matthews (1970) menyatakan bahwa konsentrasi virus pada infeksi tanaman secara sistemik kemungkinan berbeda pada seluruh bagian jaringan tanaman bahkan pada jaringan yang berdekatan. Hal ini dapat mempengaruhi efisiensi kutudaun memperoleh virus. Menurut Djikstra & Jager (1998) efisiensi penularan virus dengan kutudaun tidaklah sama antar spesies.