4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

3 METODOLOGI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN MUHAMAD ALI YAHYA

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

3 METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JAKARTA

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

Produksi (Ton) Trip Produksi (Ton) Pukat Cincin ,

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

4 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP DI SULAWESI SELATAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN. Cumi-curni merupakan salah satu sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis.

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sumber daya ikan terubuk (Clupeidae: Tenualosa sp.) di perairan Pantai Pemangkat, Kalimantan Barat

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

Gambar 1. Diagram TS

Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Transkripsi:

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, Polmas, Majene dan Mamuju. Jumlah produksi yang dihasilkan dari daerah penghasil ikan terbang di daerah ini, secara keseluruhan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Begitu pula dengan produksi telur ikan terbang (TIT) yang dominan dihasilkan oleh nelayan dari Kabupaten Takalar, juga mengalami fluktuasi yang sama. Produksi ikan terbang selama sepuluh tahun terakhir (1994-2003), diperoleh tertinggi pada tahun 2000 yakni sebesar 9.580,7 ton dan produksi kembali mengalami penurunan hingga terendah pada tahun 2003 yakni sebesar 3.905,0 ton. Demikian pula halnya dengan jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini, diperoleh tertinggi pada tahun yang sama yakni tahun 2000 dengan total produksi sebesar 2.448,5 ton dan terendah terjadi pada tahun 1995 dengan sama sekali tanpa ada produksi yang dihasilkan (Gambar 13). Walaupun tidak tetap perubahan jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan setiap tahunnya, namun nampak terdapat suatu kecenderungan siklus tiga tahunan dimana produksi menurun, kemudian meningkat kembali pada tahun berikutnya. Produksi ikan dan telur ikan terbang yang meningkat hingga tahun 2000, walaupun dengan jumlah unit upaya penangkapan yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, diduga disebabkan oleh tingginya permintaan pasar telur ikan terbang dari mancanegara dengan harga yang tinggi, yakni berkisar antara Rp. 250.000.- sampai dengan Rp. 300.000.- per kg. Permintaan pasar dan harga yang tinggi terhadap komoditi ini, diperkirakan menyebabkan tingginya produksi yang dihasilkan baik ikan maupun telur ikan terbang oleh nelayan di daerah ini. Produksi ikan terbang walaupun bukan merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting, namun dengan jumlah produksi yang dihasilkan cukup besar setiap tahunnya, menyebabkan secara ekonomi tetap memberikan nilai produksi yang cukup tinggi, sehingga sampai saat ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan terbang masih terus berlangsung. Nilai jual produksi ikan terbang pada tingkat nelayan, hampir stabil sepanjang tahun, karena hanya merupakan komoditi perikanan dengan tujuan pemasaran lokal, terutama bagi daerah-daerah dimana

tidak memiliki produksi hasil laut. Pemanfaatan sumberdaya ikan terbang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat dengan skala tradisional, sehingga masih memerlukan bantuan teknologi tepat guna dalam kaitan dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas penangkapan yang dilakukan. Produksi (Ton) 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 IT TIT 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 13 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan. Sebaliknya produksi telur ikan terbang memegang peranan yang cukup penting bagi nelayan setempat, karena jenis komoditi perikanan ini merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati oleh beberapa negara terutama bagi negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Nilai jual telur ikan terbang yang siap untuk diolah lebih lanjut oleh pengusaha pengumpul sebelum ditawarkan kepada pengusaha ekspor hasil perikanan sangat berfluktuasi, bergantung pada tingkat permintaan dari negara-negara tujuan disamping ditentukan oleh nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang rupiah. Selain itu produk ini tergolong sebagai produk yang rentan dengan isu-isu lingkungan, menyebabkan seringkali mendapat ancaman penolakan dari beberapa negara tujuan dengan alasan pertimbangan konservasi sumberdaya. Permainan harga jual pada tingkat nelayan, juga banyak ditentukan oleh pengusaha pengumpul dan ponggawa yang memberikan modal awal sebelum kegiatan penangkapan dilakukan oleh nelayan. Namun hal ini sangat sulit untuk diatasi dalam kaitan penstabilan harga, mengingat peran pengusaha pengumpul dan ponggawa sangat besar terhadap keberlanjutan usaha dan kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan yang setiap saat dapat 58

menjalankan fungsinya sebagai pemberi modal tepat waktu tanpa disertai persyaratan yang rumit. Nilai produksi telur ikan terbang cukup besar, walau masih berada di bawah beberapa jenis komoditi perikanan ekonomis penting lainnya, seperti : tuna, cakalang, dan udang. Produksi telur ikan terbang dengan nilai yang tinggi ini, memberikan peranan yang cukup penting bagi ekonomi masyarakat nelayan setempat, khususnya masyarakat nelayan patorani di Kabupaten Takalar. Perkembangan nilai produksi ikan dan telur ikan terbang selama sepuluh tahun terakhir, ditunjukkan pada Gambar 14. Nilai Produksi (Milyar RP) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 IT TIT 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 14 Nilai produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan. 4.1.2 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut kabupaten Produksi ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan, secara keseluruhan diperoleh dari beberapa kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Selat Makassar, serta kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai timur Sulawesi Selatan yang melakukan kegiatan penangkapan di perairan Teluk Bone dan Laut Flores. Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, dan Majene, merupakan kabupaten penghasil ikan terbang terbesar di daerah ini, yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar). Selama periode 10 tahun antara tahun 1994 sampai dengan tahun 2003, Kabupaten Takalar merupakan penghasil 59

terbesar baik ikan maupun telur ikan terbang diantara semua kabupaten lainnya, kemudian disusul oleh Kabupaten Majene, Pinrang dan Barru. Di Kabupaten Takalar produksi ikan terbang tertinggi dicapai pada tahun 2000, Kabupaten Barru tahun 2002, Kabupaten Pinrang tahun 1998, dan Kabupaten Majene dicapai pada tahun 1998. Dari empat kabupaten yang digunakan sebagai tempat pengambilan data lapang, yakni Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, dan Majene, kontribusi produksi ikan terbang yang disumbangkan terhadap total produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan pada tahun 2003, adalah sebesar 77,18 %, yakni masing-masing Kabupaten Takalar sebesar 43,64 %, Kabupaten Barru sebesar 0,19 %, Kabupaten Pinrang sebesar 7,41 %, dan Kabupaten Majene sebesar 25,94 % (Gambar 15).. TKLR BARRU PNRG MAJENE 25.94 43.64 7.41 0.19 Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 15 Produksi ikan terbang dari empat kabupaten di Sulawesi Selatan. Produksi telur ikan terbang selama kurun waktu sepuluh tahun (1994 2003), dihasilkan di Kabupaten Takalar yang merupakan penghasil utama telur ikan terbang di daerah ini. Sampai sekarang kegiatan penangkapan telur ikan terbang di daerah itu masih terus berlangsung, dengan memanfaatkan daerah penangkapan yang semakin jauh. Produksi telur ikan terbang terbesar diperoleh pada tahun 2000 yakni sebesar 946,9 ton, kemudian mengalami penurunan pada tahun berikutnya hingga tahun 2003 (Tabel 10). 60

Tabel 10 Produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Tahun Produksi (Ton) 1994 102,8 1995-1996 89,0 1997 655,2 1998 72,2 1999 934,0 2000 946,9 2001 219,7 2002 275,0 2003 279,8 Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 4.1.3 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut musim Produksi ikan terbang menurut periode musim selama sepuluh tahun (1994 2003), diperoleh tertinggi pada periode MT menyusul PMTB dan terendah pada PMBT, kecuali pada tahun 2003 dimana produksi ikan terbang terbesar diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB. Pada tahun 2001, produksi ikan terbang di daerah ini mengalami perubahan periode produksi, dimana terbesar kedua diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB, bahkan pada tahun 2003 produksi tertinggi diperoleh pada periode PMBT (Gambar 16). 61

Produksi (Ton) 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 PMBT MT PMTB 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 16 Produksi ikan terbang menurut periode musim. Produksi telur ikan terbang secara keseluruhan di daerah ini selama kurun waktu sepuluh tahun (1994-2003), hanya diperoleh dari dua periode musim saja yaitu pada periode MT dan PMTB. Setiap tahunnya produksi tertinggi diperoleh pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana produksi tertinggi dicapai pada periode PMTB (Gambar 17). Produksi (Ton) 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 MT PMTB 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 17 Produksi telur ikan terbang menurut periode musim. 62

4.1.4 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut API Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan, diperoleh dengan menggunakan beberapa jenis alat penangkapan ikan (API). Selama periode sepuluh tahun (1994 2003), diperoleh produksi hasil tangkapan ikan terbang tertinggi dari alat penangkapan bubu hanyut permukaan (BHP) dan jaring insang hanyut permukaan (JIHP). Kedua jenis alat penangkapan tersebut, secara khusus dirancang untuk digunakan menangkap ikan dan telur ikan terbang. Produksi hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh dari jenis alat tangkap yang lain, seperti jaring insang tetap (JIT), purse seine (PS), dan payang (PY) hanya merupakan hasil tangkapan sampingan. Kontribusi beberapa jenis alat penangkapan ikan terhadap jumlah total produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1994 sampai dengan 2003, ditunjukkan pada Gambar 18. 1.0% 0.6% 5.0% 38.7% 54.7% JIHP BHP JIT PS PY Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Keterangan : Gambar 18 Produksi ikan terbang dari beberapa jenis API. JIHP = Jaring insang hanyut permukaan; JIT = Jaring insang tetap; BHP = Bubu hanyut permukaan; PS = Purse seine; PY = Payang; Jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang didapatkan dari JIHP dan BHP tertinggi dibandingkan dengan produksi hasil tangkapan dari beberapa jenis alat penangkapan lainnya, masing-masing sebesar 54,7 % produksi dari JIHP dan 38,7 % produksi dari BHP. Produksi ikan terbang yang dihasilkan dari JIHP yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan dari BHP, disebabkan 63

terjadinya perubahan alat penangkapan yang sebelumnya lebih banyak digunakan BHP dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, kemudian berubah dengan menggunakan semacam rumpon berbentuk persegi empat (bale-bale) dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang. Dengan menggunakan alat tangkap seperti itu, ikan terbang saat melepaskan telurnya pada dedaunan yang dipasang di rakit tersebut tidak tertangkap lagi. Pada saat operasi penangkapan telur ikan terbang dengan menggunakan bale-bale, bubu hanyut masih tetap disertakan beberapa unit antara 5-8 buah dengan merangkaikan pada bale-bale secara bersamaan sebagai kebiasaan dan kepercayaan bagi masyarakat nelayan setempat. Penangkapan telur ikan terbang (patorani) dengan BHP telah lama digunakan oleh masyarakat nelayan setempat. Namun dengan perkembangan pengetahuan nelayan, bubu hanyut diketahui memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan alat tangkap bale-bale, yakni sulit membawa ke laut dalam jumlah banyak pada waktu kegiatan penangkapan dilakukan karena memerlukan tempat yang sangat banyak di atas kapal, Selain itu dari aspek konservasi sumberdaya, juga memiliki kelemahan karena kawanan ikan yang datang bertelur pada dedaunan yang dipasang pada mulut bubu ikut terperangkap masuk ke dalam bubu dan akhirnya tertangkap, walaupun bukan menjadi tujuan utama penangkapan. Perkembangan jumlah alat penangkapan jaring insang hanyut permukaan (JIHP) yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Terbanyak pada tahun 2000 yakni sebanyak 5.987 unit kemudian mengalami penurunan sampai pada tahun 2003 yakni hanya 4.263 unit. Produksi ikan terbang yang dihasilkan juga mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi diperoleh pada tahun yang sama yaitu pada tahun 2000 dan terendah pada tahun 2003 ( Lampiran 5). Jumlah unit alat tangkap BHP/bale-bale yang digunakan oleh nelayan di daerah ini di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang selama periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 mengalami fluktuasi. Terbanyak pada tahun 1996 yakni sebanyak 1.397 unit, walaupun hanya menghasilkan jumlah produksi telur ikan terbang sebanyak 89,0 ton. Sebaliknya pada tahun 2000 hanya terdapat sebanyak 603 unit alat tangkap BHP/bale-bale, tetapi mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang tertinggi yakni sebesar 946,9 ton (Lampiran 6). 64

4.2 CPUE Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.2.1 CPUE tahunan ikan dan telur ikan terbang Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya ikan terbang di perairan Selat Makassar dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Perubahan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut, dipengaruhi oleh intensitas pemanfaatan berupa penambahan atau pengurangan jumlah unit alat penangkapan ikan atau jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan, serta ketersediaan besarnya stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat pemanfaatan ataupun laju pemanfaatan suatu jenis sumberdaya perikanan selama kurun waktu tertentu, adalah dengan melihat besar kecilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari seluruh upaya penangkapan ikan yang dilakukan. Gambaran status atau tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini didasarkan pada nilai catch per unit effort (CPUE) yang dihasilkan. Penghitungan nilai CPUE untuk mengetahui status pemanfaatan suatu sumberdaya ikan, banyak digunakan oleh beberapa kalangan karena tidak memerlukan penghitungan yang rumit dan dengan biaya yang rendah (Uktolseja et al., 1998). Beberapa ahli di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan masih meragukan, karena data yang digunakan bergantung pada ketersediaan dan kebenaran data sebelumnya dan tidak melakukan sampling secara langsung pada sumberdaya ikan yang diestimasi (indirect estimation). CPUE dapat diperoleh dari data statistik perikanan yang tersedia atau dari hasil pencatatan kegiatan penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Data yang dihasilkan sangat ditentukan pada kemampuan petugas yang ada di tempat pendaratan ikan atau pada kemampuan dalam memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya. CPUE hanya memerlukan data jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan yang diamati dan jumlah upaya penangkapan yang dilakukan. Jumlah hasil tangkapan ikan (catch) merupakan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh, dan upaya penangkapan (effort) merupakan jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Hasil tangkapan ikan (catch) dapat dinyatakan dalam satuan berat (kg atau ton) ataupun dengan satuan ekor ikan yang diperoleh. Upaya penangkapan (catch) dinyatakan dalam satuan upaya penangkapan (jumlah unit alat tangkap, jumlah trip penangkapan, ataupun jumlah mata pancing yang digunakan). 65

Jumlah hasil tangkapan (produksi) Ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami fluktuasi. Hal ini ditentukan oleh besarnya upaya penangkapan yang dilakukan dan besarnya ketersediaan stok kawanan ikan terbang di perairan tersebut. Begitu pula halnya dengan jumlah hasil tangkapan (produksi) telur ikan terbang yang dihasilkan, juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Fluktuasi produksi telur ikan terbang, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh tingkat perkembangan harga pada pasar ekspor. Hal ini terkait dengan besarnya permintaan komoditi ini dari negara-negera tujuan. Pada tingkat harga telur ikan terbang yang tinggi dan permintaan pasar ekspor yang naik, menyebabkan jumlah upaya penangkapan telur ikan terbang menjadi tinggi, dan sebaliknya jika harga dan permintaan pasar rendah menyebabkan upaya yang dilakukan juga menurun. Dengan peningkatan upaya penangkapan telur ikan terbang, menyebabkan pula produksi ikan terbang meningkat. CPUE tahunan ikan terbang di Sulawesi Selatan selama kurun waktu tahun 1994-2003 menunjukkan terjadinya fluktuasi. Nilai CPUE ikan terbang diperoleh tertinggi yakni 1.613,79 kg pada tahun 2001 dan terendah yakni 793,10 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 2002 (Gambar 19). Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan tidak banyak mengalami perubahan dari tahun 1994 sampai 2001, kemudian menurun pada tahun 2002 dan mulai meningkat kembali pada tahun 2003. CPUE IT (Kg/Unit) 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 19 CPUE tahunan ikan terbang. 66

Produksi telur ikan terbang yang dihasilkan, terbesar yakni 946.900 kg pada tahun 2000 dan terendah yakni 72.200 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1995 tidak ada sama sekali produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini. Hal itu dikarenakan harga yang ada pada tingkat nelayan sangat rendah dan dengan permintaan negara tujuan yang rendah pula. Kondisi harga seperti itu menjadi tidak menguntungkan pada tingkat nelayan dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang karena memerlukan biaya operasional yang besar yaitu berkisar antara Rp. 3-5 juta per trip akibat lamanya nelayan di laut (long trip) di dalam kegiatan penangkapan. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan selama kurun waktu sepuluh tahun (1994-2003), tertinggi yakni sebesar 1.570,32 kg pada tahun 2000 dan terendah yakni 63,71 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 1996 (Gambar 20). CPUE TIT (Kg/Unit) 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 20 CPUE tahunan telur ikan terbang. Jumlah upaya penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan mengalami penurunan sejak tahun 1999 yakni dari 1.000 unit pada tahun 1998 menjadi hanya 803 unit pada tahun 1999. Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini, ternyata tidak mempengaruhi baik terhadap jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan maupun besarnya CPUE yang diperoleh. Bahkan pada tahun 2000 dengan upaya penangkapan hanya sebesar 603 unit, mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang sebesar 946.900kg dengan CPUE tertinggi 67

yakni sebesar 1.570,32 kg per unit upaya penangkapan. Tingginya produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan pada tahuan 2000, selain disebabkan terjadinya penurunan jumlah upaya penangkapan, juga diduga disebabkan oleh besarnya permintaan pasar dari mancanegara dengan harga yang tinggi yakni berkisar antara Rp. 250.000.- sampai dengan Rp. 300.000.- per kg kering. Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini terjadi, akibat besarnya biaya operasi penangkapan dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Keadaan itu menyebabkan sebagian nelayan patorani mengalihkan usahanya pada kegiatan penangkapan ikan lainnya di sekitar perairan pantai dengan biaya operasional yang lebih rendah. 4.2.2 CPUE ikan dan telur ikan terbang menurut musim Penangkapan ikan dan telur ikan terbang dilakukan hampir sepanjang waktu dalam setahun, kecuali pada periode musim barat. Kegiatan penangkapan dilakukan memasuki awal periode musim pancaroba pertama atau awal peralihan musim barat timur (PMBT) sampai akhir periode musim pancaroba kedua (PMTB). Nilai CPUE yang dicapai dari produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim selama sepuluh tahun (1994-2003), diperoleh tertinggi pada MT, kecuali pada tahun 2003 CPUE tertinggi didapatkan pada PMBT. Jumlah produksi dan nilai CPUE tertinggi yang diperoleh pada MT, menunjukkan bahwa puncak penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini terjadi selama MT. Selain itu berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Yahya, et al., 2001) dikemukakan bahwa, kawanan ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar bagian selatan) tertinggi ditemukan selama periode MT. Faktor siklus musim di daerah ini juga sangat mempengaruhi tingkat intensitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, dimana pada periode MT di wilayah ini merupakan waktu yang sangat kondusif untuk kegiatan penangkapan ikan. Kawanan ikan terbang di Selat Makassar diketahui melakukan pergerakan dari perairan bagian utara ke perairan bagian selatan memasuki awal periode MT dan sebaliknya pada PMBT dan PMTB. Pergerakan kawanan (schooling movement) ikan terbang ini, selain dipengaruhi oleh aktivitas mencari makan (feeding activity/feeding migration) dimana diketahui di Selat Makassar bagian selatan selama periode MT terjadi upwelling yang menyebabkan terjadinya pengangkatan unsur 68

hara ke bagian permukaan perairan sehingga ketersediaan makanan di sekitar wilayah perairan itu meningkat. Pergerakan kawanan ikan ini, juga dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan (spawning activity/spawning migration) ke bagian perairan yang sesuai dan optimum untuk aktivitas pemijahan. Hal itu nampak dengan tingginya produksi telur ikan terbang yang dihasilkan selama periode MT di bagian wilayah perairan tersebut. Bagian perairan dimana tersedia sejumlah cadangan makanan bagi larva ikan, merupakan daerah yang sesuai untuk aktivitas pemijahan. Larva ikan yang menetas dapat dengan mudah mendapatkan makanan yang diperlukan untuk perkembangannya, selain faktor suhu dan salinitas perairan, serta faktor-faktor oseanografi lainnya yang mempengaruhi aktivitas biologi ikan tersebut. CPUE ikan terbang di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu 10 tahun (1994-2003), diperlihatkan pada Gambar 21. CPUE IT (Kg/Unit) 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 PMBT MT PMTB 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 21 CPUE ikan terbang menurut periode musim. CPUE yang diperoleh dari produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini, tertinggi dicapai pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana tertinggi didapatkan pada periode PMTB. Perkembangan jumlah produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang didapatkan selama sepuluh tahun (1994 2003), menunjukkan adanya dua puncak produksi selama kurun waktu tersebut, yakni pada tahun 1997 dan tahun 2000. Setelah produksi dan nilai CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2000, selanjutnya mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga tahun 69

2003. Pada tahun terakhir (2003), produksi dan CPUE telur ikan pada periode MT, mengalami peningkatan, tetapi sebaliknya produksi dan CPUE pada periode PMTB mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan harga telur ikan terbang pada tingkat nelayan yang tidak menggembirakan, bahkan hanya berkisar Rp. 35.000.- per kg. Pada tingkat harga seperti itu, adalah tidak menguntungkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan dengan biaya yang cukup besar. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu sepuluh tahun (1994-2003), diperlihatkan pada Gambar 22. CPUE TIT (Kg/Unit) 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 MT PMTB 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 1994-2003 Gambar 22 CPUE telur ikan terbang menurut periode musim. 4.3 Penangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.3.1 Daerah penangkapan Ikan (DPI) Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar yang dimanfaatkan oleh nelayan dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, masih tergolong berada di sekitar perairan pantai. Hal ini disebabkan armada penangkapan ikan yang digunakan masih tergolong relatif kecil dan dengan kelengkapan peralatan navigasi yang sangat minim. Di DPI I dan DPI II yang berada di bagian utara Selat Makassar, menggunakan armada penangkapan ikan dengan ukuran yang relatif kecil berkisar antara 2 3 GT, sehingga daerah penangkapan 70

yang dapat dicapai juga relatif dekat dari pantai dengan trip penangkapan bersifat harian. Di DPI III dan DPI IV, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang lebih besar yakni berkisar antara 8-10 GT. Ukuran armada penangkapan ini memungkinkan untuk lebih jauh melakukan pencarian daerah penangkapan dengan waktu trip penangkapan yang relatif panjang, yakni berkisar antara 20 30 hari di laut. Sebaran daerah penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang oleh nelayan dari kedua kelompok itu juga sangat berbeda. Di DPI IV dengan tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan adalah untuk menangkap telur ikan terbang, mengharuskan mereka mencari daerah penangkapan yang relatif lebih jauh dari pantai. Hal itu sesuai dengan perkiraan daerah peneluran/pemijahan (spawning ground) bagi ikan terbang dewasa dan matang gonad untuk melepaskan/menempelkan telurnya pada dedaunan di sekitar permukaan perairan (Ali dan Nessa, 2005). Begitu pula nelayan di DPI III dengan menggunakan armada penangkapan yang relatif lebih besar, walaupun hanya dengan tujuan penangkapan ikan terbang, tetapi dapat menjangkau wilayah perairan yang lebih jauh sesuai dengan kondisi dimana kawanan ikan terbang diperkirakan berada. Beberapa wilayah perairan yang digunakan sebagai daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Selat Makassar Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Tujuan Penangkapan Lokasi Penangkapan (Sekitar Perairan) Kisaran Kedalaman Perairan Posisi Lokasi Penangkapan DPI I Ikan terbang -Teluk Lebana 565 929 m 02 o 80-03 o 30 LS 118 o 58-118 o 75 BT DPI II Ikan terbang -Tanjung Lero -Pulau Batukalasi DPI III Ikan terbang -Pulau Karangang -Pulau Jangang - jangang DPI IV Telur ikan terbang -Pulau Papandangan -Pulau Kapoposang -Pulau Pamangngang -Pulau Tambakulu -Pulau Kondong Bali -Taka Gasseiya -Pulau Dayangdayang -Pulau Buluwang -Pulau Satanga Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004. 130 205 m 03 o 80-04 o 20 LS 119 o 10-119 o 40 BT 168 685 m 04 o 50-04 o 90 LS 118 o 80-119 o 25 BT 349 539 m 237-419 m 05 o 20-05 o 80 LS 118 o 50-119 o 00 BT 71

Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang di DPI I dan DPI II merupakan daerah penangkapan yang relatif sangat dekat dari pantai, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang sangat kecil. Wilayah perairan ini meskipun sangat dekat dari pantai berkisar antara 1 2 mil laut, berada di sekitar perairan Teluk Lebana dan memiliki kedalaman perairan yang sangat dalam berkisar antara 560 900 m dengan topografi yang terjal. Di sekitar perairan ini diketahui merupakan daerah perlintasan ataupun habitat kawanan ikan terbang. Lokasi penangkapan berada pada koordinat antara 02 o 80-03 o 30 LS dan 118 o 58-118 o 75 BT dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Kegiatan penangkapan ikan terbang di DPI II, berada di sekitar perairan Tanjung Lero dan Pulau Batukalasi pada koordinat antara 03 o 80-04 o 20 LS dan 119 o 10-119 o 40 BT dengan kedalaman perairan berkisar antara 130 205 m. Daerah penangkapan ikan terbang yang dimanfaatkan oleh nelayan baik di DPI I maupun di DPI II sepanjang musim penangkapan yang berlangsung dari bulan Maret hingga bulan Oktober setiap tahunnya, tidak menunjukkan adanya pergeseran daerah penangkapan yang jauh. Hal tersebut diakibatkan karena penggunaan kapal penangkapan yang relatif kecil, sehingga sulit menjangkau daerah penangkapan yang berada pada wilayah perairan yang lebih jauh. Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang pada DPI III merupakan wilayah perairan yang cukup jauh dari pantai, yaitu di sekitar perairan Taka Malaka dan Pulau Karangan serta Pulau Jangang-jangang pada koordinat antara 04 o 50-04 o 90 LS dan 118 o 80-119 o 25 BT dengan kedalaman perairan berkisar antara 168 685 m. Wilayah perairan ini diperkirakan merupakan daerah perlintasan kawanan ikan terbang dalam proses migrasi, sehingga diketahui merupakan wilayah perairan yang cukup potensil dalam kegiatan penangkapan ikan terbang setiap tahunnya dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Daerah penangkapan telur ikan terbang yang menempati DPI IV dan berada di bagian selatan Selat Makassar, yakni di sekitar perairan Pulau Kalu-Kalukuang, Pulau Kapoposang, Pulau Papandangang, Pulau Kondangbali, Pulau Jangangjangang, dan perairan sekitar Massalembo Kabupaten Pangkep pada koordinat antara 05 o 20-05 o 80 LS dan 118 o 50-119 o 00 BT, memiliki kedalaman perairan berkisar antara 237-419 m. Wilayah perairan ini setiap tahunnya dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan telur ikan terbang oleh nelayan patorani di Sulawesi Selatan dengan menggunakan alat penangkapan berupa BHP dan atau Bale-Bale. 72

4.3.2 Hasil Tangkapan Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah pengamatan selama penelitian berlangsung, disajikan pada Tabel 12. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan tersebut secara keseluruhan diperoleh dari 36 trip penangkapan selama 3 periode musim pada 4 daerah penangkapan ikan (DPI). Tabel 12 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Hasil Tangkapan (ekor/kg) Ikan Terbang Ikan Terbang Ikan Terbang Ikan Terbang Telur Ikan Terbang Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Trip Periode Musim Penangkapan PMBT MT PMTB 1 778 1.877 1.339 2 823 1.748 1.358 3 1.336 1.809 1.074 1 2.324 2.688 2.795 2 2.763 2.589 2.250 3 1.494 2.145 1.322 1 936 7.577 9.643 2 1.946 1.739 2.669 3 1.923 8.858 1.503 1 353 492 203 2 289 506 198 3 318 332 181 1 20,5 194,5 60,5 2 37,0 213,0 47,0 3 40,0 191,0 32,5 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI untuk setiap trip penangkapan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12, menunjukkan bahwa perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan tidak hanya terjadi antar setiap periode musim dan DPI, tetapi juga pada setiap trip penangkapan. Di DPI I pada awal periode penangkapan (PMBT), terjadi peningkatan jumlah hasil tangkapan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Sebaliknya pada periode MT dan PMTB terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Di DPI II pada periode PMBT terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan pada trip 3, namun kemudian meningkat selama periode MT sampai pada trip 2 periode penangkapan berikutnya (PMTB) dan menurun pada trip 3. Di DPI III dan IV, terlihat memiliki kecenderungan yang sama yakni peningkatan jumlah hasil tangkapan ikan terjadi sampai pada awal periode akhir penangkapan (PMTB) dan kemudian terjadi 73

penurunan pada trip terakhir. Hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh pada DPI IV, memperlihatkan kecenderungan yang juga mengalami peningkatan dari awal periode penangkapan (PMBT) sampai pada akhir periode MT dan terjadi penurunan memasuki akhir periode penangkapan (PMTB). (1) Hasil tangkapan menurut DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang selama pengamatan menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Ikan Terbang (Ekor) Hasil Tangkapan Telur Ikan Terbang (Kg) I 12.145 - II 20.370 - III 36.794 - IV 2.872 836,0 Jumlah 72.181 836,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Di daerah penangkapan ikan (DPI) I diperoleh hasil tangkapan ikan terbang adalah sebesar 12.145 ekor, DPI II sebesar 20.370 ekor, DPI III sebesar 36.794 ekor, dan di DPI IV sebesar 2.872 ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang secara keseluruhan dari semua DPI diperoleh sebesar 72.181 ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Terlihat bahwa hasil tangkapan ikan terbang menurut DPI dari bagian utara ke bagian selatan perairan Selat Makassar diperoleh adanya peningkatan, kecuali pada DPI IV. Hal itu disebabkan karena tujuan utama penangkapan yang dilakukan adalah untuk telur ikan terbang, menyebabkan hasil tangkapan ikan terbang hanya dianggap sebagai hasil tangkapan sampingan (by catch). (2) Hasil tangkapan menurut periode musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim, disajikan pada Tabel 14. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim selama pengamatan berlangsung, diperoleh masing-masing pada 74

PMBT sebesar 15.283 ekor dan 97,5 kg, pada MT sebesar 32.363 ekor dan 598,5 kg, serta pada PMTB sebesar 24.535 ekor dan 140,0 kg. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang masing-masing diperoleh tertinggi pada periode MT dan terendah pada PMBT. Tabel 14 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim Hasil Tangkapan Periode Musim Ikan Terbang (Ekor) Telur Ikan Terbang (Kg) PMBT 15.283 97,5 MT 32.363 598,5 PMTB 24.535 140,0 Jumlah 72.181 836,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 (3) Hasil tangkapan menurut periode musim dan DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Daerah Periode Musim Penangkapan Ikan Hasil Tangkapan (DPI) PMBT MT PMTB I Ikan terbang (ekor) 2.937 5.437 3.771 II Ikan terbang (ekor) 6.581 7.422 6.367 III Ikan terbang (ekor) 4.805 18.174 13.815 IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 ikan terbang (ekor) 960 1.330 582 Telur ikan terbang (kg) 97,5 598,5 140,0 Di daerah penangkapan ikan (DPI I), produksi hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMBT. Produksi hasil tangkapan ikan terbang di DPI II, diperoleh tertinggi juga pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMTB, namun tidak berbeda banyak dengan produksi hasil tangkapan yang diperoleh pada PMBT. Di DPI III produksi hasil tangkapan ikan terbang diperoleh tertinggi pada periode MT, dan terendah pada PMBT. Kondisi ini 75

adalah sama dengan di DPI lainnya dimana produksi hasil tangkapan setiap tahunnya diperoleh tertinggi pada musim yang sama. Perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang sangat besar dari ketiga periode musim tersebut, diduga disebabkan karena pengaruh periode munculnya ikan terbang dalam kawanan yang besar pada awal memasuki periode MT. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim, diperoleh tertinggi pada MT yang merupakan puncak penangkapan, dan sebaliknya terendah diperoleh pada PMTB. Produksi hasil tangkapan telur ikan terbang sebagai tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, diperoleh hasil tangkapan juga tertinggi pada periode MT, namun sebaliknya terendah diperoleh pada PMBT. Rendahnya produksi hasil tangkapan telur ikan terbang pada PMBT, dikarenakan merupakan awal memasuki periode penangkapan telur ikan terbang bahkan pada beberapa waktu nelayan masih menunggu perkembangan kepastian harga telur ikan terbang pada periode musim tersebut. Selama periode MT, dimana setiap tahunnya merupakan puncak kegiatan penangkapan telur ikan terbang yang bersamaan dengan waktu dimana aktivitas pemijahan ikan terbang berlangsung pada daerah penangkapan ini, menyebabkan kawanan ikan terbang telah berada dalam kawanan yang lebih besar. Walaupun pada periode PMBT diperoleh hasil tangkapan ikan terbang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang pada PMTB, namun sebagian besar ikan terbang masih berada pada kondisi belum matang gonad, menyebabkan jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh lebih rendah. 4.4 Parameter Biologi Ikan 4.4.1 Panjang berat ikan Panjang dan berat ikan terbang yang diperoleh secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Lampiran 13, 14, 17, 18, 21, 22, 25, dan 26. (1) Panjang berat ikan menurut DPI Panjang berat ikan dari hasil tangkapan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 16. 76

Tabel 16 Panjang berat ikan terbang menurut DPI Daerah Panjang Berat Ikan Penangkapan Ikan (DPI) Panjang (cm) Berat (g) I 19,29 53,71 II 16,85 42,52 III 17,55 52,61 IV 20,42 59,80 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Pada Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata ukuran panjang berat ikan terbang yang tertangkap dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh masingmasing dengan panjang ikan terbesar (20,42 cm) diperoleh pada DPI IV dan terkecil (16,85 cm) pada DPI II. Rata-rata berat ikan yang tertangkap dari keempat DPI, juga diperoleh terbesar (59,80 g) pada DPI IV dan terkecil (42,52 g) pada DPI II. Hal itu menunjukkan bahwa ukuran panjang berat ikan terkecil diperoleh di DPI II dan terbesar di DPI IV kemudian terbesar kedua dan ketiga diperoleh di DPI I dan DPI III. Perubahan panjang berat ikan nampak terlihat dari DPI II di bagian utara ke DPI III sampai ke DPI IV di bagian selatan wilayah perairan ini. Kecenderungan perubahan panjang berat ikan tersebut, menunjukkan bahwa secara spasial ukuran ikan mengalami perubahan. (2) Panjang berat ikan menurut periode musim Panjang berat ikan dari hasil tangkapan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut musim penangkapan ikan (MPI), disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Panjang berat ikan menurut periode musim Panjang Berat Ikan Periode Musim Panjang (cm) Berat (g) PMBT 17,67 50,42 MT 18,09 59,06 PMTB 18,49 53,18 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung seperti yang disajikan pada Tabel 17, menunjukkan bahwa rata-rata ukuran panjang ikan 77

terbesar (18,49 cm) diperoleh pada per iode akhir musim penangkapan (PMTB) dan terkecil (17,67 cm) diperoleh pada awal musim penangkapan (PMBT). Berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung diperoleh rata-rata terbesar (59,06 g) pada periode musim timur (MT) dan terkecil (50,42 g) diperoleh pada awal musim penangkapan (PMBT). Dengan demikian terlihat bahwa terjadi perubahan ukuran panjang berat ikan dari awal sampai akhir periode musim penangkapan. Kecenderungan perbedaan panjang berat ikan tersebut, menunjukkan bahwa secara temporal ukuran ikan juga mengalami perubahan. (3) Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Panjang berat ikan menurut musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Panjang Berat Ikan Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Periode Musim PMBT MT PMTB Panjang (cm) 18,65 19,43 19,78 Berat (g) 49,10 59,15 52,88 Panjang (cm) 16,74 16,86 16,95 Berat (g) 42,22 42,72 42,63 Panjang (cm) 16,97 17,61 18,08 Berat (g) 48,56 58,04 51,23 Panjang (cm) 19,67 20,37 21,23 Berat (g) 57,43 62,33 59,63 Panjang berat ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) seperti disajikan pada Tabel 18, masing-masing pada DPI I diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (19,78 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (59,15 g) pada MT. Pada DPI II diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (16,95 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (42,72 g) pada MT. Pada DPI III diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (18,08 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (58,04 g) pada MT. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), diperoleh 78

rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (21,23 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (62,33 g) pada MT. Secara keseluruhan rata-rata ukuran panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh rata-rata panjang ikan terbesar (19,67 cm) yaitu pada periode PMTB sebagai akhir periode penangkapan ikan dan rata-rata berat ikan terbesar (62,33 g) diperoleh pada MT yang diketahui sebagai periode pemijahan dan peneluran ikan terbang. (4) Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan, disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Wilayah Perairan Panjang Berat Ikan Bagian Panjang (cm) Berat (g) Utara 17,89 54,69 Selatan 18,33 54,84 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Ukuran panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung dari wilayah penangkapan ikan di bagian utara dan bagian selatan, menunjukkan bahwa rata-rata ukuran panjang maupun berat ikan adalah lebih besar di bagian selatan dibandingkan dengan di bagian utara Selat Makassar. Hal itu menunjukkan bahwa secara spasial terjadi perbedaan ukuran ikan yang diamati, yakni makin ke selatan ukuran ikan makin panjang. 4.4.2 Jenis kelamin ikan Komposisi jenis kelamin ikan selama tiga periode musim dari empat daerah penangkapan ikan (DPI) secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Lampiran 12, 16, 20, dan 24. 79

(1) Jenis kelamin ikan menurut DPI Komposisi jenis kelamin ikan menurut daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Persentase jenis kelamin ikan menurut DPI Daerah Jenis Kelamin Penangkapan Ikan (DPI) Jantan (%) Betina (%) I 50,83 49,17 II 53,33 46,67 III 35,97 64,03 IV 27,55 72,45 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung, menunjukkan bahwa persentase terbesar (53,33 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh dari DPI II dan persentase terkecil (27,55 %) diperoleh dari DPI IV. Sebaliknya persentase terbesar (72,45 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh dari DPI IV dan persentase terkecil (46,67 %) diperoleh dari DPI II. (3) Jenis kelamin ikan menurut periode musim Komposisi jenis kelamin ikan menurut periode musim selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 21. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan, didapatkan persentase terbesar (40,75 %) ikan berjenis kelamin jantan pada periode PMTB dan persentase terkecil (31,62 %) didapatkan pada periode MT. Sebaliknya persentase terbesar (68,38 %) ikan berjenis kelamin betina didapatkan pada periode MT dan persentase terkecil (59,25 %) didapatkan pada periode PMTB. 80

Tabel 21 Persentase jenis kelamin ikan menurut periode musim Periode Musim Jenis Kelamin Jumlah (%) PMBT Jantan 37,19 Betina 62,81 MT Jantan 31,62 Betina 68,38 PMTB Jantan 40,75 Betina 59,25 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 (3) Jenis kelamin ikan menurut periode musim dan DPI Komposisi jenis kelamin ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 22. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung menunjukkan bahwa di DPI I persentase terbesar (55,40 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (47,92 %) diperoleh pada MT. Persentase terbesar (52,08 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (44,60 %) diperoleh pada PMTB. Dari DPI II persentase terbesar (57,19 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMBT dan persentase terkecil (49,06 %) diperoleh pada PMTB. Persentase terbesar (50,94 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (42,81 %) diperoleh pada PMBT. Dari DPI III persentase terbesar (38,00 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (32,98 %) diperoleh pada PMBT. Persentase terbesar (67,02 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode PMBT dan persentase terkecil (62,00 %) diperoleh pada MT. Dari DPI IV persentase terbesar (32,47 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (21,43 %) diperoleh pada MT. Persentase terbesar (78,57 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (67,53 %) diperoleh pada PMTB. 81

Tabel 22 Persentase jenis kelamin ikan menurut musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Jenis Kelamin Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Periode Musim PMBT MT PMTB Jantan (%) 49,17 47,92 55,40 Betina (%) 50,83 52,08 44,60 Jantan (%) 57,19 53,75 49,06 Betina (%) 42,81 46,25 50,94 Jantan (%) 32,98 38,00 36,94 Betina (%) 67,02 62,00 63,06 Jantan (%) 28,75 21,43 32,47 Betina (%) 71,25 78,57 67,53 Rasio persentase jenis kelamin ikan pada stiap periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), yakni pada periode PMBT persentase terbesar (57,19 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (28,75 %) diperoleh pada DPI II. Persentase terbesar (71,25 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (42,81 %) diperoleh dari DPI II. Pada periode MT, persentase terbesar (53,75 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI II dan persentase terkecil (21,43 %) diperoleh pada DPI II. Persentase terbesar (78,57 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (46,25 %) diperoleh dari DPI II. Pada periode PMTB, persentase terbesar (55,40 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI I dan persentase terkecil (32,47 %) diperoleh pada DPI IV. Persentase terbesar (67,53 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (44,60 %) diperoleh dari DPI I. (4) Jenis kelamin ikan menurut wilayah perairan Komposisi jenis kelamin ikan yang tertangkap menurut wilayah perairan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 23. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan, menunjukkan bahwa persentase terbesar (52,26 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh di bagian utara dan persentase terbesar (71,19 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh di bagian 82

selatan Selat Makassar. Ikan terbang berjenis kelamin jantan dan betina yang diperoleh dengan rasio yang seimbang antara ikan berjenis kelamin jantan dan ikan berjenis kelamin betina terjadi di bagian utara. Sebaliknya rasio ikan berjenis kelamin jantan dan ikan berjenis kelamin betina di bagian selatan menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Tabel 23 Persentase jenis kelamin ikan terbang menurut wilayah perairan Wilayah Perairan Bagian Jenis Kelamin Persentase (%) Utara Selatan Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004. Jantan 52,26 Betina 47,74 Jantan 28,81 Betina 71,19 4.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung secara keseluruhan, disajikan pada Lampiran 12, 16, 20, dan 24. (1) TKG ikan menurut DPI Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 24. Persentase TKG ikan dari keempat DPI selama pengamatan berlangsung memperlihatkan bahwa di DPI I persentase TKG ikan terbesar (31,39 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (20,02 %) ikan berada pada TKG I. Dari DPI II persentase TKG ikan terbesar (31,36 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (16,25 %) ikan berada pada TKG IV. Dari DPI III persentase TKG ikan terbesar (31,18 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (16,89 %) ikan berada pada TKG IV. Dari DPI IV persentase TKG ikan terbesar (52,33 %) berada pada TKG IV dan persentase terkecil (6,80 %) ikan berada pada TKG I. 83

Tabel 24 Persentase TKG ikan menurut DPI Daerah Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (%) Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV I 20,02 31,39 28,33 20,27 II 22,71 31,36 29,69 16,25 III 26,16 31,18 25,78 16,89 IV 6,80 15,11 25,75 52,33 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat kematangan gonad ikan dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) tersebut, masing-masing diperoleh persentase TKG I terbesar (26,16 %) diperoleh pada DPI III dan persentase terkecil (6,80 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG II terbesar (31,39 %) diperoleh pada DPI I dan persentase terkecil (15,11 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG III terbesar (29,69 %) diperoleh pada DPI II dan persentase terkecil (25,75 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG IV terbesar (52,33 %) diperoleh pada DPI IV dan persentase terkecil (16,25 %) diperoleh dari DPI II. (2) TKG ikan menurut periode musim Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut periode musim, disajikan pada Tabel 25. Persentase tingkat kematangan gonad (TKG) ikan secara keseluruhan dari tiga periode musim selama pengamatan berlangsung menunjukkan bahwa, pada periode PMBT diperoleh TKG ikan terbesar (32,96 %) ikan berada pada TKG IV dan persentase terkecil (19,32 %) ikan berada pada TKG I. Pada periode MT, persentase TKG ikan terbesar (55,94 %) ikan berada pada TKG IV dan persentase terkecil (7,03 %) ikan berada pada TKG I. Pada periode PMTB, persentase TKG ikan terbesar (31,29 %) adalah pada TKG III dan persentase terkecil (19,51 %) adalah pada TKG I. 84

Tabel 25 Persentase TKG ikan menurut periode musim Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Periode Musim (%) I II III IV PMBT 19,32 24,94 22,77 32,96 MT 7,03 12,62 24,41 55,94 PMTB 19,51 24,49 31,29 19,71 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Persentase ikan yang berada pada TKG I selama tiga periode musim, diperoleh terbesar (19,51 %) pada periode PMTB dan persentase terkecil (7,03 %) diperoleh pada MT. Persentase ikan yang berada pada TKG II, diperoleh terbesar (24,94 %) pada periode PMBT dan persentase terkecil (12,62 %) diperoleh pada MT. Persentase ikan yang berada pada TKG III, diperoleh terbesar (31,29 %) pada periode PMTB dan persentase terkecil (22,77 %) diperoleh pada PMBT. Persentase ikan yang berada pada TKG IV, diperoleh terbesar (55,94 %) pada periode MT dan persentase terkecil (19,71 %) diperoleh pada PMTB. (3) TKG ikan menurut periode musim dan DPI Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terbang selama pengamatan berlangsung menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 26. Persentase tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat DPI, menunjukkan bahwa di DPI I pada periode PMBT persentase TKG terbesar (38,33 %) adalah ikan pada TKG II dan terkecil (10,00 %) adalah ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (37,50 %) ikan pada TKG IV dan terkecil (10,00 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (35,40 %) ikan pada TKG III dan terkecil (13,30 %) ikan pada TKG IV. Pada daerah penangkapan ikan (DPI II), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (33,13 %) ikan pada TKG II dan terkecil (16,88 %) ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (40,31 %) ikan pada TKG III dan terkecil (12,81 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (30,00 %) ikan pada TKG II dan terkecil (15,94 %) ikan pada TKG IV. 85

Tabel 26 Persentase TKG ikan menurut periode musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Periode Musim Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (%) I II III IV PMBT 33,75 38,33 17,92 10,00 MT 10,00 20,83 31,67 37,50 PMTB 16,30 35,00 35,40 13,30 PMBT 27,50 33,13 22,50 16,88 MT 12,81 30,94 40,31 15,94 PMTB 27,81 30,00 26,25 15,94 PMBT 33,33 39,85 23,19 3,63 MT 16,25 19,25 27,75 36,75 PMTB 28,89 34,44 26,39 10,28 PMBT 7,60 15,00 25,31 52,08 MT 2,33 4,74 18,27 74,66 PMTB 10,48 25,60 33,68 30,24 Pada daerah penangkapan ikan (DPI III), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (39,85 %) ikan pada TKG II dan terkecil (3,63 %) ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (36,75 %) ikan pada TKG IV dan terkecil (16,25 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (34,44 %) ikan pada TKG II dan terkecil (10,28 %) ikan pada TKG IV. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (52,08 %) pada TKG IV dan terkecil (7,60 %) pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (74,66 %) ikan pada TKG III dan terkecil (2,33 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (33,68 %) ikan pada TKG III dan terkecil (10,48 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan secara keseluruhan selama tiga periode musim dari empat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh ikan yang berada pada TKG I tertinggi (33,33 %) pada periode PMBT di DPI III dan persentase terkecil (2,33 %) diperoleh pada MT di DPI IV. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG II diperoleh tertinggi (38,33 %) pada periode PMBT di DPI I dan 86

persentase terendah (4,74 %) pada MT di DPI IV. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG III diperoleh tertinggi (40,31 %) pada periode MT di DPI II dan persentase terendah (17,92 %) pada PMBT di DPI I. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG IV diperoleh tertinggi (74,66 %) pada periode MT di DPI IV dan persentase terendah (3,63 %) pada PMBT di DPI III. (4) TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Wilayah Perairan (%) Bagian I II III IV Utara 21,55 31,37 29,11 17,98 Selatan 11,23 16,71 24,28 47,77 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung di bagian utara dan bagian selatan Selat Makassar, menunjukkan persentase TKG ikan selama tiga periode di bagian utara terbesar (31,37 %) berada pada TKG II dan persentase TKG ikan terkecil (17,98 %) adalah pada TKG IV. Di bagian selatan diperoleh persentase kematangan gonad ikan terbesar (47,77 %) berada pada TKG IV dan persentase kematangan gonad ikan terkecil (11,23 %) berada pada TKG I. 4.5 Parameter Oseanografi Parameter oseanografi yang digunakan di dalam penelitian ini, terdiri atas data suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kandungan nutrien, dan kandungan klorofil. 4.5.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu permukaan laut (SPL) yang diperoleh terdiri atas hasil pengukuran lapang secara langsung (in-situ) bersamaan dengan setiap kegiatan penangkapan ikan dan hasil pengukuran lapang yang diperoleh dari proyek ARLINDO (BPPT), 87

serta hasil pengamatan melalui data citra satelit dari NOAA-AVHRR berupa sebaran SPL. (1) SPL hasil pengukuran in-situ Suhu permukaan laut (SPL) dari hasil pengukuran langsung (in-situ) yang diperoleh selama pengamatan lapang berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama tiga periode musim, disajikan pada Tabel 28. Pada daerah penangkapan ikan I (DPI I) yang berada di bagian paling utara, SPL tertinggi (30,65 o C) diperoleh pada trip penangkapan ikan 2 pada periode PMTB dan suhu terendah (29,00 o C) didapatkan pada trip penangkapan 3 pada periode MT. SPL di DPI II, diperoleh tertinggi (30,05 o C) pada trip penangkapan 3 pada periode MT dan terendah (29,10 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 2 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan III (DPI III), SPL diperoleh tertinggi (30,10 o C) pada trip penangkapan ikan 1 pada periode PMBT dan terendah (29,20 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 1 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan IV (DPI IV) yang berada di bagian paling selatan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi (30,85 o C) pada trip penangkapan ikan 3 pada periode PMBT dan sebaliknya terendah (29,15 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 pada periode MT. Selama kegiatan penangkapan ikan dilakukan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi (30,85 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 di DPI IV pada periode PMBT, dan SPL terendah (29,00 o C) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 di DPI I pada periode MT. Rata-rata nilai SPL yang diperoleh secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, didapatkan tertinggi (30,03 o C) pada periode PMBT dan sebaliknya terendah (29,34 o C) pada periode MT. Di wilayah perairan bagian utara didapatkan rata-rata nilai SPL tertinggi (29,42 o C) pada periode MT, sebaliknya ratarata SPL didapatkan lebih tinggi (30,25 o C dan 29,65 o C) di wilayah perairan bagian selatan pada dua periode peralihan musim (PMBT dan PMTB). Rata-rata SPL di wilayah perairan bagian utara juga didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata SPL di wilayah perairan bagian selatan. 88

Tabel 28 SPL pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Trip Penangkapan Sumber : Hasil Pengukuranan Lapang, 2004 Suhu ( o C) PMBT MT PMTB 1 30,50 29,15 29,65 2 29,95 29,45 30,65 3 29,55 29,00 29,30 1 29,70 29,75 29,45 2 29,65 29,10 29,45 3 29,50 30,05 29,30 1 30,10 29,20 29,75 2 29,90 29,30 29,50 3 29,55 29,40 29,70 1 30,70 29,35 29,75 2 30,40 29,20 29,50 3 30,85 29,15 29,70 Hasil pengukuran lapang didapatkan bahwa sebaran SPL di perairan Selat Makassar, berkisar antara 28,34 30,34 o C dengan rentang nilai sekitar 2 o C pada periode PMBT, 28,03 28,76 o C dengan rentang nilai sekitar 0,73 o C pada periode MT dan 27,63 29,36 o C dengan rentang nilai sekitar 1,73 o C pada periode PMTB. Profil suhu yang diperoleh menurut periode musim, menunjukkan bahwa kisaran suhu tertinggi terjadi pada periode PMBT, kemudian mengalami penurunan pada MT, dan suhu perairan meningkat kembali memasuki periode PMTB. Hasil uji perbedaan rata-rata SPL menurut periode musim disajikan pada Lampiran 27. Berdasarkan hasil uji rata-rata SPL, didapatkan rata-rata suhu terendah yakni 28,37 o C didapatkan pada periode MT dan rata-rata suhu tertinggi yakni 29,16 o C didapatkan pada periode PMBT. Dari seluruh stasiun pengamatan, didapatkan SPL terendah yakni 27,63 o C terjadi pada periode PMTB dan SPL tertinggi yakni 30,60 o C terjadi pada periode PMBT. Secara keseluruhan diperoleh nilai SPL berfluktuasi menurut musim. Hasil plot data SPL secara spasial antar stasiun pengamatan, juga menunjukkan adanya perbedaan pada semua periode musim pengamatan. Sebaran mendatar SPL di Selat Makassar (Gambar 23), memperlihatkan bahwa pada periode PMBT dengan kisaran nilai suhu perairan yang relatif tinggi kemungkinan diakibatkan selain oleh akibat efek intensitas penyinaran matahari 89

yang tinggi karena posisinya masih berada pada belahan bumi selatan, juga disebabkan oleh adanya massa air yang lebih hangat masuk dari perairan Laut Jawa, sedangkan pada periode MT dengan suhu perairan yang relatif lebih rendah, diakibatkan oleh adanya massa air dari Laut Banda dan Laut Flores dengan suhu yang relatif lebih dingin akibat adanya perubahan pergerakan arah angin yang bertiup dari timur ke barat. Selain itu dari penelitian sebelumnya (Gordon, et al., 1999), diperoleh keterangan bahwa pada periode musim tersebut di perairan bagian selatan Selat Makassar terjadi upwelling, menyebabkan massa air dari lapisan yang lebih dalam dengan suhu yang lebih rendah terangkat naik ke atas dan bahkan sampai ke bagian permukaan perairan. Sebaran vertikal suhu perairan di Selat Makassar terlihat bahwa, pada periode PMBT terdapat lapisan homogen dengan ketebalan lebih dalam sekitar 100-150 m dan kisaran suhu berada antara 30 29 o C, sedangkan pada periode MT didapatkan lapisan homogen yang lebih tipis sekitar 50 m dengan kisaran suhu antara 27 29 o C. Hal yang sama juga terjadi pada periode PMTB dengan kisaran suhu antara 28 29 o C (Gambar 24). Pada kedalaman sekitar 100 m, terlihat adanya lapisan massa air dengan tingkat penurunan suhu yang sangat signifikan dengan bertambahnya kedalaman (lapisan ini biasanya disebut lapisan termoklin). Ketebalan kolom air pada lapisan termoklin bergantung pada beberapa faktor, diantaranya kondisi musim yang terjadi termasuk kecepatan dan lamanya angin yang bertiup di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan ada tidaknya proses pencampuran massa air lapisan permukaan dengan lapisan air di bawahnya serta pergerakan massa air baik secara horizontal maupun vertikal. 90

Lintang Selatan -3.00 KAL -3.50-4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 SULAWESI 30.50 30.00 29.50 29.00 28.50 28.00-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 27.50 Bujur Timur (A) -3.00 KAL SULAWESI -3.50 30.50 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 30.00 29.50 29.00 28.50 28.00-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 27.50 Bujur Timur (B) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 30.50-4.00 30.00 Lintang Selatan -4.50-5.00-5.50 29.50 29.00-6.00 28.50-6.50 28.00-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 27.50 Bujur Timur (C) Gambar 23 Sebaran mendatar SPL Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 91

Stasiun 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (A) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (B) Stasiun 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (C) Gambar 24 Sebaran melintang suhu perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 92

Illahude (1970) mengemukakan bahwa di wilayah perairan ini selama periode musim barat, lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara 27 28 o C. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman 100-260 meter dengan suhu berkisar antara 12 26 o C. Pada periode MT, lapisan homogen hanya merupakan lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan dengan suhu berkisar antara 26 27 o C. Lapisan termoklin yang terbentuk selama periode MT, terjadi pada kedalaman 50-400 meter dengan suhu antara 10 26 o C. Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh pengaruh pemanasan dari penyinaran matahari, juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus permukaan, keadaan liputan awan, pertukaran massa air secara horizontal, vertikal maupun karena peristiwa upwelling (Hela dan Laevastu, 1970 serta Soegiarto dan Birowo, 1975). Lebih lanjut dikatakan bahwa suhu perairan berperan dalam menentukan sebaran ikan, pertumbuhan, mortalitas, pemijahan, daya tahan hidup, proses pematangan gonad, perkembangan larva dan telur, serta populasi dan migrasi ikan. Selain itu, suhu perairan juga merupakan faktor yang penting dalam beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan baik secara langsung seperti peristiwa fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan khususnya derajat metaboliselat Makassare dan siklus reproduksi, maupun secara tidak langsung seperti daya larut oksigen yang dipakai untuk kebutuhan respirasi biota laut. (2) SPL hasil pengamatan citra satelit Hasil pengukuran suhu permukaan laut (SPL) menggunakan data citra satelit NOAA-AVHRR, terdiri atas data setiap bulan mewakili 9 bulan selama tiga periode musim pengamatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang mewakili setiap bulan pengamatan selama periode PMBT ditunjukkan pada Gambar 25. Pola sebaran SPL dari data citra tersebut terlihat bahwa, selama bulan Maret yang merupakan peralihan musim barat ke musim timur dimana sebagian besar daerah tersebut diliputi awan yang sangat tebal dan menutupi hampir seluruh daerah Selat Makassar, menyebabkan pola distribusi SPL pada saat itu sulit dilihat dengan jelas. Pada bulan berikutnya, yakni bulan April dan Mei, liputan awan di atas Selat Makassar terlihat mulai berkurang, yang ditandai dengan sebaran SPL yang lebih jelas. SPL selama bulan April berada pada kisaran antara 29,00 30,00 o C, 93

terutama pada bagian sebelah utara perairan tersebut. Profil SPL pada bulan Mei nampak lebih jelas, menyebabkan SPL yang terdeteksi mengalami peningkatan hingga berkisar antara 30,00 31,00 o C pada hampir semua wilayah pengamatan. Sebaran SPL dengan suhu perairan yang lebih hangat yakni sekitar 30,00 31,50 o C, lebih banyak terjadi pada perairan bagian utara Selat Makassar pada posisi 01 o,05 LS. Selama bulan Mei, nampak sebaran SPL yang lebih hangat bergeser ke bagian selatan Selat Makassar, dengan peningkatan SPL berkisar antara 0,50 1,00 o C. Memasuki periode awal MT, walau sebagian wilayah perairan di Selat Makassar masih ditutupi dengan awan tipis, namun terlihat ada pergerakan massa air hangat ke bagian perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan suhu berkisar antara 30,50 31,00 o C (Gambar 26). Hal ini disebabkan oleh proses intensitas penyinaran yang mulai meningkat dengan curah hujan yang semakin rendah. Kondisi tersebut terlihat dengan jelas pada citra bulan Juni. Memasuki bulan Juli dan Agustus sebagai periode akhir MT, nampak sebagian besar wilayah perairan Selat Makassar mulai ditutupi kembali dengan awan tipis. Kisaran SPL terlihat sebagian besar berada pada kisaran antara 28,00 29,00 o C. Sebaran massa air dengan SPL yang relatif dingin dan hampir terjadi pada semua perairan di bagian selatan Selat Makassar, terlihat pada citra bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal tersebut diduga disebabkan karena sejumlah massa air yang mengalir dari Laut Banda dan Laut Flores yang membawa sejumlah massa air dengan suhu yang relatif lebih dingin terutama di bagian sebelah selatan perairan itu. Selain itu diduga juga disebabkan adanya sejumlah massa air yang terangkat dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan permukaan perairan sebagai akibat terjadinya fenomena upwelling yang terjadi selama periode MT di bagian selatan Selat Makassar. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamilah (1993), yang mendeteksi terjadinya fenomena upwelling di daerah itu selama periode MT antara bulan Juni hingga Agustus. Bahkan diperkirakan besarnya massa air yang terangkat dari bagian lapisan yang lebih dalam terdeteksi hingga radius 50 km di sekitar perairan itu dengan sebaran SPL yang lebih dingin dibandingkan dengan sebaran SPL wilayah perairan sekitarnya. Pada periode PMTB terlihat pola penyebaran SPL dengan dominasi suhu perairan yang agak hangat, berkisar antara 29-30 o C pada citra bulan September di bagian selatan Selat Makassar dan hampir seluruh perairan pantai barat Sulawesi Selatan (Gambar 27). Begitu pula pada citra bulan Nopember, terlihat SPL mulai 94

Gambar 25 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMBT. 95

Gambar 26 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada MT. 96

Gambar 27 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMTB 97

mengalami peningkatan yang cukup signifikan berkisar antara 31,00 31,50 o C. SPL yang lebih hangat ini terlihat pada sisi bagian selatan Kalimantan kemudian bergerak ke timur memasuki perairan bagian selatan, sebagai akibat adanya tekanan massa air dari Laut Jawa yang membawa massa air hangat mengalir masuk ke Selat Makassar bagian selatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang didapatkan, memperlihatkan adanya pola yang menyerupai dengan data sebaran SPL di perairan Selat Makassar bagian selatan dari hasil pengukuran lapang pada periode musim yang sama walaupun dengan kisaran nilai sebaran yang masih berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena (1) adanya perbedaan waktu pengambilan data lapang SPL dengan pengambilan data distribusi SPL dari data citra, (2) adanya keterbatasan pembacaan SPL dari satelit yang hanya mampu mendeteksi pada lapisan yang sangat tipis dari permukaan laut, dan (3) adanya keterbatasan sensor satelit mendeteksi distribusi SPL yang sebenarnya dari pengaruh lapisan awan yang sekalipun sangat tipis pada daerah pengamatan. Pola distribusi SPL ini, secara langsung mempengaruhi pola pergerakan beberapa jenis kawanan ikan pelagis termasuk kawanan ikan terbang. Kawanan ikan terbang diketahui mulai bergerak ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar memasuki awal periode MT. Awal musim penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar setiap tahunnya dilakukan mulai dari bulan Maret. Pada periode tersebut, kegiatan penangkapan ikan terbang lebih banyak dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan kemudian bergeser ke wilayah perairan bagian selatan selama periode MT. Selama periode musim itu, diduga kawanan ikan terbang melakukan migrasi ke wilayah perairan bagian selatan sebagai upaya mencari perairan yang sesuai untuk melakukan proses peneluran. Wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar diketahui merupakan wilayah perairan untuk tujuan peneluran (spawning ground) bagi ikan terbang selama periode musim tersebut. Hal itu ditandai dengan meningkatnya intensitas penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan setiap tahunnya. Hasil penelitian Yahya, et al. (2001), mengemukakan bahwa kawanan ikan terbang melakukan pergerakan dari wilayah perairan bagian utara ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar selama periode MT, yang ditandai dengan meningkatnya CPUE hasil tangkapan ikan terbang di daerah itu. 98

4.5.2 Salinitas Permukaan Laut Salinitas permukaan laut yang diperoleh selama tiga periode musim pengamatan berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Salinitas permukaan laut pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Trip Salinitas ( ) Penangkapan PMBT MT PMTB 1 32,85 33,30 33,40 2 32,45 33,50 33,50 3 32,55 33,75 33,55 1 32,20 33,55 33,40 2 32,35 33,65 33,35 3 32,50 33,40 33,55 1 32,70 33,65 33,05 2 32,55 33,25 33,15 3 32,55 33,45 33,00 1 32,55 33,80 33,10 2 32,60 34,05 33,25 3 32,65 34,10 33,40 Data pada Tabel 29 menunjukkan bahwa salinitas permukaan laut selama pengamatan berlangsung pada empat DPI, didapatkan salinitas perairan pada DPI I tertinggi (33,75 ) pada trip penangkapan ikan 3 periode MT, dan salinitas perairan terendah (32,45 ) pada trip penangkapan ikan 2 periode PMBT. Salinitas perairan di DPI 2 didapatkan tertinggi (33,65 ) pada trip penangkapan ikan 2 periode MT, dan salinitas perairan terendah (32,20 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 periode PMBT. Di DPI III salinitas perairan tertinggi (33,65 ) terjadi pada trip penangkapan ikan 1 periode MT dan sebaliknya salinitas perairan terendah (33,00 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 periode PMTB. Salinitas perairan yang diperoleh di DPI IV tertinggi (34,10 ) pada trip penangkapan ikan 3 periode MT dan sebaliknya terendah (32,55 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 periode PMBT. 99

Secara keseluruhan dari keempat DPI, diperoleh salinitas permukaan laut tertinggi (34,10 ) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 di DPI IV pada periode MT, dan salinitas permukaan laut terendah (32,20 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 di DPI II pada periode PMBT. Selama tiga periode musim pengamatan, rata-rata salinitas permukaan laut diperoleh tertinggi (33,62 ) selama periode MT dan sebaliknya terendah (32,54 ) pada periode PMBT. Secara spasial rata-rata salinitas permukaan laut diperoleh lebih tinggi di wilayah perairan bagian selatan dibandingkan dengan salinitas permukaan laut di wilayah perairan bagian utara. Pada setiap periode musim, diperoleh rata-rata salinitas permukaan laut di bagian selatan lebih tinggi dibandingkan dengan salinitas permukaan laut di bagian utara, kecuali pada periode PMTB diperoleh salinitas permukaan laut lebih tinggi di bagian utara dibandingkan dengan di bagian selatan. Sebaran mendatar salinitas permukaan laut dari hasil pengukuran lapang diperoleh bahwa, kisaran salinitas terendah didapatkan pada periode PMBT yakni berkisar antara 31,03 33,27, kemudian nilai salinitas meningkat memasuki periode MT dengan kisaran antara 33,69 33,86. Memasuki awal periode PMTB, salinitas menurun kembali bahkan nilai salinitas terendah didapatkan pada musim tersebut yakni 30,01 (Gambar 28). Nilai salinitas tertinggi berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan pada stasiun 7 yakni sebesar 34,20, tetapi nilai salinitas tersebut tidak merata pada semua bagian perairan yang diamati. Berdasarkan hasil uji rata-rata nilai salinitas perairan menunjukkan adanya perbedaan secara nyata menurut periode musim (Lampiran 28). Perbedaan salinitas perairan secara mencolok terjadi pada periode PMTB. Nilai rata-rata salinitas perairan tertinggi ditemukan pada periode MT dan nilai rata-rata terendah terjadi pada periode PMBT. Nilai salinitas perairan terendah yakni 30,01 ditemukan terjadi pada PMTB serta nilai salinitas perairan tertinggi yakni 34,20 juga pada periode musim yang sama. Nilai salinitas permukaan laut di Selat Makassar yang tinggi pada periode MT sampai pada periode PMTB, diduga karena adanya massa air yang bersalinitas tinggi masuk dari Laut Flores dan laut Banda ke perairan Selat Makassar bagian selatan sampai pada awal periode musim tersebut. Selain karena hal itu kemungkinan juga disebabkan karena pada saat tersebut, terdapat sejumlah massa air yang terangkat dari bawah akibat proses upwelling yang berlangsung selama MT. Sebaran mendatar salinitas permukaan laut, menunjukkan bahwa fenomena 100

-3.00-3.50 KAL SULAWESI 34.00 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 33.75 33.50 33.25 33.00-6.50 32.75-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 32.50 Bujur Timur (A) -3.00-3.50 KAL SULAWESI 34.00 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 33.75 33.50 33.25 33.00-6.50 32.75-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 32.50 Bujur Timur (B) Lintang Selatan -3.00 KAL -3.50-4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 SULAWESI 34.00 33.75 33.50 33.25 33.00 32.75-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 32.50 Bujur Timur (C) Gambar 28 Sebaran mendatar salinitas permukaan laut Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 101

Stasiun 33 0 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (A) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (B) Stasiun 2 0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (C) Gambar 29 Sebaran melintang salinitas permukaan laut Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 102

upwelling yang diduga terjadi pada periode MT, menyebabkan banyaknya massa air yang bersalinitas tinggi dari kolom air bagian bawah naik ke atas bahkan sampai pada lapisan permukaan. Selain karena adanya fenomena upwelling tersebut, juga diduga disebabkan karena tingginya intensitas penyinaran matahari dan sebaliknya dengan curah hujan yang rendah. Sebaran melintang salinitas di perairan Selat Makassar menunjukkan bahwa pada periode MT, kolom air lapisan permukaan memiliki homogen layer yang relatif lebih tipis dibandingkan dengan pada periode PMBT dan PMTB (Gambar 29). Hal tersebut diduga disebabkan karena adanya proses pencampuran massa air yang relatif lebih baik akibat adanya pengangkatan massa air yang bersalinitas lebih tinggi dari kolom air yang lebih dalam. Lapisan air pada kedalaman 20 30 m selama periode MT terlihat terjadi penurunan dari 34,19 pada lapisan permukaan menjadi 32,31 pada lapisan air di bawahnya, kemudian meningkat kembali menjadi 34,40 pada lapisan air berikutnya. Dengan demikian nampak terjadi dengan jelas adanya stratifikasi nilai salinitas perairan pada setiap kolom air selama periode MT. 4.5.3 Arus Permukaan Laut Arus permukaan laut (APL) yang diperoleh selama tiga periode musim pengamatan lapang berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 30. Kecepatan APL selama pengamatan berlangsung, menunjukkan bahwa di DPI I, APL diperoleh tertinggi (0,90 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 3 PMBT, dan APL terendah (0,05 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 MT. Di DPI II APL tertinggi (0,14 m/mnt) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 PMTB, dan APL terendah (0,07 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 MT. APL di DPI III diperoleh tertinggi (0,18 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 3 PMTB, dan terendah (0,05 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 dan 3 MT serta pada trip penangkapan ikan 1 PMTB. DI DPI IV, APL didapatkan tertinggi (0,18 m/mnt) pada trip penangkapan ikan III PMTB dan sebaliknya terendah (0,05 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 2 MT. Kecepatan APL yang diperoleh selama pengamatan, menunjukkan bahwa rata-rata APL secara temporal didapatkan tertinggi selama periode PMBT dan sebaliknya terendah didapatkan pada periode MT. Secara spasial rata-rata kecepatan APL di bagian utara diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan 103

kecepatan APL di bagian selatan. Begitu pula dengan rata-rata kecepatan APL secara spasial dan temporal pada setiap periode musim penangkapan (MPI), mulai dari awal periode musim penangkapan (PMBT) sampai pada akhir periode musim penangkapan (PMTB) juga didapatkan rata-rata tertinggi di bagian utara dibandingkan dengan di bagian selatan, terutama pada PMBT. Tabel 30 Kecepatan arus permukaan laut pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Sumber : Hasil Pengukuran Lapang, 2004 Trip Kecepatan Arus (cm/dtk) Penangkapan PMBT MT PMTB 1 0,13 0,05 0,11 2 0,15 0,07 0,14 3 0,20 0,10 0,16 1 0,11 0,07 0,09 2 0,11 0,13 0,10 3 0,12 0,12 0,14 1 0,13 0,05 0,05 2 0,12 0,14 0,09 3 0,08 0,05 0,18 1 0,17 0,07 0,08 2 0,15 0,05 0,10 3 0,10 0,09 0,18 4.5.4 Kandungan Nutrien (1) Kandungan fosfat Kandungan fosfat di dalam suatu perairan merupakan salah satu unsur nutrien yang diperlukan sebagai bahan makanan untuk pertumbuhan fitoplankton. Kandungan fosfat dalam suatu perairan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Konsentrasi fosfat yang tinggi pada lapisan permukaan perairan, biasanya dijumpai pada daerah dimana terjadi proses upwelling. Ketersediaan kandungan fosfat yang cukup pada lapisan permukaan, akan mendorong proses pertumbuhan fitoplankton di daerah itu. 104

Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan laut dari proyek ARLINDO, ditunjukkan pada Tabel 27 dan 28. Letak geografis suatu wilayah perairan, sangat berperan dalam menentukan proses pergerakan arus permukaan di suatu perairan, termasuk di Selat Makassar. Dengan letak geografis Selat Makassar yang memanjang dari arah utara ke selatan, maka sepanjang tahun dapat dikatakan arus permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar bagian selatan. Pada bagian perairan ini, tampak nyata perubahan arus permukaan yang sesuai dengan arah angin muson (Gordon dan Susanto, 1999). Selama MT, massa air dari Laut Flores bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama-sama masuk ke Laut Jawa. Dalam kondisi seperti ini menimbulkan banyaknya massa air pada lapisan permukaan perairan Selat Makassar bagian selatan yang ikut terangkut dan bergerak ke barat, sehingga mengakibatkan terjadinya ruang kosong di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Pada kondisi seperti ini apabila terjadi dalam waktu yang relatif lama pada perairan yang sama, selanjutnya dapat menimbulkan fenomena terjadinya upwelling. Massa air tadi yang berasal dari Laut Flores bahkan juga dari Laut Banda yang mengalir masuk ke perairan Selat Makassar bagian selatan, merupakan suatu massa air yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi, sehingga proses upwelling yang terjadi di selat Makassar pada MT ikut memberikan andil terhadap proses pengayaan hara di perairan tersebut. Pada Musim Barat, massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama-sama ke arah Laut Flores. Massa air yang berasal dari Laut Jawa merupakan massa air yang hangat namun tidak memiliki kandungan nutrien yang tinggi, sehingga massa air tadi yang ikut masuk ke perairan Selat Makassar bagian selatan hanya berdampak pada peningkatan suhu perairan walaupun pada saat yang bersamaan secara umum terjadi curah hujan yang relatif tinggi di daerah tersebut (Gordon dan Susanto, 1999). Selanjutnya (Gordon dan Susanto, 1999) melakukan pengamatan terhadap karakteristik arus di Selat Makassar pada saat terjadinya ElNino 1997/1998 dan Lanina tahun 1998 pada dua stasiun pengamatan arus yakni pada mooring Maks-1 (02 o 52' LS dan 118 o 27' BT) dan pada mooring Maks-2 (02 o 51' LS dan 118 o 38' 106

BT). Pada saat ElNino tahun 1997/1998 sebagian besar arus ditemukan mengalir ke selatan, kecuali pada bulan Mei-Juni 1997 dimana sebagian ditemukan arus mengalir ke utara dengan kecepatan antara 46.6 cm/det sampai 64.5 cm/det. Data yang diperoleh dari BPPT Jakarta dari hasil pengukuran buoy yang ditempatkan pada dua stasiun pengamatan di perairan Selat Makassar, menunjukkan bahwa pada bulan Juni ditemukan adanya pergerakan arus yang cukup besar mengalir ke utara yakni sebesar 46.6 cm/det, pada bulan Agustus sebesar 64.5 cm/det pada stasiun pengamatan 1 dan pada bulan lainnya pergerakan air ke utara lebih kecil lagi. Begitu pula pada stasiun pengamatan 2 ditemukan arus yang mengarah ke utara pada bulan Juni, dengan kecepatan 26.94 cm/det, walaupun hampir sepanjang tahun ditemukan pergerakan arus dengan kecepatan yang lebih besar selalu bergerak dari utara ke selatan baik pada stasiun pengamatan 1 maupun pada stasiun pengamatan 2. Tabel 27. Kecepatan (cm/det) dan arah (U-S) arus di Selat Makassar pada stasiun 1 tahun 1997. Musim Bulan PMBT MT PMTB Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Februari -86.4-4.5 Maret -69.4-9.83 April -71.4-3.56 Mei -66.2 19.5 Juni -65.7 46.6 Juli -66.8 20.6 Agustus -65.3 64.5 September -64.6 26.9 Oktober -60.8 13.9 Catatan : tanda (-) berarti arah selatan, dan (+) sebaliknya. Tabel 28. Kecepatan (cm/det) dan arah (U-S) arus di Selat Makassar pada stasiun 2 tahun 1997. Musim Bulan PMBT MT PMTB Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Februari -83.05 5.92 Maret -76.83 5.12 April -77.59-1.20 Mei -76.83 0.39 Juni -82.32 26.94 107

Juli -81.10 6.98 Agustus -79.09 2.18 September -65.53 0.20 Oktober -65.59 13.67 Catatan : tanda (-) berarti arah selatan, dan (+) sebaliknya. 108

Konsentrasi fosfat di perairan Selat Makassar dari hasil pengukuran lapang didapatkan pada PMBT berkisar antara 0,08 0,84 ug-at PO4/l, pada MT berkisar antara 0,47 1,00 ug-at PO 4 /l dan pada PMTB adalah berkisar antara 0,08 0,56 ug-at PO4/l. Dari data tersebut menunjukkan bahwa kandungan fosfat di perairan Selat Makassar tertinggi terjadi pada MT. Hal itu diduga disebabkan terutama karena selain pada musim tersebut terjadi fenomena upwelling yang menyebabkan beberapa kandungan nutrien termasuk fosfat dari kolom air yang lebih dalam terangkut naik ke atas bahkan sampai pada lapisan permukaan bersamaaan dengan proses pengangkutan massa air yang relatif besar. Selain itu diduga juga diakibatkan adanya massa air yang masuk dari Laut Banda dan Laut Flores pada MT yang sekaligus membawa sejumlah bahan nutrien. Seperti di ketahui bahwa selama MT, antara Juni - Agustus di Selat Makassar bagian selatan terjadi fenomena upwelling akibat besarnya dorongan massa air yang mengalir dari Laut Banda dan Laut Floes yang selanjutnya menyebabkan sebagian massa air di lokasi tersebut juga ikut terangkut yang kemudian meninggalkan kantong-kantong air yang kosong. Kantong-kantong air yang kosong tersebut kemudian terisi dari lapisan air yang lebih dalam yang juga ikut mengangkut zat hara. Berdasarkan hasil uji rata-rata nilai kandungan fosfat perairan menunjukkan adanya perbedaan secara nyata menurut musim. Perbedaan kandungan fosfat perairan terjadi selama tiga periode musim pengamatan. Nilai rata-rata kandungan fosfat perairan tertinggi yakni 0,52 ug-at PO4/l terjadi pada MT dan nilai rata-rata terendah yakni 0,29 ug-at PO 4 /l terjadi pada PMBT. Nilai kandungan fosfat perairan dari stasiun pengukuran, tertinggi yakni 1,00 ug-at PO 4 /l ditemukan pada MT tetapi sebaliknya nilai kandungan fosfat perairan terendah yakni 0,00 ug-at PO4/l juga ditemukan pada musim yang sama. Sebaran mendatar kandungan fosfat di permukaan perairan Selat Makassar pada PMBT, terlihat bahwa konsentrasi fosfat tertinggi ditemukan pada stasiun 43 dan 46 yang berada pada sisi paling selatan dari semua stasiun pengamatan. Pada MT kandungan fosfat tertinggi yakni 1,00 ug-at PO 4 /l dijumpai pada stasiun 3 yang merupakan stasiun terdekat dengan pantai. Pada periode PMTB, kandungan fosfat tertinggi adalah sebesar 0,66 ug-at PO4/l dijumpai pada stasiun 4 yang juga berada pada pesisir pantai Selat Makassar (Gambar 30). 105

Lintang Selatan -3.00 KAL -3.50-4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 SULAWESI 0.75 0.63 0.50 0.38 0.25 0.13-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur -3.00 KAL -3.50 (A) SULAWESI 0.75 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 0.63 0.50 0.38 0.25-6.50 0.13-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur (B) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 0.75-4.00 0.63 Lintang Selatan -4.50-5.00-5.50-6.00 0.50 0.38 0.25-6.50 0.13-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur (C) Gambar 30 Sebaran mendatar kandungan fosfat (ug-at PO 4 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 106

Konsentrasi fosfat yang tinggi dalam suatu perairan pada waktu tertentu, selain dapat ditemukan pada perairan dimana terjadi fenomena upwelling, juga dapat dijumpai pada daerah pesisir pantai dimana muara-muara sungai banyak membawa sampah dan kompos lainnya sebagai sumber bahan-bahan organik yang akan menjadi nutrien di laut setelah mengalami proses dekomposasi (penguraian). Sebaran melintang kandungan fosfat di perairan Selat Makassar dapat dilihat pada Gambar 31. Sebaran melintang kandungan fosfat pada periode PMBT di semua stasiun pengamatan menunjukkan bahwa, pada lapisan 50 m terdapat kecenderungan konsentrasi fosfat meningkat pada stasiun 32, 33 dan 34 yakni berkisar antara 0,80 1,20 µg-at PO 4 /l. Konsentrasi fosfat yang tinggi pada lapisan yang lebih dangkal atau kurang dari 25 m, terjadi pada stasiun 48 yaitu sebesar 0,60 µg-at PO4/l. Peningkatan konsentrasi fosfat yang drastis, terlihat terjadi pada kedalaman sekitar 50 m di stasiun 33 yakni sebesar 1,20 µg-at PO 4 /l. Konsentrasi fosfat pada periode MT di kedalaman 25-50 m hanya terjadi peningkatan yang relatif kecil, yakni berkisar antara 0,55 0,65 µg-at PO4/l. Pada kedalaman sekitar 100-150 m terjadi peningkatan yang lebih besar dengan ratarata berkisar antara 1,05 1,25 µg-at PO4/l. Sebaliknya pada lapisan kedalaman di bawahnya, terlihat mengalami penurunan dan hanya sekitar 1,15 µg-at PO4/l sampai pada kedalaman 200 m. Konsentrasi fosfat yang rendah pada kedalaman yang lebih dalam, kemungkinan diakibatkan adanya proses pengangkatan ke lapisan atas melalui fenomena upwelling yang terjadi pada musim tersebut. Struktur vertikal konsentrasi fosfat pada PMTB, ditandai dengan adanya kandungan fosfat yang cukup tinggi pada lapisan kedalaman sekitar 25 m yakni sebesar 0,50 µg-at PO 4 /l yang terjadi pada stasiun 4, kemudian mengalami penurunan pada kedalaman di bawahnya sampai pada lapisan 100 m yang hanya berkisar antara 0,20 0,50 µg-at PO 4 /l. Pada lapisan yang lebih dalam antara 100-200 m, konsentrasi fosfat kembali meningkat berkisar antara 0,65 0,95 µg-at PO4/l. Kecenderungan konsentrasi fosfat yang terjadi pada PMTB, yakni pada lapisan air yang lebih dalam memiliki kandungan yang lebih tinggi, diduga diakibatkan karena fenomena penaikan massa air telah berakhir sehingga hanya pada lapisan tengah yang memiliki konsentrasi yang paling rendah. 107

Stasiun 33 0 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (A) Kedalaman (m) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 -50-75 -100-125 -150-175 -200 (B) Stasiun 2 0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (C) Gambar 31 Sebaran melintang kandungan fosfat (ug-at PO 4 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 108

(2) Kandungan nitrat Unsur nitrat yang terdapat dalam suatu perairan merupakan hasil dari proses penguraian dari beberapa hewan-hewan air yang mengalami kematian ditambah dengan limpahan dari darat. Unsur nitrat di dalam perairan banyak diserap dan dimanfaatkan oleh beberapa hewan kecil seperti fito dan zooplankton. Ketersediaan unsur nitrat di dalam suatu perairan akan mendorong proses pertumbuhan fito dan zooplankton, tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan akan unsur fosfat. Di perairan Selat Makassar bagian selatan pada lapisan permukaan diperoleh kandungan nitrat berkisar antara 0,17 0,55 µg-at NO 3 /l pada PMBT, antara 0,16 0,66 µg-at NO3/l pada MT dan antara 0,20 1,19 µg-at NO3/l pada PMTB. Hasil uji perbedaan rata-rata kandungan nitrat perairan Selat Makassar menurut musim pengamatan, disajikan pada Lampiran 30. Rata-rata kandungan nitrat perairan terendah yakni 0,16 µg-at NO 3 /l didapatkan pada periode PMTB dan rata-rata kandungan nitrat perairan tertinggi yakni 0,47 µg-at NO 3/l pada PMBT. Kandungan nitrat perairan dari semua stasiun pengukuran, ditemukan terendah yakni 0,00 µg-at NO 3 /l pada MT dan kandungan nitrat perairan tertinggi yakni 1,19 µg-at NO 3/l diperoleh pada PMBT. Sebaran mendatar kandungan nitrat pada PMTB diperoleh tertinggi yakni sebesar 1,19 µg-at NO 3/l, disusul pada MT sebesar 0,66 µg-at NO 3/l dan terendah ditemukan pada PMBT yakni sebesar 0,55 µg-at NO 3 /l (Gambar 32). Kandungan nitrat yang tinggi pada PMTB, diduga karena aktivitas fitoplankton dalam memanfaatkan unsur nitrat sebagai nutrien mulai menurun seiring dengan menurunnya intensitas cahaya matahari memasuki pergeseran musim dari timur ke barat. Pada periode MT walaupun sebetulnya memiliki kandungan nitrat yang cukup tinggi akibat adanya pengangkatan massa air karena proses upwelling, namun karena aktivitas fitoplankton yang tinggi dalam memanfaatkan unsur nitrat untuk proses fotosintesis, mengakibatkan kandungan nitrat tersebut menjadi menurun. Kandungan nitrat tertinggi selama periode PMBT yakni sebesar 0,55 µg-at NO 3 /l ditemukan pada perairan sekitar pantai, yakni pada stasiun 57 dan 58. Pada periode MT, kandungan nitrat tertinggi yakni sebesar 0,66 µg-at NO 3/l didapatkan pada perairan bagian selatan. Sedangkan pada periode PMTB didapatkan tertinggi yakni sebesar 1,19 µg-at NO 3/l pada stasiun 14 yang berada di sekitar pesisir 109

-3.00-3.50 KAL SULAWESI 0.95-4.00 0.82 Lintang Selatan -4.50-5.00-5.50-6.00 0.70 0.57 0.45-6.50 0.32-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.20-3.00 KAL -3.50 Bujur Timur (A) SULAWESI 0.95 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 0.82 0.70 0.57 0.45-6.50 0.32-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.20-3.00 KAL -3.50 Bujur Timur (B) SULAWESI 0.95-4.00 0.82 Lintang Selatan -4.50-5.00-5.50-6.00 0.70 0.57 0.45-6.50 0.32-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.20 Bujur Timur (C) Gambar 32 Sebaran mendatar kandungan nitrat (µg-at NO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 110

pantai Selat Makassar. Tingginya kandungan nitrat pada perairan pesisir pantai Selat Makassar, diduga karena banyaknya unsur-unsur nitrat yang dibawa oleh luapan massa air dari aliran sungai yang bermuara ke laut. Tingginya nilai kandungan nitrat pada perairan bagian selatan Selat Makassar selama periode MT, me nunjukkan bahwa terjadi proses penaikan unsur hara dari lapisan air yang lebih dalam bersamaan dengan terjadinya pengangkatan massa air selama proses upwelling berlangsung. Sebaran melintang kandungan nitrat di perairan Selat Makassar selama tiga periode musim pengamatan, ditunjukkan pada Gambar 33. Pada periode PMBT, sebaran melintang kandungan nitrat dari kedalaman 25 m sampai pada kedalaman 50 m diperoleh sebesar 2,50 µg-at NO 3 /l. Peningkatan kandungan nitrat yang tinggi berdasarkan profil kedalaman, terjadi pada lapisan kedalaman antara 75-200 m yakni berkisar antara 7,50-15,00 µg-at NO 3 /l. Sebaran melintang kandungan nitrat pada periode MT terlihat bahwa pada lapisan atas, konsentrasi nitrat hanya sebesar 0,50 µg-at NO 3 /l. Konsentrasi nitrat pada lapisan air di bawah kedalaman 50 m, nampak terjadi peningkatan mencapai 3,00 µg-at NO 3 /l. Peningkatan kandungan nitrat yang tinggi terlihat pada lapisan kedalaman perairan antara 100-200 m, yakni sebesar 8,00 13,00 µg-at NO 3 /l. Sebaran melintang kandungan nitrat pada periode PMTB menunjukkan bahwa, kolom air pada lapisan atas berkisar antara 1,00 2,00 µg-at NO 3 /l. Kolom air pada kedalaman antara 50-100 m selama periode musim tersebut berkisar antara 3,00 5,00 µg-at NO 3 /l, dan pada kolom air lapisan dibawahnya memiliki kandungan nitrat antara 7,00 13,00 µg-at NO 3 /l. Hal itu menunjukkan terjadinya peningkatan nilai rata-rata kandungan nitrat yang tinggi selama periode musim tersebut dibandingkan pada kedua periode musim lainnya, yakni sebesar 2,50 µg-at NO 3/l. Hal itu menunjukkan bahwa peranan musim yang terjadi pada suatu perairan sangat menentukan terhadap besarnya kandungan nitrat pada perairan tersebut. 111

Stasiun 33 35 0 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (A) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 -50 K eda lam an (m ) -75-100 -125-150 -175-200 (B) Stasiun 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (C) Gambar 33 Sebaran melintang kandungan nitrat (µg-at NO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 112

(3) Kandungan silikat Kandungan silikat di dalam suatu perairan akan diserap dan dimanfaatkan oleh hewan-hewan kecil seperti plankton terutama jenis zooplankton untuk proses pembentukan jaringan dan cangkang. Kandungan silikat di dalam perairan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kandungan silikat yang masuk ke dalam perairan akan mengendap di lapisan bawah, kecuali bila terjadi proses pengangkatan massa air sampai ke lapisan permukaan seperti dengan terjadinya upwelling. Konsentrasi silikat pada lapisan permukaan di perairan Selat Makassar pada periode PMBT berkisar antara 0,05 3,86 µg-at SiO 3 /l, pada MT berkisar antara 2,25 3,26 µg-at SiO3/l dan pada PMTB berkisar antara 0,07 8,69 µg-at SiO3/l. Konsentrasi kandungan silikat tertinggi ditemukan di stasiun 4 yakni 8,69 µg-at SiO3/l pada periode PMTB. Sebaliknya konsentrasi silikat terendah, yakni sebesar 0,07 µg-at SiO 3 /l ditemukan di stasiun 34 juga pada musim yang sama. Hasil uji rata-rata kandungan silikat perairan Selat Makassar didapatkan rata-rata kandungan silikat perairan tertinggi, yakni 0,47 µg-at SiO 3 /l diperoleh pada PMBT dan rata-rata kandungan silikat perairan terendah yakni 0,16 µg-at SiO 3 /l terjadi pada periode MT. Kandungan silikat perairan tertinggi pada semua stasiun pengamatan yakni 1,19 µg-at SiO 3 /l ditemukan pada PMBT dan kandungan silikat perairan terendah yakni 0,00 µg-at SiO3/l terjadi pada MT. Dari keseluruhan stasiun pengukuran, didapatkan kandungan silikat perairan berfluktuasi menurut musim. Hasil analisis perbedaan rata-rata kandungan silikat perairan, menunjukkan adanya perbedaan pada semua musim pengamatan. Sebaran mendatar kandungan silikat di perairan Selat Makassar selama tiga periode musim pengamatan, menunjukkan bahwa rata-rata kandungan silikat secara spasial tertinggi berada di sekitar perairan pantai dan kemudian menurun ke arah bagian tengah laut (Gambar 34). Fenomena tersebut dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan bahwa konsentrasi kandungan silikat di laut kemungkinan banyak ditentukan oleh limpasan air sungai yang membawa banyak bahan organik dan mengalir ke laut. Pada periode PMBT didapatkan konsentrasi silikat meningkat ke arah pantai, yakni berkisar antara 2,00 2,50 µg-at SiO3/l dan perairan di bagian selatan berkisar antara 1,00 1,50 µg-at SiO 3 /l. Konsentrasi silikat pada periode MT secara spasial hanya ditemukan adanya variasi yang sangat kecil, namun 113

lintang Selatan -3.00 KAL -3.50-4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 SULAWESI 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur (A) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 3.00 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 2.50 2.00 1.50 1.00-6.50 0.50-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur (B) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 3.00 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00 2.50 2.00 1.50 1.00-6.50 0.50-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 0.00 Bujur Timur (C) Gambar 34 Sebaran mendatar kandungan silikat (µg-at SiO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 114

tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yakni sebesar 3,26 µg-at SiO 3 /l. Pada musim berikutnya yaitu PMTB, struktur kandungan silikat pada lapisan permukaan terjadi variasi yang sangat mencolok dimana tertinggi yakni 8,69 µg-at SiO 3 /l ditemukan pada stasiun 4 dan terendah yakni 0,07 µg-at SiO3/l ditemukan di stasiun 11. Kisaran kandungan silikat yang tinggi selama periode musim ini, diperoleh pada stasiun 2, 4 dan 27 dan sebaliknya kisaran terendah ditemukan pada stasiun 11 dan 15. Di tengah laut konsentrasi silikat meningkat dengan bertambahnya kedalaman sebagai akibat adanya sisa-sisa organiselat Makassare laut yang mati, kemudian tenggelam ke kolom air yang lebih dalam dan akhirnya mengendap di dasar perairan dan mengalami proses penguraian yang kemudian salah satunya menghasilkan unsur silikat. Selain itu terjadinya peningkatan konsentrasi silikat pada kolom air di bawah lapisan permukaan, diduga sebagai akibat rendahnya aktivitas fitoplankton yang memanfaatkan unsur hara tersebut karena cahaya matahari sebagai sumber energi yang semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Sebaliknya pada lapisan permukaan konsentrasi silikat dapat menurun, karena akibat pemanfaatan yang intensif oleh aktivitas fotosintesa dari fitoplankton. Sebaran melintang kandungan silikat di perairan Selat Makassar ditunjukkan pada Gambar 35. Pada periode PMBT terlihat bahwa kolom air di lapisan atas perairan memiliki kandungan silikat berkisar antara 4,50 5,50 µg-at SiO3/l, pada lapisan perairan antara 50 100 m kandungan silikat adalah 6,50-7,50 µgat SiO3/l, dan pada kolom air pada kedalaman antara 100 200 m berkisar antara 7,50 8,50 µg-at SiO 3 /l. Struktur kandungan silikat berdasarkan kedalaman selama periode MT terlihat bahwa pada kolom air lapisan atas sampai kedalaman sekitar 50 m, memiliki kandungan silikat sekitar 2,00 µg-at SiO 3 /l. Lapisan perairan pada kedalaman antara 50 100 m memiliki kandungan silikat berkisar antara 4,00 10,00 µg-at SiO 3 /l. Pada lapisan air yang lebih dalam antara 100 200 m, kandungan silikat berkisar antara 10,00 14,00 µg-at SiO3/l. Kandungan silikat yang relatif rendah pada kolom air lapisan atas, memperlihatkan bahwa kemungkinan terjadi aktivitas pemanfaatan silikat yang tinggi oleh plankton. Sementara pada kolom air lapisan di bawahnya, terjadi peningkatan yang cukup tinggi dengan kisaran mencapai 10,00 µg-at SiO 3 /l. Sebaran melintang kandungan silikat pada PMTB memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi yang rendah berdasarkan kedalaman dan bahkan sampai 115

Stasiun 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 0-25 Ke d ala m a n (m ) -50-75 -100-125 -150-175 -200 (A) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 K e d a l a m a n (m ) -50-75 -100-125 -150-175 K e d a la m a n (m ) -200 (B) Stasiun 2 0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-25 -50-75 -100-125 -150-175 -200 (C) Gambar 35 Sebaran melintang kandungan silikat (µg-at SiO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 116

lapisan air pada kedalaman 100 m, kandungan silikat hanya berkisar antara 2,00 4,00 µg-at SiO3/l. Peningkatan kandungan silikat yang relatif besar, terjadi pada kedalaman antara 100 200 m, yakni berkisar antara 6,00 12,00 µg-at SiO 3 /l. Konsentrasi kandungan silikat secara keseluruhan dari ketiga musim berdasarkan struktur kedalaman memperlihatkan bahwa pada periode MT, konsentrasi kandungan silikat tertinggi ditemukan terjadi dari lapisan permukaan perairan sampai pada lapisan kedalaman antara 50-100 m. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya proses pengangkatan unsur hara dari lapisan air yang lebih dalam bersamaan dengan terjadinya proses upwelling selama periode MT di perairan tersebut. (4) Oksigen terlarut Oksigen terlarut sebagai salah satu parameter oseanografi di dalam suatu perairan, dimanfaatkan oleh organiselat Makassare laut dalam proses pernafasan. Semakin tinggi aktivitas suatu jenis organiselat Makassare, semakin besar pula kebutuhan akan oksigen di dalam proses aktivitasnya. Pada perairan terbuka seperti halnya di perairan laut Indonesia sebagai perairan tropis, konsentarsi oksigen terlarut hampir stabil. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung relatif lebih tinggi pada lapisan permukaan, disamping karena terjadi penambahan oksigen melalui proses diffusi dari atmosfir yaitu melalui proses pemasukan gelembung udara yang dihasilkan oleh puncak gelombang dan selanjutnya terjadi pengadukan dalam molekul air sehingga gas tersebut menjadi larut. Selain itu penambahan oksigen terlarut di dalam suatu perairan, juga dihasilkan dari proses fotosintesis oleh beberapa tumbuhan pada waktu siang hari. Kandungan oksigen terlarut pada lapisan permukaan laut di perairan Selat Makassar selama periode PMBT berkisar antara 4,10 4,32 ml/l, pada MT berkisar antara 4,37 4,55 ml/l, dan pada PMTB berkisar antara 4,24 4,53 ml/l. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi yakni 4,55 ml/l didapatkan di stasiun 1 pada periode MT dan terendah yakni 4,10 diperoleh di beberapa stasiun pada PMBT. Hasil analisis nilai rata-rata oksigen terlarut di dalam perairan, menunjukkan adanya perbedaan pada semua musim pengamatan. Hasil uji rata-rata kandungan oksigen terlarut di perairan Selat Makassar (Lampiran 32), didapatkan rata-rata kandungan oksigen terlarut tertinggi yakni 0,47 ml/l pada PMBT dan rata-rata kandungan oksigen terlarut terendah yakni 0,16 ml/l 117

pada MT. Kandungan oksigen terlarut tertinggi pada salah satu stasiun pengamatan didapatkan yakni 1,19 ml/l terjadi pada PMBT dan kandungan oksigen terlarut terendah yakni 0,00 ml/l terjadi pada MT. Dari keseluruhan stasiun pengamatan oseanografi di perairan Selat Makassar didapatkan kandungan oksigen terlarut berfluktuasi menurut musim. Sebaran mendatar oksigen terlarut pada permukaan laut perairan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 36. Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi oksigen terlarut selama pengamatan, ditemukan terjadi peningkatan secara spasial ke wilayah perairan pantai. Kecenderungan ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya gerakan permukaan air laut di dekat pantai yang sangat dinamis oleh pengaruh angin dan riak-riak ombak yang berlangsung secara terusmenerus yang mengakibatkan terjadinya proses difusi oksigen dari udara masuk ke dalam air. Sebaliknya lapisan permukaan laut yang statis memberikan dampak terhadap rendahnya proses difusi oksigen dari udara yang masuk ke dalam air. Selain itu proses respirasi yang terjadi di sekitar perairan pantai yang tinggi akibat konsentrasi zat hara yang cukup untuk kebutuhan organiselat Makassare laut, menyebabkan jumlah oksigen yang dihasilkan di dalam air juga meningkat. Sebaran melintang oksigen terlarut pada PMBT, menunjukkan adanya distribusi spasial yang hampir merata dengan nilai kisaran yang tidak mencolok pada semua stasiun pengamatan, kecuali pada stasiun 36 dan 37 serta 49 dan 50 dengan nilai sebesar 4,10 ml/l. Sebaliknya pada beberapa stasiun pengamatan, ditemukan nilai oksigen terlarut sebesar 4,22 4,26 ml/l di bagian selatan perairan. Pada periode MT, sebaran mendatar oksigen terlarut terlihat pada stasiun yang berada paling selatan dari semua stasiun pengamatan, ditemukan nilai oksigen terlarut paling tinggi yakni sebesar 3,75 4,50 ml/l. Sebaliknya pada stasiun lainnya, konsentrasi oksigen terlarut hanya berkisar antara 2,25 3,00 ml/l. Sebaran mendatar kandungan oksigen terlarut pada periode PMTB memperlihatkan bahwa, konsentrasi oksigen terlarut pada bagian perairan selatan dan dekat pantai memiliki nilai yang cukup tinggi berkisar antara 4,44 4,54 ml/l dan sebaliknya pada bagian perairan lainnya hanya berkisar antara 4,24 4,34 ml/l. Sebaran melintang kandungan oksigen terlarut di perairan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 37. Pada periode PMBT, kandungan oksigen terlarut memiliki pola yang hampir merata pada kolom air lapisan atas sampai kedalaman 75 m dengan nilai berkisar antara 3,60-4,00 ml/l. Lapisan air di bawahnya memiliki 118

-3.00 KAL -3.50 SULAWESI 4.45 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 4.38 4.30 4.22 4.15 4.07-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 4.00 Bujur Timur (A) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 4.45 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 4.38 4.30 4.22 4.15 4.07-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 4.00 Bujur Timur (B) -3.00 KAL -3.50 SULAWESI 4.45 Lintang Selatan -4.00-4.50-5.00-5.50-6.00-6.50 4.38 4.30 4.22 4.15 4.07-7.00 116.00 116.50 117.00 117.50 118.00 118.50 119.00 119.50 120.00 4.00 Bujur Timur (C) Gambar 36 Sebaran mendatar oksigen terlarut (ml/l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 119

Stasiun 3334353637383940414243444546474849505152535455565758 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (A) Stasiun 1 2 3 4 5 0-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (B) Stasiun 2 0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-25 -50 Kedalaman (m) -75-100 -125-150 -175-200 (C) Gambar 37 Sebaran melintang oksigen terlarut (ml/l) di perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 120

kandungan oksigen dengan kemiringan sebesar 3,20 ml/l dari kedalaman sekitar 75-175 m, kecuali pada stasiun 53, 54, dan 55. Sebaran menegak konsentrasi oksigen terlarut pada MT, terlihat bahwa pada kolom air bagian atas sampai kedalaman sekitar 50 m, nilai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 4,00-4,40 ml/l. Pada lapisan air berikutnya sampai kedalaman 200 m, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 3,00-3,60 ml/l. Dari kedalaman 50 sampai dengan 100 m, terjadi kemiringan yang tajam dengan nilai 3,60 ml/l mengarah pada stasiun 4 dan 5. Sebaran melintang kandungan oksigen terlarut pada periode PMTB, terlihat bahwa pada stasiun 2 9, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan dan berkisar antara 4,00-4,40 ml/l dari kolom air bagian atas sampai dengan kedalaman sekitar 75 m. Pada lapisan air di bawahnya sampai kedalaman 200 m, konsentrasi kandungan oksigen terlarut berkisar antara 3,20-3,80 ml/l. 4.5.5 Kandungan klorofil Distribusi dan pergerakan kawanan ikan pada suatu perairan, selain dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan, juga ditentukan oleh ketersediaan ma kanan pada perairan tersebut. Ketersediaan unsur hara seperti telah diurakan sebelumnya didalam suatu perairan, menentukan tingkat kesuburan perairan tersebut. Kesuburan suatu perairan, biasanya ditandai dengan terdapatnya sejumlah kawanan ikan yang menjadi parameter utama tingkat kesuburan perairan itu pada waktu tertentu. Ikan terbang diketahui sebagai ikan pelagis kecil (Selat Makassarall pelagic fish species), merupakan jenis ikan pemakan plankton, baik zooplankton maupun fitoplankton. Jenis ikan yang demikian itu di dalam penentuan kebiasaan makan di dalam rantai makanan, dinamakan sebagai jenis ikan pemakan plankton (plankton feeder). Kuantifikasi jumlah satuan unit fitoplankton yang terdapat di dalam suatu perairan, dapat diprediksi melalui perhitungan jumlah kandungan pigmen hijau yang dihasilkan oleh fitoplankton sebagai organiselat Makassare produsen tingkat pertama didalam rantai makanan. Besarnya kandungan pigmen hijau yang terdeteksi melalui metode tertentu, diantaranya dengan satelit penginderaan jauh dinyatakan sebagai besarnya nilai jumlah kandungan plankton didalam perairan itu. Fitoplankton yang menghasilkan sejumlah energi dari proses pertumbuhannya dengan memanfaatkan sejumlah unsur hara yang terdapat di dalam perairan, merupakan persediaan makanan bagi zooplankton dan jenis-jenis 121

ikan pemakan fitopankton lainnya. Dengan demikian besarnya nilai ketersediaan pigmen hijau yang terdeteksi, akan menentukan besarnya kawanan ikan yang diperkirakan akan datang ke perairan itu dalam kegiatan mencari makanan, atau biasa disebut dengan migrasi karena mencari makan (feeding migration). Kawanan ikan terbang sebagai salah satu jenis ikan yang menyukai plankton, akan berhubungan erat dengan proses pergerakan kawanan ikan tersebut pada waktu tertentu, selain karena pengaruh faktor oseanografi lingkungan perairan dan faktor biologi ikan itu sendiri. Keterkaitan ini akan sangat membantu dalam memprediksi pergerakan kawanan ikan didalam suatu lingkungan perairan pada waktu tertentu. Profil sebaran kandungan klorofil di perairan Selat Makassar berdasarkan data citra yang mewakili bulan Maret untuk periode PMBT, terlihat memiliki nilai kandungan klorofil lebih tinggi di sekitar perairan pantai bagian selatan Kalimantan dibandingkan dengan di sekitar perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Kandungan klorofil yang diperkirakan sebagai daerah penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar bagian selatan, berkisar antara 1,00 1,50 mg/m3 (Gambar 38). Memasuki awal periode MT, terlihat sebaran kandungan klorofil di perairan pantai barat bagian selatan Selat Makassar mengalami peningkatan, terutama pada citra yang mewakili bulan Agustus, yakni berikisar antara 3,00 5,00 mg/m3 (Gambar 39). Hal ini kemungkinan sebagai akibat terjadinya peningkatan kandungan nutrien bersamaan dengan terjadinya fenomena upwelling pada awal musim timur, sehingga proses pertumbuhan fitiplankton di sekitar perairan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Fenomena ini juga terjadi dimana kegiatan penangkapan ikan terbang mengalami peningkatan jumlah hasil tangkapan selama periode waktu tersebut. Sebaliknya memasuki awal periode PMTB, sebaran kandungan klorofil di perairan Selat Makassar bagian selatan mulai menurun seperti halnya dengan kondisi sebaran kandungan klorofil pada periode musim tersebut. Kandungan klorofil di dalam perairan pada periode musim ini tertinggi yakni sekitar 1,00 2,50 mg/m3 terlihat pada citra satelit yang mewakili bulan September (Gambar 40). Kandungan klorofil pada bulan berikutnya, terlihat dengan jelas mulai menurun dengan drastis yang diperkirakan seiring dengan meredanya proses fenomena upwelling yang terjadi di sekitar perairan tersebut, yakni dibagian selatan pantai barat Sulawesi Selatan. 122

Gambar 38 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada PMBT. 123

Gambar 39 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada MT. 124

Gambar 40 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada PMTB. 125