HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan primer yang digunakan berdasarkan Malveiro et al. (2001), yang digunakan pada ternak kambing Algarvia. Hasil amplifikasi gen GH pada gel agarose 1,5% disajikan pada Gambar 12. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M (-) 198 pb Keterangan: M : Marker 100 bp 1-12 : sampel kambing PE dari Sukajaya (+) 500 pb 300 pb 200 pb 100 pb Gambar 12. Hasil Amplifikasi Gen GH exon 2 dengan PCR dalam Gel 1,5% Agarose Menurut Malveiro et al. (2001), panjang gen GH exon 2 hasil amplifikasi dengan pasangan primer (Gambar 10) adalah 198 pb. Panjang fragmen gen GH exon 2 pada penelitian ini juga memiliki panjang 198 pb. Namun, terdapat perbedaan dengan panjang fragmen gen GH exon 2 yang diteliti oleh Kioka et al. (1989) yaitu 161 pb. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bangsa kambing yang digunakan serta desain primer yang dirancang. Panjang fragmen hasil amplifikasi dapat diketahui dengan cara mencocokkan situs penempelan pasangan primer pada sekuens gen GH exon 2 (GenBank nomor akses D00476) (Lampiran 1). Beberapa hal yang umum dilakukan untuk optimasi PCR diantaranya adalah suhu annealing (penempelan primer), konsentrasi Mg 2+, konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan selama proses PCR. Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu annealing (penempelan primer) yang 22
digunakan pada penelitian ini 63 o C selama 45 detik, berbeda dengan Malveiro et al. (2001) yaitu 65 o C. Meskipun terdapat perbedaan suhu annealing yang digunakan untuk mengamplifikasi gen GH exon 2, hal ini tidak menjadi masalah karena gen GH exon 2 yang menjadi target tetap berhasil diamplifikasi. Keberhasilan dalam mengamplifiksai DNA tergantung pada interaksi komponen PCR dalam konsentrasi yang tepat (Palumbi, 1996). Persentase keberhasilan amplifikasi gen GH exon 2 sekitar 77% atau sebanyak 180 sampel yang berhasil diamplifikasi dari total 233 sampel. Amplifikasi DNA yang kurang berhasil ini dapat disebabkan oleh adanya mutasi pada sekuens target yang mengakibatkan penempelan primer kurang tepat (mismatches) serta kualitas DNA yang rendah (konsentarsi atau kemurnian DNA). Selain itu, juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor dalam sampel DNA, yaitu haemoglobin, yang dapat menghambat kerja enzim taq polymerase (Al Soud dan Radstrom, 2001). Keragaman Gen GH Exon 2 Pendeteksian keragaman gen GH exon 2 dengan metode PCR-SSCP dibedakan berdasarkan banyaknya pita yang muncul dan laju migrasi fragmen DNA. Genotipe gen GH exon 2 yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki jumlah pita di bawah empat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bastos et al., (2001) yang menyatakan bahwa pita maksimum suatu sampel DNA dengan metode PCR-SSCP adalah empat pita. Gen GH exon 2 pada penelitian ini yang ditemukan pada kambing perah PE, Saanen, dan PESA bersifat polimorfik (beragam), karena ditemukan dua genotipe pada exon 2 yaitu AB dan AA. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malveiro et al. (2001) yang menemukan dua genotipe yang mempresentasikan dua alel yaitu genotipe AB dan BB serta alel A dan B. Masingmasing genotipe dibedakan berdasarkan jumlah pita yang muncul dalam gel poliakrilamida 12% nondenaturasi. Genotipe AB ditandai dengan adanya 2 pita dan genotipe AA ditandai dengan adanya 1 pita. Hasil pendeteksian keragaman gen GH exon 2 dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan rekonstruksi hasil elektroforesis genotipe gen GH exon 2 disajikan pada Gambar 14. 23
1 2 3 4 5 6 7 8 9 (-) Genotipe : AAB AB AA AB AB AB AB AB AB B Keterangan : 1-9 : sampel kambing PE dari Sukajaya (+) A Gambar 13. Hasil Pendeteksian Keragaman Gen GH Exon 2 AB AA Gambar 14. Rekonstruksi Genotipe Gen GH Exon 2 Pendeteksian keragaman gen GH exon 2 dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi keragaman DNA yang disebabkan adanya perubahan fragmen DNA dan mendeteksi level mutasi yang rendah (Yahyaoui, 2003). PCR-SSCP memiliki asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (konformasi) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis. 24
Persentase keberhasilan pendeteksian keragaman dengan PCR-SSCP adalah 100% dari 180 sampel DNA. Tahapan dari metode PCR-SSCP terdiri dari amplifikasi DNA target dengan menggunakan mesin thermocycler, penambahan larutan formamide dye, denaturasi DNA produk PCR pada suhu 94 o C, dan tahap elektroforesis dalam gel poliakrilamida 12% nondenaturasi pada kondisi suhu yang konstan. Penambahan larutan formamide dye berfungsi untuk mencegah terjadinya penempelan kembali (redenaturasi) fragmen DNA untai tunggal dengan komplemennya setelah proses denaturasi, sehingga pada saat sampel dicelupkan dalam air es, suhu turun secara cepat, fragmen DNA untai tunggal akan melipat dan membentuk suatu konformasi yang kompleks. Tahap denaturasi yang sempurna akan sangat berpengaruh terhadap hasil elektroforesis. Denaturasi sampel yang tidak sempurna akan menyebabkan kesulitan dan kesalahan dalam melakukan identifikasi tipe maupun penentuan genotipe dari suatu sampel. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dengan metode PCR- SSCP adalah: 1. Panjang Fragmen DNA Gen GH exon 2 mempunyai panjang fragmen 198 pb. Sensitivitas dari metode PCR-SSCP dipengaruhi oleh panjang fragmen DNA gen hasil amplifikasi. Menurut Hayashi (1991) sensitivitas dari metode PCR-SSCP adalah 99% untuk fragmen DNA yang memiliki panjang 100-300 pb dan 89% untuk fragmen yang memiliki panjang 300-450 pb. 2. Suhu Elektoforesis pada penelitian ini dilakukan dalam refrigerator dengan menggunakan kisaran suhu 4 o C. Suhu yang konstan sangat berpengaruh terhadap ketegasan dan ketajaman pita yang dihasilkan (Bastos et al., 2001) serta untuk menghindari pengaruh dari peningkatan suhu yang ditimbulkan oleh tegangan listrik. Elektroforesis dapat juga dilakukan pada suhu ruang, namun perlu ditambahkan buffer aditif seperti gliserol ke dalam gel. Elektroforesis dalam penelitian ini dilakukan dalam refrigerator dengan suhu yang relatif konstan (4 o C), sehingga tidak diperlukan tambahan gliserol. 25
3. Konsentrasi Akrilamida Konsentrasi akrilamida gel berpengaruh terhadap pendeteksian keragaman dalam SSCP. Konsentrasi akrilamida yang semakin rendah menghasilkan gel yang lebih lembut dan lebih sensitif dalam mendeteksi keragaman (Hayashi, 1991). Konsentrasi akrilamida yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12% (29:1). Hal ini sesuai dengan Muladno (2002) yang menyatakan efektivitas pemisahan DNA di dalam gel poliakrilamida bergantung dari konsentrasi akrilamida yaitu 12% untuk kisaran ukuran DNA 40-200 pb. Panjang target fragmen DNA yang digunakan adalah 198 pb. 4. Perbandingan Akrilamida dan Bis Akrilamida Perbandingan akrilamida dan bis akrilamida yang digunakan akan berpengaruh terhadap lebar matriks yang akan dilewati oleh utas tunggal DNA. Barroso et al. (1999) menggunakan perbandingan 100:1 untuk menghasilkan kondisi gel terbaik. Ceriotti et al. (2004) menggunakan perbandingan 29:1, sedangkan Agung (2007) menggunakan perbandingan 59:1. Perbandingan akrilamida dan bis akrilamida yang digunakan dalam penelitian ini adalah 29:1 karena lebih efisien dari segi biaya. Perbedaan perbandingan tersebut tidak berpengaruh terhadap pendeteksian selama bentuk ikatan utas tunggal DNA masih dapat bermigrasi dalam matriks gel tersebut. Frekuensi Genotipe dan Alel Hasil analisis frekuensi genotipe pada fragmen gen GH pada kambing PE, Saanen, dan PESA disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 15. Frekuensi genotipe dan alel gen GH exon 2 berdasarkan kriteria bangsa ternak, yaitu kambing PE, Saanen, dan PESA. Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). 26
Tabel 2. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 2 Bangsa Genotipe Frekuensi Genotipe Lokasi Total Kambing AB AA AB AA Ciapus 2 2 4 0,50 0,50 PE Cariu 6 4 10 0,60 0,40 Sukajaya 21 25 46 0,46 0,54 Subtotal 29 31 60 0,48 0,52 Cijeruk 5 13 18 0,28 0,72 Saanen Cariu 29 0 29 1,00 0,00 Sukabumi 30 10 40 0,75 0,25 Subtotal 64 23 87 0,74 0,26 PESA Cariu 12 5 17 0,71 0,29 Balitnak 7 9 16 0,44 0,56 Subtotal 19 14 33 0,58 0,42 Total 112 68 180 0,62 0,38 Gambar 15. Frekuensi Genotipe Gen GH Exon 2 27
Frekuensi genotipe fragmen gen GH exon 2 pada kambing PE memiliki genotipe AA lebih tinggi dibanding dengan genotipe AB. Hal ini berbeda dengan bangsa kambing Saanen dan silangannya (PESA) yang memiliki frekuensi genotipe AB yang lebih tinggi. Kondisi seperti ini juga didapatkan oleh Malveiro et al. (2001) yang menghasilkan frekuensi genotipe AB yang lebih tinggi dari frekuensi genotipe BB yaitu 0,759 dan 0,241, serta Marques et al. (2003) yang menghasilkan genotipe AB dan BB secara berturut-turut untuk tipe Ribatejano yaitu 0,902 dan 0,98 serta 0,935 dan 0,065 untuk tipe Jarmelista. Perbedaan frekuensi genotipe fragmen gen GH exon 2 antara kambing PE, Saanen, dan PESA disebabkan oleh perbedaan bangsa ternak. Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 16. Tabel 3. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2 Bangsa Lokasi Total Kambing A Frekuensi Alel B PE Saanen PESA Ciapus 4 0,75 0,25 Cariu 10 0,70 0,30 Sukajaya 46 0,77 0,23 Subtotal 60 0,76 0,24 Cijeruk 18 0,86 0,14 Cariu 29 0,50 0,50 Sukabumi 40 0,63 0,38 Subtotal 87 0,63 0,37 Cariu 17 0,65 0,35 Balitnak 16 0,78 0,22 Subtotal 33 0,71 0,29 Total 180 0,69 0,31 28
Gambar 16. Frekuensi Alel Gen GH Exon 2 Tabel 3 menunjukkan bahwa frekuensi alel A dan B pada gen GH exon 2 bersifat polimorfik sesuai dengan Nei (1987) yang mengatakan bahwa suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hasil analisis data tersebut memperlihatkan bahwa dari populasi kambing perah bangsa PE, Saanen, dan PESA, ketiganya mempunyai frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bangsa kambing yang bergenotipe BB. Kemungkinan tidak ditemukannya genotipe BB di dalam populasi kambing ini karena terdapat keterbatasan pejantan yang digunakan atau disebabkan oleh banyaknya pejantan bergenotipe BB yang dipotong sehingga pejantan yang tersisa hanya bergenotipe AA. Nilai Heterozigositas Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling tepat untuk mengukur keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Hasil analisis nilai heterozigositas pangamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) gen GH exon 2 disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 17. 29
Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan dan Heterozigositas Harapan Bangsa Heterozigositas Heterozigositas Lokasi Total Kambing Pengamatan Harapan PE Saanen PESA Ciapus 4 0,50 0,38 Cariu 10 0,60 0,42 Sukajaya 46 0,46 0,35 Subtotal 60 0,48 0,37 Cijeruk 18 0,28 0,24 Cariu 29 1,00 0,50 Sukabumi 40 0,75 0,47 Subtotal 87 0,74 0,47 Cariu 17 0,71 0,46 Balitnak 16 0,44 0,34 Subtotal 33 0,58 0,41 Total 180 0,62 0,43 Gambar 17. Nilai Heterozigositas Gen GH Exon 2 pada Kambing PE, Saanen, dan PESA Hasil analisis nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) mengindikasikan adanya perbedaan yang cukup besar pada ketiga 30
bangsa kambing yang diamati, khususnya pada bangsa kambing Saanen. Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) yang relatif lebih tinggi terdapat pada bangsa kambing Saanen (0,74) dan yang terendah pada bangsa kambing PE(0,48). Menurut Tambasco et al. (2003), perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) dapat dijadikan indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang diamati. Ketidakseimbangan itu mengindikasikan bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif (Machado et al., 2003). Pada kasus ini, ketidakseimbangan ini disebabkan oleh tidak adanya perkawinan secara acak karena terbatasnya jumlah pejantan. 31