BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Malioboro dalam Konteks Ruang Jalan Malioboro merupakan ruang terbuka linear yang membentang dari utara (Stasiun Tugu) hingga selatan (titik nol). Jalan ini merupakan jalan utama menuju pusat kota Yogyakarta. Berbagai macam kegiatan seperti ekonomi, pariwisata dan politik melengkapi aktivitas kawasan ini. Kegiatan tersebut tidak terlepas dari unsur filosofis pembentuk Yogyakarta. Pemusatan berbagai aktivitas dapat meningkatkan efisiensi pergerakan masyarakat, namun di sisi lain dapat menyebabkan efek samping, seperti meningkatnya kepadatan kawasan, kemacetan lalu lintas, menurunnya tingkat kenyamanan hingga penurunan fungsi ruang publik. Gambar 1.1 Sumbu Imaginer dan filosofi, sumber : penulis Jalan Malioboro dalam konteks ruang dianggap sarat dengan unsur filosofis, terutama berkaitan dengan sejarah pembentuknya. Jalan ini merupakan salah satu jalan utama yang menjadi sumbu imaginer kota Jogja. Sumbu yang membentang dari utara 1
hingga selatan, yang menghubungkan Gunung Merapi Tugu Keraton Panggung Krapyak Laut Selatan. Jalan Malioboro membentang di antara tugu sampai dengan keraton. Posisi ini menyebabkan jalan Malioboro sering disebut sebagai sumbu filosofis kota Yogyakarta. Hal ini yang sering tidak dipahami oleh masyarakat. Secara harfiah, Jalan Maliboro berasal dari 2 kata, yaitu malio dan boro. Kata malio sebenarnya berasal dari kata mulya yang mempunyai definisi makmur atau mulia, sementara boro diceritakan sebagai bagian dari kata ngembara atau dalam bahasa Indonesia berarti mengembara. Dengan demikian, nama Malioboro menggambarkan filosofi perjalanan hidup menuju sebuah jalan kemuliaan yang penuh dengan godaan duniawi. Perjalanan dari kraton menuju tugu, menggambarkan masyarakat yang menempuh jalan melalui naungan sang raja untuk dapat hidup sejahtera. (Sri Suwito; 2010) Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono IX, di tahun 1758, beliau memberikan nama Beringharjo (pasar) sebagai salah satu komponen dalam pola tata kota Kerajaan, biasa disebut pola Catur Tunggal, yaitu Keraton, Alun-alun, Pasar dan Masjid. Pasar Beringharjo yang dibangun di kawasan Malioboro merupakan bekas hutan beringin. Beringin merupakan lambang kebesaran dan pengayoman bagi banyak orang. Jadi hal tersebut sesuai dengan citra pasar sebagai pasar pusat atau pasar Gede (Pram; 2009). Keadaan pasar terus berkembang hingga Pemerintah memandang perlu membangun pasar yang representatif dan layak sebagai pasar pusat di Yogyakarta. Nederlansch Indisch Beton Maatschapij ditugaskan membangun los-los pasar pada tanggal 24 Maret 1925. Pada akhir Agustus 1925, 11 kios telah terselesaikan, dan kemudian menyusul yang lainnya secara bertahap. Pada akhir Maret 1926, pembangunan pasar selesai dan mulai dipergunakan sebulan setelah itu. Perkembangan pasar semakin berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Malioboro. Perkembangan ini tidak terlepas dari konsep filosofis makrokosmos yang dibawa pemerintahan HB I. Ruang jalan yang sarat dengan filosofis pun beralih fungsi menjadi pusat kegiatan perdagangan yang tumbuh pesat seperti sekarang. Malioboro dalam konteks ruang tidak terlepas dari perannya sebagai ruang yang memiliki nilai filosofis, tetapi juga ruang ekonomi yang muncul karena pengaruh dari nilai filosofis. Namun demikian apakah manifestasi kinerja filosofis Malioboro dalam 2
konteks ruang sudah mencerminkan konsepsi ruang bersama antara masyarakat dan raja seperti zaman dahulu kala. 1.1.2 Konflik Jalan Malioboro sebagai Ruang Terbuka Kota Yogyakarta Jalan menjadi salah satu generator perkembangan kota (Trancik; 1986). Jalan juga merupakan ruang terbuka bagi seluruh masyarakat (Zahnd; 1999). Begitu juga pada kasus Jalan Malioboro. Jalur sirkulasi jalan Malioboro merupakan jalan searah yang dapat di akses dari arah utara. Jalur sirkulasi searah ini merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengurangi beban jalan Malioboro dan menata sirkulasi kendaraan (Susillo; 2012). Di sisi lain, intensitas kendaraan pribadi yang melewati jalan Malioboro berbanding terbalik dengan luas jalan yang ada, selain itu kecepatan kendaraan yang rendah menyebabkan kemacetan. Gambar 1.2 Kepadatan jalan Maliboro, sumber : http://www.tribunnews.com/images/regional/view/109131/kepadatan-kawasan-malioboro#.u0do2_msww4 diakses pada 25 April 2014 Jalan Malioboro merupakan jalan yang mempunyai tingkat pergerakan tinggi. Kepadatan jalan Malioboro yang semakin tahun semakin tinggi menimbulkan fenomena yang selalu terjadi di kota-kota besar, yakni kemacetan (Priyanto; 2012). Dikutip dari Widorisnomo (2012), dampak yang diakibatkan oleh kemacetan ini dapat merusak image dan citra kawasan. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Jogja ini, sejauh ini belum ada pengalihan maupun penutupan jalur pada waktu-waktu terjadinya puncak kemacetan. Untuk mengatasi permasalahan kondisi tersebut pihak Dinas Perhubungan hanya mengoptimumkan kinerja fungsi rambu lalu lintas sebagai ganti mengurangi kemacetan dengan oneway system. Upaya tersebut bertentangan dengan konsep filosofis mengenai 3
eksistensi jalan Malioboro. Yuwono dalam Diskusi Publik Peringatan Perjuangan Pangeran Mangkubumi di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri Universitas Gadjah Mada, Selasa 12 Februari 2013, mengatakan jalan Malioboro seharusnya mempunyai free visual kearah tugu dan gunung Merapi, tidak seperti sekarang yang justru sebaliknya, membelakangi tugu dan Gunung Merapi. Lalu lintas di jalan Malioboro terdapat 2 tipe kendaraan yaitu motorized dan unmotorized yang saling berhubungan langsung tanpa ada pembatas diantara 2 tipe kendaraan tersebut. Heru Sutomo (2012) dalam wawancara di kantor Pusat Studi Transportasi dan Logistik, mengindikasikan bahwa kemacetan yang terjadi di Jalan Malioboro saat ini disebabkan oleh tidak adanya manajemen transportasi yang baik dalam pengaturan jenis kendaraan yang melewati jalan Malioboro. Trotoar yang terdapat di jalan Malioboro juga telah menjadi tempat parkir massal dari utara sampai selatan sehingga menggeser fungsi ruang terbuka publik. Pada akhirnya para pengguna jalan harus mengalah agar dapat menikmati suasana di jalan Malioboro. Ruang publik yang ada disepanjang jalan Maliboro kini tengah mengalami degradasi. Hal ini menyebabkan masyarakat dan wisatawan yang datang tidak dapat menikmati ruang-ruang publik di Malioboro. Hal ini dapat diidentifikasi dari fenomena parkir on street di sepanjang Jalan Malioboro. Adanya kegiatan tersebut pada kenyataannya tidak diimbangi dengan ketersediaan fasilitas pendukung, seperti lahan parkir. Bangunan-bangunan toko yang ada di sepanjang jalan mayoritas tidak menyediakan tempat parkir bagi para pengunjung, sehingga fenomena parkir on-street tidak dapat dielakkan lagi. Parkir on street dapat dikategorikan sebagai kendala bagi sirkulasi pengunjung di Malioboro, karena dapat memperparah kemacetan (Priatmoko; 2014). Selain parkir on street yang telah menggunakan sebagian hak-hak masyarakat di ruang publik, keberadaan pedagang kaki lima (pkl) yang memperluas lapak dagangnya beberapa meter di sisi jalan juga turut membatasi aktivitas pergerakan para pengunjung jalan Malioboro. Hal ini dapat ditemui di sisi timur jalan Malioboro. Ruang duduk misalnya, masyarakat hanya dapat memakai satu sisi karena sisi yang lain telah dipenuhi motor dan beberapa dagangan yang digelar oleh para pedagang kaki lima. Disoptimasi jalur sirkulasi ini tidak saja bagi masyarakat dan wisatawan, tetapi juga dapat dirasakan 4
oleh penduduk lokal yang ingin mengakses Malioboro dari gang yang ada di sisi timur dan barat jalan. Ketersediaan ruang hijau di Malioboro juga sangat minim. Menurut Sri Suwito (2013), dahulu kala beberapa jenis pohon yang memiliki nilai filosofi ditanam disepanjang jalan Malioboro, seperti tanaman Asem dan Gayam. Asem berasal dari potongan kata sem melambangkan rasa sengsem, menyenangkan. Sedangkan tanaman Gayam melambangkan rasa ayem tenteram, tenang. Hampir mirip seperti asem. Kata Gambar 1.3 Komunitas musik lokal, sumber : http://rhaggill-duniaku.blogspot.com/2013/06/borobudurquickly-express.html, diakses pada 20 April 2014 Gayam digunakan potongan kata atau suku kata terakhir yakni yam untuk menyimbolisasikan rasa ayem tenteram, tenang. Pada saat ini tanaman tersebut hanya ada beberapa. Tanaman tersebut seharusnya dapat berfungsi sebagai peneduh, sekaligus pembentuk ruang untuk kegiatan beraktivitas di bawahnya. Pada awal tahun 2012 penanaman vegetasi dalam pot-pot besar digantikan oleh penanaman rumput di sepanjang jalan Malioboro. Dari sisi visual, visibilitas Malioboro lebih diuntungkan, tetapi dari sisi ruang hijau, penanaman rumput masih jauh dari kesan rindang. Menurut Suhardjo (2007) kenyamanan ruang yang dibentuk oleh vegetasi dapat memberikan rasa teduh bagi pengguna ruang publik dan mengendalikan tingkat pencemaran gas buang kendaraan bermotor. Aspek vegetasi seharusnya juga perlu dipertimbangkan sebagai sarana penghijauan jalan Malioboro. Keterbatasan ruang untuk penghijauan seharusnya menyadarkan masyarakat akan pentingnya vegetasi di ruang publik Malioboro. Malioboro sebagai kawasan yang memiliki livabilitas tinggi tidak hanya menarik bagi wisatawan, tetapi juga komunitas lokal. Komunitas lokal juga memerlukan ruang publik untuk berekspresi, memenuhi hak nya sebagai pemakai ruang (Lynch; 1972). 5
Tetapi tidak semua ruang dapat dipakai oleh sebagian komunitas. Hal ini dikarenakan banyaknya pengunjung yang memadati kawasan Malioboro sehingga tidak memberikan ruang lagi bagi komunitas lokal. Keterbatasan ruang publik ini akhirnya memicu munculnya ruang-ruang sisa yang dimanfaatkan oleh sebagian komunitas tertentu untuk menarik perhatian pengunjung. Pada waktu belakangan ini yang paling menonjol adalah munculnya event space berupa komunitas musik. Aktivitas dadakan ini menyebabkan munculnya ruang publik dadakan yang sebelumnya tidak direncanakan. 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian diatas dapat disimpulkan menjadi 2 permasalahan utama mengenai ruang publik yang terjadi dikawasan Malioboro. Permasalahan ini menjadi pilar untuk membuat penelitian lebih lanjut lagi mengenai fungsi lain yang mempengaruhi terbentuknya ruang publik. Permasalahan pertama adalah sirkulasi pejalan kaki pada ruang jalan Malioboro yang terkendala oleh beberapa faktor, yaitu parkir sepeda motor yang mengambil ruang jalan pedestrian dan beberapa pedagang kaki lima yang melebarkan lapaknya di beberapa tempat. Akses menuju ruang publik menggambarkan situasi yang tidak nyaman bagi pergerakan pengunjung, apalagi bagi kaum difabel. Hal ini jelas mengakibatkan hak-hak pengguna ruang publik terampas oleh kepentingan ekonomi. Ketidaknyamanan ini terasa semakin besar terlebih kebosanan para pengunjung yang berjalan menyusuri ruang jalan Malioboro. Pola ruang publik yang monoton dan hanya sebatas pada street furniture menyebabkan kualitas ruang menjadi sangat rendah. Tatanan, letak, sirkulasi, fasilitas menjadi sorotan utama sebagai akibat kurang maksimumnya penataan ruang yang kompleks. Hal ini dapat menurunkan identitas dan citra kawasan jalan Malioboro sebagai city of philosophy yang memiliki nilai budaya tinggi. Permasalahan yang kedua adalah munculnya aktivitas dadakan atau yang disebut dengan event space pada ruang-ruang jalan tertentu. Aktivitas ini dipicu oleh sekelompok komunitas musik lokal yang memakai ruang jalan yang seharusnya berfungsi sebagai jalur sirkulasi. Akibat yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah munculnya keramaian pada ruang jalan tertentu. Kondisi ini tentunya belum sesuai dengan aktivitas pendukung ruang publik. 6
1.3 Pertanyaan Penelitian Dari rumusan permasalahan di atas dapat disusun pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimakah karakter space Malioboro sebagai ruang publik? 2. Seperti apa karakteristik aksesibilitas menuju ruang publik? 3. Bagaimana karakteristik aktivitas yang mampu mendorong terjadinya ruang publik di Malioboro? 1.4 Tujuan Pertanyaan penelitian tersebut digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian ini dimaksudkan sebagai berikut : 1. Memahami karakteristik ruang publik jalan Malioboro 2. Merumuskan tolak ukur tatanan ruang publik Malioboro dengan penekanan pada sirkulasi pedestrian dan aktivitas statis dan dinamis. 3. Menata ruang publik di kawasan Jalan Malioboro 1.5 Sasaran Sasaran yang diperlukan dalam penelitian untuk mencapai tujuan di atas antara lain sebagai berikut : 1. Mengukur tatanan, letak, sirkulasi dan fasilitas pendukung pada ruang publik 2. Memetakan pola sirkulasi pedestrian menuju ruang publik 3. Mengidentifiasi pola keruangan yang terbentuk oleh sirkulasi pedestrian 4. Mengidentifikasi jenis aktivitas statis dan dinamis sebagai pendukung kegiatan yang memicu munculnya ruang publik dadakan. 5. Mengidentifikasi pola aktivitas berdasarkan event harian yang menarik terbentuknya ruang publik 6. Menganalisis pola aktivitas statis dan dinamis yang terbentuk di ruang jalan berdasarkan sirkulasi dan kegiatan pada ruang publik 7
1.6 Manfaat Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ruang publik ini adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai bentuk dan fungsi ruang publik di Malioboro. Ruang publik memiliki makna, terlebih dalam konteks ruang yang berada pada koridor filosofi. Seharusnya ruang publik di Malioboro memiliki sesuatu yang membedakan dengan ruang publik di tempat lain yang dapat dijadikan pedoman atau pegangan untuk penataan ruang publik Malioboro. Pemahaman mengenai ruang publik diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai guide line penataan ruang publik yang bermakna, demokrasi dan responsif berdasarkan konteks ruang jalan Malioboro. Hal ini tentunya menjadi tantangan sekaligus kontribusi bagi penulis untuk turut serta dalam pengembangan ruang publik kota Yogyakarta, khususnya ruang publik di kawasan Malioboro. 8