PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan
|
|
- Deddy Makmur
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana (transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani, 2005). Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan, dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama sebagai kawasan wisata. Di Indonesia terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota diantaranya merupakan kota tepian air (waterfront city) yang berada di tepi pantai, sungai atau danau (Suprijanto, 2007). Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kegiatan utamanya perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan (Mulyandari, 2010). Kota pantai di Indonesia secara historis merupakan titik awal pertumbuhan suatu kota, dan juga berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas kawasan perkotaan baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya yang
2 2 berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran penting dalam perkembangan kota. Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir ( ) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan kepadatan penduduk 740 jiwa/km 2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar bermukim di wilayah pesisir. Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun yang mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006). Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa, perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota berbasis budaya). Isu kawasan waterfront di Kota Ternate berkaitan dengan perkembangan spasial kota. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi pantai berarti menambah luas wilayah pesisir Kota Ternate. Penambahan daratan di wilayah pesisir tentunya berdampak pada perubahan garis pantai. Dengan bertambahnya luas daratan, maka penggunaan lahan di Kota Ternate ikut meningkat. Sistem penggunaan lahan perkotaan yang didominasi oleh aktivitas manusia yang
3 3 kompleks berpengaruh terhadap dinamika spasial-temporal perkembangan wilayah (Hu dan Lo, 2007). Indikator ketersediaan infrastruktur menjadi tolak ukur perkembangan kota. Peningkatan pelayanan infrastruktur ikut mempengaruhi pola permukiman di perkotaan. Umumnya masyarakat cenderung memilih tempat bermukim yang dekat atau mudah diakses dalam hal sarana dan prasarana wilayah. Preferensi bermukim dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan permukiman yang baik, fasilitas transportasi dan penyediaan barang dan jasa, serta pusat lapangan kerja (Sinulingga, 1999). Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan mendorong pertumbuhan kota yang berkelanjutan. Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi (Madiasworo, 2011 diacu dalam Lubis, 2011). Pemenuhan ketiga aspek tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan yang kembali menjadikan pesisir sebagai beranda, agar memiliki nilai estetika sehingga mampu memberikan kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota (Bischof, 2007 diacu dalam Lubis, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keterpaduan antara konsep infrastruktur fisik (grey infrastructure), infrastruktur hijau/ramah lingkungan (green infrastructure), dan infrastruktur sosial (social infrastructure) dapat diterapkan guna membangun infrastruktur yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Studi ini difokuskan pada tiga poin berikut yang berkaitan dengan pertumbuhan Kota Ternate. Pertama, memodelkan perkembangan Kota Ternate setelah pengembangan kawasan waterfront. Ini berarti bahwa pengembangan kawasan waterfront merupakan faktor kunci yang mempengaruhi proses pembangunan perkotaan. Kedua, mengkaji cakupan pelayanan infrastruktur kota sebagai penunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, menentukan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur secara berkelanjutan di kawasan waterfront berdasarkan persepsi stakeholders guna perbaikan infrastruktur kearah yang lebih baik.
4 4 Perumusan Masalah Pengembangan wilayah Kota Ternate secara eksternal tidak dapat dilepaskan dari kedudukan, peran dan fungsinya dalam lingkup antar wilayah, baik dalam wilayah Propinsi Maluku Utara, Kawasan Timur Indonesia, Nasional serta kemungkinan keterkaitannya dengan negara lain di Kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan strukturnya, wilayah Kota Ternate terletak pada jalur pelayaran internasional serta berada di titik singgung lingkaran pasifik yang secara langsung akan dipengaruhi oleh perubahan global. Pengaruh ini akan memungkinkan Kota Ternate berkembang sebagai salah satu pintu masuk dan keluar diantara sistem banyak pintu (multygate system) ke arah lingkaran Pasifik tersebut. Kondisi semacam ini membentuk suatu sistem keterkaitan wilayah antar kota kota (pulaupulau) yang berada di dalam satu Kawasan Laut Pulau (KLP), yang secara fungsional dapat menghilangkan atau mengabaikan batas batas administratif dalam upaya pemberdayaan wilayahnya. Sementara dari tinjauan nasional, Kota Ternate berada dalam konstelasi wilayah yang dilewati jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia 3 (ALKI 3) dan jalur poros pengembangan strategis Nasional (Manado-Ternate-Sorong-Biak- Jayapura). Selain itu Kota Ternate juga berperan sebagai jalur transit ke kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Maluku Utara. Secara regional Kota Ternate masuk dalam pengelompokan Kawasan Timur Indonesia, yang saat ini menjadi fokus untuk pengembangan dan pembangunan nasional. Dipihak lain, Kota Ternate diperhadapkan pada kondisi geografis wilayahnya yang berupa daerah perbukitan dengan sebuah gunung api aktif dan memiliki kemiringan lereng terbesar diatas 40% yang mengerucut kearah puncak gunung dan dikelilingi laut. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan lahan untuk pengembangan ruang publik kota. Wilayah pesisir menjadi salah satu alternatif strategis dalam pengembangan kawasan, khususnya dalam pemenuhan infrastruktur perkotaan dengan metode reklamasi pantai yang saat ini tengah menjadi tren pengembangan kawasan kota pantai (waterfront city) di Indonesia. Secara spasial, luas kawasan pesisir Kota Ternate saat ini semakin bertambah. Kawasan tersebut meliputi pesisir timur dan pesisir selatan kota yang dijadikan kawasan pengembangan waterfront. Teknik reklamasi pantai bertujuan
5 5 untuk mendapatkan lahan/daratan baru melalui pengurugan atau pengeringan. Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan perkotaan untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan. Hal yang demikian akan berpengaruh terhadap spasial kota dan perubahan garis pantai karena kawasan waterfront bersinggungan langsung dengan wilayah pesisir. Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi eksisiting infrastruktur masih terbatas cakupan pelayanannya terutama di wilayah belakang (hinterland) yaitu di kecamatan Pulau Ternate, sebagian kecamatan Ternate Utara dan sebagian kecamatan Ternate Selatan yang cenderung berada pada kondisi topografis perbukitan (upland) dan jauh dari pusat kota. Ketimpangan sebaran infrastruktur menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur Pulau Ternate, dari segi cakupan pelayanan terhadap penduduk. Kondisi ini menunjukkan adanya prioritas pembangunan wilayah yang berorientasi di wilayah bagian timur Pulau Ternate sebagai kawasan cepat tumbuh dalam menghubungkan dengan pulau-pulau sekitarnya dalam lingkup lokal maupun regional. Perkembangan kawasan kota pantai (waterfront city) khususnya di kawasan pesisir timur dan sebagian pesisir selatan Kota Ternate menyebabkan berkembangnya hierarki wilayah di kawasan tersebut serta kawasan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebaran dan ketersediaan infrastruktur. Secara teoritik, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas, yang ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur, kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas perekonomiannya. Pengembangan wilayah harus memperhatikan karakteristik potensial yang dimiliki wilayah. Permasalahan muncul setelah pengembangan waterfront, baik dari segi ekosistem dan fisik lingkungan pesisir, sosial ekonomi, serta persoalan sarana dan prasarana lingkungan. Sistem drainase buruk dan pembuangan air limbah kawasan waterfront yang bermuara ke laut mengakibatkan badan air terkontaminasi. Status perairan dalam kondisi buruk di kawasan waterfront Kota Ternate untuk pemanfaatan budidaya perikanan akibat beban pencemaran dari limbah permukiman, pasar, restoran, pertokoan, industri kecil, dan aktivitas pelabuhan
6 6 laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi tumpukan sampah di pesisir pantai. Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang. Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront yang terintegrasi. Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront? 2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan waterfront? 3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat? 4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan? 5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront? Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut : 1. Melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront.
7 7 2. Menganalisis perubahan hierarki wilayah berdasarkan karakteristik wilayah yang dimiliki setelah pengembangan waterfront. 3. Melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur eksisting di Kota Ternate. 4. Memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan. 5. Menyusun arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Memberikan kontribusi data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan. 2. Memberikan arahan perencanaan infrastruktur perkotaan hingga 20 tahun mendatang (2032). 3. Memberikan pemikiran serta kajian ilmiah pada konsep infrastruktur perkotaan dan waterfront city. 4. Memberikan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan kepada Pemerintah Daerah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun 2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan. Wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan kawasan waterfront cenderung ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kawasan waterfront. Wilayah-wilayah yang berkembang ditandai dengan meningkatnya aksesibilitas dan jumlah sarana dan prasarana (infrastruktur) di wilayah tersebut. Untuk mengetahui hierarki wilayah kota Ternate, maka dapat dianalisis dengan indikator
8 8 aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur. Wilayah-wilayah yang termasuk kategori hierarki 1 merupakan pusat pelayanan kota, wilayah dengan kategori hierarki 2 berarti masih bergantung pada wilayah hierarki 1, sedangkan wilayah dengan kategori hierarki 3 merupakan wilayah belakang (hinterland). Untuk itu, analisis skalogram digunakan dalam menentukan hierarki wilayah. Ketersediaan infrastruktur yang dianalisis meliputi infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga jenis infrastruktur tersebut dianalisis sebaran dan ketersediaannya guna menyediakan data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan dan mengetahui cakupan pelayanan infrastruktur kepada masyarakat. Cakupan pelayanan infrastruktur berkorelasi dengan jumlah penduduk dan akses pencapaian. Untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan infrastruktur, maka digunakan analisis spasial (SIG) untuk menentukan jarak dan wilayah pelayanan. Selain itu dilakukan prediksi kebutuhan infrastruktur guna perencanaan hingga 20 tahun mendatang (2032), berdasarkan proyeksi jumlah penduduk. Pengembangan kawasan waterfront masih menyisakan permasalahan diantaranya adalah belum optimalnya pengelolaan sampah, konflik penggunaan lahan pasar tradisional dan terminal angkutan kota serta timbulnya kawasan PKL (sektor informal) yang tidak tertata, yang tentunya harus segera diselesaikan. Arahan penataan dan pengelolaan berdasarkan persepsi stakeholder diharapkan dapat menjadi alternatif penangan permasalahan yang ada di kawasan waterfront. Untuk itu, analisis AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
9 9 Sebelum Pengembangan Kawasan Waterfront (sebelum tahun 2001) Perubahan Spasial Kota Perubahan Garis Pantai Perubahan Penggunaan Lahan Hierarki I (Pusat Pelayanan) Pengembangan Wilayah Kota Ternate Hierarki Wilayah Hierarki II Hierarki III (Wilayah Belakang/ hinterland) Data Spasial Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur Analisis Cakupan Pelayanan Infrastruktur Infrastruktur Fisik Setelah Pengembangan Kawasan Waterfront (setelah tahun 2010) Sebaran & Ketersediaan Infrastruktur Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau Jumlah Penduduk Akses Pencapaian Prediksi Kebutuhan Infrastruktur hingga tahun 2032 Alternatif Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur di Kota Ternate Gambar 1. Kerangka Pemikiran 9
BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN
PENDAHULUAN. Latar Belakang Aspek Sanitasi adalah sebagai salah satu aspek pembangunan yang memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat karena berkaitan dengan kesehatan, pola
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan
Lebih terperinciANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA FIRDAWATY MARASABESSY
ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA FIRDAWATY MARASABESSY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas
Lebih terperinciTUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2.1. Tujuan Penataan Ruang Kota Bengkulu Tujuan penataan ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan: 1) visi dan misi pembangunan wilayah kota; 2) karakteristik wilayah kota;
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA 5.1. KESIMPULAN Kawasan Strategis Pantai Utara yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi DKI Jakarta sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya
Lebih terperinciKETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP
LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan
Lebih terperinciKEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA
KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA TUGAS AKHIR Oleh: FARIDAWATI LATIF L2D 001 418 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat
Lebih terperinciBAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN
BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciHirarki Wilayah Kota Ternate Pasca Pengembangan Kawasan Waterfront City
Journal Homepage: http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jwl JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN P-ISSN: 2338-1604 dan E-ISSN: 2407-8751 Volume 4 Nomor 3, Desember 2016, 213-224 Hirarki Wilayah Kota Ternate
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
Lebih terperinciDasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS
KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)
BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan
Lebih terperinciIV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN
92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciBELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan dewasa ini merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami perkembangan dan peningkatan di segala aspek kehidupan, mencakup bagian dari
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, pencemaran, dan pemulihan kualitas lingkungan. Hal tersebut telah menuntut dikembangkannya berbagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi di bidang transportasi sangat membantu manusia dalam menghemat waktu perjalanan yang tadinya berlangsung sangat lama menjadi lebih cepat. Teknologi
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan
Lebih terperinciDasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tataralok Sebagai Acuan Pengembangan Sistem Transportasi Terpadu Transportasi merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, yang mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan UU RI No 38 Tahun 2004 tentang Jalan, dijelaskan bahwa jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap
Lebih terperinciRangkuman tentang Muatan. Rencana Rinci
Rangkuman tentang Muatan Rencana Rinci Di Susun Oleh : Nama : Nadia Nur N. Nim : 60800114049 Kelas : C1 TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. inase_perkotaan.pdf. download [28 Juli 2012] Anonim What s Green Infrastructure?. /greeninfrastructure.net.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R, Sakti A. 2010. Teori Pertumbuhan Kota (Perkotaan). Makassar: Universitas Hasanuddin. Anonim. 2007. Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Drainase Perkotaan. http://pplpdinciptakaru.jatengprov.go.id/drainase/file/749053951_prinsip_dasar_dra
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan
Lebih terperinciPangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan tepi air ataupun kawasan tepi sungai di Indonesia sebenarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan
1.1 Latar Belakang Perencanaan BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, hal ini dilihat dari banyaknya pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya yaitu 17.504
Lebih terperinciBAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN
BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kota secara fisik berlangsung dinamis sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan kebutuhan ruangnya.
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua
Lebih terperinciBAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI
BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika A. Permasalahan Adapun Permasalahan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT
Versi 23 Mei 2017 PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Peta Pulau Ambon
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Ambon terletak di bagian selatan Pulau Ambon, tepatnya di daerah pesisir Teluk Ambon dan Teluk Baguala. Total luas wilayah Kota Ambon sekitar 786 km 2, terbagi atas
Lebih terperinci6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN KABUPATEN KUPANG KABUPATEN KUPANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara administratif Kupang adalah sebuah kotamadya yang merupakan ibukota dari propinsi Nusa Tenggara Timur, dan secara geografis terletak antara 10º39 58
Lebih terperinciDAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa
III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan
Lebih terperinciBab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM
Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Jambi merupakan ibukota Provinsi Jambi terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten dan kota. Letak kota ini berada di pusat pertumbuhan ekonomi serta berada di jalur perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.506 pulau besar dan kecil, dengan total garis pantai yang diperkirakan mencapai 81.000 Km, Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Secara Geografis Sorong terletak pada kawasan persilangan empat penjuru
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara Geografis Sorong terletak pada kawasan persilangan empat penjuru yaitu di utara berhadapan dengan filipina, di selatan dengan Australia,di barat dengan pulau-pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan
Lebih terperinciBAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi
II-1 BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Visi Pembangunan Tahun 2011-2015 adalah Melanjutkan Pembangunan Menuju Balangan yang Mandiri dan Sejahtera. Mandiri bermakna harus mampu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang saling berinteraksi sehingga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara dan bagi daerah sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai Timur dan Pantai Barat. Salah satu wilayah pesisir pantai timur Sumatera Utara adalah Kota Medan.
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan
Lebih terperinciRencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan
RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,
Lebih terperinciRencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lingga
BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI III.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPD Terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Lebih terperinci7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN
7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN Berdasarkan analisis data dan informasi yang telah dilakukan, analisis
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinci: Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar)
Kota Kekerabatan Maja dan Masa Depan Oleh : Ir. Mirna Amin. MT (Asisten Deputi Pengembangan Kawasan Skala Besar) Persoalan perumahan masih menjadi salah satu issue penting dalam pembangunan ekonomi mengingat
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinciRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin
2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan Pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan garis pantai kurang lebih 81.900 km dan memiliki kawasan yang berbatasan dengan sepuluh negara,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan proses desentralisasi, pembangunan sebagai konsekwensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Kemampuan daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
No.77, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Nasional. Wilayah. Rencana Tata Ruang. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042) PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis Location Quetiont (LQ), analisis MRP serta Indeks Komposit. Kemudian untuk
Lebih terperinciPENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR
PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR Oleh: MUHAMMAD SYAHRIR L2D 300 369 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciKAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR
KAJIAN DAYA TAMPUNG RUANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN KOTA TARAKAN TUGAS AKHIR Oleh : M. HELWIN SETIAWAN L2D 099 434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2004
Lebih terperinciSTUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR
STUDI PENINGKATAN PELAYANAN OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KOTA BANDA ACEH TUGAS AKHIR Oleh: DINAR DWIRIANSYAH L2D 099 418 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Lebih terperinciKawasan Cepat Tumbuh
Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi Terjadi dorongan kerjasama pembangunan antar wilayah secara fungsional Kawasan Cepat Tumbuh Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk unggulan Tercipta keterpaduan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang terletak LS dan BT, dengan. sebelah selatan : Kabupaten Semarang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang terletak 6 55-7 6 LS dan 110 15-110 31 BT, dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut : sebelah utara : Laut Jawa sebelah selatan : Kabupaten
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG
I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Lebih terperinci