TINJAUAN PUSTAKA Kelapa (Cocos nucifera L.) Buah kelapa terdiri dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah dan air kelapa. Kulit luar merupakan lapisan tipis (0.14 mm) yang memiliki permukaan licin dengan warna bervariasi dari hijau, kuning sampai jingga, tergantung kepada kematangan buah. Jika tidak ada goresan dan robek, kulit luar kedap air (Esti 2001, diacu dalam Ratna 2004). Kulit daging buah adalah lapisan tipis coklat pada bagian terluar daging buah. Daging buah merupakan lapisan tebal (8-15mm) berwarna putih. Bagian ini mengandung berbagai zat gizi. Kandungan zat gizi tersebut beragam sesuai dengan tingkat kematangan buah. Daging buah tua merupakan bahan sumber minyak nabati karena kandungan minyaknya sebesar 35% (Esti 2001, diacu dalam Ratna 2004). Gambar 1. Buah kelapa Air Kelapa Air kelapa diperoleh dari buah kelapa yaitu endosperma cair (coconut water) dari buah kelapa. Air kelapa ini mengisi ¾ bagian rongga sebelah dalam buah kelapa (Freemond & Ziller 1996). Jumlah air kelapa yang terkandung dalam satu buah kelapa tua sekitar 300ml. Selain sebagai minuman segar, air kelapa juga dimanfaatkan sebagai media produksi nata de coco. Namun demikian, secara umum air kelapa masih sering hanya merupakan limbah yang terbuang begitu saja. Satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Jumlah ini dipengaruhi oleh ukuran kelapa, varietas, kematangan dan kesegaran kelapa. Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia, yaitu mencapai lebih dari dua juta liter per tahun. Namun, pemanfaatannya dalam industri pangan belum begitu banyak, sehingga banyak air kelapa yang terbuang percuma. Selain itu, buangan air kelapa berbahaya karena dapat menimbulkan polusi asam asetat yang terbentuk akibat fermentasi air kelapa (Anonim 2006). Menurut Tenda (1992), fermentasi air
kelapa akan menghasilkan asam yang akan mempengaruhi keasaman tanah, sehingga akan menimbulkan pengaruh buruk pada tanaman sekitarnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Sedangkan unsur mineral utama adalah kalium. Kandungan gula maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, tercapai pada bulan keenam umur buah, kemudian menurun dengan semakin tuanya kelapa. Jenis gula yang terkandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan sorbitol. Gula-gula tersebut yang menyebabkan air kelapa muda terasa lebih manis dibandingkan air kelapa tua (Anonim 2006). Perubahan komposisi air kelapa selama proses pematangan buah dapat dibagi ke dalam tiga tahap (Sison 1977 diacu dalam Tenda 1992). Tahap pertama meliputi terjadinya akumulasi gula pereduksi, yaitu fruktosa dan glukosa, dan asam amino, sedangkan daging buah belum terbentuk. Tahap kedua ditandai dengan mulai terbentuknya daging buah, air kelapa menurun, tetapi berat total meningkat, sukrosa mulai terbentuk dan gravitasi spesifikasi meningkat. Pada tahap berikutnya terjadi peningkatan kandungan daging buah dan gravitasi spesifikasi menurun. Secara umum, air kelapa memiliki komposisi gizi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi gizi air kelapa Komponen Kelapa Muda (%) Kelapa Tua (%) Air 95.01 91.23 Lemak 0.120 0.150 Abu/ Mineral 0.630 1.060 Protein 0.130 0.290 Karbohidrat 4.110 7.270 Sumber : Tenda (1992) Kandungan mineral dalam air kelapa cukup tinggi terutama kalium dan klorida. Kandungan beberapa mineral dalam air kelapa disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Kandungan mineral dalam air kelapa Mineral Kandungan (ppm) Kalium (K) 312 Natrium (Na) 105 Kalsium (Ca) 29 Magnesium (Mg) 30 Besi (Fe) 0.01 Tembaga (Cu) 0.14 Phospor (P) 37 Sulfur (S) 24 Klorida (Cl) 184 Sumber : Ketaren 1978 diacu dalam Tenda 1992
Kerusakan Air Kelapa Menurut Fardiaz (1990), minuman berasam tinggi adalah minuman yang memiliki ph di bawah 4.5. Minuman berasam tinggi jarang menimbulkan keracunan karena bakteri patogen pada umumnya tidak dapat tumbuh pada ph tersebut. Spora bakteri juga tidak dapat tumbuh dan bergerminasi pada kisaran ph tersebut. Minuman ringan air kelapa memiliki ph 4.2-4.5, kaya akan nutrisi sehingga mikroba dapat tumbuh dan berkembang. Kerusakan air kelapa ditandai oleh terjadinya kekeruhan dan banyaknya endapan. Penurunan ph terjadi akibat adanya akumulasi asam yang dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme. Makin aktif mikroorganisme maka makin banyak asam yang dihasilkan serta total asam meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan (Tenda 1992). Menurut Phaff (1981), diacu dalam Tenda (1992), beberapa jenis bakteri yang dapat hidup pada suasana asam adalah Leuconostoc, Streptococcus dan Lactobacillus. Selain itu kapang dan khamir yang pertumbuhannya optimum pada suasana asam, dikenal sebagai faktor penyebab terjadinya proses fermentasi pada bahan makanan baik yang diinginkan, maupun yang tidak diinginkan. Inversi Sukrosa Hidrolisis sukrosa akan terjadi dengan katalisis oleh senyawa asam pada minuman. Hidrolisis sukrosa akan menghasilkan senyawa glukosa dan fruktosa. Menurut Pennington and Baker (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi inversi sukrosa adalah sebagai berikut : 1. ph, semakin rendah ph maka semakin cepat proses inversi. Pada minuman dengan ph 2.5 proses inversi akan lebih cepat terjadi daripada pada minuman pada ph 3.0. 2. Suhu, semakin tinggi suhu maka semakin cepat proses inversi. Sukrosa pada minuman yang disimpan pada suhu 90 0 F dalam dua minggu akan diinversi lebih cepat daripada minuman dengan ph yang sama pada suhu penyimpanan 70 0 F. 3. Waktu, inversi berjalan dengan sejalannya waktu. Sukrosa pada minuman yang telah lama akan lebih tinggi gula invertnya daripada minuman yang baru dikemas.
Adanya proses inversi mempengaruhi beberapa sifat minuman, antara lain meningkatkan total padatan terlarut minuman, meningkatkan volume minuman dan mencapai tingkat kemanisan tertentu. Minuman Isotonik Pengertian minuman isotonik adalah salah satu produk minuman ringan karbonasi atau non karbonasi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kebugaran, dalam minuman ini mengandung gula, asam sitrat dan mineral (Badan Standar Nasional 1998). Menurut Murray dan J. Stofan (2001), istilah isotonik seringkali digunakan untuk larutan atau minuman yang memiliki nilai osmolalitas yang menyerupai cairan tubuh (darah), sekitar 280 mosm/kg H 2 O. Selain itu, minuman isotonik minimal mengandung karbohidrat (gula sederhana) sekitar 6-7%, natrium 20-60mmol/l dan elektrolit lain seperti kalium, klorida, kalsium dan magnesium kurang dari 10 mmol/l. Minuman isotonik juga dikenal dengan istilah sport drink yaitu minuman yang berfungsi mempertahankan cairan dan garam tubuh serta memberikan energi dalam bentuk karbohidrat ketika melakukan aktivitas. Minuman isotonik atau sport drink diformulasi untuk memberikan manfaat berguna bagi tubuh, diantaranya : 1) mendorong konsumsi cairan secara spontan, 2) menstimulir penyerapan cairan secara cepat, 3) menyediakan karbohidrat untuk meningkatkan performance, 4) menambah respon fisiologis, dan 5) untuk rehidrasi yang cepat (Murray dan J. Stofan 2001). Jika dibandingkan dengan produk minuman lain, minuman isotonik memiliki bebrapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi agar perannya optimal. Aspekaspek tersebut diantaranya : jenis dan konsentrasi karbohidrat, kandungan elektrolit dan osmolalitas. Profil komposisi beberapa produk sport drink dan minuman lain yang beredar di pasaran (USA) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Profil komposisi beberapa produk sport drink dan minuman lain Merk Minuman %Karbohidrat Natrium (mmol/l) Kalium (mmol/l) Osmolalitas (mosmol/kg H2O) Gatorade 6 20 3 280 Isostar 7.7 30-289 Cytomax 5.5 10 10 208 Powerade 8 23 4 381 Coca Cola 11 - - 700 Orange juice 10.8-49 663 Sumber : Murray dan J. Stofan (2001)
Jenis dan Konsentrasi Karbohidrat Jenis dan konsentrasi total karbohidrat memiliki efek fisiologis dan karakter organoleptik terhadap minuman isotonik, seperti keseimbangan flavor, kemanisan, dan cita rasa. Secara komersial jenis karbohidrat yang sering digunakan adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, maltosa dan maltodextrin. Peningkatan konsentrasi karbohidrat diatas 7% dalam formula minuman, secara potensial akan menimbulkan resiko dibanding keuntungan yang diperoleh. Diantaranya peningkatan konsentrasi karbohidrat dalam minuman isotonik berisiko terhadap penurunan pengosongan lambung, penyerapan dalam usus dan meningkatkan resiko ketidaknyamanan dalam perut (Murray dan J. Stofan 2001). Selain itu jenis dan konsentrasi karbohidrat dalam minuman juga mempengaruhi nilai osmolalitas minuman, oleh karena itu beberapa aspek tersebut menjadi pertimbangan dalam formulasi jumlah dan jenis karbohidrat dalam minuman isotonik. Natrium, Kalium dan Elektrolit Lain Keberadaan natrium memiliki peran yang sangat penting dalam minuman isotonik sebagai zat yang mempengaruhi rasa minuman, penstimulir konsumsi cairan, meningkatkan penyerapan cairan, mempertahankan volume plasma, dan menjamin rehidrasi yang cepat dan sempurna. Rehidrasi tidak dikatakan sempurna jika natrium dan air yang hilang karena keringat belum digantikan. Seperti keringat, konsentrasi natrium dalam minuman isotonik berkisar antara 20-80 mmol/l, hal ini didasarkan pada penggantian natrium yang hilang dalam tubuh ketika berkeringat dan untuk menstimulir penyerapan cairan dengan cepat (Murray dan J. Stofan 2001). Kandungan elektrolit lain (kalium, magnesium dan kalsium) dalam minuman isotonik biasanya lebih kecil dari 10 mmol/l, dan peran kritisnya masih belum teridentifikasi. Sejumlah penelitian telah menyelidiki peran potensialnya. Kehilangan kalium dalam tubuh nampaknya menjadi dugaan umum penyebab keram otot. Adapun untuk mengimbangi kehilangan elektrolit dari keringat atau urin, sejumlah peneliti menganjurkan penambahan sejumlah kecil magnesium dan kalsium dalam formulasi minuman isotonik (sport drink) (Murray dan J. Stofan 2001).
Osmolalitas Istilah isotonik seringkali digunakan untuk larutan atau minuman yang memiliki nilai osmolalitas yang mirip dengan cairan tubuh (darah), sekitar 280 mosm/kg H 2 O (Murray dan J. Stofan 2001). Perhitungan proporsi setiap bahan yang memberikan kontribusi terhadap total osmolalitas produk sangat penting dalam pengembangan formula minuman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minuman olahraga (sport drink) harus bersifat hipotonik atau isotonik untuk mempercepat pengosongan dalam lambung dan penyerapan dalam usus. Konsumsi minuman yang memiliki osmolalitas tinggi (hipertonik) akan mengurangi laju penyerapan cairan (Murray dan J. Stofan 2001). Persyaratan Mutu Minuman Isotonik Persyaratan mutu untuk produk minuman isotonik yang meliputi keadaan, parameter fisik, kimia dan mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Spesifikasi persyaratan mutu minuman isotonik SNI 01-4452-1998 No Jenis Uji Satuan Persyaratan Keadaan : Bau - Normal Rasa Normal 1 1.1 1.2 2 ph % Maks 4.0 3 Total gula sebagai sukrosa % Min 5 4 4.1 4.2 Mineral : Natrium Kalium mg/kg mg/kg Maks 800-1000 Maks 125-175 5 Bahan Tambahan Pangan - Sesuai SNI 01-0222-1995 6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Timah (Sn) mg/kg Maks 0.3 Maks 2.0 Maks 5.0 Maks 0.03 Maks 40 (250*) 7 Arsen mg/kg Maks 0.1 8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 Cemaran mikroba : Angka lempeng total Coliform Salmonella Kapang Khamir Koloni/ml APM/ml Koloni/ml Koloni/ml Maks 2 x 10 2 < 3 Negatif Maks 50 Maks 50 *) kemasan kaleng Sumber : BSN 1998.
Bahan Pengawet Bahan pengawet ditambahkan ke dalam pangan untuk menghambat atau menahan aktivitas mikroba, baik bakteri, kapang maupun khamir yang dapat menyebabkan kebusukan, fermentasi, pengasaman maupun dekomposisi dalam pangan. Bahan pengawet bersifat spesifik untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu (Potter dan Hotchkiss 1995). Asam benzoat (C 6 H 5 COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunannya dan sering digunakan pada bahan makanan asam. Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif pada ph 2.5 sampai 4.0. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunakan dalam bentuk Na-benzoat (C 7 H 5 NaO 2 ). Sedangkan dalam bahan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif, yaitu asam benzoat yang tak terdisosiasi (Winarno 1992). Natrium benzoat merupakan kristal putih yang dapat ditambahkan secara langsung ke dalam makanan atau dilarutkan dahulu di dalam air. Penggunaan natrium benzoat disarankan dalam konsentrasi kecil agar tidak menimbulkan rasa pada produk yang dihasilkan. Bahan ini digunakan sebagai antimikosin, penghambat khamir dan jamur dengan konsentrasi 0.05% - 0.1% asam tak berdisosiasi (Chipley 1993). Menurut Winarno (2002), tidak ada bahaya terhadap akumulasi benzoat dalam tubuh. Dalam tubuh terdapat mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh. Pengemasan Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi pangan. Pengemas dalam produk pangan harus dapat menjalani fungsi-fungsi utamanya, yaitu : 1) harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemar lainnya, 2) harus memberikan perlindungan pada pangan terhadap kerusakan fisik, oksigen dan sinar, 3) harus berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan pangan ke dalam kemasan, hal ini berarti bahan pengemas harus sudah dirancang untuk siap pakai pada mesin-mesin yang ada, 4) memberikan kemudahan dalam rancangannya, tidak hanya untuk konsumen, tapi juga kemudahan dalam proses distribusi terutama dalam hal ukuran, bentuk, dan berat, 5) pengemas harus
mampu memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan (Potter dan Hotchkiss 1995). Pengemas plastik merupakan salah satu bahan pengemas yang berkembang pesat pada saat ini. Bahan ini digunakan secara luas dalam pengemasan produk pangan termasuk minuman. Plastik memiliki berbagai keunggulan yakni fleksibel, transparan, tidak mudah pecah, tidak korosif dan harganya relatif murah (Latief 2000, diacu dalam Roji 2006). Proses Termal Secara umum proses termal dapat diartikan sebagai suatu proses yang mendayagunakan energi panas untuk menghasilkan perubahan pada suatu bahan. Bahan pangan menerima panas untuk berbagai tujuan, yaitu meningkatkan daya cerna, memperbaiki flavor, memusnahkan mikroba pembusuk dan patogen, atau menginaktifkan enzim (Fardiaz 1992). Perlakuan panas diantaranya dapat diklasifikasikan menjadi sterilisasi dan pasteurisasi. Sterilisasi menunjukkan destruksi absolut untuk seluruh mikroorganisme yang hidup. Karena sterilisasi absolut tidak dapat dilakukan untuk beberapa olahan pangan, maka batasan sterilisasi komersial diperkenalkan dalam industri pengalengan (Potter dan Hotchkiss 1995). Menurut Fardiaz (1992), sterilisasi komersial didefinisikan sebagai suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan pada kondisi suhu penyimpanan yang ditetapkan. Makanan yang telah mengalami sterilisasi komersial mungkin mengandung sejumlah jasad renik yang tahan proses sterilisasi, tetapi tidak mampu berkembang biak pada suhu penyimpanan normal. Pasteurisasi merupakan perlakuan panas yang dapat membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Pasteurisasi dalam beberapa produk pangan (misalnya susu) ditujukan untuk membunuh mikroorganisme pangan, sedangkan dalam produk-produk lainnya (bir), pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk (Herro 1980, diacu dalam Roji 2006). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), ketahanan panas mikroorganisme dan spora-sporanya dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk 1) umur dan keadaan mikroorganisme atau spora sebelum dipanaskan, 2) komposisi medium dimana organisme atau spora tumbuh, 3) ph dan aw, 4) suhu pemanasan, dan 5) konsentrasi awal organisme atau sporanya.
Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1990), penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan didasarkan pada kenyataan bahwa aktivitas mikroorganisme dapat diperlambat atau dihentikan pada suhu di atas suhu pembekuan dan biasanya aktivitasnya berhenti sama sekali pada suhu pembekuan. Hal ini disebabkan reaksi-reaksi metabolisme di dalam sel mikroorganisme dikatalis oleh enzim dan kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Penyimpanan makanan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu suhu chilling sekitar 10-15 0 C, misalnya untuk beberapa buah-buahan dan sayuran, suhu refrigerator yaitu 0-7 0 C dan suhu pembekuan yaitu di bawah 0 0 C. Mikroorganisme yang dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator dan suhu chilling disebut sebagai mikroorganisme psikrofilik (Fardiaz 1988).