BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jahe (Zingiber officinale ) merupakan salah satu tanaman rempah dan obat yang terkenal mempunyai kegunaan yang cukup beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri, pemberi aroma, ataupun sebagai obat (Bartley dan Jacobs, 2000). Secara tradisional rimpang jahe dimanfaatkan untuk beberapa keperluan pengobatan, antara lain mengobati penyakit rematik, asma, stroke, sakit gigi, diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam dan infeksi (Ali et al. 2008). Jahe banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman sebagai pemberi rasa dan aroma. Disamping itu, jahe juga digunakan dalam industri farmasi sebagai campuran obat. Dalam jumlah terbatas,minyak jahe juga digunakan dalm indutri kosmetik sebagai pencampur parfum(yuliani dan Suyanti, 2012). Jahe memiliki peluang dan prospek pengembangan yang baik di Indonesia. Hal ini karena kondisi alam Indonesia yang sesuai, terbukanya pasar dalam dan luar negeri, dan adanya kecenderungan meningkatnya permintaan jahe baik segar maupun olahan (Paimin dan Murhananto, 1996). Tingginya permintaan jahe karena penggunaannya sebagai obat tradisional, yang saat ini banyak bermunculan baik pada skala rumah tangga maupun industri besar yang ada (Syukur, 2000). Belum lagi adanya permintaan pasar dunia akan jahe yang belum terpenuhi dan terus meningkat, sehingga hal ini menuntut produksi jahe yang tinggi di lapangan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Hortikultura 2015, produksi jahe mencapai 274.566,184 Ton pada tahun 2014. Jumlah Produksi Jahe 1
Produksi (ton) 2 Nasional relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti yang terlihat pada Gambar 1.1. 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun Gambar 1. 1. Jumlah Produksi Jahe Nasional Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2015) Peningkatan produksi jahe setiap tahunnya ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pula. Kualitas jahe yang diinginkan konsumen antara lain bentuknya tidak keriput (kisut) dan utuh. Diperlukan usaha yang tidak mudah untuk menjaga kualitas jahe tetap baik dikarenakan jahe melewati rantai pasok yang cukup panjang dari lahan hingga ke konsumen. Kualitas jahe merupakan hal penting yang harus diperhatikan mengingat jahe digunakan untuk bahan obat atau jamu tradisional sehingga jahe tidak boleh cacat atau rusak agar nantinya khasiat dari jamu atau obat tradisional olahan jahe dapat dirasakan oleh penggunanya. Jahe mengandung zat volatil yang mudah rusak atau hilang jika tidak diberikan penanganan dengan baik. Zat volatil dalam jahe bertanggungjawab dalam aroma jahe yang khas(widiyanti, 2009).
3 Jenis jahe yang diteliti adalah jahe emprit. Jahe emprit merupakan salah satu jenis jahe yang banyak digunakan dalam industri obat, khususnya industri jamu tradisional. Jahe emprit memiliki rasa yang dan aroma yang labih kuat dari jahe Gajah, tetapi berbeda dengan jahe merah yang berbau tajam, jahe emprit memiliki keunggulan yaitu bau yang tidak menusuk dengan kandungan minyak atsiri yang cukup besar (Arlianti, 2006). Kandungan minyak atsiri jahe emprit sekitar 3-3,3% lebih tinggi dari jahe besar yang mengandung minyak atsiri sebesar 2-3% tetapi kandungan minyak atsiri jahe kecil lebih sedikit dari jahe merah yang mengandung minyak atsiri sebesar 3-3,5% (Yuliani dan Suyanti, 2012). Diantara ketiga jenis jahe yaitu jahe besar (jahe gajah atau jahe badak), jahe emprit (jahe kecil) jahe merah (jahe sunti), jahe emprit lebih banyak digunakan sebab mudah diperoleh. (Gardjito, 2013). Karena kelebihan inilah Jahe emprit lebih banyak digunakan sebagai digunakan untuk ramuan obat herbal atau diekstrak kandungan oleoresin dan minyak atsirinya serta untuk membuat minuman penghangat tubuh seperti Wedang jahe, Ronde dan Bajigur. Untuk itu agar khasiat dari jahe emprit tetap bisa dirasakan oleh konsumen maka proses distribusi harus diperhatikan agar khasiat dari jahe sebagai tanaman obat herbal tetap terjaga. Salah satu aspek yang paling penting dalam pengolahan jahe emprit menjadi berbagai macam olahan adalah bahan baku yang berkualitas. Kriteria pemilihan bahan baku yang berkualitas dapat dilakukan dengan didasarkan pada bentuk fisik, warna maupun aromanya (Ary, 2007). Dilihat dari bentuk fisiknya suatu bahan baku haruslah memiliki bentuk fisik yang masih segar dan bagus (masih utuh serta tidak berlubang). Besar kecilnya ukuran dari suatu bahan baku
4 terkadang juga menentukan apakah bahan baku tersebut sudah layak untuk diproduksi atau tidak. Dilihat dari warnanya, suatu bahan baku harus dipilih berdasarkan warna aslinya, dalam arti tidak menggunakan tambahan bahan pewarna apapun. Salah satu aspek lainnya dalam pemilihan bahan baku adalah dari aromanya, aroma yang masih segar dan kuat adalah menandakan bahwa bahan baku tersebut masih segar dan layak untuk diproduksi. Rantai pasok jahe emprit yang mengalami proses distribusi yang panjang harus diperhatikan kualitasnya, karena sebagai hortikultura mempunyai sifat perishable yaitu mudah rusak. Jika jahe emprit, rusak maka kualitas jahe emprit akan turun sehingga nilai jual jahe emprit akan turun dan menyebabkan kerugian pada pelaku rantai pasok. Salah satu cara dalam menjamin kualitas dari rimpang jahe dari tingkatan rantai pasok pertama hingga terakhir adalah dengan melakukan manajemen risiko dalam rantai pasok rimpang jahe. Dengan demikian, risiko yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas rimpang jahe emprit dapat teratasi. Manajemen risiko dalam rantai pasok suatu komoditas diperlukan untuk mengetahui seberapa besar dampak dan peluang terjadinya risiko yang ada pada setiap tingkatan, sehingga mitigasi risiko untuk setiap tingkatan rantai pasok akan berbeda. Dalam memberikan suatu mitigasi risiko diperlukan suatu standar sebagai acuan, dimana saat ini telah berkembang berbagai standar internasional yang dapat diadopsi, salah satunya adalah standar manajemen risiko AS/NZS 4360:2004 yang saat ini telah digabung dengan standar ISO menjadi ISO 31000:2009. Dengan melakukan analisis terhadap besaran risiko yang berpotensi muncul pada setiap tingkatan rantai pasok (supply chain), diharapkan penulis akan dapat
5 memberikan mitigasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan dari masingmasing besaran risiko. Dalam manajemen rantai pasok terdapat aktivitas logistik yang membutuhkan biaya, dimana biaya tersebut akan memberikan penurunan profitabilitas apabila tidak dikelola dengan baik. Penelitian mengenai biaya logistik (Ongkunaruk and Piyakarn, 2011; Pishvaee et al, 2009) menyebutkan bahwa dalam suatu supply chain diperlukan integrasi di setiap tingkatannya melalui koordinasi, kolaborasi dan sharing informasi, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat diminimalisir dan aspek pelayanan dapat selalu diperbaiki. Sharing informasi dalam hal biaya logistik diperlukan sebagai salah satu indikator dalam monitoring dan evaluasi aktivitas logistik, untuk mengukur dampak dari keputusan biaya, serta dapat meminimalkan total biaya dalam keseluruhan sistem. Total biaya logistik dalam keseluruhan sistem tidak dapat terlepas dari biaya dari tiap aktivitas logistik dan biaya dari tiap tingkatan supply chain. Hal itu dikarenakan dalam suatu sistem yang terintegrasi, perubahan biaya yang terjadi dalam suatu sub-sistem akan berdampak terhadap sub-sistem lain. Perubahan biaya sub-sistem yang dimaksud adalah perubahan biaya pada satu atau beberapa aktivitas logistik maupun pada salah satu tingkatan (tier) supply chain. Oleh karena itu, selain pemberian mitigasi risiko akan lebih baik apabila dilakukan analisis lebih lanjut mengenai keterkaitan antara risiko yang teridentifikasi dengan biaya yang diperlukan untuk setiap aktivitas logistik pada suatu komoditas melalui analisis struktur biaya logistik pada rantai pasok (supply chain) komoditas jahe emprit. Analisis struktur biaya logistik dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi biaya logistik dan menentukan aktivitas yang dapat dikendalikan. Dengan
6 adanya penelitian yang dilakukan oleh penulis ini, diharapkan dapat dihasilkan suatu tindakan pencegahan dampak risiko pada rantai pasok jahe emprit yang berimplikasi pada pengendalian dan pengurangan aspek biaya logistik dalam rantai pasok (supply chain) jahe emprit. 1.2. Rumusan Masalah Diperlukannya sebuah kajian manajemen risiko rantai pasok rimpang jahe emprit, karena selama ini risiko dalam rantai pasok jahe emprit belum terpetakan dengan baik. Adanya pemetaan risiko yang baik, digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengembangan pemanfaatan rimpang jahe emprit. Karena adanya risiko yang menyebabkan kerugian secara kualitas dan kuantitas dalam rantai pasok rimpang jahe emprit. Perhitungan struktur biaya logistik dalam rantai pasok jahe emprit juga diperlukan untuk mengetahui elaborasi antara analisis risiko dan analisis struktur biaya logistik dalam penelitian ini sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengendalian risiko pada rantai pasok jahe emprit dapat lebih optimal. 1.3. Batasan Masalah 1. Pengambilan sampel dilakukan di daerah penghasil jahe yaitu Kabupaten Kulon Progo, DIY dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 2. Analisis risiko dan struktur biaya logistik dilakukan pada tingkat petani, pengepul, pedagang besar (supplier), dan pedagang pasar. 3. Penentuan probabilitas kejadian, dampak yang ditimbulkan, dan kemampuan mengatasi risiko diperoleh dari pemilik risiko.
7 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui risiko yang ada pada rantai pasok jahe emprit. 2. Mengidentifikasi risk mitigation dan risk treatment untuk setiap tier (tingkatan) yang ada. 3. Menganalisa biaya logistik jahe emprit berdasarkan aktivitas logistik di tiap tier 4. Memberikan rekomendasi kepada setiap tier rantai pasok jahe emprit berdasarkan identifikasi risiko dan struktur biaya. 5. Menganalisis profit margin pada rantai pasok jahe emprit. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan gambaran mengenai risiko pada rantai pasok jahe, meliputi faktor dan besarnya risiko pada masing-masing tingkatan rantai pasok jahe. 2. Memberikan arahan dalam penanganan dan mitigasi risiko untuk mengurangi dampak risiko tersebut dengan penyusunan monitor risiko berdasarkan ISO 31000:2009. 3. Mengetahui komponen biaya yang berpengaruh terhadap aktivitas logistik sehingga dapat dijadikan landasan pengendalian dan pengurangan biaya logistik.