TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland, Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Syarief dan Sumopastowo (1984) menyatakan bahwa tanda-tanda yang dimiliki sapi ini antara lain memiliki warna putih dengan belang hitam, dapat juga hitam dengan belang putih sampai warna hitam. Ekor harus putih, warna hitam tidak diperkenankan, juga tidak diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian siku dan lutut, tetapi warna hitam diperbolehkan pada kaki mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah yang lain (Blakely dan Blade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat mencapai 4.500-5.500 liter per laktasi. Berat badan sapi FH jantan dapat mencapai 1.000 kg dan sapi FH betina 650 kg (Chandra et al., 2009). Di tempat sapi FH berasal, produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006). Produktivitas sapi perah di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sapi perah iklim sedang. Kemampuan menghasilkan susu di Indonesia berkisar 3.000-3.900 liter per laktasi, sedangkan di daerah iklim sedang mencapai lebih dari 6.000 liter per laktasi (Dwiyanto et al., 2001). Talib et al. (2000) melaporkan bahwa rataan produksi susu sapi FH pada perusahaan lebih banyak dibandingkan dengan peternakan rakyat di pulau Jawa, yaitu sebesar 3.565,8 ± 159,7 3
liter pada perusahaan dan 3.266,4 ± 210,4 liter pada peternakan rakyat. Sifat produksi susu pada sapi perah adalah sifat kuantitatif yang dapat dikendalikan banyak gen dan diwariskan serta dipengaruhi faktor lingkungan (Noor, 2008). Pertumbuhan, reproduksi, dan produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi pakan dan manajemen pemeliharaan. Suhu lingkungan yang optimum untuk pemeliharaan sapi perah berkisar antara 5-21 0 C, dengan kisaran kelembaban 50%- 75% (Ensminger dan Howard, 2006). Sapi FH dapat mencapai pubertas pada umur 262 hari pada tingkat pakan tinggi, sedangkan pada tingkat pakan rendah, pubertas terjadi pada umur 504 hari atau lebih (Tomaszewska et al., 1991). Sifat reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia, seperti pada sapi FH menunjukkan umur pertama beranak adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60 hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan, dan service per conception (S/C) = 2 (Dudi et al., 2006). Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 Gen merupakan bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang ditranskripsi ke dalam mrna yang akan ditranslasi menjadi protein (Brown, 1999; Muladno, 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah penyandi atau coding sequence (CDS) dan terdapat pula bagian segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown, 1999). Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1, POUIF1 atau GHF1) adalah faktor transkripsi khusus untuk ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan dan hormon prolaktin (Brunsch et al., 2002). Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor-1 (Pit1) diketahui efektif untuk dipakai sebagai kandidat gen dalam mengontrol sifat produksi dan kualitas susu hewan, melalui fungsinya dalam mengkodekan 291 asam amino (Mullis, 2005). Gen Pit1 menghasilkan protein yang mengendalikan ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan (Growth Hormon, GH), prolaktin (PRL), thyrotropin sub unit-β (TSH- 4
β) (Song et al., 2005), growth hormone releasing hormone gene (GHRH) dan Pit1 itu sendiri (Curi et al., 2006). Gen Pit1 dilaporkan mempengaruhi bobot dan ukuran tubuh, bobot sapih, dan bobot tahunan (Curi et al., 2006). Renaville et al. (1997) melaporkan gen Pit1 berpotensi sebagai gen penanda produksi susu. Keragaman pada gen Pit1 juga telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Friesian Holstein (Renaville et al., 1997), sapi Angus (Zhao et al., 2004), Zebu (De Mattos et al., 2004), babi (Brunsch et al., 2002; dan Song et al., 2005), domba lokal Portugal (Bastos et al., 2006b) dan Manusia (Kishimoto et al., 2003). Rekonstruksi struktur gen Pit1 yang ditampilkan berdasarkan pada struktur gen Pit1 pada Ovis aries. Hal ini dapat dilakukan karena keduanya tergolong mamalia. Keterangan : Panjang : 5787 pb Ekson 1 (Ex1) : 142 pb Ekson 2 (Ex2) : 150 pb Ekson 3 (Ex3) : 225 pb Ekson 4 (Ex4) : 165 pb Ekson 5 (Ex5) : 61 pb Ekosn 6 (Ex6) : 211 pb Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen Pit1 pada Ovis aries Sumber: Bastos et al. (2006a) Keragaman Genetik Keragaman genetik digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsabangsa dalam populasi terkait dengan penciri atau suatu sifat khusus dalam suatu populasi. Pengetahuan keragaman genetik suatu bangsa sangat bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al., 1998). Semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002). Keragaman genetik dihasilkan mutasi, sedangkan perubahan frekuensi alel disebabkan migrasi, seleksi, dan genetic drift (Frankham et al., 2002). Menurut Noor (2008) frekuensi genotipe dalam suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. 5
Selain itu, silang luar dan silang dalam juga mempengaruhi frekuensi genetik. Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi (Avise, 1994). Menurut Nei (1987), derajat heterozigositas adalah rataan presentase lokus heterozigositas tiap indvidu atau rataan presentase individu heterozigot dalam populasi. Avise (1994) menambahkan bahwa seiring dengan derajat heterozigositas yang menurun akibat dari silang dalam dan fregmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal akan semakin meningkatkan frekuensi. Keragaman Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Keragaman DNA pada lokus gen Pit1 banyak dipelajari akhir-akhir ini dengan kemajuan teknik molekuler, sehingga keragaman gen Pit1 dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Polimorfisme gen Pit1 exon 3 dengan situs restriksi menggunakan enzim StuI telah dilaporkan pada sapi North America (Huang et al., 2008); gen Pit1 exon 6 dengan situs restriksi menggunakan enzim HinfI pada sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang (Sukmawati, 2011); gen Pit1 exon 6 dengan situs restriksi menggunakan enzim HinfI pada sapi FH di Indonesia (Misrianti, 2009). Adapun keragaman gen Pit1 pada beberapa ternak ruminansia disajikan pada Tabel 1. Identifikasi mutasi pada gen Pit1 dapat diseleksi pada tingkat DNA. Huang et al. (2008) mendeteksi keragaman lokus gen menggunakan enzim restriksi StuI. Mutasi dapat terjadi pada level DNA akibat terjadi perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T = Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk (tipe) substitusi (transisi atau transversi), delesi, insersi dan inversi (Nei, 1987). Situs pemotongan enzim restriksi StuI berubah akibat terjadi mutasi transversi dari basa C menjadi basa A (Huang et al., 2008). Mutasi transversi dapat terjadi akibat substitusi antara basa purin (Adenin dan Guanin) menjadi basa pirimidin (Timin dan Sitosin), begitupun sebaliknya. Keragaman gen Pit1 StuI telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Holstein North America terletak pada exon 3 dari gen Pit1 (Huang et al., 2008) dan 6
panjang fragmen hasil produk PCR pada gen Pit1 exon 3 adalah sepanjang 234 bp. Hasil pemotongan fragmen Pit1 oleh StuI menghasilkan dua alel yaitu A (234 bp) dan C (37 bp, 197 bp) (Huang et al., 2008), sehingga menghasilkan tiga genotipe, yaitu AA (234 bp), AC (234 bp, 197 bp, dan 37 bp), dan CC (197 bp dan 37 bp). Keragaman gen Pit1 exon 3 pada sifat produksi susu menunjukkan bahwa sapi bergenotipe AA dihubungkan dengan peningkatan umur produktiv dan produksi susu (Huang et al., 2008), dengan umur produktiv 5,17 ± 2,25 bulan dan produksi susu sebesar 722,55 ± 378,80 kg (Huang et al., 2008). Tabel 1. Keragaman Gen Pit1 Menurut Beberapa Penelitian pada Ternak Ruminansia Ternak Jumlah Sampel Metode Hasil Sumber Sapi Angus 98 SSCP Exon 6 Zhao et al. (2004) AA = 46 (0,11) AB = 183 (0,44) BB = 187 (0,45) Sapi Zebu dan persilangannya 384 RFLP Exon 6 AA = 181 (0,427) AB = 199 (0,517) Curi et al. (2005) Polish Black dan White Cattle (tipe perah) BB = 4 (0,011) 900 RFLP Exon 6 AA = 47 (0,052) AB = 344 (0,382) BB = 509 (0,566) FH Italia (tipe perah) 89 RFLP Intron 5 dan exon 6 AA = 2,2 % AB = 31,5% BB = 66,3% Brangus bulls Chihuahuan Desert Rangeland Research Center (CDRRC) Dairy Gyr Bulss (tipe perah) Sapi Holstein Iran (tipe perah) 248 RFLP Exon 6 AA = 65,6 % AG = 32,6 % GG = 1,8 % 40 RFLP Exon 6 + + = 36 (0,9) + = 4 (0,1) = 0 (0 ) 107 RFLP Exon 6 AA = 2 (0,019) AB = 48 (0,449) BB = 57 (0,53) Kerbau Iran 30 RFLP Exon 6 AA = 0,567 AB = 0,400 BB = 0,033 Domba Lokal 152 RFLP Exon 3 AA = 135 (0,889) AB = 3 (0,019) BB = 14 (0,092) Dybus et al. (2004) Renaville et al. (1997) Thomas et al. (2007) De Mattos et al. (2004) Edriss et al. (2008) Javanmard et al. (2005) Herdiana (2008) 7
Analisis Keragaman DNA Polymerase chain reaction (PCR) merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan enzim polymerase dan primer. Primer merupakan oligonukleotida spesifik pada DNA template. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil PCR dapat langsung divisualisasikan dengan elektroforesis atau dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams, 2005). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan primer) (Muladno, 2002). Keragaman DNA amplikon atau produk PCR dapat dianalisis dengan berbagai cara, antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP), Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), dan sekuensing. Polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR- RFLP) merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR-RFLP memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim pemotong yang berbeda pada tiaptiap mikroorganisme. Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan penyakit yang diturunkan (Orita et al., 1989), ataupun untuk mendeteksi keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu. Analisis keragaman genetik menggunakan pendekatan analisis RFLP memakai enzim endonuklease atau enzim retriksi (RE) untuk mengenali situs pemotongan 4 dan 6 basa (Green, 1998). Kelebihan dari RFLP adalah dapat mendeteksi sifat kodominan, artinya dapat membedakan antara yang homozigot dan heterozigot (Gupta et al., 2002). Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak, yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap kejadian proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Analisis Chi-Kuadrat dapat digunakan untuk mengetahui keseimbangan frekuensi genotipe (p2, 2pq, q2) atau frekuensi alel (p dan q) pada suatu populasi ternak. Suatu populasi dikatakan seimbang jika nilai χ2 hitung yang didapatkan lebih kecil dari χ2 tabel pada selang kepercayaan 5% dan derajat 8
bebas tertentu (Nei, 1987). Nilai Chi-Kuadrat (χ2) hitung yang lebih kecil dari nilai Chi-Kuadrat (χ2) tabel juga dapat dikatakan bahwa hasil perkawinan antar individu dari setiap bangsa tersebut berada pada keseimbangan. Menurut Noor (2008) suatu populasi yang cukup besar berada dalam keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg jika frekuensi genotipe dominan dan resesif konstan dari generasi ke generasi, tidak ada seleksi, mutasi, migrasi, dan genetic drift. Seleksi merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah keseimbangan dalam populasi secara cepat. Suatu populasi dinyatakan dalam keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe dan frekuensi alel konstan dari generasi ke generasi, sebagai akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak ke dalam populasi yang besar (Nei, 1987). 9