BAB VI KESIMPULAN Pada sebuah kondisi masyarakat multikultural di mana berbagai kelom pok masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya kelompok dominan sebagai kelompok yang memiliki kuasa dan kelom pok subordinat sebagai kelompok antikuasa. Dalam politik identitas, akibat keberadaan dua kelompok tersebut melahirkan persaingan melalui dikotomi Aku dan Kamu, Kita dan Mereka untuk menunjukkan bahwa kelompoknya lebih baik dari kelompok yang lain. Dalam studi ini, persaingan antara Sunda dan Cirebon telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang dan telah mengakar. Pergantian periode pemerintahan nyatanya belum membuat persaingan tersebut berakhir. Sunda sebagai kelompok mayoritas di Jawa Ba rat, berusaha melakukan dominasi yang mengandung kekerasan simbolik terhadap Cirebon. Melalui dom inasi tersebut, muncul anggapan bahwa urang sunda lebih baik daripada wong cerbon. Parahnya lagi, anggapan tersebut sekian lama diyakini pula oleh sebagian masyarakat Cirebon. Akibatnya Cirebon sebagai warga minoritas di Jawa Barat seringkali termarginalkan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dominasi tersebut tentu saja menimbulkan kesadaran bagi Cirebon untuk tidak tinggal diam, hingga akhirnya memilih 108
melakukan perlawanan. Angin demokrasi di era reformasi yang memberikan peluang lebih besar bagi Cirebon untuk melakukan perlawanan melalui penguatan lokal. Bahasa menjadi ekspresi bagi kedua belah pihak dalam memperebutkan kekuasaan. Melalui penggunaan undak usuk basa Sunda yang jauh lebih rumit dibandingakan undak usuk basa cerbon dimunculkanlah wacana bahwa bahasa Sunda adalah bahasa yang memenuhi kriteria kesopanan dan keluhuran adat orang Sunda. Sedangkan bahasa Cirebon sendiri bagi orang sunda merupakan bahasa yang kasar karena tidak sesuai dengan aturan tingkatan bahasa mereka. Bagi Cirebon sendiri, bahasa merupakan ekspresi yang digunakan untuk menunjukkan eksistensinya. Bahasa Cirebon merupakan bahasa tutur kebanyakan masyarakat Cirebon. Dengan kata lain, untuk menjadi suatu modal budaya sekaligus modal simbolik maka bahasa Cirebon telah mendapat pengakuan dari masyarakat dalam rangka menunjukkan identitasnya yang berbeda dengan orang sunda. Selain bahasa, ada modal lain yang diperebutkan dalam pergulatan identitas Cirebon melawan dominasi Sunda. Modal tersebut ialah modal sosial berupa kepemilikan jaringan. Dominasi Sunda diciptakan oleh aktor-aktor yang disebut menak.. Mereka menduduki posisi tertinggi baik dalam hierarki pemerintahan maupun dalam struktur masyarakat. Tentu ini memberikan keuntungan bagi kelas dominan, di mana mereka berpeluang dalam merumuskan kebijakan yang menguntungkan bagi kelompoknya. Kondisi tidak hanya berlangsung di tingkat Provinsi melainkan juga terjadi di tingkat Kabupaten dan Kota. Hal tersebut 109
menyebabkan perlawan Cirebon lebih banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat itu sendiri, bukan melalui birokrasi. Modal-modal yang dim iliki baik oleh Sunda ataupun Cirebon dipertarungkan dalam ranah budaya yakni ranah pendidikan khususnya sekolah. Keduanya meyakini bahwa melalui sekolah kesempatan untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan sangat memungkinkan untuk diraih. Bagi kelompok dominan, sekolah menjadi institusi untuk melanggengkan kekuasaan melalui penetrasi kebudayaan kelas dominan. Dalam hal ini sunda melakukannya dengan menjadikan bahasa Sunda sebagai kurikulum muatan lokal di seluruh sekolah di Jawa Barat termasuk Cirebon yang sebagian besar masyarakatnya justru tidak menggunakan bahasa sunda. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan dari sekolahsekolah ini adalah mereka yang sebagian besar berasal dari kelas dominan karena kepemilikan modal budaya yang jauh lebih besar. Merekalah yang dikemudian hari memiliki kesempatan untuk memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Hal ini kemudian berdampak pada kebijakan yang dihasilkan seringkali lebih mengutamakan nilai-nilai kesundaan. Sementara itu perlawanan Cirebon terhadap Sunda juga dilakukan di ranah budaya melalui sekolah. Sebagai tandingan keberadaan kurikulum bahasa Sunda, kurikulum bahasa Cirebon dihadirkan di sekolah sebagai upaya pertahanan sekaligus perlawanan terhadap dominasi Sunda. Untuk menunjukkan kema ndiriannya, beberapa guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Cirebon di Kabupaten maupun Kota Cirebon berusaha menyusun sendiri 110
kurikulum serta bahan ajar mata pelajaran Bahasa Cirebon sebagai akibat ketiadaan standar baku sebelumnya. Selain itu muncul upaya untuk membuka program studi bahasa Cirebon di beberapa perguruan tinggi yang ada di Cirebon. Selanjutnya bagaimana modal-modal tersebut dimainkan dalam ranah, sangat tergantung pada strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak. Strategi reproduksi kelas dominan biasanya adalah mempertahankan posisi mereka atau yang disebut oleh Bourdieu dengan conservation dan dalam hal ini dilakukan oleh Sunda. Sunda memasukkan bahasa ke dalam kurikulum pendidikan dengan tujuan menciptakan individu-individu terutama mereka yang akan duduk di birokrasi yang senantiasa berpedoman pada nilai-nilai kesundaan sehingga kebijakan yang nantinya dihasilkan adalah kebijakan yang mampu melanggengkan posisi mereka sebagai kelompok dominan. Sebaliknya strategi untuk mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan dalam ranah serta berusaha mendapat sebagian kecil dari kelompok dominan (succession dan subversion) menjadi strategi yang digunakan oleh mereka yang berada pada posisi subordinat dalam hal ini Cirebon. Merujuk pada keberhasilan dominasi sunda, sebagai kelompok yang berada dalam posisi subordinat, Cirebon melakukan strategi yang sama yaitu dengan menjadikan bahasa Cirebon sebagai muatan lokal yang memiliki kedudukan yang sama dengan bahasa Sunda di sekolah - sekolah. Tujuannya adalah, menempatkan orang-orang Cirebon yang memiliki kepedulian terhadap kebudayaan dan masyarakat Cirebon untuk berada di birokrasi sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak lagi memarginalkan orang Cirebon. O leh 111
karenanya, Cirebon yaitu dengan mengum pulkan berbagai modal yang dimiliki. Selain itu ranah budaya lainnya yang digunakan sebagai arena perlawanan yaitu dengan dibentuknya Lembaga Bahasa dan Sastra Cirebon yang merupakan tempat berkumpulnya para budayawan yang memiliki kepedulian terhadap eksistensi Bahasa Cirebon. Beberapa program dilakukan untuk mengakumulasi modal dalam bahasa Cirebon seperti mengumpulkan kosa kata yang sudah mulai ditinggalkan untuk kemudian disusun menjadi sebuah kamus. Selain itu, pesantrenlah sesungguhnya selama ini yang menjadi basis pertahanan keberadaan bahasa Cirebon dengan senantiasa menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari baik oleh santri maupun Kyai. Seluruhnya dilakukan dengan tujuan semata-mata untuk memenangkan pertarungan. Seperti yang diyakini oleh Bourdie bahwa kekuasaan di masyarakat sangat bergantung pada kepemilikan modal. Semakin banyak modal yang dimiliki, semakin besar pula peluang untuk memiliki kekuasaan. Dalam Studi ini, kepemilikan modal Cirebon jauh lebih kecil dibandingkan modal yang dimiliki oleh Sunda. Jika Sunda telah menjadikan bahasa sebagai modal untuk melakukan dominasi sejak berlangsungnya masa pemerintahan kolonial, maka Cirebon baru memiliki kesadaran untuk menggunakan bahasa sebagai alat perlawanan dan dilakukan secara intensif jauh setelahnya. Itulah sebabnya upaya perlawanan C irebon hingga saat ini masih merupakan perjuangan yang panjang karena selalu mendapatkan perlawanan kembali dari pihak Sunda. 112
Selain modal kekhasan habitus juga menentukan kemenangan dalam kontestasi kekuasaan habitus Sunda yaitu berusaha mempertahankan kekuasaan sebagai langkah untuk melanggengkan dominasi yang telah berlangsung. Sedangkan habitus yang dimiliki oleh Cirebon ialah berusaha merebut kekuasaan untuk diakui keberadaannya sebagai warga Jawa Barat yang bukan orang sunda melainkan tampil dengan identitas sendiri yaitu wong Cerbon. Upaya dom inasi Sunda melalui birokrasi menjadi logis, membuat proses implementasi yang memungkinkan bahasa mengorientasikan dirinya berada dalam politik birokrasi menempatkan sunda sebagai kelas dominan. Sebaliknya, muncul kesadaran bagi Cirebon untuk melakukan perlawanan agar tidak selalu berada dalam posisi subordinat. Dengan demikian, marginalisasi karena bukan merupakan Sunda diharapkan tidak terjadi lagi. Kondisi inilah yang menjadikan persaingan antara Sunda dan Cirebon masih berlangsung hingga saat ini. Dari cerita kontestasi kekuasaan antara Cirebon dan Sunda, setidaknya ada dua pembelajaran yang dapat diambil. Pertama, struktur dominasi yang kuat dan berlangsung dalam waktu panjang menyebabkab Cirebon mengalami kesulitan untuk menunjukkan identitasnya meskipun saat ini kesempatan tersebut sebenarnya terbuka lebar melalui Perda Provinsi No. 5 Tahun 2003 tentang bahasa daerah di Jawa Barat. Artinya bahwa dukungan politik kepada Cirebon untuk berekspresi melalui bahasa seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam menunjukkan identitasnya. 113
Selain itu, upaya Sunda untuk melakukan penetrasi nilai-nilai kesundaan melalui jalur pendidikan meskipun di wilayah-wilayah yang masyarakatnya bukan termasuk Sunda dianggap sebagai bentuk sundanisasi (baca: dominasi sunda), hendaknya tidak selalu dipandang dari sisi negatif. Hal ini setidaknya memberikan kesadaran kepada Cirebon bagaimana seharusnya mempertahankan identitasnya dengan segera setelah Cirebon mengetahui keunikannya dibandingkan Sunda. Dengan demikian keinginan Cirebon untuk lepas dari bayang-bayang etnis Sunda maupun Jawa dapat terwujud. Kedua, dikaitkan dengan politik identitas etnis, keragaman dalam masyarakat pada kenyatannya telah mempengaruhi cara pandang yang membawa pada kesadaran untuk memisahkan, mengkotak-kotakkan masyarakat pada golongan-golongan atas batasan fisik, warna kulit, etnis, bahasa, dan agama. Lebih jauh lagi, kesadaran tersebut seringkali mempengaruhi serta mendorong pengambilan kebijakan dan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam beberapa kasus, hal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu munculnya keinginan untuk memisahkan diri. Indonesia sebagai sebuah Negara yang masyarakatnya beragam, permasalahan politik identitas yang disebabkan melalui bahasa tentu tidak hanya terjadi di Cirebon. Beberapa kasus serupa seperti bahasa banyumasan di Banyumas dan bahasa Osing di Banyuwangi yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya menyebabkan pelabelan negatif dari suku terdekatnya Jawa sekaligus keinginan mereka untuk disebut sebagai etnis yang berbeda dengan Jawa. Demikan halnya dengan Cirebon, 114
dalam kasus ini politik etnis yang dimaksud lebih ditujukan pada proteksi bagi kemajuan kelompok. Dalam hal ini hak-hak politis yang dituntut tidak sampai pada taraf indepedensi atau keinginan memisahkan diri dari Jawa Barat tetapi lebih kepada kebebasan berekspresi dan bersosialisasi melalui bahasa. Hal ini tetap menuntut adanya suatu sikap untuk menghadapinya. Bagaimana masing-masing kelompok atau individu melihat dirinya berbeda dengan orang lain dan ternyata orang lain berbeda dengan dirinya. Dengan demikian, diperlukan suatu pendidikan, pengenalan untuk merubah cara pandang terhadap perbedaan ini. Perbedaan harus diterima sebagai sebuah kenyataan sehingga kita dapat belajar untuk mulai menerima perbedaan sebagai kenyataan yang kemudian akan melahirkan sikap menghargai perbedaan itu sendiri. *** 115