MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI"

Transkripsi

1 MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT WENI DEWI UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat adalah hasil karya tulis saya sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor, atas arahan dan bimbingan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dalam disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Bogor, Agustus 2012 Weni Dewi Utami P (PSL)

3 ABSTRACT WENI DEWI UTAMI, Model of Sustainable Urban Settlement on Peat Areas at Sungai Raya Region, Kubu Raya District - West Kalimantan Province. Under the Advisory Committee of BAMBANG PRAMUDYA N as the Chairman of the Commission, SURJONO HADI SUTJAHJO, ARIS MUNANDAR and RUCHYAT DENI Dj, as a Member of the Commission. Urban settlements will certainly affect the physical improvement of buildings and the economy. On the one hand the economic sector will increasingly attract the attention of investors and migrants, on the other hand the physical development of cities tend to have a negative impact by the loss of a number of catchment areas and declining function of the environment. Sungai Raya region other than the status of the Capital District of Kubu Raya, also acts as a Hinterland of Pontianak City that targeted housing needs. Progress in the development of Sungai Raya enough attention because given characteristic peatland that covers most of the Sungai Raya area. This study aimed to design a model of sustainable urban settlements in accordance with the existing characteristics of areas with a variety of approaches that are qualitatively and quantitatively. Multi Dimensional Scaling (MDS) approach is used to analyze the status of the sustainability of existing housing, observation and questionnaire method used to determine the preferences and interests of society against the housing and settlements. As well, the Dynamic Systems approach (Stella) to see and predict the behavior of the variable dimensions of the ecological, economic, social and technological. Study sites located in Sungai Raya district are classified as urban areas have been defined in the Spatial Plan of District (RTRW) Kubu Raya. The results of MDS methods indicate that the sustainability status of housing at Sungai Raya in general can be said not sustained yet. Therefore, we need a model of sustainable urban settlements are examined in a multidimensional (ecological, economic, social, cultural and technological), which is able to meet housing needs and demands on the other hand can reduce the environmental degradation. Apart from that, it is necessary to study the preferences and perceptions of the resulting models can accommodate the desires of the community and in accordance with the capabilities. With a model of sustainable urban settlements that suitable to the peats region is expected to be recommendations especially for the Local Government of Kubu Raya District in formulating policies related to the construction of settlements in the Sungai Raya peats area. Key words: urban settlements, sustainable development, peats region.

4 RINGKASAN WENI DEWI UTAMI, Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Dibawah bimbingan BAMBANG PRAMUDYA N sebagai ketua komisi pembimbing, SURJONO HADI SUTJAHJO, ARIS MUNANDAR dan RUCHYAT DENI Dj, sebagai anggota komisi pembimbing. Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan permukiman menjadi fenomena yang dialami oleh sebagian besar kota-kota di Indonesia bahkan di dunia. Tingginya aktifitas di perkotaan serta derasnya arus urbanisasi menyebabkan pembangunan permukiman menjadi sektor industri yang sangat kompleks. Setiap proses pembangunan perkotaan akan dihadapkan pada suatu tantangan dan konflik terhadap pertumbuhan permukiman, khususnya masalah penataan ruang dan penggunaan lahan. Sungai Raya menjadi kawasan primadona yang mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan permukiman. Selain berstatus sebagai Ibu Kota Kabupaten Kubu Raya, Sungai Raya juga merupakan wilayah hinterland Kota Pontianak yang cukup maju dibanding kawasan hinterland lainnya. Kemajuan pembangunan khususnya perkembangan permukiman di Sungai Raya menimbulkan kekhawatiran, mengingat sebagian besar karakteristik lahan di kawasan tersebut merupakan lahan bergambut, yang notabene memiliki fungsi ekologi sebagai pengatur sistem hidrologi (water balance) dan penyimpan karbon (carbon storage). Lahan gambut sangat rentan terhadap berbagai gangguan, sehingga eksploitasi gambut berpotensi memicu terjadinya bencana ekologis seperti banjir dan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kebijakan yang mengatur tentang penataan ruang dan pembangunan permukiman di kawasan bergambut. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan yang sesuai untuk dibangun di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Dengan adanya model ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan khususnya bidang penataan ruang dan pembangunan kawasan permukiman. Penelitian ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pendekatan Multi Dimensional Scalling (MDS) dengan menggunakan software Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-Peatsett (Rapid Appraisal Peat Settlement) digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan perumahan eksisting. Metode observasi dan kuesioner digunakan untuk mengetahui preferensi dan minat masyarakat terhadap perumahan yang diminati, dan pendekatan sistem dinamik digunakan untuk melihat dan memprediksi perilaku variabel dimensi ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi. Analisis keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS bersumber dari penilaian pakar dan stakeholders terpilih terhadap beberapa atribut (indikator) pembangunan berkelanjutan secara multidimensi (ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi). Analisis perumahan eksisting terfokus pada tipologi bangunan yang ada di lokasi penelitian yaitu tipologi rumah panggung dan tipologi rumah tapak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi rumah panggung secara umum

5 cukup berkelanjutan (54,27%) dengan nilai indeks pada masing-masing dimensi sebagai berikut: dimensi ekologi (65,52%=cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi (41,18%=kurang berkelanjutan), dimensi sosbud (56,96%=cukup berkelanjutan) dan dimensi teknologi (46,69%=kurang berkelanjutan). Sementara status keberlanjutan tipologi rumah tapak secara multidimensi kurang berkelanjutan (46,46%) dengan nilai indeks pada masing-masing dimensi sebagai berikut: dimensi ekologi (21,05%=tidak berkelanjutan), dimensi ekonomi (67,16%=cukup berkelanjutan), dimensi sosbud (69,36%=cukup berkelanjutan) dan dimensi teknologi (46,10%=kurang berkelanjutan). Untuk meningkatkan status keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya di masa mendatang, dilakukan analisis Leverage untuk mengetahui faktor pengungkit yang perlu dikelola untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Dari 20 indikator yang dianalisis dari keempat dimensi tersebut, terdapat 9 atribut sensitif dan 5 atribut dominan untuk rumah panggung, serta 15 atribut sensitif dan 3 atribut dominan untuk rumah tapak yang perlu dikelola untuk meningkatkan status keberlanjutan. Tingkat galat (error) sangat kecil pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis Monte Carlo memperlihatkan nilai yang tidak jauh berbeda dari hasil analisis MDS (0,23-0,59) atau < 1 yang menunjukkan bahwa tingkat presisi perhitungan cukup tinggi. Hasil kajian terhadap persepsi dan preferensi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memiliki rumah sendiri dan tergolong keluarga kecil dengan dua orang anak. Sebagian besar responden memilih sistem pembayaran kredit dalam membeli rumah, secara financial pendapatan per bulan antara Rp. 1 5 juta dengan kemampuan mencicil maksimal Rp. 2.5 juta/bulan. Harga rumah untuk pembelian cash maksimal Rp. 250 juta. Sebagian besar responden menyatakan kurang paham terhadap isu lingkungan yang berhubungan dengan eksploitasi lahan gambut. Kawasan Sungai Raya paling banyak dipilih sebagai lokasi tempat tinggal dibandingkan kawasan hinterland lainnya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah tinggal antara lain: kualitas bangunan, desain arsitektur yang menarik, ketersediaan sarana dan prasarana, kedekatan lokasi dengan tempat kerja dan harga rumah yang terjangkau. Sebesar 53% responden berminat terhadap model hunian vertikal (Model A), dan sebagian besar menyatakan struktur panggung cocok untuk konstruksi di lahan bergambut. Persepsi masyarakat terhadap kelebihan hunian vertikal antara lain: lebih praktis, hemat lahan, tertata rapih, lebih murah, sosialisasi baik, kredit mudah, dan bebas banjir. Sedangkan kelemahannya yaitu: pada beberapa kasus terkesan kumuh dan padat, berisik, serta rawan konflik. Key Factor (faktor kunci) untuk meningkatkan status keberlanjutan perumahan eksisting adalah optimalisasi lahan yang meliputi upaya mempertahankan ekosistem gambut dan menekan laju konversi lahan gambut. Usulan model fisik terkait dengan upaya mempertahankan ekosistem gambut yaitu dengan solusi Struktur Panggung (tipologi struktur) dan upaya menekan laju konversi lahan dengan solusi Hunian Vertikal (tipologi bangunan). Implemetasi tipologi hunian vertikal mengacu pada standar dan kebijakan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio. Untuk zona yang berada dibawah kawasan horizontal dalam, ketinggian bangunan maksimal 4 lantai, dibawah permukaan kerucuk maksimal 6 lantai dan diluar KKOP maksimal 10 lantai (tergantung daya dukung lahan). Selanjutnya dilakukan analisis terhadap 4 varian dari tipologi struktur dan tipologi bangunan yang diusulkan

6 untuk mendapatkan model terbaik, yaitu: Horizontal Tapak (HT), Horizontal Panggung (HP), Vertikal Tapak (VT) dan Vertikal Panggung (VP). Metode analisis pengambilan keputusan berbasis indeks kerja (Composite Performance Index CPI), dimana hasil analisis menunjukkan bahwa model Vertikal Panggung (VP) merupakan model terbaik dengan skor , rangking kedua adalah Vertikal Tapak (skor: 300), rangking ketiga Horizontal Tapak (skor: 160), dan rangking keempat adalah Horizontal Panggung (skor: ). Untuk pemilihan model dengan kecenderungan pada dimensi ekonomi, model Vertikal Tapak dapat direkomendasikan dengan pertimbangan harga unit hunian termurah. Sedangkan model Vertikal Panggung dapat direkomendasikan untuk kecenderungan pada dimensi ekologi. Berdasarkan hasil analisis ketiga skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya, yaitu : Skenario 1: intervensi hunian vertikal 0% pada lahan eksisting dan 0% pada lahan baru, Skenario 2: : intervensi hunian vertikal 0% pada lahan eksisting dan 50% pada lahan baru, dan Skenario 3: : intervensi hunian vertikal 50% pada lahan eksisting dan 75% pada lahan baru. Pada dasarkan ketiga skenario tersebut dapat diimplementasikan di kawasan Sungai Raya tergantung dari kesiapan anggaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan (eksekutor) dan sistem kerjasama dengan berbagai stakeholders. Namun untuk perencanaan jangka panjang, pengembangan permukiman di Sungai Raya akan mengarah pada Skenario 3, dengan total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 952,61 ha, terdapat efisiensi lahan sebesar 34.41%, surplus lahan sebesar 565,27 ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak unit, penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 35,65%, surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (25 tahun) hingga Untuk perencanaan jangka panjang, maka skenario 3 diprioritaskan sebagai upaya untuk melakukan optimalisasi lahan permukiman dan minimalisasi konversi lahan gambut. Subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diberikan pemerintah dalam bentuk suku bunga rendah yaitu 7.25% per tahun flat 15 tahun. Berdasarkan ilustrasi perhitungan hunian vertikal (rumah susun) tipe 36, diperoleh harga per unit hunian sebesar Rp. 99 juta/unit dengan cicilan Rp ,-/bulan selama 15 tahun. Hasil perhitungan tersebut sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat (responden).

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidika, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

8 Ujian Tertutup : Dilaksanakan pada : Sabtu, 14 Juli 2012 Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Syaiful Anwar (Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan) 2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto (Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan) Ujian Terbuka : Dilaksanakan pada : Senin, 30 Juli 2012 Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA (Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan) 2. Dr. Ir. Doni J. Widiantono, M.Eng.Sc (Ditjen Penataan Ruang Kementrian PU)

9 MODEL PERMUKIMAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN PADA WILAYAH BERGAMBUT DI KAWASAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : WENI DEWI UTAMI DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

10 Judul Disertasi : Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat Nama : Weni Dewi Utami NRP : P Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Jenjang : Doktor (S3) Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng Ketua Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Anggota Dr. Ir. Aris Munandar, MS Anggota Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj., M.Eng Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

11 RIWAYAT HIDUP Weni Dewi Utami (penulis) dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1976 di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Ibrahim Salim dan Ibu Hj. Sumiyati. Penulis menikah pada tahun 2005 dengan Ir. Muhamad Hasan dan dikaruniai satu orang putri bernama Shafiqa Avelia Jasmine (7 tahun). Penulis mengikuti pendidikan SD, SLTP dan SLTA di Kota Pontianak, dan pada tahun 1995 menempuh pendidikan sarjana di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Bandung, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, dan lulus pada tahun Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan melanjutnya studi S2 melalui beasiswa Departemen Kimpraswil di Universitas Hasanuddin Makassar, Jurusan Magister Teknik Perencanaan Prasarana, dan telah lulus pada tahun Selanjutnya pada tahun 2007, penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutnya studi ke program doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa BPPS Dikti tahun Penulis bekerja sebagai staff pengajar di Politeknik Negeri Pontianak (POLNEP) pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan sejak tahun 2001 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh antara lain: Teknik Lingkungan, Teori Arsitektur I, Estetika Bentuk, Studio Perancangan Arsitektur 1 dan 2, Kunjungan Industri, Praktek Kerja Lapang dan Tugas Akhir. Mengajar di kelas khusus Jurusan Teknik Sipil POLNEP pada mata kuliah Pengantar Teknik Lingkungan dan Pengantar Tata Ruang. Penulis merupakan anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalbar, dan menjadi Pengurus IAI Nasional periode Wakil Bidang Penelitian dan Pengembangan. Bogor, Juli 2012 Weni Dewi Utami

12 DAFTAR ISI DAFTAR ISI xiv DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR... xix DAFTAR TABEL.. xxiii GLOSARIUM.. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty)... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Perumahan dan Permukiman Perkotaan Rumah dan Perumahan Permukiman dan Degradasi Lingkungan Developer dan Industri Perumahan Infrastruktur Berwawasan Lingkungan Konsep dan Teori Perkotaan Teori Spasial Perkotaan Teori Wilayah Inti Hinterland Perkembangan Kota Baru (New Town) Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan Kota Berkelanjutan Pembangunan Permukiman Berkelanjutan Ekosistem Lahan Gambut Pengertian Lahan Gambut Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Indonesia Sifat dan Karakteristik Gambut Transformasi Karbon Gambut Fungsi Ekologis Gambut Pendekatan Sistem dan Pemodelan.. 53 Halaman xxiv xiv

13 III. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Rancangan Penelitian Batasan Penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Kabupaten Kubu Raya Geografi Kependudukan Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten Kubu Raya Gambaran Umum Kecamatan Sungai Raya Geografi Kependudukan Posisi Strategis Sungai Raya Penatagunaan Lahan Kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak Kebijakan Pengembangan Permukiman Kawasan Sungai Raya sebagai Kota Baru Satelit Sebaran Gambut di Kawasan Sungai Raya Tipologi Perumahan di Kawasan Sungai Raya 79 V. STATUS KEBERLANJUTAN TIPOLOGI PERUMAHAN EKSISTING DI KAWASAN SUNGAI RAYA Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Penentuan Indikator Dimensi Keberlanjutan Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Tapak Status Keberlanjutan Multidimensi Analisis Monte Carlo Kesimpulan 104 VI. STUDI PREFERENSI DAN MINAT MASYARAKAT TERHADAP PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Identitas Umum Responden Karakteristik Responden 112 xv

14 6.3.3 Pemahaman Lingkungan dan Pemilihan Tipologi Perumahan Kesimpulan. 124 VII. DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Model Ikonik (Model Fisik) 133 A. Sub Model Tipologi Bangunan 134 B. Sub Model Spasial 136 C. Sub Model Tipologi Struktur Model Dinamik 142 A. Sub Model Pertumbuhan Penduduk. 142 B. Sub Model Kebutuhan Perumahan 145 C. Penilaian Model Perumahan Menurut Tipologi Bangunan dan Tipologi Struktur 146 D. Analisis Pengambilan Keputusan (Pemilihan Model) Berbasis Indeks Kerja (CPI). 160 E. Rekomendasi Model. 162 F. Validasi Model Permukiman di kawasan Sungai Raya 164 G. Skenario Pengembangan Permukiman di Kawasan Sungai Raya melalui Intervensi Model Hunian Vertikal H. Rekomendasi Pemanfaatan Ruang I. Subsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Kesimpulan 173 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 179 LAMPIRAN. 185 xvi

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi Kota Baru di Indonesia Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia Luas sebaran dan kandungan karbon gambut di Kalimantan Th Luas sebaran dan kandungan karbon pada lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat Th Tingkat kedalaman gambut di Kalimantan Barat Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Kubu Raya Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk per kecamatan 65 8 Luas area, jumlah penduduk dan kepadatan perduduk per kecamatan 65 9 Jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga per kecamatan Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan di Kecamatan Sungai Raya Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun Jumlah penduduk dan jumlah KK di Kecamatan Sungai Raya Sebaran penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 menurut kelompok umur dan jenis kelamin Jumlah penduduk di Kelurahan/Desa Sungai Raya tahun 2010 menurut kelompok umur dan jenis kelamin Jenis dan luas penggunaan lahan di Kecamatan Sungai Raya Penilaian (scorring) setiap indikator berdasarkan hasil kuesioner pakar Indikator keberlanjutan perumahan di kawasan bergambut Analisis Monte Carlo rumah panggung Analisis Monte Carlo rumah tapak Analisis kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) dalam penyusunan model permukiman perkotaan berkelanjutan Populasi penduduk di kawasan Sungai Raya Simulasi kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya Luas kebutuhan lahan untuk perumahan (trend negatif) Luas ketersediaan lahan perumahan (trend positif) Luas daerah resapan air yang hilang (trend negatif) 152 xvii

16 27. Jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer (trend negatif) Perhitungan harga bangunan/ unit (standar bangunan tidak sederhana) Perhitungan harga lahan per unit hunian Perhitungan harga total per unit hunian Pilihan responden terhadap tipologi struktur/bangunan Justifikasi penilaian pakar terhadap introduksi high technology (hi-tech) Matriks awal penilaian alternatif tipologi perumahan Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternatif Skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya 166 xviii

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran model permukiman perkotaan yang berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya Kalimantan Barat 6 2. Peran infrastruktur dalam suatu sistem lingkungan Piramida keberlanjutan dan posisi green infrastructure Teori Konsentri (Burgess) Teori Sektoral (Homer Hoyt) Teori Inti Ganda (Harris & Ullman) Daerah inti dan daerah pinggiran Pola dasar lokasi kota dalam ukuran dimensi dan bentuk Pola umum perkembangan permukiman perkotaan Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan Ilustrasi penampang kubah gambut (dome) Peta Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat Hubungan dan keterkaitan antar Wilayah Kota Bagan alir tahapan penelitian Persentase luas wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kubu Raya Peta kawasan Sungai Raya dan batas wilayah KKOP Guna lahan eksisting di Kota Pontianak Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kota Pontianak Posisi Kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya Tipologi rumah panggung di Sungai Raya Kondisi kanal Sungai Raya pada saat air pasang Kondisi lingkungan di sekitar rumah panggung Tipologi rumah tapak dengan desain arsitektur modern Pekerjaan konstruksi rumah tapak yang dikembangkan developer Pekerjaan konstruksi rumah tapak beton di lahan gambut Hunian vertikal dengan struktur tapak di kawasan Ahmad Yani I Diagram layang ilustrasi indeks keberlanjutan tiap dimensi 88 xix

18 30. Status keberlanjutan dimensi ekologi (a) dan Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a) dan Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Status keberlanjutan dimensi ekologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Diagram layang status keberlanjutan rumah panggung (a) dan status keberlanjutan rumah tapak (b) Distribusi Usia (a) dan jenis kelamin responden (b) Distribusi daerah asal (a) dan pekerjaan responden (b) Distribusi pekerjaan (a) dan tingkat pendidikan responden Distribusi status pernikahan (a) dan jumlah anak (b) Distribusi jumlah anggota keluarga Distribusi penghasilan total per bulan Distribusi status kepemilikan rumah Distribusi pertimbangan terhadap status kepemilikan rumah (a) dan minat untuk memiliki rumah sendiri (b) Distribusi sistem pembayaran (a) dan kisaran harga rumah (b) Distribusi kisaran harga cicilan rumah Pemahaman lingkungan (a), minat terhadap hunian ramah lingkugan (b) Alternatif pilihan lokasi tempat tinggal Distribusi tipologi hunian yang diminati Distribusi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal (a) dan pemilihan tipe struktur yang sesuai di lahan gambut (b) Preferensi Model Hunian (vertikal, bertingkat, tidak bertingkat) Distribusi pemilihan model hunian yang diminati Penghasilan responden yang memilih model vertikal 123 xx

19 56. Status kepemilikan rumah dan sistem pembayaran yang dipilih Kisaran harga rumah (sistem pembayaran cash) Kisaran cicilan rumah (sistem pembayaran credit) Diagram black box sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut Diagram causal loop sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut Konversi hunian 1 lantai menjadi hunian 2-3 lantai (a) dan konversi rumah tunggal menjadi rumah kopel (b) Ilustrasi bangunan vertikal berlantai rendah Ilustrasi bangunan vertikal berlantai sedang Peta rencana zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan Potongan A (zona di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas) Potongan B (zona diluar kawasan pendekatan dan lepas landas) Ilustrasi struktur pondasi tiang pancang Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya Simulasi pertumbuhan penduduk di Sungai Raya ( ) Simulasi kebutuhan perumahan di Kec. Sungai Raya Varian tipologi bangunan dan tipologi struktur Peta rencana pola ruang kawasan perkotaan di Sungai Raya Peta penafsiran citra landsat di Sungai Raya (permukiman eksisting) Sub. model dimensi ekologi Grafik luas kebutuhan lahan ( ) Grafik luas ketersediaan lahan perumahan ( ) Grafik luas daerah resapan yang hilang ( ) Potensi volume genangan dari beberapa tipologi Grafik emisi karbon akibat konversi lahan ( ) Grafik simulasi harga satuan bangunan Grafik perhitungan harga lahan perumahan ( ) Simulasi perhitungan harga total lahan dan bangunan Grafik hasil pemilihan tipologi bangunan/struktur oleh responden Grafik justifikasi pakar terhadap introduksi high technology Ilustrasi model vertikal tapak (VT) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m) 162 xxi

20 87. Ilustrasi model vertikal panggung (VP) direkomendasikan pada areal gambut sedang (1-2 m) Ilustrasi model horizontal panggung (HP) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m) Validasi Model (perbandingan hasil simulasi dan justifikasi pakar) Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario Rekomendasi model penataan RTH kawasan Sungai Raya Ilustrasi denah tipe 36 bagi MBR 172 xxii

21 DAFTAR LAMPIRAN 1. Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Ekologi) Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Ekonomi) Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Sosial-Budaya) Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Dimensi Teknologi) Status Keberlanjutan Rumah Panggung (Multidimensional) Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Ekologi) Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Ekonomi) Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Sosial-Budaya) Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Dimensi Teknologi) Status Keberlanjutan Rumah Tapak (Multidimensional) Status Keberlanjutan Hunian Vertikal 210 xxiii

22 GLOSARIUM Wilayah Kawasan Kawasan lindung Kawasan budidaya Kawasan strategis Kawasan perdesaan Kawasan perkotaan Kawasan metropolitan Kawasan permukiman Daerah Rawa Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumberdaya buatan. Wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan. Wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya (satu juta) jiwa. Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Kesatuan lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis. xxiv

23 Rumah Perumahan Lingkungan Hunian Permukiman Prasarana Sarana Utilitas umum Masyarakat Berpenghasilan Rendah [MBR] Rumah Tunggal Rumah Deret Rumah Susun Rumah layak huni Bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni Bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman Bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan Kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman. Fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian. Masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah Rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling. Beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kaveling sendiri. Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni. xxv

24 Persyaratan teknis Persyaratan ekologis Hunian berimbang Persyaratan tentang struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. Persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan sosial budaya, termasuk nilainilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. Perumahan skala besar Perumahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Tipologi Ekologi Budaya Dinamika ekonomi Rencana Rancangan Pengendalian Perumahan Bencana Klasifikasi rumah yang berupa rumah tapak atau rumah susun berdasarkan bentuk permukaan tanah, tempat rumah berdiri meliputi rumah di atas tanah keras, rumah di atas tanah lunak, rumah di garis pantai/pasang surut, rumah di atas air/terapung (menetap), rumah di atas air/terapung (berpindah-pindah). Persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilainilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Klasifikasi rumah berdasarkan hasil akal budi/adat istiadat manusia yang diwujudkan dalam bentuk dan arsitektural dan kelengkapan ruangan rumah. Kondisi permintaan masyarakat dari berbagai selera yang dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan dan kebutuhan rumah. Rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya. Desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai. Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun xxvi

25 faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, seperti gempa bumi, akibat perang, tsunami dan lain-lain. Penurunan kualitas Perumahan dan Permukiman Ruang Terbuka Hijau [RTH] Proses menurunya kondisi fisik, non fisik, fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat mengganggu perikehidupan dan penghidupan penghuni dan sekitarnya area memanjang/jalur/ mengelompok, bersifat terbuka tempat tumbuhan ditanam secara alamiah atau sengaja ditanam. xxvii

26 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan permukiman merupakan suatu fenomena perkotaan yang pasti dialami oleh sebagian besar kota-kota di Indonesia bahkan di dunia. Tingginya aktifitas di perkotaan serta derasnya arus urbanisasi menyebabkan pembangunan permukiman menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Setiap proses pembangunan perkotaan akan dihadapkan pada suatu tantangan dan konflik terhadap pertumbuhan permukiman, khususnya masalah penataan ruang dan penggunaan lahan. Aktifitas dan kepadataan yang tinggi di pusat kota berdampak pada semakin terbatasnya ruang dan semakin tingginya harga lahan di pusat kota (kota inti). Dengan kata lain terjadi gentrifikasi yaitu pengambilalihan lahan-lahan potensial di pusat kota oleh pihak-pihak yang berkuasa. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan pola penggunaan lahan di perkotaan, dimana permukiman di pusat kota kemudian berubah fungsi menjadi bangunan perkantoran dan komersial. Akhirnya, secara berangsur-angsur permukiman tersebut bergeser ke daerah pinggiran (hinterland). Demikian halnya di Kota Pontianak, pembangunan di ibu kota Propinsi Kalimantan Barat ini menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Kegiatan perekonomian masyarakat Kota Pontianak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Tingginya aktifitas di pusat kota menyebabkan semakin padat dan semrawutnya wajah kota dengan munculnya bangunan-bangunan komersial. Kondisi ini pula yang menyebabkan permukiman di pusat kota mulai bergeser ke daerah pinggiran, dengan harga lahan yang relatif murah. Kawasan hinterland Kota Pontianak yang menjadi sasaran perkembangan permukiman kota antara lain: Sungai Raya, Siantan, dan Sungai Kakap. Ketiga kawasan tersebut memiliki karakteristik lahan bergambut. Diantara ketiga wilayah tersebut, Sungai Raya merupakan kawasan yang mengalami perkembangan permukiman paling pesat. Sungai Raya menjadi kawasan primadona yang mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan permukiman bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya. Posisi strategis dan aksesibilitas yang baik dengan dilalui jalur arteri primer yang menghubungkan antara pusat kota Pontianak dengan Bandara Supadio. Berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya, kawasan Sungai Raya ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kubu Raya (pemekaran).

27 2 Hal ini akan berimplikasi terhadap terjadinya metamorphosis kawasan, yang sebelumnya merupakan kawasan pedesaan, selanjutnya akan berkembang menjadi suatu kawasan perkotaan. Bagi sebagian kota-kota di Indonesia yang memiliki kondisi alam serupa yaitu wilayah bergambut di daerah perkotaan, hal ini menjadi tantangan tersendiri khususnya dalam hal penataan ruang untuk mengantisipasi perkembangan dan pembangunan kota. Hal ini disebabkan ekosistem lahan gambut memiliki fungsi lingkungan yang sangat besar, yaitu sebagai: peredam banjir, pengatur hidrologi, buffer interusi air laut, cadangan sumberdaya air, keanekaragaman hayati (biodiversity), dan pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap/menyimpan karbon). Lahan gambut sangat rentan terhadap berbagai gangguan, gambut yang terusik dapat menyebabkan lepasnya sejumlah karbon ke atmosfer, sehingga eksploitasi lahan gambut memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Indonesia merupakan negara ke-4 yang memiliki lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat, bahkan menjadi negara pemilik gambut tropis terluas di dunia. Lahan gambut yang tersebar di Indonesia meliputi luasan sekitar 26 juta ha (Anderson, 1961). Sumber lain menyebutkan luas lahan gambut di Indonesia adalah 18,48 juta ha (Soekardi dan Hidayat, 1988) dan seluas 20,6 juta ha (Subagyo et al., 2005). Informasi mengenai luas gambut di Indonesia seringkali berbeda, yang antara lain disebabkan oleh metode pengukuran yang beragam dalam setiap penelitian. Terlepas dari perbedaan tersebut, fakta menunjukkan bahwa luas lahan gambut di Indoenesia semakin berkurang. Salah satu penyebabnya adalah akibat alih fungsi lahan yang marak terjadi di Indonesia sejak tahun 1970an. Menurut Subagyo et al. (1998) dari 20,6 juta lahan gambut yang tersebar di Indonesia, sekitar 27,8% (5,77 juta ha) terdapat di Kalimantan, dan Kalimantan Barat merupakan terluas kedua (1,73 juta ha) setelah Kalimantan Tengah (3,01 juta ha). Angka kehilangan gambut di Kalbar terbilang cukup besar. Dari luasan 4,61 juta ha pada tahun 1988 (Soekardi dan Hidayat, 1988) menjadi 1,73 juta ha pada tahun 2002 (Wetland International, 2002), dengan angka kehilangan sebesar 62,47%. Anderson (1961) menjelaskan bahwa lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang sangat penting karena secara alami mampu menyimpan cadangan air (water storage) dalam jumlah yang besar yaitu sekitar 0,8 0,9 m 3 /m 3 artinya setiap 1 m 3 gambut 90% nya adalah air, oleh karena itu areal gambut tergolong sebagai lahan basah. Berdasarkan sifat fisiknya, gambut dianalogikan sebagai

28 3 spons yang mampu menyimpan banyak air dalam waktu yang lama. Lahan gambut yang di-drainase-kan secara berlebihan akan menjadi sangat kering sehingga menyebabkan kondisi irreversible drying artinya gambut yang mengering tidak dapat lagi menyerap air. Hal ini disebabkan gambut yang tadinya suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik), akibatnya kemampuan gambut dalam menyerap air menurun dan mengalami penyusutan (subsidence). Eksploitasi lahan gambut juga sangat beresiko terhadap lepasnya sejumlah karbon (CO 2 ) dan gas methan (CH 4 ) ke atmosfer. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa CO 2 dan CH 4 merupakan gas rumah kaca yang sangat berbahaya bagi lingkungan karena dapat memicu terjadinya pemanasan global. Lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon yang sangat besar dibandingkan ekosistem lainnya. Secara global, lahan gambut menyimpan sekitar Gt C atau setara dengan 75% dari total karbon yang ada di atmosfer (Maltby dan Immizi, 1996). Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai akibat dari aktifitas manusia (anthropogenic), yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fossil (fossil fuel), konversi lahan (land use change), industri, dan deforestasi (IPCC, 2001). Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 (UNFCCC) telah menetapkan 6 (enam) jenis gas rumah kaca utama yang berbahaya bagi lingkungan global yaitu : CO 2, CH 4, N 2 O, HFCs, PFCs, dan SF 6. Dari keenam jenis gas tersebut, CO 2 merupakan gas yang paling tinggi konsentrasinya di atmosfer dan memiliki waktu tinggal (live time) yang panjang, sehingga akumulasi dan tingginya konsentrasi gas CO 2 di atmosfer sangat berbahaya bagi kehidupan. Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil terutama bagi negara maju dengan tingkat konsumsi energi yang tinggi. Namun berbeda halnya dengan Indonesia, kontribusi CO 2 terbesar dipicu oleh kegiatan konversi lahan dan deforestasi yaitu sebesar 64% dari total emisi CO 2 Indonesia, yang antara lain disebabkan oleh kerusakan lahan gambut dan hutan tropisnya (Kementrian Lingkungan Hidup RI, 2005). Kondisi inilah yang membawa Indonesia menjadi negara pengemisi CO 2 terbesar ke-3 didunia setelah Amerika dan China. Sungguh sangat ironis, dimana Indonesia sangat diandalkan menjadi paru-paru dunia yang berperan sebagai penyimpan karbon (net sink), namun sejak tahun 1990 Indonesia justru menjadi negara pengemisi karbon (net emitter).

29 4 Sumber emisi CO 2 global yang dihasilkan dari proses peat drained mencapai 887 Mt/year dimana Indonesia merupakan penyumbang terbesar yaitu sebesar 58% dari total emisi (WI-IP, 2006). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang luar biasa besar, sehingga eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali dapat mengancam punahnya ekosistem gambut yang berdampak pada kerusakan lingkungan global dan terjadinya bencana ekologis. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kebijakan yang mengatur tentang pemanfaatan lahan gambut di daerah perkotaan khususnya yang terkait dengan pembangunan permukiman. Dengan adanya model permukiman perkotaan berkelanjutan di kawasan bergambut ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembangunan permukiman dan penataan ruang kota di kawasan bergambut. Dengan adanya model ini, diharapkan perkembangan kota-kota di Indonesia yang memiliki karakteristik wilayah bergambut dapat terwujud, tanpa harus menyebabkan kerusakan lingkungan. Melalui pendekatan sistem dinamik, akan dihasilkan model permukiman perkotaan berkelanjutan yaitu model permukiman yang memperhitungkan keseimbangan antara aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi (Sustainable Development). 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah untuk menghasilkan model permukiman perkotaan berkelanjutan yang dapat diimplementasikan pada lahan bergambut, dalam upaya memenuhi tuntutan kebutuhan akan perumahan dan disisi lain meminimalisasi terjadinya degradasi lingkungan. Melalui perencanaan yang holistik akan terwujud permukiman yang ramah lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, layak secara teknis, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Tujuan khusus penelitian meliputi : 1. Menganalisis tingkat keberlanjutan tipologi perumahan eksisting di kawasan Sungai Raya. 2. Mengetahui preferensi dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tipologi perumahan yang diminati. 3. Mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya.

30 5 1.3 Kerangka Pemikiran Maraknya kegiatan deforestasi dan alih fungsi lahan di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara pengemisi karbon terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Emisi karbon global didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, sementara Indonesia yang notabene memiliki hutan tropis terbesar ke-2 di dunia setelah Brazil, dan pemilik gambut tropis terluas di dunia seluas 20 juta ha atau setara dengan 50% luas gambut tropis dunia, justru sumber emisi karbon terbesar bersumber dari kegiatan deforestasi dan alih fungsi lahan. Indonesia yang diharapkan oleh dunia Internasional sebagai penyimpan karbon yang baik (net sink) sebelum tahun 1990, sekarang berganti menjadi pengemisi karbon (net emitter). Demikian besarnya kontribusi Indonesia terhadap pemanasan global menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi Pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kalimantan Barat merupakan satu provinsi dengan lahan gambut terluas kedua di Kalimantan setelah Kalimantan Tengah dengan luasan mencapai ha (Subagyo et al., 2005). Beberapa areal gambut yang tersebar di Kalimantan Barat memiliki potensi sebagai pusat pertumbuhan kota, salah satunya adalah kawasan Sungai Raya yang menjadi tempat kedudukan ibukota Kabupaten Kubu Raya, sekaligus sebagai kawasan hinterland Kota Pontianak. Kawasan Sungai Raya dianggap mampu menjawab tuntutan terhadap kebutuhan permukiman masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya. Sungguh merupakan suatu kondisi yang dilematis, dimana disatu sisi kebutuhan perumahan terus meningkat, namun disisi lain lahan yang tersedia dengan karakteristik lahan gambut yang seharusnya tidak dieksploitasi secara berlebihan. Secara umum, kerangka pemikiran tentang model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya dapat dilihat pada Gambar 1.

31 6 Tuntutan Kebutuhan Perumahan dan Permukiman Perumusan Kebijakan Pemerintah Kab. Kubu Raya dibidang permukiman 1. Pusat kota (Pontianak) semakin padat : Harga lahan di pusat kota meningkat. Permukiman bergeser ke wilayah hinterland. 2. Pemekaran Kabupaten Kubu Raya yang beribukota di kawasan Sungai Raya: Meningkatnya industri perumahan Meningkatkan laju imigrasi Karakteristik kawasan Sungai Raya sebagian besar merupakan lahan bergambut. Terjadi konversi lahan gambut menjadi perumahan dan permukiman (1997) : Kalbar pengemisi CO2 terbesar ke-2 di Indonesia akibat pembakaran hutan gambut (konversi). Indonesia pemilik gambut tropis terluas didunia dan terluas keempat untuk gambut temperate. Degradasi Ekosistem Lahan Gambut Potensi terjadinya bencana ekologis: (banjir dan emisi GRK) Minimalisasi konversi lahan gambut untuk perumahan/permukiman Indonesia pengemisi CO2 tersebar ke-3 di dunia setelah Amerika dan China. 60% total Emisi Indonesia berasal dari konversi lahan/ deforestasi. Predikat buruk Indonesia dimata Internasional. Rekomendasi Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut di Kawasan Sungai Raya UU No. 26/2007 UU No. 32/2009 UU No. 1/2011 Kepres No.32/1990 Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosbud Dimensi Teknologi Mengurangi GRK Mencegah banjir. Layak investasi Harga terjangkau Preferensi dan aspirasi masyarakat Utilitas, Firmitas dan Venustas Sustainable Development Gambar 1. Kerangka pemikiran model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya Kalimantan Barat

32 7 1.4 Perumusan Masalah Permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Meningkatnya kebutuhan perumahan dan permukiman di Kota Pontianak menyebabkan ketersediaan lahan di pusat kota semakin berkurang, harga lahan meningkat, dan permukiman di pusat kota mulai bergeser ke daerah pinggiran (hinterland). Fakta menunjukkan bahwa Kota Pontianak memiliki daerah hinterland yang sebagian besar merupakan wilayah bergambut. Kawasan Sungai Raya merupakan salah satu hinterland bergambut yang potensial sebagai pusat penyebaran permukiman. Disisi lain, status baru yang disandang oleh kawasan Sungai Raya sebagai Ibukota Kabupaten Kubu Raya (pemekaran tahun 2007), sehingga akan berimplikasi pada perkembangan dan perubahan kawasan Sungai Raya menjadi kawasan perkotaan. 2. Lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis yang sangat besar, yaitu sebagai carbon sink dan water storage. Indonesia pemilik lahan gambut terluas ke-4 di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat, dan pemilik lahan gambut tropis terluas didunia. Namun ironisnya pada tahun 1990 Indonesia divonis sebagai negara pengemisi karbon terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika serikat dan China. Data KLH RI (2005) menunjukkan bahwa 64% dari total emisi karbon yang dihasilkan berasal dari sektor alih fungsi lahan dan deforestasi. Sebelum tahun 1990 Indonesia berperan sebagai net sink, namun setelah tahun 1990 Indonesia justru menjadi net emitter. Jika konversi lahan gambut di kawasan Sungai Raya tidak dikendalikan, maka dikhawatirkan dapat memicu terjadinya bencana ekologis yang lebih besar. 3. Kebijakan pemerintah di bidang perumahan dan permukiman yang ada saat ini masih bersifat umum. Arahan kebijakan maupun Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk wilayah-wilayah dengan kondisi topografi dan fisiografi yang spesifik seperti wilayah bergambut atau tanah rawa masih belum tersedia. 4. Belum ada kajian tentang model permukiman berkelanjutan yang sesuai untuk wilayah bergambut di perkotaan, yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan permukiman namun tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. 1.5 Manfaat Penelitian Model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dalam merumuskan kebijakan khususnya yang terkait dengan konversi lahan

33 8 gambut untuk permukiman. Permukiman yang berwawasan lingkungan dan sesuai aspirasi masyarakat ini diharapkan dapat menjadi pilihan terbaik, karena disatu sisi mampu menjawab tuntutan akan kebutuhan perumahan, dan disisi lain mengandung misi penyelamatan lingkungan yaitu mengurangi emisi karbon dan mencegah terjadinya bencana ekologis yang lebih besar. Dalam upaya mewujudkan misi tersebut landasan berpikir global dan beraksi lokal (think globally act locally) merupakan cara yang paling efektif, dimana aksi lokal yang dilakukan adalah meminimalisasi eksploitasi gambut agar tidak terjadi bencana ekologis berupa pemanasan global. Melalui perencanaan yang komprehensif, diharapkan perkembangan kotakota yang memiliki karakteristik wilayah bergambut seperti halnya di Kalimantan Barat dapat terwujud sebagaimana mestinya tanpa harus melakukan pengrusakan terhadap lingkungan. Model pembangunan permukiman perkotaan yang berkelanjutan pada wilayah bergambut ini diharapkan bisa menjadi prototype permukiman ideal yang dapat menjadi acuan bagi kota-kota di Indonesia yang memiliki karakteristik lahan bergambut. Dengan menekan laju ekspansi dan degradasi lahan gambut, artinya kita telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya menurunkan emisi karbon dan mengurangi dampak pemanasan global. 1.6 Kebaruan (Novelty) Novelty dari penelitian ini adalah : 1. Beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak membahas topik permukiman dan gambut secara terpisah. Permukiman seringkali dikaji dan dikaitkan dengan penataan ruang dan problematika perkotaan, sementara lahan gambut seringkali menjadi bagian dari kajian ilmu tanah dan pertanian. Sementara dalam penelitian ini, permukiman dan gambut akan dikaji secara komprehensif, yang ditinjau dari sudut pandang ilmu lingkungan. 2. Hasil pengamatan di lokasi studi mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap perkembangan permukiman (landed housing) yang diprediksi dapat memicu terjadinya degradasi lingkungan (akibat eksploitasi gambut). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat sebuah hipotesa melalui intervensi model hunian vertikal yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah kebutuhan permukiman dan degradasi lingkungan, sebagai upaya mitigasi terhadap bencana ekologis.

34 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan Menurut UU RI No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, disebutkan bahwa pengertian perumahan adalah kelompok rumahrumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sementara pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, dan tempat melakukan kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Kebijakan tentang perumahan dan permukiman Indonesia tahun antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kemenpera, 2007). Didalam UU RI No. 1/2011 dikatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar melalui penataan untuk mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, pengembangan perumahan dan permukiman juga mempunyai tujuan untuk memberi arahan pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang rasional serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain. Didalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman dijelaskan beberapa hal penting yang terkait dengan pengadaan perumahan di Indonesia, yaitu: 1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati/menikmati/ memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. 2. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana, menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan secara bertahap. 3. Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk pengaturan dan bimbingan, pemberian bantuan, kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.

35 10 Menurut Komarudin (1996), perumahan dan permukiman merupakan tempat aktifitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari suatu kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktifitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya perencanaan dan perancangan pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang. Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa aspek perumahan dan permukiman sangat terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang, dimana lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan panataan tanah dan ruang, prasarana, dan sarana lingkungan yang terstruktur. Sementara itu, prasarana lingkungan merupakan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai fakta menunjukkan banyaknya permukiman yang dibangun tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai sebagai kelengkapan fasilitas, kalaupun ada kualitasnya sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik Rumah dan Perumahan Rumah memiliki pengertian sebagai bangunan yang direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman atau tempat tinggal oleh satu keluarga atau lebih. Perumahan adalah sekelompok tempat kediaman yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, sedangkan tempat kediaman adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari ruangan dan pekarangan. (Buku Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986). Jadi, rumah dan perumahan merupakan satu kesatuan sebagai tempat bermukim manusia. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari iklim dan makhluk hidup lainnya, serta sebagai tempat pengembangan kehidupan keluarga. Rumah terdiri dari ruangan, halaman dan area sekelilingnya, sedangkan perumahan terdiri dari rumah-rumah atau kelompok rumah, baik kelompok rumah dalam satu tapak ataupun kelompok rumah dalam

36 11 satu bangunan seperti rumah susun atau kondominium, beserta sarana dan prasarana pendukungnya. Menurut Kirmanto (2002) beberapa permasalahan di bidang perumahan yang terjadi saat ini adalah: a) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, b) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan, c) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, d) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam, dan e) komunitas lokal yang tersisih dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu. Kirmanto (2002) juga mengemukakan tantangan perkembangan pembangunan perumahan yang akan datang antara lain: 1. Urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata, 2. Perkembangan tak terkendali pada daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh, 3. Marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global, 4. Kegagalan implementasi dari kebijakan penentuan lokasi perumahan. Permen PU RI No. 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. menjelaskan bahwa berdasarkan luasannya, perumahan dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: tipe rumah mewah, tipe rumah menengah, dan tipe rumah sederhana. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tipe rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling lebih dari > 600 m 2 atau biaya pembangunan per m 2 diatas harga satuan tertinggi per m 2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas A yang berlaku. Tipe rumah menengah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 200 m m 2 atau biaya pembangunan per m 2 diatas harga satuan tertinggi per m 2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C sampai A yang berlaku. Sementara tipe rumah sederhana adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 54 m 2 sampai 200 m 2 atau biaya pembangunan per m 2 diatas harga satuan tertinggi per m 2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C yang berlaku. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan sandang dan pangan. Menurut Maslow (1954) dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Kebutuhan fisiologis, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang meliputi:

37 12 a. Udara segar dan lingkungan yang hijau, b. Air bersih (minum, masak, MCK, dll), c. Makanan yang sehat dan pakaian yang layak, d. Tempat tinggal yang memadai. 2. Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan dimana manusia terbebas dari rasa takut, yang meliputi : a. Perlindungan dari bencana alam dan kriminalitas, b. Perlindungan dari kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, c. Struktur Kelembagaan, hukum, pemerintahan dan adat istiadat. 3. Kebutuhan interaksi sosial, yaitu kebutuhan dalam hidup bermasyarakat atau berkelompok, meliputi : a. Rasa setia kawan, dicintai dan disenangi di dalam kelompok, b. Mau bekerja sama dalam hal positif. 4. Kebutuhan penghargaan dan pengakuan diri, meliputi : a. Penghargaan dari orang lain, b. Memperoleh keadilan dan kebebasan, c. Mendapatkan kepercayaan diri, d. Prestise. 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu harapan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sesuai dengan potensi tanpa mengganggu orang lain, serta memberikan kebaikan kepada orang lain. UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan definisi rumah yaitu sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa ruang yang memiliki fungsi yang berbeda. Berdasarkan pedoman teknis pembangunan perumahan, persyaratan bangunan rumah secara umum harus cukup memenuhi syarat teknis dan kesehatan, yaitu: 1. Udara di dalam ruangan tidak boleh lembab atau harus ada sirkulasi udara yang baik, yaitu dengan adanya ventilasi sehingga udara dapat mengalir dengan baik dan selalu berganti. 2. Penetrasi sinar matahari harus cukup bisa masuk ke dalam ruangan untuk membunuh bibit-bibit penyakit dan menghindari kelembaban. 3. Perletakan rumah sebaiknya mempertimbangkan arah mata angin guna memperlancar sirkulasi udara dari luar ke dalam bangunan atau sebaliknya. 4. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain harus memiliki jarak yang cukup agar memperoleh sinar matahari yang cukup, menghindari bahaya kebakaran dan penyakit menular, serta untuk tujuan keindahan (estetika). 5. Kebutuhan ruang-ruang di dalam rumah harus sesuai dengan kebutuhan. Biasanya tergantung dari adat dan kebiasaan, serta kemampuan penghuni.

38 13 6. Rumah harus memberikan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi penghuninya. Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga mempunyai arti penting dalam memberikan ruang dan suasana yang dapat menunjang kegiatan itu sendiri. Oleh karena itu, rumah yang sehat sangat diperlukan agar tercipta suasana hidup yang tentram, aman dan tertib. Menurut Komarudin (1997) rumah sehat harus memenuhi persyaratan penyehatan lingkungan, ketertiban, dan keserasian lingkungan. Komponen lingkungan perumahan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, antara lain penyediaan prasarana lingkungan yang memadai dan sesuai dengan jumlah penghuni, serta pengamanan lingkungan perumahan terhadap pencemaran (pemeliharaan sumber air bersih, pengelolaan air limbah dan sampah). Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan yaitu: aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan, dan keterjangkauan. United Nation Center for Human Settlement (UNCHS) menetapkan 11 (sebelas) persyaratan rumah sehat, yaitu: 1) Proteksi terhadap penyakit yang dapat menular, 2) Proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan pencemaran pada peralatan rumah tangga, polusi udara, zat kimiawi, dan penggunaan rumah untuk tempat kerja, 3) Promosi kesehatan mental, 4) Promosi kesehatan lingkungan permukiman, 5) Promosi kebersihan rumah dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, 6) Penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu, wanita, dan anak-anak. 7) Penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta, 8) Penciptaan kesehatan yang selalu dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka dan lingkungan, 9) Rumah merupakan wadah proses pengembangan sosial ekonomi, 10) Pendidikan kesehatan umum dan profesi hendaknya secara langsung mendorong upaya penciptaan rumah sehat, 11) Partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam proses pembangunan perumahan sehat dalam lingkungan yang sehat (UNCHS, 1999). Komarudin (1997) menjelaskan beberapa indikator rumah sehat, yaitu: 1. Perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang hajat besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air tergenang di halaman, merupakan perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya hidup bersih di rumah, halaman, dan lingkungan.

39 14 2. Berkenaan denga kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan pengaruhnya terhadap kesehatan, lingkungan fisik perumahan, kualitas udara permukiman, ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan permukiman. Program Perbaikan Kampung di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas bahwa lingkungan permukiman sehat harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Fisik, yaitu tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik, bakteriologis, dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah, air limbah, dan perumahan sehat. 2. Biologis, yaitu lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat. 3. Sosial, yaitu perilaku hidup bersih dan sehat. Indikator penting adalah menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit. Komarudin (1997) mengatakan sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan. Tersedianya fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, pembuangan tinja, tersedianya ventilasi dan jendela untuk sirkulasi udara, serta kekuatan bangunan rumah. Komarudin (1997) menyimpulkan bahwa Rumah Sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan utama, yaitu: 1. Memenuhi kebutuhan fisik penghuni, meliputi: suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, ventilasi yang sempurna, dan terlindung dari pengaruh bising. 2. Memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin hubungan yang serasi antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina dan menjamin kepuasan estetis, sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. 3. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit. 4. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya/kecelakaan Permukiman dan Degradasi Lingkungan Menurut Sujarto (1990), permukiman sebagai salah satu fungsi kawasan memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu : tempat tinggal (place), tempat kerja (work), dan tempat bermasyarakat (folk), Sujarto juga menjelaskan bahwa Permukiman Manusia merupakan suatu totalitas lingkungan yang terbentuk oleh unsur-unsur yang eksistics yang terdiri dari Alam (nature) yaitu bahwa permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan hidup maupun sebagai sumber daya (geografis, topografi, geologi, iklim, flora dan fauna).

40 15 Kualitas suatu lingkungan permukiman sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman yang bersih dan sehat akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik pula. Sebaliknya permukiman yang tidak direncanakan dengan baik, lambat laun akan mengalami penurunan kualitas lingkungan (degradasi) yang menyebabkan lingkungan permukiman menjadi tidak layak huni. Pertumbahan penduduk yang sangat drastis serta derasnya arus urbanisasi, menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Menurut Budihardjo (1987), bahwa pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman merupakan prakondisi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan produktivitas manusia sangat tergantung pada tersedianya wadah yang memadai untuk bekerja, beristirahat, berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat. Budihardjo (1987) juga mengatakan bahwa permukiman memiliki dwi fungsi yaitu fungsi pasif, sebagai penyedia sarana dan prasarana fisik dan fungsi aktif yaitu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kehendak, aspirasi, adat istiadat dan tata cara hidup para penghuni dengan segenap dinamika perubahannya. Menurut Sinulingga et al. (1995) permukiman yang ideal harus memenuhi beberapa ketentuan seperti lokasi terletak sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain misalnya aktifitas pabrik, jauh dari lokasi pembuangan sampah, mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta mempunyai saluran drainase yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat sehingga tidak menimbulkan genangan air disaat hujan lebat. Selain itu juga harus tersedia fasilitas penyediaan air bersih, dilengkapi dengan pembuangan air limbah/tinja, pembuangan sampah, jaringan listrik, jaringan telepon serta fasilitas umum seperti taman bermain dan ruang terbuka umum (public open space). Sinulingga et al. (1995) juga menyatakan bahwa secara garis besar permukiman terdiri dari berbagai komponen, yaitu: 1. Pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk permukiman, dimana kondisi tanah akan mempengaruhi harga rumah yang dibangun diatas lahan tersebut.

41 16 2. Kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal, jaringan air bersih, saluran air hujan, saluran air limbah dan tempat pembuangan sampah, yang kesemuanya sangat menentukan kualitas permukiman yang dibangun. 3. Ketiga, yaitu perumahan (unit rumah) yang dibangun sebagai tempat tinggal. 4. Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial, yaitu termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, perdagangan, jaringan listrik dan telepon, serta taman bermain atau ruang terbuka dalam lingkungan permukiman tersebut Developer dan Industri Perumahan Ledakan penduduk dan derasnya arus urbanisasi menyebabkan pembangunan perumahan menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Industri perumahan kemudian dikenal dengan istilah real estate yang sekarang diubah menjadi realestat. Profesi realestat di Indonesia dapat dikatakan masih relatif baru sekalipun berbagai disiplin dari profesi tersebut telah lama diterapkan. Usaha realestat pada dasarnya adalah suatu usaha yang kegiatannya berhubungan dengan persoalan tanah, termasuk segala kegiatan yang dilakukan di atasnya. Dari berbagai usaha dibidang realestat yang berkembang di Indonesia baru berupa pengembangan tanah dan bangunan. Usaha ini mencakup pengembangan wilayah dan pembangunan permukiman, pengadaan papan dan tempat usaha seperti gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat rekreasi dan bangunan komersial lainnya. Para pengusaha realestat tergabung dalam suatu wadah organisasi yang disebut REI (Real Estate Indonesia) yang didirikan pada tanggal 11 Pebruari 1972 di Jakarta. Pembangunan oleh para pengembang yang seperti yang disebutkan di atas dengan istilah populernya real estate dilaksanakan dengan cara membeli sejumlah lahan yang direncanakan untuk pembangunan permukiman dan setelah selesai dibangun kemudian dijual kepada masyarakat. Budihardjo (1987) menjelaskan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh pengembang memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1. Rencana tapak (tata bangunan), intensitas pembangunan dan lebar jalan dapat disesuaikan dengan rencana kota dan standar yang ada karena rencana permukiman ini dibuat secara menyeluruh dengan terlebih dahulu diperiksa oleh aparat pemerintah kota, apabila mendapat persetujuan baru dapat dilaksanakan.

42 17 2. Lahan untuk fasilitas umum dan sosial dapat sekaligus disediakan oleh para pengembang karena sudah merupakan ketentuan dalam standar perencanaan. Hal ini mengurangi beban pemerintah dalam hal pengadaan lahan bahkan bangunannya pun terkadang dikerjakan oleh pihak swasta. 3. Lingkungan permukiman selain tertata dengan baik juga harus memperhatikan estetika lingkungan dan bangunan mengingat persaingan antar para pengembang sehingga mereka akan berupaya untuk menciptakan lingkungan dengan nilai estetika yang baik untuk memasarkan produknya. 4. Oleh karena pembangunan lingkungan ini terorganisasi melalui pengembang maka semua bangunan akan mempunyai ijin bangunan, sehingga meningkatkan pendapatan pemda kota disamping turut menunjang pengadaan permukiman dengan tata hunian yang tertib. Disamping keuntungan yang diperoleh juga terdapat faktor-faktor negatif yang terjadi apabila pembangunan dilaksanakan oleh pengembang, yaitu: 1. Harga rumah akan lebih mahal karena pengembang cenderung memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya. 2. Kualitas rumah sering tidak sesuai dengan yang ditawarkan karena pelaksanaan dalam jumlah yang besar sehingga kurang pengawasan. Seringkali pembeli merasa kecewa ketika menempati rumah tersebut seperti terjadi kebocoran, air yang tidak lancar, pembuangan air kotor tidak berfungsi dan lain-lain. Demikian juga untuk fasilitas umum dan sosial yang seharusnya diadakan oleh pengembang seringkali tidak tersedia. 3. Para pengembang hanya memfokuskan pada prasarana di lokasi permukiman saja padahal sistem prasarana dan sarana lingkungan permukiman misalnya drainase, berkaitan dengan sistem di luar kawasan permukiman. Hal ini menyebabkan kawasan permukiman yang baru dibangun dan daerah disekitarnya sering terkena genangan air. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permukiman realestat adalah suatu satuan lingkungan permukiman yang merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur, serta dibangun oleh perusahaan swasta yang disebut developer atau pengembang.

43 Infrastruktur Berwawasan Lingkungan (Green Infrastructure) Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg et al., 1988). Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan system ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan ataupun instalasi yang dibangun dan dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000). Sebagai salah satu konsep atau pola pikir, Grigg et al. (2000) mengilustrasikan diagram tentang peranan infrastruktur dalam suatu sistem yang saling terkait (Gambar 2). Social System Economic System Technology & Infrastructure Environment & Natural Resources (Sumber: Grigg et al., 2000) Carrying Capacity of Environment Gambar 2. Peran infrastruktur dalam suatu sistem lingkungan Gambar 2 menjelaskan bahwa lingkungan alam merupakan pendukung dasar dari semua sistem yang ada. Peran infrastruktur sebagai mediator antara sistem ekonomi dan sosial dalam tatanan kehidupan manusia menjadi sangat penting. Infrastruktur yang kurang atau bahkan tidak berfungsi, akan memberikan dampak yang besar bagi manusia. Sebaliknya, infrastruktur yang terlalu berlebihan tanpa memperhitungkan kapasitas dan daya dukung lingkungan akan merusak alam, yang pada hakekatnya akan merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.

44 19 Lebih lanjut Grigg et al., (2000) membagi infrastruktur ke dalam 7 (tujuh) kelompok kategori yang meliputi: 1. Transportasi (jalan dan jembatan) 2. Pelayanan transportasi (stasiun, bandara, dan pelabuhan) 3. Komunikasi 4. Keairan (sumber daya air, air limbah, sungai, saluran, dan pipa) 5. Pengelolaan limbah (sampah) 6. Bangunan 7. Distribusi dan produksi energi. Menurut Sinulingga et al., (1995), permukiman pada garis besarnya terdiri dari berbagai komponen yaitu pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk permukiman dimana kondisi tanah akan mempengaruhi harga dari satuan rumah yang dibangun diatas lahan itu; kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal, saluran air hujan, saluran air limbah, jaringan air bersih, serta tempat penampungan sampah, yang semuanya juga turut menentukan kualitas permukiman yang dibangun. Ketiga, perumahan (tempat tinggal) yang dibangun. Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, penerangan, telekomunikasi, dan lapangan bermain didalam lingkungan permukiman. Berbagai fakta menunjukkan banyaknya permukiman yang dibangun tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagimana mestinya. Kalaupun ada, kualitasnya sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik. Selain konsep infrastruktur konvensional yang dikenal sebagai grey infrastructure, belakangan dikenal juga konsep pembangunan kota berbasis infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep ini juga menjadi trend dalam pembangunan wilayah di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia lainnya. Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) mendefinisikan infrastruktur hijau sebagai jejaring ruang terbuka lainnya (termasuk kawasan alamiah dan kelengkapannya, daerah konservasi, kawasan budidaya yang mempunyai nilai konservasi, dan kawasan terbuka yang dilindungi) yang saling berhubungan baik yang direncanakan maupun dikelola agar berfungsi melindungi nilai-nilai dan fungsi ekosistem alam dan menyediakan berbagai manfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Infrastruktur hijau juga diartikan sebagai keterhubungan jaringan ruang hijau yang direncanakan dan dikelola bagi kepentingan nilai sumber

45 20 daya dan manfaatnya bagi penduduk di sekitarnya. Perkembangan infrasruktur hijau sebenarnya merupakan solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Green Infrastructure terdiri dari 3 (tiga) sistem utama yakni a) Hubs, merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau yang menyediakan komponen ekosistem alam. Hubs bisa berdiri sendiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional dan sebagainya. b) Links, merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan penyangga (green belt) maupun jaringan jalan. c) Sites, merupakan komponen yang lebih kecil dari hubs dan bisa terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Sites pada kenyataannya dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun di kawasan rekreasi/tempat wisata alam. Lebih lanjut Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) menyatakan bahwa green infrastructure memiliki sepuluh prinsip dasar agar ia dapat bekerja dengan lebih efektif yaitu : 1) keterhubungan, 2) konteks kepentingan, 3) berlandaskan pada teori dan dasar ilmiah yang kuat, 4) berfungsi sebagai kerangka berwawasan lingkungan, konservasi, dan pembangunan, 5) direncanakan dan dilindungi sebelum dilakukan pembangunan, 6) investasi publik harus didanai lebih awal (up front), 7) harus memberikan manfaat kepada alam dan manusia, 8) respek terhadap kepentingan pemilik lahan dan stakeholders, 9) membutuhkan hubungan antar kegiatan didalam dan diluar komunitas, dan 10) memerlukan komitmen jangka panjang. Posisi infrastruktur hijau ini dibanding dengan modal-modal lainnya seperti sumber daya alam (natural capital), human and social capital, dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Grigg et al. (2000) dalam gambar tersebut juga menjelaskan bahwa green infrastructure merupakan landasan utama untuk grey infrastructure yang merupakan ujung tombak dari piramida keberlanjutan.

46 21 Built Capital (Grey Infrastructure) Human and Social Capital (People, place, connection) Natural Capital (land, water, energy, etc) Viable Ecosystem (Green Infrastructure) (Sumber : Grigg et al., 2000) Gambar 3. Piramida keberlanjutan dan posisi green infrastructure Dalam kenyataannya, green infrastruktur dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesehatan kepada masyarakat yang tertinggal. Disamping itu membuat lingkungan menjadi lebih asri, secara psikologis dapat mengurangi stress. Menghirup udara yang segar dengan kualitas udara yang baik akan memberikan kesempatan kepada alam untuk melakukan water recharge dan penyerapan air yang lebih maksimal sehingga akan mengurangi kemungkinan terjadinya banjir pada musim penghujan dengan mempertahankan daerah hulu sebagai daerah konservasi dan peningkatan ruang terbuka hijau didaerah perkotaan serta greenway dibantaran sungai yang melewati kawasan perkotaan dan mempertahankan keberadaan hutan kota. 2.3 Konsep dan Teori Perkotaan Kota pada umumnya berawal dari suatu permukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy, 1978) dalam Sujarto (2005). Seiring dengan berjalannya waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah disekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari

47 22 penduduknya yang semakin bertambah dan makin padat, bangunan-bangunannya yang semakin rapat, dan wilayah terbangun terutama permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial ekonomi kota. Kota-kota di Indonesia pada umumnya merupakan hasil perkembangan dari suatu desa. Keragaman aktivitas yang berlangsung di suatu kota akan sangat menentukan besar kecilnya klasifikasi kota tersebut, disamping luas wilayah dan jumlah penduduknya. Bentuk suatu kota juga bergantung pada fisiografi atau aspek perencanaan kota itu sendiri. Kota yang berada pada kondisi alam yang banyak rintangannya, dalam perkembangannya akan melakukan penyesuaian bentuk sehingga pola kota menjadi tidak teratur. Ciri khas sebuah kota adalah bahwa pada umumnya kota bersifat mandiri (self contained), yang berarti para penduduknya mencari nafkah, memenuhi kebutuhan, dan berkreasi di dalam kota itu sendiri. Budihardjo et al. (1993) menyatakan, kota sebagai bagian integral dari suatu lingkungan terutama di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire yaitu perkembangan tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kota-kota tersebut tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seharusnya semenjak awal proses penyusunan perencanaan, terutama dalam penentuan tujuan dan perumusan masalah perkotaan segenap pihak (stakeholders) harus terlibat secara aktif. Budihardjo et al. (1999) menjelaskan beberapa pandangan para perencana kota (urban planner) tentang berbagai pengertian dan defini kota adalah sebagai berikut : Dickinson menjelaskan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan bangunan rumah yang rapat dan penduduknya bermata pencaharian bukan pertanian. Christaller menyatakan fungsi kota adalah sebagai penyelenggara dan penyedia jasa-jasa bagi daerah di sekitarnya. Dengan kata lain, pada awalnya kota adalah sebuah pusat pelayanan dan bukan tempat bermukim. Mayer melihat kota sebagai tempat bermukim penduduknya. Baginya yang terpenting bukanlah rumah tinggal, kantor, tempat ibadah, jalan raya, taman dan sebagainya, melainkan penghuni kota lah yang menciptakan semua itu. Kota memiliki peradaban yang berbeda dengan pedesaan, kota memiliki jiwa tersendiri dengan kebudayaannya sendiri, sedangkan desa merupakan kawasan yang melingkupi sebuah kota.

48 23 Wirth merumuskan kota sebagai permukiman yang relative besar, padat dan permanen dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya. Karena itu hubungan sosial antar penghuninya serba longgar, acuh dan relasinya bukan pribadi (impersonal relations). Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat permukiman dan pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia. Manusia menempati serta mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, sehingga mendorong pertumbuhan kota menjadi sangat pesat, tetapi menimbulkan terjadinya pemiskinan dan berbagai masalah sosial. Freeman mengemukakan bahwa kota mempunyai 4 (empat) ciri, yang meliputi: a) penyedia fasilitas untuk seluruh penduduknya, b) penyedia jasa (tenaga), c) penyedia jasa professional (bank, kesehatan, dan pendidikan), d) memiliki pabrik-pabrik (industri). Berdasarkan jumlah penduduk di perkotaan, maka dapat diklasifikasikan kota-kota di Indonesia menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Kota Metropolitan dengan jumlah penduduk > juta jiwa 2. Kota Besar dengan jumlah penduduk jiwa 3. Kota Sedang dengan jumlah penduduk jiwa 4. Kota Kecil dengan jumlah penduduk < jiwa Jumlah penduduk suatu kota sangat mempengaruhi tingkat kepadatan penduduk kota tersebut, dimana kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah jiwa dalam satu kilometer persegi lahan (jiwa/km2). Terdapat 5 (lima) klasifikasi kepadatan penduduk yaitu : 1. Sangat tinggi > jiwa/km 2. Tinggi jiwa/km 3. Sedang jiwa/km 4. Rendah jiwa/km 5. Sangat rendah < 100 jiwa/km 2 2 Perencanaan kota mempunyai tujuan untuk menciptakan keselarasan sosial dan ekonomi bagi kepentingan publik maupun individu. Perencanaan kota yang baik akan mengalokasikan lahan secara efisien. Perencanaan kota merupakan seni untuk menduga perubahan, mengatur kekuatan tertentu seperti fisik, sosial, ekonomi, dan politik dalam menentukan lokasi dan bentuk sektor tertentu (Osborn et al., 1963). Sedangkan tujuan dari perencanaan kota adalah untuk meningkatkan lingkungan fisik yang harmonis, menyenangkan dan nyaman, untuk kepuasan dan kebahagiaan penduduknya

49 24 Menyadari gejala perkotaan yang semakin rusak, Howard (1902) mengajukan perencanaan humanopolis yaitu kota yang lembut dan manusiawi dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dengan cara mengolah lingkungan manusia dan lingkungan binaannya secara lebih akrab, arif dan bijaksana Teori Spasial Perkotaan Kota sebagai perwujudan spasial akan cenderung mengalami perubahanperubahan baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu kondisi ke kondisi yang lain dalam suatu periode waktu yang berbeda. Perkembangan kota dapat terjadi secara alami, maupun terjadi secara artifisial dengan campur tangan manusia yang mengatur arah perubahan keadaan tersebut. Terdapat 3 (tiga) teori klasik tentang struktur keruangan (spasial) kota, yaitu: teori konsentris, teori sektoral, dan teori inti ganda (Rahardjo, 2004):. A. Teori Konsentris (Burgess - Tahun 1925) Teori ini dikemukakan oleh E.W Burgess seorang sosiolog beraliran human ecology pada tahun Teori ini merupakan hasil penelitiannya mengenai morfologi kota Chicago, yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul The City. Menurut teori cincin konsentris Burgess ini, bahwa kota-kota besar memiliki kecenderungan berkembang atau memekarkan diri kearah luar di semua bagian kota tersebut. Oleh karena semua bagian berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang di hasilkan akan membentuk lingkaran yang berlapis-lapis, dimana daerah pusat kegiatan berfungsi sebagai intinya (Gambar 4). Secara berurutan, tata guna lahan yang mengikuti pola konsentris ini adalah sebagai berikut : 1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (KPB) atau dikenal juga dengan istilah Central Bussines District (CBD), merupakan kawasan pusat bisnis yang disebut sebagai loop dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Fungsi bangunan yang terdapat pada zona ini antara lain : perkantoran, pertokoan, bank, gedung pertunjukan, dan sebagainya. 2. Zona transisi atau disebut juga zona peralihan, pada awalnya merupakan perumahan tua dan beralih fungsi menjadi perkantoran dan industri ringan.

50 25 3. Zona perumahan masyarakat penghasilan rendah, merupakan daerah tempat tinggal para buruh pabrik berupa rumah tua dengan kepadatan tinggi. 4. Zona perumahan masyarakat penghasilan menengah keatas, merupakan kawasan hunian masyarakat berkelas dengan tingkat kerapatan bangunan sedang karena masih terdapat jarak antar bangunan. 5. Zona penglaju (commuter), yaitu zona pinggiran yang merupakan tempat bermukim masyarakat penglaju yaitu masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran namun bekerja di pusat kota. Keterangan : 1. Zona Kawasan Pusat Bisnis 2. Zona Pabrik Ringan 3. Zona Permukiman kelas Rendah 4. Zona Permukiman kelas Menengah Keatas 5. Zona Penglaju (commuter) Gambar 4. Teori Konsentri (Burgess) B. Teori Sektoral (Homer Hoyt tahun 1939) Teori ini dikemukakan oleh seorang ekonom bernama Homer Hoyt pada tahun Hoyt mengemukakan bahwa perkembangan yang terjadi pada suatu kota akan mengarah keluar pusat kota dan membentuk sektor-sektor baru, dimana pengelompokan tata guna lahan yang terjadi akan membentuk pola seperti irisan kue tar. Perkembangan dalam sector-sektor tersebut kemudian oleh para analis ruang dihubungkan lagi dengan latar belakang kondisi geografi dari kota yang bersangkutan dan jalur transportasi yang ada. Hoyt juga mengemukakan bahwa pajak tanah dan bangunan juga berbedabeda berdasarkan sektor-sektor yang terbentuk. Jadi, tidak berarti bahwa pajak tertinggi harus berada di dekat pusat kota seperti halnya teori Burgess. Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori sektoral dapat dilihat pada Gambar 5.

51 26 Keterangan : 1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (CBD) 2. Zona Industri (pabrik ringan) 3. Zona Permukiman kelas Rendah 4. Zona Permukiman kelas Menengah 5. Zona Permukiman kelas Atas Gambar 5. Teori Sektoral (Homer Hoyt) Berdasarkan teori sektoral ini, ditemukan pula bahwa makin ke pusat kota (dalam sektor yang sama) bangunan gedung atau perumahan makin kuno, dan juga makin ke pusat kota fungsi industri semakin berkurang atau mengalami perubahan. Sebaliknya perindustrian lebih berkembang pesat di wilayah pinggiran kota dimana zona sektornya cenderungan lebih besar. C. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman - Tahun 1945) Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1945, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Readings In Urban Georaphy. Mereka berpendapat, meskipun pola konsentris dan pola sektoral suatu kota memang ada, namun kenyataannya lebih kompleks dari apa yang sekedar di teorikan oleh Burgess dan Hoyt. Dijelaskan secara khusus bahwa pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat akan menjadi lebih kompleks polanya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat baru yang masing-masing akan berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Di sekitar kutubkutub baru tersebut akan mengelompok tata guna lahan yang bersambungan secara fungsional. Keadaan seperti itu akan melahirkan struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Tempat-tempat yang merupakan inti-inti (Nucleus) dapat berupa pelabuhan udara, universitas, kawasan industry, pelabuhan laut, ataupun stasiun-stasiun besar. Yang memiliki Nucleus bukan hanya kota, melainkan juga desa-desa besar atau kota-kota kecil yang pusatnya merupakan pusat pelayanan bagi penduduk. Kemudian di sekitarnya terjadi pengelompokan tata guna lahan dengan pertimbangan keuntungan ekonomis. Industri mencari lokasi dekat terminal transportasi, sedangkan perumahan baru mencari lokasi dekat dengan pusat-pusat perbelanjaan.

52 27 Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori inti ganda ini dijelaskan pada Gambar 6: Keterangan : 1. Zona CBD 2. Zona pabrik ringan 3. Perumahan masyarakat kelas rendah 4. Perumahan masyarakat kelas sedang 5. Zona perumahan masyarakat kelas atas 6. Zona pabrik-pabrik besar 7. Pusat perdagangan dipinggiran kota 8. Zona perumahan penglaju (Commuter) 9. Zona daerah industry diluar kota Gambar 6. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman) Teori Wilayah Inti dan Hinterland Urban Fringe dapat diartikan sebagai wilayah pinggiran. Selain dalam pengertian batas administratif, wilayah pinggiran biasanya juga merupakan daerah transisi antara built up areas dan non built up areas. Secara fisik, wilayah pinggiran tersebut dapat dicirikan oleh kegiatan pedesaan (rural) yang bercampur dengan kegiatan perkotaan (rural-urban), atau dapat juga wilayah tersebut sudah fully build-up. Bergantung pada lokasinya, setiap wilayah pinggiran mempunyai karakteristik unik tersendiri. Friedmann (1967) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general. Friedmann mengemukakan teori wilayah intinya yang berjudul A General Theory of Polarized Development dan teori lainnya tentang pengembangan wilayah yang berjudul Regional Development and Planning. Menurut Friedmann, di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions atau hinterland. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut juga daerah pedalaman atau daerah sekitar. Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi kumulatif yang berasal dari sejumlah kecil pusat-pusat pertumbuhan, yang terletak pada titik interaksi yang memiliki potensi tertinggi. Pembangunan inovatif

53 28 cenderung menyebar keluar dari pusat-pusat (wilayah inti) ke daerah-daerah yang lebih rendah yang mempunyai potensi interaksi yang baik (Gambar 7). Daerah Inti Daerah Pinggiran Daerah Pinggiran Gambar 7. Daerah inti dan daerah pinggiran (urban fringe) Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, atau kota metropolitan, ataupun kota megapolitan yang dikategorikan sebagai daerahdaerah inti (sentral), sedangkan daerah-daerah pinggiran yang relatif statis merupakan subsistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh aktifitas di daerah inti yang artinya bahwa daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Wilayah inti dan daerah pinggiran secara bersama-sama membentuk suatu sistem spasial yang lengkap. Proses dimana daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran dilakukan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik. Menurut Hasen (1972) dalam Rahardjo (2004) pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: a. Pengaruh dominasi, yaitu dengan cara melemahkan perekonomian didaerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya SDA/SDM dan modal ke wilayah inti. b. Pengaruh informasi, yaitu peningkatan dalam interaksi potensial yang dapat menunjang pembangunan inovatif. c. Pengaruh psikologis, penciptaan kondisi yang memicu terjadinya kegiatan inovatif yang lebih nyata. d. Pengaruh mata rantai, yaitu kecenderungan inovasi-inovasi yang ada untuk menghasilkan inovasi baru lainnya. e. Pengaruh produksi, yaitu penciptaan struktur balas jasa yang menarik untuk menghasilkan interaksi yang lebih inovatif. Pada umumnya daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap daerah sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus,

54 29 seperti : sebagai pusat perdagangan dan industri, serta pusat pemerintahan. Sehubungan dengan peranan wilayah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann (1967) mengemukakan 5 (lima) preposisi utama sebagai berikut : 1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah sekitarnya melalui sistem suplai, pasar, dan wilayah administrasi. 2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya. 3. Sampai pada suatu titik tertentu, pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan system spasial, akan tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan wilayah inti ke daerah sekitarnya tidak berhasil diciptakan sehingga nilai ketergantungannya menjadi rendah. 4. Dalam suatu system spasial, hirarki daerah inti ditetapkan berdasarkan kedudukan fungsionalnya masing-masing, seperti karakteristik dan prestasi yang dimiliki. 5. Kemungkinan inovasi-inovasi akan ditingkatkan ke seluruh sistem spasial dengan cara mengembangkan pertukaran informasi. Meskipun hubungan antara daerah inti daerah pinggiran sebagai kerangka dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan regional masih dianggap sederhana dan masih bersifat umum, namun hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menjelaskan hubungan dan ketergantungan antara daerah pusat dengan wilayah disekitarnya Perkembangan Kota Baru (New Town) Fenomena kota baru sesungguhnya bukanlah hal baru dalam sejarah pengembangan kota di Indonesia. Dalam dasawarsa terakhir, pengembangan kota baru menjadi trend sebagai salah satu isu pokok dalam pengembangan kota di Indonesia, khususnya dalam rangka pengembangan kota-kota Metropolitan. Pengembangan kota baru akhir-akhir ini seringkali diartikan sebagai pengembangan permukiman skala besar di wilayah-wilayah metropolitan. Dalam hal ini, pembangunan kota baru menjadi sangat kompleks dan sangat terkait dengan berbagai aspek kehidupan, seperti: masalah lingkungan, pertanahan, transportasi, pembebasan lahan, peluang lapangan kerja dan sektor bisnis yang cukup menggiurkan sampai pada aspek perencanaan kota.

55 30 A. Pengertian Umum Kota Baru Advisory Commission on Inter-governmental Relations (Pei dan Verma, 1972) dalam Sujarto (1993) memberikan pengertian tentang kota baru sebagai Permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar sehingga: a) memungkinkan untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis rumah tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam permukiman itu sendiri; b) dikelilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dengan wilayah pertanian di sekitarnya dan juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya; c) dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu proporsi peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, perumahan, fasilitas dan utilitas umum serta ruang terbuka, pada proses perencanaannya; dan d) dengan mempertimbangkan fungsi kota serta lahan yang tersedia dapat ditentukan pola kepadatan penduduk yang serasi. Berdasarkan masa perencanaan dan perkembangannya, Osborn dan Whittick (1963) menekankan bahwa kota baru sebenarnya merupakan alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman yang tersebar secara tidak terkendali serta kemacetan di kota-kota besar yang disebabkan semakin berkembangnya kegiatan usaha dan penduduk kota besar akibat perkembangan industri secara besar-besaran pada awal abad ke-20. Yudohusodo (1988) menjabarkan beberapa pengertian Kota Baru menurut beberapa ahli perencana kota sebagai berikut: Von Hertzen dan Spreiregen (1973), memberikan pengertian kota baru dari segi letak geografisnya adalah suatu kota yang direncanakan, didirikan, dan dibangun di atas suatu lahan perawan yang terlepas sampai suatu jarak tertentu yang jelas dari suatu kota induk yang lebih besar. Golany (1978) mengemukakan pengertian kota baru sebagai kota khusus yang dikembangkan sehubungan adanya upaya pengembangan fungsi tertentu seperti kota pengusahaan industri, kota pertambangan, kota perkebunan, kota penunjang instalasi tertentu seperti instalasi militer. Selanjutnya dikemukakan dalam wawasan yang lebih luas suatu pengertian kota baru bahwa tidaklah selalu dibangun sama sekali baru di atas suatu wilayah lahan perawan, tetapi juga mungkin merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan permukiman pedesaan atau kota kecil secara total menjadi kota lengkap yang mandiri.

56 31 Dengan melandaskan pada beberapa pengertian tentang kota baru di atas, maka secara umum kota baru dapat diartikan sebagai berikut (Sujarto dan Benedictus, 1989): 1. Ditinjau dari segi letak geografisnya, kota baru adalah kota yang mandiri yang direncanakan, didirikan atau dibangun di atas suatu lahan perawan pada suatu jarak tertentu yang jelas, terlepas dari kota induk yang lebih besar atau kotakota lainnya sebagai alternatif mengatasi masalah perkotaan (pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali, kekurangan perumahan, dan kemacetan lalulintas), yang kemudian dikembangkan secara lengkap dengan pertimbangan proporsi peruntukan lahan yang sesuai. 2. Ditinjau dari segi fungsionalnya, kota baru adalah kota khusus yang dikembangkan sehubungan dengan adanya upaya pengembangan fungsi tertentu misalnya kota pemerintahan, kota industri, kota pertambangan, kota perkebunan, kota penunjang instalasi, dan lain-lain, sehingga kota tersebut tidak selalu dibangun di atas suatu wilayah lahan perawan, akan tetapi merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan permukiman pedesaan atau kota kecil secara total. B. Faktor Perkembangan dan Klasifikasi Kota Baru Pengembangan dan perkembangan kota baru dalam berbagai kurun waktu dilandasi oleh berbagai motivasi yang berbeda. Perwujudan pengembangan kotakota baru ini kemudian sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai faktor. Secara deskriftif mengenai evolusi kota baru, maka dapat diidentifikasikan bahwa sesuai dengan fungsi tujuannya kota baru sangat bervariasi dari segi lokasi, jenis, dan pola fisiknya. Golany (1978) menjelaskan bahwa ditinjau dari letak geografisnya, kota baru dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu: 1. Kota baru dalam kota (New Town in Town), yaitu suatu lingkungan baru berskala besar yang dikembangkan pada wilayah kantong yang belum terbangun di dalam kota atau di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan kota induk. 2. Kota baru satelit (Dormitory Town), yaitu suatu lingkungan baru berskala besar yang dikembangkan sebagai tempat tinggal yang letaknya terpisah pada jarak tertentu dari kota induk, tetapi secara fungsional sangat tergantung pada kota induk.

57 32 3. Kota baru mandiri (Independent New Town), yaitu suatu kota baru yang dikembangkan dengan tujuan membentuk kota yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha penduduknya. Contoh: kota baru pemerintahan 4. Kota baru khusus, yaitu kota baru yang dikembangkan sehubungan dengan kegiatan tertentu, seperti: kemiliteran, pertambangan, dan perkebunan. Kota baru khusus ini dapat bersifat mandiri ataupun satelit terhadap kota induknya. Selanjutnya, Sujarto (1993) mengklasifikasikan kota baru secara fungsional menjadi 2 (dua) macam yaitu kota baru mandiri dan kota baru penunjang (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi Kota Baru di Indonesia Sifat dan Kemampuan Jenis Kota Baru Fungsi Kota Kota Baru 1. Kota Baru Mandiri 1. Kota Umum Pusat Pemerintahan 2. Kota Perusahaan Industri Pertambangan Kehutanan 3. Kota Khusus Militer Pusat Penelitian Pusat Rekreasi Permukiman Khusus 2. Kota Baru Penunjang 1. Kota Baru Satelit Permukiman skala besar 2. Kota Baru Metropolitan Permukiman skala besar tetapi sebagian besar penduduknya bekerja di kota inti. Sumber : Sujarto D (1993) Pola Perkembangan Kota A. Pola dasar lokasi kota Pola perkembang kota menggambarkan pola perkembangan suatu kota dilihat dari aspek dimensi (ukuran) dan bentuk ruang yang berbeda-beda. Setiap pola merupakan hasil pembentukan dari fungsi-fungsi dan infrastruktur, yang telah ditetapkan pada lokasi tertentu. Gallion et al. (1992) menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) pola dasar lokasi kota dalam ukuran dan bentuk, yaitu : 1. Pola linier, yaitu pola perkembangan kota yang berjajar disepanjang jalur transportasi (misalnya : jalan, rel kereta api, sungai, dan garis pantai). 2. Pola berkelompok, yaitu pola kota yang terbentuk akibat dari pemusatan aktivitas (misalnya: kota industri yang menyebabkan aktivitas penduduk terkonsentrasi pada kegiatan industri di kota tersebut).

58 33 3. Pola hierarki, yaitu pola yang terbentuk dari kumpulan beberapa kota dengan ukuran yang berbeda dalam suatu wilayah, sehingga membentuk pola yang teratur. Gambar 8. Pola dasar lokasi kota dalam ukuran dimensi dan bentuk B. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan Semakin besar skala suatu kota semakin beragam pula aktivitas komersial penduduk kota tersebut, yang ditunjukkan dengan semakin beragamnya penggunaan lahan oleh berbagai kategori bangunan. Secara fungsi, kategori utama penggunaan bangunan di daerah perkotaan terdiri dari : permukiman, komersial, industri, pusat pemerintahan, sarana dan prasarana kota serta fasilitas umum lainnya. Jalur-jalur transportasi yang direpresentasikan dalam bentuk jaringan jalan merupakan pembentuk pola penggunaan lahan yang paling dominan. Pada awalnya penempatan bangunan-bangunan hanya menunjukkan pola sirkulasi setempat, dimana bangunan-bangunan tersebut diatur menurut pola jalan yang tersedia. Seiring dengan perkembangan yang terjadi, akan terbentuk kelompokkelompok bangunan yang saling berhubungan satu dengan lainnya, demikian juga dengan jaringan utilitas dan fasilitas umum lainnya. Jalur transportasi dan utilitas kota menjadi pembentuk utama pola penggunaan lahan dan penyebaran bangunan di kota. Sejak awal pertumbuhan, berbagai kegiatan usaha akan memilih lokasi strategis di sepanjang jalur-jalur lalu lintas utama dan di tempat-tempat yang menjadi konsentrasi aktivitas komersial.

59 34 Gambar 9 berikut adalah contoh pola umum perkembangan permukiman kota: Gambar 9. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan 2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sejak tahun 1984 konsep pembangunan berkelanjutan menjadi pusat perhatian dalam pertimbangan kebijakan di seluruh dunia sebagai basis dari upaya mewujudkan pembangunan yang seimbang. Laporan WCED (World Commision on Environment and Development dalam Our Common Future (1984), menyampaikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut: sustainable development is development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Prinsipnya bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan merupakan kerangka pikir yang telah menjadi wacana internasional. Kerangka pikir ini kemudian disepakati oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia didalam KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 untuk digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembangunan. Hasil KTT Bumi tersebut dikenal dengan Agenda 21. Menurut Soemarwoto (2002) pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh

60 35 jika tergantung pada keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Beberapa sumber daya alam seperti bahan mineral (tambang) termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti tanaman pangan, air dan udara termasuk renewable. Lebih lanjut Timmer dan Kate (2006) menjelaskan bahwa keberlanjutan (sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif kepada generasi masa yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri-sendiri. Oleh karena itu perlu mengembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan. Menurut WCED World Commision on Environment and Development (1987) terkandung 2 gagasan penting dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu : a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diprioritaskan. b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan. Beberapa pengertian lain terkait pembangunan berkelanjutan dalam Agenda 21 Sektoral (UNDP, 1997) sebagai berikut: Dunia masa mendatang tergantung pada keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumber daya energy dan proteksi lingkungan secara harmonis. Pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan aspek ekonomi, lingkungan, sosial, dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan genersai mendatang dapat dipenuhi. Penafsiran tentang pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangusng secara terus menerus dan berkesinambungan. International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat mendapatkan elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti: pangan yang cukup, sandang, pemukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan Saroso (2002) dalam Santoso (2009).

61 36 Munasinghe et al. (1995) mengemukakan bahwa aspek-aspek penting pembangunan berkelanjutan meliputi: 1) keberlanjutan ekonomi, 2) keberlanjutan ekologi dan 3) keberlanjutan sosial. Menurut Djayadiningrat (2001) bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal sebagai berikut : (1) keberlanjutan ekologis, (2) keberlanjutan ekonomi, (3) keberlanjutan sosial budaya, (4) keberlanjutan politik, dan (5) keberlanjutan pertahanan keamanan. Pembangunan berkelanjutan menjadi gagasan yang sangat penting karena pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan eksploitasi sumberdaya yang berlebihan sehingga menyebabkan bencana lingkungan hidup. Penggunaan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti energi, bahan tambang, dan mineral memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Pembangunan berkelanjutan menuntut bahwa jauh sebelum batas-batas tersebut terlampaui, dunia harus menjamin seimbangnya akses ke sumber-sumber yang terbatas jumlahnya, serta sudah harus merubah arah teknologi yang dapat mengurangi tekanan terhadap sumber tersebut. Disamping itu, disadari bahwa setiap ekosistem tidak dapat dilestarikan secara persis karena pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan akan selalu membawa perubahan terhadap ekosistem (WCED, 1987). Didalam publikasi Our Common Future, dikemukakan beberapa pedoman/prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain : a. Prinsip Lingkungan (Ekologi) meliputi : melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, mengembangkan dan menerapkan strategi prefentif dan adoktif untuk menangggapi ancaman perubahan lingkungan global. b. Prinsip Sosial Politik meliputi : mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia, meyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Soemarwoto (2002) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi : (1) terpeliharanya proses ekologi yang essensial, (2) tersedianya sumber daya yang cukup, dan (3) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai. Selanjutnya Murdiyarso (2006) mengemukakan pokok-pokok pikirannya terhadap pembangunan berkelanjutan yakni perlu dijadikan pertimbangan karena

62 37 adanya keterbatasan planet bumi yang dapat disimpulkan menjadi 4 asumsi dasar yaitu: a) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), b) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi, c) terbatasnya lahan yang dapat ditangani, dan d) terbatasnya produksi per satuan luas lahan atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Dari berbagai definisi tersebut di atas secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dengan manusia sebagai tema sentralnya Pembangunan Kota Berkelanjutan (Sustainable Urban Development) Sebuah paradigma yang menjadi fokus pembangunan kota berkelanjutan adalah keberkelanjutan kota itu sendiri (sustainable city). Konteks keberlanjutan tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah administrasi kota melainkan lebih luas lagi cakupannya meliputi seluruh fungsi wilayah perkotaan (urban sustainability). Ketika akan mewujudkan kota berkelanjutan disadari bahwa daya dukung lingkungan yang terbatas menyebabkan ekspansi kota sulit dilakukan, yang pada akhirnya tidak membuat wilayah perkotaan menjadi berkelanjutan. Menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan sangat krusial karena aktifitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam kebaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, cultural dan ekonomi (Sujarto, 2005). Lebih lanjut Sujarto (2005) menyatakan bahwa suatu kota berkelanjutan adalah: 1. Mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan perkotaan-pedesaan, 2. Memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat, 3. Kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi masyarakat, 4. Konservasi sumber daya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem, 5. Mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya, 6. Menyediakan akses yang sama terhadap pelayanan untuk semua warga, 7. Memprioritaskan opsi dan mensinergikan sosial, ekonomi dan lingkungan, 8. Mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis, dan 9. Menghormati ilmu pengetahuan dan kreatifitas penduduk lokal.

63 38 Menurut Sarosa (2002) bahwa kota berkelanjutan memiliki beberapa karakteristik antara lain : a) tata guna lahan yang terintegrasi dengan rencana transportasi; b) pola tata guna lahan; c) tata guna lahan yang membantu melindungi sember daya air; d) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang; e) kota yang manusiawi, pasar, ruang hijau, pedestrian; f) mendukung kota menjadi lebih kompak. Manuwoto (2006) menyarankan manajemen perkotaan yang efektif untuk mendukung keberhasilan pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan perumahan masa depan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat dengan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan, kekeluargaan, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk mencapai keberlanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak akan dapat memecahkan permasalahannya sendiri, dimana peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya sistem pelaku majemuk akan menggantikan sistem pelaku tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Dimasa depan akan terdapat titik majemuk kewenangan, pengaruh, dan tantangan yaitu bagaimana memberdayakan pihak pihak tersebut agar dapat bekerjasama secara kooperatif. Manfaatnya adalah terciptanya kepercayaan dan koneksi sosial (Social Capital) yang terus terakumulasi, dan pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu : menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korup, menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non pemerintah (Alexander, 1977) Pembangunan Permukiman Berkelanjutan Pembangunan permukiman yang berkelanjutan merupakan pembangunan permukiman yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini maupun masa depan secara merata. Ciri-ciri model pembangunan yang berkelanjutan adalah berwawasan lingkungan dan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, falsafah, hukum, dan perundang-undangan. Model ini berusaha mencapai keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Terwujudnya manusia Indonesia yang mampu membina lingkungan hidup, dan terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

64 39 Dengan pola pembangunan berkelanjutan, kualitas lingkungan ditingkatkan dan kerusakan lingkungan ditekan menjadi sekecil mungkin. Menurut Hertzen et al. (1973) bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan adalah pembangunan perumahan yang memperhatikan perencanaan sosial mencakup pelayanan sosial, partisipasi masyarakat, organisasi dan metode, informasi, ketrampilan dalam perencanaan, komunikasi, dan manajemen. Pembangunan permukiman yang berkelanjutan diartikan sebagai upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Sehingga dalam mewujudkan pembangunan permukiman yang berkelanjutan sangatlah penting untuk mempertimbangkan permukiman yang berwawasan lingkungan (Kirmanto, 2002). Beberapa konsep yang pernah dikemukakan para pakar dalam melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah : pelestarian ekologi, teknologi hijau, dan mengatasi pencemaran lingkungan (Budiharjo et al., 1999). Lebih lanjut dijelaskan beberapa prinsip dasar pembangunan yang berkelanjutan terdiri atas: 1) Ekonomi, 2) Ekologi, 3) Equity, 4) Engagement, dan 5) Energi. Dua aspek yang sangat terkait dengan fisik pembangunan berkelanjutan adalah aspek ekologi dan energi yang dijabarkan sebagai berikut (Budihardjo, 1999): 1. Aspek ekologi : Pemanfaatan Sumberdaya Alam: konservasi sumber daya alam, pencegahan polusi dan penanggulangan bencana. Peraturan penggunaan tanah: penggunaan lahan campuran, menciptakan ruang-ruang terbuka, menetapkan batas perkembangan/pemekaran kota. 2. Aspek energi: Sumber energi: penghematan energi dan pemilihan sumber energi alternatif. Sistem transportasi: optimalisasi transportasi missal (public transportation). Bangunan: optimalisasi pencahayaan dan penghawaan alami. Berbagai konsep perencanaan kota yang berkelanjutan sudah dipaparkan oleh para pakar perencana kota seperti : The City of Tomorrow (Corbusier, 1977), Garden City (Howard, 1902), dan New Town (Osborn dan Whittick, 1963). Konsep-konsep para urban designer tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan dari Kota yang Berkelanjutan apabila manusia yang menghuni kota tersebut tidak menjalankan peran yang semestinya. Dengan kata lain dibutuhkan keterpaduan

65 40 dari semua bidang kehidupan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Konsep permukiman yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Indikator-indikator permukiman berwawasan lingkungan dijelaskan pada Gambar 10. (Sumber: Maclaren, 1996) Gambar 10. Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan didominasi oleh penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dipertimbangkan 4 (empat) hal utama, yaitu (Campbell, 1996): a. Socially and culturally suitable and accountable, yaitu pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung jawabkan; b. Politically acceptable, yaitu pembangunan yang secara politik dapat diterima; c. Economically feasible, yaitu pembangunan yang layak secara ekonomis; dan d. Environmentally sound and sustainable, yaitu pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan. Menurut Maclaren (1996) dalam mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan ada 4 komponen yang digunakan sebagai indikator, yaitu: Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Budaya. Jadi ketika kita berbicara tentang permukiman yang berwawasan lingkungan tidak hanya melibatkan indikator fisik saja melainkan juga indikator non-fisiknya. Kirmanto (2002) menjelaskan bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan adalah dengan menciptakan kawasan perumahan ekologis yang lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam merencanakan huniannya.

66 41 Gambar 11 menjelaskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk terwujudnya sebuah permukiman : (Sumber: Huovilla dan Pekka, 1999) Gambar 11. Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan Gambar diatas menjelaskan tentang komponen-komponen apa saja yang saling terkait dalam suatu kawasan perumahan mulai dari konsep perencanaan sampai kepada perumahan yang siap huni. Komponen tersebut yang akan berperan dalam mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan. Beberapa strategi perencaan kawasan permukiman yang berwawasan lingkungan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dibawah ini (Grant et al., 1996): Mengelola dan memelihara lingkungan supaya berfungsi dengan semestinya, seperti: tempat pembuangan sampah, drainase lingkungan dan sistem pembuangan air limbah. Meminimalisasi pengaruh bangunan pada lingkungan sekitar, contoh pemanfaatan ruang, fasilitas pelayanan, dan perencanaan infrastruktur yang efisien. Melindungi sumber-sumber alam dan sumberdaya lahan untuk generasi mendatang, seperti melindungi sumberdaya air, tanah, dan udara. Mengurangi dan mengolah limbah yang dihasilkan dari hunian agar tidak mencemari lingkungan. Meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam memelihara lingkungan. Menciptakan lingkungan sosial yang sehat, seperti keamanan dan kesehatan lingkungan (sanitasi).

67 42 Campbell (1996) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) konflik yang dapat terjadi dalam usaha mencapai tujuan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, yaitu : 1. Konflik Properti (Property Conflict), yaitu konflik yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, konflik antara pemilik rumah dan penyewa, atau konflik antara pengelola kawasan dan pekerja. 2. Konflik Sumberdaya (Resource Conflict), yaitu konflik tentang prioritas sumberdaya alam. Dari aspek bisnis sedapat mungkin memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana, namun pada saat yang bersamaan juga dibutuhkan kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam tersebut untuk kepentingan masa yang akan datang. 3. Konflik Pembangunan (Development Conflict), yaitu melaksanakan kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa harus merusak lingkungan hidup. Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development), undangundang penataan ruang dan undang-undang perumahan dan permukiman perlu ditaati dan kemampuan pemerintah perlu ditingkatkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi kemampuan daya dukung serta kelestarian lingkungan akan cenderung menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan tersebut (degradasi lingkungan). Oleh karena itu pembangunan permukiman harus diarahkan pada kondisi ideal atau berada pada kondisi daya dukung lingkungan yang optimal Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan Salim (2000) dalam bukunya Kembali ke Jalan Lurus mengemukakan bahwa pengalaman negara maju menunjukkan proses pembangunan yang mengubah struktur ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang selalu disertai dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Keperluan pembangunan dalam memenuhi kebutuhan permukiman mendorong permintaan akan ruang (lingkungan). Keterbatasan ruang di kota mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk membangun ke atas sehingga melahirkan konsep bangunan tinggi (high rise building). Di Indonesia, beberapa kota besar telah menunjukkan perkembangan bangunan tinggi yang cukup pesat. Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin mahalnya harga lahan di kota menjadikan pembangunan bangunan tinggi tak

68 43 dapat dihindari. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana menata bangunan tinggi yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa kehadiran bangunan tinggi membawa 2 (dua) dampak penting: Pertama, kehadiran bangunan tinggi yang mempengaruhi 1) sirkulasi udara/angin, penetrasi sinar matahari, ancaman api pada saat terjadi kebakaran, potensi kehancuran pada saat terjadi gempa, meningkatkan kebutuhan air dan menghasilan limbah buangan. Kedua, meningkatnya konsentrasi penduduk sehingga meningkatkan kepadatan penduduk. Lebih lanjut Salim (2000) menjelaskan bahwa pembangunan bangunan tinggi umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta mengingat dana yang dibutuhkan sangat besar sehingga terjadi pertumbuhan secara parsial yang menghasilkan serangkaian egoisme bangunan tinggi sebagai wajah kota. Danishworo mengecam tumbuhnya bangunan tinggi yang tidak tertata menyebabkan pola parcel development dimana setiap arsitektur berlomba-lomba menunjukkan ke-akuannya, sehingga menyebabkan polusi arsitektur. Hal ini ditengarai belum adanya sistem zonasi yang mantap pada suatu kawasan perkotaan. Bangunan tinggi juga membutuhkan aksesibilitas yang tinggi, sehingga gejala yang ditimbulkan selanjutnya adalah pola ribbon development di sepanjang jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas yang serius. Oleh karena itu, untuk menghindari pola parcel and ribbon development, perlu kiranya dilakukan zonasi seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka jalan bagi pengembangan zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/ Kabupaten, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan bangunan tinggi dalam proporsi yang wajar. 2.5 Ekosistem Lahan Gambut Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas didunia yaitu sekitar 20,6 juta hektar. Luasan tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia atau sekitar 10.8% dari luas daratan Indonesia (WI-IP, 2007). Indonesia juga merupakan negara ke-4 pemilik lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat Pengertian Lahan Gambut Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal

69 44 dari reruntuhan vegetasi diatasnya dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang cenderung basah dan selalu dalam kondisi tergenang air. Noor (2010) menjelaskan pengertian gambut secara harfiah sebagai onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa ratusan bahkan sampai ribuan tahun. Secara epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air, bersifat tidak mampat dan hanya mengalami dekomposisi sebagian. Beberapa ahli mengelompokkan lahan gambut sebagai lahan rawa dimana menurut Subagyo et al. (2005) lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang selalu jenuh air atau tergenang (waterlogged). Sementara menurut PP No. 27 Tahun 1991 lahan rawa adalah genangan air secara alamiah yang terjadi secara terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi maupun biologis. Menurut Subagyo et al. (2005) lahan gambut atau rawa gambut khususnya di daerah tropis tidak terdapat suatu definisi yang dapat memberikan suatu batasan yang jelas. Beberapa istilah mengenai lahan gambut lebih banyak merujuk pada daerah beriklim sedang atau yang memiliki empat musim (temperate), dimana padanan kata yang mengacu kepada lahan gambut adalah: bog, fen, peatland, mire, dan moor. Menurut Mitsch dan Gosselink (1986) dalam Subagyo et al. (2005) beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut: Bog : A wetland that accumulates peat with no significant hydrological inflow or outflow that support acidophilic mosses, particularly sphagnum. Fen : A wetland that accumulates peat that receives some drainage from surrounding mineral soil and usually supports marsh like vegetation. Peatland : A generic term of any wetland that accumulates partially decayed plant matter. Mire : Synonymous with any peat-accumulating wetland. Moor : Synonymous with any peat-accumulating wetland. A high moor is a raised bog, while a low moor is a peatland in a basin or depression that is not elevated above it s perimeter.

70 45 Kubah Gambut Sungai Tanah Organik Tanah Mineral Sungai (Sumber: WI-IP, 2002) Gambar 12. Ilustrasi penampang kubah gambut (dome) Gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 50 cm (Driessen, 1980). Menurut Soil Taxonomy, gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm tergantung dari berat jenis (Bulk Density) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya. Tanah gambut adalah tanah-tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (taksonomi tanah), tanah gambut disebut histosol (histos = tissue = jaringan). Dalam sistem klasifikasi lama, tanah gambut disebut dengan organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan tanah organik (WI-IP, 2007). Histosol adalah tanah yang tidak mempunyai sifatsifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, paralitik atau duripan apabila lebih dangkal. Histosol memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau lebih sifat-sifat berikut (Subagyo et al., 2005): a. Terletak di atas bahan-bahan sinderi, pragmental atau batu apung dan mengisi celah-celah diantara batu-batuan tersebut dan langsung dibawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik. b. Jenuh air selama 30 hari atau lebih, tiap tahun pada tahun-tahun normal (telah di drainase) mempunyai batas atas didalam 40 cm dari permukaan tanah. Lahan gambut mempunyai penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan di antara ekosistem daratan dan perairan. Sepanjang

71 46 tahun atau dalam jangka waktu yang panjang, lahan gambut selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang air. Tanah gambut menempati cekungan, depresi, atau bagian-bagian terendah di daerah lembah, yang penyebarannya terdapat di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan adalah lahan gambut yang terdapat didaerah rawa dataran rendah sepanjang dataran pantai. Hamparan lahan gambut yang sangat luas, pada umumnya menempati cekungan-cekungan yang terdapat diantara aliran sungai-sungai besar didekat muara, dimana gerakan naik turunnya tanah dipengaruhi pasang surut air laut. Masyarakat Kalimantan Barat mengenal tanah gambut sebagai tanah sepuk. Menurut Andriesse (1988) tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan > 40 cm. Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara tahun silam. Gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari tahun lalu. Hardjowigeno dan Abdulah (1989) mengemukakan bahwa proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Indonesia Luas lahan gambut dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. Indonesia merupakan Negara keempat dengan luas lahan gambut terluas didunia yaitu sekitar 17,2 juta ha, setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha) dan Amerika Serikat (40 juta ha) (Euroconsult 1984 dalam laporan WI-IP 2007). Namun berdasarkan beberapa data penelitian (Tabel 2), Indonesia sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropis terluas didunia, yaitu antara 13,5 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia sekitar 20 juta ha, maka angka tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia yang luasnya sekitar 37,8 juta ha (Rieley et al., 1997). Sebagai catatan, hingga saat ini data luas lahan gambut di Indonesia belum dibakukan, oleh karena itu data luasan yang dapat digunakan masih berkisar antara 13,5 26,5 juta ha. Menurut data Wetland International (2007), luas lahan gambut di Pulau Kalimantan tercatat ha dengan prediksi kandungan karbon sebesar ,55 juta ton karbon. Provinsi yang memiliki lahan gambut terluas adalah Kalimantan Tengah ( ha) atau sekitar 52% dari luas total gambut Kalimantan, menyusul Kalimantan Barat di urutan kedua ( ha) atau sekitar 29% dari luasan total.

72 47 Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia dan Kalimantan disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini: Tabel 2. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia menurut beberapa sumber. Sumber Data Luas Penyebaran Gambut (juta ha) Sumatera Kalimantan Papua Lainnya Total Driessen (1978) Puslittanah (1981) Euroconsult (1984) Soekardi & Hidayat (1988) Deptrans (1988) Subagyo et al. (1990) Deptrans (1990) Nugroho et al. (1992) Radjagukguk (1993) Dwiyono & Rahman (1996) (Sumber: WI-IP, 2007) Tabel 3. Luas sebaran dan kandungan karbon gambut di Kalimantan Provinsi Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon Kalimantan Barat ,19 juta ton Kalimantan Tengah ,52 juta ton Kalimantan Timur ,91 juta ton Kalimantan Selatan ,94 juta ton KALIMANTAN ,55 juta ton (Sumber: Subagyo et al., 2005) Luas gambut di Provinsi Kalimantan Barat tersebar di 9 (Sembilan) Kabupaten. Kabupaten dengan lahan gambut terluas adalah Kabupaten Ketapang ( ha), Kabupaten Pontianak pada urutan kedua ( ha) dan Kabupaten Kapuas Hulu pada urutan ketiga ( ha). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa kandungan karbon rata-rata per hektar lahan gambut adalah sebesar juta ton karbon/hektar.

73 48 Tabel 4. Luas sebaran dan kandungan karbon pada lahan gambut di Kalbar Kabupaten Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon Bengkayang ,21 juta ton Kapuas Hulu ,19 juta ton Ngabang ,55 juta ton Pontianak* ,47 juta ton Sambas ,65 juta ton Sanggau ,43 juta ton Singkawang ,32 juta ton Sintang ,32 juta ton Ketapang ,03 juta ton Kalimantan Barat 1.729, ,19 juta ton *pemekaran (Kab. Kubu Raya dan Kab. Pontianak) (Sumber : Subagyo et al., 2005) Tabel 5. Tingkat kedalaman gambut di Kalimantan Barat (Sumber: Subagyo et al., 2005) Keterangan: 1. Gambut Sangat Dangkal : < 0.5 m 2. Gambut Dangkal : m 3. Gambut Sedang : 1 2 m 4. Gambut Dalam : 2 4 m 5. Gambut Sangat Dalam : 4 8 m Luas Gambut berdasarkan ketebalan (ha) Kabupaten < 0.5 m m 1-2 m 2-4 m 4-8m Bengkayang Kapuas Hulu Ngabang Pontianak* Sambas Sanggau Singkawang Sintang Ketapang Kalimantan Barat

74 49 Berdasarkan tingkat kedalamannya, maka jenis gambut yang paling luas yang terdapat di Kalimantan Barat adalah jenis Gambut Sedang ( ha) atau sekitar 42% dari luas total gambut di Kalimantan Barat Sifat dan Karakteristik Gambut Tanah gambut juga memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik. Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi sebagai berikut : a. Sifat-sifat Fisik Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan, warna, berat jenis, porositas, kering tak balik (irreversible), penyusutan (subsidence) dan mudah terbakar. Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifatsifat fisik lainnya (Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut. Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan gambut. Menurut Hardjowigeno dan Abdullah (1989) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi gambut; kerapatan lindak, irreversible, dan subsidensi. Noor (2010) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: 1. Gambut kasar (fibrik) yaitu gambut yang memiliki > 2/3 bahan organik kasar. 2. Gambut sedang (hemik) yaitu memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan 3. Gambut halus (saprik) yaitu jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak atau berat volume (bulk density- BD) yang sangat rendah yaitu < 0,1 gr/cm 3 untuk gambut fibrik, gr/cm 3 untuk gambut hemik, dan > 0,2 gr/cm 3 untuk gambut saprik. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cm 3 maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapa dan kelapa sawit pada tanah gambut. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut

75 50 saprik dan hemik, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari gambut hemik dan saprik (Noor, 2010). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya dukung gambut. Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organic dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) sehingga permukaan gambut mengalami penurunan. Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai Selamat dapat mencapai 8 m, demikian pula pada daerah Rasau Jaya. Gambut juga memiliki warna yang bervariasi. Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman (Rumbang et al., 2009). Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut, dimana semakin matang warna gambut semakin gelap. Gambut fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap. b. Sifat Kimia Sifat kimia gambut lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi, tetapi secara umum ia memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini ditandai dengan sifat tanah yang masam (ph rendah), ketersediaan sejumlah unsure hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah. Gambut juga mengandung senyawa asam-asam organik yang beracun. Dengan demikian,

76 51 pengelolaan lahan gambut untuk pertanian membutuhkan perhatian ekstra dan biaya yang tidak sedikit Transformasi Karbon Gambut Transformasi karbon dari lahan gambut ditandai dengan terbentuknya asam-asam organik, CH 4 (methan) dan CO 2 (karbon dioksida) sebagai hasil akhir. Reaksi sederhana pelepasan CH4 dan CO 2 berasal dari gugus metoksil asam fenolat membentuk OH-fenolat dan melepaskan formaldehida (HCHO). HCHO yang dalam keadaan tereduksi akan menghasilkan CH 4, dan apabila teroksidasi akan menghasilkan CO 2. Pada kondisi lingkungan jenuh air (tergenang) dan kandungan O 2 yang rendah, dekomposisi lahan gambut akan melepaskan CO 2 dan CH 4. Perubahan penggunaan lahan (konversi) gambut akan mempengaruhi ketinggian muka air tanah gambut dan perubahan suhu yang drastis. Pada saat terjadi penurunan muka air tanah gambut, pada kondisi lahan terbuka tanpa vegetasi, akan mempercepat penetrasi sinar matahari dan menyebabkan suhu tanah gambut meningkat dan akan mencapai maksimum pada suhu 30º-40º C (Alexander, 1977). Kondisi ini menyebabkan meningkatnya rata-rata fluktuasi suhu harian. Suhu harian maksimum dan radiasi matahari sangat berkorelasi dengan meningkatnya emisi CH4 dan CO 2, dimana emisi tertinggi terjadi pada siang hari sekitar pukul waktu setempat Fungsi Ekologis Gambut Lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang sangat besar, yaitu fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan cadangan plasma nutfah. a. Fungsi Hidrologi Salah satu sifat yang menjadikan gambut berperan penting dalam system hydrology adalah kemampuannya yang bersifat seperti spons. Tanah gambut merupakan tanah organik yang menyerap air dalam jumlah yang sangat besar sehingga air hujan yang jatuh dapat diserap dan dapat mengurangi bahya banjir. Sabaliknya pada musim kemarau lahan gambut dapat melepas kembali air tawarnya sebagai aliran sungai/permukaan yang dapat dipergunakan oleh pemukiman disekitarnya (Andriesse,1988). Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak m 3 /m 3 (WI-IP,2003). Gambut disebut memiliki porositas yang tinggi karena daya serapnya yang sangat besar,

77 52 sehingga dalam kondisi jenuh gambut saprik dapat menyerap air sebesar 450%, sementara hemik % dan fibrik lebih dari 850% dari bobot keringnya. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila mengalami kondisi drainase yang berlebihan karena gambut memiliki sifat irreversible drying, porositas tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah, serta daya horizontal yang tinggi. Gambut yang telah mengalami kering tak balik akan memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan. Strukturnya lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, sulit menyerap air kembali dan sulit ditanami kembali. Fungsi hidrologi gambut tidak hanya di bidang pertanian dan pencegah banjir saja, tetapi juga berkaitan dengan fungsi sosial ekonomi seperti transportasi, kesehatan, dan ketersediaan ikan. Lahan gambut yang berada di daerah pesisir juga berfungsi untuk mencegah intrusi air laut b. Pengatur Iklim Global Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan berubahnya suhu dan distribusi curah hujan secara periodik. Menurut laporan IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi sebesar 0,6º ± 0,2º C. Kontribusi emisi CO 2 terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi lain seperti Freon (26%), ozon (10%), metan (8%) dinitrogen oksida (6%), dan gas lain (2%). Dalam laporan IPCC (2001) juga dijelaskan bahwa kontribusi karbon dioksida (CO2) terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20%) dan nitro oksida (6%). Sejak tahun 1980, konsentrasi CO 2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % per tahun, sekarang konsentrasinya diperkirakan sebesar 367 ppmb. Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai rosot karbon (gudang karbon). Total karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt, dimana konversi atau alih fungsi lahan gambut akan menjadi sumber emisi CO (Rieley et al., 2001). Lahan gambut tropika merupakan cadangan karbon terrestrial yang terpenting untuk diperhitungkan. Menurut WI-IP (2006) jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114 kg/m3 dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon terhitung besarnya 16 giga ton (1 giga ton = ton). 2 c. Biodiversity

78 53 Selain penyimpan cadangan karbon, hutan gambut juga mempunyai fungsi lain yang penting yaitu sebagai habitat bagi satwa-satwa liar. Musim berbunga dan berbuah di hutan gambut berbeda dengan tipe hutan dataran rendah lainnya, dimana hutan gambut menjadi tempat mengungsi dan mencari makan berbagai jenis hewan pada saat hutan dataran rendah yang lain mengalami musim paceklik. Sementara di Sumatera lebih dari 300 jenis tumbuhan ditemukan di hutan gambut. (WI-IP, 2007). Beberapa jenis tumbuhan spesifik lahan gambut antar lain: Jelutung, Ramin, Meranti, Terentang, Bungur dan lain-lain (WI-IP, 2007). Sedangkan satwa langka pada habitat ini antara lain: Orang Utan, Harimau Sumatera, Beruang Madu, dan Tapir. Rawa gambut juga memiliki ketersediaan ikan yang tinggi. Airnya yang asam dan miskin oksigen tidak menjadi hambatan bagi jenis ikan rawa yang umumnya disebut black fish. Salah satu jenis ikan yang hidup di rawa gambut adalah ikan arwana / siluk (scleropagus formosus) yang merupakan jenis ikan hias yang langka dan dilindungi. 2.6 Pendekatan Sistem dan Pemodelan Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang utuh dan keutuhan (wholeness) (Eriyatno, 2003). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forester (1971) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Manetsh dan Park (1977) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan. Handoko (2005) mendefinisikan sistem sebagai suatu mekanisme dimana berbagai komponen saling berinteraksi sedemikian rupa untuk melakukan fungsinya. Sistem adalah suatu mekanisme yang beroperasi di dunia nyata, sementara model adalah penyederhanaan dari sebuah sistem (Handoko, 2005). Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun system. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut (Sushil, 1993) dalam Eriyatno (2003): 1. Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi 2. Memiliki sifat yang utuh dan keutuhan (wholeness) 3. Memiliki satu atau segugus tujuan

79 54 4. Terdapat proses transformasi input menjadi output 5. Terdapat mekanisme pengendalian (feedback) yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forester, 1971) dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Dengan demikian kajian mengenai kebijakan pembangunan permukiman pada wilayah bergambut dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun model permukiman perkotaan berkelanjutan. Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memiliki beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forester, 1971). Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno (2003) menyatakan bahwa model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dengan istilah sebab akibat. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah. Hartrisari (2007) menjabarkan pengertian model menurut beberapa ahli sistem sebagai berikut: Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beranekaragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Hole (1977) model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk

80 55 meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak. Hanen (1997) model adalah pusat pemahaman terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan dan memanipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model kita dapat memahami pengaruh positif terhadap keputusan dalam kinerja ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian atau derajat keabstrakannya, namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno, 2003), yaitu: 1. Model Ikonik (Model Fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model Ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategorikan model simbolik. 2. Model Analog (Model Diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model analog adalah kurva permintaan, distribusi, frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses. 3. Model Simbolik (Model Matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu system lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Dalam pendekatan sistem pengembangan model (modelling atau pemodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitifitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model.

81 56 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Propinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kubu Raya merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak, dimana Sungai Raya merupakan salah satu dari kecamatan di Kabupaten Kubu Raya yang merupakan wilayah hinterland Kota Pontianak. Keterbatasan lahan dan semakin tingginya harga lahan di pusat Kota Pontianak menyebabkan kawasan Sungai Raya menjadi sasaran utama bagi penyebaran permukiman masyarakat Kota Pontianak karena harga lahan yang masih relatif murah. Sungai Raya juga dilalui oleh jalur arteri primer yang menghubungkan antara bandara Supadio dengan pusat kota Pontianak. Kawasan Sungai Raya Gambar 13. Peta Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling. Pemilihan lokasi di kawasan Sungai Raya didasarkan pada 3 pertimbangan, yaitu : (1) kawasan Sungai Raya mewakili kawasan permukiman perkotaan yang memiliki karakteristik lahan gambut, (2) kawasan Sungai Raya merupakan hinterland

82 57 Kota Pontianak yang mengalami kemajuan pembangunan yang cukup pesat, (3) penetapan kawasan Sungai Raya sebagai ibukota Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2007 menjadi indikasi bahwa akan terjadi metamorphosis kawasan dari wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan, dimulai pada bulan Mei 2011 Maret Pontianak (Kota Inti) Sungai Raya (Hinterland) Gambar 14. Hubungan dan keterkaitan antar Wilayah Kota 3.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dalam 3 (tiga) tahap kajian yang meliputi: 1) menganalisis tingkat keberlanjutan perumahan eksisting di kawasan Sungai Raya, 2) mengetahui preferensi dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tipologi perumahan yang diminati, dan 3) mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya. Adapun tahapan-tahapan kajian diatas dapat dicapai melalui pendekatan sistem dan beberapa indikator keberlanjutan yang meliputi tiga pilar pembangunan berkelanjutan ditambah aspek teknologi: 1. Aspek Ekologi. Pembangunan perumahan dan permukiman perkotaan di lahan gambut harus tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan,

83 58 dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip berwawasan lingkungan, seperti mencegah terjadinya pencemaran (air, tanah, dan udara), tetap menjaga eksistensi daerah resapan air, memperbanyak ruang terbuka hijau di beberapa sudut kota, menerapkan konsep pembangunan vertikal sebagai salah satu upaya mereduksi ekspansi lahan gambut terkait pemanasan global. 2. Aspek Ekonomi. Setiap kegiatan pembangunan harus tetap berpegang pada prinsip profit oriented, menguntungkan bagi pihak pengembang serta melibatkan beberapa stakeholders yang terkait, namun tetap berlandaskan pada asas keterjangkauan (affordable). 3. Aspek Sosial - Budaya. Pembangunan permukiman berbasis pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai penghuninya, tanpa menyalahi kaidah-kaidah dan aturan yang berlaku. Aspek budaya dalam hal ini adalah upaya mempertahankan local wisdom dalam bentuk arsitektur tradisional Kalbar. 4. Aspek Teknologi. Karakteristik lahan berupa lahan bergambut merupakan salah satu permasalahan dalam penelitian ini. Oleh karena itu sangat dibutuhkan rekayasa teknologi agar bangunan dapat berdiri kokoh dan stabil diatas lahan gambut. Sedangkan untuk tahap desain model ikonik perumahan dilakukan melalui pendekatan konsep hunian ramah lingkungan, yang didukung dengan penataan ruang terbuka hijau. Desain model juga mempertimbangkan aspek-aspek perancangan bangunan yang meliputi : utilitas (kegunaan), firmitas (kekuatan), dan venustas (keindahan). Ketiga tahapan penelitian tersebut akan dijelaskan secara rinci pada diagram bagan alir tahapan penelitian berikut ini :

84 TUJUAN KHUSUS PENDEKATAN INDIKATOR D A T A METODE ALAT ANALISIS 59 Menganalisis tingkat keberlanjutan tipologi perumahan eksisting di kawasan sungai Raya Menilai status keberlanjutan tipologi struktur bangunan (rumah panggung dan rumah tapak) Indikator Keberlnjutan Ekologi Ekonomi Sosbud Teknologi Tipologi struktur bangunan eksisting. Kuesioner hasil penilaian pakar Multi Dimensional Scalling (MDS) Rap-Peatsett (Rap-Fish) Mengetahui preferensi dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap perumahan yang diminati Untuk mengetahui minat dan preferensi masyarakat terhadap tipologi bangunan dan tipologi struktur. Karakteristik responden Daya beli (financial) Minat terhadap tipologi bangunan Pemahaman terhadap lingkungan Aspirasi masyarakat Kuesioner dan Interview MS Excel (Tabulasi dan Grafik) Mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya. Pendekatan Sistem Dinamik Model Ikonik (Fisik) : Sub Model Tipologi Sub Model Struktur Sub Model Spasial Model Dinamik : Sub Model Penduduk Sub Model Kebutuhan Rumah Pemilihan Model Skenario Pengembangan Permukiman GIS Studi Banding Studi Literatur Pemodelan CPI Arch GIS Desain Grafis Stella MS Excel Gambar 15. Bagan alir tahapan penelitian model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut

85 Batasan Penelitian Batasan (ruang lingkup) penelitian ini adalah : 1. Permukiman perkotaan yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi aspek perumahan (tipologi bangunan dan tipologi struktur) yang berkaitan dengan pemanfaatan dan karakteristik lahan. Sementara aspek sarana dan prasarana permukiman tidak dikaji secara spesifik. 2. Kajian tentang lahan gambut dalam penelitian ini terbatas pada sifat fisik dan karakteristik gambut yang terkait dengan pembangunan permukiman. Sementara sifat kimia, biologi, tingkat dekomposisi, dan pembentukan gambut tidak dikaji secara mendalam. 3. Batas wilayah studi hanya difokuskan pada kawasan permukiman perkotaan di Kecamatan Sungai Raya yang mencakup 5 Kelurahan, dan alokasi peruntukan lahannya telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya Wilayah perencanaan permukiman dibatasi oleh beberapa aturan seperti Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio dan pada lahan gambut dengan kedalaman < 3 meter (kawasan budi daya) (Kepres No. 32 Tahun 1990). 3.4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer (data lapangan) dan data sekunder (data instansi/lembaga terkait). A. Data primer, meliputi: karakteristik permukiman di kawasan Sungai Raya, penilaian pakar terhadap status keberlanjutan perumahan eksisting, data preferensi masyarakat, dan dokumentasi lapangan. B. Data sekunder, meliputi: peta administratif kawasan Sungai Raya (Pemda Kab. Kubu Raya), data Kabupaten Kubu Raya Dalam Angka 2011 dan Kecamatan Sungai Raya Dalam Angka 2011 (BPS), peta sebaran lahan gambut di Kalbar (Wetland International dan Balitbang Sumberdaya Lahan Bogor), peta penafsiran citra landsat 2009 dan peta alokasi peruntukan lahan permukiman di Sungai Raya (Bappeda Kubu Raya), dan studi pustaka (literature). Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui studi kasus dengan metode survey untuk mendeskripsikan kondisi fisik lingkungan, sosial, dan ekonomi lokasi penelitian. Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan pengamatan di lapangan (observasi), kuesioner, wawancara pakar (interview). Penentuan responden

86 61 pakar secara purposive sampling. Wawancara pakar dibutuhkan untuk mendapatkan informasi dan justifikasi kepakaran terhadap desain model permukiman perkotaan berkelanjutan di kawasan Sungai Raya, sesuai bidang keahlian masing-masing, seperti:, pakar struktur (sipil), pakar arsitektur, pakar gambut, pakar lingkungan dan institusi. Penentuan responden masyarakat dilakukan melalui 2 tahap, yaitu: 1) melakukan stratified sampling dengan membagi responden menjadi 2 kelompok, yaitu responden yang bermukim di Kota Pontianak dan responden yang bermukim di Kubu Raya (Sungai Raya) dengan jumlah sebanyak 70 responden, 2) setelah diketahui jumlah sampel pada masing-masing kelompok, selanjutnya penentuan sample dilakukan secara purposive random sampling (penunjukan acak) berdasarkan pertimbangan tingkat kesejahteraan yang dinilai dari kualitas status pekerjaan dan status kepemilikan rumah. Analisis terhadap persepsi masyarakat ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat masyarakat untuk bermukim di kawasan Sungai Raya, seperti : tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, umur, jumlah anak, lokasi perumahan, mata pencaharian, status kependudukan, dan status kepemilikan rumah. 3.5 Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan berdasarkan 3 (tiga) tahapan penelitian yang akan dilakukan masing-masing sebagai berikut : 1) Untuk menganalisis tingkat keberlanjutan perumahan eksisting di kawasan Sungai Raya menggunakan metode Multi Dimesional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal yang merupakan pengembangan dari metode Rap-Fish yang diberi nama Rap-Peatsett (Rapid Appraisal Peat Settlement). 2) Untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap perumahan yang diminati dilakukan dengan metode kuesioner dan wawancara. Jumlah total sampel adalah sebanyak 70 responden yang terdiri dari 35 responden yang bekerja dan Kota Pontianak dan 35 responden bekerja di Kawasan Sungai Raya. Sebanyak 70% responden berstatus belum memiliki rumah sendiri. 3) Untuk mendesain model permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut di kawasan Sungai Raya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu model ikonik dan model kebijakan (dinamik) melalui pendekatan sistem, yaitu suatu metode pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi kebutuhan yang menghasilkan suatu sistem operasional yang efisien. Model pembangunan permukiman yang dibangun didasarkan pada karakteristik lahan gambut yang terdapat di kawasan

87 62 Sungai Raya dan tipologi hunian yang sesuai dengan karakteristik lahan yang ada, serta faktor-faktor lain yang dianggap berpengaruh terhadap pencapaian tujuan. Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang di formulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (2003) sebuah pendekatan sistem memiliki tiga ciri yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik dengan 3 (tiga) pola dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam menjawab permasalahan, yaitu : (1) Sibernatik (cybernetic) yaitu berorientasi tujuan, (2) Holistik (holistic) yaitu cara pandang yang utuh terhadap sistem, dan (3) Efektif (effective) yaitu lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan, daripada pendalaman teoritis untuk mencari efisiensi keputusan. Alat analisis yang digunakan untuk mensimulasi interaksi antar variabel menggunakan tools Stella. Menurut Manetsch dan Park (1977), tahapan pendekatan sistem terdiri dari 6 (enam) tahapan, yang meliputi : (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi masalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi, dan (6) implementasi.

88 63 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kubu Raya Geografi Kabupaten Kubu Raya yang terletak di Propinsi Kalimantan Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Secara geografis, Kabupaten Kubu Raya berada di sisi Barat Daya Propinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0º 13'40,83 Lintang Selatan sampai dengan 1º 00'53,09 Lintang Selatan dan 109º 02'19,32 Bujur Timur sampai dengan 109º 58'32,16 Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, batas wilayah Kabupaten Kubu Raya adalah sebagai berikut: Utara : berbatasan dengan Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Barat : berbatasan dengan Laut Natuna Timur : berbatasan dengan Kabupaten Landak dan Kabupaten Sanggau Luas wilayah Kabupaten Kubu Raya mencapai 6.985,24 km2 atau ha yang terdiri atas 9 wilayah kecamatan. Ibukota Kabupaten Kubu Raya berkedudukan di Kecamatan Sungai Raya yang merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak sekaligus menjadi kawasan hinterland Kota Pontianak. Tabel 6. Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Kubu Raya No Kecamatan Ibukota Kecamatan Luas Area (km2) Persentase (%) 1 Batu Ampar Padang Tikar 2.002,70 28,67 2 Terentang Terentang 786,40 11,26 3 Kubu Kubu 1.211,60 17,35 4 Teluk Pakedai Teluk Pakedai 291,90 4,18 5 Sungai Kakap Sungai Kakap 453,17 6,49 6 Rasau Jaya Rasau Jaya 111,07 1,59 7 Sungai Raya Sungai Raya 929,30 13,3 8 Sungai Ambawang Sungai Ambawang 726,10 10,39 9 Kuala Mandor Kuala Mandor 473,00 6,77 Kabupaten Kubu Raya 6.985,24 100% Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011

89 64 Gambar 16. Persentase luas wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kubu Raya Kependudukan Penduduk Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2010 tercatat sebesar jiwa dengan rincian jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan. Kecamatan Sungai Raya memiliki populasi penduduk paling tinggi yaitu sebesar jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Kubu Rata tercatat sebesar 72 jiwa/km2. Penyebaran penduduk di Kabupaten Kubu Raya terlihat belum merata. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang cukup signifikan antara kecamatan yang paling padat yaitu Kec. Sungai Kakap (223 jiwa/km2) dan kecamatan yang paling jarang penduduknya yaitu Kec. Terentang (13 jiwa/km2). Urutan ke-2 adalah Kec. Rasau Jaya (212 jiwa/km2), dan Kec. Sungai Raya menempati urutan ke-3 dengan kapadatan 202 jiwa/km2. Sementara untuk kepadatan penduduk per jumlah desa, Kec. Sungai Raya menempati urutan pertama yaitu sebesar jiwa/desa. Sex rasio pada tahun 2010 tercatat 104 artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 104 penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kubu Raya tahun 2009 tercatat 1.64% dan menunjukkan peningkatan pada tahun 2010 yaitu sebesar 2.15% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Raya dari tahun 2009 (1.5%) dan tahun 2010 (2.05%) menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, hal ini antara lain disebabkan pesatnya kegiatan pembangunan di Sungai Raya sejak ditetapkannya Sungai Raya sebagai Ibukota Kabupaten Kubu Raya tahun 2007 (Tabel 7). Fungsi permukiman, perdagangan dan jasa mulai marak dan berkembang pesat di kawasan Sungai Raya semenjak sepuluh tahun terakhir.

90 65 Tabel 7. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk per kecamatan di Kabupaten Kubu Raya Sumber: BPS Kab. Kubu Raya, 2011 Tabel 8 Luas area, jumlah penduduk dan kepadatan perduduk per kecamatan Sumber: BPS Kab. Kubu Raya, 2011

91 66 Tabel 9 Jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga per kecamatan Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011 Berdasarkan jumlah rumah tangga yang tersebar di masing-masing kecamatan, maka Kecamatan Sungai Raya memiliki jumlah rumah tangga yang paling banyak yaitu sebesar KK. Hal ini menunjukkan bahwa permukiman penduduk terkonsentrasi di Kecamatan Sungai Raya, dengan jumlah anggota keluarga di tiap rumah tangga adalah 4 orang Kebijakan Penataan Ruang Kabupaten Kubu Raya Sejak ditetapkannya kawasan Sungai Raya sebagai Ibukota Kabupaten Kubu Raya tahun 2007, kawasan tersebut mengalami kemajuan pembangunan yang cukup pesat. Kawasan Sungai Raya menjadi kawasan strategis yang peruntukannya telah di tetapkan didalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya yang meliputi : 1. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya menetapkan pusat-pusat kegiatan melalui pembagian wilayah pembangunan menjadi 3 wilayah kegiatan, yaitu : a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN), meliputi : Kec. Sungai Raya. b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL), meliputi : Kec. Sungai Kakap, Kec. Rasau Jaya, Kec. Kubu, Kec. Batu Ampar dan Kec. Sungai Ambawang.

92 67 c. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK), meliputi: Kec. Terentang, Kec. Teluk Pakedai, dan Kec. Kuala Mandor. 2. Kecamatan Sungai Raya ditetapkan sebagai salah satu kawasan peruntukan permukiman perkotaan di Kabupaten Kubu Raya, selain Kec. Sungai Kakap, Kec. Rasau Jaya dan Kec. Sungai Ambawang. 3. Kawasan Sungai Raya juga ditetapkan sebagai kawasan peruntukan lain yaitu sebagai kawasan peruntukan perdagangan dan jasa. 4. Sungai Raya termasuk dalam kawasan strategis provinsi yang berupa kawasan Metropolitan Kota Pontianak dengan sektor unggulan dibidang perdagangan dan jasa, industri, dan pariwisata. 5. Posisi strategis lainnya yaitu dengan dilalui jalan arteri primer (jalan nasional) yang menghubungkan antara bandara Supadio dengan beberapa kota dan kabupaten di Kalimantan Barat. 4.2 Gambaran Umum Kecamatan Sungai Raya Geografi Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya, maka ditetapkan Sungai Raya sebagai tempat kedudukan Ibukota Kabupaten Kubu Raya. Luas wilayah Kecamatan Sungai Raya tercatat ha yang secara administratif terdiri atas 14 kelurahan/desa. Batas wilayah Kecamatan Sungai Raya adalah sebagai berikut: Utara : Kecamatan Pontianak Timur dan Kecamatan Sungai Ambawang. Selatan : Kelurahan Sungai Asam dan Kelurahan Sungai Bulan. Barat : Kecamatan Pontianak Selatan dan Kecamatan Sungai Kakap Timur : Kecamatan Toba dan Kecamatan Tayan (Kabupaten Sanggau) Kelurahan atau desa yang termasuk dalam zonasi kawasan perkotaan di Kecamatan Sungai Raya meliputi: 1) Desa Sungai Raya, 2) Desa Teluk Kapuas, 3) Desa Arang Limbung, 4) Desa Limbung dan 5) Desa Kuala Dua. Sebagian besar wilayah Kecamatan Sungai Raya (kawasan perkotaan) termasuk dalam zonasi Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio yang dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Barat. Batas-batas administrasi Kecamatan Sungai Raya dan zonasi KKOP Bandara Supadio disajikan pada Gambar 17.

93 68 Gambar x. Peta wilayah administratif Kecamatan Sungai Raya Sumber : Dinas PU Prov. Kalbar, 2010 Gambar 17. Batas wilayah Kecamatan Sungai Raya dan zonasi KKOP

94 69 Tabel 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan di Kecamatan Sungai Raya Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, Kependudukan Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 tercatat jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk menunjukkan peningkatan dari tahun 2009 hanya sebesar 1.5%, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 2% per tahun. Kelurahan dengan jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kelurahan Sungai Raya yaitu sebesar jiwa atau sekitar 32% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya. Urutan ke-2 adalah Kelurahan Kuala Dua dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, dan Kelurahan Arang Limbung pada posisi ke-3 yaitu sebesar jiwa. Sex rasio penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 sebesar 104, sebelumnya pada tahun 2008 dan 2009 tercatat sebesar 101. Tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Sungai Raya jika dibandingkan dengan luas wilayahnya masih tergolong rendah. Kepadatan penduduk mencapai jiwa/km 2 (22 jiwa/ha) yang merupakan kelurahan dengan tingkat kepadatan paling tinggi. Kelurahan Limbung diurutan ke-2 yaitu sebesar jiwa/km 2 (11 jiwa/ha) dan Kelurahan Kapur sebesar jiwa/km 2 (10 jiwa/ha).

95 70 Tabel 11. Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011 Tabel 12. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011

96 71 Tabel 13. Jumlah penduduk dan jumlah KK di Kecamatan Sungai Raya Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011 Tabel 14. Sebaran penduduk di Kecamatan Sungai Raya tahun 2010 menurut kelompok umur dan jenis kelamin Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011

97 72 Tabel 15. Jumlah penduduk di Kelurahan/Desa Sungai Raya tahun 2010 menurut kelompok umur dan jenis kelamin Sumber : Kecamatan Sungai Raya Dalam Angka 2011 Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, Posisi Strategis Kawasan Sungai Raya Kawasan Sungai Raya merupakan salah satu kawasan strategis di Kabupaten Kubu Raya yang terletak di Kecamatan Sungai Raya. Hal ini disebabkan posisi kawasan Sungai Raya yang berstatus sebagai hinterland Kota Pontianak yang mengalami kemajuan cukup pesat khususnya dibidang pembangunan permukiman. Beberapa posisi strategis kawasan Sungai Raya antara lain meliputi : Sungai Raya merupakan tempat kedudukan ibukota Kabupaten Kubu Raya. Sebagai ibu kota Kabupaten, kawasan Sungai Raya merupakan pusat permukiman, kegiatan perekonomian, pemerintahan dan sosial budaya bagi wilayah lainnya di Kabupaten Kubu Raya. Dengan adanya pusat-pusat pemerintahan di Sungai Raya akan berpotensi meningkatkan arus urbanisasi di kawasan tersebut. Sungai Raya sebagai Pusat Permukiman Perkotaan di Kabupaten Kubu Raya. Hal ini akan menyebabkan pesatnya pertumbuhan permukiman kota di kawasan Sungai Raya, dimana penduduk yang nantinya bermukim di Sungai

98 73 Raya tidak semata-mata penduduk Kabupaten Kubu Raya saja melainkan juga penduduk Kota Pontianak yang berstatus sebagai commuter. Sungai Raya ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu Raya tahun Sebagai pusat kegiatan nasional, Sungai Raya berpotensi menjadi kawasan perkotaan yang menjadi sentral dari pusat-pusat pertumbuhan wilayah disekitarnya. Hal ini juga akan memicu terjadinya migrasi para pendatang dari luar Provinsi Kalimantan Barat. Sungai Raya merupakan Hinterland Kota Pontianak. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak, menjadikan Sungai Raya sebagai kawasan primadona yang dapat memenuhi kebutuhan permukiman masyarakat Kota Pontianak. Batas administratif antara Sungai Raya dan Kota Pontianak yang hampir tidak terlihat jelas, menyebabkan perkembangan permukiman di kawasan tersebut menjadi sangat pesat, dimana dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sungai Raya termasuk dalam kawasan Strategis Propinsi yaitu sebagai kawasan Metropolitan Kota Pontianak dengan sektor unggulan dibidang perdagangan dan jasa, industri, dan pariwisata. Hal ini akan menyebabkan berkembang pesatnya sektor perekonomian akan berdampak pada meningkatnya minat investor untuk berinvestasi di Sungai Raya. Dilalui oleh jalur arteri primer atau jalan nasional, yang merupakan jalur penghubung antara Wilayah Nasional dan Kota Pontianak yang merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dilalui oleh salah satu jalur arteri atau jalan propinsi, yang menghubungkan antara Kota Pontianak sebagai ibu kota Provinsi ke beberapa Kota/Kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Posisi-posisi strategis diatas menjustifikasi bahwa kawasan Sungai Raya memiliki potensi untuk berkembang menjadi sebuah kota besar, yang akan memicu kemajuan pembangunan di kawasan tersebut. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus dilematis bagi pemerintah daerah dalam mengatur dan mengendalikan pengembangan wilayah, terkait dengan karakteristik gambut yang dimiliki. Di satu sisi pemerintah daerah membutuhkan ruang untuk melaksanakan pembangunan, disisi lain ruang yang tersedia adalah ruang (space) yang perlu dijaga kelestariannya sehubungan dengan fungsi ekologis yang dimilikinya.

99 Penatagunaan Lahan Secara umum, jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sungai Raya terdiri atas : lahan pertanian dan lahan non pertanian. Dari luas total wilayah Kecamatan Sungai Raya yang mencapai ha, sekitar ha (35%) merupakan lahan pertanian, dan ha (64%) merupakan lahan non pertanian. Fungsi permukiman termasuk dalam jenis penggunaan lahan non pertanian. Dari luasan lebih kurang ha lahan non pertanian di Kecamatan Sungai Raya, sekitar ha merupakan lahan untuk permukiman atau sekitar 11% dari luas wilayah Kecamatan Sungai Raya. Berdasarkan Tabel 16 tentang jumlah rumah tangga per kelurahan di Kecamatan Sungai Raya, dapat diketahui bahwa penyebaran permukiman di Kecamatan Sungai Raya terkonsentrasi di Kelurahan Sungai Raya dengan jumlah rumah tangga terbanyak yaitu KK atau sekitar 32% dari jumlah total rumah tangga yang ada di Kecamatan Sungai Raya ( KK). Tabel 16. Jenis dan luas penggunaan lahan di Kecamatan Sungai Raya Sumber : BPS Kab. Kubu Raya, 2011

100 Kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak Kebijakan Pengembangan Permukiman di Hinterland Kota Pontianak Berdasarkan arahan kebijakan pengembangan permukiman di Kota Pontianak yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pontianak dijelaskan bahwa perkembangan permukiman Kota Pontianak adalah kearah selatan Kota Pontianak yang meliputi Kecamatan Pontianak Tenggara dan Kecamatan Pontianak Selatan. Kondisi ini akan berimplikasi pada semakin berkembangnya wilayah bagian selatan Kota Pontianak yang dalam hal ini berbatasan langsung dengan kawasan Sungai Raya di Kecamatan Sungai Raya. Gambar 18 menunjukkan kondisi eksisting permukiman di Kota Pontianak. Dari pola guna lahan eksisting tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan permukiman di Kota Pontianak tersebar di wilayah bagian selatan, sementara permukiman di bagian utara Kota Pontianak tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena kondisi geografis dimana antara wilayah utara dan wilayah selatan Kota Pontianak dipisahkan oleh Sungai Kapuas. Selanjutnya muncul berbagai prediksi bahwa bisa terjadi kondisi dimana wilayah-wilayah hinterland di bagian selatan Kota Pontianak (kawasan Sungai Raya) lebih berkembang dan lebih maju dibanding wilayah utara Kota Pontianak. UTARA KAWASAN SUNGAI RAYA KAWASAN SUNGAI RAYA Gambar 18. Guna lahan eksisting di Kota Pontianak Gambar 19. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kota Pontianak

101 76 Gambar 19 menunjukkan rencana pola pemanfaatan ruang di Kota Pontianak dalam kurun waktu dua puluh tahun ( ). Dari rencana pola tersebut dapat diprediksi bahwa ketersediaan lahan untuk permukiman bagi masyarakat Kota Pontianak akan habis dalam waktu 20 tahun kedepan. Ada beberapa strategi untuk mengantisipasi tuntutan kebutuhan permukiman di Kota Pontianak, yaitu : pertama, beralih kepada konsep bangunan vertikal, dan kedua, melakukan ekspansi dan koordinasi dengan Kabupaten Kubu Raya Kawasan Sungai Raya sebagai Kota Baru Satelit (Hinterland Pontianak) Salah satu posisi strategis utama kawasan Sungai Raya adalah sebagai hinterland atau periphery dari Kota Pontianak. Kawasan Sungai Raya diminati oleh para penglaju (commuter) sebagai kawasan tempat bermukim. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan lahan yang cukup besar dan aksesibilitas serta jarak tempuh dari pusat kota Pontianak yang masih terjangkau. Sebagaimana permukiman yang berada di pinggiran kota, suasana nyaman, lingkungan yang masih asri dengan tingkat kebisingan yang rendah, memberikan nilai tambah tersendiri bagi kawasan Sungai Raya sebagai alternatif pilihan tempat tinggal. Penataan kawasan permukiman yang proporsional dan tidak sepadat di pusat kota (Pontianak), ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang memadai, serta maraknya aktifitas perekonomian menjadikan kawasan Sungai sebagai kawasan hinterland yang paling pesat perkembangannya dibanding kawasan hinterland lainnya (Sungai Kakap dan Daerah Seberang), khususnya di sektor permukiman dan perdagangan/jasa. Harga lahan yang relatif murah juga berdampak pada harga per unit rumah yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Status Sungai Raya yang ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2007 akan mengubah sistem perekonomian dari kawasan pedesaan menjadi kawasan perkotaan. Dalam perkembangannya, kawasan Sungai Raya dapat dikatakan sebagai cikal bakal sebuah Kota Baru (new town). Status Sungai Raya saat ini masih termasuk kategori kota baru satelit atau kota baru pemerintahan dikarenakan tingkat ketergantungannya yang masih cukup besar terhadap Kota Pontianak sebagai kota induk. Seiring dengan proses pembangunan dan perkembangan kegiatan ekonomi di Sungai Raya yang cukup pesat, tidak menutup kemungkinan dalam waktu sepuluh tahun kedepan status kawasan tersebut akan berubah menjadi sebuah kota baru mandiri dimana kawasan Sungai Raya sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri.

102 77 Gambar 20. Posisi kawasan Sungai Raya sebagai Hinterland Kota Pontianak 4.4 Sebaran Gambut di Kawasan Sungai Raya Lahan gambut beserta vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon). Karakteristik gambut yang terdapat di Sungai Raya bervariasi mulai dari kedalaman 0.5 sampai dengan 4 meter. Gambut yang diperbolehkan sebagai kawasan budi daya adalah gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter, dan untuk kedalaman lebih dari 3 meter termasuk kawasan lindung yang dikonservasi. Letak geografis kawasan Sungai Raya yang dilalui oleh Sungai Kapuas menyebabkan sebagian lahan di kawasan tersebut terbentuk dari endapan lumpur (delta) dengan luasan 202,70 ha. Gambut dengan kedalaman meter (gambut tipis) mencapai luasan 1.547,94 ha, sementara gambut dengan kedalaman 1-2 meter mencapai luasan ha. Peta sebaran gambut di kawasan Sungai Raya dapat ditunjukkan pada Gambar 21.

103 78 Karakteristik Tanah : : endapan liat : endapan liat + organik : tanah organik (1-2 m) : tanah organik (2-3 m) Gambar 21. Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya

104 Tipologi Perumahan di Kawasan Sungai Raya Permukiman yang terdapat di kawasan Sungai Raya sebagain besar dikembangkan oleh developer lokal, dan sebagian kecil lainnya dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat. Permukiman dan kegiatan ekonomi di kawasan Sungai Raya berkembang di sepanjang sisi jalan kolektor yang secara administratif berbatasan langsung dengan Kota Pontianak. Berdasarkan luas area yang dibangun, perumahan di kawasan Sungai Raya termasuk tipe perumahan skala kecil. Komplek-komplek perumahan dibangun per jalur dimana lebar persil komplek berkisar antara meter. Secara umum, terdapat dua tipologi permukiman di kawasan Sungai Raya, yaitu: 1) Rumah Panggung, yaitu rumah dengan pondasi pancang kayu (tiang tongkat) yang merupakan rumah tradisional masyarakat Pontianak namun saat ini rumah jenis panggung sudah mulai ditinggalkan/kurang diminati masyarakat dan jumlahnya sudah sangat sedikit; 2) Rumah Tapak, yaitu rumah dengan pondasi lajur batu kali. seperti tipe rumah di daerah Jawa. Rumah tapak saat ini menjadi trend yang dikembangkan oleh pihak developer dimana minat masyarakat terhadap rumah tapak cukup besar. Gambar 22. Tipologi rumah panggung di Sungai Raya

105 80 Menurut pendapat beberapa pakar, rumah panggung yang merupakan local wisdom masyarakat Kota Pontianak dinilai lebih ramah lingkungan. Hal ini disebabkan struktur panggung yang tidak merusak daerah resapan air sehingga infiltrasi air tanah tetap terjaga. Hal ini juga sebagai salah satu upaya antisipasi apabila terjadi air pasang, mengingat karakteristik kawasan yang dekat dengan sungai sehingga mengalami pasang surut. Gambar 23 berikut menunjukkan kondisi kanal Sungai Raya pada saat terjadi air pasang: Gambar 23. Kondisi kanal Sungai Raya pada saat air pasang Selain beberapa kelebihan yang dimiliki, rumah panggung juga memiliki kekurangan, misalnya banyak sampah berserakan di kolong rumah yang terbawa arus pada saat pasang. Jarak antara permukaan tanah dan lantai bangunan yang rendah ( cm) menyebabkan sulitnya melakukan maintenance. Kondisi lahan yang cenderung basah menyebabkan tanaman air tumbuh subur sehingga mengurangi estetika lingkungan dan menjadi sarang nyamuk. Fakta yang ditemukan di lapangan adalah rumah panggung saat ini sudah jarang ditemukan dan jumlahnya relatif sedikit di kawasan Sungai Raya kecuali permukiman yang berada di atas air (tepian Sungai Kapuas). Hal ini menunjukkan bahwa tipologi rumah panggung sudah kurang diminati oleh masyarakat. Sebagian besar rumah panggung yang masih eksis hingga saat ini merupakan rumah warisan peninggalan nenek buyut dengan umur bangunan antara tahun.

106 81 Gambar 24. Kondisi lingkungan di sekitar rumah panggung Trend perkembangan permukiman saat ini menunjukkan bahwa minat masyarakat lebih mengarah kepada konsep bangunan modern yang notabene tidak menggunakan struktur panggung atau dengan kata lain rumah tapak seperti tipologi rumah di pulau Jawa dengan tampilan facade (tampak) bangunan yang lebih modern. Industri permukiman di kawasan Sungai Raya menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Kondisi kawasan Sungai Raya sepuluh tahun yang lalu masih merupakan hutan rawa gambut, kini secara gradual telah dikonversi menjadi permukiman penduduk. Fenomena yang terjadi cukup mengkhawatirkan, mengingat masyarakat maupun pemerintah belum sepenuhnya menyadari arti dan manfaat ekosistem gambut sebagai penyelamat lingkungan. Tipologi rumah tapak yang saat ini tengah menjadi bisnis primadona bagi developer lokal di kawasan Sungai Raya dapat dikatakan tidak ramah lingkungan karena dapat merusak kelestarian ekosistem gambut. Tipologi rumah tapak dapat dilihat pada Gambar 25.

107 82 Gambar 25. Tipologi rumah tapak dengan desain arsitektur modern Perumahan skala kecil yang berkembang di Sungai Raya ditandai dengan jumlah unit rumah yang dibangun di masing-masing komplek hanya berkisar antara unit, dalam bentuk rumah tunggal atau Koppel. Dari kondisi eksisting dapat diketahui bahwa ketersediaan RTH dan sarana bermain sangat minim bahkan tidak tersedia. Demikian juga ruang untuk publik yang kurang menjadi prioritas. Gambar 25 menunjukkan bahwa dalam satu persil bangunan sekitar 70-80% resapan hilang karena tertutup lantai bangunan. Hanya tersisa sekitar 20% saja untuk resapan. Dapat diprediksi degradasi lingkungan yang terjadi apabila seluruh lahan gambut di kawasan Sungai Raya dibangun rumah tapak yang notabene merampas fungsi ekologis dari lahan gambut. Tren rumah tapak dengan gaya arsitektur modern selain dikembangkan oleh pihak developer juga dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Hasil temuan di lokasi penelitian menunjukkan rumah tapak yang dibangun di atas lahan gambut yang masih dalam keadaan tergenang belum didrainasekan. Lahan yang akan dibangun terlebih dahulu di pancangkan kayu cerucuk berdiameter 8 cm untuk meningkatkan daya rekat tanah. Selanjutnya dibuat bekisting untuk pengecoran pondasi beton bertulang mengelilingi batas bangunan setelah itu air dipompa keluar. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui fungsi ekosistem gambut. Mereka lebih memilih rumah beton dengan pertimbangan lebih kokoh dan stabil dibanding rumah panggung tiang tongkat.

108 83 Gambar 26. Perkerasan lantai rumah tapak yang menutupi permukaan tanah Fakta lain yang ditemukan dilapangan yaitu kegiatan konstruksi rumah tapak yang dibangun diatas lahan gambut yang tergenang, dimana masih terdapat air gambut yang berwarna kehitaman (Gambar 27). Gambar 27. Pekerjaan konstruksi rumah tapak beton di lahan gambut

109 84 Selain dua tipologi struktur bangunan yang ditemukan di lapangan (panggung dan tapak), ada juga tipologi hunian vertikal tingkat sedang (3-4 lantai) dengan struktur pondasi tapak di kawasan Ahmad Yani dengan radius yang tidak terlalu jauh dari lokasi penelitian. Status hunian vertikal tersebut adalah rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Hasil wawancara dengan beberapa penghuni menyatakan bahwa peminat rusunawa tersebut cukup banyak sehingga dalam waktu 3 tahun telah dilakukan penambahan unit baru. Selain harga sewa yang cukup terjangkau, lokasi rusunawa tersebut juga berada pada lokasi yang strategis yaitu dekat dengan kampus (Universitas Tanjungpura dan Politeknik Negeri Pontianak) dan perkantoran. Gambar 28. Hunian vertikal dengan struktur tapak di kawasan Ahmad Yani I

110 85 V. STATUS KEBERLANJUTAN TIPOLOGI PERUMAHAN EKSISTING DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Abstrak Kawasan Sungai Raya mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini khususnya dibidang permukiman. Sungai Raya yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak menjadi kawasan permukiman strategis dengan kegiatan perekonomian yang berkembang pesat. Keberadaan dan penyebaran permukiman penduduk di Sungai Raya cukup mengkhawatirkan jika ditinjau secara ekologi dikarenakan lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang tinggi. Perkiraan dampak yang terjadi akibat eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali berupa ketidakstabilan lingkungan (bencana ekologis) seperti hilangnya sejumlah daerah resapan yang akan berpotensi menyebabkan banjir dan lepasnya sejumlah gas rumah kaca ke atmosfer yang dapat menyebabkan semakin meningkatnya suhu permukaan bumi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis keberlanjutan terhadap tipologi perumahan yang terdapat di kawasan Sungai Raya yang secara umum terdiri dari 2 (dua) macam tipologi yaitu tipologi rumah panggung dan tipologi rumah tapak. Analisis keberlanjutan dilakukan dengan metode Multi Dimensional Scalling (MDS) yang diberi nama Rap- PEATSET (Rapid Appraisal Peat Settlement) yang hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Kemudian, untuk mengetahui indikatorindikator sensitif dan paling berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan dilakukan analisis Laverage dan analisis Monte Carlo. Nilai keberlanjutan diperoleh dari rekapitulasi penilaian para pakar dan stakeholders terpilih. Hasil analisis keberlanjutan tipologi rumah panggung menunjukkan bahwa dimensi ekologi cukup berkelanjutan sebesar 65,52%, dimensi ekonomi kurang berkelanjutan sebesar 41,18%, dimensi sosial-budaya kurang berkelanjutan sebesar 46,01%, dan dimensi teknologi juga kurang berkelanjutan sebesar 46,69%. Sementara hasil analisis keberlanjutan untuk tipologi rumah tapak menunjukkan dimensi ekologi tidak berkelanjutan sebesar 21,05%, dimensi ekonomi cukup berkelanjutan sebesar 67,16%, dimensi sosial-budaya cukup berkelanjutan sebesar 69,36%, dan dimensi teknologi kurang berkelanjutan sebesar 46,10%. Analisis keberlanjutan multidimensi rumah panggung sebesar 54,27% (cukup berkelanjutan) dan rumah tapak sebesar 46,46% (kurang berkelanjutan). Dari 20 indikator yang dianalisis, terdapat 9 atribut sensitif dan 5 atribut dominan untuk rumah panggung, serta 15 atribut sensitif dan 3 atribut dominan untuk rumah tapak.tingkat galat (error) sangat kecil pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis Monte Carlo memperlihatkan nilai yang tidak jauh berbeda dari hasil analisis Rap-Peatset (MDS) yang berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil. Kata kunci : status keberlanjutan, tipologi perumahan, kawasan bergambut. 5.1 Pendahuluan Keberlanjutan pembangunan di kawasan perkotaan tentunya akan berpengaruh pada peningkatan fisik bangunan dan perekonomian. Di satu sisi sektor ekonomi akan semakin menarik perhatian para investor dan migran, di sisi lain pembangunan fisik kota cenderung menimbulkan dampak negatif berupa hilangnya sejumlah daerah resapan dan menurunnya fungsi lingkungan.

111 86 Terlebih lagi pembangunan di kawasan Sungai Raya yang notabene memiliki karakteristik lahan bergambut. Seperti diketahui bahwa ekosistem gambut mengemban fungsi lingkungan yang sangat besar. Selain berperan sebagai pengatur sistem hidrologi dan water storage yang baik, lahan gambut juga sangat berperan dalam menjaga stabilitas iklim global terkait kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Apabila ekosistemnya mengalami gangguan, lahan gambut justru akan melepaskan sejumlah gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ) ke atmosfer, sehingga dapat menyebabkan suhu bumi meningkat. Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah daerah yang mengatur tentang pembangunan permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya, sementara proses pembangunan terus berlangsung bahkan semakin pesat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya, telah ditetapkan areal peruntukan lahan untuk permukiman yang terkonsentrasi di kawasan Sungai Raya hingga tahun 2032 dengan luasan mencapai 4.532,80 ha. Berdasarkan permasalahan yang ada maka perlu kiranya dilakukan suatu tindakan penanganan yang terpadu dan komprehensif. Pembangunan permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya ini diharapkan dapat menunjang pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu kiranya dikaji status keberlanjutan permukiman eksisting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan permukiman eksisting di kawasan Sungai Raya berdasarkan 4 (empat) dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi sosial-budaya, dan dimensi teknologi. Status keberlanjutan masing-masing dimensi ditentukan berdasarkan hasil analisis dari metode Multi Dimensional Scaling (MDS) yang dinyatakan dalam bentuk indeks keberlanjutan. Dengan mengetahui status berkelanjutan permukiman dari ketiga dimensi tersebut, akan memudahakan dalam melakukan perbaikan terhadap indikator-indikator sensitif yang berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan permukiman di lahan bergambut Sungai Raya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pembuat kebijakan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya. 5.2 Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan dalam analisis keberlanjutan permukiman eksisting di lahan bergambut Sungai Raya adalah data primer berupa indikator

112 87 yang terkait dengan 4 (empat) dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya dan dimensi teknologi. Menentukan indikator-indikator yang akan dianalisis berdasarkan Scientific Judgment dan studi literatur (data sekunder). Sementara untuk menentukan nilai dari masing-masing indikator bersumber dari responden terpilih yang terdiri dari para pakar dan stakeholders yang berkompeten terkait dengan topik penelitian, serta berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi studi. Pakar (expert) terpilih terkait topik penelitian adalah pakar gambut, sipil dan arsitek dari beberapa institusi serta beberapa instansi terkait Metode Pengumpulan dan Analisis Data Metode pengumpulan data primer dalam analisis keberlanjutan permukiman eksisting di kawasan Sungai Raya ini dilakukan melalui metode diskusi dan wawancara (in-depth interview), kuesioner dan survey lapangan di wilayah studi. Analisis keberlanjutan permukiman eksisting di wilayah bergambut Sungai Raya dilakukan dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-Peatsett (Rapid Appraisal Peat Settlement). Selanjutnya analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Permukiman di Lahan Bergambut (ikb-peatsett). Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menentukan indikator beserta indikator-indikatornya melalui analisis kualitatif interpretatif dari beberapa expert (justifikasi pakar) dan studi literatur. 2. Penilaian setiap indikator oleh pakar dan stakerholder terpilih dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. 3. Menyusun indeks dan status keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya dengan metode Multi Dimensional Scalling (MDS), analisis Leverage, dan analisis Monte Carlo. Setiap indikator (atribut) pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan Scientific Judgment dari pembuat skor. Nilai skor untuk setiap indikator dari setiap responden terpilih diberikan mulai dari rentang dimana nilai 0 berarti rendah (buruk) dan nilai 100 berarti tinggi (sangat baik). Nilainilai yang telah diberikan direkapitulasi dan dipetakan ke dalam angka yang lebih sederhana sebagai input untuk melakukan analisis keberlanjutan, sebagai berikut:

113 88 Tabel 17. Penilaian (scorring) setiap indikator berdasarkan hasil kuesioner pakar Rentang Nilai Skor Hasil Buruk 25, Kurang 50, Cukup 75, Baik Selanjutnya skor dari masing-masing indikator dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan perumahan di Sungai Raya. Nilai skor yang diperoleh dikaji secara relatif terhadap dua titik acuan yaitu Baik (good) dan Buruk (bad). Nilai hasil dari analisis keberlanjutan menghasilkan Indeks Keberlanjutan tiap dimensi dalam bentuk nilai persentase. Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Nilai skoring indeks keberlanjutan pada setiap dimensi dinyatakan dalam rentang nilai 0 100% dengan kriteria sebagai berikut: % : Tidak Berkelanjutan 25,1 50% : Kurang Berkelanjutan 50,1 75% : Cukup Berkelanjutan 75,1 100% : Berkelanjutan Selanjutnya nilai indeks tiap dimensi tersebut divisualisasikan dalam Diagram Layang (kite diagram) seperti pada Gambar 29. Ekologi Ekonomi 20 0 Sosbud Teknologi Gambar 29. Diagram layang ilustrasi indeks keberlanjutan tiap dimensi

114 89 Agar nilai indeks keberlanjutan di masa yang akan dapat ditingkatkan, maka dilakukan Leverage analysis untuk menentukan nilai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan tiap dimensi. Rentang nilai faktor yang berpengaruh berada pada rentang 2% hingga 8% (Pitcher dan Preikshot, 2001). Apabila terdapat indikator dengan nilai faktor lebih dari 8% maka indikator tersebut merupakan faktor dominan. 5.3 Hasil dan Pembahasan Penentuan Indikator Dimensi Keberlanjutan Penilaian status keberlanjutan permukiman eksisting di wilayah bergambut kawasan Sungai Raya menggunakan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal yang diberi nama Rapid Appraisal Peat Settlement (Rap-PEATSET). Metode ini merupakan modifikasi dari metode Rapfish yang selama ini digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Berdasarkan studi literatur, pengamatan lapangan dan konsultasi pakar, maka dapat disusun indikator keberlanjutan permukiman di kawasan bergambut yang disajikan pada Tabel 18. Indikator keberlanjutan disusun dalam 4 (empat) dimensi yaitu: ekologi, ekonomi, sos-bud dan teknologi. Meskipun penyusunan indikator dan penilaian dilatarbelakangi oleh kondisi eksisting permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya - Kabupaten Kubu Raya, namun secara umum kerangka penilaian ini dapat berlaku untuk seluruh permukiman perkotaan di Indonesia yang memiliki karakteristik lahan bergambut. Tabel 18. Indikator keberlanjutan perumahan di kawasan bergambut No Dimensi Keberlanjutan Indikator I Dimensi Ekologi 1. Menyebabkan hilangnya daerah resapan 2. Emisi gas rumah kaca 3. Potensi terjadinya banjir 4. Melindungi ekosistem gambut 5. Masalah genangan dan sampah II Dimensi Ekonomi 1. Luas penggunaan lahan 2. Daya beli masyarakat 3. Peluang bisnis (developer) 4. Peluang pasar (masyarakat) 5. Construction cost 6. Infrastructure cost 7. Degradation cost

115 90 III Dimensi Sosial-Budaya IV Dimensi Teknologi 1. Minat dan preferensi masyarakat 2. Estetika bangunan 3. Arsitektur lokal 4. Dilaksanakan secara swadaya 5. Privacy persil 1. Teknologi sederhana 2. Stabilitas bangunan 3. Proses land clearing (Sumber: konsultasi pakar dan studi literatur) Ditinjau dari sistem konstruksi bangunan, secara umum terdapat 2 (dua) tipologi perumahan di lokasi penelitian yaitu: Tipologi Rumah Panggung dan Tipologi Rumah Tapak, yang keduanya merupakan perumahan yang terdistribusi secara horizontal (landed housing). Kedua tipologi ini masing-masing secara terpisah akan dilihat dan ditentukan indeks keberlanjutannya Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung A. Dimensi Ekologi Pertumbuhan perumahan secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi kerusakan lingkungan, baik pada tingkat lokal maupun global. Terlebih lagi perumahan yang dibangun di lahan bergambut yang nota bene merupakan ekosistem yang mengemban misi lingkungan serta rentan terhadap berbagai gangguan. Dibutuhkan perhatian terhadap lingkungan terutama terkait upaya mitigasi bencana ekologis dalam hal ini potensi banjir dan emisi GRK. Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Genangan dan sampah Melindungi ekosistem gambut Menyebabkan banjir Emisi GRK Menjaga daerah resapan Ecology Sustainability Gambar 30. Status keberlanjutan dimensi ekologi (a) dan Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung

116 91 Gambar 30 menunjukkan status keberlanjutan dan Leverage analysis dimensi ekologi Rumah Panggung. Berdasarkan hasil analisis MDS (Rap-Peatsett) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 65,52% dengan status Cukup Berkelanjutan. Agar nilai ini dimasa yang akan datang dapat terus ditingkatkan hingga mencapai status berkelanjutan, maka perlu adanya perbaikan-perbaikan terhadap indikator-indikator sensitif yang berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dari lima atribut dimensi ekologi yang telah dinilai, terdapat 3 (tiga) atribut berpengaruh yaitu: (1) menjaga daerah resapan /+, (2) genangan dan sampah /- dan (3) mencegah banjir /+. Sementara itu terdapat 1 atribut dominan yaitu melindungi ekosistem gambut (++). Perlindungan terhadap ekosistem gambut merupakan upaya penting yang perlu dilakukan, dalam menyikapi hilangnya sejumlah lahan gambut dari tahun ke tahun, dan kebutuhan lahan perumahan yang cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan perekonomian di kawasan Sungai Raya. Sehubungan dengan hal tersebut maka sumber daya lahan gambut di kawasan Sungai Raya harus dikelola, dimanfaatkan, dipelihara, dilindungi dan dijaga kelestariannya melalui suatu kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan permukiman di lahan bergambut. Masalah genangan dan sampah menjadi kelemahan tipologi rumah panggung. Nilai yang rendah untuk atribut ini menandakan bahwa perlu dilakukan pengungkitan (pemecahan masalah genangan) agar nilai indeks keberlanjutan dimasa mendatang dapat ditingkatkan dimana secara prinsip tipologi rumah panggung dapat memenuhi syarat estetika dan sanitasi lingkungan. Pembangunan kawasan permukiman secara otomatis juga akan mengurangi ketersediaan daerah resapan air. Hilangnya sejumlah daerah resapan air akan menyebabkan air yang tadinya tersimpan dalam jumlah yang besar di lahan gambut (90 m 3 /m 3 ) akan menggenangi daerah sekitarnya yang lebih rendah, sehingga sebagai akibatnya dapat menyebabkan bencana banjir. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya perumahan yang dibangun di atas lahan gambut secara tidak langsung akan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya frekuensi banjir di wilayah hilir. Bencana banjir menurut Kodoatie (2000) adalah suatu keadaan dimana air permukaan tidak dapat tertampung oleh palung sungai. Dampak dari eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali antara lain meningkatnya frekuensi banjir di daerah hilir. Dengan tipologi rumah panggung,

117 92 dampak dari bencana banjir dapat diminimalisir mengingat struktur panggung yang menggunakan tiang-tiang pancang dapat mengurangi persentase KDB bangunan, sehingga infiltrasi air hujan kedalam tanah masih cukup terjaga. Sementara dampak dari lepasnya sejumlah gas rumah kaca ke atmosfer tidak dianggap sebagai faktor penting karena merupakan dampak ikutan (multiplier effect) dari konversi lahan yang semakin meningkat. Lepasnya CO 2 dan CH 4 dapat dipicu oleh beberapa kegiatan anthropogenic antara lain: (1) pembukaan lahan yang dilakukan dengan cara membakar lahan dan hutan gambut sehingga api menjalar dengan cepat dan menimbulkan kabut asap, (2) pengeringan lahan gambut (peat drained) dengan cara mengalirkan air gambut ke saluran drainase sehingga permukaan gambut menjadi turun dan terjadi proses oksidasi yang melepaskan CO 2 dan CH 4. Prinsip rumah panggung pada dasarnya tidak banyak mengusik/menyingkap gambut, sehingga karbon yang tersimpan didalamnya masih tetap terjaga. B. Dimensi Ekonomi. Keberlanjutan ekonomi merupakan salah satu syarat berkembangnya industri perumahan sehingga menjadi salah satu dimensi yang berperan penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan metode Rap-Peatset dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi sebesar 41,18%. Nilai ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi termasuk kategori kurang berkelanjutan (Gambar 31). Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Degradation cost 0.79 Other Distingishing Feature Infrastructure cost Construction cost Peluang pasar Peluang bisnis Daya beli masyarakat Luas penggunaan lahan 1.44 Economy Sustainability Gambar 31. Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a) dan Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung

118 93 Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dari 7 atribut dimensi ekonomi, terdapat diantaranya 4 atribut yang berpengaruh (sensitif), yaitu: (1) peluang pasar (-), (2) peluang bisnis (-), (3) construction cost (+), dan (4) daya beli masyarakat (+). Sementara tidak terdapat faktor dominan untuk dimensi ekonomi. Nilai faktor (leverage) tertinggi terdapat pada atribut peluang pasar (minat masyarakat), sementara hasil skornya rendah. Hal ini menandakan bahwa minat masyarakat menjadi faktor penting yang harus ditingkatkan (faktor pengungkit) untuk mencapai status keberlanjutan. Peluang pasar dapat diartikan sebagai minat masyarakat terhadap pemilihan tipologi rumah tinggal yang dapat dilihat dari perkembangan tren saat ini. Beberapa asumsi yang dapat dikembangkan terkait menurunnya minat masyarakat terhadap tipologi rumah panggung antara lain: a) secara struktur, rumah panggung cenderung tidak stabil (stabilitas rendah) dalam arti rawan terjadi penurunan pondasi. Struktur panggung biasanya menggunakan pondasi kayu tiang tongkat yang hanya mengandalkan daya rekat tanah dan daya jepit antara tiang yang satu dengan yang lain, atau dengan kata lain tidak tertancap pada tanah keras; b) secara visual, rumah panggung memiliki desain façade (tampak) yang menarik karena biasanya dibangun secara swadaya oleh individu tanpa sentuhan arsitektur; dan c) jarak antara permukaan tanah dan lantai bangunan yang relatif rendah (40-50 cm) mengakibatkan genangan dan tumpukan sampah di kolong rumah sehingga kurang baik dari segi kesehatan lingkungan dan estetika. Peluang bisnis dilihat dari sudut pandang developer sebagai aktor utama perkembangan industri perumahan. Melihat tren perkembangan perumahan yang ada, dimana terjadi konversi dari rumah panggung ke rumah tapak, maka pihak developer berlomba-lomba membangun rumah tapak yang notabene lebih diminati oleh masyarakat. Profit oriented menjadi menjadi misi para developer dengan prinsip memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan membangun rumah yang bernilai ekonomi tinggi. Hal-hal lain diluar dari prinsip-prinsip ekonomi tersebut seperti halnya dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup kurang menjadi perhatian. Perkembangan rumah tapak yang cukup pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa industri perumahan di kawasan Sungai Raya menjadi salah satu peluang bisnis yang menjanjikan. Construction cost (biaya konstruksi) pembangunan rumah panggung yang relatif murah dengan menggunakan konstruksi kayu (material lokal), dan biasanya

119 94 diselenggarakan oleh individu. Namun saat ini kayu yang berkualitas untuk pondasi sudah sulit ditemukan, kalaupun ada harganya mahal (bisa melebihi harga beton). Daya beli masyarakat juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan peluang pasar. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tipe rumah yang paling banyak dibangun di kawasan Sungai Raya adalah tipe-tipe rumah sedang dan kecil untuk kelompok masyarakat kelas menengah kebawah dengan harga berkisar antara Rp juta. C. Dimensi Sosial Budaya Keberlanjutan dimensi sosial-budaya terutama didasarkan pada kecenderungan masyarakat untuk menerima rumah panggung sebagai alternatif tipologi rumah tinggal dan aspek-aspek yang terkait dengan arsitektur lokal. Berdasarkan hasil analisis Rap-Peatset (MDS) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial-budaya sebesar 56,96%. Nilai tersebut menggambarkan bahwa dimensi sosial-budaya termasuk kategori cukup berkelanjutan. Status keberlanjutan dan analisis Leverage dimensi sosial-budaya dapat dilihat pada Gambar 32. Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Privacy persil Dilaksanakan secara swadaya Arsitektur lokal Estetika bangunan Minat dan preferensi masyarakat Social Sustainability Gambar 32. Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Selanjutnya, hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dari 5 atribut dimensi sos-bud, terdapat 1 atribut sensitif yaitu swadaya masyarakat (+), sementara 4 atribut lainnya merupakan faktor yang dominan, yaitu: (1) estetika bangunan (--), (2) arsitektur lokal (++), (3) preferensi masyarakat (--), dan (4) privacy persil (++).

120 95 Pengelolaan indikator-indikator dimensi sosial-budaya perlu dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap indikator yang memberikan dampak positif dan menekan setiap indikator yang memberikan dampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya dalam pengembangan perumahan di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Estetika bangunan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rumah panggung menjadi kurang diminati. Rumah panggung identik dengan bangunan kuno yang tidak tersentuh oleh image arsitektur modern. Tidak menutup kemungkinan dilakukan inovasi yang menggabungkan antara struktur panggung dengan konsep arsitektur modern yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi suatu konsep perumahan modern dan berwawasan lingkungan. Secara tidak langsung hal ini akan melestarikan arsitektur lokal masyarakat Kalimantan Barat. Seperti halnya di provinsi Bali, dimana pemerintah daerah setempat berupaya mempertahankan ciri khas local wisdom arsitektur Bali yang diimplemetasikan pada bangunan-bangunan pemerintahan maupun bangunan formal lainnya. Kebijakan ini menjadi daya tarik tersendiri disamping nilai-nilai tradisional dan fungsional yang masih tetap terjaga eksistensinya. Minat dan preferensi masyarakat juga merupakan faktor penting dalam perkembangan industri perumahan. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, semakin baik pula minat dan selera masyarakat terhadap estetika bangunan rumah tinggal. Rumah dengan desain arsitektur yang menarik lebih diminati oleh masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, jasa arsitektur saat ini juga semakin bersaing dan berkualitas. D. Dimensi Teknologi Dimensi teknologi menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dalam membangun perumahan di lahan gambut karena lahan gambut memiliki struktur tanah yang tidak stabil. Penilaian dimensi teknologi pada dasarnya ingin melihat sejauh mana stabilitas bangunan dengan menggunakan struktur panggung kayu diatas lahan gambut. Gambar 33 menunjukkan hasil analisis indeks keberlanjutan dimensi teknologi tipologi rumah panggung di kawasan Sungai Raya. Hasil analisis secara multidimensi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi sebesar 46,69%. Nilai tersebut termasuk kategori Kurang Berkelanjutan.

121 96 Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Proses land clearing Stabilitas bangunan Teknologi sederhana Technology Sustainability Gambar 33. Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Panggung Berdasarkan hasil analisis Leverage dimensi teknologi, dapat diketahui bahwa hanya 1 atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi yaitu stabilitas bangunan (-). Dalam hal ini bangunan dengan struktur panggung memiliki stabilitas yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi bangunan yang rata-rata mengalami kemiringan akibat penurunan pondasi (replacement). Jenis pondasi yang biasanya digunakan sebagai konstruksi panggung adalah pondasi tiang tongkat kayu yang sudah sejak lama digunakan masyarakat Kalimantan Barat untuk membangun rumah tinggal. Kelemahan pondasi tiang tongkat ini adalah rawan terjadi penurunan pondasi, karena pondasi tiang tongkat tidak menancap pada lapisan tanah keras namun hanya mengandalkan daya rekat tanah (friction) dengan menancapkan kayu cerucuk (kayu bulat berdiameter 5-10 cm) kedalam tanah dengan pola grid 30 x 30 cm atau sesuai kebutuhan. Beberapa penelitian di bidang konstruksi (Rustamaji, 2009) menjelaskan bahwa konstruksi beton dapat menggantikan tiang pancang kayu dengan biaya yang relatif lebih murah. Kayu belian yang digunakan untuk pondasi bangunan dan tahan terhadap rayap idealnya berusia diatas 50 tahun. Saat ini sudah sangat sulit mendapatkan kayu dengan kualitas seperti itu. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa untuk kayu belian berukuran 10 x 10 cm dengan panjang 2 meter seharga Rp. 150 ribu per batang, sementara dengan menggunakan tiang pancang beton berukuran 20 x 20 cm dengan panjang 2 meter hanya seharga Rp. 100 ribu rupiah. Dengan harga yang sama bisa menghasilkan dimensi yang lebih panjang sehingga dapat mencapai kedalaman tanah keras (lebih stabil).

122 Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Tapak Rumah tapak yang dimaksud disini adalah rumah tinggal yang menggunakan pondasi lajur batu kali yang bertumpu pada lapisan tanah keras. Proses land clearing pembangunan rumah tapak pada lahan bergambut lebih rumit jika dibandingkan dengan pembangunan di atas tanah mineral. Pekerjaan konstruksi rumah tapak yang mensyaratkan bangunan bertumpu pada tanah keras, berimplikasi pada pemusnahan gambut atau penurunan permukaan gambut (subsidence) sampai pada level maksimal. Kondisi ini tentunya menambah daftar kerusakan lingkungan akibat konversi lahan gambut untuk kegiatan lain. Kegiatan konversi lahan gambut di Kalimantan Barat marak terjadi sejak tahun 1990 an. Pembukaan lahan gambut yang biasanya dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan dan terbilang cukup ekstrim adalah dengan cara membakar hutan gambut tersebut. Struktur tanah gambut yang berserat sangat mudah terbakar dan menyebar. Pembakaran hutan dianggap sebagai cara yang paling praktis dibandingkan penebangan manual dan mendrainasekan gambut. Pemikiran yang salah ini perlu diluruskan mengingat dampak dari pembakaran hutan yang menyebabkan bencana kabut asap sehingga emisi karbon yang di release ke atmosfer sangat besar. A. Dimensi Ekologi Hasil analisis multidimesional (Rap-Peatset) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34, diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi rumah tapak sebesar 21,05% termasuk kategori tidak berkelanjutan (Gambar 34). Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Genangan dan sampah Melindungi ekosistem gambut Menyebabkan banjir Emisi GRK Menjaga daerah resapan Ecology Sustainability Gambar 34. Status keberlanjutan dimensi ekologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak

123 98 Dimensi ekologi rumah tapak yang berstatus tidak berkelanjutan disebabkan karena proses pembangunan rumah tapak yang merusak hampir 100% ekosistem gambut. Hal ini akan berdampak pada hilangnya sejumlah besar areal gambut bilamana pembangunan rumah tapak tidak dikendalikan. Berdasarkan analisis Leverage dapat diketahui bahwa dari kelima atribut yang dianalisis, semuanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai indeks dimensi ekologi, secara berturut-turut yaitu: 1) masalah genangan dan sampah /+, 2) mencegah banjir /-, 3) emisi GRK /-, 4) menjaga daerah resapan /-, dan 5) melindungi ekosistem gambut /-. Rendahnya nilai yang diperoleh masing-masing indikator untuk dimensi ekologi rumah tapak dikarenakan proses pembangunannya yang tidak ramah lingkungan dan berpotensi menyebabkan bencana lingkungan yang besar, terutama menyangkut rusaknya ekosistem gambut yang notabene memiliki fungsi ekologis yang tinggi. Potensi banjir yang disebabkan oleh konversi lahan gambut menjadi permukiman rumah tapak akan lebih besar jika dibandingkan rumah panggung. Hal ini dikarenakan proses pembangunan rumah tapak yang tidak menyisakan ruang (space) bagi ekosistem gambut untuk melaksanakan fungsi ekologisnya. Areal yang tadinya mampu menyerap air dalam jumlah banyak pada musim hujan, (terkait sifat gambut seperti spons) berubah fungsi menjadi betonisasi yang kedap air sehingga infiltrasi air tanah menjadi terganggu dan debit air permukaan meningkat. Apabila kapasitan palung sungai tidak mampu lagi menampung debit air yang besar, maka kelebihan air tersebut akan menggenangi permukiman sekitar khususnya daerah yang lebih rendah (bagian hilir). Pondasi lajur pada rumah tapak membutuhkan banyak penyingkapan terhadap gambut yang memicu lepasnya sejumlah gas rumah kaca. Mulai dari kegiatan pengeringan/pembakaran lahan hingga proses land clearing dan pekerjaan pondasi. Dampak dari lepasnya sejumlah gas rumah kaca ke atmosfer diprediksi akan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan. Kota Pontianak termasuk sebagian wilayah Kabupaten Kubu Raya merupakan kota yang dilalui garis khatulistiwa yang tentunya memiliki suhu udara yang lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya. Akumulasi dari kedua kondisi tersebut akan menimbulkan multiplier effect yang cukup besar, seperti suhu udara yang semakin panas sehingga meningkatnya penggunaan pendingin udara (AC) yang berarti akan melepaskan sejumlah gas CFC (chloro fluoro carbon) yang merupakan salah satu gas rumah kaca berbahaya.

124 99 B. Dimensi Ekonomi Keberlanjutan dimensi ekonomi rumah tapak juga dapat diketahui menggunakan Rap-Peatset (MDS). Gambar 35 menjelaskan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi rumah tapak sebesar 67,16%. Nilai ini termasuk kategori cukup berkelanjutan. Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Degradation cost Infrastructure cost Construction cost Peluang pasar Peluang bisnis Daya beli masyarakat Penggunaan lahan 2.09 Economy Sustainability Gambar 35. Status keberlanjutan dimensi ekonomi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Selanjutnya, dijelaskan pula indikator-indikator yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dimana ketujuh indikator merupakan indikator berpengaruh, yaitu: (1) infrastructure cost /-, (2) peluang pasar (minat masyarakat) /+, (3) peluang bisnis /+, (4) construction cost /+, (5) daya beli masyarakat /+, (6) degradation cost /-, dan (7) penggunaan lahan /-. Dimensi ekonomi rumah tapak termasuk cukup baik. Hal ini ditandai dengan respon masyarakat terhadap industri rumah tapak cukup tinggi. Peluang pembangunan rumah tapak di kawasan Sungai Raya cukup menjanjikan. Penyebarannya yang terbilang pesat, menyebabkan harga lahan permukiman juga mengalami peningkatan. Perumahan memang identik dengan ketersediaan pasar, tren yang berkembang serta tuntutan kebutuhan masyarakat. Di kota-kota besar dimana kepadatan penduduk sangat tinggi, industri perumahan juga identik dengan keterbatasan dan mahalnya harga lahan di kota. Berbeda halnya dengan kondisi di kawasan Sungai Raya, dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah namun diperlukan upaya efisiensi lahan. Hal ini terkait dengan karakteristik lahan gambut di

125 100 kawasan Sungai Raya. Berkembangnya kegiatan ekonomi dan pemerintahan di Sungai Raya menimbulkan suatu kekhawatiran terhadap eksploitasi dan konversi lahan gambut menjadi kawasan permukiman secara tak terkendali. Perumahan landed housing (horizontal) khususnya rumah tapak yang saat ini berkembang, selain menyebabkan konversi lahan yang tinggi juga membutuhkan penyediaan jaringan infrastruktur yang luas. Peluang pasar (minat masyarakat), daya beli dan peluang bisnis rumah tapak sepertinya cukup menjanjikan. Minat masyarakat dalam hal ini terkait dengan desain bangunan yang menarik dan berkualitas, terpenuhi sarana dan prasarana serta nyaman sebagai tempat tinggal. Membangun suatu perumahan juga tidak terlepas dari kemampuan atau daya beli masyarakat yang disesuaikan dengan golongan masyarakat yang menjadi sasaran utama. Spesifikasi bangunan untuk hunian kalangan menengah kebawah tentunya dapat disesuaikan dengan kualitas material yang ada di pasaran tanpa mengurangi kualitas konstruksi bangunan. Kekuatan atau kekokohan (firmitas) merupakan syarat utama sebuah bangunan dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Selain benefit yang diterima oleh masyarakat, maka profit yang diperoleh pihak developer juga tentunya akan menjadi pertimbangan utama agar pengembang tidak mengalami kerugian tanpa mengurangi kualitas bangunan yang dihasilkan. C. Dimensi Sosial Budaya Berdasarkan hasil analisis Rap-Peatsett MDS, diperoleh nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya untuk tipologi rumah tapak sebesar 69,36% dengan status keberlanjutan termasuk kategori cukup berkelanjutan. Berdasarkan hasil Leverage Analysis dapat diketahui bahwa dari 5 indikator dimensi social, terdapat 2 indikator yang dominan yaitu mempertahankan arsitektur lokal /- dengan nilai sebesar 16,21% dan estetika bangunan sebesar 8,98% /+. Hal ini menunjukkan bahwa konsep rumah tapak tidak mencerminkan arsitektur tradisional Kalbar, namun secara estetika memenuhi kriteria arsitektur modern. Sementara ketiga atribut lainnya merupakan atribut berpengaruh, yaitu: 1) dilaksanakan secara swadaya /+, 2) minat dan preferensi masyarakat /+, dan 3) privacy persil /+. Status keberlanjutan dan analisis Leverage dimensi sosial-budaya rumah tapak dapat dijelaskan pada Gambar 36.

126 101 Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Privacy persil Dilaksanakan secara swadaya Mempertahankan arsitektur lokal Estetika bangunan Minat dan preferensi masyarakat Social Sustainability Gambar 36. Status keberlanjutan dimensi sosial-budaya (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Maraknya industri perumahan yang berkembang di Sungai Raya dengan persaingan yang cukup tinggi baik dari segi performa bangunan maupun desain façade bangunan yang semakin menarik, menyebabkan tingginya minat dan animo masyarakat terhadap rumah tapak di kawasan Sungai Raya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan dibidang pembangunan permukiman, yang dibarengi dengan kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat, selera dan atensi masyarakat juga cukup tinggi terhadap desain arsitektur. D. Dimensi Teknologi Indeks keberlanjutan rumah tapak ditinjau dari sudut pandang teknologi, berdasarkan analisis Multi Dimentional Scaling (Rap-Peatset) menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi sebesar 46,10%. Nilai tersebut termasuk kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan dan Leverage analisis dimensi teknologi rumah tapak ditunjukkan pada Gambar 37. Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa hanya terdapat 1 atribut berpengaruh yaitu stabilitas bangunan /+ dengan nilai sebesar 7,03%. Hasil penilaian mengidentifikasikan bahwa secara struktur, pondasi lajur rumah tapak yang bertumpu pada tanah keras lebih stabil (settle) dibandingkan pondasi tiang tongkat (panggung) yang hanya mengandalkan gaya rekat horizontal (friction) untuk memikul beban bangunan. Namun disisi lain, pekerjaan pondasi lajur (tapak) juga tidak terlepas dari proses land clearing yang rumit dibandingkan pondasi tiang pancang.

127 102 Rap-Peatsett Ordination Leverage of Attributes Other Distingishing Feature Proses land clearing Stabilitas bangunan Teknologi sederhana Social Sustainability Gambar 37. Status keberlanjutan dimensi teknologi (a), Leverage analysis (b) Tipologi Rumah Tapak Status Keberlanjutan Multidimensi Nilai indeks keberlanjutan tersebut diatas diperoleh berdasarkan rekapitulasi penilaian pakar dan stakeholders terpilih. Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat hingga mencapai status berkelanjutan, maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap indikator yang sentitif dan berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya dan dimensi teknologi. Nilai keberlanjutan tipologi rumah panggung dan rumah tapak berdasarkan keempat dimensi tersebut dapat diinterpretasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram) pada Gambar 38. a) b) (65.52%) (21.05%) (46.69%) (41.18%) (46.10%) (67.16%) (56.96%) (69.36%) Gambar 38. Diagram layang status keberlanjutan rumah panggung (a) dan status keberlanjutan rumah tapak (b)

128 103 Berdasarkan Gambar 38 dapat diketahui status keberlanjutan rumah panggung dan rumah tapak tiap dimensi sebagai berikut: 1. Status keberlanjutan multidimensi rumah panggung sebesar 54,27% dengan status Cukup Berkelanjutan Dimensi ekologi (65,52%) : cukup berkelanjutan Dimensi ekonomi (41,18%) : kurang berkelanjutan Dimensi sosial-budaya (56,96%) : cukup berkelanjutan Dimensi teknologi (46,69%) : kurang berkelanjutan 2. Status keberlanjutan multidimensi rumah tapak sebesar 46,46% dengan status Kurang Berkelanjutan Dimensi ekologi (21,05%) : tidak berkelanjutan Dimensi ekonomi (67,16%) : cukup berkelanjutan Dimensi sosial-budaya (69,36%) : cukup berkelanjutan Dimensi teknologi (46,10%) : kurang berkelanjutan Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dari 20 atribut yang dianalisis, terdapat 9 atribut sensitif dan 5 atribut dominan untuk tipologi rumah panggung, dan 15 atribut sensitif dan 3 atribut dominan untuk tipologi rumah tapak Analisis Monte Carlo Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan tipologi rumah panggung dan rumah tapak di Sungai Raya pada selang kepercayaan 95%, yang memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil analisis Rap-Peatset (Multi Dimensional Scaling = MDS). Selisih nilai < 1 yaitu 0,59 untuk rumah panggung dan 0,23 untuk rumah tapak, yang menunjukkan bahwa perhitungan MDS dengan menggunakan Rap-Peatsett memiliki tingkat presisi yang tinggi (Pitcher dan Preikshot, 2001). Tabel 19. Analisis Monte Carlo rumah panggung Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo Selisih Dimensi Ekologi 65,52 64,82 0,70 Dimensi Ekonomi 41,18 40,95 0,23 Dimensi Sosial-Budaya 56,96 56,25 0,71 Dimensi Teknologi 46,69 46,00 0,69 Monte Carlo (multidimensi) 0,59

129 104 Tabel 20. Analisis Monte Carlo rumah tapak Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo Selisih Dimensi Ekologi 21,05 22,61 1,56 Dimensi Ekonomi 67,16 65,91 1,25 Dimensi Sosial-Budaya 69,36 66,88 2,48 Dimensi Teknologi 46,10 45,47 0,63 Monte Carlo (multidimensi) 0, Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis MDS dengan pendekatan Rap-Peatset, diketahui bahwa status keberlanjutan tipologi rumah panggung secara umum cukup berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan sebesar 54,27%, sementara tipologi rumah tapak kurang berkelanjutan dengan nilai 46,46%. Nilai indeks keberlanjutan rumah panggung yang lebih besar dari rumah tapak disebabkan perbedaan nilai (skor) pada dimensi ekologi yang cukup signifikan, dimana nilai indeks dimensi ekologi rumah panggung sebesar 65,52% sementara nilai indeks dimensi ekologi rumah tapak sebesar 21,05%. Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa dari 20 atribut yang dianalisis, terdapat 9 atribut sensitif dan 5 atribut dominan untuk tipologi rumah panggung, dan 15 atribut sensitif dan 3 atribut dominan untuk tipologi rumah tapak. Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa selisih nilai < 1 (antara 0,2-0,6) yaitu 0,59 untuk rumah panggung dan 0,23 untuk rumah tapak, yang menunjukkan bahwa perhitungan MDS dengan menggunakan Rap-Peatsett memiliki tingkat presisi yang tinggi.

130 105 VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI Abstrak Pemekaran Kabupaten Kubu Raya tahun 2007 dengan ibukota kabupaten yang berkedudukan di Sungai Raya, serta status kawasan Sungai Raya yang juga sebagai hinterland Kota Pontianak menunjukkan indikasi pesatnya pembangunan di kawasan tersebut khususnya industri perumahan yang diprediksi akan mengalami peningkatan pesat. Kawasan Sungai Raya yang notabene merupakan wilayah bergambut, menciptakan suatu kondisi yang dilematis terhadap pembangunan permukiman di kawasan tersebut. Dampak dari pembangunan permukiman di kawasan Sungai Raya akan menimbulkan berbagai persepsi masyarakat terhadap rumah tinggal sebagai salah satu kebutuhan primer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat terhadap perumahan dan permukiman. Metode analisis menggunakan analisis kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memiliki rumah sendiri (71%) dimana 33% berstatus sewa/kontrak dan 38% masih tinggal dengan orang tua. Sebayak 69% responden memilih sistem pembayaran kredit apabila hendak membeli rumah dengan kemampuan mencicil maksimal Rp. 2.5 juta per bulan (< Rp. 1 juta sebanyak 51% dan Rp juta sebanyak 43%). Kisaran harga rumah yang terjangkau oleh responden maksimal Rp. 250 juta rupiah (< Rp. 100 juta sebanyak 44% dan Rp juta sebanyak 36%). Sekitar 44% responden menyatakan kurang paham terhadap kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan gambut. Sementara 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai lokasi tempat tinggal dan 43%menginginkan rumah dengan desain arsitektur yang menarik. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah tinggal antara lain: kualitas bangunan, ketersediaan sarana dan prasarana, kedekatan dengan lokasi tempat kerja dan harga rumah yang relatif murah. Sebanyak 79% responden menyatakan struktur panggung cocok untuk di lahan gambut dan sebanyak 53% responden berminat terhadap tipologi hunian vertikal (Model A), 29% memilih hunian horizontal 2-3 lantai (Model B) dan 19% memilih hunian horizontal 1 lantai (Model C). Persepsi responden terhadap hunian vertikal (rusun/apartemen) sebagai berikut: a) kelebihan hunian vertikal antara lain: hemat lahan, tertata rapih, lebih murah, sosialisasi baik, kredit murah, bebas banjir, dan praktis, b) beberapa kelemahannya yaitu: pada beberapa kasus terkesan kumuh, padat, berisik, rawan konflik, akses ke lantai teratas cukup jauh jika tanpa lift, dan kesulitan dalam distribusi air. Kata kunci : preferensi, persepsi, tipologi, perumahan. 6.1 Pendahuluan Pemerintah daerah Kabupaten Kubu Raya yang berkedudukan di Sungai Raya terus melakukan pembangunan di berbagai bidang guna mewujudkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Salah satu kebutuhan pokok masyarakat diantaranya kebutuhan akan perumahan dan permukiman. Meningkatnya kebutuhan akan permukiman di kawasan Sungai Raya disebabkan tingginya animo masyarakat penglaju (commuter) Kota Pontianak untuk memilih

131 106 tempat tinggal di wilayah pinggiran (hinterland), selain itu status kawasan Sungai Raya sebagai kota baru pemerintahan yang berpotensi akan berkembang pesat menjadi kawasan perkotaan. Sehubungan dengan karakteristik lahan di kawasan Sungai Raya yang notabene merupakan wilayah bergambut, maka meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan lingkungan, sosial, ekonomi dan teknologi. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan ekosistem yang mengemban misi lingkungan yang besar, sehingga laju ekspansinya perlu dikontrol dan dikendalikan. Potret kondisi di lapangan memberikan gambaran bahwa trend rumah tapak yang dikembangkan oleh developer mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat, sementara tipologi rumah panggung sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kuno. Pembangunan rumah tapak dianggap tidak berwawasan lingkungan karena berpotensi merusak ekosistem gambut. Lahan gambut yang akan dijadikan permukiman di drain hingga level maksimal kemudian ditimbun dengan tanah mineral sehingga gambut tidak tersisa lagi. Kondisi ini telah menghilangkan fungsi ekologi gambut sebagai peredam banjir dan penyimpan karbon yang sangat baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap tipologi bangunan tempat tinggal yang berwawasan lingkungan, mengetahui tingkat kemampuan masyarakat secara financial, mengetahui minat dan preferensi masyarakat terhadap perumahan yang layak huni, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memilih tempat tinggal, seperti: usia, tingkat pendidikan, penghasilan, status sosial, lokasi, mata pencaharian. 6.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat terhadap perumahan dan permukiman adalah metode analisis kuantitatif yang berasal dari rekapitulasi kuesioner responden. Uji kuantitatif terhadap persepsi masyarakat menggunakan Skala Likert dalam bentuk tabulasi, persentase dan grafik. Proses pengolahan data menggunakan perangkat lunak (software) komputer dengan program Excel. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan wawancara (interview) dengan menggunakan kuesioner. Penentuan sample dilakukan dengan metode purposive sampling melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) membagi responden menjadi dua kelompok (cluster) yaitu responden yang bekerja di Sungai Raya dan responden yang bekerja di Kota

132 107 Pontianak (dalam radius yang tidak terlalu jauh dari Sungai Raya) dengan pertimbangan pemilihan lokasi tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja; 2) Jumlah sampel masing-masing cluster ditentukan 35 responden, sehingga total sampel dua lokasi tersebut sebanyak 70 responden; 3) penentuan responden berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: 70% responden dengan kriteria belum memiliki rumah sendiri dan 30% sudah memiliki rumah (dengan pertimbangan responden terpilih akan berpeluang besar untuk memilih tempat tinggal di kawasan Sungai Raya), merupakan keluarga muda atau baru bekerja, dan berpenghasilan baik. 6.3 Hasil dan Pembahasan Identitas Umum Responden Terdapat beberapa karakteristik responden berdasarkan tempat tinggal dan tempat bekerja, yaitu; 1) Responden bekerja di Sungai Raya dan tinggal di Sungai Raya; 2) Responden bekerja di Sungai Raya tetapi tinggal di Pontianak; 3) Responden bekerja di Pontianak dan tinggal di Pontianak; dan 4) Responden bekerja di Pontianak tetapi tinggal di Sungai Raya. Karakter yang terbentuk diatas disebabkan kawasan Sungai Raya yang juga berfungsi sebagai hinterland Kota Pontianak, merupakan lokasi strategis dengan jarak tempuh yang relatif terjangkau untuk skala kota sehingga menjadi sasaran utama sebagai lokasi tempat tinggal. Selain itu, ibukota Kabupaten Kubu Raya yang juga berkedudukan di Sungai Raya menjadikan kawasan ini sebagai cikal bakal kota baru mandiri (kota baru pemerintahan) walaupun pada awalnya pemenuhan kebutuhan masyarakat Sungai Raya masih bergantung pada fasilitas Kota Pontianak (kota baru satelit). Berdasarkan distribusi usia responden, pengelompokan dilakukan berdasarkan rentang usia yang dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu responden yang berusia tahun, tahun, tahun, dan tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia tahun dengan persentase sebanyak 47%, kemudian urutan kedua adalah responden berusia tahun sebanyak 34%, urutan ketiga responden berusia tahun (10%) dan paling sedikit responden berusia tahun (9%). Usia responden antara 36 s/d 55 tahun dengan persentase yang besar menunjukkan usia kerja produktif yang dapat dijadikan indikator tingkat kemapanan dan kematangan dalam pengambilan keputusan (Gambar 39a).

133 108 Sementara berdasarkan distribusi jenis kelamin menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 49 orang dengan persentase 70% dan 30% untuk jenis kelamin perempuan dengan jumlah 21 orang (Gambar 39b). a 10% 9% tahun 47% 34% tahun tahun tahun b 30% 70% Laki-laki Perempuan Gambar 39. Distribusi Usia (a) dan jenis kelamin (b) Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebagian besar merupakan penduduk asli Kalbar yaitu sebanyak 46 responden (66%) dan sebesar 34% atau 24 responden merupakan penduduk pendatang yang antara lain berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jakarta (Gambar 40a). Bagi sebagian penduduk pendatang ada yang sudah lama merantau ke Kalbar sehingga sudah menetap di Kalbar, selain itu ada juga yang baru bermigrasi beberapa tahun dikarenakan mutasi pekerjaan. Dilihat dari jenis pekerjaan responden, diketahui bahwa sebagain besar responden pada penelitian ini bermata pencaharian sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 26 responden dengan persentase sebesar 37%, kemudian diikuti oleh PNS/polisi/ABRI sebesar 23%, profesi dosen/guru 21%, wiraswasta 13% dan pedagang/petani serta pensiunan masing-masing sebesar 3% (Gambar 40b).

134 109 a 34% 66% Penduduk asli Pendatang b 3% 3% 13% 23% 37% 21% PNS/Polisi/ABRI Karyawan Swasta Pedagang/Petani Dosen/Guru Pengusaha/Wiraswasta Pensiunan/dll Gambar 40. Distribusi daerah asal (a) dan pekerjaan (b) Sementara untuk tingkat pendidikan responden dikelompokkan mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi S1/S2. Hasil distribusi tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa sebesar 51% responden merupakan sarjana S1 dan S2 dengan persentase terbesar, pada urutan kedua responden dengan pendidikan SLTA/SMK yaitu sebesar 30%, selanjutnya responden dengan pendidikan diploma (D3/D4) sebesar 15%, dan responden dengan pendidikan SLTP dan SD masingmasing sebesar 3% dan 1% (Gambar 41).

135 110 1% 3% 51% 30% 15% SD SLTP SLTA/SMK Diploma (D3/D4) Sarjana (S1/S2) Gambar 41. Distribusi tingkat pendidikan Berdasarkan distribusi status pernikahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berstatus menikah yaitu sebesar 77%, dan responden yang berstatus belum menikah sebesar 21%, sementara sebesar 2% dengan status lainnya (Gambar 42a). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden telah berkeluarga dimana kebutuhan tempat tinggal sudah menjadi kebutuhan pokok yang prioritas. 2% 21% 77% a Belum menikah Menikah Lainnya 31% 2% 67% b 0-2 orang 3-4 orang > 4 orang Gambar 42. Distribusi status pernikahan (a) dan jumlah anak (b)

136 111 Selanjutnya Gambar 42b menunjukkan jumlah anak yang dimiliki oleh masing-masing responden yang telah berkeluarga, dimana sebagain besar responden merupakan keluarga kecil dengan 0 2 orang anak yaitu sebesar 67% dan responden dengan 3 4 orang anak sebesar 31%, sedangkan responden yang memiliki lebih dari 4 orang anak sebesar 2%. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tipe hunian yang dibutuhkan untuk keluarga tersebut termasuk tipe hunian kecil sampai sedang. Tipe hunian kecil sampai sedang dapat diinterpretasikan sebagai rumah tipe 45 hingga tipe 75 dengan spesifikasi memiliki 2 atau 3 kamar tidur. Sementara itu distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dapat dijelaskan pada Gambar 43. 7% 41% 52% 2-4 orang 5-6 orang > 6 orang Gambar 43. Distribusi jumlah anggota keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dengan persentase terbesar adalah 2 4 orang anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yaitu sebesar 52%, sementara anggota keluarga berjumlah 5 6 orang sebesar 41% dan anggota keluarga yang berjumlah lebih dari 6 orang hanya sebesar 7%. Responden dengan jumlah anggota keluarga antara 5 6 orang atau lebih menunjukkan indikasi bahwa keluarga tersebut sebagian besar masih tinggal bersama orang tua. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan total dalam sebulan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok penghasilan yang dapat dilihat pada Gambar 44. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan persentase terbesar adalah responden berpenghasilan antara 1 juta s/d 2.5 juta yaitu sebesar 35%, urutan kedua adalah responden berpenghasilan 2.5 juta s/d 5 juta sebesar 27%, sementara pada urutan ketiga adalah responden dengan penghasilan antara 5 juta s/d 10 juta yaitu sebesar 23%, sedangkan responden berpenghasilan kurang dari 1 juta dan lebih dari 10 juta masing-masing hanya sebesar 7%. Kelompok

137 112 responden dengan penghasilan < 2.5 juta dapat dikategorikan sebagai kelas menengah bawah, yang berpenghasilan antara juta termasuk kategori kelas menengah, sementara penghasilan 5 10 juta termasuk kategori kelas menengah atas dan penghasil > 10 juta termasuk kategori kelas atas. Hal ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan ratio tipe rumah yang akan dibangun. Ratio yang biasanya digunakan untuk pemerataan tipe rumah berdasarkan kebijakan perumahan dan permukiman adalah 1 : 2 : 3 atau 1 : 3 : 6 artinya setiap pembangunan 1 unit rumah mewah harus diimbangi dengan membangun 2 atau 3 unit rumah menengah dan 3 atau 6 unit rumah sederhana. Data responden menunjukkan persentase responden kelas menengah dan kelas bawah yang cukup besar sehingga dapat menggunakan ratio 1 : 3 : 6. < Rp. 1 juta Rp. 1 juta - Rp. 2.5 juta Rp. 2.5 juta - Rp. 5 juta Rp. 5 juta - Rp. 10 juta > Rp. 10 juta 23% 7% 7% 36% 27% Gambar 44. Distribusi penghasilan total per bulan Karakteristik Responden Selain data-data umum responden yang telah dijabarkan diatas, dalam penelitian ini juga akan dijelaskan informasi-informasi yang lebih khusus, seperti: status kepemilikan rumah, kemampuan responden secara finansial, serta beberapa pertimbangan dan alasan yang terkait dengan perumahan dan permukiman. Berdasarkan distribusi status kepemilikan rumah, sebelumnya secara purposive telah ditentukan bahwa lebih dari 70% responden adalah yang belum memiliki rumah sendiri. Dalam penelitian ini status kepemilikan rumah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: responden yang sudah memiliki rumah sendiri dan responden yang belum memiliki rumah sendiri. Selanjutnya untuk yang berstatus belum memiliki rumah akan dibedakan menjadi status sewa/kontrak/kost dan status masih tinggal bersama orang tua/keluarga. Distribusi responden berdasarkan status kepemilikan rumah dapat dilihat pada Gambar 45.

138 % 33% 38% Rumah Sendiri Sewa/Kontrak/Kost Tinggal dengan Orang Tua/Keluarga Gambar 45. Distribusi status kepemilikan rumah Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa responden dengan status sudah memiliki rumah sendiri sebesar 29%, sementara responden yang berstatus sewa/kontrak/kost sebesar 33% dan responden yang masih tinggal bersama orang tua/keluarga sebesar 38%. Jika dilihat dari status penghasilan responden, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sudah memiliki rumah sendiri memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar 5 juta. Gambar 46a menjelaskan berbagai alasan responden sehingga belum memiliki rumah sendiri yang dibedakan menjadi 3 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan yang paling banyak adalah karena dana yang dimiliki belum mencukupi yaitu sebesar 58%, sementara di urutan kedua dengan alasan mutasi pekerjaan, belum menikah dan lain-lain sebesar 24%, dan sekitar 18% dengan pertimbangan masih menemani orang tua. Responden yang mengemukakan alasan belum mencukupi secara finansial rata-rata memiliki penghasilan kurang dari sama dengan 2.5 juta rupiah. Berdasarkan perhitungan logis dapat diprediksi dalam jangka waktu 2-3 tahun kedepan dengan kondisi finansial yang semakin meningkat, rencana untuk memiliki rumah sendiri akan dapat menjadi kenyataan. Dalam penelitian ini juga diperoleh informasi tentang minat responden untuk memiliki rumah sendiri (Gambar 46b). Dari 50 responden yang belum memiliki rumah dapat dilihat bahwa antusiasme responden untuk memiliki rumah sendiri sangat besar yaitu dengan persentase 82%, sementara 18% lainnya menyatakan tidak berminat dengan pertimbangan masih menemani orang tua, menempati rumah dinas, masih banyak keperluan yang lebih mendesak dan beberapa pertimbangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sandang sudah menjadi kebutuhan pokok yang prioritas seiring dengan semakin tingginya tuntutan kehidupan.

139 % 18 % 24 % a Dana belum mencukupi Menemani orang tua (mutasi,belum menikah,dll) % % 0 b Ya Tidak Gambar 46. Distribusi pertimbangan terhadap status kepemilikan rumah (a) dan minat untuk memiliki rumah sendiri (b) Berkaitan dengan sistem pembayaran yang dipilih masing-masing responden dibedakan menjadi 3 sistem pembayaran, yaitu: cash, cash bertahap dan kredit. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden memilih pembayaran dengan sistem kredit yaitu sebesar 69%. Hal ini dapat dikaitkan dengan jenis pekerjaan responden yang sebagian besar adalah karyawan (negeri/swasta) dengan sistem pembayaran gaji yang rutin setiap bulannya. Sementara responden yang memilih sistem pembayaran secara cash sebesar 15% dengan penghasilan rata-rata per bulan diatas 10 juta dan jenis pekerjaan sebagian besar adalah pengusaha (wiraswasta). Hanya sekitar 7% responden yang memilih sistem pembayaran secara cash bertahap. Penjelasan dapat dilihat pada Gambar 47a. Dalam penelitian ini dapat diketahui kisaran harga rumah yang sesuai dengan kemampuan masing-masing responden yang dibedakan menjadi 4 kelompok kisaran

140 115 harga. Persentase terbesar adalah harga rumah kurang dari Rp. 100 juta rupiah yaitu sebesar 44%, pada urutan kedua dengan harga rumah antara Rp juta rupiah dengan persentase sebesar 36%, sementara pada urutan ketiga dengan harga rumah berkisar antara Rp juta yaitu sebanyak 16%, dan yang paling sedikit adalah harga rumah dengan kisaran harga Rp. 500 juta 1 milyar yaitu sekitar 4%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan membayar (ability to pay) responden yang masih tergolong rendah dimana secara sosial termasuk kategori masyarakat strata rendah. Distribusi kisaran harga rumah masing-masing responden dapat dijelaskan pada Gambar 47b % a % 7% Cash Cash bertahap Kredit % 36% % 4% 0 b < Rp. 100 juta Rp. 100 juta - Rp. 250 juta Rp. 250 juta - Rp. 500 juta Rp. 500 juta - Rp. 1 milyar Gambar 47. Distribusi sistem pembayaran (a) dan kisaran harga rumah (b) Bagi responden yang memilih sistem pembayaran kredit, pada penelitian ini juga diperoleh informasi tentang kesediaan membayar responden setiap bulannya untuk mencicil rumah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pilihan paling banyak

141 116 adalah cicilan kurang dari Rp. 1 juta rupiah yaitu sebesar 51%, urutan kedua terbanyak adalah cicilan antara Rp juta rupiah sebanyak 43%, sedangkan di urutan terakhir dengan harga cicilan berkisar antara Rp juta rupiah yaitu sebesar 6%. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa untuk cicilan kurang dari satu juta, maka harga rumah yang dapat ditawarkan adalah seharga Rp. 50 juta dengan asumsi masa kredit 10 tahun dan bunga bank sebesar 12% per tahun, yaitu dengan cicilan Rp ,- per bulan. Sementara untuk cicilan antara juta per bulan, maka prediksi harga rumah yang dapat ditawarkan berkisar antara Rp. 70 Rp. 135 juta rupiah. Ilustrasi mengenai kisaran harga cicilan/kredit rumah dapat dilihat pada Gambar % 43% 6% 0% < Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Gambar 48. Distribusi kisaran cicilan rumah Pemahaman Lingkungan dan PemilihanTipologi Perumahan Pada penelitian ini dapat diketahui pemahaman responden terhadap eksploitasi lahan gambut dan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Beberapa pertanyaan diajukan terkait masalah pembangunan perumahan di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: a) isu lingkungan tentang pemanasan global (global warming) dan gas rumah kaca (GRK), b) persentase sumber emisi CO 2 Indonesia yang terbesar akibat dari penggundulan hutan dan alih fungsi lahan, c) kemampuan lahan gambut dalam menyimpan karbon 10x hutan tropis (WI-IP, 2006), d) ekosistem gambut sebagai pengatur hidrologi dan peredam banjir, dan e) tanggapan responden terhadap kemungkinan dampak dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui preferensi masyarakat terhadap tipologi bangunan maupun lokasi permukiman yang diminati ditinjau dari beberapa aspek.

142 117 Hasil penelitian tentang pemahaman responden terhadap isu lingkungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau sekitar 44% responden kurang memahami tentang beberapa isu lingkungan yang diajukan dengan kata lain hanya sebatas pernah mendengar isu tersebut saja. Sementara 34% responden mengakui bahwa mereka tahu dan sangat paham tentang permasalahan lingkungan yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut. Hanya sekitar 15% saja yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu dan tidak paham mengenai isu lingkungan tersebut. a Paham Kurang Paham Tidak Paham Series1 jumlah Series2 ( % ) 34,29 44,29 21,43 b Sangat Berminat Kurang Berminat Tidak Berminat jumlah Series ( Series2 % ) 97,14 2,86 0 Gambar 49. Pemahaman lingkungan (a), minat terhadap hunian ramah lingkungan (b) Hasil penelitian juga menunjukkan sikap optimistik responden dimana 100% responden menyatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mendukung segala upaya pengendalian untuk meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan khususnya yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut kawasan Sungai Raya. Sebanyak 97% responden menyatakan bahwa

143 118 mereka sangat berminat untuk memiliki hunian yang ramah lingkungan, dan 3% menyatakan kurang berminat (Gambar 49b) Berdasarkan alternatif lokasi permukiman, dalam hal ini ditawarkan 3 (tiga) lokasi permukiman dengan karakteristik serupa yaitu lahan bergambut, pada wilayah hinterland, dan secara eksisting sudah berkembang sebagai kawasan permukiman. Ketiga lokasi tersebut meliputi: a) Sungai Raya, b) Sungai Kakap (Pal), dan c) Seberang (Siantan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase paling banyak yaitu sebesar 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai alternatif pertama, sementara pada urutan kedua atau sekitar 16% responden memilih kawasan Sungai Kakap (Pal) dan hanya sebesar 4% responden yang memilih kawasan Siantan (Gambar 50). Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Sungai Raya memiliki beberapa kelebihan sebagai alternatif lokasi permukiman, antara lain: aksesibilitas yang baik dilalui oleh jalan nasional (arteri primer), kedekatan lokasi dengan kawasan pendidikan dan perkantoran di jalan Ahmad Yani Pontianak, kegiatan perekonomian cukup berkembang, ketersediaan sarana dan prasarana permukiman yang memadai, dan industri perumahan yang berkembang pesat Sungai Raya Sungai Kakap / Pal Seberang / Siantan Series1 jumlah Series2 ( % ) 80,00 15,71 4,29 Gambar 50. Alternatif pilihan lokasi tempat tinggal Sementara untuk kawasan Sungai Kakap dimana kegiatan perekonomian belum berkembang pesat sehingga daerah tersebut masih relatif sepi, perumahan masih sangat jarang dan akses kendaraan umum terbatas. Demikian juga kawasan Siantan, kondisi geografis yang terpisah oleh Sungai Kapuas dimana akses yang tersedia hanya satu buah jembatan penyebrangan yang menuju pusat kota (satu jembatan lainnya di pinggiran kota) dan satu buah terminal kapal ferry penyeberangan sehingga menjadi pertimbangan besar untuk memilih lokasi tempat tinggal di kawasan tersebut.

144 119 Distribusi responden menurut tipe hunian yang diminati dikelompokkan menjadi 5 pilihan yang meliputi: (A) rumah besar dengan halaman yang luas, (B) rumah sederhana untuk keluarga kecil, (C) rumah kecil tetapi memiliki halaman luas untuk berkebun, (D) rumah murah yang penting bisa punya tempat tinggal sendiri, dan (E) rumah dengan desain arsitektur dan interior yang menarik. Beberapa pilihan diatas dapat dipilih lebih dari satu, dengan tujuan untuk melihat kecenderungan minat dan preferensi responden terhadap hunian yang diminati atau dengan kata lain rumah idaman. Gambar 51 menunjukkan distribusi pilihan responden: Axis Title A B C D E jumlah Series ( Series2 % ) 8,08 14,14 29,29 5,05 43,43 Gambar 51. Distribusi tipologi hunian yang diminati Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah dengan desain arsitektur dan interior yang menarik paling banyak dipilih oleh responden yaitu sebesar 43%, pada urutan kedua adalah rumah kecil dengan halaman luas untuk berkebun sebanyak 29%, selanjutnya di urutan ketiga tipe rumah sederhana untuk keluarga kecil sebesar 14%, 8% untuk tipe rumah besar dengan halaman luas, dan sebesar 5% memilih rumah murah. Hasil distribusi tentang tipologi hunian yang diminati responden menggambarkan selera atau keinginan yang cukup tinggi dimana desain bangunan menjadi prioritas dalam memilih rumah tinggal. Hal ini cukup kontradiktif jika dibandingkan dengan kemauan membayar (willingness to pay) responden dimana persentase terbesar untuk harga rumah adalah kurang dari Rp. 100 juta dengan cicilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan. Selain itu, dalam penelitian ini dapat juga diketahui beberapa pertimbangan dalam memilih rumah tinggal yang dikelompokkan menjadi enam kriteria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 pilihan jawaban, 4 diantaranya terdistribusi dengan baik, dan 2 pilihan lainnya kurang menjadi prioritas. Empat kriteria yang

145 120 menjadi pertimbangan utama adalah: 1) kualitas bangunan/desain/finishing (C) sebanyak 26%, ketersediaan sarana dan prasarana (E) sebanyak 22%, kedekatan lokasi terhadap tempat bekerja (B) sebanyak 21%, dan harga rumah (A) sebanyak 20%. Sementara dua kriteria yang kurang menjadi prioritas meliputi lokasi berada di pusat keramaian (D) sebesar 8% dan jauh dari pusat kota (F) sebesar 2%. a A B C D E F jumlah Series ( Series2 % ) 20,54 21,43 25,89 8,04 22,32 1,79 b Struktur panggung Struktur telapak (lajur) jumlah Series ( Series2 % ) 78,57 21,43 Gambar 52. Distribusi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal (a) dan pemilihan tipe struktur yang sesuai di lahan gambut (b) Selanjutnya Gambar 52b menunjukkan persepsi responden terhadap tipe struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut, dalam hal ini dibedakan menjadi dua yaitu tipe struktur panggung dan struktur telapak (lajur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 79% responden beranggapan bahwa struktur bangunan yang cocok untuk di lahan gambut adalah struktur panggung, sementara sekitar 21% beranggapan bahwa struktur tapak yang sesuai. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya responden cukup paham mengenai kondisi lahan gambut yang

146 121 tergolong tanah lunak sehingga tiang-tiang pancang pondasi merupakan solusi yang cukup rasional dengan pertimbangan kondisi lahan yang cenderung selalu basah. Namun kondisi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya dimana rumah panggung sudah tidak diminati lagi. Hal ini ditandai dengan jumlah rumah panggung yang ditemukan di lapangan sudah sangat sedikit. Rumah panggung juga dianggap tidak modern dan secara arsitektur sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pada dasarnya, dalam prinsip-prinsip mendesain sebuah bangunan, aspek struktur dan arsitektur merupakan dua unsur berbeda yang harus dikemas sebagai satu kesatuan yang utuh. Struktur bangunan lebih ditekankan kepada faktor kekuatan bangunan (firmitas) dimana bangunan dapat berdiri kokoh diatas lahan yang tersedia, sementara arsitektur lebih ditekankan kepada aspek estetika secara visual yang biasanya diaplikasikan pada facade (tampak) bangunan. Sehingga walaupun sebuah bangunan menggunakan struktur panggung, tidak berarti bahwa estetika bangunan tidak bisa diperoleh secara maksimal. Dengan rekayasa teknologi dan kemampuan mendesain yang baik, bentuk struktur apapun bisa dipadankan dengan tampilan façade bangunan yang menarik. Seiring dengan kemajuan teknologi khususnya dibidang desain arsitektur, industri perumahan saat ini tampil dengan desain yang baik (rumah tapak) sehingga menarik minat masyarakat untuk memiliki rumah-rumah yang ditawarkan oleh developer. Hal ini menyebabkan semakin jauh kesenjangan antara tipologi rumah panggung dengan tipologi rumah tapak yang tengah menjadi primadona saat ini. Berdasarkan konsep desain menurut distribusi luas lantai, dikenal dua macam tipologi bangunan yaitu secara horizontal (landed housing) dan secara vertikal (highrise building). Fenomena yang berkembang di kota besar dengan keterbatasan lahan yang tersedia, maka hunian vertikal menjadi solusi tempat tinggal yang cukup diminati kalangan masyarakat tertentu. Beberapa tahun belakangan ini, di Kota Pontianak mulai berkembang tipologi hunian vertikal untuk kelas menengah bawah (middle low) yang ternyata cukup diminati. Secara toponym, hunian vertikal kelas menengah bawah lebih dikenal dengan istilah rumah susun (rusun). Beberapa unit rusun telah dibangun di kawasan jeruju dan kawasan pendidikan Universitas Tanjungpura dan Politeknik Negeri Pontianak. Animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap rusun (harga/sewa murah) menjadi pertimbangan utama untuk terus melakukan penambahan unit hunian. Pemilihan tipologi hunian yang diminati oleh responden dalam hal ini dibedakan menjadi 3 kelompok model hunian, yaitu: Model A Hunian Vertikal

147 122 (4-8 lantai), Model B Hunian Horizontal (2-3 lantai), dan Model C Hunian Horizontal 1 lantai (Gambar 53). MODEL A Hunian vertikal (rusun/apartemen) Lahan gambut yang dibutuhkan relatif sedikit. Efisien dalam pembangunan sarana & prasarana. Potensi menyebabkan banjir relatif kecil. Potensi lepasnya CO 2 dari gambut relatif kecil. Biaya konstruksi cukup tinggi, tapi harga lahan rendah. Menggunakan konstruksi beton MODEL B Hunian horizontal (2-3 lantai) Lahan gambut yang dibutuhkan cukup luas. Pembangunan sarana & prasarana kurang efisien (lahan menyebar). Potensi menyebabkan banjir cukup besar. Potensi lepasnya CO 2 dari gambut cukup besar. Biaya konstruksi relatif rendah, tapi harga lahan cukup tinggi. Konstruksi beton/kayu. MODEL C Hunian horizontal (1 lantai) Lahan gambut yang dibutuhkan sangat luas. Pembangunan sarana & prasarana kurang efisien (lahan menyebar). Potensi menyebabkan banjir sangat besar. Potensi lepasnya CO 2 dari gambut sangat besar. Biaya konstruksi rendah, tapi harga lahan tinggi. Konstruksi beton/kayu Gambar 53. Preferensi Model Hunian (vertikal, bertingkat, tidak bertingkat) Dari ketiga model tipologi hunian yang ditawarkan, distribusi pilihan responden menunjukkan bahwa pilihan terbanyak adalah Model A dengan persentase sebesar 53%, sementara di urutan kedua adalah Model B dengan persentase 29% dan di urutan ketiga adalah model C dengan persentase sekitar 19% Model A Model B Model C jumlah Series ( Series2 % ) 52,86 28,57 18,57 Gambar 54. Distribusi pemilihan model hunian yang diminati

148 123 Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa minat responden terhadap hunian vertikal cukup besar. Dari 37 responden (52.86% ) yang memilih model vertikal, dapat diketahui informasi karakteristik responden sebagai berikut: % 27.03% 24.32% % 2.70% 2 1 < 1,000, ,5 juta 2,5-5 juta 5-10 juta > 10 juta Gambar 55. Distribusi penghasilan responden yang memilih model vertikal % 54.05% 40.54% 59.46% rumah sendiri sewa/dgn ortu Cash Credit Gambar 56. Status kepemilikan rumah dan sistem pembayaran yang dipilih % 33.33% % % 2 0 < 100 juta juta juta 500 juta - 1 M Gambar 57. Kisaran harga rumah (sistem pembayaran cash)

149 % 50% % 0% 2 0 < 1 juta juta juta 5-10 juta Gambar 58. Kisaran cicilan rumah (sistem pembayaran credit) 6.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 70% dengan rentang usia antara tahun dengan persentase terbesar yaitu 46%. Sebanyak 66% responden merupakan penduduk asli Kalbar dengan jenis pekerjaan dominan adalah karyawan swasta yaitu sebesar 37%. Selanjutnya sebanyak 51% responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan 77% berstatus menikah. Jumlah anak yang dimiliki responden antara 0 2 orang anak sebesar 67% dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah antara 2 4 orang sebesar 52%. Tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp juta rupiah per bulan dengan persentase sebesar 36% (termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah). Berdasarkan status kepemilikan rumah, sekitar 70% responden belum memiliki rumah sendiri, yang terdistribusi sebanyak 38% masih tinggal dengan orang tua dan 32% berstatus sewa/kost. Alasan belum memiliki rumah sendiri sebanyak 58% responden menyatakan belum memiliki dana yang cukup, dimana 82% menyatakan berniat dan berencana untuk memiliki rumah sendiri. Dapat diketahui juga sistem pembayaran yang dipilih apabila hendak membeli rumah yaitu sebanyak 69% responden memilih sistem pembayaran kredit, kemampuan mencicil < Rp. 1 juta sebanyak 51% dan antara Rp juta sebanyak 43%. Kisaran harga rumah yang mampu dibeli oleh responden yaitu < Rp. 100 juta sebanyak 44% dan antara Rp juta sebanyak 36%. Berdasarkan tingkat pemahaman responden terhadap lahan gambut dan kerusakan lingkungan, sebanyak 44% menyatakan kurang paham terhadap isu lingkungan tersebut. Namun demikian sekitar 97% responden berminat untuk

150 125 memiliki hunian yang ramah lingkungan. Menurut distribusi pemilihan lokasi tempat tinggal 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai lokasi tempat tinggal. Sementara berdasarkan tipologi hunian yang diminati, sebanyak 43% responden menyatakan lebih memilih hunian dengan desain arsitektur yang menarik. Pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal secara berturut-turut adalah: kualitas bangunan (26%), ketersediaan sarana dan prasarana (22%), kedekatan dengan lokasi tempat kerja (21%) dan harga rumah (20%). Berdasarkan persepsi responden terhadap jenis struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut 79% menyatakan struktur panggung yang sesuai untuk lahan gambut. Sebanyak 53% responden berminat terhadap tipologi hunian vertikal (Model A), 29% memilih hunian horizontal 2-3 lantai (Model B) dan 19% memilih hunian horizontal 1 lantai (Model C). Karakteristik responden yang memilih model hunian vertikal (53%) adalah sebagai berikut: a) sebagian besar responden (40.54%) berpenghasilan antara 2,5-5 juta rupiah (termasuk golongan MBR), b) sebanyak 54.05% responden yang belum memiliki rumah sendiri masih tinggal bersama orang tua, c) sebagian besar memilih sistem pembayaran kredit (59.46%), d) harga rumah (cash) yang terjangkau oleh responden maksimal Rp. 250 juta rupiah, dan e) cicilan rumah yang dapat disisihkan maksimal Rp. 2,5 juta rupiah per bulan.

151 127 VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Abstrak Hasil analisis keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya secara umum kurang berlanjut, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan statusnya hingga mencapai status berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan awal bahwa faktor manajemen lahan merupakan faktor kunci didalam pengelola permukiman berkelanjutan dengan cara menekan laju konversi lahan untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model permukiman berkelanjutan di kawasan bergambut (model fisik dan model dinamik). Metode analisis dengan menggunakan sistem dinamik dengan software Stella dan metode Composite Performance Indeks (CPI). Hasil perencanaan model fisik dinyatakan dalam bentuk Model Hunian Vertikal sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal pada lahan yang minimal. Sementara untuk meminimalisir degradasi lingkungan dinyatakan dalam bentuk Model Struktur Panggung yang mampu mempertahankan ekosistem gambut dan meminimalisir degradasi lingkungan. Kedua model tersebut dianalisis untuk mendapatkan varian model terbaik sekaligus untuk memvalidasi model yang diusulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat varian model yang dianalisis (horizontal tapak, horizontal panggung, vertikal tapak, dan vertikal panggung) diketahui bahwa model vertikal panggung merupakan model terbaik dengan skor , selanjutnya model vertikal tapak (skor: 300), model horizontal tapak (skor: 160), dan model horizontal panggung (skor: ). Hasil analisis skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya menunjukkan bahwa dari keempat skenario yang diusulkan, maka skenario 4 (konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting dan 75% pada lahan baru) merupakan skenario terbaik, dengan efisiensi lahan mencapai 37% sehingga terdapat surplus lahan sebesar ha, menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 27,933 unit hingga tahun 2032, penambahan proporsi RTH mencapai 58.65%. Surplus lahan dapat dialokasikan sebagai lahan cadangan untuk menambah jumlah hunian sebanyak 29,060 unit atau memperpanjang daya dukung lahan sampai dengan tahun Subsidi hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam bentuk suku bunga rendah 7.25% flat 15 tahun, dengan harga Rp. 99 juta/unit dan cicilan Rp ,-/bulan. Harga tersebut telah sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Kata kunci : model, permukiman, berkelanjutan, kawasan bergambut. 7.1 Pendahuluan Pertumbuhan rumah tapak di kawasan Sungai Raya saat ini terus mengalami peningkatan. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang sebagian besar merupakan lahan bergambut, menimbulkan kekhawatiran terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan secara ekologis tidak memenuhi kriteria

152 128 keberlanjutan. Rumah tapak semakin diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih kokoh dan modern dibanding rumah panggung. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa rumah panggung secara visual kurang menarik. Padahal dibalik kesederhanaannya, rumah panggung justru memiliki filosofi yang lebih berwawasan lingkungan karena proses pembangunannya relatif tidak merusak ekosistem gambut. Pembangunan rumah tapak yang notabene menggunakan pondasi lajur batu kali dan bertumpu pada tanah keras, berimplikasi pada rusaknya struktur tanah gambut yang menyebabkan kondisi tidak balik kembali (irreversible). Perlakuan seperti ini berpotensi menyebabkan terjadinya bencana ekologis berupa bencana banjir dan lepasnya sejumlah gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ) yang tersimpan didalam gambut. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan pengembangan model permukiman perkotaan di lahan bergambut secara berkelanjutan. Penataan kawasan permukiman perkotaan di Sungai Raya sepertinya cukup mendesak untuk dilakukan mengingat tingkat kemajuan pembangunan di kawasan tersebut cukup tinggi. Hingga tahun 2012 diperkirakan lebih dari Ha lahan gambut telah dikonversi menjadi kawasan permukiman (built up area). Permasalahan kunci yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana upaya untuk mengurangi laju konversi lahan gambut, namun disisi lain kebutuhan perumahan dan permukiman dapat terpenuhi. Hal ini pada dasarnya berkorelasi terhadap upaya efisiensi dan optimalisasi lahan, dimana model hunian vertikal dapat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah keterbatasan lahan seperti halnya di kota-kota besar yang padat penduduknya. Tidak menutup kemungkinan model hunian vertikal juga dapat diimplementasikan pada lahan gambut perkotaan yang tentunya perlu dibarengi dengan rekayasa teknologi agar memenuhi syarat secara konstruksi, sanitasi, dan estetika. Pada penelitian ini akan dikembangan 2 (dua) macam model, yaitu model ikonik dan model dinamik. Model ikonik merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda yang dapat divisualisasikan dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Sementara model dinamik adalah model yang memiliki keterkaitan secara dinamik antar komponen dan antar waktu yang dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan lintas disiplin sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

153 129 Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain model permukiman perkotaan di kawasan bergambut Sungai Raya secara berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk merumuskan kebijakan dibidang pembangunan perumahan dan permukiman di kawasan tersebut. 7.2 Metode Penelitian Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen yang saling terkait, yang di formulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (2003) sebuah pendekatan sistem memiliki tiga ciri yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik dengan 3 (tiga) pola dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam menjawab permasalahan, yaitu : (1) Sibernatik (cybernetic) yaitu berorientasi tujuan, (2) Holistik (holistic) yaitu cara pandang yang utuh terhadap sistem, dan (3) Efektif (effective) yaitu lebih mementingkan hasil guna yang operasional daripada pendalaman teoritis untuk mencari efisiensi keputusan. Alat analisis yang digunakan untuk mensimulasi interaksi antar variabel menggunakan software Stella. Menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007), tahapan pendekatan sistem terdiri dari 6 (enam) tahapan, yang meliputi : (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi massalah, (3) identifikasi sistem, (4) pemodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi, dan (6) implementasi. 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem atau stakeholders (Hartrisari 2007). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang terhadap jalannya sistem. Pelaku yang terlibat dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan pada wilayah bergambut ini adalah : (1) Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya, (2) Masyarakat, (3) Pengusaha (swasta), (4) Pengembang (developer), (5) Lembaga Keuangan, (6) Perguruan Tinggi (Institusi), dan (7) LSM

154 130 Tabel 21. Analisis kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) dalam penyusunan model permukiman perkotaan berkelanjutan. No Pelaku (Stakeholders) Kebutuhan 1. Pemerintah Daerah Pembangunan kota terencana Terpenuhi kebutuhan permukiman Tersedia lahan bagi permukiman 2. Masyarakat Tersedia hunian layak dan terjangkau Tersedia sarana dan prasarana 3. Developer Meningkatnya permintaan rumah Harga lahan/material murah 4. Pengusaha (swasta) Berkembangnya dunia usaha (ekonomi) Terciptanya market net-work yang luas 5. Lembaga keuangan Meningktanya permintaan kredit rumah Suku bunga tinggi 6. Institusi Sosialisasi pemahaman lingkungan Penelitian terkait permukiman lahan gambut 7. LSM Lingkungan Meminimalisasi eksploitasi lahan gambut 2. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interst) diantara para pelaku sistem dalam mencapai tujuan sistem. Formulasi masalah dilakukan atas dasar penentuan informasi yang telah dilakukan melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap (Eriyatno, 2003). Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan yang ada dari masing-masing stakeholders dengan adanya pengaruh dari stakeholders yang lain (Hartrisari, 2007). Selanjutnya, formulasi masalah perlu dikembangkan menjadi suatu pernyataan masalah yang mendefinisikan gugus kriteria kelakuan sistem yang kemudian di evaluasi (Eriyatno, 2003). Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan adanya perbedaan kepentingan antar pelaku dalam sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di lahan bergambut ini, maka diprediksi permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :

155 Belum adanya kebijakan dibidang permukiman yang mengatur secara khusus tentang pembangunan permukiman di wilayah bergambut. 2. Masih minimnya pemahaman masyarakat/pemerintah/swasta/institusi tentang dampak dari eksploitasi lahan gambut yang tidak terkendali, terkait misi lingkungan yang diembannya. 3. Kurangnya informasi tentang database sebaran lahan gambut, karakteristik, dan jenis peruntukan lahan khususnya di wilayah di Kalimantan Barat. 4. Belum adanya Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten di Kalimantan Barat yang mempertimbangkan fungsi ekologis lahan gambut sebagai suatu ekosistem yang perlu dijaga keberlanjutannya. 5. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pengembang, dan LSM terhadap proses pembangunan perumahan dan permukiman. 3. Identifikasi Sistem Pada tahap identifikasi sistem, pengkaji sistem mencoba memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut (Hartrisari, 2007). Menurut Eriyatno (2003), Identifkasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut. Pada tahap ini akan dilakukan pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram) atau diagram input-output (black box diagram). 4. Simulasi Model Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari. Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa (Grant et al., 1997).

156 132 Input Tak Terkendali : Jumlah penduduk Ketersediaan lahan Sebaran lahan gambut KKOP (Bandara) Input Lingkungan : UU No. 32 Tahun 2009 UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 1 Tahun 2011 Kepres No. 32 Thn 1990 RTRW Kab. Kubu Raya Output yang dikehendaki : Kebutuhan rumah terpenuhi. Bencana ekologis dapat dihindari. Input Terkendali : Hunian vertikal Struktur panggung Desain arsitektur Subsidi pemerintah Model Permukiman Perkotaan Berkelanjutan Pada Wilayah Bergambut Monitoring &Evaluasi Kinerja Pembangunan Permukiman. Pemerintah Daerah sebagai Decision Maker Pembuat Kebijakan dibidang permukiman Output tak dikehendaki : Konflik kepentingan Kerusakan lingkungan Penduduk melebihi carrying capacity Gambar 59. Diagram black box sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut pendapatan + Minat Masy. Daya beli teknologi kelahiran kematian Hunian vertikal + + Bencana ekologis + Kesadaran lingkungan emigrasi Populasi - + penduduk Emisi GRK Lahan terbangun imigrasi Ekspansi gambut Struktur tapak Pemekaran Kab. baru Kebutuhan rumah RTH & resapan + Hunian horizontal - Hinterland Pontianak Karakteristik lahan Struktur panggung - Gambar 60. Diagram causal loop sistem pengembangan permukiman perkotaan berkelanjutan di wilayah bergambut

157 Validasi Model Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem yang dibuat merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Validasi Model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas yang dikaji (Hartrisari, 2007). Validasi model dilakukan dengan menguji kebenaran struktur model dan keluaran model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Validasi struktur untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah atau didukung oleh struktur sistem nyata, sedangkan validasi keluaran model (kinerja) dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata (Muhammadi et al. 2001). Untuk validasi model permukiman berkelanjutan di wilayah bergambut dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) untuk validasi struktur dilakukan melalui studi pustaka/studi banding, sedangkan (2) untuk validasi kinerja dilakukan melalui metode kuesioner untuk melihat preferensi masyarakat. 7.3 Hasil dan Pembahasan Perubahan fungsi peruntukan ruang kota dari perumahan horizontal (landed housing) menjadi hunian vertikal tentunya bukanlah merupakan suatu persoalan sederhana. Namun demikian, konversi tersebut tidak berarti harus disikapi dengan pesimis. Kajian persepsi masyarakat terhadap tipologi perumahan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap hunian vertikal cukup tinggi dengan pertimbangan harga per unit hunian lebih murah, lebih praktis dan lebih modern seperti di kota-kota besar. Demikian juga persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa struktur panggung cocok untuk karakteristik lahan bergambut Model Ikonik (model fisik) Model Ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda (Eriyatno, 2003). Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, dapat pula berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara fisik sehingga perlu dikategorikan sebagai model simbolik. Model ikonik perumahan

158 134 yang akan dikembangkan terdiri dari 2 sub model, yaitu: sub model tipologi bangunan dan sub model struktur bangunan yang dijelaskan sebagai berikut: A. Sub Model Tipologi Bangunan Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan permukiman eksisting rumah tapak yang menunjukkan ketidakberlanjutan secara ekologi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) perlu dilakukan upaya minimalisasi konversi lahan gambut menjadi permukiman, 2) menekan tingkat kehilangan dan mempertahankan ekosistem gambut, 3) mempertahankan eksistensi daerah resapan dan 4) menekan cost of degradation. Salah satu upaya untuk memperbaiki atribut dimensi ekologi agar mencapai status berkelanjutan di masa mendatang adalah dengan cara mengembangkan Model Hunian Vertikal. Di satu sisi, model vertikal menjadi solusi terhadap efisiensi lahan dan di sisi lain mampu menjawab tuntutan kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman Model hunian vertikal yang berbentuk compact mampu menekan infrastructure cost jika dibanding hunian horizontal yang cenderung membutuhkan penyediaan infrastruktur yang lebih luas. Efisiensi biaya pengadaan infrastruktur dan pembebasan lahan secara tidak langsung akan menekan harga per unit hunian sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal ini akan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial-budaya, minat dan preferensi masyarakat memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan sosbud. Hasil kajian persepsi masyarakat menunjukkan bahwa desain dan arsitektur bangunan merupakan faktor yang cukup dipertimbangkan dalam memilih rumah tinggal. Dalam hal ini, estetika bangunan merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan dalam pengembangan industri perumahan karena akan sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat dan peluang pasar. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa dari ketiga model yang ditawarkan yaitu model hunian vertikal (5-10 lantai), model hunian 2-3 lantai, dan model hunian 1 lantai, maka model hunian vertikal memiliki persentase tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa respon masyarakat terhadap hunian vertikal cukup baik. Beberapa strategi perencanaan permukiman terkait upaya minimalisasi dan optimalisasi lahan, antara lain: 1. Konversi hunian 1 lantai secara bertahap menjadi hunian 2-3 lantai dengan konsekuensi lebar persil hunian menjadi lebih kecil (Gambar 60a).

159 Konversi tipe rumah tunggal menjadi tipe kopel (maizonnet) sesuai dengan standarisasi dan persyaratan konstruksi bangunan (gambar 60b). a Tipe 2-3 Lt Rumah tunggal 1 lantai Tipe kopel b Gambar 61. Konversi hunian 1 lantai menjadi hunian 2-3 lantai (a) dan konversi rumah tunggal menjadi rumah kopel (b) Pengembangan hunian vertikal, tidak terlepas dari perencanaan sistem transportasi atau sirkulasi vertikal. Menurut standar perancangan arsitektur (Neufert), penggunaan tangga manual hanya efektif untuk bangunan berlantai rendah hingga sedang (maksimal 5 lantai), sementara untuk bangunan > 5 lantai wajib disediakan lift untuk kemudahan transportasi vertikal. Ilustrasi model hunian vertikal berlantai rendah hingga sedang dijelaskan pada Gambar 62 dan 63. Gambar 62. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai rendah

160 136 Gambar 63. Ilustrasi bangunan vertikal berlantai sedang B. Sub. Model Spasial Selain pertimbangan stabilitas dan daya dukung lahan, alasan keamanan penerbangan juga menjadi batasan dalam perencanaan permukiman di Sungai Raya. Kebijakan mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Supadio menjelaskan bahwa sebagian besar kawasan Sungai Raya termasuk dalam zona KKOP. Mengacu pada ketentuan KKOP tersebut, maka rencana zonasi menurut ketinggian bangunan dibedakan menjadi 5 zona, yaitu: 1. Zona bebas bangunan, yang terletak pada kawasan 2. Zona bangunan 1-2 lantai 3. Zona bangunan 2-4 lantai 4. Zona bangunan 4-6 lantai 5. Zona bangunan 6-10 lantai Zona yang berada dibawah kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 0 6 lantai, yang terdiri dari zona bebas bangunan sepanjang 2.5 km (kawasan dibawah permukaan horizontal dalam), zona bangunan maks. 2 lantai sepanjang 1.5 km, zona bangunan maks. 4 lantai sepanjang 1.5 km, dan zona bangunan maks. 6 lantai sepanjang 3 km (kawasan dibawah permukaan horizontal luar). Zona yang berada diluar kawasan pendekatan dan lepas landas dengan ketinggian bangunan antara 1 10 lantai, yaitu: zona bangunan maks. 2 lantai (1 km), zona bangunan maks. 4 lantai (3 km), zona bangunan maks. 6 lantai (2 km) dan ), zona bangunan maks. 10 lantai (2 km). Pembagian zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan (peta zonasi kawasan) ditunjukkan Gambar 63.

161 137 Pot. B Pot. A Rencana Lokasi Tower Gambar 64. Peta rencana zonasi kawasan menurut ketinggian bangunan

162 138 SKY LINE Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona Bang. Maks. 2 lt 3 km 1.5 km 1.5 km Zona Bebas Bangunan 2.5 km Runway Bandara 2 km Gambar 65. Potongan A (zona di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas) SKY LINE Zona Bang. Maks. 10 lt Zona Bang. Maks. 6 lt Zona Bang. Maks. 4 lt Zona 1-2 lt 2 km 2 km 3 km 1 km Runway 1 km Gambar 66. Potongan B (zona diluar kawasan pendekatan dan lepas landas)

163 139 C. Sub Model Tipologi Struktur Berdasarkan dimensi teknologi, stabilitas bangunan menjadi faktor penting dalam pembangunan rumah tinggal. Tipologi rumah panggung secara ekologi cukup berkelanjutan walaupun teknologi dan ekonomi kurang berkelanjutan. Stabilitas rumah panggung yang tergolong rendah disebabkan keterbatasan konstruksi penyangga dalam memikul beban. Rumah panggung yang identik dengan konstruksi kayu (tiang tongkat) pada umumnya tidak menancap pada lapisan tanah keras melainkan hanya mengandalkan gaya rekat tanah (friksi) dan kayu-kayu cerucuk yang ditanam dengan pola grid. Filosofi rumah panggung pada dasarnya dapat diimplemetasikan secara konseptual pada bangunan-bangunan modern. Perpaduan yang unique antara konsep tradisional dan modern akan menghasilkan suatu karya arsitektur yang kontemporer dan bernilai seni tinggi. Unsur tradisional konstruksi panggung (sub-structure) merefleksikan dwi fungsi yaitu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan secara ekologi karena dapat meminimalisir eksploitasi dan konversi lahan gambut, dan mempertahankan nilai-nilai local wisdom sebagai arsitektur tradisional masyarakat Kalbar. Sementara unsur modern dapat diaplikasikan pada upper-structure dalam permainan dan elaborasi bentuk bangunan serta desain façade yang up to date mengikuti perkembangan tren saat ini. Penggunaan struktur panggung dapat menjadi rekomendasi utama bagi setiap pembangunan permukiman, dan tidak terkecuali untuk semua fungsi bangunan seperti perkantoran, fasilitas umum dan sosial, bangunan pendidikan, bangunan komersial dan fungsi-fungsi lainnya. Dapat diprediksi apabila semua bangunan berkontribusi dengan tidak merusak fungsi resapan, maka bencana ekologis dapat dihindari, minimal mengurangi frekuensi banjir dan emisi GRK. Disamping beberapa manfaat dan kelebihan menggunakan struktur panggung, terdapat pula kekurangan-kekurangan yang membutuhkan penanganan khusus seperti: 1) untuk memperoleh konstruksi yang stabil, tiang pancang (beton) harus mencapai lapisan tanah keras, hal ini tentunya akan menambah biaya konstruksi, 2) posisi awal lantai panggung berada pada level first floor, sehingga kehilangan areal seluas satu lantai ground floor yang berarti terjadi lost income. Untuk itu perlu dilakukan analisis biaya manfaat untuk menghitung budgeting antara kebutuhan biaya konstruksi dan infrastruktur, harga lahan, degradation cost serta outcomes yang dapat diperoleh dengan menggunakan struktur panggung tersebut.

164 140 Gambar 67. Ilustrasi struktur pondasi tiang pancang Model yang diusulkan hanya dapat diimplementasikan pada wilayah bergambut dengan kedalaman < 3 meter (Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung). Lahan yang telah dialokasikan untuk permukiman perkotaan di kawasan Sungai Raya (RTRW Kab. Kubu Raya) telah memenuhi syarat sebagai kawasan budi daya dengan kedalaman gambut antara 1 2 meter. Karakteristik lahan di Sungai Raya terdiri dari 4 (empat) tipe, yaitu: 1) endapan liat, berada di sepanjang pesisir sungai, 2) endapan liat + tanah organik, merupakan zona transisi dengan karakteristik tanah campuran antara endapan delta dan tanah organik (gambut) dengan kedalaman meter, 3) tanah organik (tanah gambut), merupakan gambut pesisir dengan kedalaman antara 1 2 meter, dan 4) tanah organik (tanah gambut) dengan kedalaman antara 3 4 meter. Lahan gambut yang terdapat di kawasan Sungai Raya dengan ketebalan 1 2 meter mencapai luasan 1.589,74 ha. Peta sebaran lahan gambut menurut karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar 68.

165 ,70 ha meter (1.547,94 ha) 1 2 meter (1.589,74 ha) 3 4 meter (Forbidden) Karakteristik Tanah : : endapan liat : endapan liat + organik : tanah organik (1-2 m) : tanah organik (3-4 m) Gambar 68. Peta sebaran lahan gambut di kawasan Sungai Raya

166 Model Dinamik Pengembangan hunian vertikal secara mandiri ataupun konversi dari hunian tapak yang ada (perumahan lama) perlu perencanaan yang komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial-budaya, ekologi dan tentunya rekayasa teknologi. Oleh karena sifat pengembangan permukiman merupakan hal yang sangat kompleks dan dinamis, maka perlu dilakukan pendekatan model sistem dinamik. Model dinamik pengembangan permukiman di kawasan bergambut Sungai Raya dibangun melalui logika yang menjelaskan hubungan antar komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Simulasi model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dilakukan untuk mengetahui respon terhadap pertumbuhan dan populasi penduduk, kebutuhan dan penyediaan rumah, serta kebutuhan dan ketersediaan lahan. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya dengan menggunakan software Stella, dapat dijelaskan pada Gambar 68 berikut ini: Gambar 69. Struktur model pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya A. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pengembangan hunian vertikal secara berkelanjutan disimulasikan untuk 23 tahun kedepan mulai tahun 2009 sampai dengan Keterbatasan dan ketersediaan data menjadi batasan dalam penelitian ini. Data penduduk yang digunakan dalam simulasi adalah data tahun 2009 yang disesuaikan dengan ketersediaan data sekunder lainnya seperti peta penafsiran citra landsat dan rencana pola ruang berdasarkan RTRW Kubu Raya.

167 143 Deliniasi kawasan menggunakan batas administrasi Kecamatan Sungai Raya yang termasuk kategori kawasan perkotaan. Dalam hal ini terdapat 5 (lima) kelurahan yang termasuk kawasan perkotaan di Kecamatan Sungai Raya, yaitu: 1) Kelurahan Sungai Raya, 2) Kelurahan Arang Limbung, 3) Kelurahan Kuala Dua, 4) Kelurahan Limbung, dan 5) Kelurahan Teluk Kapuas. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya dipengaruhi oleh laju pertumbuhan dan laju migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh angka kelahiran dan angka kematian penduduk, sementara laju imigrasi dipengaruhi oleh daya tarik kawasan yang menyebabkan orang berminat untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Daya tarik kawasan Sungai Raya antara lain: terbentuknya pemerintahan baru, berkembangnya industri perumahan serta meningkatnya kegiatan perekonomian di sepanjang jalur arteri. Tabel 22. Populasi penduduk di kawasan Sungai Raya penduduk Tahun di kawasan Sungai Raya Populasi Simulasi Penduduk Net Gwth/th Series Series Gambar 70. Simulasi pertumbuhan penduduk di Sungai Raya ( )

168 144 Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sungai Raya menunjukkan peningkatan dari 1.5% pada tahun 2008 menjadi 2.05% pada tahun Hal ini diprediksi akibat pemekaran kabupaten Kubu Raya yang menambah lapangan kerja baru di kawasan Sungai Raya sehingga mempengaruhi jumlah migran yang masuk. Untuk simulasi model pertumbuhan penduduk di Sungai Raya diasumsikan sebesar 2% per tahun, dengan pertimbangan kawasan Sungai Raya sangat berpotensi mengalami kemajuan pembangunan, didukung pula oleh ketersediaan lahan yang masih relatif luas. Pertumbuhan populasi penduduk diatas menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2009 sampai dengan tahun Pertumbuhan penduduk yang eksponensial terjadi akibat pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat pesat sejak tahun 2009 dengan laju pertumbuhan sebesar 2.05% dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1.50%. Hal ini diprediksi akibat pemekaran Kab. Kubu Raya yang berpotensi meningkatkan peluang kerja sehingga meningkatkan minat para migran untuk bermigrasi. Selain faktor pertumbuhan penduduk alami di kecamatan Sungai Raya, faktor imigrasi juga mempengaruhi jumlah penduduk di kawasan tersebut yang didasari oleh dua asumsi, yaitu: 1) kawasan Sungai Raya yang berperan sebagai hinterland Kota Pontianak sehingga berpotensi menjadi sasaran pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi warga Pontianak, khususnya mereka yang bekerja di jalan Ahmad Yani, Adi Sucipto, dan daerah sekitarnya, 2) potensi kegiatan pembangunan dan perekonomian yang melaju pesat menjadi magnet bagi investor untuk berinvestasi di berbagai sektor. Dalam hal ini diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 2% tersebut sudah termasuk seluruh komponen kependudukan seperti kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Pertumbuhan penduduk di Sungai Raya yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan penggunaan lahan untuk kawasan perumahan yang semakin meningkat pula. Kondisi dan karakteristik lahan di Sungai Raya yang notabene merupakan lahan bergambut yang perlu dijaga keseimbangan ekosistemnya, maka ketersediaan lahan menjadi faktor utama dalam pertumbuhan dan penyebaran permukiman. Jumlah penduduk di kawasan Sungai Raya pada tahun 2009 yang tercatat sebesar jiwa dan diproyeksikan akan meningkat menjadi jiwa pada tahun Pertambahan penduduk secara neto (net growth) setiap tahun

169 145 diasumsikan cenderung meningkat, karena kawasan Sungai Raya pada dasarnya termasuk pengembangan lahan perawan yang masih berupa hutan gambut, dengan ketersediaan lahan yang masih relatif luas, sehingga memungkinkan untuk terus mengalami peningkatan dan perluasan wilayah. B. Sub Model Kebutuhan Perumahan Komponen-komponen yang saling terkait dalam sub model kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya adalah jumlah penduduk, luas permukiman eksisting (data sekunder), luas ketersediaan lahan permukiman berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu Raya Model kebutuhan perumahan secara komprehensif dapat dilihat pada gambar 70 berikut: Tabel 23. Simulasi kebutuhan perumahan di kawasan Sungai Raya Tahun Simulasi Populasi Penduduk Kebutuhan Rumah (unit) Net Growth Rumah/thn Grafik Kebutuhan Perumahan di Kec. Sungai Raya Series Series Gambar 71. Simulasi kebutuhan perumahan di Kec. Sungai Raya

170 146 Dari total jumlah penduduk per tahun yang diperoleh, dapat diketahui kebutuhan rumah pertahun yang merupakan interpretasi dari jumlah kepala keluarga (KK) dengan asumsi jumlah individu per KK sebanyak 4 orang. Berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui kebutuhan rumah pada tahun 2014 sebanyak unit dan diprediksi akan meningkat menjadi unit pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 23 tahun kedepan dibutuhkan pembangunan rumah tinggal sejumlah unit. Sementara rata-rata kebutuhan rumah per tahun adalah sebanyak unit rumah. C. Penilaian Model Perumahan Menurut Tipologi Bangunan dan Tipologi Struktur Pemilihan tipologi perumahan dilakukan dengan penilaian multidimensi (ekologi, ekonomi, sosbud dan teknologi), menggunakan metode pengambilan keputusan berbasis indeks kerja atau Composite Performance Index (CPI) untuk menentukan keputusan (pilihan) terbaik, yang selanjutnya diinterpretasikan dalam bentuk nilai, skor dan rangking. Metode CPI digunakan untuk penelitian yang heterogen dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya tahun , luas kawasan ruang perkotaan dialokasikan seluas 4.523,80 ha. Data penafsiran citra landsat 2009 menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan eksisting tahun 2009 adalah 1.800,72 ha. Untuk mengetahui luas kebutuhan dan ketersediaan lahan perumahan, maka dilakukan beberapa simulasi dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Lahan seluas 4.523,80 ha yang dialokasi didalam RTRW Kab. Kubu Raya merupakan kawasan perkotaan dengan susunan fungsi kawasan sebagai berikut: 1) permukiman perkotaan, 2) pusat dan pelayanan pemerintahan, 3) kegiatan ekonomi (kawasan niaga dan CBD), 4) pelayanan sosial (fasum/fasos). b. Berdasarkan luas penggunaan lahan eksisting sebesar 1.800,72 ha, maka diketahui ketersediaan lahan perkotaan sampai dengan tahun 2032 adalah seluas 2.723,08 ha (Gambar 71 dan 72) c. Luas kawasan permukiman perkotaan adalah sebesar 40% dari luas kawasan perkotaan (sementara 60% lainnya merupakan fungsi pemerintahan, fasum/fasos, kawasan niaga dan perkantoran, RTH dan Infrastruktur kota). Luas kawasan perumahan adalah 60% dari luas kawasan permukiman perkotaan, 40% lainnya meliputi: RTH (15%), fasum/fasos (15%) dan infrastruktur (10%).

171 147 d. Rata-rata jumlah penghuni dalam satu unit rumah adalah 4 orang/unit. e. Rata-rata kebutuhan luas lahan per unit rumah (horizontal) adalah 200 m 2 (0.02 ha) dan rata-rata kebutuhan luas lahan per hunian (vertikal) adalah 75 m 2 ( ha). f. Tipe (luas) bangunan yang dianalisis adalah tipe 90 m 2 yang merupakan rata2 luas dari berbagai tipe bangunan (tipe kecil-45 m 2, tipe sedang-75 m 2, dan tipe besar-150 m 2 ), dengan asumsi luas lantai bangunan untuk tipologi horizontal dan vertikal adalah sama. g. Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber: hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). h. Analisis dilakukan terhadap beberapa varian tipologi struktur/bangunan: Variabel Horizontal Tipologi Vertikal Tapak Horizontal Tapak (HT) (Model 1) Vertikal Tapak (VT) (Model 3) Panggung Struktur Horizontal Panggung (HP) (Model 2) Vertikal Panggung (VP) (Model 4) Gambar 72. Varian tipologi bangunan dan tipologi struktur Selanjutnya penilaian hasil simulasi dilakukan dalam rentang nilai 20 (buruk) (baik) berdasarkan kecenderungan trend masing atribut (positif/negatif). Kerangka kerja simulasi berdasarkan 4 dimensi keberlanjutan, yaitu a. Dimensi Ekologi: 1) simulasi kebutuhan lahan, 2) simulasi ketersediaan lahan, 3) simulasi kehilangan daerah resapan airdan 4) simulasi emisi karbon. b. Dimensi Ekonomi: 1) simulasi harga bangunan, 2) simulasi harga lahan dan 3) simulasi harga total per unit. c. Dimensi Sosbud: Preferensi masyarakat (kuesioner responden) d. Dimensi Teknologi: Justifikasi pakar terhadap introduksi hi-tech.

172 148 Alokasi Kaw. Perkotaan : 4.523,80 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 73. Peta rencana pola ruang kawasan perkotaan di Sungai Raya

173 149 Eksisting : 1.800,72 Ha Ketersediaan Lahan : 2.723,08 Ha Industri Kaw. Perkotaan Perkebunan P. Hortikultura P. Lahan Basah P. Lahan Kering Kaw. Bandara Gambar 74. Peta penafsiran citra landsat di Sungai Raya (permukiman eksisting)

174 150 a. Dimensi Ekologi Gambar 75. Sub. model dimensi ekologi 1) Simulasi Kebutuhan Lahan Simulasi kebutuhan lahan bertujuan untuk membandingkan luas kebutuhan lahan antara tipologi horizontal dan vertikal beserta varian nya. Pemberian skor mengacu pada hasil perhitungan yang paling tinggi untuk diberikan skor tertinggi. Selanjutnya, apabila keempat variabel memiliki nilai yang berbedabeda, maka penilaian dilakukan secara berturut-turut ( ). Apabila diantara keempat variabel tersebut memiliki dua nilai yang sama, maka skor berikutnya dilihat dari perbedaan nilai yang ada secara proporsional, misalnya perbedaan nilai terhadap nilai acuan sebesar + 100% maka komposisi skor adalah , dan jika perbedaan nilai acuan sebesar + 200% maka komposisinya adalah dan seterusnya. Tabel 24. Luas kebutuhan lahan untuk perumahan (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,17 921,17 345,44 345, , ,04 381,39 381, , ,90 421,09 421, , ,77 464,91 464, , ,96 503,24 503, , ,64 544,72 544,72 Score :

175 HT/HP VT/VP Series Series Gambar 76. Grafik luas kebutuhan lahan ( ) Hasil analisis kebutuhan lahan menjelaskan bahwa semakin sedikit lahan yang dibutuhkan untuk permukiman maka akan semakin baik. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tipologi vertikal tapak dan vertikal panggung memiliki nilai tertinggi dengan kebutuhan lahan hingga tahun 2032 mencapai 544,72 ha dengan skor 80. Sementara tipologi horizontal tapak dan horizontal panggung membutuhkan lahan seluas ha hingga tahun 2032 dengan skor 40 (perbedaan nilai mencapai 200%). 2) Simulasi Luas Ketersediaan lahan (daya dukung) Simulasi luas ketersedian lahan bertujuan untuk melihat daya dukung atau lahan yang tersisa akibat konversi lahan menurut beberapa varian tipologi. Tabel 25. Luas ketersediaan lahan perumahan (trend positif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,54 653,54 653,54 653, ,66 557,66 617,59 617, ,81 451,81 577,89 577, ,94 334,94 534,06 534, ,74 232,74 495,74 495, ,12 122,12 454,26 454,26 Score :

176 VT/VP HT/HP Series Series Gambar 77. Grafik luas ketersediaan lahan perumahan ( ) Dari Tabel 25 dan Gambar 77 diatas dapat diketahui bahwa dengan tipologi horizontal (tapak/panggung) lahan yang tersisa hingga tahun 2032 seluas 122,12 ha, sementara dengan tipologi vertikal (tapak/panggung) tersisa lahan seluas 454,26 ha. Perbedaan luas ketersediaan lahan antara horizontal dan vertikal sebesar 332,14 ha. Jika rata-rata kebutuhan lahan per tahun dengan model vertikal sebesar 12 ha/tahun, maka daya dukung lahan dapat diperpanjang hingga 28 tahun mendatang (sampai tahun 2060). 3) Simulasi Kehilangan Daerah Resapan Air Simulasi ini bertujuan untuk melihat berapa besar pengaruh masing-masing varian tipologi terhadap hilangnya sejumlah resapan air. Sifat gambut yang seperti spons menyebabkan kandungan air pada lahan gambut sangat tinggi sekitar 0.8 m 3 /m 3 artinya setiap 1 m 3 gambut mengandung 0.8 m 3 air. Tabel 26. Luas daerah resapan air yang hilang (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ha) Horizontal Panggung (ha) Vertikal Tapak (ha) Vertikal Panggung (ha) ,82 276,35 241,81 103, ,93 305,11 266,97 114, ,03 336,87 294,76 126, ,84 371,93 325,44 139, ,37 402,59 352,27 150, ,81 435,78 381,30 163,42 Score :

177 HT HP 400 VT 200 VP Series Series Series Series Gambar 78. Grafik luas daerah resapan yang hilang ( ) Perhitungan luas resapan yang hilang mengacu pada luas perkerasan lantai bangunan, dimana untuk HT kehilangan resapan mencapai 70% dari luas lahan, HP sebesar 30%, VT sebesar 50% dan VP sebesar 30%. Jika diasumsikan ratarata kedalaman gambut di Sungai Raya adalah 2 m, maka volume kelebihan air setiap 1 m 2 gambut jika mengalami subsidence adalah sebesar 2 m x 1 m x 1 m x 0.8 = 1.6 m 3 /m 2 atau m 3 /ha. Berdasarkan tabel 26 diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2032 dengan tipologi HT terdapat kelebihan volume air sebesar 16,9 juta m 3, tipologi HP sebesar 9,7 juta m 3, tipologi VT sebesar 6,3 juta dan tipologi VP sebesar 3,6 juta m 3 (Gambar 76). Hasil analisis menunjukkan bahwa tipologi HT menghasilkan volume kelebihan air paling besar dan VP terkecil HT HT VT VP Series1 Juta m 3 16,9 9,7 6,3 3,6 Gambar 79. Potensi volume genangan dari beberapa tipologi

178 154 4) Simulasi Emisi Karbon (CO 2 ) yang di Release Simulasi emisi karbon bertujuan untuk melihat pengaruh dari masing-masing tipologi terhadap lepasnya CO 2 ke atmosfer. Perhitungan emisi karbon mengacu pada data luas daerah resapan yang hilang. Tabel 27. Jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer (trend negatif) Tahun Simulasi Horizontal Tapak (ton) Horizontal Panggung (ton) Vertikal Tapak (ton) Vertikal Panggung (ton) Score : Series Series Series Series Gambar 80. Grafik emisi karbon akibat konversi lahan ( ) HT HP VT VP Emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut diasumsikan sebesar 83.2 ton/ha/tahun (sumber : hasil penelitian emisi karbon akibat konversi lahan gambut untuk perkebunan sebesar 64 ton/ha/thn, dan diasumsikan konversi untuk permukiman 30% lebih besar dari konversi perkebunan). Dari hasil simulasi diatas, dapat diketahui bahwa model Horizontal Tapak menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu sebesar ton karbon hingga tahun 2032, sementara model Vertikal Panggung dengan emisi terkecil yaitu sebesar ton karbon.

179 155 b. Dimesi Ekonomi 1) Harga Bangunan Harga bangunan yang dimaksud adalah harga per unit hunian belum termasuk harga lahan. Penentuan harga per meter persegi bangunan mengacu pada standar harga bangunan gedung yang diverifikasi dengan kondisi lapangan. Standar harga per meter persegi bangunan sederhana tidak bertingkat di Pontianak dan sekitarnya tahun 2012 berkisar antara 1,5 2,5 juta/m 2 (rata-rata 2 juta/m 2 ), dan untuk bangunan bertingkat sederhana antara juta/m 2 (rata-rata 3 juta/m 2 ). Mengacu pada PERMEN PU No. 25 Tahun 2007, untuk penggunaan pondasi dalam (> 5 meter) terdapat penambahan cost sebesar 7-12% (rata-rata 10%).Tipe bangunan atau luas lantai hunian diasumsikan seluas 90 m 2 (tipe sedang). Ilustrasi bangunan sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diasumsikan untuk luas bangunan 50 m 2 (tipe 50) dengan harga satuan Rp. 1 juta/m 2 (bangunan tidak bertingkat sederhana) dan Rp. 2 juta/m 2 (bangunan bertingkat sederhana). Tabel 28. Perhitungan harga bangunan/unit (standar bangunan tidak sederhana) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 2 juta/m juta/m 2 3 juta/m juta/m 2 Harga rumah/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/unit Score : (juta) VP VT HT HP Gambar 81. Grafik simulasi harga satuan bangunan

180 156 2) Harga Lahan Standar harga lahan mengacu pada standar harga lahan yang dikeluarkan oleh BPN Kab. Kubu Raya dengan harga rata-rata 500 ribu-1 juta/m 2 (rata-rata 750 ribu) untuk lahan diluar jalur arteri dan untuk lahan disepanjang sisi jalan arteri berkisar 2-3 juta/m 2. Perhitungan kebutuhan lahan per unit hunian diasumsikan seluas 200 m 2 untuk hunian horizontal dan 75 m 2 untuk hunian vertikal, dengan luas lantai masing-masing 90 m 2. Tabel 29. Perhitungan harga lahan per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga satuan : 750 ribu/m ribu/m ribu/m ribu/m 2 Harga lahan/unit : 150 jt/unit 150 jt/unit 56,25 jt/unit 56,25 jt/unit Score : HT HP VT VP Gambar 82. Grafik perhitungan harga lahan perumahan ( ) 3) Harga total per Unit Hunian (bangunan+lahan) Perhitungan harga per unit hunian dalam hal ini merupakan rekapitulasi harga bangunan dan harga lahan, serta pengurangan biaya (subsidi) dari biaya infrastruktur sebesar 5% bagi hunian vertikal (infrastruktur lebih efisien). Harga rumah per unit akan mempengaruhi besar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah terkait upaya mendukung pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan.

181 157 Tabel 30. Perhitungan harga total per unit hunian Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Harga bangunan/unit : 180 juta/unit 198 juta/unit 270 juta/unit 297 juta/m 2 Harga lahan/unit 150 juta/unit 150 juta/unit 56,25 juta/unit 56,25 juta/m 2 Harga total/unit : 330 juta/unit 348 juta/unit 326,25 juta/unit 353,25 juta/m 2 Selisih harga : 0 juta/unit +18 juta/unit -3,75 juta/unit +23,25 juta/unit Score : Dari data pada tabel 30 dan hasil simulasi pada gambar 80, dapat diketahui bahwa secara umum total harga dari keempat tipologi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dengan harga unit tertinggi pada VP (Rp. 353,25 juta/unit), urutan kedua HP (Rp. 348 juta/unit), urutan ketiga HT (Rp. 330 juta/unit) dan yang termurah adalah tipologi VT (Rp. 326,25 juta/unit) bahkan lebih murah 16,5 juta jika dibandingkan dengan model perumahan eksisting (horizontal tapak). (juta) 400,00 350,00 HT HP VT VP 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 - HT HP VT VP (50,00) Series1 330,00 348,00 326,25 353,25 Series2 - + (18,00) - 3,75 + (23,25) Gambar 83. Simulasi perhitungan harga total lahan dan bangunan c. Dimensi Sosial Budaya Penilaian dimensi sosial budaya dilakukan berdasarkan hasil kuesioner responden tentang model hunian yang diminati dan model struktur yang sesuai untuk di lahan bergambut. Tipologi yang paling banyak dipilih diberi skor 2 dan skor 1 untuk yang kurang diminati/dipilih.

182 158 Hasil preferensi (kuesioner) menunjukkan bahwa tipologi vertikal paling banyak dipilih responden (52,86%), sementara tipologi struktur yang cocok di lahan gambut adalah struktur panggung (78,57%) Tabel 31. Pilihan responden terhadap tipologi struktur/bangunan Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Pilihan responden Total nilai : Score : VP HP VT HT Gambar 84. Grafik hasil pemilihan tipologi bangunan/struktur oleh responden Hasil analisis menunjukkan bahwa model vertikal panggung cukup mendapat respon yang baik dari responden. Di kawasan Sungai Raya belum terdapat hunian vertikal (rumah susun), namun dari beberapa studi banding terhadap hunian vertikal di Pontianak dapat disimpulkan bahwa hunian vertikal cukup diminati oleh masyarakat, dengan bertambahnya jumlah unit setiap tahunnya. Dari beberapa hasil wawancara terhadap beberapa penghuni yang menyatakan beberapa kelebihan rumah susun antara lain: harga terjangkau, lebih praktis, aktifitas sosial lebih baik dan keamanan lebih terjamin. Sementara kekurangannya seperti rawan konflik, tidak punya lahan pribadi, dan kesulitan distribusi air pada lantai atas.

183 159 d. Dimensi Teknologi Penilaian dimensi teknologi bermaksud untuk melihat penerapan teknologi tinggi (hi-tech) pada masing-masing tipologi. Teknologi tinggi khususnya digunakan pada hunian vertikal dengan menggunakan pondasi pancang (mini pile) dan struktur lantai gantung. Semakin tinggi teknologi yang digunakan maka semakin rumit proses konstruksi sehingga semakin sulit dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Tabel 32. Justifikasi penilaian pakar terhadap introduksi high technology (hi-tech) Horizontal Tapak Horizontal Panggung Vertikal Tapak Vertikal Panggung Expert Judgment : Score : VT VP HP HT Gambar 85. Grafik justifikasi pakar terhadap introduksi high technology Hasil simulasi diatas menunjukkan bahwa model vertikal tapak dan vertikal panggung membutuhkan rekayasa teknologi tinggi dalam proses pembangunan dan konstruksinya. Dalam analisis ini penilaian terhadap introduksi teknologi tinggi merupakan trend negatif, dimana semakin sederhana teknologi yang digunakan semakin baik, karena dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat.

184 160 D. Analisis Pengambilan Keputusan (Pemilihan Model) berbasis Indeks Kerja (Composite Performance Index) Composite Performance Indeks (CPI) digunakan untuk penilaian dengan kriteria tidak seragam (heterogen) dengan kecenderungan atau trend yang berbeda-beda. Analisis ini bertujuan untuk mencari model terbaik dengan penilaian secara multidimensi (berkelanjutan) berdasarkan skorring dari hasil simulasi yang telah diuraikan diatas. Rentang nilai skor mulai dari (buruk s/d baik). Analisis CPI terdiri dari 2 matriks penilaian, yaitu: 1) matriks awal penilaian dari masingmasing alternatif keputusan dan kriteria, dan 2) matriks hasil transformasi. Terdapat dua kecenderungan dalam analisis CPI yaitu trend positif, dimana semakin besar nilai maka akan semakin baik, dan trend negatif dimana semakin besar nilai maka akan semakin buruk. Tahapan analisis Composite Performance Index (CPI) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Matriks Awal Penilaian: Berdasarkan skor yang telah diberikan pada hasil simulasi sebelumnya, dipilih skor terkecil sebagai acuan perhitungan. Misalnya untuk kolom kebutuhan lahan skor terkecil adalah 40, untuk ketersediaan lahan skor terkecil adalah 20, dan seterusnya. Menentukan bobot kriteria berdasarkan asumsi sebagai berikut: dimensi ekologi sebesar 30%, ekonomi 30%, sosbud 30% dan teknologi 10%. 2. Matriks Transformasi: Beri nilai 100 pada angka terkecil pada masing-masing kolom. Perhatikan trend (+) atau (-), untuk trend (+) angka terkecil berfungsi sebagai pembagi, misalnya kolom 2 (80/20) x 100 = 400. Trend (-) sebaliknya, angka terkecil berfungsi sebagai pembilang, misalnya kolom 1 (40/80) x 100 = 50, dan seterusnya. Berdasarkan hasil analisis Composite Performance Indeks (CPI) dapat diketahui bahwa alternatif terbaik (rangking 1) adalah tipologi Vertikal Panggung (VP) dengan skor sebesar , rangking 2 tipologi Vertikal Tapak (VT) dengan skor 300, rangking 3 tipologi Horizontal Tapak (HT) dengan skor 160 dan rangking 4 tipologi Horizontal Panggung (HP) dengan skor sebesar Hasil analisis CPI dapat dijelaskan pada Tabel 33 dan 34.

185 161 No Tabel 33. Matriks awal penilaian alternatif tipologi perumahan No Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Harga lahan Harga total Sosbud Hi-Tech (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) 1 Horizontal Tapak HT Horizontal Panggung HP Vertikal Tapak VT Vertikal Panggung VP Bobot Kriteria Selanjutnya, dari matriks penilaian awal akan dibuat matriks transformasi dan perkalian terhadap bobot masing-masing riteria, sehingga diperoleh nilai skor yang akan menentukan rangking dari tiap alternatif tipologi perumahan. Matriks transformasi dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 34. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternatif Alternatif Tipologi Perumahan Kebutuhan lahan Ekologi Ketersediaan lahan Hilangnya resapan Emisi GRK Harga bangunan Ekonomi Sosbud Hi-Tech Nilai (Score) 1 Horizontal Tapak HT Horizontal Panggung HP Vertikal Tapak VT Vertikal Panggung VP Bobot Kriteria Tabel x. Matriks transformasi penilaian dan rangking tiap alternati Harga lahan Harga total (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (+) (-) Rangking

186 162 E. Rekomendasi Model Berdasarkan hasil analisis tersebut maka tipologi hunian vertikal tapak dan vertikal panggung dapat direkomendasikan sebagai model untuk menyusun skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya. Skenario yang lebih cenderung kepada orientasi dimensi ekonomi dapat menggunakan model Vertikal Tapak, karena efisiensi dan optimalisasi lahan dapat tercapai sehingga dapat direkomendasikan sebagai model untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara untuk skenario yang lebih cenderung pada dimensi ekologi dapat menggunakan model Vertikal Panggung dan Horizontal Tapak (dengan harga per unit yang lebih tinggi) sehingga dapat direkomendasikan sebagai alternatif hunian masyarakat kelas menengah atas (middle up). Ilustrasi ketiga model yang direkomendasikan ditunjukkan pada Gambar 86, 87 dan 88. Dst. Hunian lantai 3 4 m Hunian lantai 2 4 m Hunian lantai 1 Lobby pengupasan gambut 0.5 m 3 m Semi basement 0.5 m 8 m 8 m Gambar 86. Ilustrasi model vertikal tapak (VT) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m) tanah keras

187 163 Hunian lantai 3 Hunian lantai 2 Parkir/fasum Lobby Parkir/ fasum Permukaan tanah Gambut sedang 2 m 8 m Gambar 87. Ilustrasi model vertikal panggung (VP) direkomendasikan pada areal gambut sedang (1-2 m) tanah keras Permukaan tanah Gambut tipis 1-2 m Tanah keras 3-4 m Gambar 88. Ilustrasi model horizontal panggung (HP) direkomendasikan pada areal gambut tipis (0.5-1 m)

188 164 F. Validasi Model Permukiman di Kawasan Sungai Raya Dalam menentukan validitas model dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi model dengan penilaian/justifikasi pakar (metode MDS). Validasi dilakukan terhadap tipologi bangunan (horizontal/vertikal). Validasi tipologi struktur bangunan tidak dapat dilakukan dikarenakan pada kondisi eksisting belum terdapat tipologi vertikal panggung (VP). Perbandingan antara hasil simulasi model dengan penilaian pakar dapat dilihat pada Gambar 89 berikut: Hasil Simulasi Justifikasi Pakar (MDS) HT (160,00) HP (154,17) Model Horizontal Model Horizontal HT (46,46%) HP (54,27%) VT (300,00) VP (322,50) Model Vertikal Model Vertikal VT/VP (58,53%) Gambar 89. Validasi Model (perbandingan hasil simulasi dan justifikasi pakar) Berdasarkan Gambar 89 diatas, dapat diketahui bahwa perbandingan antara hasil simulasi dan justifikasi pakar menunjukkan hasil sebagai berikut: 1. Hasil simulasi menunjukka bahwa model vertikal memiliki nilai lebih tinggi dari model horizontal, artinya model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal. 2. Hasil penilaian pakar juga mengindikasikan hal yang sama bahwa model vertikal lebih sustainable dibanding model horizontal, yang dapat diketahui dari nilai indeks keberlanjutan model vertikal yang lebih tinggi (58,53%) jika

189 165 dibandingkan dengan indeks keberlanjutan model horizontal (46,46% dan 54,27%). 3. Dalam hal ini model dapat dikatakan Valid karena hasil simulasi model dan justifikasi pakar menunjukkan kecenderungan yang sama (model vertikal lebih sustainable). G. Skenario Pengembangan Permukiman di Kawasan Sungai Raya melalui Intervensi Model Hunian Vertikal Pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya mengacu pada variabel sensitif terhadap pembangunan di kawasan bergambut yang meliputi: aspek pemanfaatan lahan, kebutuhan rumah (mengurangi jumlah rumah tapak), proporsi RTH, dan daya dukung lahan. Ketiga skenario yang diusulkan terdiri atas: Skenario 1 (skenario pesimis) adalah pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya tanpa adanya intervensi hunian vertikal (minimal intervensi horizontal panggung), dengan kata lain pertumbuhan rumah tapak terus berlangsung seperti pada kondisi eksisting. Skenario 2 (skenario moderat) adalah skenario dengan upaya minimal, yaitu upaya intervensi hunian vertikal sebesar 50% hanya pada alokasi lahan baru, tanpa mengusik kondisi eksisting (0% intervensi pada permukiman eksisting) Skenario 3 (skenario optimis) adalah skenario dengan upaya maksimal, dalam bentuk revitalisasi permukiman eksisting (urban renewal) khususnya pada permukiman padat dan kumuh, dikonversi menjadi hunian vertikal sebesar 50% dari jumlah rumah tapak eksisting, dan intervensi hunian vertikal pada lokasi pengembangan baru sebesar 75% dari total kebutuhan rumah hingga tahun 2032.

190 166 Tabel 35. Skenario pengembangan permukiman di kawasan Sungai Raya Penambahan RTH

191 167 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui output dari masing-masing skenario sebagai berikut: Skenario 1 (pesimis) : Konversi ke Hunian Vertikal 0% pada lahan eksisting dan 0% pada lahan baru. Pada skenario 1 dapat dikatakan tidak ada intervensi hunian vertikal, dimana pengembangan permukiman di Sungai Raya seperti halnya pada kondisi eksisting yaitu pengembangan tipologi horizontal (landed housing). Output yang dihasilkan dari skenario 1 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.452,58 ha, dengan surplus lahan seluas 65,30 ha. 2. Dengan pengembangan hunian horizontal sebesar 100% maka tidak terjadi penurunan jumlah rumah tapak. 3. Proporsi RTH sesuai asumsi sebesar 15% (setengah dari RTH kawasan perkotaan) yaitu seluas 363,14 ha. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (3 tahun) hingga Skenario 2 (moderat) : Konversi 0% pada lahan eksisting (rumah tapak) dan 50% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 2 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 1.338,49 ha, dengan surplus lahan seluas 179,39 ha. 2. Intervensi hunian vertikal sebesar 50% menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak 712 unit. 3. Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 19,71% atau meningkat sekitar 4,71% dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (8 tahun) hingga Skenario 3 (optimis) : Konversi ke hunian vertikal sebesar 50% pada lahan eksisting (urban renewal) dan 75% pada lahan pengembangan baru. Output yang dihasilkan dari skenario 3 adalah sebagai berikut: 1. Total kebutuhan lahan hingga tahun 2032 sebesar 952,61 ha, dengan surplus lahan sebesar 565,27 ha. 2. Intervensi hunian vertikal pada kedua alokasi lahan menurunkan jumlah rumah tapak sebanyak unit.

192 Terjadi penambahan proporsi RTH dengan luasan mencapai 35,65% atau meningkat dua kali lipat dari luas yang diasumsikan. 4. Surplus lahan dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk unit, atau menambah daya dukung (25 tahun) hingga H. Rekomendasi Pemanfaatan Ruang Berdasarkan hasil simulasi dari ketiga skenario diatas, maka dapat direkomendasikan model pemanfaatan ruang untuk masing-masing skenario, dengan asumsi ketiga skenario tersebut dapat dipilih sesuai dengan pertimbangan pembuat kebijakan (eksekutor). Pemanfaatan ruang menurut skenario yang direncanakan dapat dilihat pada Gambar 90, 91, dan 92. Eksisting 220 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 90. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 1

193 169 Eksisting 110 ha 800 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 91. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 2 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

194 ha 500 ha Gambut > 3m (Forbidden) Gambar 92. Rekomendasi model pemanfaatan ruang menurut skenario 3 Keterangan: : Vertikal Panggung (pada lahan gambut sedang) : Vertikal Tapak (pada lahan gambut tipis dan eksisting) : Horizontal Panggung (pada lahan gambut tipis) : Areal Gambut Tipis (800 ha) : Areal Gambut Sedang (110 ha)

195 171 Gambar 93 menunjukkan model penataan RTH perkotaan di kawasan Sungai Raya sebesar 30% dengan asumsi sebagai berikut: 1. Sebesar 15% RTH disediakan dari kawasan permukiman, dalam bentuk RTH private, taman bermain skala komplek, dan roof garden bagi bangunan bertingkat > 3 lantai. 2. Sebesar 10% RTH dapat berupa taman kota, hutan kota, pemakaman umum, kebun binatang, dan lain-lain, yang dalam hal ini lokasinya dioptimalkan pada zona kawasan bebas bangunan (yang berdekatan dengan landasan udara). 3. Sebesar 5% lainnya diperoleh dari taman-taman di fungsi bangunan lainnya, seperti: perkantoran/kawasan niaga/cbd, kawasan pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan fungsi bangunan lainnya. Perkantoran/CBD (5%) Permukiman (15%) Taman/ hutan Kota (10%) Gambar 93. Rekomendasi model penataan RTH kawasan Sungai Raya

196 172 I. Subsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Salah satu strategi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap hunian vertikal adalah dengan memberikan subsidi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Harga rumah merupakan pertimbangan utama bagi MBR dengan segala keterbatasan ekonomi yang ada. Menurut ketentuan subsidi rumah Kemenpera, yang termasuk MBR adalah masyarakat berpenghasilan < 5 juta/bulan, tipe rumah minimal tipe 36, dengan suku bunga 7.25% flat 15 tahun, dan harga rumah tergantung regional (minimal 88 juta per unit). Gambar 94. Ilustrasi denah tipe 36 bagi MBR Ilustrasi sederhana perhitungan subsidi dan cicilan rumah susun sederhana di kawasan Sungai Raya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah sebagai berikut: Rumah/unit hunian tipe 36 (luas 36 m 2 ) Harga per meter persegi (bangunan bertingkat sederhana) Rp. 2.5 juta/m Harga per unit hunian = 36 x 2.5 juta = Rp. 90 juta/unit, ditambah biaya pajak dan lainlain sebesar 10%, Total = Rp. 99 juta/unit. Uang muka (DP) lebih kurang 10% = Rp. 9 juta. Pinjaman Bank sebesar Rp. 90 juta, bunga 7.25% flat 15 tahun. Cicilan per bulan Rp : 180 bulan = Rp ,- 2

VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA

VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA 127 VII DESAIN MODEL PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN BERGAMBUT SUNGAI RAYA Abstrak Hasil analisis keberlanjutan permukiman di kawasan Sungai Raya secara umum kurang berlanjut, sehingga perlu dilakukan

Lebih terperinci

VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI. Abstrak

VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI. Abstrak 15 VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI Abstrak Pemekaran Kabupaten Kubu Raya tahun 27 dengan ibukota kabupaten yang berkedudukan di Sungai Raya, serta status kawasan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kubu Raya 4.1.1 Geografi Kabupaten Kubu Raya yang terletak di Propinsi Kalimantan Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak.

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat

Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Vokasi Volume 8, Nomor 2, Juni 2012 ISSN 1693 9085 hal 90-100 Status Keberlanjutan Tipologi Rumah Panggung pada Lahan Bergambut di Kawasan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat WENI DEWI UTAMI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.101 2016 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG Setyo S. Moersidik Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (smoersidik@yahoo.com) DDL Adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

RUMAH SUSUN PEKERJA PABRIK DI KAWASAN INDUSTRI PRINGAPUS

RUMAH SUSUN PEKERJA PABRIK DI KAWASAN INDUSTRI PRINGAPUS LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR RUMAH SUSUN PEKERJA PABRIK DI KAWASAN INDUSTRI PRINGAPUS (direncanakan tahun 2020) Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun

Tabel 1.1. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi padat penduduk di Indonesia yang menempati urutan ketiga setelah

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil pengolahan data penelitian dan pembahasan terhadap hasil analisis yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan

Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan Urbanisasi dan Pentingnya Kota Tingginya laju urbanisasi menyebabkan semakin padatnya perkotaan di Indonesia dan dunia. 2010 2050 >50% penduduk dunia tinggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Kekayaan Indonesia akan flora dan faunanya membawa indonesia kepada sederet rekor dan catatan kekayaan di dunia. Tanahnya yang subur dan iklim yang menunjang, memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surabaya merupakan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menyumbang pendapatan Negara yang sangat besar. Surabaya juga merupakan kota terbesar kedua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2. menjadikan Jakarta sebagai kota yang sangat padat penduduknya. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.1.1. Latar Belakang Proyek Jakarta yang mempunyai wilayah seluas 740 km 2 dengan jumlah populasi 2 sebesar 8.792.000 jiwa dan memiliki kepadatan penduduk sebesar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KAWASAN PERMUKIMAN DI KELURAHAN TANDANG, KECAMATAN TEMBALANG TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KAWASAN PERMUKIMAN DI KELURAHAN TANDANG, KECAMATAN TEMBALANG TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KAWASAN PERMUKIMAN DI KELURAHAN TANDANG, KECAMATAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: INTAN MUNING H L2D 004 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR Yuniar Irkham Fadlli, Soedwiwahjono, Ana Hardiana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL , Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana UNDIP JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume, Issue : () ISSN ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL Dzati Utomo

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Latar Belakang Pemilihan Proyek Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar dan pokok manusia. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian sangat penting dan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Proses AMDAL Sebagai Alternatif Penerapan Ekonomi Hijau Pada Tingkatan Proyek

Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Proses AMDAL Sebagai Alternatif Penerapan Ekonomi Hijau Pada Tingkatan Proyek Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Proses AMDAL Sebagai Alternatif Penerapan Ekonomi Hijau Pada Tingkatan Proyek Oleh: Dini Ayudia, M.Si Kepala Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun regional akibat adanya pembangunan ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Stockholm

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, bahwa penduduk perkotaan dari waktu ke waktu cenderung meningkat jumlah dan proporsinya. Hal

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA

KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik KANTOR SEWA DENGAN TEMA PERKANTORAN TAMAN DI JAKARTA Diajukan oleh

Lebih terperinci

KETERKAITAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DAN BENTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN PEMUKIMAN KUMUH

KETERKAITAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DAN BENTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN PEMUKIMAN KUMUH KETERKAITAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DAN BENTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN PEMUKIMAN KUMUH (Studi Kasus: Kelurahan Tanjungmas, Kec. Semarang Utara Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh: INDRI NOVITANINGTYAS L2D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci