VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA

dokumen-dokumen yang mirip
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI. Abstrak

BAB IV ANALISIS DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LAHAN PERUMAHAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjabaran analisis berikut :

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

Pemahaman atas pentingnya Manual Penyusunan RP4D Kabupaten menjadi pengantar dari Buku II - Manual Penyusunan RP4D, untuk memberikan pemahaman awal

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

Redistribusi Lokasi Minimarket di Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II METODA DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

1 A p a r t e m e n S i s i n g a m a n g a r a j a S e m a r a n g

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat

2.4 Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian... 47

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin

BAB I PENDAHULUAN I.1.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

DAFTAR ISI. Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Halaman Persembahan Kata Pengantar. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

Transkripsi:

127 VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Abstrak Hasil analisis keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya secara umum kurang berlanjut, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan statusnya hingga mencapai status berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan awal bahwa faktor manajemen lahan merupakan faktor kunci didalam pengelola permukiman berkelanjutan dengan cara menekan laju konversi lahan untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model permukiman berkelanjutan di kawasan bergambut (model fisik dan model dinamik). Metode analisis dengan menggunakan sistem dinamik dengan software Stella dan metode Composite Performance Indeks (CPI). Hasil perencanaan model fisik dinyatakan dalam bentuk Model Hunian Vertikal sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal pada lahan yang minimal. Sementara untuk meminimalisir degradasi lingkungan dinyatakan dalam bentuk Model Struktur Panggung yang mampu mempertahankan ekosistem gambut dan meminimalisir degradasi lingkungan. Kedua model tersebut dianalisis untuk mendapatkan varian model terbaik sekaligus untuk memvalidasi model yang diusulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat varian model yang dianalisis (horizontal tapak, horizontal panggung, vertikal tapak, dan vertikal panggung) diketahui bahwa model vertikal panggung merupakan model terbaik dengan skor 322.50, selanjutnya model vertikal tapak (skor: 300), model horizontal tapak (skor: 160), dan model horizontal panggung (skor: 154.17). Hasil analisis skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya menunjukkan bahwa dari keempat skenario yang diusulkan, maka skenario 4 (konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting dan 75% pada lahan baru) merupakan skenario terbaik, dengan efisiensi lahan mencapai 37% sehingga terdapat surplus lahan sebesar 217.950 ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 27,933 unit hingga tahun 2032, penambahan proporsi RTH mencapai 58.65%. Surplus lahan dapat dialokasikan sebagai lahan cadangan untuk menambah jumlah hunian sebanyak 29,060 unit atau memperpanjang daya dukung lahan sampai dengan tahun 2060. Subsidi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam bentuk suku bunga rendah 7.25% flat 15 tahun, dengan harga Rp. 99 juta/unit dan cicilan Rp. 1.043.750,-/bulan. Harga tersebut telah sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Kata kunci : model, permukiman, berkelanjutan, kawasan bergambut. 7.1 Pendahuluan Pertumbuhan rumah tapak di kawasan Sungai Raya saat ini terus mengalami peningkatan. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang sebagian besar merupakan lahan bergambut, menimbulkan kekhawatiran terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan secara ekologis tidak memenuhi kriteria

128 keberlanjutan. Rumah tapak semakin diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih kokoh dan modern dibanding rumah panggung. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa rumah panggung secara visual kurang menarik. Padahal dibalik kesederhanaannya, rumah panggung justru memiliki filosofi yang lebih berwawasan lingkungan karena proses pembangunannya relatif tidak merusak ekosistem gambut. Pembangunan rumah tapak yang notabene menggunakan pondasi lajur batu kali dan bertumpu pada tanah keras, berimplikasi pada rusaknya struktur tanah gambut yang menyebabkan kondisi tidak balik kembali (irreversible). Perlakuan seperti ini berpotensi menyebabkan terjadinya bencana ekologis berupa bencana banjir dan lepasnya sejumlah gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ) yang tersimpan didalam gambut. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pengembangan model permukiman perkotaan di lahan bergambut secara berkelanjutan. Penataan kawasan permukiman perkotaan di Sungai Raya sepertinya cukup mendesak untuk dilakukan mengingat tingkat kemajuan pembangunan di kawasan tersebut cukup tinggi. Hingga tahun 2012 diperkirakan lebih dari 2.000 Ha lahan gambut telah dikonversi menjadi kawasan permukiman (built up area). Permasalahan kunci yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana upaya untuk mengurangi laju konversi lahan gambut, namun disisi lain kebutuhan perumahan dan permukiman dapat terpenuhi. Hal ini pada dasarnya berkorelasi terhadap upaya efisiensi dan optimalisasi lahan, dimana model hunian vertikal dapat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah keterbatasan lahan seperti halnya di kota-kota besar yang padat penduduknya. Tidak menutup kemungkinan model hunian vertikal juga dapat diimplementasikan pada lahan gambut perkotaan yang tentunya perlu dibarengi dengan rekayasa teknologi agar memenuhi syarat secara konstruksi, sanitasi, dan estetika. Pada penelitian ini akan dikembangan 2 (dua) macam model, yaitu model ikonik dan model dinamik. Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda yang dapat divisualisasikan dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Sementara model dinamik adalah model yang memiliki keterkaitan secara dinamik antar komponen dan antar waktu yang dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan lintas disiplin sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

129 Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain model permukiman perkotaan di kawasan bergambut Sungai Raya secara berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk merumuskan kebijakan dibidang pembangunan perumahan dan permukiman di kawasan tersebut. 7.2 Metode Penelitian Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen yang saling terkait, yang di formulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (2003) sebuah pendekatan sistem memiliki tiga ciri yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik dengan 3 (tiga) pola dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam menjawab permasalahan, yaitu : (1) Sibernatik (cybernetic) yaitu berorientasi tujuan, (2) Holistik (holistic) yaitu cara pandang yang utuh terhadap sistem, dan (3) Efektif (effective) yaitu lebih mementingkan hasil guna yang operasional daripada pendalaman teoritis untuk mencari efisiensi keputusan. Alat analisis yang digunakan untuk mensimulasi interaksi antar variabel menggunakan software Stella. Menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem terdiri dari 6 (enam) tahapan, yang meliputi : (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi massalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi, dan (6) implementasi. 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem atau stakeholders (Hartrisari 2007). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang terhadap jalannya sistem. Pelaku yang terlibat dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut ini adalah : (1) Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya, (2) Masyarakat, (3) Pengusaha (swasta), (4) Pengembang (developer), (5) Lembaga Keuangan, (6) Perguruan Tinggi (Institusi), dan (7) LSM

130 Tabel 21. Analisis kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) dalam penyusunan model permukiman perkotaan berkelanjutan. No Pelaku (Stakeholders) Kebutuhan 1. Pemerintah Daerah Pembangunan kota terencana Terpenuhi kebutuhan permukiman Tersedia lahan bagi permukiman 2. Masyarakat Tersedia hunian layak dan terjangkau Tersedia sarana dan prasarana 3. Developer Meningkatnya permintaan rumah Harga lahan/material murah 4. Pengusaha (swasta) Berkembangnya dunia usaha (ekonomi) Terciptanya market net-work yang luas 5. Lembaga keuangan Meningktanya permintaan kredit rumah Suku bunga tinggi 6. Institusi Sosialisasi pemahaman lingkungan Penelitian terkait permukiman lahan gambut 7. LSM Lingkungan Meminimalisasi eksploitasi lahan gambut 2. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interst) diantara para pelaku sistem dalam mencapai tujuan sistem. Formulasi masalah dilakukan atas dasar penentuan informasi yang telah dilakukan melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap (Eriyatno, 2003). Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan yang ada dari masing-masing stakeholders dengan adanya pengaruh dari stakeholders yang lain (Hartrisari, 2007). Selanjutnya, formulasi masalah perlu dikembangkan menjadi suatu pernyataan masalah yang mendefinisikan gugus kriteria kelakuan sistem yang kemudian di evaluasi (Eriyatno, 2003). Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan adanya perbedaan kepentingan antar pelaku dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di lahan bergambut ini, maka diprediksi permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :

131 1. Belum adanya kebijakan dibidang permukiman yang mengatur secara khusus tentang pembangunan permukiman di wilayah bergambut. 2. Masih minimnya pemahaman masyarakat/pemerintah/swasta/institusi tentang dampak dari eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali, terkait misi lingkungan yang diembannya. 3. Kurangnya informasi tentang database sebaran lahan gambut, karakteristik, dan jenis peruntukan lahan khususnya di wilayah di Kalimantan Barat. 4. Belum adanya Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten di Kalimantan Barat yang mempertimbangkan fungsi ekologis lahan gambut sebagai suatu ekosistem yang perlu dijaga keberlanjutannya. 5. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pengembang, dan LSM terhadap proses pembangunan perumahan dan permukiman. 3. Identifikasi Sistem Pada tahap identifikasi sistem, pengkaji sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut (Hartrisari, 2007). Menurut Eriyatno (2003), Identifkasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut. Pada tahap ini akan dilakukan pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram) atau diagram input-output (black box diagram). 4. Simulasi Model Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari. Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa (Grant et al., 1997).

132 Input Tak Terkendali : Jumlah penduduk Ketersediaan lahan Sebaran lahan gambut KKOP (Bandara) Input Lingkungan : UU No. 32 Tahun 2009 UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 1 Tahun 2011 Kepres No. 32 Thn 1990 RTRW Kab. Kubu Raya Output yang dikehendaki : Kebutuhan rumah terpenuhi. Bencana ekologis dapat dihindari. Input Terkendali : Hunian vertikal Struktur panggung Desain arsitektur Subsidi pemerintah Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut Monitoring &Evaluasi Kinerja Pembangunan Permukiman. Pemerintah Daerah sebagai Decision Maker Pembuat Kebijakan dibidang permukiman Output tak dikehendaki : Konflik kepentingan Kerusakan lingkungan Penduduk melebihi carrying capacity Gambar 59. Diagram black box sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut pendapatan + Minat Masy. Daya beli teknologi kelahiran kematian - - + Hunian vertikal + + Bencana ekologis + Kesadaran lingkungan emigrasi - + + + Populasi - + penduduk - - - + - Emisi GRK Lahan terbangun imigrasi + + + Ekspansi gambut - + + - + Struktur tapak Pemekaran Kab. baru Kebutuhan rumah + - - - RTH & resapan + Hunian horizontal - Hinterland Pontianak Karakteristik lahan Struktur panggung - Gambar 60. Diagram causal loop sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut

133 5. Validasi Model Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem yang dibuat merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Validasi Model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas yang dikaji (Hartrisari, 2007). Validasi model dilakukan dengan menguji kebenaran struktur model dan keluaran model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Validasi struktur untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah atau didukung oleh struktur sistem nyata, sedangkan validasi keluaran model (kinerja) dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata (Muhammadi et al. 2001). Untuk validasi model permukiman berkelanjutan di wilayah bergambut dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) untuk validasi struktur dilakukan melalui studi pustaka/studi banding, sedangkan (2) untuk validasi kinerja dilakukan melalui metode kuesioner untuk melihat preferensi masyarakat. 7.3 Hasil dan Pembahasan Perubahan fungsi peruntukan ruang kota dari perumahan horizontal (landed housing) menjadi hunian vertikal tentunya bukanlah merupakan suatu persoalan sederhana. Namun demikian, konversi tersebut tidak berarti harus disikapi dengan pesimis. Kajian persepsi masyarakat terhadap tipologi perumahan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap hunian vertikal cukup tinggi dengan pertimbangan harga per unit hunian lebih murah, lebih praktis dan lebih modern seperti di kota-kota besar. Demikian juga persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa struktur panggung cocok untuk karakteristik lahan bergambut. 7.3.1 Model Ikonik (model fisik) Model Ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda (Eriyatno, 2003). Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, dapat pula berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategorikan sebagai model simbolik. Model ikonik perumahan

134 yang akan dikembangkan terdiri dari 2 sub model, yaitu: sub model tipologi bangunan dan sub model struktur bangunan yang dijelaskan sebagai berikut: A. Sub Model Tipologi Bangunan Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan permukiman eksisting rumah tapak yang menunjukkan ketidakberlanjutan secara ekologi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) perlu dilakukan upaya minimalisasi konversi lahan gambut menjadi permukiman, 2) menekan tingkat kehilangan dan mempertahankan ekosistem gambut, 3) mempertahankan eksistensi daerah resapan dan 4) menekan cost of degradation. Salah satu upaya untuk memperbaiki atribut dimensi ekologi agar mencapai status berkelanjutan di masa mendatang adalah dengan cara mengembangkan Model Hunian Vertikal. Di satu sisi, model vertikal menjadi solusi terhadap efisiensi lahan dan di sisi lain mampu menjawab tuntutan kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman Model hunian vertikal yang berbentuk compact mampu menekan infrastructure cost jika dibanding hunian horizontal yang cenderung membutuhkan penyediaan infrastruktur yang lebih luas. Efisiensi biaya pengadaan infrastruktur dan pembebasan lahan secara tidak langsung akan menekan harga per unit hunian sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal ini akan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial-budaya, minat dan preferensi masyarakat memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan sosbud. Hasil kajian persepsi masyarakat menunjukkan bahwa desain dan arsitektur bangunan merupakan faktor yang cukup dipertimbangkan dalam memilih rumah tinggal. Dalam hal ini, estetika bangunan merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan industri perumahan karena akan sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat dan peluang pasar. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa dari ketiga model yang ditawarkan yaitu model hunian vertikal (5-10 lantai), model hunian 2-3 lantai, dan model hunian 1 lantai, maka model hunian vertikal memiliki persentase tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa respon masyarakat terhadap hunian vertikal cukup baik. Beberapa strategi perencanaan permukiman terkait upaya minimalisasi dan optimalisasi lahan, antara lain: 1. Konversi hunian 1 lantai secara bertahap menjadi hunian 2-3 lantai dengan konsekuensi lebar persil hunian menjadi lebih kecil (Gambar 60a).

135 2. Konversi tipe rumah tunggal menjadi tipe kopel (maizonnet) sesuai dengan standarisasi dan persyaratan konstruksi bangunan (gambar 60b). a Tipe 2-3 Lt Rumah tunggal 1 lantai Tipe kopel b Gambar 61. Konversi hunian 1 lantai menjadi hunian 2-3 lantai (a) dan konversi rumah tunggal menjadi rumah kopel (b) Pengembangan hunian vertikal, tidak terlepas dari perencanaan sistem transportasi atau sirkulasi vertikal. Menurut standar perancangan arsitektur (Neufert), penggunaan tangga manual hanya efektif untuk bangunan berlantai rendah hingga sedang (maksimal 5 lantai), sementara untuk bangunan > 5 lantai wajib disediakan lift untuk kemudahan transportasi vertikal. Ilustrasi model hunian vertikal berlantai rendah hingga sedang dijelaskan pada Gambar 62 dan 63. Gambar 62. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai rendah

136 Gambar 63. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai sedang B. Sub. Model Spasial Selain pertimbangan stabilitas dan daya dukung lahan, alasan keamanan penerbangan juga menjadi batasan dalam perencanaan permukiman di Sungai Raya. Kebijakan mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio menjelaskan bahwa sebagian besar kawasan Sungai Raya termasuk dalam zona KKOP. Mengacu pada ketentuan KKOP tersebut, maka rencana zonasi menurut ketinggian bangunan dibedakan menjadi 5 zona, yaitu: 1. Zona bebas bangunan, yang terletak pada kawasan 2. Zona bangunan 1-2 lantai 3. Zona bangunan 2-4 lantai 4. Zona bangunan 4-6 lantai 5. Zona bangunan 6-10 lantai Zona yang berada dibawah kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 0 6 lantai, yang terdiri dari zona bebas bangunan sepanjang 2.5 km (kawasan dibawah permukaan horizontal dalam), zona bangunan maks. 2 lantai sepanjang 1.5 km, zona bangunan maks. 4 lantai sepanjang 1.5 km, dan zona bangunan maks. 6 lantai sepanjang 3 km (kawasan dibawah permukaan horizontal luar). Zona yang berada diluar kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 1 10 lantai, yaitu: zona bangunan maks. 2 lantai (1 km), zona bangunan maks. 4 lantai (3 km), zona bangunan maks. 6 lantai (2 km) dan ), zona bangunan maks. 10 lantai (2 km). Pembagian zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan (peta zonasi kawasan) ditunjukkan Gambar 63.

137 Pot. B Pot. A Rencana Lokasi Tower Gambar 64. Peta rencana zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan

138 SKY LINE Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona Bang. Maks. 2 lt 3 km 1.5 km 1.5 km Zona Bebas Bangunan 2.5 km Runway Bandara 2 km Gambar 65. Potongan A (zona di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas) SKY LINE Zona Bang. Maks. 10 lt Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona 1-2 lt 2 km 2 km 3 km 1 km Runway 1 km Gambar 66. Potongan B (zona diluar kawasan pendekatan dan lepas landas)

139 C. Sub Model Tipologi Struktur Berdasarkan dimensi teknologi, stabilitas bangunan menjadi faktor penting dalam pembangunan rumah tinggal. Tipologi rumah panggung secara ekologi cukup berkelanjutan walaupun teknologi dan ekonomi kurang berkelanjutan. Stabilitas rumah panggung yang tergolong rendah disebabkan keterbatasan konstruksi penyangga dalam memikul beban. Rumah panggung yang identik dengan konstruksi kayu (tiang tongkat) pada umumnya tidak menancap pada lapisan tanah keras melainkan hanya mengandalkan gaya rekat tanah (friksi) dan kayu-kayu cerucuk yang ditanam dengan pola grid. Filosofi rumah panggung pada dasarnya dapat diimplemetasikan secara konseptual pada bangunan-bangunan modern. Perpaduan yang unique antara konsep tradisional dan modern akan menghasilkan suatu karya arsitektur yang kontemporer dan bernilai seni tinggi. Unsur tradisional konstruksi panggung (sub-structure) merefleksikan dwi fungsi yaitu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan secara ekologi karena dapat meminimalisir eksploitasi dan konversi lahan gambut, dan mempertahankan nilai-nilai local wisdom sebagai arsitektur tradisional masyarakat Kalbar. Sementara unsur modern dapat diaplikasikan pada upper-structure dalam permainan dan elaborasi bentuk bangunan serta desain façade yang up to date mengikuti perkembangan tren saat ini. Penggunaan struktur panggung dapat menjadi rekomendasi utama bagi setiap pembangunan permukiman, dan tidak terkecuali untuk semua fungsi bangunan seperti perkantoran, fasilitas umum dan sosial, bangunan pendidikan, bangunan komersial dan fungsi-fungsi lainnya. Dapat diprediksi apabila semua bangunan berkontribusi dengan tidak merusak fungsi resapan, maka bencana ekologis dapat dihindari, minimal mengurangi frekuensi banjir dan emisi GRK. Disamping beberapa manfaat dan kelebihan menggunakan struktur panggung, terdapat pula kekurangan-kekurangan yang membutuhkan penanganan khusus seperti: 1) untuk memperoleh konstruksi yang stabil, tiang pancang (beton) harus mencapai lapisan tanah keras, hal ini tentunya akan menambah biaya konstruksi, 2) posisi awal lantai panggung berada pada level first floor, sehingga kehilangan areal seluas satu lantai ground floor yang berarti terjadi lost income. Untuk itu perlu dilakukan analisis biaya manfaat untuk menghitung budgeting antara kebutuhan biaya konstruksi dan infrastruktur, harga lahan, degradation cost serta outcomes yang dapat diperoleh dengan menggunakan struktur panggung tersebut.

140 Gambar 67. Ilustrasi struktur pondasi tiang pancang Model yang diusulkan hanya dapat diimplementasikan pada wilayah bergambut dengan kedalaman < 3 meter (Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung). Lahan yang telah dialokasikan untuk permukiman perkotaan di kawasan Sungai Raya (RTRW Kab. Kubu Raya) telah memenuhi syarat sebagai kawasan budi daya dengan kedalaman gambut antara 1 2 meter. Karakteristik lahan di Sungai Raya terdiri dari 4 (empat) tipe, yaitu: 1) endapan liat, berada di sepanjang pesisir sungai, 2) endapan liat + tanah organik, merupakan zona transisi dengan karakteristik tanah campuran antara endapan delta dan tanah organik (gambut) dengan kedalaman 0.5 1 meter, 3) tanah organik (tanah gambut), merupakan gambut pesisir dengan kedalaman antara 1 2 meter, dan 4) tanah organik (tanah gambut) dengan kedalaman antara 3 4 meter. Lahan gambut yang terdapat di kawasan Sungai Raya dengan ketebalan 1 2 meter mencapai luasan 1.589,74 ha. Peta sebaran lahan gambut menurut karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar 68.

141 202,70 ha 0.5 1 meter (1.547,94 ha) 1 2 meter (1.589,74 ha) 3 4 meter (Forbidden) Karakteristik Tanah : : endapan liat : endapan liat + organik : tanah organik (1-2 m) : tanah organik (3-4 m) Gambar 68. Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya

142 7.3.2 Model Dinamik Pengembangan hunian vertikal secara mandiri ataupun konversi dari hunian tapak yang ada (perumahan lama) perlu perencanaan yang komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial-budaya, ekologi dan tentunya rekayasa teknologi. Oleh karena sifat pengembangan permukiman merupakan hal yang sangat kompleks dan dinamis, maka perlu dilakukan pendekatan model sistem dinamik. Model dinamik pengembangan permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya dibangun melalui logika yang menjelaskan hubungan antar komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Simulasi model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dilakukan untuk mengetahui respon terhadap pertumbuhan dan populasi penduduk, kebutuhan dan penyediaan rumah, serta kebutuhan dan ketersediaan lahan. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dengan menggunakan software Stella, dapat dijelaskan pada Gambar 68 berikut ini: Gambar 69. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya A. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan disimulasikan untuk 23 tahun kedepan mulai tahun 2009 sampai dengan 2032.. Keterbatasan dan ketersediaan data menjadi batasan dalam penelitian ini. Data penduduk yang digunakan dalam simulasi adalah data tahun 2009 yang disesuaikan dengan ketersediaan data sekunder lainnya seperti peta penafsiran citra landsat dan rencana pola ruang berdasarkan RTRW Kubu Raya.

143 Deliniasi kawasan menggunakan batas administrasi Kecamatan Sungai Raya yang termasuk kategori kawasan perkotaan. Dalam hal ini terdapat 5 (lima) kelurahan yang termasuk kawasan perkotaan di Kecamatan Sungai Raya, yaitu: 1) Kelurahan Sungai Raya, 2) Kelurahan Arang Limbung, 3) Kelurahan Kuala Dua, 4) Kelurahan Limbung, dan 5) Kelurahan Teluk Kapuas. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya dipengaruhi oleh laju pertumbuhan dan laju migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh angka kelahiran dan angka kematian penduduk, sementara laju imigrasi dipengaruhi oleh daya tarik kawasan yang menyebabkan orang berminat untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Daya tarik kawasan Sungai Raya antara lain: terbentuknya pemerintahan baru, berkembangnya industri perumahan serta meningkatnya kegiatan perekonomian di sepanjang jalur arteri. Tabel 22. Populasi penduduk di kawasan Sungai Raya 2009-2032 penduduk Tahun di kawasan Sungai Raya Populasi Simulasi Penduduk Net Gwth/th 2009 2014 2019 2024 2028 2032 184.233 203.408 224.579 247.953 268.393 290.517 3.685 4.068 4.492 4.959 5.368 5.810 325000 300000 275000 250000 225000 200000 175000 150000 1 2 3 4 5 6 Series2 184.233 203.408 224.579 247.953 268.393 290.517 Series1 2009 2014 2019 2024 2028 2032 Gambar 70. Simulasi pertumbuhan penduduk di Sungai Raya (2009-2032)

144 Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Raya menunjukkan peningkatan dari 1.5% pada tahun 2008 menjadi 2.05% pada tahun 2009. Hal ini diprediksi akibat pemekaran kabupaten Kubu Raya yang menambah lapangan kerja baru di kawasan Sungai Raya sehingga mempengaruhi jumlah migran yang masuk. Untuk simulasi model pertumbuhan penduduk di Sungai Raya diasumsikan sebesar 2% per tahun, dengan pertimbangan kawasan Sungai Raya sangat berpotensi mengalami kemajuan pembangunan, didukung pula oleh ketersediaan lahan yang masih relatif luas. Pertumbuhan populasi penduduk diatas menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2009 sampai dengan tahun 2032. Pertumbuhan penduduk yang eksponensial terjadi akibat pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat pesat sejak tahun 2009 dengan laju pertumbuhan sebesar 2.05% dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1.50%. Hal ini diprediksi akibat pemekaran Kab. Kubu Raya yang berpotensi meningkatkan peluang kerja sehingga meningkatkan minat para migran untuk bermigrasi. Selain faktor pertumbuhan penduduk alami di kecamatan Sungai Raya, faktor imigrasi juga mempengaruhi jumlah penduduk di kawasan tersebut yang didasari oleh dua asumsi, yaitu: 1) kawasan Sungai Raya yang berperan sebagai hinterland Kota Pontianak sehingga berpotensi menjadi sasaran pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi warga Pontianak, khususnya mereka yang bekerja di jalan Ahmad Yani, Adi Sucipto, dan daerah sekitarnya, 2) potensi kegiatan pembangunan dan perekonomian yang melaju pesat menjadi magnet bagi investor untuk berinvestasi di berbagai sektor. Dalam hal ini diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 2% tersebut sudah termasuk seluruh komponen kependudukan seperti kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Pertumbuhan penduduk di Sungai Raya yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan penggunaan lahan untuk kawasan perumahan yang semakin meningkat pula. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang notabene merupakan lahan bergambut yang perlu dijaga keseimbangan ekosistemnya, maka ketersediaan lahan menjadi faktor utama dalam pertumbuhan dan penyebaran permukiman. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya pada tahun 2009 yang tercatat sebesar 184.233 jiwa dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 290.517 jiwa pada tahun 2032. Pertambahan penduduk secara neto (net growth) setiap tahun

145 diasumsikan cenderung meningkat, karena kawasan Sungai Raya pada dasarnya termasuk pengembangan lahan perawan yang masih berupa hutan gambut, dengan ketersediaan lahan yang masih relatif luas, sehingga memungkinkan untuk terus mengalami peningkatan dan perluasan wilayah. B. Sub Model Kebutuhan Perumahan Komponen-komponen yang saling terkait dalam sub model kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya adalah jumlah penduduk, luas permukiman eksisting (data sekunder), luas ketersediaan lahan permukiman berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu Raya 2012-2032. Model kebutuhan perumahan secara komprehensif dapat dilihat pada gambar 70 berikut: Tabel 23. Simulasi kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya Tahun Simulasi Populasi Penduduk Kebutuhan Rumah (unit) Net Growth Rumah/thn 2009 184.233 46.058-2014 203.408 50.852 997 2019 224.579 56.145 1.101 2024 247.953 61.988 1.215 2028 268.393 67.098 1.342 2032 290.517 72.629 1.482 Grafik Kebutuhan Perumahan di Kec. Sungai Raya 80000 75000 70000 65000 60000 55000 50000 45000 1 2 3 4 5 6 Series2 46.058 50.852 56.145 61.988 67.098 72.629 Series1 2009 2014 2019 2024 2028 2032 Gambar 71. Simulasi kebutuhan perumahan di Kec. Sungai Raya

146 Dari total jumlah penduduk per tahun yang diperoleh, dapat diketahui kebutuhan rumah pertahun yang merupakan interpretasi dari jumlah kepala keluarga (KK) dengan asumsi jumlah individu per KK sebanyak 4 orang. Berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui kebutuhan rumah pada tahun 2014 sebanyak 50.852 unit dan diprediksi akan meningkat menjadi 72.629 unit pada tahun 2032. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 23 tahun kedepan dibutuhkan pembangunan rumah tinggal sejumlah 29.505 unit. Sementara rata-rata kebutuhan rumah per tahun adalah sebanyak 1.180 unit rumah. C. Penilaian Model Perumahan Menurut Tipologi Bangunan dan Tipologi Struktur Pemilihan tipologi perumahan dilakukan dengan penilaian multidimensi (ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi), menggunakan metode pengambilan keputusan berbasis indeks kerja atau Composite Performance Index (CPI) untuk menentukan keputusan (pilihan) terbaik, yang selanjutnya diinterpretasikan dalam bentuk nilai, skor dan rangking. Metode CPI digunakan untuk penelitian yang heterogen dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya tahun 2012-2032, luas kawasan ruang perkotaan dialokasikan seluas 4.523,80 ha. Data penafsiran citra landsat 2009 menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan eksisting tahun 2009 adalah 1.800,72 ha. Untuk mengetahui luas kebutuhan dan ketersediaan lahan perumahan, maka dilakukan beberapa simulasi dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Lahan seluas 4.523,80 ha yang dialokasi didalam RTRW Kab. Kubu Raya merupakan kawasan perkotaan dengan susunan fungsi kawasan sebagai berikut: 1) permukiman perkotaan, 2) pusat dan pelayanan pemerintahan, 3) kegiatan ekonomi (kawasan niaga dan CBD), 4) pelayanan sosial (fasum/fasos). b. Berdasarkan luas penggunaan lahan eksisting sebesar 1.800,72 ha, maka diketahui ketersediaan lahan perkotaan sampai dengan tahun 2032 adalah seluas 2.723,08 ha (Gambar 71 dan 72) c. Luas kawasan permukiman perkotaan adalah sebesar 40% dari luas kawasan perkotaan (sementara 60% lainnya merupakan fungsi pemerintahan, fasum/fasos, kawasan niaga dan perkantoran, RTH dan Infrastruktur kota). Luas kawasan perumahan adalah 60% dari luas kawasan permukiman perkotaan, 40% lainnya meliputi: RTH (15%), fasum/fasos (15%) dan infrastruktur (10%).

147 d. Rata-rata jumlah penghuni dalam satu unit rumah adalah 4 orang/unit. e. Rata-rata kebutuhan luas lahan per unit rumah (horizontal) adalah 200 m 2 (0.02 ha) dan rata-rata kebutuhan luas lahan per hunian (vertikal) adalah 75 m 2 (0.0075 ha). f. Tipe (luas) bangunan yang dianalisis adalah tipe 90 m 2 yang merupakan rata2 luas dari berbagai tipe bangunan (tipe kecil-45 m 2, tipe sedang-75 m 2, dan tipe besar-150 m 2 ), dengan asumsi luas lantai bangunan untuk tipologi horizontal dan vertikal adalah sama. g. Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber: hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). h. Analisis dilakukan terhadap beberapa varian tipologi struktur/bangunan: Variabel Horizontal Tipologi Vertikal Tapak Horizontal Tapak (HT) (Model 1) Vertikal Tapak (VT) (Model 3) Panggung Struktur Horizontal Panggung (HP) (Model 2) Vertikal Panggung (VP) (Model 4) Gambar 72. Varian tipologi bangunan dan tipologi struktur Selanjutnya penilaian hasil simulasi dilakukan dalam rentang nilai 20 (buruk)-40-60-80 (baik) berdasarkan kecenderungan trend masing atribut (positif/negatif). Kerangka kerja simulasi berdasarkan 4 dimensi keberlanjutan, yaitu a. Dimensi Ekologi: 1) simulasi kebutuhan lahan, 2) simulasi ketersediaan lahan, 3) simulasi kehilangan daerah resapan airdan 4) simulasi emisi karbon. b. Dimensi Ekonomi: 1) simulasi harga bangunan, 2) simulasi harga lahan dan 3) simulasi harga total per unit. c. Dimensi Sosbud: Preferensi masyarakat (kuesioner responden) d. Dimensi Teknologi: Justifikasi pakar terhadap introduksi hi-tech.

148 Alokasi Kaw. Perkotaan : 4.523,80 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 73. Peta rencana pola ruang kawasan perkotaan di Sungai Raya

149 Eksisting : 1.800,72 Ha Ketersediaan Lahan : 2.723,08 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 74. Peta penafsiran citra landsat di Sungai Raya (permukiman eksisting)

150 a. Dimensi Ekologi Gambar 75. Sub. model dimensi ekologi 1) Simulasi Kebutuhan Lahan Simulasi kebutuhan lahan bertujuan untuk membandingkan luas kebutuhan lahan antara tipologi horizontal dan vertikal beserta varian nya. Pemberian skor mengacu pada hasil perhitungan yang paling tinggi untuk diberikan skor tertinggi. Selanjutnya, apabila keempat variabel memiliki nilai yang berbedabeda, maka penilaian dilakukan secara berturut-turut (80-60-40-20). Apabila diantara keempat variabel tersebut memiliki dua nilai yang sama, maka skor berikutnya dilihat dari perbedaan nilai yang ada secara proporsional, misalnya perbedaan nilai terhadap nilai acuan sebesar + 100% maka komposisi skor adalah 80-80-60-60, dan jika perbedaan nilai acuan sebesar + 200% maka komposisinya adalah 80-80-40-40 dan seterusnya. Tabel 24. Luas kebutuhan lahan untuk perumahan (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) 2009 921,17 921,17 345,44 345,44 2014 1.017,04 1.017,04 381,39 381,39 2019 1.122,90 1.122,90 421,09 421,09 2024 1.239,77 1.239,77 464,91 464,91 2028 1.341,96 1.341,96 503,24 503,24 2032 1.481,64 1.481,64 544,72 544,72 Score : 80 80 40 40

151 1600 1400 HT/HP 1200 1000 800 600 VT/VP 400 200 0 1 2 3 4 5 6 Series1 345 381 421 465 503 545 Series2 921 1017 1123 1240 1342 1482 Gambar 76. Grafik luas kebutuhan lahan (2009-2032) Hasil analisis kebutuhan lahan menjelaskan bahwa semakin sedikit lahan yang dibutuhkan untuk permukiman maka akan semakin baik. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tipologi vertikal tapak dan vertikal panggung memiliki nilai tertinggi dengan kebutuhan lahan hingga tahun 2032 mencapai 544,72 ha dengan skor 80. Sementara tipologi horizontal tapak dan horizontal panggung membutuhkan lahan seluas 1481.64 ha hingga tahun 2032 dengan skor 40 (perbedaan nilai mencapai 200%). 2) Simulasi Luas Ketersediaan lahan (daya dukung) Simulasi luas ketersedian lahan bertujuan untuk melihat daya dukung atau lahan yang tersisa akibat konversi lahan menurut beberapa varian tipologi. Tabel 25. Luas ketersediaan lahan perumahan (trend positif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) 2009 653,54 653,54 653,54 653,54 2014 557,66 557,66 617,59 617,59 2019 451,81 451,81 577,89 577,89 2024 334,94 334,94 534,06 534,06 2028 232,74 232,74 495,74 495,74 2032 122,12 122,12 454,26 454,26 Score : 20 20 80 80

152 700 600 500 VT/VP 400 300 200 HT/HP 100 1 2 3 4 5 6 Series1 654 558 452 335 233 122 Series2 654 618 578 534 496 454 Gambar 77. Grafik luas ketersediaan lahan perumahan (2009-2032) Dari Tabel 25 dan Gambar 77 diatas dapat diketahui bahwa dengan tipologi horizontal (tapak/panggung) lahan yang tersisa hingga tahun 2032 seluas 122,12 ha, sementara dengan tipologi vertikal (tapak/panggung) tersisa lahan seluas 454,26 ha. Perbedaan luas ketersediaan lahan antara horizontal dan vertikal sebesar 332,14 ha. Jika rata-rata kebutuhan lahan per tahun dengan model vertikal sebesar 12 ha/tahun, maka daya dukung lahan dapat diperpanjang hingga 28 tahun mendatang (sampai tahun 2060). 3) Simulasi Kehilangan Daerah Resapan Air Simulasi ini bertujuan untuk melihat berapa besar pengaruh masing-masing varian tipologi terhadap hilangnya sejumlah resapan air. Sifat gambut yang seperti spons menyebabkan kandungan air pada lahan gambut sangat tinggi sekitar 0.8 m 3 /m 3 artinya setiap 1 m 3 gambut mengandung 0.8 m 3 air. Tabel 26. Luas daerah resapan air yang hilang (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) 2009 644,82 276,35 241,81 103,63 2014 711,93 305,11 266,97 114,42 2019 786,03 336,87 294,76 126,33 2024 867,84 371,93 325,44 139,47 2028 939,37 402,59 352,27 150,97 2032 1016,81 435,78 381,30 163,42 Score : 80 60 40 20

153 1.200 1.000 HT 800 600 HP 400 VT 200 VP - 1 2 3 4 5 6 Series1 645 712 786 868 939 1.017 Series2 276 305 337 372 403 436 Series3 173 191 211 232 252 272 Series4 104 114 126 139 151 163 Gambar 78. Grafik luas daerah resapan yang hilang (2009-2032) Perhitungan luas resapan yang hilang mengacu pada luas perkerasan lantai bangunan, dimana untuk HT kehilangan resapan mencapai 70% dari luas lahan, HP sebesar 30%, VT sebesar 50% dan VP sebesar 30%. Jika diasumsikan ratarata kedalaman gambut di Sungai Raya adalah 2 m, maka volume kelebihan air setiap 1 m 2 gambut jika mengalami subsidence adalah sebesar 2 m x 1 m x 1 m x 0.8 = 1.6 m 3 /m 2 atau 16.000 m 3 /ha. Berdasarkan tabel 26 diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2032 dengan tipologi HT terdapat kelebihan volume air sebesar 16,9 juta m 3, tipologi HP sebesar 9,7 juta m 3, tipologi VT sebesar 6,3 juta dan tipologi VP sebesar 3,6 juta m 3 (Gambar 76). Hasil analisis menunjukkan bahwa tipologi HT menghasilkan volume kelebihan air paling besar dan VP terkecil. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 HT HT VT VP Series1 Juta m 3 16,9 9,7 6,3 3,6 Gambar 79. Potensi volume genangan dari beberapa tipologi

154 4) Simulasi Emisi Karbon (CO 2 ) yang di Release Simulasi emisi karbon bertujuan untuk melihat pengaruh dari masing-masing tipologi terhadap lepasnya CO 2 ke atmosfer. Perhitungan emisi karbon mengacu pada data luas daerah resapan yang hilang. Tabel 27. Jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ton) Horizontal Panggung (ton) Vertikal Tapak (ton) Vertikal Panggung (ton) 2009 53.649 22.992 20.118 8.622 2014 59.232 25.385 22.212 9.519 2019 65.397 28.027 24.524 10.510 2024 72.204 30.945 27.077 11.604 2028 78.156 33.495 29.308 12.561 2032 84.599 36.257 31.724 13.596 Score : 80 60 40 20 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000-1 2 3 4 5 6 Series1 53.649 59.232 65.397 72.204 78.156 84.599 Series2 22.992 25.385 28.027 30.945 33.495 36.257 Series3 14.370 15.866 17.517 19.340 20.935 22.660 Series4 8.622 9.519 10.510 11.604 12.561 13.596 Gambar 80. Grafik emisi karbon akibat konversi lahan (2009-2032) HT HP VT VP Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut diasumsikan sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber : hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). Dari hasil simulasi diatas, dapat diketahui bahwa model Horizontal Tapak menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu sebesar 84.599 ton karbon hingga tahun 2032, sementara model Vertikal Panggung dengan emisi terkecil yaitu sebesar 13.596 ton karbon.

155 b. Dimesi Ekonomi 1) Harga Bangunan Harga bangunan yang dimaksud adalah harga per unit hunian belum termasuk harga lahan. Penentuan harga per meter persegi bangunan mengacu pada standar harga bangunan gedung yang diverifikasi dengan kondisi lapangan. Standar harga per meter persegi bangunan sederhana tidak bertingkat di Pontianak dan sekitarnya tahun 2012 berkisar antara 1,5 2,5 juta/m 2 (rata-rata 2 juta/m 2 ), dan untuk bangunan bertingkat sederhana antara 2.5 3.5 juta/m 2 (rata-rata 3 juta/m 2 ). Mengacu pada PERMEN PU No. 25 Tahun 2007, untuk penggunaan pondasi dalam (> 5 meter) terdapat penambahan cost sebesar 7-12% (rata-rata 10%).Tipe bangunan atau luas lantai hunian diasumsikan seluas 90 m 2 (tipe sedang). Ilustrasi bangunan sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diasumsikan untuk luas bangunan 50 m 2 (tipe 50) dengan harga satuan Rp. 1 juta/m 2 (bangunan tidak bertingkat sederhana) dan Rp. 2 juta/m 2 (bangunan bertingkat sederhana). Tabel 28. Perhitungan harga bangunan/unit (standar bangunan tidak sederhana) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 2 juta/m 2 2.2 juta/m 2 3 juta/m 2 3.3 juta/m 2 Harga rumah/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/unit Score : 20 40 60 80 (juta) 350 300 250 200 150 100 50 0 VP VT HT HP 1 2 3 4 Gambar 81. Grafik simulasi harga satuan bangunan

156 2) Harga Lahan Standar harga lahan mengacu pada standar harga lahan yang dikeluarkan oleh BPN Kab. Kubu Raya dengan harga rata-rata 500 ribu-1 juta/m 2 (rata-rata 750 ribu) untuk lahan diluar jalur arteri dan untuk lahan disepanjang sisi jalan arteri berkisar 2-3 juta/m 2. Perhitungan kebutuhan lahan per unit hunian diasumsikan seluas 200 m 2 untuk hunian horizontal dan 75 m 2 untuk hunian vertikal, dengan luas lantai masing-masing 90 m 2. Tabel 29. Perhitungan harga lahan per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 750 ribu/m 2 750 ribu/m 2 750 ribu/m 2 750 ribu/m 2 Harga lahan/unit : 150 jt/unit 150 jt/unit 56,25 jt/unit 56,25 jt/unit Score : 80 80 40 40 160.000.000 140.000.000 120.000.000 100.000.000 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 - HT HP VT VP 1 2 3 4 Gambar 82. Grafik perhitungan harga lahan perumahan (2009-2032) 3) Harga total per Unit Hunian (bangunan+lahan) Perhitungan harga per unit hunian dalam hal ini merupakan rekapitulasi harga bangunan dan harga lahan, serta pengurangan biaya (subsidi) dari biaya infrastruktur sebesar 5% bagi hunian vertikal (infrastruktur lebih efisien). Harga rumah per unit akan mempengaruhi besar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah terkait upaya mendukung pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan.

157 Tabel 30. Perhitungan harga total per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga bangunan/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/m 2 Harga lahan/unit 150 juta/unit 150 juta/unit 56,25 juta/unit 56,25 juta/m 2 Harga total/unit : 330 juta/unit 348 juta/unit 326,25 juta/unit 353,25 juta/m 2 Selisih harga : 0 juta/unit +18 juta/unit -3,75 juta/unit +23,25 juta/unit Score : 40 80 20 60 Dari data pada tabel 30 dan hasil simulasi pada gambar 80, dapat diketahui bahwa secara umum total harga dari keempat tipologi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dengan harga unit tertinggi pada VP (Rp. 353,25 juta/unit), urutan kedua HP (Rp. 348 juta/unit), urutan ketiga HT (Rp. 330 juta/unit) dan yang termurah adalah tipologi VT (Rp. 326,25 juta/unit) bahkan lebih murah 16,5 juta jika dibandingkan dengan model perumahan eksisting (horizontal tapak). (juta) 400,00 350,00 HT HP VT VP 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 - HT HP VT VP (50,00) 1 2 3 4 Series1 330,00 348,00 326,25 353,25 Series2 - + (18,00) - 3,75 + (23,25) Gambar 83. Simulasi perhitungan harga total lahan dan bangunan c. Dimensi Sosial Budaya Penilaian dimensi sosial budaya dilakukan berdasarkan hasil kuesioner responden tentang model hunian yang diminati dan model struktur yang sesuai untuk di lahan bergambut. Tipologi yang paling banyak dipilih diberi skor 2 dan skor 1 untuk yang kurang diminati/dipilih.

158 Hasil preferensi (kuesioner) menunjukkan bahwa tipologi vertikal paling banyak dipilih responden (52,86%), sementara tipologi struktur yang cocok di lahan gambut adalah struktur panggung (78,57%) Tabel 31. Pilihan responden terhadap tipologi struktur/bangunan Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Pilihan responden 1+1 1+2 2+1 2+2 Total nilai : 2 3 3 4 Score : 40 60 60 80 90 80 70 60 50 40 30 20 VP HP VT HT 1 2 3 4 Gambar 84. Grafik hasil pemilihan tipologi bangunan/struktur oleh responden Hasil analisis menunjukkan bahwa model vertikal panggung cukup mendapat respon yang baik dari responden. Di kawasan Sungai Raya belum terdapat hunian vertikal (rumah susun), namun dari beberapa studi banding terhadap hunian vertikal di Pontianak dapat disimpulkan bahwa hunian vertikal cukup diminati oleh masyarakat, dengan bertambahnya jumlah unit setiap tahunnya. Dari beberapa hasil wawancara terhadap beberapa penghuni yang menyatakan beberapa kelebihan rumah susun antara lain: harga terjangkau, lebih praktis, aktifitas sosial lebih baik dan keamanan lebih terjamin. Sementara kekurangannya seperti rawan konflik, tidak punya lahan pribadi, dan kesulitan distribusi air pada lantai atas.

159 d. Dimensi Teknologi Penilaian dimensi teknologi bermaksud untuk melihat penerapan teknologi tinggi (hi-tech) pada masing-masing tipologi. Teknologi tinggi khususnya digunakan pada hunian vertikal dengan menggunakan pondasi pancang (mini pile) dan struktur lantai gantung. Semakin tinggi teknologi yang digunakan maka semakin rumit proses konstruksi sehingga semakin sulit dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Tabel 32. Justifikasi penilaian pakar terhadap introduksi high technology (hi-tech) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Expert Judgment : 2 3 4 4 Score : 40 60 80 80 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 VT VP HP HT 1 2 3 4 Gambar 85. Grafik justifikasi pakar terhadap introduksi high technology Hasil simulasi diatas menunjukkan bahwa model vertikal tapak dan vertikal panggung membutuhkan rekayasa teknologi tinggi dalam proses pembangunan dan konstruksinya. Dalam analisis ini penilaian terhadap introduksi teknologi tinggi merupakan trend negatif, dimana semakin sederhana teknologi yang digunakan semakin baik, karena dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat.

160 D. Analisis Pengambilan Keputusan (Pemilihan Model) berbasis Indeks Kerja (Composite Performance Index) Composite Performance Indeks (CPI) digunakan untuk penilaian dengan kriteria tidak seragam (heterogen) dengan kecenderungan atau trend yang berbeda-beda. Analisis ini bertujuan untuk mencari model terbaik dengan penilaian secara multidimensi (berkelanjutan) berdasarkan skorring dari hasil simulasi yang telah diuraikan diatas. Rentang nilai skor mulai dari 20-40-60-80 (buruk s/d baik). Analisis CPI terdiri dari 2 matriks penilaian, yaitu: 1) matriks awal penilaian dari masingmasing alternatif keputusan dan kriteria, dan 2) matriks hasil transformasi. Terdapat dua kecenderungan dalam analisis CPI yaitu trend positif, dimana semakin besar nilai maka akan semakin baik, dan trend negatif dimana semakin besar nilai maka akan semakin buruk. Tahapan analisis Composite Performance Index (CPI) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Matriks Awal Penilaian: Berdasarkan skor yang telah diberikan pada hasil simulasi sebelumnya, dipilih skor terkecil sebagai acuan perhitungan. Misalnya untuk kolom kebutuhan lahan skor terkecil adalah 40, untuk ketersediaan lahan skor terkecil adalah 20, dan seterusnya. Menentukan bobot kriteria berdasarkan asumsi sebagai berikut: dimensi ekologi sebesar 30%, ekonomi 30%, sosbud 30% dan teknologi 10%. 2. Matriks Transformasi: Beri nilai 100 pada angka terkecil pada masing-masing kolom. Perhatikan trend (+) atau (-), untuk trend (+) angka terkecil berfungsi sebagai pembagi, misalnya kolom 2 (80/20) x 100 = 400. Trend (-) sebaliknya, angka terkecil berfungsi sebagai pembilang, misalnya kolom 1 (40/80) x 100 = 50, dan seterusnya. Berdasarkan hasil analisis Composite Performance Indeks (CPI) dapat diketahui bahwa alternatif terbaik (rangking 1) adalah tipologi Vertikal Panggung (VP) dengan skor sebesar 322.50, rangking 2 tipologi Vertikal Tapak (VT) dengan skor 300, rangking 3 tipologi Horizontal Tapak (HT) dengan skor 160 dan rangking 4 tipologi Horizontal Panggung (HP) dengan skor sebesar 154.17. Hasil analisis CPI dapat dijelaskan pada Tabel 33 dan 34.

161 No Tabel 33. Matriks awal penilaian alternatif tipologi perumahan No Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Harga lahan Harga total Sosbud Hi-Tech (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) 1 Horizontal Tapak HT 80 20 80 80 20 80 40 40 40 2 Horizontal Panggung HP 80 20 60 60 40 80 80 60 60 3 Vertikal Tapak VT 40 80 40 40 60 40 20 60 80 4 Vertikal Panggung VP 40 80 20 20 80 40 60 80 80 Bobot Kriteria 0.3 0.3 0.3 0.1 Selanjutnya, dari matriks penilaian awal akan dibuat matriks transformasi dan perkalian terhadap bobot masing-masing riteria, sehingga diperoleh nilai skor yang akan menentukan rangking dari tiap alternatif tipologi perumahan. Matriks transformasi dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 34. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternatif Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Sosbud Hi-Tech Nilai (Score) 1 Horizontal Tapak HT 50 100 25 25 100 50 50.00 100 100 160.00 3 2 Horizontal Panggung HP 50 100 33.33 33.33 50 50 25.00 150.00 66.67 154.17 4 3 Vertikal Tapak VT 100 400 50 50 33.33 100 100 150.00 50.00 300.00 2 4 Vertikal Panggung VP 100 400 100 100 25 100 33.33 200.00 50.00 322.50 1 Bobot Kriteria 0.3 0.3 0.3 0.1 Tabel x. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternati Harga lahan Harga total (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) Rangking

162 E. Rekomendasi Model Berdasarkan hasil analisis tersebut maka tipologi hunian vertikal tapak dan vertikal panggung dapat direkomendasikan sebagai model untuk menyusun skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya. Skenario yang lebih cenderung kepada orientasi dimensi ekonomi dapat menggunakan model Vertikal Tapak, karena efisiensi dan optimalisasi lahan dapat tercapai sehingga dapat direkomendasikan sebagai model untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara untuk skenario yang lebih cenderung pada dimensi ekologi dapat menggunakan model Vertikal Panggung dan Horizontal Tapak (dengan harga per unit yang lebih tinggi) sehingga dapat direkomendasikan sebagai alternatif hunian masyarakat kelas menengah atas (middle up). Ilustrasi ketiga model yang direkomendasikan ditunjukkan pada Gambar 86, 87 dan 88. Dst. Hunian lantai 3 4 m Hunian lantai 2 4 m Hunian lantai 1 Lobby pengupasan gambut 0.5 m 3 m Semi basement 0.5 m 8 m 8 m Gambar 86. Ilustrasi model vertikal tapak (VT) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m) tanah keras

163 Hunian lantai 3 Hunian lantai 2 Parkir/fasum Lobby Parkir/ fasum Permukaan tanah Gambut sedang 2 m 8 m Gambar 87. Ilustrasi model vertikal panggung (VP) direkomendasikan pada areal gambut sedang (1-2 m) tanah keras Permukaan tanah Gambut tipis 1-2 m Tanah keras 3-4 m Gambar 88. Ilustrasi model horizontal panggung (HP) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m)

164 F. Validasi Model Permukiman di Kawasan Sungai Raya Dalam menentukan validitas model dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi model dengan penilaian/justifikasi pakar (metode MDS). Validasi dilakukan terhadap tipologi bangunan (horizontal/vertikal). Validasi tipologi struktur bangunan tidak dapat dilakukan dikarenakan pada kondisi eksisting belum terdapat tipologi vertikal panggung (VP). Perbandingan antara hasil simulasi model dengan penilaian pakar dapat dilihat pada Gambar 89 berikut: Hasil Simulasi Justifikasi Pakar (MDS) HT (160,00) HP (154,17) Model Horizontal Model Horizontal HT (46,46%) HP (54,27%) VT (300,00) VP (322,50) Model Vertikal Model Vertikal VT/VP (58,53%) Gambar 89. Validasi Model (perbandingan hasil simulasi dan justifikasi pakar) Berdasarkan Gambar 89 diatas, dapat diketahui bahwa perbandingan antara hasil simulasi dan justifikasi pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: 1. Hasil simulasi menunjukka bahwa model vertikal memiliki nilai lebih tinggi dari model horizontal, artinya model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal. 2. Hasil penilaian pakar juga mengindikasikan hal yang sama bahwa model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal, yang dapat diketahui dari nilai indeks keberlanjutan model vertikal yang lebih tinggi (58,53%) jika

165 dibandingkan dengan indeks keberlanjutan model horizontal (46,46% dan 54,27%). 3. Dalam hal ini model dapat dikatakan Valid karena hasil simulasi model dan justifikasi pakar menunjukkan kecenderungan yang sama (model vertikal lebih sustainable). G. Skenario Pengembangan Permukiman di Kawasan Sungai Raya melalui Intervensi Model Hunian Vertikal Pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya mengacu pada variabel sensitif terhadap pembangunan di kawasan bergambut yang meliputi: aspek pemanfaatan lahan, kebutuhan rumah (mengurangi jumlah rumah tapak), proporsi RTH, dan daya dukung lahan. Ketiga skenario yang diusulkan terdiri atas: Skenario 1 (skenario pesimis) adalah pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya tanpa adanya intervensi hunian vertikal (minimal intervensi horizontal panggung), dengan kata lain pertumbuhan rumah tapak terus berlangsung seperti pada kondisi eksisting. Skenario 2 (skenario moderat) adalah skenario dengan upaya minimal, yaitu upaya intervensi hunian vertikal sebesar 50% hanya pada alokasi lahan baru, tanpa mengusik kondisi eksisting (0% intervensi pada permukiman eksisting) Skenario 3 (skenario optimis) adalah skenario dengan upaya maksimal, dalam bentuk revitalisasi permukiman eksisting (urban renewal) khususnya pada permukiman padat dan kumuh, dikonversi menjadi hunian vertikal sebesar 50% dari jumlah rumah tapak eksisting, dan intervensi hunian vertikal pada lokasi pengembangan baru sebesar 75% dari total kebutuhan rumah hingga tahun 2032.

166 Tabel 35. Skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya Penambahan RTH

167 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui output dari masing-masing skenario sebagai berikut: Skenario 1 (pesimis) : Konversi ke Hunian Vertikal 0% pada lahan eksisting dan 0% pada lahan baru. Pada skenario 1 dapat dikatakan tidak ada intervensi hunian vertikal, dimana pengembangan permukiman di Sungai Raya seperti halnya pada kondisi eksisting yaitu pengembangan tipologi horizontal (landed housing). Output yang dihasilkan dari skenario 1 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.452,58 ha, dengan surplus lahan seluas 65,30 ha. 2. Dengan pengembangan hunian horizontal sebesar 100% maka tidak terjadi penurunan jumlah rumah tapak. 3. Proporsi RTH sesuai asumsi sebesar 15% (setengah dari RTH kawasan perkotaan) yaitu seluas 363,14 ha. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk 3.265 unit, atau menambah daya dukung (3 tahun) hingga 2035. Skenario 2 (moderat) : Konversi 0% pada lahan eksisting (rumah tapak) dan 50% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 2 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.338,49 ha, dengan surplus lahan seluas 179,39 ha. 2. Intervensi hunian vertikal sebesar 50% menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 712 unit. 3. Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 19,71% atau meningkat sekitar 4,71% dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk 8.970 unit, atau menambah daya dukung (8 tahun) hingga 2040. Skenario 3 (optimis) : Konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting (urban renewal) dan 75% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 3 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 952,61 ha, dengan surplus lahan sebesar 565,27 ha. 2. Intervensi hunian vertikal pada kedua alokasi lahan menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 1.068 unit.

168 3. Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 35,65% atau meningkat dua kali lipat dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk 28.264 unit, atau menambah daya dukung (25 tahun) hingga 2057. H. Rekomendasi Pemanfaatan Ruang Berdasarkan hasil simulasi dari ketiga skenario diatas, maka dapat direkomendasikan model pemanfaatan ruang untuk masing-masing skenario, dengan asumsi ketiga skenario tersebut dapat dipilih sesuai dengan pertimbangan pembuat kebijakan (eksekutor). Pemanfaatan ruang menurut skenario yang direncanakan dapat dilihat pada Gambar 90, 91, dan 92. Eksisting 220 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 90. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 1

169 Eksisting 110 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 91. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 2 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

170 100 ha 500 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 92. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 3 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis dan eksisting) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

171 Gambar 93 menunjukkan model penataan RTH perkotaan di kawasan Sungai Raya sebesar 30% dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sebesar 15% RTH disediakan dari kawasan permukiman, dalam bentuk RTH private, taman bermain skala komplek, dan roof garden bagi bangunan bertingkat > 3 lantai. 2. Sebesar 10% RTH dapat berupa taman kota, hutan kota, pemakaman umum, kebun binatang, dan lain-lain, yang dalam hal ini lokasinya dioptimalkan pada zona kawasan bebas bangunan (yang berdekatan dengan landasan udara). 3. Sebesar 5% lainnya diperoleh dari taman-taman di fungsi bangunan lainnya, seperti: perkantoran/kawasan niaga/cbd, kawasan pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan fungsi bangunan lainnya. Perkantoran/CBD (5%) Permukiman (15%) Taman/ hutan Kota (10%) Gambar 93. Rekomendasi model penataan RTH kawasan Sungai Raya

172 I. Subsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Salah satu strategi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap hunian vertikal adalah dengan memberikan subsidi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Harga rumah merupakan pertimbangan utama bagi MBR dengan segala keterbatasan ekonomi yang ada. Menurut ketentuan subsidi rumah Kemenpera, yang termasuk MBR adalah masyarakat berpenghasilan < 5 juta/bulan, tipe rumah minimal tipe 36, dengan suku bunga 7.25% flat 15 tahun, dan harga rumah tergantung regional (minimal 88 juta per unit). Gambar 94. Ilustrasi denah tipe 36 bagi MBR Ilustrasi sederhana perhitungan subsidi dan cicilan rumah susun sederhana di kawasan Sungai Raya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah sebagai berikut: Rumah/unit hunian tipe 36 (luas 36 m 2 ) Harga per meter persegi (bangunan bertingkat sederhana) Rp. 2.5 juta/m Harga per unit hunian = 36 x 2.5 juta = Rp. 90 juta/unit, ditambah biaya pajak dan lainlain sebesar 10%, Total = Rp. 99 juta/unit. Uang muka (DP) lebih kurang 10% = Rp. 9 juta. Pinjaman Bank sebesar Rp. 90 juta, bunga 7.25% flat 15 tahun. Cicilan per bulan Rp. 187.875.000 : 180 bulan = Rp. 1.043.750,- 2