TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

BIO306. Prinsip Bioteknologi

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

Bimbingan Olimpiade SMA. Paramita Cahyaningrum Kuswandi ( FMIPA UNY 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

PENDAHULUAN Latar Belakang

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h.

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

ISOLASI DAN KARAKTERISASI cdna HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MOCHAMAD SYAlFUDlN

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos primigenius yang sekarang sudah punah. Domestikasi sapi pertama kali ditemukan di Turki (Perkins, 1969) dengan dua spesies utama ternak sapi di dunia, yaitu tipe berpunuk (Zebu) dan tidak berpunuk (Taurin). Tipe berpunuk termasuk dalam spesies Bos indicus yang tersebar di wilayah Asia dan Afrika Selatan, sedangkan tipe tidak berpunuk (Taurine) termasuk dalam spesies Bos taurus yang tersebar di wilayah Eropa dan Afrika Barat. Kedua spesies ini kemungkinan besar didomestikasi secara bebas (Loftus et al., 1994) sekitar 10.000 tahun sebelum sekarang. Pada umumnya sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis sapi Friesian Holstein (FH) yang termasuk keturunan dari sapi B. taurus. Bangsa sapi Friesian Holstein murni memiliki warna bulu hitam dan putih (black Holstein) atau merah dan putih (red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih, memiliki tanduk yang pendek dan mengarah ke depan (Gambar 1). Sifat-sifatnya adalah jinak, mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, produksi susu tinggi dengan kadar lemak susu rendah, memiliki ukuran tubuh dan kecepatan pertumbuhan yang bagus, dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu (Blakely dan Bade, 1998). Daerah penyebaran FH di Indonesia terutama di dataran tinggi Pulau Jawa. Jawa Timur memiliki populasi sapi perah terbesar, yaitu 139 ribu ekor, diikuti Jawa Tengah 115,4 ribu ekor, Jawa Barat 10,7 ribu ekor, dan DI Yogyakarta 7,3 ribu ekor (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 009). Diwyanto et al. (000) menyatakan bahwa produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3000-3900 liter perlaktasi. Hal ini sudah menyamai performans sapi perah B. taurus yang dipelihara di daerah panas seperti di sejumlah negara Amerika latin yang berkisar antara 3500-4500 liter perlaktasi, sementara produksi susu sapi perah FH di daerah iklim sedang mencapai lebih 6000 liter perlaktasi.

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein, Jenis Sapi Perah yang Banyak Dibudidayakan Peternak di Indonesia (Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 009) Sapi Pedaging Tipe sapi pedaging atau sapi potong memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi dari spesies B. taurus yaitu sapi Limousin dan Simmental. Sapi Limousin memiliki perdagingan yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 001), dengan bobot badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg. Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam spesies B. indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna putih. Spesies B. indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 001). Penghambat perkembangan industri sapi potong antara lain terbatasnya sapi lokal sehingga belum siap mengisi kebutuhan bakalan industri peternakan (feedlotter) dan beroperasinya rumah pemotongan hewan (RPH) tradisional dan ilegal di hampir seluruh wilayah Indonesia (Williamson dan Payne, 1993). Hormon Pertumbuhan Lawrence dan Fowler (00) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan (growth hormone). Chung et al. (000) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan (GH) bersama-sama 4

dengan hormon Insulin-Like Growth Factor-1 (IGF-1) berperan sangat penting dalam mengatur pertumbuhan kelenjar susu dan produksi susu, metabolisme, laktasi, dan komposisi tubuh. Proses sintesis dan pelepasan hormon pertumbuhan atau somatotropin dikontrol oleh dua macam hormon yang terdapat di hipotalamus, yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang berfungsi sebagai penggertak (stimulator) dan Somatotropin Releasing-Inhibitory Factor (SRIF) atau somatostatin sebagai penghambat (inhibitor) (Anderson et al., 004). Kedua hormon tersebut disekresikan oleh neuron sekretoris dalam hipotalamus dan masuk ke dalam pembuluh darah pituitari (Hartman, 000). Neurotransmiter dan neuropeptida mengontrol sekresi somatotropin secara langsung pada bagian somatotrop atau secara tidak langsung melalui jalur hipotalamus (Franklin dan Ferry, 006). Metode PCR- (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism) PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams, 005). Muladno (00) menyatakan bahwa Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam suatu mesin thermocycler. Secara umum, reaksi yang terjadi dalam mesin PCR dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), tahap annealing (penempelan primer), dan tahap extension (pemanjangan primer). Metode PCR- adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzim) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Li dan Graur (1991) 5

menyatakan bahwa enzim pemotong yang dapat mengenal sekuens DNA spesifik disebut recognition sequences dan biasanya memiliki panjang empat sekuens basa atau lebih dan bersifat palindrome. PCR- merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan untuk mencari keragaman genotipe (Yahyaoi et al., 001). Penyisipan (insersi), penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkannya tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya menyebabkannya perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Teknik yang dikombinasikan dengan teknik PCR telah secara luas digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) pada genom maupun pada daerah yang tidak penyandi atau daerah non-coding (Vasconcellos et al., 003). Meghen et al. (1995) menyatakan bahwa jumlah dan ukuran fragmen DNA yang dihasilkan oleh enzim pemotong memiliki pola pita ada atau tidaknya tempat restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan. Nei dan Kumar (000) menyatakan bahwa atas dasar terpotong atau tidaknya fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi. Keragaman Genetik Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus. Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al., 1998). Nei dan Kumar (000) menyatakan bahwa populasi dinilai beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup (biasanya lebih dari 1%). Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang) 6

(Noor, 008). Selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi genotipe. Keragaman genetik dapat digunakan sebagai parameter dalam mempelajari genetika populasi dan genetika evolusi. Tingkat keragaman dalam populasi dapat digambarkan dari frekuensi alel. Frekuensi alel merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam satu populasi (Nei dan Kumar, 000). Derajat heterozigositas, menurut Nei (1987), merupakan rataan persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam populasi. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan dalam menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies. Perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 000). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 000). Javanmard et al. (005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan jika nilai Ho (heterozigositas pengamatan) lebih rendah dari He (heterozigositas harapan) maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif (Tambasco et al., 003). Avise (1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya. Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dikenal juga dengan nama Growth Hormone Realising Factor (GHRF) atau somatocrinin terdiri dari 44 peptida asam amino dengan berat molekul 1447 Da dan panjang 107 aa (Connor et al., 00). Baker et al. (000) menyatakan bahwa GHRH dikenal pula dengan somatoliberin pertama kali diisolasi pada tahun 198 dari sel pituitary dan sel 7

hipotalamus. Berdasarkan fungsi protein, somatoliberin sama seperti glukagon, sekretin, dan VIP (Vasoactive Intestinal Peptide). Beberapa penelitian telah dilakukan pada ternak sapi dan diketahui bahwa somatotropin, somatoliberin dan sejenis sintesisnya meningkatkan produksi baik pada ternak perah yaitu meningkatkan produksi dan lemak susu (Bonneau dan Laarveld, 1999) maupun ternak pedaging (Achtung et al., 001) yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong. Cheong et al. (006) menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk produksi daging. Gen adalah bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang ditranskripsi ke dalam mrna yang akan ditranslasi menjadi protein (Nicholas, 1996; Brown, 1999; Muladno, 00). Gen GHRH pada sapi terletak pada kromosom nomor 13 (Barendse et al., 1994) terdiri dari lima ekson dan empat intron (Gambar ). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah penyandi (coding sequence) (CDS). Selain itu terdapat pula bagian segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown, 1999). 5 Kodon awal ATG Coding Sequence (CDS) Kodon akhir TGA 3 5 3 Ekson 1 Ekson Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5 Intron 1 Intron Intron 3 Intron 4 Flangking Flangking region 5 region 3 Keterangan : Ekson 1 = 65 18 = 64 bp Intron 1 = 19 4339 = 411 bp Ekson = 4340 4440 = 101 bp Intron = 4441 4706 = 66 bp Ekson 3 = 4707 4811 = 105 bp Intron 3 = 481 7047 = 36 bp Ekson 4 = 7048 7167 = 10 bp Intron 4 = 7168 9336 = 168 bp Ekson 5 = 9337 9356 = 0 bp Gambar. Rekonstruksi Struktur Gen GHRH Berdasarkan Sekuens Gen GHRH di GenBank, Nomor Akses AF4855 8

Panjang gen GHRH pada sapi adalah 9356 pb (pasang basa). Moody et al. (1995) melaporkan adanya keragaman gen GHRH pada sapi pedaging dengan metode PCR- menggunakan primer GHRH forward 5 - GTAAGGATGC(C/T)(A/G)CTCTGGGT-3 dan GHRH reverse 5 TGCCTGCTCATGATGTCCTGGA-3 ; serta enzim restriksi HaeIII yang menghasilkan dua buah alel yaitu 317, 83, 55 pb (alel A) dan 196, 11, 83, 55 pb (alel B). Keragaman ditemukan pada exon ketiga gen GHRH pada sapi (no. Akses GenBank U9611). Ruas fragmen untuk gen GHRH HaeIII pada sapi Polish Black and White menurut Dybus dan Grzesiak (006) terletak menutupi bagian ekson, seluruh intron, dan sebagian dari ekson 3; analisis keragaman terletak di intron (no. Akses GenBank AF4855), menghasilkan tiga genotipe, yaitu AA (4 dan 55 pb), genotipe AB (4, 194, 55, dan 48 pb), dan genotipe BB (194, 55, dan 48 pb). Kmiéc et al. (007) melakukan penelitian terhadap keragaman gen GHRH HaeIII dan hubungannya dengan sifat produksi susu pada sapi Polish Red-and-White (salah satu varietas bangsa Friesian Holstein). Produk PCR teramplifikasi sepanjang 97 pb, menghasilkan tiga genotipe, yaitu BB (194, 55, dan 48 pb), AB (4, 194, 55, dan 48 pb) dan AA (4, 55, dan 48 pb). Menghasilkan frekuensi genotipe AA sebesar 9,6%, genotipe AB sebesar 37% dan genotipe BB sebesar 53,4%. Frekuensi alel A sebesar 8,1% dan frekuensi alel B sebesar 71,9%. Tabel 1. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak Ternak Jumlah Alel Posisi Marker Metode Sumber Intron 1 Moody et al. (1995) Sapi Perah dan Pedaging Sapi Pedaging Sapi Perah Sapi Pedaging Sapi Perah Babi Babi 1 tipe Intron Intron 5 UTR dan intron Intron Ekson 3 Ekson 3 Analisis sekuen Dybus et al. (003) Dybus dan Grzesiak (006) Cheong et al. (006) Kmiec et al. (007) Pierzchala et al. (003) Franco et al. (005) 9