BAB 5 HASIL PENELITIAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 5.1 Distribusi kapasitas dapar saliva sesudah pengunyahan parafin, 2 buah xylitol, dan 4 buah xylitol

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi gula adalah masalah utama yang berhubungan dengan. dan frekuensi mengkonsumsi gula. Makanan yang lengket dan makanan yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling dominan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva yang terbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas

BAB I PENDAHULUAN. Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempengaruhi derajat keasaman saliva. Saliva memiliki peran penting dalam

PENGARUH VISKOSITAS SALIVA TERHADAP PEMBENTUKAN PLAK GIGI PADA MAHASISWA POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rendah (Depkes RI, 2005). Anak yang memasuki usia sekolah yaitu pada usia 6-12

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula seperti sukrosa.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis.

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dokter Gigi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengambilan sampel

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dipisahkan satu dan lainnya karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh

Lampiran 1. Skema Alur Pikir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian tentang perbedaan derajat keasaman ph saliva antara sebelum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. Penelitian tentang perbedaan status karies pada anak Sekolah Dasar yang

BAB I PENDAHULUAN. indeks caries 1,0. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dari sisa makanan, menghilangkan plak dan bau mulut serta memperindah

BAB I PENDAHULUAN. Community Dental Oral Epidemiologi menyatakan bahwa anakanak. disebabkan pada umumnya orang beranggapan gigi sulung tidak perlu

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH METODE MENGGOSOK GIGI SEBELUM MAKAN TERHADAP KUANTITAS BAKTERI DAN Ph SALIVA

BAB 1 PENDAHULUAN. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang kompleks yang terdiri atas

BAB 1 PENDAHULUAN. saliva yaitu dengan ph (potensial of hydrogen). Derajat keasaman ph dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian klinis laboratoris dengan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%. 1 Riset Kesehatan

SKEMA ALUR FIKIR. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Bayyin Bunayya Cholid*, Oedijani Santoso**, Yayun Siti Rochmah***

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta yang berusia tahun. Penelitian ini. n= Z 2 p.q d 2 n= 1,96 2.0,5.0,25 0,25 2 n= 7,68

BAB I PENDAHULUAN. Terapi ortodontik belakangan ini menjadi populer. 1 Kebutuhan akan perawatan

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis.

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 4 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. karies gigi (Anitasari dan Endang, 2005). Karies gigi disebabkan oleh faktor

PENGARUH PEMBERIAN TABLET HISAP Xylitol DAN TABLET HISAP SUKROSA TERHADAP ph SALIVA PADA ANAK USIA TAHUN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kognitif, yang memerlukan kesehatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang masih perlu mendapat perhatian. Menurut Pintauli dan Hamada (2008),

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i PRASYARAT... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENGUJI... iv

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam.

BAB I PENDAHULUAN. setiap proses kehidupan manusia agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat dari sisa makanan oleh bakteri dalam mulut. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB I. I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN. n = 3990 = 363, sampel 3990 (5%) 2 + 1

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 90% yaitu kelenjar parotis memproduksi sekresi cairan serosa, kelenjar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga akan meningkat. 2 Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan gigi dan makanan sehat cenderung dapat menjaga perilaku hidup sehat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa sekolah. Anak

BAB I PENDAHULUAN. 2004, didapatkan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 85%-99%.3

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. melalui mulut, dan pada kalangan usia lanjut. 2 Dry mouth berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyerang jaringan keras gigi seperti , dentin dan sementum, ditandai

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian yang utuh dari kesehatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva merupakan cairan rongga mulut yang memiliki peran penting dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun prevalensi masalah kesehatan gigi dan mulut penduduk

BAB I PENDAHULUAN. makanan sehingga membantu pencernaan, untuk berbicara serta untuk

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim

BAB 4 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis.

PENGARUH KONSUMSI COKELAT DAN KEJU TERHADAP KONSENTRASI KALSIUM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida yang berperan dalam kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manfaat yang maksimal, maka ASI harus diberikan sesegera mungkin setelah

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di

Gambar 1. Kelenjar saliva 19

PERBEDAAN ph, LAJU ALIRAN DAN KADAR ION KALSIUM SALIVA PADA PEROKOK KRETEK DAN BUKAN PEROKOK DI KELURAHAN PADANG BULAN MEDAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dan TK Aisyiyah Bustanul Atfal Godegan.

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, usia, ras, ataupun status ekonomi (Bagramian R.A., 2009). Karies

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian analitik observasi dengan desain cross sectional.

PENGARUH SEBELUM DAN SESUDAH MINUM MINUMAN BERSODA TERHADAP (ph) SALIVA PADA MAHASISWA ASRAMA JURUSAN KEPERAWATAN GIGI

PERBEDAAN ANGKA RATA-RATA KARIES GIGI ANTARA MASYARAKAT BALI VEGETARIAN DAN NONVEGETARIAN DI DESA BASARANG JAYA KABUPATEN KAPUAS

Transkripsi:

36 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 30 mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 5.1. Frekuensi distribusi tes saliva subjek penelitian sebelum perlakuan Saliva tidak terstimulasi Saliva terstimulasi parafin Nilai tes saliva Viskositas ph Kapasitas dapar Baik Sedang Buruk N= 30 subjek penelitian 9 (30%) 21 (70%) 0 (0%) 27 (90%) 3 (10%) 0 (0%) 1 (3,3%) 19 (63,3%) 10 (33,3%) Hasil dari Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 30 subjek, sebagian besar subjek memiliki nilai tes viskositas sedang dan sebagian besar subjek memiliki nilai tes ph baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebelum perlakuan subjek penelitian ini memiliki nilai tes saliva tidak terstimulasi yang relatif baik. Selain itu, Tabel 5.1 juga menunjukkan bahwa dari 30 subjek, sebagian besar memiliki nilai tes kapasitas dapar saliva terstimulasi parafin yang sedang. Jadi dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian ini sebelum perlakuan memiliki nilai tes saliva terstimulasi yang relatif baik. Tabel 5.2. Frekuensi distribusi tes viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva subjek penelitian setelah perlakuan Air madu Baik Sedang Buruk Air pemanis rendah kalori Baik Sedang Buruk N= 30 subjek penelitian Variabel Viskositas ph Dapar 1 (3,3%) 27 (90%) 2 (6,7%) 1 (3,3%) 26 (86,7%) 3 (10%) 18 (60%) 12 (40%) 0 (0%) 24 (80%) 6 (20%) 0 0 (0%) 3 (10%) 27 (90%) 0 (0%) 1 (3,3%) 29 (96,7%)

37 Hasil dari Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 30 subjek setelah perlakuan minum air madu, sebagian besar subjek memiliki nilai tes viskositas saliva yang sedang, sebagian besar subjek memiliki nilai tes ph saliva yang baik, dan sebagian besar subjek memiliki nilai tes kapasitas dapar saliva yang buruk. Selain itu, Tabel 5.2 juga menunjukkan bahwa dari 30 subjek, setelah perlakuan minum air pemanis rendah kalori, sebagian besar subjek memiliki nilai tes viskositas saliva yang sedang, sebagian besar subjek memiliki nilai tes ph saliva yang baik, dan sebagian besar subjek memiliki nilai tes kapasitas dapar saliva yang buruk. Tabel 5.3. Nilai kemaknaan tes viskositas saliva pada kelompok konsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori Variabel Nilai p Air madu Sebelum 0,004* Sesudah Air pemanis rendah kalori Sebelum Sesudah 0,002* Air madu dan air pemanis rendah kalori 0,655 N= 30 subjek penelitian Uji analisis dengan Wilcoxon untuk setiap analisis * berbeda bermakna (p<0,05) Hasil dari Tabel 5.3 menunjukkan bahwa nilai tes viskositas saliva sebelum dan sesudah mengkonsumsi air madu memiliki nilai p 0,004 (>0,05) yang berarti terdapat perbedaan bermakna pada nilai tes viskositas saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air madu. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Selain itu, dapat terlihat pada Tabel 5.3 menunjukkan bahwa nilai tes viskositas saliva sebelum dan sesudah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori memiliki nilai p 0,002 (<0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes viskositas saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Kemudian dari Tabel 5.3 juga ditunjukkan perbandingan nilai tes viskositas saliva antara kelompok setelah mengkonsumsi madu dan kelompok yang mengkonsumsi pemanis rendah kalori yang didapatkan dengan uji analisis

38 Wilcoxon. Hasil yang didapatkan untuk hubungan antara 2 kelompok tersebut adalah nilai p 0,655 (>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes viskositas saliva antara kelompok setelah mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori. Tabel 5.4. Nilai kemaknaan tes ph saliva pada kelompok air madu dan air pemanis rendah kalori Variabel Nilai p Air madu Sebelum 0,007* Sesudah Air pemanis rendah kalori Sebelum 0,102 Sesudah Air madu dan air pemanis rendah kalori 0,059 N= 30 subjek penelitian Uji analisis dengan Wilcoxon untuk setiap analisis * berbeda bermakna (p<0,05) Hasil dari Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai tes ph saliva antara kelompok sebelum dan setelah mengkonsumsi air madu memiliki nilai p 0,007 (<0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan bermakna nilai tes ph saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air madu. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Selain itu, hasil dari Tabel 5.4 menunjukkan nilai tes H saliva antara kelompok sebelum dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori memiliki nilai p 0,102 (>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes ph saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Dari Tabel 5.4 juga ditunjukkan perbandingan nilai tes ph saliva antara kelompok setelah mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori yang didapatkan dengan uji analisis Wilcoxon yang memiliki nilai p 0,059 (<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes ph saliva antara kelompok setelah mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori.

39 Tabel 5.5. Nilai kemaknaan tes kapasitas dapar saliva pada kelompok konsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori Variabel Nilai p Air madu Sebelum 0,000* Sesudah Air pemanis rendah kalori Sebelum 0,000* Sesudah Air madu dan air pemanis rendah kalori 0,157 N= 30 subjek penelitian Uji analisis dengan Wilcoxon untuk setiap analisis * berbeda bermakna (p<0,05) Hasil dari Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai tes kapasitas dapar saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air madu memiliki nilai p 0,000 (<0,05) yang berarti terdapat perbedaan bermakna nilai tes kapasitas dapar saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air madu. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Selain itu, hasil dari Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai tes kapasitas dapar saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori memiliki nilai p 0,000 (<0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes kapasitas dapar saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori. Hasil ini didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Kemudian dari Tabel 5.5 juga menunjukkan perbandingan nilai tes kapasitas dapar saliva antara kelompok setelah mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori yang didapatkan dengan uji analisis menggunakan uji Wilcoxon. Hasil yang didapatkan untuk hubungan antara 2 kelompok tersebut adalah nilai p 0,157 (>0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna nilai tes kapasitas dapar saliva antara kelompok konsumsi air madu dengan kelompok konsumsi air pemanis rendah kalori.

40 BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini akan membandingkan hasil nilai uji viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva antara sebelum dan sesudah perlakuan mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori. Perbandingan nilai viskositas, ph dan kapasitas dapar saliva antara setelah mengkonsumsi air madu dan setelah mengkonsumsi air pemanis rendah kalori dilakukan setelahnya. Pemanis rendah kalori dipilih sebagai pembanding terhadap madu karena kecenderungan bertambahnya konsumsi pemanis rendah kalori di masyarakat Indonesia karena kesadaran masyarakat untuk menjaga asupan kalori. 11,12 Subyek penelitian adalah 30 orang mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 yang berusia 20-22 tahun, sehat, tidak memiliki penyakit sistemik, tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kondisi saliva, tidak sedang dalam perawatan orthodonsia cekat, juga tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Selain itu, subyek memiliki nilai faktor risiko karies gigi yang rendah, yaitu nilai DMFT 0-3, yang didasarkan hasil pemeriksaan awal saat mencari subyek penelitian. Pemilihan subyek penelitian pada mahasiswa FKG UI semester VII tahun 2008 dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dalam hal tingkat sosial, ekonomi, pengetahuan, kebiasaan, dan gaya hidup. Faktor-faktor inklusi dan ekslusi yang disebutkan di atas ditentukan oleh peneliti berdasarkan hal-hal yang dapat mempengaruhi kondisi saliva, baik terhadap viskositas, ph, maupun kapasitas dapar. Pembatasan umur subyek penelitian perlu dilakukan untuk menghindari perbedaan umur yang terlalu besar yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas saliva yang akhirnya dapat menimbulkan bias dalam penelitian. 40 Waktu penelitian dilakukan pada pagi hari dengan rentang waktu pukul 08.00-11.00. Tujuan untuk menyamakan waktu pelaksanaan pemeriksaan adalah agar kualitas dan kuantitas saliva yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Alasan ini didasarkan atas teori yang menyatakan bahwa irama sikardian dan irama biologis dapat mempengaruhi komposisi dan kapasitas dapar saliva. 10,19 Sebelum dilakukannya uji saliva dan perlakuan, subyek diminta untuk tidak mengkonsumsi

41 makanan atau minuman apa pun selama 1-1,5 jam karena konsumsi makanan atau minuman dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas saliva sehingga dapat mempengaruhi hasil uji saliva nantinya. 10,19 Alur penelitian ini mencakup pemeriksaan awal untuk mencari subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Setelah memperoleh subyek yang memenuhi kriteria faktor inklusi dan eksklusi, pemilihan subyek dilakukan dengan metode simple random sampling untuk memperoleh jumlah subyek sebanyak 30 orang. Alasan penetapan besar subyek sebanyak 30 orang adalah karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, sehingga secara empiris jumlah subyek yang digunakan minimal sebanyak 30 orang. Setiap subyek akan mendapatkan pemeriksaan saliva sebelum perlakuan dan setelah perlakuan (mengkonsumsi air madu dan air gula pemanis rendah kalori). Tes saliva tidak terstimulasi mencakup tes viskositas dan tes ph. Sedangkan tes saliva terstimulasi parafin mencakup nilai tes saliva kapasitas dapar. Setiap pemeriksaan dilakukan pada hari yang berbeda untuk menghindari pengaruh setiap pemeriksaan satu sama lain. Pemeriksaan setelah perlakuan yang dilakukan antara lain uji viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva. Pemilihan ketiga nilai tersebut ditetapkan oleh peneliti dengan anggapan bahwa ketiga kondisi tersebut akan menentukan kualitas saliva dan hal ini berkontribusi langsung terhadap terjadinya karies gigi. Cara kerja yang dilakukan sebelum perlakuan adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap subjek penelitian berupa uji viskositas dan ph saliva tidak terstimulasi serta uji kapasitas dapar saliva terstimulasi parafin. Pengukuran viskositas dilakukan secara visual dengan melihat apakah ada atau tidak tampilan busa dan kemampuan mengalir saliva. 18,22,39 Sedangkan pengukuran ph saliva dilakukan dengan membandingkan warna yang dihasilkan kertas ph setelah terkena saliva sesuai dengan petunjuk yang dikeluarkan oleh GC. 39 Sementara itu, uji kapasitas dapar saliva sebelum perlakuan dilakukan dalam keadaan saliva terstimulasi parafin dikarenakan pengukuran kapasitas dapar seseorang didasarkan atas kadar bikarbonat yang ada di dalam saliva, dan kadar bikarbonat ini hanya bisa dideteksi setelah diberi stimulasi. Bahan stimulasi yang diberikan harus

42 bersifat netral, misalnya parafin, sehingga nilai kapasitas dapar yang diperoleh merupakan nilai yang sesungguhnya. 10 Tabel 5.1. menunjukkan bahwa hasil dan ph saliva tidak terstimulasi memiliki nilai yang relatif baikdan nilai uji viskositas yang relatif sedang. Hasil uji viskositas dan ph saliva ini menggambarkan gaya hidup subyek yang diperiksa. Sedangkan hasil uji kapasitas dapar saliva terstimulasi parafin menunjukkan nilai yang relatif sedang. Hasil uji kapasitas dapar saliva ini menggambarkan kualitas saliva yang dihasilkan oleh kelenjar saliva. Berdasarkan hasil yang didapat, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup dan kualitas saliva subyek di dalam penelitian ini relatif baik. Hal ini sesuai dengan nilai DMFT subyek yang berada dalam rentang 0-3, menunjukkan bahwa kondisi saliva yang baik dapat mempengaruhi kondisi kesehatan gigi dan mulut yang baik pula. Subyek penelitian diminta untuk mengkonsumsi 150 ml air yang mengandung 17 gram madu atau air yang mengandung 2,5 gram pemanis rendah kalori dalam waktu 2 menit di setiap perlakuan. Lalu subyek diminta untuk menunggu selama 10 menit sebelum dilakukan uji viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva. Berat madu dan pemanis rendah kalori yang digunakan ditentukan oleh peneliti berdasarkan hasil survei yang sebelumnya telah dilakukan peneliti untuk melihat tingkat kemanisan rata-rata yang umum digunakan dalam mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori. Oleh karena itu, antara air madu dan air pemanis rendah kalori setidaknya memiliki tingkat kemanisan yang sama. Kuantitas air 150 ml ditetapkan oleh peneliti dengan anggapan bahwa jumlah 150 ml air merupakan jumlah minimum yang setidaknya dikonsumsi setiap orang ketika minum.air juga ditentukan oleh peneliti Di lain pihak, 2,5 gram pemanis rendah kalori cukup takarannya untuk 150 ml air yang terlihat dari kemasan label merek pemanis rendah kalori yang dipakai. Setelah menunggu 10 menit sehabis perlakuan, dilakukan uji viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva agar sesuai dengan teori dalam kurva Stephan, yang mengungkapkan bahwa dalam waktu 10 menit setelah konsumsi makanan atau minuman kariogenik, ph di dalam rongga mulut akan mencapai nilai yang paling rendah. Berhubungan dengan hal tersebut, peneliti ingin melihat apakah terjadi perubahan ph di dalam

43 rongga mulut hingga mencapai nilai ph kritis (ph < 5,5) dalam waktu 10 menit setelah perlakuan. 10,17 Tabel 5.2 menunjukkan frekuensi distribusi tes viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva subjek penelitian setelah mengkonsumsi air madu dan air pemanis rendah kalori. Sebagian besar subjek penelitian memiliki nilai tes viskositas saliva yang sedang untuk setiap perlakuan, sebagian besar memiliki nilai tes ph yang baik, dan sebagian besar memiliki nilai tes kapasitas dapar saliva yang buruk. 6.1. VISKOSITAS SALIVA Tabel 5.2 menunjukkan hasil uji viskositas saliva setelah terstimulasi air madu dan setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori. Umumnya, nilai viskositas saliva pada sebagian besar subjek relatif sedang. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kondisi saliva yang awalnya relatif baik (sebelum terstimulasi) menjadi relatif sedang (setelah terstimulasi/ perlakuan). Nilai viskositas saliva tidak terstimulasi dengan kategori baik mencapai 30% dan kategori sedang 70%. Pada saliva terstimulasi air madu, nilai viskositas saliva dengan kategori sedang mencapai 90%. Demikian pula pada saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori, nilai viskositas saliva dengan kategori sedang mencapai 86,7%. Perubahan nilai ini mungkin terjadi karena stimulus yang diberikan adalah stimulus rasa, berupa air madu dan air pemanis rendah kalori, yang lebih banyak menstimulasi kelenjar submandibula dan sublingual, menghasilkan sekret saliva yang mukus hingga akhirnya mengakibatkan peningkatan relatif dari konsentrasi musin, membuat tampilan saliva menjadi lebih kental dan lengket. 19 Tabel 5.3. menunjukkan hasil analisis statistik yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna baik antara nilai viskositas saliva tidak terstimulasi dengan saliva terstimulasi air madu maupun antara nilai viskositas saliva tidak terstimulasi dengan nilai viskositas saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 dan 2 terbukti untuk nilai viskositas saliva. Seperti penjelasan sebelumnya, perbedaan ini mungkin terjadi karena stimulus yang diberikan, berupa air madu dan air pemanis rendah kalori, adalah stimulus rasa yang lebih banyak menstimulasi kelenjar

44 submandibula dan sublingual, menghasilkan sekret saliva yang mukus hingga akhirnya mengakibatkan peningkatan relatif dari konsentrasi musin, membuat tampilan saliva menjadi lebih kental dan lengket. 19 Selain itu, Tabel 5.3. juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai viskositas saliva terstimulasi air madu dengan saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 tidak terbukti untuk nilai viskositas saliva. Tidak adanya perbedaan yang bermakna ini mungkin terjadi karena tingkat kemanisan dan kuantitas kedua bahan dibuat relatif sama sehingga derajat stimulasi yang dihasilkan akan relatif sama. Dengan demikian, perubahan kadar air yang terjadi di dalam rongga mulut juga akan relatif sama, mengakibatkan viskositas yang dihasilkan dari konsentrasi musin akibat stimulasi kelenjar sublingual dan submandibula berada pada tingkat yang relatif sama pula. 6.2. ph SALIVA Tabel 5.2. juga menunjukkan hasil uji ph saliva setelah terstimulasi air madu dan setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori. Walaupun ph setelah perlakuan menunjukkan nilai yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan nilai sebelum perlakuan, namun secara umum nilai ph setelah perlakuan masih termasuk dalam kategori baik. Subyek memiliki nilai ph saliva tidak terstimulasi dengan kategori baik (ph > 6,8) mencapai 90% dengan rata-rata ph 7,39 dengan nilai ph modus 7,6 untuk hasil nilai sebelum perlakuan. Setelah perlakuan, walaupun terdapat penurunan besar persentase, tetapi sebagian besar subyek masih berada dalam kategori baik, yaitu 60% untuk terstimulasi air madu (ratarata ph 6,94 dengan nilai ph modus sebesar 7), dan 76,7% (rata-rata ph 7,04 dengan nilai ph modus 7) setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori. Semua nilai ph tidak terstimulasi, terstimulasi air madu, dan terstimulasi air pemanis rendah kalori tidak mencapai ph kritis (ph 5,5). Hal ini cenderung sejalan dengan karakteristik pemanis rendah kalori yang tidak kariogenik. 11,12,33 Tidak menurunnya ph saliva setelah terstimulasi air madu ini cenderung berlawanan dengan teori yang diungkapkan oleh Stephan yang menyatakan 10 menit setelah konsumsi glukosa maka akan terjadi penurunan ph hingga mencapai nilai ph

45 kritis (ph 5,5). 10 Hal ini mungkin dapat terjadi karena penyusun terbesar utama madu adalah fruktosa bukan glukosa, maka kemungkinan madu memiliki tingkat kariogenitas yang lebih rendah daripada glukosa. 28 Untuk pengukuran yang dilakukan pun bukan terhadap ph plak yang lebih stabil, tetapi terhadap ph saliva yang mudah berubah. Oleh karena itu, mungkin saja nilai ph saliva yang diberikan sudah dinetralkan oleh kerja kapasitas dapar saliva subjek dalam rentang waktu 10 menit sebelum dilakukannya pengukuran. Dalam Tabel 5.4 terlihat nilai kemaknaan hasil uji ph saliva. Di sini dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bermakna antara nilai ph saliva tidak terstimulasi dengan saliva terstimulasi air madu dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai ph saliva tidak terstimulasi dengan nilai ph saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Dengan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 terbukti untuk nilai ph saliva tetapi tidak terbukti untuk hipotesis 2 untuk nilai ph saliva. Penurunan ph ini terjadi dikarenakan setelah saliva terstimulasi oleh air madu terjadi pemecahan karbohidrat menjadi asam laktat. Akibatnya, terjadi penurunan ph di dalam lingkungan rongga mulut. Hal ini juga didukung oleh sifat asam yang dimiliki oleh madu yang digunakan, yang mempunyai ph 3,8, yang selanjutnya dapat mempengaruhi ph saliva. Tetapi tidak demikian dengan pemanis rendah kalori yang tidak mempunyai karbohidrat melainkan aspartam dan sorbitol yang tidak bisa dipecah menjadi asam laktat. 16,32 Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh R.K. Lout yang melakukan penelitian dengan menggunakan kumur-kumur larutan sorbitol dan larutan aspartam tidak menimbulkan aktivitas karies. 41 Sedangkan pada perbandingan antara nilai ph saliva setelah terstimulasi air madu dengan setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori, tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis 3 tidak terbukti untuk nilai ph saliva. Tidak adanya perbedaan ini mungkin dikarenakan kuantitas air dan kualitas tingkat kemanisan yang dibuat hampir sama oleh peneliti sehingga tidak banyak perbedaan yang dihasilkan oleh perbandingan kedua perlakuan tersebut. Lama waktu menunggu setelah mengkonsumsi air sampai dilakukan pemeriksaan ph saliva mungkin saja cukup untuk menstimulasi kerja bikarbonat dalam menetralkan asam yang dihasilkan.

46 6.3. KAPASITAS DAPAR SALIVA Selain itu, Tabel 5.2 juga menunjukkan hasil uji kapasitas dapar saliva setelah terstimulasi air madu dan setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori. Pada kapasitas dapar, terjadi penurunan nilai yang awalnya relatif sedang (sebelum perlakuan) dengan persentase 63,3% menjadi relatif buruk (setelah perlakuan), yaitu mencapai 90% untuk saliva terstimulasi air madu dan 96,7% untuk saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Hasil penurunan nilai ini terjadi mungkin disebabkan setelah saliva terstimulasi terjadi kerja bikarbonat di dalam saliva untuk menetralkan asam sehingga kadar bikarbonat di dalamnya berkurang. Di lain pihak, kadar bikarbonat akan meningkat seiring dengan bertambahnya laju aliran saliva. 10 Aliran saliva yang dihasilkan setelah mengunyah parafin mungkin saja lebih besar dibandingkan setelah minum air madu atau air pemanis rendah kalori. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kadar bikarbonat setelah mengunyah parafin akan lebih besar bila dibandingkan dengan kadar bikarbonat setelah mengkonsumsi air madu atau air pemanis rendah kalori. Sementara itu, hasil analisis statistik pada Tabel 5.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara nilai kapasitas dapar saliva terstimulasi parafin dengan saliva terstimulasi air madu maupun antara nilai kapasitas dapar saliva terstimulasi parafin dengan nilai kapasitas dapar saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Dengan demikian, hipotesis 1 dan 2 terbukti untuk nilai kapasitas dapar saliva. Hasil uji saliva yang berbeda bermakna setelah terstimulasi air madu ini mungkin disebabkan kinerja bikarbonat di dalam saliva untuk menetralkan asam yang terbentuk. Oleh sebab itu, kadar bikarbonat di dalam saliva menjadi berkurang. Selain itu, perbedaan nilai ini juga mungkin saja terjadi karena laju aliran saliva setelah terstimulasi parafin lebih baik dibandingkan dengan laju aliran saliva terstimulasi air madu, dan air pemanis rendah kalori. Kadar bikarbonat akan meningkat seiring dengan bertambahnya laju aliran saliva, dengan demikian kadar bikarbonat pada saliva setelah terstimulasi parafin tentunya akan lebih besar bila dibandingkan dengan kadar bikarbonat pada saliva yang terstimulasi air madu atau air pemanis rendah kalori. 10

47 Selain itu, Tabel 5.5 juga menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara nilai kapasitas dapar saliva terstimulasi air madu dengan nilai kapasitas dapar saliva terstimulasi air pemanis rendah kalori. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 tidak terbukti untuk nilai kapasitas dapar saliva. Hal ini agak kontradiktif bila dilihat dari kandungan yang terdapat di pemanis rendah kalori, yang tidak bisa dipecah menjadi asam laktat. Hampir samanya hasil nilai kapasitas dapar di antara kedua kelompok mungkin dikarenakan kuantitas air dan kualitas tingkat kemanisan yang dibuat hampir sama oleh peneliti sehingga tidak banyak perbedaan laju aliran saliva yang dihasilkan oleh perbandingan kedua perlakuan tersebut. Peningkatan laju aliran saliva yang relatif sama ini pada kedua kelompok setelah terstimulasi ini mengakibatkan kadar bikarbonat yang dihasilkan relatif sama untuk kedua kelompok. Berdasarkan hasil uji analisis Wilcoxon yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa nilai viskositas, ph, dan kapasitas dapar saliva antara setelah terstimulasi air madu menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna. Untuk setelah terstimulasi air pemanis rendah kalori, terdapat perbedaan bermakna untuk nilai viskositas dan kapasitas dapar, tetapi tidak berbeda bermakna untuk nilai ph. Masih terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan di dalam penelitian ini. Kelemahan tersebut antara lain, pengukuran viskositas saliva yang dilakukan secara visual akan membutuhkan keahlian dan kalibrasi setiap operator sehingga dapat menghasilkan penilaian yang akurat dan konsisten. Hal yang sama juga berlaku pada pengukuran ph dan kapasitas dapar saliva yang dilakukan secara visual dengan membandingkan warna yang dihasilkan sesuai dengan petunjuk yang dikeluarkan oleh GC. Keahlian dan kalibrasi juga diperlukan dari setiap operator agar dapat menghasilkan penilaian yang akurat dan konsisten. Di lain pihak, pemilihan subyek penelitian yang tidak membatasi jenis kelamin tentunya akan mempengaruhi hasil penilaian. Hal ini dikarenakan kualitas dan kuantitas saliva antara perempuan dan laki-laki berbeda. Dengan demikian, kemungkinan bias yang dapat terjadi dalam penelitian ini akan lebih besar bila dibandingkan dengan penilaian yang secara spesifik membandingkan hasil uji saliva pada subjek dengan jenis kelamin yang sama.