BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
PREPARASI DAN KARAKTERISASI SERBUK CALCIUM ALUMINA FERRITE (CaAl 4 Fe 8 O 19 ) SEBAGAI BAHAN KERAMIK MAGNETIK

METODOLOGI PENELITIAN

4.2 Hasil Karakterisasi SEM

Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab 4 Data dan Analisis

BAB II DASAR TEORI. Sifat magnet dari material ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

Sintesis dan Karakterisasi Kalsium Ferit Menggunakan Pasir Besi dan Batu Kapur

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill

SINTESIS SERBUK BARIUM HEKSAFERIT DENGAN METODE KOPRESIPITASI

Bab IV Hasil dan Pembahasan

PENGARUH WAKTU MILLING TERHADAP SIFAT FISIS, SIFAT MAGNET DAN STRUKTUR KRISTAL PADA MAGNET BARIUM HEKSAFERIT SKRIPSI EKA F RAHMADHANI

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Erfan Handoko 1, Iwan Sugihartono 1, Zulkarnain Jalil 2, Bambang Soegijono 3

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU SECARA STOIKIOMETRI DAN NON STOIKIOMETRI TERHADAP SIFAT FISIS DAN MAGNET PADA PEMBUATAN MAGNET PERMANEN BaO.

BAB I PENDAHULUAN. Magnet keras ferit merupakan salah satu material magnet permanen yang

Pengaruh Variasi Waktu Milling dan Penambahan Silicon Carbide Terhadap Ukuran Kristal, Remanen, Koersivitas, dan Saturasi Pada Material Iron

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Galuh Intan Permata Sari

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

1 BAB I PENDAHULUAN. Salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia saat ini adalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3

4 Hasil dan Pembahasan

STUDI MIKROSTRUKTUR SERBUK LARUTAN PADAT MxMg1-xTiO3 (M=Zn & Ni) HASIL PENCAMPURAN BASAH

Bab III Metodologi Penelitian

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KALSIUM FERIT MENGGUKAN PASIR BESI DAN BATU KAPUR

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

SINTESIS NANOPARTIKEL FERIT UNTUK BAHAN PEMBUATAN MAGNET DOMAIN TUNGGAL DENGAN MECHANICAL ALLOYING

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Lumpur Sidoarjo

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

Bab 3 Metodologi Penelitian

PENGARUH ADITIF SiO2 TERHADAP SIFAT FISIS DAN SIFAT MAGNET PADA PEMBUATAN MAGNET BaO.6Fe2O3

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ENKAPSULASI NANOPARTIKEL MAGNESIUM FERRITE (MgFe2O4) PADA ADSORPSI LOGAM Cu(II), Fe(II) DAN Ni(II) DALAM LIMBAH CAIR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN

SINTESIS TITANIUM DIOKSIDA MENGGUNAKAN METODE LOGAM-TERLARUT ASAM

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SIDANG TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

Sintesis dan Karakterisasi Kalsium Ferit Menggunakan Pasir Besi dan Batu Kapur

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN MgCl 2 PADA SINTESIS KALSIUM KARBONAT PRESIPITAT BERBAHAN DASAR BATU KAPUR DENGAN METODE KARBONASI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

4 Hasil dan pembahasan

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

WULAN NOVIANA ( )

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. karakteristik dari pasir besi sudah diketahui, namun penelitian ini masih terus

PENGUKURAN SIFAT TERMAL ALLOY ALUMINIUM FERO NIKEL MENGGUNAKAN ALAT DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Foto Mikro dan Morfologi Hasil Pengelasan Difusi

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan kebutuhan bahan baku juga semakin memadai. Kemajuan tersebut memberikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA.

PEMBUATAN MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERIT YANG DIDOPING ION Cu

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hand out ini merupakan kelengkapan perkuliahan Karakterisasi Material dan merangkum prinsip dasar teknik karakterisasi material padat serta

PENGARUH WAKTU DRY MILLING TERHADAP KARAKTERISTIK DAN SIFAT MAGNET PERMANEN ND-FE-B

PERUBAHAN BUTIR DAN PENENTUAN TEMPERATUR PEMBENTUKAN BARIUM HEXAFERRITE TERSUBSTITUSI ION Mn +2 Dan Ti +4 MELALUI MEKANISME MEKANIKA MILLING

Bab III Metodologi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV DATA DAN ANALISIS

Pengaruh temperatur sintering terhadap struktur dan sifat magnetik La 3+ - barium nanoferit sebagai penyerap gelombang mikro

BAB IV ANALISA DATA & PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 4.1 Analisis Hasil Pengujian TGA - DTA Gambar 4.1 memperlihatkan kuva DTA sampel yang telah di milling menggunakan high energy milling selama 6 jam. Hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa terjadi perubahan atau dekomposisi pada temperatur 730 0 C. Sampel dipanaskan pada temperatur 1000 0 C dengan medium udara. Temperatur ini sudah mewakili perubahan yang diinginkan, akan tetapi karena solid state reaction merupakan proses yang membuktuhkan waktu yang lama, maka diperlukan kondisi vakum sebagai katalis. Pada saat sampel dikalsinasi pada temperatur 1000 selama 100 jam belum terjadi perubahan yang signifikan. Oleh karena itu sampel dibakar lagi pada temperatur yang lebih tinggi, dengan waktu yang lebih pendek akan tetapi atmosfir kalsinasi divariasikan. TGA DTA Gambar 4.1 Kurva TGA-DTA sampel setelah high energy milling selama 6 jam 37

Gambar 4.2 kurva Perhitungan TGA-DTA Dari kurva TG-DTA diatas, sampel mengalami reaksi endotermik saat dibakar pada temperatur sekitar 730 0 C. Sebelumnya pada temperatur disekitar 150 0 C sampel mengalami reaksi endotermik dan pengurangan massa, ini bukanlah reaksi pembentukan fasa CaAl 4 Fe 8 O 19 akan tetapi pada temperatur tersebut terjadi penguapan air pada sampel. Kurva DTA menunjukkan reaksi endotermik atau penyerapan panas oleh sampel dengan entalphi pembakaran 56.6185. sedangkan kurva TGA menunjukkan pengurangan massa pada temperatur tersebut sebesar 2.917 %. Walaupun pada temperatur ini sudah terjadi reaksi perubahan, tetapi karena solid state reaction sampel ini dilakukan tanpa katalis sehingga berjalan lambat dengan medium udara, hasil pengujian berikutnya menunjukkan saat dipanaskan ditemperatur 1000 0 C selama 100 jam perubahan yang terjadi tidak signifikan. 38

4.2 Analisis Hasil XRD Hasil XRD (Gambar 4.3) menunjukkan pembentukan fasa CaAl 4 Fe 8 O 19 yang terdiri dari fasa Calcium hexaferrite (CaFe 12 O 19 ) dan Calcium hexaluminat (CaAl 12 O 19 ). Sebagian kecil fasa-fasa tersebut sudah terbentuk saat pembakaran dengan solid state reaction pada temperatur 1000 0 C selama 100 jam dengan medium udara. Fasa α-fe 2 O 3 lebih dominan dan puncak fasanya berhimpit dengan fasa CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19. pada saat pemanasan dilanjutkan pada temperatur 1200 0 C di udara fasa CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 mulai bertambah. Gambar 4.3 Perbandingan pola difraksi ketiga sampel Pada proses pembakaran lanjutan ditemperatur 1200 0 C dengan kondisi vakum, Solid solution CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 sudah mulai dominan akan tetapi masih terdapat fasa α-fe 2 O 3 yang tidak bereaksi, hal ini kemungkinan disebabkan kekurangan bahan oksida yang lain akibat proses pencampuran yang tidak sempurna, sehingga perbandingannya tidak optimal. Selain itu bisa juga disebabkan karena waktu kalsinasi masih belum cukup optimal pada temperatur ini. 39

Tabel 4.1 Analisis semi kuantitatif komposisi Fasa Hasil Pengujian XRD Pada sampel yang dikalsinasi pada 1000 0 C selama 100 jam No Fasa % Berat 1. α-al 2 O 3 (Corundum) 15,5 2 α-fe 2 O 3 (Hematite) 54,7 3 Ca(Al,Fe) 12 O 19 (Hibonite-5) 21,1 4 CaAl 12 O 19 (Hibonite 5H) 7,9 Tabel 4.2 Analisis semi kuantitatif komposisi Fasa Hasil Pengujian XRD Pada sampel yang dikalsinasi pada 1200 0 C selama 1 jam diudara No Fasa % Berat 1. α-al 2 O 3 (Corundum) 10,9 2 α-fe 2 O 3 (Hematite) 53,1 3 Ca(Al,Fe) 12 O 19 (Hibonite-5) 26,6 4 CaAl 12 O 19 (Hibonite 5H) 7,5 Tabel4.3 Analisis semi kuantitatif komposisi Fasa Hasil Pengujian XRD Pada sampel yang dikalsinasi pada 1200 0 C selama 1 jam dengan kondisi vakum No Fasa % Berat 1. α-al 2 O 3 (Corundum) 13,7 2 α-fe 2 O 3 (Hematite) 28,3 3 Ca(Al,Fe) 12 O 19 (Hibonite-5) 42,6 4 CaAl 12 O 19 (Hibonite 5H) 14,2 Perbandingan ketiga kurva menunjukkan pola difraksi untuk sampel yang dikalsinasi dengan kondisi vakum pada 1200 0 C mempunyai pola difraksi yang berbeda. Hasil analisis semi kuantitatif (tabel 4.3) juga menunjukkan persentase fasa kristalin CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 sudah dominan. Pada dua temperatur sebelumnya yang dominan adalah fasa α-fe 2 O 3. Pembentukan fasa CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 yang lebih dominan terjadi karena kondisi vakum menjadi katalis reaksi pembentukan solid solution kedua 40

CaO + 2Al 2 O 3 + 4Fe 2 O 3 CaAl 4 Fe 8 O 19 (kulkarni & Prakash, 1993 ) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS fasa diatas. Pada kondisi vakum tekanan menjadi lebih rendah sehingga reaksi solid solution lebih mudah terjadi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, terjadi solid state reaction antara oksida-oksida yang menjadi raw material. Walaupun reaksi yang terjadi kurang sempurna karena masih adanya oksida yang belum bereaksi akan tetapi sudah terjadi pembentukan fasa CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: 3CaO + 6 Al 2 O 3 + 12 Fe 2 O 3 CaAl 12 O 19 +2CaFe 12 O 19 3CaO + 6Al 2 O 3 + 12Fe 2 O 3 3CaAl 4 Fe 8 O 19 4.3 Hasil dan Analisis SEM EDS Setelah powder setelah selesai di-kalsinasi, terbentuk produk bulk. Produk bulk ini dihancurkan kembali menjadi bentuk serbuk halus kemudian dikarakterisasi dengan SEM untuk melihat ukuran distribusi dan bentuk partikel serbuknya. 4.3.1 Serbuk hasil kalsinasi pada temperatur 1000 0 C di udara (100 jam) Struktur mikronya adalah sebagai berikut: B A Gambar 4.4 Serbuk hasil kalsinasi pada temperatur 1000 0 C di udara selama 100 jam 41

Serbuk ini masih belum mempunyai struktur partikel acak, sampel ini masih dalam tahap awal pembentukan struktur hexagonal dan sebagian besar masih berupa oksida dari raw material yang digunakan. Hasil EDS butir area A dan B menunjukkan komposisi seperti tabel (4.4). area A adalah α-fe 2 O 3 dan B adalah α-al 2 O 3. Tabel 4.4 Hasil EDS Serbuk Kalsinasi pada Temperatur 1000 0 C di Udara Selama 100 jam Element Area A (Wt %) Area B (Wt %) O 1.87 2.08 Al 3.47 40.67 Ca 0.31 8.58 Fe 94.35 48.68 Jumlah 100 100 4.3.2 Serbuk hasil kalsinasi pada temperatur 1200 0 C di udara (1 jam) (a) (b) Gambar 4.5 Struktur mikro serbuk kalsinasi pada 1200 0C di udara (a) perbesaran 5000 X (b) Perbesaran 10000X Berdasarkan gambar hasil SEM diatas (1(a) dan 1(b)), terlihat bahwa serbuk ini memiliki distribusi ukuran partikel dengan range 0.5-5 mikron. Hal ini berarti tahap powder preparation serbuk yang dihasilkan cukup halus. Dari 42

gambar diatas juga terlihat bahwa terjadi agglomerasi dan bentuk yang tidak beraturan pada partikel-partikel serbuk. Tabel 4.5 Hasil EDS butir granular sampel hasil kalsinasi 1200 0 C di udara No Element Wt % 1. O 1.87 2. Al 3.47 3. Ca 0.31 4 Fe 94.35 Jumlah 100 Hasil EDS menunjukkan komposisi dari butir yang berbentuk bulat (granular) lebih dominan Fe, kemungkinan ini adalah α-fe 2 O 3 yang belum bereaksi. 4.3.3 Serbuk hasil kalsinasi pada temperatur 1200 0 C dengan kondisi vakum (1 Jam) Plate Like Hexagonal Granular (a) (b) Gambar 4.6 Struktur mikro serbuk kalsinasi pada 1200 0 C di medium vakum (a) perbesaran 5000 X (b) Perbesaran 10000X Serbuk yang dihasilkan sudah membentuk butiran yang kristalin mirip struktur hexagonal. Perbedaan dari yg serbuk yang pertama adalah ukuran butir yang semakin besar karena pertumbuhan butir kristalin. Panjang butir kristalin 43

adalah sekitar 1-3 mikron, sedangkan tebal butir kristal antara 0.1-0.5 mikron. Aglomerasi tetap terlihat karena hal tersebut memang telah menjadi karakteristik dari powder hasil solid state process. Hasil SEM dua serbuk yang di bakar dengan dan tanpa kondisi vakum menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Pada sampel yang dibakar diudara selama satu jam, masih menunjukkan kondisi amorf dan bentuk yang bulat. Pembentukan fasa kristalin masih belum sempurna sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama agar fasa kristalin yang diinginkan dapat terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa jika serbuk dibakar diudara struktur mikro tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Tabel 4.6 Hasil EDS serbuk kalsinasi ditemperatur 1200 0 C kondisi vakum pada butir plate like hexagonal No Element Wt % 1. Al 34,44 2. Ca 6.87 3. Fe 58.69 Jumlah 100 Tabel diatas memperlihatkan hasil EDS butir berbentuk plate like hexagonal. Komposisi unsur kalsium dan aluminiumnya cukup tinggi sehingga mendekati komposisi CaAl 4 Fe 8 O 19. jadi kemungkinan struktur mikro yang terbentuk adalah bagian dari hexagonal ferrite magnetoplumbite M type ferrite dengan sifat magnetik yang lebih lemah. 44

Tabel 4.7 Hasil EDS serbuk kalsinasi ditemperatur 1200 0 C kondisi vakum pada butir Granular No Element Wt % 1 O 2.81 2. Al 5.31 3. Ca 0.63 4. Fe 91.25 Jumlah 100 Walaupun sebagian besar struktur mikro sudah menunjukkan menunjukkan struktur plate like hexagonal akan tetapi masih ada bagian dari oksida yang belum bereaksi. Hasil EDS struktur mikro yang berbentuk bulat (Granular) menunjukkan kandungan Fe yang tinggi sehingga kemungkinan adalah Fe 2 O 3 yang belum bereaksi. Hasil XRD juga memperlihatkan kandungan Fe 2 O 3 yang masih tinggi. Pada serbuk yang dibakar dengan kondisi vakum dan tekanan 10-1 bar pada 1200 0 C menunjukkan pembentukan fasa kristalin yang lebih dominan. Fasa kristalin yang serbuk ini mempunyai bentuk hexagonal. Kemungkinan fasa ini adalah hexagonal magnetoplumbite yang umum pada material magnetik hexagonal ferrite. Hal ini berarti parameter pembakaran dengan kondisi vakum mempunyai pengaruh yang signifikan pada morfologi serbuk dan dapat mengurangi waktu kalsinasi dan temperatur. 4.4 Analisis Hasil Pengujian Sifat Magnet Sifat magnet serbuk yang terbentuk diukur dengan permagraph. Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9 memperlihatkan kurva magnetisasi sampel. Sifat magnet yang diperoleh dari kurva magnetisasi tersebut dicantumkan pada Tabel 4.4. 45

Gambar 4.7 Kurva magnetisasi sampel hasil kalsinasi 1000 0 C selama 100 jam diudara Gambar 4.8 Kurva magnetisasi sampel hasil kalsinasi 1200 0 C selama 1 jam diudara Gambar 4.9 Kurva magnetisasi sampel hasil kalsinasi 1200 0 C selama 1 jam dengan atmosfir vakum 46

Dari pengujian magnetisasi sampel pada temperatur kamar diperoleh kurva magnetisasi Solid solution ketiga serbuk yang diuji tidak mempunyai sifat hysteresis, walaupun ada nilainya sangat kecil. Dari data yang diperoleh, ketiga sampel juga tidak mempunyai nilai BH max. Hal ini berarti bahwa material ini tidak bersifat hard atau soft magnet. Dan jika dibandingkan dengan kurva magnetisasi bahan paramagnetik, oksida ini cenderung mendekati sifat paramagnetik pada temperatur kamar, dengan nilai magnetisasi yang kecil. Gambar 4.10 kurva magnetisasi berbagai material [13] Hal yang menyebabkan bentuk kurva hasil pengukuran tidak sesuai dengan kurva magnetisasi material paramagnetik dalam literatur adalah karena pada segmen tengah dari masing-masing sampel mengandung banyak void akibat dari densifikasi tanpa proses sintering baik sehingga void ini akan bertindak sebagai penghalang flux magnet. Jika flux magnet terhalang, maka akan dibutuhkan kuat medan magnet H yang lebih besar agar magnetisasi dapat terus berlangsung sehingga menyebabkan kurva magnetisasi menjadi lebih naik. Selain itu adanya fasa α-fe 2 O 3 yang masih dominan akan menyebabkan material ini akan bersifat anti-feromagnetik yang nilai magnetisasinya juga relatif kecil. Jika bisa mendapatkan material dengan sifat superparamagnetik maka akan sangat baik digunakan didalam material bioceramic magnetik karena mempunyai nilai magnetisasi jenuh yang tinggi sehingga dengan medan magnet 47

yang tidak terlalu besar akan mudah untuk di magnetisasi dan di de-magnetisasi, tanpa meninggalkan medan magnet sisa. Sifat magnetik ketiga sampel mempunyai kurva magnetisasi yang hampir mirip. Walaupun hasil XRD dan SEM menunjukkan sampel yang dipanaskan dalam kondisi vakum mempunyai fasa kristalin hexagonal ferrite dari CaFe 12 O 19 dan CaAl 12 O 19 akan tetapi kuantitasnya masih kecil dan masih mempunyai fasa α-fe 2 O 3 dan α-al 2 O 3. no Temperatur Kalsinasi Medium Tabel 4.8 Sifat Magnet serbuk CaAl 4 Fe 8 O 19 Br (Kilo Gauss) μ (Permeability} Hc (koe) BH max (MGOe) 1 1000 Udara 0.06 0.975 0.031 0 2 1200 Udara 0.12 1,4 0.119 0 3 1200 Vakum 0.06 1.05 0.052 0 Dari data nilai permeabilitas pada tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa nilai permeabilitas ketiga sampel mendekati material paramagnetik, yaitu sedikit lebih besar dari satu, kecuali pada sampel pertama yang nilai permeabilitasnya sedikit lebih kecil dari satu. Jika kristal hexagonal dapat terbentuk lebih banyak kemungkinan sifat magnetisasinya dalam bentuk kurva akan lebih mendekati sifat paramagnetik atau superparamagnetik. 48