HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental menunjukkan adanya dua posisi di gen GH, yaitu di intron 3 - exon 4 untuk fragmen gen GH MspI dan intron 4 - exon 5 untuk fragmen gen GH AluI (Gambar 13). Amplifikasi fragmen gen GH MspI dijalankan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 53 o C selama 45 detik, dan diperoleh produk PCR dengan panjang 327 pasang basa (bp) (Gambar 14). Demikian pula dengan amplifikasi fragmen gen GH AluI dilakukan pada kondisi annealing 55 o C selama 45 detik dan hasilnya memiliki panjang produk PCR sebesar 211 bp (Gambar 15). Intron 2 Intron 3 Intron 4 Exon 3 Exon 4 Exon 5 5 CGCAC*CGGCC bp 5 AGGAG*CTGAA bp Gambar 13 Posisi fragmen gen GH MspI dan AluI serta situs pemotong enzimnya. 500 bp 300 bp 200 bp 100 bp 327 bp M P59 P62 P56 P145 P195 B25 L11 S9 Keterangan : M (marker) = ladder 100 bp P59, P62, P56, P145, = sampel sapi pesisir dari Kabupaten Pesisir Selatan P195 = sampel sapi pesisir dari Kabupaten Padang Pariaman P25 = sampel sapi bali dari Pulau Bali L11 = sampel sapi limousin dari BIB Singosari Malang S9 = sampel sapi simmental dari BIB Singosari Malang Gambar 14 Hasil elektroforesis produk PCR fragmen gen GH MspI.

2 bp 300 bp 200 bp 100 bp 211 bp M P60 P62 P63 P67 P68 S6 S4 S5 Keterangan : M (marker) = ladder 100 bp, P60, P62, P63, P67, P68 = sampel sapi pesisir dari Kabupaten Pesisir Selatan S6, S4, S5 = sampel sapi smmental dari BIB Singosari Malang Gambar 15 Hasil elektroforesis produk PCR fragmen gen GH AluI. Berdasarkan hasil amplifikasi yang dilakukan oleh Mitra et al. (1995) dan Reis et al. (2001) bahwa penempelan (annealing) primer fragmen gen GH MspI dan AluI masing-masing pada suhu 60 o C selama 40 detik dan suhu 62 o C selama 30 detik menghasilkan produk PCR yang baik. Namun pada penelitian ini, hasil amplifikasi antara Mitra et al. (1995) dan Reis et al. (2001) berbeda dalam hal suhu annealingnya dengan hasil penelitian ini. Hasil optimal didapatkan pada suhu 53 o C selama 45 detik pada fragmen gen GH MspI dan suhu 55 o C selama 45 detik pada AluI. Keberhasilan amplifikasi fragmen gen GH MspI dan AluI sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target), selain faktor-faktor lain, seperti bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin PCR. Produk PCR fragmen gen GH MspI (327 bp) yang telah dipotong dengan enzim MspI menghasilkan tiga macam fragmen, yaitu fragmen yang terpotong (dua pita) yang dikenal dengan genotipe +/+, tidak terpotong (satu pita) yang dikenal dengan genotipe -/-, dan fragmen gabungan (tiga pita) yang dikenal dengan genotipe +/- (Gambar 16). Individu-individu sapi yang dianalisis, yaitu sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental apabila dapat dipotong fragmen gen GH-nya, berarti memiliki situs pemotong enzim MspI, yaitu C*CGG. Individu-individu yang tidak dapat dipotong fragmen gen GH-nya berarti mengalami perubahan (mutasi) pada situs pemotong enzim MspI. Adapun individu-individu yang memiliki fragmen gabungan berarti individu tersebut memiliki situs pemotong enzim MspI dan situs pemotong enzim MspI yang tidak dikenal (mutasi) atau individu yang heterozigot.

3 43 M K bp 300 bp 200 bp 100 bp 327 bp 222 bp 105 bp Genotipe : -/- -/- +/- -/- +/+ +/+ Keterangan : M (marker) = ladder 100 bp K + = kontrol positif (tanpa dipotong) No. 1, 2, 4 = individu homozigot -/- No. 3 = individu heterozigot +/- No.5, 6 = individu homozigot +/+ Gambar 16 Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GH dengan enzim MspI. Hasil pemotongan dengan enzim AluI terhadap fragmen gen GH AluI sebesar 211 bp diperoleh tiga macam fragmen, yaitu fragmen yang dapat dipotong (dua pita) yang dikenal dengan genotipe LL, tidak dapat dipotong (satu pita) yang dikenal dengan genotipe VV, dan fragmen gabungan (tiga pita) yang dikenal dengan genotipe LV (Gambar 17). Individu-individu sapi yang dapat dipotong fragmen gen GH-nya berarti memiliki situs pemotong sekuens enzim AluI, yaitu AG*CT, sedangkan yang tidak dapat dipotong berarti fragmen gen GH AluI mengalami mutasi pada situs pemotong sekuens enzim AluI. M bp 300 bp 200 bp 100 bp 50 bp 211 bp 160 bp 51 bp Genotipe: LL LL LL LL LL VV LV LV Keterangan : M (marker) = ladder 100 bp No. 1, 2, 3, 4, 5 = individu homozigot LL No. 6 = individu homozigot VV No.7, 8 = individu heterozigot LV Gambar 17 Genotipe hasil pemotongan produk PCR fragmen gen GH dengan enzim AluI.

4 44 Berdasarkan hasil fragmen gen GH yang dipotong dengan enzim pemotong MspI diperoleh tiga macam genotipe, yaitu individu sapi yang bergenotipe +/+, +/-, dan -/- dengan dua macam alel yaitu alel (+) dan (-). Kedua alel tersebut (Zhang et al. 1993) dianggap sebagai alel yang polimorfik sehingga dikenal dengan situs polimorfik intron C atau situs pemotong yang terletak pada intron 3 (Hoj et al. 1993; Lee at al. 1993). Demikian pula dengan fragmen gen GH yang dipotong dengan enzim pemotong AluI diperoleh tiga macam genotipe, yaitu genotipe LL, LV, dan VV dengan dua macam alel yaitu alel L dan V. Kedua alel ini juga dideteksi adanya situs polimorfik pada exon 5, tepatnya pada posisi 2141 gen GH (Lucy et al. 1993; Yao et al. 1996). Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan Frekuensi Genotipe dan Alel Fragmen Gen GH MspI dan AluI a. Frekuensi Genotipe dan Alel Fragmen Gen GH MspI Hasil analisis frekuensi genotipe (+/+, +/-, dan -/-) dan frekuensi alel (+, -) fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur yang berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan maupun Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Tabel 7 dan 8, sedangkan sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental disajikan pada Tabel 9 serta Lampiran 3. Frekuensi genotipe fragmen gen GH MspI yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur memiliki kecenderungan yang sama (genotipe -/- tinggi) pada setiap kelompok baik pada sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan maupun di Kabupaten Padang Pariaman (Tabel 7). Frekuensi genotipe (+/+, +/-, dan -/-) fragmen gen GH MspI yang terdapat di Kabupaten Pesisir dan Kabupaten Padang Pariaman juga cenderung memiliki frekuensi yang sama tinggi untuk genotipe -/- dan rendah untuk genotipe +/- dan +/+ (Tabel 8). Hal yang sama juga ditemukan pada sapi bali bahwa frekuensi genotipe -/- tinggi dan bahkan tidak ditemukan genotipe +/+ dan +/- (Tabel 9). Sebaliknya pada sapi limousin dan sapi simmental, frekuensi genotipe - /- rendah dan tinggi frekuensi genotipe +/+ dan +/- (Tabel 9). Proporsi genotipe dan alel fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin dan sapi simmental dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.

5 Tabel 7 Frekuensi genotipe fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir berdasarkan asal, jenis kelamin, dan kelompok umur Asal Jenis Kelompok Proporsi Genotipe Kelamin Umur +/+ +/- -/- Pesisir Selatan Jantan Anak (n=6) 0,000 0,167 0,833 Muda (n=15) 0,067 0,200 0,733 Dewasa (n=1) 0,000 1,000 0,000 Jumlah (n=22) 0,046 0,227 0,727 Betina Anak (n=2) 0,000 1,000 0,000 Muda (n=22) 0,000 0,318 0,682 Dewasa (n=52) 0,038 0,347 0,615 Jumlah (n=76) 0,026 0,355 0,619 Jumlah (n=98) 0,031 0,327 0,643 Padang Pariaman Jantan Anak (n=0) 0,000 0,000 0,000 Muda (n=1) 0,000 0,000 1,000 Dewasa (n=0) 0,000 0,000 0,000 Jumlah (n=1) 0,000 0,000 1,000 Betina Anak (n=1) 0,000 0,000 1,000 Muda (n=8) 0,125 0,250 0,625 Dewasa (n=25) 0,120 0,240 0,640 Jumlah (n=34) 0,118 0,235 0,647 Jumlah (n=35) 0,114 0,229 0,657 Keterangan : n = jumlah individu 45 Tabel 8 Frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang Pariaman No. Lokasi n Genotipe Alel +/+ +/- -/- (+) (-) 1. Pesisir Selatan 98 0,031 0,327 0,643 0,194 0, Padang Pariaman 35 0,114 0,229 0,657 0,229 0,771 Total 133 0,053 0, ,203 0,797 Keterangan : n = jumlah individu Tabel 9 Frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GH MspI pada sapi bali, sapi simmental, dan sapi limousin No. Bangsa n Genotipe Alel +/+ +/- -/- (+) (-) 1. Bali 47 0,000 0,000 1,000 0,000 1, Limousin 22 0,409 0,454 0,136 0,636 0, Simmental 18 0,773 0,222 0,000 0,889 0,111 Keterangan : n = jumlah individu

6 46 Proporsi genotipe fragmen gen GH MspI 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pesisir Selatan Padang Pariaman Bali Limousin Simmental Bangsa Sapi Genot ipe +/+ Genotipe +/- Genotipe -/- Gambar 18 Proporsi genotipe fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental. Proporsi alel fragmen gen GH MspI 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pesisir Selatan Padang Pariaman Bali Limousin Simmental Bangsa Sapi Alel (+) Alel (-) Gambar 19 Proporsi alel fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental.

7 47 Pada Gambar 18 dan 19 tampak bahwa proporsi genotipe dan alel fragmen gen GH MspI antara sapi pesisir baik yang berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan maupun dari Kabupaten Padang Pariaman dan sapi bali memiliki proporsi genotipe -/- atau alel (-) tinggi, sebaliknya pada sapi limousin dan sapi simmental rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan proporsi genotipe dan alel antara sapi pesisir dan sapi bali dengan sapi impor (sapi limousin dan sapi simmental) untuk fragmen gen GH MspI. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan tropis (ekstrim) yang membentuk sapi pesisir dan sapi bali, berbeda dari sapi impor (sapi limousin dan sapi simmental) yang berkembang di daerah temperet sehingga diduga dapat mengubah proporsi genotipe atau alel fragmen gen GH MspI. Selain itu, mungkin juga peran sapi bali telah memberikan proporsi yang besar terhadap pembentukan sapi pesisir sehingga memiliki proporsi genotipe -/- atau alel (-) fragmen gen GH MspI yang tinggi karena sapi bali hanya memiliki genotipe -/- atau alel (-) atau bersifat monomorfik. Kajian distribusi fragmen gen GH MspI terhadap beberapa bangsa sapi di dunia yang termasuk dalam kelompok bangsa sapi tidak berpunuk (humpless) dan berpunuk (humped) menunjukkan bahwa frekuensi alel (-) lebih tinggi pada kelompok sapi yang berpunuk (Bos indicus) dibandingkan dengan sapi tidak berpunuk (Bos taurus) (Lagziel et al. 2000) (Tabel 10). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa frekuensi alel (-) tinggi pada sapi pesisir dan sapi bali. Dengan demikian, tidak hanya sapi berpunuk (Bos indicus) yang memiliki frekuensi alel (-) tinggi (Lagziel et al. 2000), akan tetapi juga sapi pesisir dan sapi bali (Bos javanicus) memiliki frekuensi yang sama (tinggi frekuensi alel (-) dan bukan termasuk kelompok sapi berpunuk). Hasil penelitian yang diperoleh menambah informasi bahwa frekuensi alel (-) tinggi tidak hanya terdapat pada kelompok sapi berpunuk (Bos indicus), tapi juga pada sapi bali sebagai ternak asli Indonesia (Bos javanicus) dan sapi pesisir (Gambar 20). Adapun sapi impor (sapi limousin dan sapi simmental) berdasarkan hasil yang diperoleh mendukung pernyataan Lagziel et al. (2000), bahwa frekuensi alel (-) rendah pada kelompok sapi berpunuk (Bos taurus).

8 48 Tabel 10 Distribusi frekuensi alel (-) fragmen gen GH MspI berdasarkan bangsa, jumlah individu, asal bangsa, dan tipe bangsa Frekuensi Asal Bangsa Sapi n Tipe Bangsa Alel Bangsa (-) Angus 65 Scotlandia HL 0,40 Brown Carphatian 22 Ukraina HL 0,26 Charolais 7 Perancis HL 0,22 Gelbveih 15 Jerman HL 0,06 Gray Ukraina 22 Ukraina HL 0,33 Holstein 473 Belanda HL 0,00 Jersey 13 Jersey HL 0,15 Limousin 18 Perancis HL 0,39 N Dhama 18 Guenia HL 0,00 Norwegian Red 32 Denmark HL 0,05 Red Danis 58 Denmark HL 0,19 Reggiana 26 Italia HL 0,52 Simmental 23 Switzerland HL 0,04 Limousin **) 22 Perancis HL 0,36 Simmental **) 18 Switzerland HL 0,11 Boran 4 Kenya H 0,88 Brahman 23 India H 0,65 Gir 18 India H 0,89 Nellore 20 India H 0,82 Siri 9 Bhutan H 0,45 Peranakan Ongole (PO) * 114 Indonesia H 0,26 Bali **) 47 Pulau Bali HL 1,00 Pesisir **) 133 Sum-Bar H 0,80 Sumber : Lagziel et al. (2000), *) Sutarno et al. (2005), ** ) hasil penelitian. Keterangan : HL = Humpless, H = Humped

9 49 Alel (-) Alel (+) Keterangan : sapi pesisir dan sapi bali, sapi PO Gambar 20 Distribusi alel (+) dan (-) fragmen gen GH MspI di dunia (Lagziel et al. 2000; Sutarno et al. 2005; Hasil Penelitian).

10 50 Pada Gambar 20 tampak bahwa distribusi frekuensi alel (-) tinggi di daerah tropis yang memperkuat dugaan akan adanya kemungkinan yang mendukung bahwa alel (-) merupakan alel spesifik untuk daerah tropis. Alel (-) merupakan alel yang diduga mengalami mutasi pada situs pemotong enzim MspI (Lampiran 4) sehingga sapi pesisir dan sapi bali merupakan populasi sapi yang umumnya mengalami mutasi pada situs tersebut. Sebaliknya sapi limousin dan sapi simmental merupakan populasi sapi yang tidak mengalami mutasi pada situs pemotong enzim MspI (C*CGG) di gen GH. Nei (1987) menyatakan bahwa mutasi dapat terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = adenin, T = timin, G= guanin, S = sitosin) dalam bentuk atau tipe mutasi substitusi, delesi, insersi, atau inversi. Pada situs ini, sapi pesisir dan sapi bali diduga mengalami substitusi (tipe transisi) dari basa sitosin (S) ke basa timin (T) (Lampiran 4). Laju mutasi pada DNA di daerah coding relatif rendah, yaitu 4x10-5 per generasi, meskipun laju mutasi merupakan parameter yang krusial karena tidak dapat diukur secara pasti. Brown (1999) menyatakan bahwa penyebab mutasi terjadi karena adanya kesalahan secara spontan pada saat replikasi atau adanya suatu mutagen yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada basa-basa tersebut. Beberapa hasil penelitian terkini yang mendukung dan masih terkait dengan frekuensi alel (-) fragmen gen GH MspI masih terus berlangsung. Zakezadeh et al. (2006), Beauchemin et al. (2006), dan Sodhi et al. (2007) melaporkan bahwa frekuensi alel (-) fragmen gen GH MspI masing-masing 0,45, 0,64, dan 0,87 pada sapi asli iran (mazandrani) (tidak berpunuk), sapi brahman, dan sapi indian zebu (berpunuk). Hasil penelitian ini masih mendukung terhadap hasil yang telah didapatkan oleh Lagziel et al. (2000) bahwa frekuensi alel (-) fragmen gen GH MspI tinggi pada kelompok sapi berpunuk (Bos indicus) dan rendah pada kelompok sapi tidak berpunuk (Bos taurus). Selanjutnya Lagziel et al. (2000) menyatakan bahwa alel (-) merupakan pusat asal-usul alel yang terdapat pada kelompok sapi zebu. Hasil ini juga diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya Loftus et al. (1994) dan MacHugh (1996) yang menyatakan bahwa sapi-sapi zebu (Bos indicus) berasal dari India sebagai salah satu pusat terbentuknya domestikasi Bos indicus dan menyebar ke Asia dan Afrika.

11 51 b. Frekuensi Genotipe dan Alel Fragmen Gen GH AluI Hasil analisis frekuensi genotipe (LL, LV, dan VV) dan frekuensi alel (L,V) fragmen gen GH AluI pada sapi pesisir yang berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan maupun dari Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Tabel 11, sedangkan sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental disajikan pada Tabel 12 serta Lampiran 3. Tabel 11 Frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GH AluI pada sapi pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang Pariaman No. Lokasi n Genotipe Alel LL LV VV L V 1. Pesisir Selatan 98 0,990 0,010 0,000 0,995 0, Padang Pariaman 35 0,971 0,029 0,000 0,986 0,014 Total 133 0,985 0,015 0,000 0,993 0,007 Keterangan : n = jumlah individu Tabel 12 Frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GH AluI pada sapi bali, sapi simmental, dan sapi limousin No. Bangsa n Genotipe Alel LL LV VV L V 1. Bali 47 1,000 0,000 0,000 1,000 0, Limousin 22 0,636 0,364 0,000 0,818 0, Simmental 18 0,500 0,389 0,111 0,694 0,306 Keterangan : n = jumlah individu Tabel 11 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe LL tinggi pada sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan maupun di Kabupaten Padang Pariaman, sebaliknya frekuensi genotipe LV rendah dan bahkan tidak ditemukan genotipe VV baik pada sapi pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan maupun di Kabupaten Padang Pariaman. Demikian pula frekuensi alel L tinggi ditemukan pada sapi pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan maupun di Kabupaten Padang Pariaman. Sebaliknya frekuensi alel V sangat rendah pada kedua populasi sapi pesisir tersebut sehingga cenderung tidak terdapat perbedaan terhadap frekuensi genotipe dan alel pada populasi sapi Pesisir di kedua lokasi tersebut. Tabel 12 juga menunjukkan hasil yang cenderung sama dengan sapi pesisir bahwa frekuensi genotipe LL tinggi pada sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental,

12 52 sebaliknya rendah frekuensi genotipe LV dan VV dan bahkan tidak ditemukan genotipe LV dan VV pada sapi bali. Frekuensi alel L tinggi juga ditemukan pada sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental sebaliknya rendah pada alel V (Gambar 21 dan 22). Proporsi genotipe fragmen gen GH AluI 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pesisir Selatan Padang Pariaman Bali Limousin Simmental Bangsa Genotipe LL Genotipe LV Genotipe VV Gambar 21 Proporsi genotipe fragmen gen GH AluI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental. Proporsi alel fragmen gen GH AluI 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pesisir Selatan Padang Pariaman Bali Limousin Simmental Bangsa Alel L Alel V Gambar 22 Proporsi alel fragmen gen GH AluI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental.

13 53 Gambar 21 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada sapi pesisir dan sapi bali memiliki proporsi genotipe yang lebih tinggi dan bahkan mengarah terjadinya fiksasi untuk genotipe LL dibandingkan dengan sapi limousin dan sapi simmental. Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan pada Gambar 22 bahwa frekuensi alel L lebih tinggi pada sapi pesisir dan sapi bali, sebaliknya rendah pada sapi limousin dan sapi simmental. Dengan demikian, frekuensi genotipe dan alel fragmen gen GH AluI memiliki kecenderungan yang sama tinggi, akan tetapi pada sapi pesisir dan sapi bali mengarah terjadinya fiksasi (genotipe LL dan alel L) dibandingkan dengan sapi limousin dan sapi simmental. Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian yang diperoleh bahwa frekuensi alel L tinggi, sebaliknya rendah pada alel V terhadap semua kelompok sapi yang termasuk dalam kelompok sapi tidak berpunuk (Bos taurus), sapi berpunuk (Bos indicus), maupun silangannya (Tabel 13). Tabel 13 Distribusi frekuensi alel fragmen gen GH AluI pada beberapa bangsa sapi berpunuk, tidak berpunuk, dan silangannya Bangsa Sapi n Tipe Frekuensi Alel Bangsa L V Sumber FH Polish 109 HL 0,640 0,360 Grochowska et al. (2001) FH Polish 177 HL 0,870 0,130 Zwierzchowski et al. (2002) FH Polandia 1086 HL 0,815 0,185 Dybus (2002) FH Hungaria 363 HL 0,930 0,070 Kovacs et al. (2006) Mazandrani 97 HL 0,910 0,090 Zakezadeh et al. (2006) Pedaging Portugis 195 HL 0,759 0,241 Reis et al. (2001) Canchim Brazil 688 Silangan 0,870 0,130 Pereira et al. (2005) Agus 527 HL 0,770 0,230 Barendse et al. (2006) Shorthorn 500 HL 0,760 0,240 Barendse et al. (2006) Brahman 324 H 1,000 0,000 Beauchemin et al. (2006) Nellore 79 H 1,000 0,000 Curi et al. (2006) ½ Simmental 30 Silangan 0,717 0,283 Curi et al. (2006) ½ Angus 245 Silangan 0,992 0,080 Curi et al. (2006) Limousin 22 HL 0,818 0,182 Hasil penelitian Simmental 18 HL 0,694 0,306 Hasil penelitian Pesisir 133 H 0,993 0,007 Hasil penelitian Bali 47 HL 1,000 0,000 Hasil penelitian Keterangan : n = jumlah individu, HL = humpless, H = humped

14 54 Tabel 13 memperlihatkan bahwa frekuensi alel L tinggi pada semua kelompok bangsa sapi, sebaliknya rendah pada alel V. Terdapat kecenderungan bahwa alel V pada kelompok sapi tidak berpunuk (Bos taurus) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sapi berpunuk (Bos indicus), sapi pesisir, dan sapi bali. Langkanya alel V pada sapi pesisir dan sapi bali menarik untuk dikaji. Adanya beberapa dugaan terhadap kemungkinan langkanya alel V pada sapi pesisir dan sapi bali berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu (1) alel V merupakan alel spesifik untuk bangsa sapi yang termasuk dalam kelompok Bos taurus sehingga sangat jarang ditemukan pada populasi sapi asli atau sapi lokal Indonesia (Tabel 13) dan (2) mungkin saja alel V pada sapi pesisir dan sapi bali terkuras akibat penjualan atau pemotongan terhadap sapi-sapi yang memiliki bobot badan besar. Jika asumsi alel V memiliki hubungan dengan bobot badan besar, bisa jadi langkanya alel tersebut pada ternak kita khususnya akibat hal tersebut. Zwierzchowski et al. (2001) menyatakan bahwa genotipe VV memiliki bobot badan dan pertambahan bobot badan harian yang lebih besar dibandingkan genotipe LL dan LV pada sapi pedaging. Sehubungan dengan keberadaan fragmen gen GH AluI, fragmen gen itu saat ini sangat intensif diteliti dibandingkan dengan fragmen gen GH MspI. Hal ini karena posisi situs AluI (AG*CT) berada pada exon 5 gen GH yang merupakan daerah penyandi (coding region). Berdeda dengan situs MspI (C*CGG) yang berada pada posisi intron 3 di gen GH yang bukan daerah penyandi (non-coding). Perubahan yang terjadi pada situs AluI (AG*CT) dari basa sitosin (C) menjadi guanin (G) dapat mengubah asam amino dari leusin menjadi valin (Lucy et al. 1993) sehingga diduga akan mengubah struktur hormon pertumbuhan yang dihasilkan. Berbeda dengan posisi fragmen gen GH MspI bahwa situs MspI (C*CGG) terletak pada intron 3 yang merupakan daerah bukan penyandi (noncoding) sehingga perubahan atau mutasi pada situs tersebut tidak akan mengubah struktur hormon pertumbuhan yang dihasilkan. Meskipun demikian, jika terjadi perubahan atau mutasi pada situs tersebut dapat mencerminkan respon perbedaan geografi antara kelompok sapi Bos taurus (humpless) dan Bos indicus (humped) (Lagziel et al. 2000), serta kelompok sapi yang terdapat di Indonesia seperti sapi pesisir dan sapi bali.

15 55 Keseimbangan Gen dalam Populasi Hasil uji chi-square (χ 2 ), terhadap genotipe fragmen gen GH MspI dan AluI (Lampiran 4) menunjukkan bahwa frekuensi genotipe kedua fragmen gen GH dalam keadaan seimbang (keseimbangan Hardy-Weinberg) pada populasi sapi pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan, sapi limousin, dan sapi simmental. Ketidakseimbangan genotipe hanya terjadi pada populasi sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman untuk fragmen gen GH MspI. Keseimbangan frekuensi genotipe pada populasi sapi bali tidak dilakukan analisis karena frekuensi alel fragmen gen GH MspI dan AluI sama dengan satu. Keseimbangan frekuensi genotipe yang terdapat pada populasi sapi pesisir, sapi limousin, dan sapi simmental menunjukkan bahwa pada populasi tersebut tidak terjadi seleksi terutama seleksi yang didasarkan pada genotipe gen GH. Sebaliknya pada sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman diduga terjadi seleksi karena frekuensi gen GH MspI dalam populasi tersebut tidak seimbang, meskipun hal ini perlu penelitian lanjut karena jumlah sampel yang digunakan terbatas (35 sampel). Suatu populasi dinyatakan dalam keadaan keseimbangan Hardy- Weinberg, jika frekuensi genotipe (p 2, 2pq dan q 2 ) dan frekuensi alel (p dan q) konstan dari generasi ke generasi, karena akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak dalam populasi yang besar (Vasconcellos et al. 2003). Falconer dan Mackay (1996), juga Noor (2004) menyatakan bahwa keseimbangan gen dalam populasi terjadi jika tidak adanya seleksi, mutasi, migrasi, dan genetic drift. Sebaliknya, jika terjadi akumulasi genotipe, populasi yang terbagi, mutasi, seleksi, migrasi, dan perkawinan dalam kelompok/populasi yang sama (endogami) maka dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan frekuensi genotipe atau alel dalam populasi tersebut. Seleksi sebagai salah satu faktor yang dapat mengubah keseimbangan dalam populasi secara cepat, umumnya tidak terjadi pada populasi sapi pesisir, sapi limousin, dan sapi simmental. Hal itu karena pada populasi sapi yang dianalisis mengindikasikan bahwa tidak ada seleksi yang didasarkan pada kriteria genotipe baik pada fragmen gen GH MspI maupun pada fragmen gen GH AluI. Keseimbangan dalam populasi dengan demikian dapat selalu terjaga, kecuali

16 pada populasi sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman terutama untuk penciri PCR-RFLP MspI. 56 Pendugaan Nilai Heterozigositas Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) untuk penciri PCR-RFLP MspI dan AluI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental masing-masing disajikan pada Tabel 14 dan 15. Tabel 14 Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) fragmen gen GH MspI Bangsa Sapi n H observed H expected ± SE Pesisir 133 0,3007 0,3236 ± 0,0266 Bali 47 0,0000 0,0000 ± 0,0000 Limousin 22 0,4545 0,4630 ± 0,0266 Simmental 18 0,2222 0,1974 ± 0,0298 Keterangan : n = jumlah individu Tabel 15 Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) fragmen gen GH AluI Bangsa Sapi n H observed H expected ± SE Pesisir 133 0,0149 0,0139 ± 0,0073 Bali 47 0,0000 0,0000 ± 0,0000 Limousin 22 0,3636 0,2976 ± 0,0746 Simmental 18 0,3889 0,4244 ± 0,0621 Keterangan : n = jumlah individu Pada Tabel 14 tampak bahwa nilai heterozigositas yang paling tinggi ditemukan pada sapi limousin (0,4545) untuk penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI, sebaliknya nilai heterozigositas terendah ditermukan pada sapi bali (0,0000). Adapun penciri PCR-RFLP fragmen gen GH AluI menunjukkan bahwa nilai heterozigositas tertinggi ditemukan pada sapi simmental (0,3889), sebaliknya terendah pada sapi bali (0,000) dan juga sapi pesisir (0,0149) (Tabel 15). Berdasarkan hasil tersebut (Tabel 14 dan 15) bahwa sapi bali merupakan populasi

17 57 sapi yang memiliki heterozigositas yang rendah untuk kedua penciri baik pada fragmen gen GH MspI maupun AluI dibandingkan dengan sapi pesisir, sapi limousin, dan sapi simmental. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih memiliki keterbatasn ukuran jumlah sampel yang digunakan terutama pada populasi sapi simmental, sapi limousin, dan sapi bali yang memiliki jumlah sampel relatif sedikit. Berdasarkan nilai heterozigositas gabungan antara penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI dan AluI menunjukkan bahwa nilai heterozigositas tertinggi diperoleh pada sapi limousin (0,4091) dan nilai heterozigositas terendah pada sapi bali (0,000) (Tabel 16). Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik (Marson et al. 2005) dan mengetahui tingkat polimofisme suatu alel, serta prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer dan Macay 1996). Tabel 16 Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) gabungan fragmen gen GH MspI dan AluI Bangsa Sapi n H observed H expected ± SE Pesisir 133 0,1578 0,1688 ± 0,0170 Bali 47 0,0000 0,0000 ± 0,0000 Limousin 22 0,4091 0,3803 ± 0,0506 Simmental 18 0,3056 0,3109 ± 0,0460 Keterangan : n = jumlah individu Hasil analisis nilai heterozigostas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) tidak mengindikasikan adanya perbedaan yang besar pada semua kelompok populasi sapi (Tabel 14, 15 dan 16). Hal ini mengindikasikan bahwa frekuensi genotipe dari populasi yang dianalisis menunjukkan dalam keadaan keseimbangan baik pada penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI maupun AluI. Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ), maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Demikian pula Machado et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas pengamatan

18 58 (H o ) lebih rendah dari heterozigositas harapan (H e ) dapat mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari adanya proses seleksi yang intensif. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Secara umum nilai heterozigostas (Moioli et al. 2004), khususnya nilai heterozigositas harapan (H e ) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik. Pendugaan Nilai PIC Botstein et al. (1980) menyatakan bahwa pendugaan nilai PIC merupakan salah satu parameter yang menunjukkan tingkat informatifnya suatu penciri (marker). Analisis nilai PIC terhadap penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI dan AluI pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Pendugaan nilai polymorphic informative content (PIC) pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental PIC Bangsa Sapi n Fragmen gen GH MspI Fragmen gen GH AluI Pesisir 133 0,2760 0,0147 Bali 47 0,0000 0,0000 Limousin 22 0,2760 0,2598 Simmental 18 0,1779 0,3343 Keterangan : n = jumlah individu Tabel 17 menunjukkan bahwa sapi pesisir dan sapi limousin memiliki nilai PIC yang termasuk dalam kategori sedang (moderate), sebaliknya sapi simmental memiliki nilai PIC yang termasuk dalam kategori rendah dan bahkan sapi bali sangat rendah atau kurang informatif sebagai penciri untuk fragmen gen GH MspI. Penciri fragmen gen GH AluI, kelompok sapi yang memiliki nilai PIC yang termasuk dalam kategori sedang adalah sapi limousin dan sapi simmental. Sebaliknya, sapi pesisir maupun sapi bali memiliki nilai PIC yang sangat rendah.

19 59 Hal ini berarti bahwa penciri fragmen gen GH AluI memiliki tingkat informasi genetik yang rendah pada sapi pesisir dan sapi bali. Berbeda dari sapi limousin dan sapi simmental yang menunjukkan bahwa kedua penciri (PCR-RFLP fragmen gen GH MspI dan AluI) memiliki tingkat informasi genetik yang bernilai sedang. Botstein et al. (1980) menyatakan bahwa kriteria nilai PIC termasuk ke dalam kelompok rendah jika nilai PIC 0,25, nilai PIC sedang 0,25<PIC<0,5, dan nilai PIC tinggi apabila 0,5. Berdasarkan nilai PIC yang diperoleh, penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI lebih informatif dibandingkan dengan penciri PCR-RFLP fragmen gen GH AluI kecuali pada sapi simmental dan sapi limousin. Botstein et al. (1980) menyatakan bahwa nilai PIC tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan informatifnya suatu penciri, akan tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya suatu alel polimorfik, selain didasarkan nilai heterozigositas. Hildebrand (1992) menyatakan bahwa nilai PIC selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai heterozigositas, karena nilai PIC merupakan nilai heterozigositas yang dikoreksi. Sekuens Gen Hormon Pertumbuhan Homologi dan Deteksi Mutasi Gen GH Analisis sekuens fragmen gen GH AluI dan MspI dapat lihat pada Lampiran 5. Hasil analisis homologi fragmen gen GH MspI dan AluI menunjukkan bahwa fragmen kedua penciri memiliki nilai kesamaan (similarty) yang tinggi terhadap sekuens gen bovine growth hormone (bgh) yang terdapat di GenBank (Gordon et al. 1983) (Lampiran 6). Kesamaan sekuens fragmen gen GH yang tinggi baik pada penciri fragmen gen GH MspI maupun AluI memberikan keyakinan bahwa fragmen gen GH yang diamplifikasi pada bangsa sapi yang diuji merupakan fragmen gen GH. Persentase kesamaan didapatkan pada kedua penciri (fragmen gen GH MspI dan AluI) masing-masing sebesar 96-97% dan 98-99% dengan sekuens gen GH di GenBank. Selain untuk mendapatkan nilai kesamaan gen GH, analisis sekuens fragmen gen GH MspI dan AluI juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran mutasi atau perubahan basa yang terjadi pada situs MspI dan AluI. Berdasarkan hasil analisis sekuens diperoleh bahwa kemungkinan

20 60 mutasi yang terjadi pada kedua situs tersebut adalah mutasi antara basa sitosin (C) menjadi timin (T), dan basa sitosin (C) menjadi guanin (G), seperti disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Mutasi basa nukleotida pada fragmen gen GH MspI dan AluI Fragmen Sekuens Enzim Perubahan Basa Posisi PCR-RFLP gen GH MspI C*CGG C T (1547) * PCR-RFLP gen GH AluI AG*CT C G (2141) * Keterangan : *) Posisi basa (Gordon et al. 1983) Berdasarkan hasil yang diperoleh terdapat perubahan basa pada kedua situs tersebut, meskipun mungkin saja dapat terjadi perubahan (mutasi) dengan basa-basa lain mengingat masih terbatasnya jumlah sampel sekuens yang dianalisis. Namun, hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Zhang et al. (1993) dan Lucy et al (1993), yaitu perubahan antara basa sitosin (C) menjadi timin (T) pada situs MspI dan basa sitosin (C) menjadi guanin (G) pada situs AluI. Ge et al. (2003) menyatakan bahwa perubahan basa nukleotida yang terjadi pada situs AluI (C G) dapat mengubah asam amino dari leusin (L) (CTG) menjadi valin (V) (GTG) pada posisi asam animo ke 127 dari hormon pertumbuhan. Berdasarkan tipe mutasi yang terdapat pada ke dua penciri, mutasi tersebut termasuk dalam tipe mutasi substitusi, yaitu tipe mutasi transisi untuk penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI dan tipe mutasi transversi untuk penciri PCR-RFLP fragmen gen GH AluI. Sebagaimana dinyatakan Li dan Graur (1991), mutasi transisi merupakan mutasi yang terjadi karena adanya substitusi antara basa adenin (A) dengan guanin (G) (purin) atau antara basa sitosin (C) dengan timin (T) (pirimidin), sedangkan mutasi tipe transversi yaitu pertukaran atau substitusi antara basa purin (A, G) dengan basa pirimidin (C, T). Mutasi sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya keragaman genetik (polimorfisme), banyak dimanfaatkan dalam mempelajari beberapa hal seperti jarak genetik (Kemenes et al. 1999), ciri bangsa spesifik (Regitano et al. 1999; Lagziel et al. 2000), dan struktur populasi ternak (Liron et al. 2002). Dalam

21 61 pemuliaan ternak, mutasi menjadi sangat penting apabila terkait dengan sifat produksi (ekonomis) terutama mutasi yang terjadi di daerah penyandi (coding region) pada gen-gen tertentu di genom karena mungkin saja dapat mengubah struktur protein yang dihasilkan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada respons fenotipe, meskipun laju mutasinya sangat rendah (Hartl dan Clark 1997), yaitu 10-4 sampai 10-6 per gen per generasi. Jarak Genetik dan Pohon Genetik Sekuens Fragmen Gen GH Hasil analisis jarak genetik dan pohon genetik yang didasarkan atas fragmen gabungan antara fragmen gen GH MspI dan AluI memiliki total panjang sekuens sekitar 471 bp (Tabel 19) (Gambar 23 dan 24). Tabel 19 Jarak genetik gabungan fragmen gen GH MspI (intron 3 parsial dan exon 4 parsial) dan AluI (intron 4 parsial dan exon 5 parsial) Bangsa Sapi Pesisir 1 [1] 0,00 Pesisir 2 [2] 0,00 0,00 Pesisir 3 [3] 0,00 0,00 0,00 Bali [4] 4,00 4,00 4,00 0,00 Limousin [5] 4,00 4,00 4,00 6,00 0,00 Simmental [6] 6,00 6,00 6,00 8,00 2,00 0, Sapi Pesisir 1 Sapi Pesisir 3 Sapi Pesisir 2 Sapi Limousin Sapi Bali Sapi Simmental 1 Gambar 23 Dendrogram pohon genetik berdasarkan fragmen gabungan gen GH MspI (intron 3 parsial dan exon 4 parsial) dan AluI (intron 4 parsial dan exon 5 parsial).

22 62 Sapi Pesisir 1 TGAGTGGCAC CTCGGACCGA GGGAGCAGGG GACCTCCTTC ATCCTAAGTA GGCTGCCCCA GCTCTCCGCA CTGGGCCTGG GGCGGCCTTC TCCCCGAGGT [100] Sapi Pesisir [100] Sapi Pesisir [100] Sapi Bali A [100] Sapi Limousin......A.....A C [100] Sapi Simmental...A......A.....A C [100] Sapi Pesisir 1 GGCGGAGGTT GTTGGATGGC AGTGGAGGAT GATGGTGGGC GGTGGTGGCA GGAGGTCCTC GGGCAGAGGC CGACCTTGCA GGGCTGCCCC AAGCCCGCGG [200] Sapi Pesisir [200] Sapi Pesisir [200] Sapi Bali..T [200] Sapi Limousin [200] Sapi Simmental [200] Sapi Pesisir 1 CACCCACCGA CCACCCATCT GCCAGCAGGA CTTGGAGCTG CTTCGCATCT CACTGCTCCT CATCCAGTCG TGGCTTGGGC CCTGGCAGTT CCCTAAACCT [300] Sapi Pesisir [300] Sapi Pesisir [300] Sapi Bali [300] Sapi Limousin [300] Sapi Simmental......C [300] Sapi Pesisir 1 TGGCAGGAGC TGGAAGATGG CACCCCCCGG GCTGGGCAGA TCCTCA-GCA GACCTATGAC AAATTTGACA CAAACATGCG CAGTGACGAC GCGCTGCTCA [400] Sapi Pesisir [400] Sapi Pesisir [400] Sapi Bali A......A C [400] Sapi Limousin...G A [400] Sapi Simmental...G A [400] Sapi Pesisir 1 AGAACTACGG TCTGCTCTCC TGCTTCCGGA AGGACCTGCA TAAGACGGAG ACGTACCCTG AGGGTCATGG A [471] Sapi Pesisir [471] Sapi Pesisir [471] Sapi Bali [471] Sapi Limousin [471] Sapi Simmental [471] Keterangan : = situs pemotong enzim MspI (CCGG) dan AluI (AGCT), (...) = sekuens basa yang sama. huruf normal = fragmen gen GH MspI, huruf etalic = fragmen gen GH AluI. Gambar 24 Alignment sekuens fragmen gabungan gen GH MspI (intron 3 parsial dan exon 4 parsial) dan AluI (intron 4 parsial dan exon 5 parsial) pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental.

23 63 Berdasarkan Gambar 24 diperoleh pengelompokan (cluster) yang terpisah antara sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental. Hal ini mengindikasikan bahwa sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental berbeda pada sekuens gen GH-nya meskipun perbedaan pada kedua fragmen tersebut relatif kecil (Tabel 19). Akan tetapi, perbedaan yang ada dapat memberi arti penting kepada pengelolaan sapi pesisir dan sapi bali, khususnya sebagai salah satu sumber daya genetik ternak di Indonesia yang harus dimanfaatkan dan dipertahankan keberadaannya. Ponzoni (1997) menyatakan bahwa jarak genetik adalah sebagai salah satu petunjuk awal dari stuktur populasi dan diferensiasi suatu kelompok (rumpun) yang dapat digunakan dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan program konservasi. Hasil analisis pohon genetik yang dibangun berdasarkan fragmen gabungan gen GH MspI dan AluI dengan total panjang sekuens kurang lebih 471 bp cenderung memiliki kesamaan yang tinggi antarbangsa sapi yang dianalisis (Gambar 24). Kesamaan sekuens yang tinggi antar bangsa sapi tersebut terjadi mungkin disebabkan oleh posisi sekuens DNA yang terdapat di daerah penyandi (coding region) yang merupakan sekuens DNA yang bersifat conserved. Berbeda dari DNA yang terdapat di daerah bukan penyandi (non-coding region) seperti DNA mikrosatelit misalnya memiliki variabilitas atau keragaman tinggi karena laju mutasi yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan mutasi yang terjadi di daerah penyandi atau gen. Pohon genetik yang dibangun berdasarkan fragmen gabungan ini mungkin saja dapat berubah bentuk percabangannya karena nilai persentase bootsrap tidak 100%, bahkan percabangan pada sapi bali dengan sapi pesisir tidak memiliki nilai persentase bootsrap-nya. Selain itu, jumlah sampel sekuens yang terbatas antarbangsa sapi yang dianalisis memungkinkan hasilnya dapat berubah. Sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan (sapi pesisir 1 dan sapi pesisir 2) dan Kabupaten Padang Pariaman (sapi pesisir 3) berdasarkan hasil analisis ini tidak berbeda (Gambar 23). Sebaliknya, Sarbaini (2004) menyatakan bahwa sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan berbeda dari sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan rekonstruksi pohon genetik terhadap ukuran-ukuran tubuh sapi pesisir.

24 Hubungan Polimorfisme Gen GH dengan Sifat Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh 64 Secara umum hasil uji t antara genotipe (+/+, +/-, dan -/-) terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang dilakukan pada sapi pesisir, sapi limousin dan sapi simmental tidak berbeda (P>0,05) (Tabel 20, 21 dan 22) (Lampiran 7 dan 8). Demikian pula hasil uji t antara genotipe (LL, LV, dan VV) terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh menunjukkan hasil tidak berbeda (P>0,05) pada sapi limousin dan sapi simmental (Tabel 23 dan 24) (Lampiran 8). Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara genotipe dengan sifat bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang dianalisis. Hal ini karena sifat produksi merupakan sifat yang dikendalikan oleh banyak gen (polygenes) dan pengaruh lingkungan sangat besar (Warwick et al. 1983; Falconer dan Macay 1996; Bourdon 1997; Noor 2004). Tabel 20 Bobot badan dan ukuran tubuh dengan genotipe berbeda untuk fragmen gen GH MspI pada sapi pesisir Karakteristik Genotipe +/+ +/- -/- (n=7) (n=36) (n=79) Bobot badan (kg) 128,4 ± 14,39 128,5 ± 16,47 133,5 ± 17,42 Panjang badan (cm) 101,3 ± 4,89 102,6 ± 6,92 104,4 ± 5,42 Lingkar dada (cm) 120,0 ± 4,80 120,2 ± 5,98 120,2 ± 7,04 Tinggi pundak (cm) 97,4 ± 2,44 97,1 ± 3,85 97,4 ± 4,51 Keterangan : n= jumlah individu. Tabel 21 Bobot badan dan ukuran tubuh dengan genotipe berbeda untuk fragmen gen GH MspI pada sapi limousin Karakteristik Genotipe +/+ +/- -/- (n=9) (n=10) (n=3) Bobot badan (kg) 855,3 ± 44,00 889,5 ± 28,35 851,0 ± 48,28 Panjang badan (cm) 181,1 ± 2,10 182,2 ± 4,13 176,7 ± 3,51 Lingkar dada (cm) 225,3 ± 4,80 227,8 ± 4,32 226,7 ± 4,73 Tinggi pundak (cm) 147,3 ± 3,20 151,3 ± 4,47 148,0 ± 1,73 Keterangan : n= jumlah individu.

25 Tabel 22 Bobot badan dan ukuran tubuh dengan genotipe berbeda untuk fragmen gen GH MspI pada sapi simmental Genotipe Karakteristik +/+ +/- -/- (n=14) (n=14) (n=0) Bobot badan (kg) 872,9 ± 74,47 898,5 ± 22,04 - Panjang badan (cm) 179,2 ± 7,51 187,8 ± 5,56 - Lingkar dada (cm) 224,5 ± 6,97 226,8 ± 2,87 - Tinggi pundak (cm) 148,5 ± 5,03 153,5 ± 4,65 - Keterangan : n= jumlah individu. Tabel 23 Bobot badan dan ukuran tubuh dengan genotipe berbeda untuk fragmen gen GH AluI pada sapi limousin Karakteristik Genotipe LL LV VV (n=14) (n=8) (n=0) Bobot badan (kg) 863,4 ± 48,15 882,3 ± 17,90 - Panjang badan (cm) 180,5 ± 3,70 181,9 ± 3,72 - Lingkar dada (cm) 225,6 ± 5,17 228,4 ± 2,33 - Tinggi pundak (cm) 148,4 ± 4,45 150,6 ± 3,07 - Keterangan : n= jumlah individu Tabel 24 Bobot badan dan ukuran tubuh dengan genotipe berbeda untuk fragmen gen GH AluI pada sapi simmental Karakteristik Genotipe LL LV VV (n=9) (n=7) (n=2) Bobot badan (kg) 871,6 ± 83,75 883,4 ± 50,23 893,5 ± 57,28 Panjang badan (cm) 182,3 ± 7,60 177,9 ± 8,32 187,0 ± 4,24 Lingkar dada (cm) 224,9 ± 8,36 224,9 ± 3,93 226,0 ± 4,24 Tinggi pundak (cm) 149,7 ± 6,16 148,3 ± 4,27 154,0 ± 2,83 Keterangan : n= jumlah individu. Beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan secara lebih mendalam terhadap kemungkinan atau masih terbukanya kedua penciri tersebut untuk dijadikan sebagai alat seleksi dibantu penciri atau Marker Assisted Selection (MAS) adalah (1) proporsi individu yang bergenotipe +/+, +/-, dan -/- (penciri PCR-RFLP fragmen gen GH MspI) atau genotipe LL, LV, dan VV (penciri PCR- RFLP fragmen gen GH AluI) dapat mewakili setiap bangsa sapi dan (2) pengamatan data sifat kuantitatif sebaiknya dilakukan pada kondisi lingkungan 65

26 66 yang terkontrol. Agar genotipe kedua penciri tersebut dapat terwakili pada setiap populasi sapi (sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental), perlu dilakukan identifikasi genotipe dengan memperhatikan distribusi sampel yang akan dianalisis secara lebih luas dan jumlah yang lebih banyak. Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa fragmen gen GH MspI dan AluI memiliki hubungan antara genotipe terhadap sifat produksi (ekonomis), sebaliknya juga dilaporkan bahwa genotipe tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap sifat produksi seperti disajikan pada Tabel 25 dan 26. Tabel 25 Hubungan genotipe fragmen gen GH MspI dengan sifat produksi pada sapi pedaging Sifat produksi Genotipe +/+ +/- -/- Sumber Bobot lahir Unanian et al. (2000) Bobot sapih Unanian et al. (2000) Bobot badan umur bulan Garcia et al. (2003) Tenderness dan cooking losses Di Stasio et al. (2005) Bobot badan Sutarno et al. (2005) Pertumbuhan dan produksi karkas Thomas et al. (2006) Pertumbuhan dan produksi karkas Tidak nyata Beauchemin et al. (2006) Tabel 26 Hubungan genotipe fragmen gen GH AluI dengan sifat produksi pada sapi pedaging Sifat produksi Genotipe L/L L/V V/V Sumber Bobot badan Chrenek et al. (1998) Bobot hidup Reis et al. (2001) Bobot badan umur 12 bulan Pereira et al. (2005) Bobot badan dan kualitas karkas Tidak nyata Marshall dan Kim (2003) Bobot karkas dan eye muscle area Tidak nyata Barendse et al. (2006) Berdasarkan hasil laporan tersebut (Tabel 25 dan 26) terdapat hubungan yang tidak konsisten antara genotipe dan sifat produksi yang dianalisis, baik pada fragmen gen GH MspI maupun AluI. Kedua fragmen gen GH MspI dan AluI tidak ada bukti kuat dapat dijadikan sebagai alat MAS dan berlaku umum pada semua kondisi.

27 Program Pengembangan Sumber Daya Genetik Sapi Pesisir 67 Sapi pesisir sebagai salah satu ternak lokal Indonesia yang terdapat di Sumatera Barat memiliki potensi genetik yang perlu dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable used) karena berbeda dari sapi lokal lain yang terdapat di Indonesia. Bentuk dan ukuran tubuh terkecil dibandingkan dengan sapi lain di Indonesia dan terkecil kedua di dunia menjadi salah satu keunikan bagi sapi pesisir (genotipe spesialis) dan merupakan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh bangsa sapi lainnya. Berdasarkan publikasi International Miniature Breeders Society and Registry (IMBSR)( yang berpusat di USA, kategori sapi mini (full miniature) memiliki ukuran tinggi pundak kurang dari 42 inch (106,68 cm), sedangkan kategori ukuran sedang (mid size miniature) 42 inch (106,68 cm) sampai dengan 48 inch (121,92 cm). Berdasarkan kategori tersebut, sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat termasuk dalam kelompok sapi mini full miniature dengan rataan tinggi pundak sapi jantan dewasa 100 cm dan betina 99 cm (Sarbaini 2004). Mengacu pada program pemuliaan (breeding program) yang dikembangkan dan diterapkan oleh International Miniature Breeders Society and Registry (IMBSR) terhadap sapi-sapi mini yang dikomersialkan dengan nilai jual yang sangat tinggi, yaitu melalui program pemuliaan yang bersifat tertutup (close breeding program). Close breeding program sederhana mungkin bisa menjadi salah satu model yang dapat diterapkan dalam pengembangan sapi pesisir agar selalu terjaga keunikan atau kemurniannya (bobot badan dan ukuran tubuh, variasi warna bulu, dan proporsi genotipenya), terutama pada sapi pesisir yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Upaya pemanfaatan sapi pesisir melalui close breeding program sederhana dapat dilakukan melalui : (1) Pengelolaan sapi pesisir dilakukan oleh masyarakat atau peternak sendiri. (2) Adanya kebijakan Pemerintah Daerah (PEMDA) agar tidak menyilangkan sapi pesisir dengan sapi bangsa lain dan kebijakan pewilayahan bahwa Kabupaten Pesisir Selatan sebagai daerah pengembangan sapi pesisir dengan daya dukung lahan yang ada.

28 68 (3) Adanya Perhimpunan Pencinta Sapi Pesisir sebagai lembaga swadaya masyarakat atau pemerhati sapi mini khususnya di Sumatera Barat. (4) Semua pihak dapat ikut serta berperan aktif menjaga kelestarian sapi pesisir sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik ternak lokal dalam program pemuliaan ternak di Indonesia. (5) Mempertahankan dan memberdayakan kearifan lokal yang dimiliki oleh peternak. (6) Program penelitian dan pengembangan sapi pesisir secara terarah dan berkelanjutan. Selain memiliki bentuk dan ukuran tubuh terkecil (minicattle), sapi pesisir juga dapat dikembangkan berdasarkan variasi warna bulu yang masih beragam dan dapat menjadi salah satu ciri khas sapi pesisir. Sarbaini (2004) menyatakan bahwa sapi pesisir memiliki lima warna utama, yaitu putih, kuning, merah bata, cokelat, dan hitam (Gambar 25) yang didominasi oleh warna merah bata (34,36%), kuning (25,51%), cokelat (19,96%), hitam (10,91%), dan putih (9,26%). Variasi warna bulu yang terdapat pada sapi pesisir penting artinya dalam pengembangan ciri suatu bangsa ternak yang lebih terarah dan seragam pada warna bulu tertentu. Selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa, warna bulu juga dapat berpengaruh pada sifat produksi dan reproduksi. Fries dan Ruvinsky (1999) menyatakan bahwa warna bulu selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa ternak, juga dapat memberikan dampak pada sifat produksi dan reproduksi terutama di daerah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi. Selain itu, warna bulu juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya harga (price discounts or premiums). Berdasarkan aspek pemasaran, pengembangan sapi pesisir sangat ideal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal (local market) karena harganya murah sehingga dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarkat. Selain untuk memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat, sapi pesisir juga banyak digunakan dalam acara-acara keagamaan seperti hari raya Idul Adha sehingga mejadi daya saing tersendiri bagi keberadaan sapi pesisir.

29 69 Putih Kuning muda Merah bata Kuning Cokelat tua Hitam Sumber : Sarbaini (2004) Gambar 25 Variasi warna bulu utama sapi pesisir Sumatera Barat. Arah pengembangan sapi pesisir (breeding objective) untuk masa yang akan datang mungkin tidak hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan daging atau untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti saat ini, akan tetapi juga mungkin perlu dikembangkan sapi pesisir menjadi salah satu hewan kesayangan (karena bentuk dan ukurannya kecil) atau untuk tujuan penelitian dengan berorientasi pada pasar luar negeri (international market).

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia Utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15 Amplifikasi fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG-Lombok menghasilkan DNA target dengan masing-masing panjang produk 140 bp (base pair/pasangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Gen FSH Sub-unit Beta Sapi Bali Metode PCR-RFLP Amplifikasi Ruas Gen FSH sub-unit beta Pada penelitian ini kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi awal 94 o C

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Asal Usul Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi merupakan anggota famili bovidae yang muncul pada era Pleistosen. Ternak sapi berasal dari keturunan aurok liar (Bos primigenius) (Mannen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

Evaluasi Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) pada Sapi Pesisir Sumatera Barat Menggunakan Penciri PCR-RFLP

Evaluasi Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) pada Sapi Pesisir Sumatera Barat Menggunakan Penciri PCR-RFLP Media Peternakan, April 007, hlm. 1-10 ISSN 016-047 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/005 Vol. 30 No. 1 Evaluasi Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) pada Sapi Pesisir Sumatera Barat Menggunakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO BAB 6 Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO Dalam usaha pertenakan, sifat pertumbuhan selalu menjadi perhatian utama dalam pemuliaan sebagai penentu nilai ekonomi. Dengan perkembangan biologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA dilakukan dengan tiga macam primer yaitu ILSTS028, ILSTS052 dan ILSTS056 serta masing-masing lokus menganalisis 70 sampel DNA. Hasil amplifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia memiliki beberapa bangsa sapi diantaranya adalah sapi Bali, Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir merupakan salah satu

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA SAPI PESISIR SUMATERA BARAT J A K A R I A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5% HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pit1 Gen Pit1 ekson 6 pada sapi Friesian Holstein (FH) dari lokasi BIB Lembang, BBIB singosari dan BET Cipelang; sapi pedaging (Simmental, Limousin, Angus, dan Brahman)

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL Disertasi HARY SUHADA 1231212601 Pembimbing: Dr. Ir. Sarbaini Anwar, MSc Prof. Dr. Ir. Hj. Arnim,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi TINJAUAN PUSTAKA Sapi Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO BAB 7 Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO Beberapa kajian dilaporkan bahwa genotip Msp1+/+danMsp1+/- dapat digunakan sebagai gen kandidat dalam seleksi ternak sapi untuk program

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Protein Plasma Darah Hasil analisis plasma darah dari lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1, dan PTf-2 yang dilakukan pada itik lokal petelur Pegagan, Alabio, dan Mojosari divisualisasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Virus Hepatitis B Gibbon Regio Pre-S1 Amplifikasi Virus Hepatitis B Regio Pre-S1 Hasil amplifikasi dari 9 sampel DNA owa jawa yang telah berstatus serologis positif terhadap antigen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG SKRIPSI DINY WIDYANINGRUM DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali 41 PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali Sekuen individu S. incertulas untuk masing-masing gen COI dan gen COII dapat dikelompokkan menjadi haplotipe umum dan haplotipe-haplotipe

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) 8 tampak diskor secara manual. Kriteria penskoran berdasarkan muncul tidaknya lokus, lokus yang muncul diberi skor 1 dan yang tidak muncul diberi skor 0. Data biner yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA 4.1.1 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PERFORMANS GENETIK + LINGKUNGAN NILAI EKONOMIS KUALITATIF KUANTITATIF PRODUKSI SUSU PRODUKSI DAGING

PENDAHULUAN PERFORMANS GENETIK + LINGKUNGAN NILAI EKONOMIS KUALITATIF KUANTITATIF PRODUKSI SUSU PRODUKSI DAGING Suhardi, S.Pt.,MP 1 PENDAHULUAN PERFORMANS GENETIK + LINGKUNGAN KUALITATIF KUANTITATIF KEMAMPUAN NILAI EKONOMIS KESEMPATAN PRODUKSI SUSU PRODUKSI DAGING 2 HUKUM HARDY WEINBERG Populasi mendelian yang berukuran

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR (FSHR AluI) PADA SPESIES SAPI Bos javanicus, Bos taurus, DAN Bos indicus DENGAN METODE PCR-RFLP SKRIPSI SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan. 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sapi lokal merupakan alternatif kebijakan yang sangat memungkinkan untuk dapat meningkatkan produksi dan ketersediaan daging nasional. Ketidak cukupan daging

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006 IV. MENGENAL BERBAGAI BANGSA SAPI PERAH Dari berbagai bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

Oleh: drh. Adil Harahap (dokadil.wordpress.com)

Oleh: drh. Adil Harahap (dokadil.wordpress.com) Oleh: drh. Adil Harahap (dokadil.wordpress.com) BANGSA-BANGSA SAPI BANGSA-BANGSA SAPI Bangsa sapi dari Inggris Bangsa sapi Eropa Daratan Bangsa sapi Zebu Bangsa sapi Brahman dan persilangannya BANGSA SAPI

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian terhadap urutan nukleotida daerah HVI mtdna manusia yang telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya rangkaian poli-c merupakan fenomena

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN RESEPTORNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKSI SUSU KUMULATIF PARSIAL PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI SENTRA PRODUKSI JAWA BARAT RESTU MISRIANTI SEKOLAH

Lebih terperinci

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK 16 3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK Pertumbuhan dikontrol oleh multi gen, diantaranya gen Insulin-Like Growth

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Lokal Ayam lokal di Indonesia telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia dan biasanya sering disebut dengan ayam buras. Ayam buras di Indonesia memiliki perkembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak

Lebih terperinci

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia Sapi perah merupakan hasil domestikasi dari Bos taurus primigenius sekitar 2000 tahun yang lalu (Anderson & Kiser 1966; Mason 1984; Gillespie 1992).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal.

Lebih terperinci

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENDAHULUAN Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA

KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 35 KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA Pendahuluan Populasi kuda lokal di Sulawesi Utara memiliki karakteristik baik morfologi maupun pola warna tubuh

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

BAB 8. AnalisisProduktivitas Anak(G1) Dari GenotipGHPejantan dan Induk Sapi PO (G0)

BAB 8. AnalisisProduktivitas Anak(G1) Dari GenotipGHPejantan dan Induk Sapi PO (G0) BAB 8 AnalisisProduktivitas Anak(G1) Dari GenotipGHPejantan dan Induk Sapi PO (G0) Kajian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor genetik GH memakai restriksi enzim Msp1 yang berbeda pada tetua pejantan

Lebih terperinci

Bibit sapi peranakan Ongole (PO)

Bibit sapi peranakan Ongole (PO) Standar Nasional Indonesia Bibit sapi peranakan Ongole (PO) ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. dua lembar plastik transparansi dan semua sisinya direkatkan hingga rapat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. dua lembar plastik transparansi dan semua sisinya direkatkan hingga rapat. (Polyacrilamide Gel Elektroforesis) 5,5% pada tegangan 85 V selama 6 jam. Standar DNA yang digunakan adalah ladder (Promega) Gel polyacrilmide dibuat dengan menggunakan 30 ml aquades, 4 ml 10xTBE, 5,5

Lebih terperinci