2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Armada Nelayan. Panen. Pasar. Keuntungan

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

PENGHITUNGAN TINGKAT EFISIENSI TEKNIS DAN PENGGUNAAN VARIABEL INPUT ALAT TANGKAP PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPP LAMPULO ACEH

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

ANALISIS KERAGAAN KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP NELAYAN KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHAN BATU SUMATERA UTARA MAILINA HARAHAP

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

Tingkat Efisiensi Kapasitas Perikanan Pukat Cincin di Banda Aceh

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ANALISIS KAPASITAS PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN

Budi Nugraha 1) dan Hufiadi 2) 1) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KAPASITAS UNIT PENANGKAPAN IKAN SKALA KECIL (KASUS PERIKANAN PELAGIS DI KABUPATEN BANGKA) AGUS SUPRIADI HIDAYAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

Indonesia adalah Negara maritime terbesar di dunia, sekitar 2/3 wilayahnya terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

ANALISIS KAPASITAS PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN PESISIR PROVINSI SUMATERA BARAT DESNIARTI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL. Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar. Produksi (ton) Effort (trip) MSY = 5.839,47 R 2 = 0,8993. f opt = ,00 6,000 5,000 4,000

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikanan menjadi sektor penting yang berkontribusi dalam pertumbuhan

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Perikanan Tangkap Sistem perikanan tangkap tersusun oleh tiga komponen utama yaitu subsistem alam (biologi dan lingkungan perairan), subsistem manusia dan subsistem pengelolaan, diantara ketiga komponen utama tersebut memiliki berbagai bentuk interaksi yang kompleks (Charles 2001). Dinamika sistem perikanan tangkap mencakup aspek sumberdaya ikan, armada perikanan, dan komunitas nelayan. Sumberdaya ikan dikendalikan melalui dinamika populasi di alam berupa proses reproduksi dan kematian. Armada perikanan bervariasi dalam dinamika modal, seperti investasi kapal dan alat tangkap baru yang mengalami depresiasi sepanjang waktu. Penangkapan secara langsung akan mengurangi jumlah stok sumberdaya ikan, tetapi disisi nelayan hasil tangkapan merupakan keuntungan yang dapat digunakan untuk menambah modal kembali (Hermawan 2006). Lebih lanjut Charles (2001) menggambarkan interaksi multi-dimensional antara subsistem perikanan tangkap sebagai hubungan kesatuan sistem perikanan tangkap, seperti disajikan pada Gambar 2. Lingkungan Biofisik Ekosistem Lingkungan Sosial Rumah tangga Ikan Armada Nelayan Dinamika Populasi Ikan Dinamika Modal Dinamika Tenaga Kerja Panen Pasca Panen Pasar Kondisi Pasar Keuntungan Gambar 2 Deskripsi sistem perikanan tangkap yang menunjukkan dinamika sumberdaya ikan, armada (modal) dan nelayan (Charles 2001).

9 2.1.1 Sumberdaya Ikan Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (UU RI No. 31 Tahun 2004). Komponen yang menyusun subsistem komunitas ikan meliputi (1) organisme secara individual, (2) populasi, dan komunitas biologi, masing-masing pada suatu tingkat organisasi yang berbeda, dapat diperlakukan sebagai sistem organismik. Meskipun sumberdaya ikan dapat pulih/diperbaharui/memperbaharui (renewable, replenishable), tetapi juga bersifat dapat rusak (depletable/exhaustible). Faktor yang mengatur stok sumberdaya ikan adalah recruitment, pertumbuhan, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan (Widodo dan Suadi 2006). Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya ikan terdiri dari beberapa jenis atau kelompok jenis, yaitu: ikan pelagis (ikan yang hidup di kolom perairan dengan mobilitas tinggi), ikan demersal (ikan yang hidup di dasar perairan dengan mobilitas rendah dan tinggi), dan ikan sedentari (ikan yang dasar perairan dengan mobilitas sangat rendah dan lambat). Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lain. Ikan ini bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line) dan perenang cepat. Ikan pelagis dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1) ikan pelagis besar yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 100 250 cm (ukuran dewasa), seperti tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), setuhuk (Xiphias spp.) dan lamadang (Coryphaena spp.); dan 2) ikan pelagis kecil yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 5 50 cm (ukuran dewasa), seperti kembung (Rastreliger sp.), layang (Decapterus sp.), jenis-jenis selar (Selaroides sp. dan Atele sp.), lemuru (Sardinella sp.) dan teri (Stolephorus sp.) (Bakosurtanal 1998). Produktivitas sumberdaya ikan tertinggi berasal dari daerah perairan pantai. Ekosistem perairan pantai ini diperkirakan menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Begitu juga produksi perikanan Indonesia 70% berasal dari perikanan pantai dengan skala dan struktur usaha, alat tangkap, dan nelayan yang beragam (Garcia dan Moreno 2001).

10 Sumberdaya ikan adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat renewable resources dan common property resources (Gordon 1954). Pengertian sifat renewable adalah dapat dipulihkan, ini memberikan implikasi bahwa manusia dapat memanfaatkan sumberdaya ikan dengan hati-hati sehingga aliran manfaatnya akan ada sepanjang tahun. Adapun pengertian common property adalah hak kepemilikan bersama atas sumberdaya ikan sehingga setiap orang sebagai pemegang hak properti memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Dengan kata lain tidak ada kebebasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Nikijuluw 2002). Menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga sifat khusus pada sumberdaya alam milik bersama termasuk sumberdaya ikan, yaitu: 1) Eskludabilitas, berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya yang dimaksud semakin sulit dan mahal karena sifat sumberdaya ikan terus bergerak di lautan luas. Hal ini menimbulkan kebebasan pemanfaatan sumberdaya tersebut oleh siapa saja sedangkan pengawasan oleh otoritas manajemen menjadi sulit. 2) Substracabilitas, suatu kondisi bagi seseorang untuk menarik manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain, walaupun telah ada kerjasama di antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kompetisi bahkan dapat mengarah ke konflik pemanfaatan sumberdaya. 3) Indivisibilitas, fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun pembagian secara administratif dapat dilakukan. 2.1.2 Armada Perikanan Tangkap Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan (UU RI No 31 Tahun 2004). Sedangkan Perikanan tangkap

11 didefinisikan sebagai perikanan yang berbasis usahanya berupa penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Armada perikanan tangkap merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan. Dengan kata lain, armada perikanan adalah sekelompok kapalkapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Sedangkan unit penangkapan didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan terdiri dari perahu/kapal penangkapan dan alat penangkapan yang di gunakan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). UU RI No. 31 Tahun 2004, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksploitasi perikanan. Berdasarkan fungsinya kapal perikanan, meliputi: kapal penangkapan ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan kapal operasi penangkapan ikan. Menurut Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2005), klasifikasi armada perikanan tangkap terdiri atas: 1) Armada penangkapan ikan skala kecil adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu tanpa motor, atau menggunakan perahu motor tempel, atau kapal motor berukuran < 5 GT. 2) Armada penangkapan ikan skala menengah adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal motor berukuran 5 30 GT. 3) Armada penangkapan ikan skala besar adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal berukuran > 30 GT.

12 Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85%, dan hanya 15% dilakukan oleh perikanan skala besar. Struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor sekitar 50%, perahu motor tempel 26% dan kapal motor 24%. Armada kapal motor ini didominasi oleh kapal motor berukuran dibawah 5 GT sekitar 72%, kapal motor berukuran 5 10 GT sekitar 14% dan kapal motor berukuran diatas 10 GT berkisar 14% (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Dominasi jumlah armada dibawah 10 GT memperlihatkan perikanan skala kecil sangat berperan dalam perikanan nasional. Kebijakan pembangunan perikanan tangkap diarahkan untuk (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri; (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Kebijakan pertama mencerminkan peran perikanan tangkap yang diharapkan, sehingga kebijakan tersebut bersifat tujuan pembangunan perikanan; kebijakan kedua mencerminkan pendekatan yang diterapkan, yaitu strategi untuk memperbaiki kinerja armada penangkapan ikan dan keberpihakan kepada stakeholder domestik; sedangkan kebijakan yang ketiga mencerminkan strategi untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries). Paradigma perikanan berkelanjutan ini sangat penting dalam penangkapan ikan ketika populasi ikan menjadi semakin terbatas dan wilayah pengelolaan perikanan mengalami kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan (overexploited). Perikanan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan ketersediaan stok ikan, guna menjamin aset sumberdaya ikan yang minimal sama untuk generasi mendatang.

13 2.1.3 Nelayan Nelayan didefiniskan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (UU RI No 31 Tahun 2004). Pengertian lebih luas, nelayan adalah orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo dan Suadi 2006). Charles (2001) membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: 1) Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 2) Nelayan asli (native/indegenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersil walaupun dalam skala yang lebih kecil. 3) Nelayan rekreasi (recreation/sport fisher), yaitu orang yang secara prinsip melakukan penangkapan ikan hanya untuk sekedar kesenangan atau olah raga. 4) Nelayan komersil (commercial fishers), yaitu kelompok/orang yang menangkap ikan untuk tujuan komersil. Kelompok ini terdiri dari nelayan skala kecil/artisanal dan nelayan skala besar/industri. Lebih lanjut Charles (2001) menyatakan, usaha perikanan secara umum dibagi dua yaitu usaha perikanan skala kecil/artisanal dan usaha perikanan skala besar (industri). Usaha perikanan skala kecil/artisanal adalah penangkapan ikan untuk komersil tetapi tingkatnya masih rendah dan usaha perikanan industri adalah penangkapan ikan untuk komersil dengan armada dan modal yang intensif. Karakteristik perikanan skala kecil berdasarkan technico-sosio-economic, dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional (Smith 1979). Adapun ciri-ciri dari perikanan tradisional adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri. 4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5) Investasi rendah dengan modal; pinjaman dari penampung hasil tangkapan.

14 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada tingkat sedang sampai sangat rendah. 7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut. 8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. 9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal. Nelayan dapat dibagi berdasarkan daya jangkau armada penangkapan dan juga lokasi penangkapan, nelayan dibagi tiga, yaitu: (1) perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil; (2) perikanan lepas pantai untuk ukuran kapal 30 GT; dan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar diatas 100 GT (Widodo dan Suadi 2006). Hampir sekitar 85% nelayan di Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar perairan pantai (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005; Wiyono 2005). Kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan skala kecil masih diidentikan dengan kemiskinan. Hal ini menunjukkan usaha perikanan skala kecil masih tidak efiesien, dimana upaya penangkapan melebihi ketersediaan dari sumberdaya yang ada (Wiyono dan Wahju 2006). 2.2 Penangkapan Berlebih (Overfishing) Pada umumnya sumberdaya ikan masih dianggap bersifat open access yakni pemanfaatannya secara terbuka oleh siapa saja dan kapan saja, sehingga menimbulkan persaingan antar nelayan, persaingan teknologi dan modal. Proses persaingan tersebut dalam perairan open access akan menimbulkan tangkap lebih secara ekonomis (economic overfishing), karena pemanfaatan perikanan tidak terkontrol. Kondisi ini akan berlanjut sampai melampaui suatu titik profit total maksimum sehingga terjadi overcapacity (melampaui kapasitas kemampuan menanggung dan mengakomodasi tekanan eksploitasi), investasi berlebihan (over-

15 capitalization) dan tenaga kerja berlebihan (over-employment) (Widodo dan Suadi 2006). Overfishing atau tangkap lebih dapat diartikan sebagai suatu jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu (Fauzi 2005). Berdasarkan karakteristiknya overfishing dapat dikelompokan menjadi empat tipe, yaitu: 1) Recruitment overfishing, situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi melakukan reproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi. 2) Growth overfishing, situasi dimana stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum. 3) Ekonomic overfishing, jika rasio biaya input dan harga output terlalu besar atau jumlah input yang digunakan lebih besar dari pada input yang dibutuhkan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum. 4) Malthusian overfishing, terjadi jika nelayan skala kecil yang umumnya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan, dengan menghadapi hasil tangkapan yang menurun. Selanjutnya Widodo dan Suadi (2006) menambahkan dua tipe overfishing lagi, yaitu: 1) Biological overfishing, kombinasi dari growth dan recruitment overfishing akan terjadi jika tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat MSY. Pencegahan terhadap tipe overfishing ini meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan ikan. 2) Ecosystem overfishing, dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis suatu stok ikan sebagai akibat dari upaya penangkapan berlebih, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis pengganti. Tipe overfishing ini menimbulkan pergantian dari ikan bernilai ekonomi tinggi kepada ikan kurang bernilai ekonomi. Secara sederhana overfishing dapat dideteksi dengan melihat hasil tangkapan per satuan upaya (Catch Per Unit Effort/CPUE) yang semakin menurun. Adanya penurunan CPUE mencerminkan bahwa kegiatan pemanfaatan

16 sumberdaya ikan semakin tidak efisien dan semakin terbatasnya sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan nelayan. Indikasi ketidak-efisienan dapat dilihat dari semakin banyaknya energi, dana dan waktu yang dikerahkan untuk memperoleh ikan serta semakin kecilnya individu ikan yang tertangkap dan penurunan total produksi perikanan (King 1995; Gordon 1954). Overfishing telah menjadi masalah serius terhadap perikanan dunia, kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut menimbulkan over exploitation dan economic waste yang sangat besar (FAO 1998). Gejala overfishing juga telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa dan Bali. Overfishing tidak hanya menyebabkan penurunan sejumlah stok ikan tetapi juga menimbulkan krisis ekologi, ekonomi dan sosial di wilayah utama perikanan khususnya daerah pantai (Nikijuluw 2002). Begitu pula perairan Kabupaten Bangka yang merupakan bagian perairan pantai timur Sumatera, potensi perikanan ikan tenggiri (ikan pelagis) sedang menghadapi gejala overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Upaya penangkapan aktual rata-rata ikan tenggiri (ikan pelagis) mencapai 798 trip per bulan, telah melebihi kondisi maximum sustainable yield (MSY) sebesar 491 trip per bulan dan kondisi maximum ekonomi yield (MEY) sebesar 381 trip per bulan (Febrianto 2008). Pemecahan masalah overfishing merupakan suatu tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu melibatkan stakeholder. Pemberian subsidi pada sektor perikanan tanpa memperhatikan jumlah stok ikan bukan merupakan solusi yang tepat, karena pemberian subsidi tersebut akan menambah kapasitas penangkapan ikan tetapi stok ikan relatif tidak bertambah. Konsekuensinya akan menimbulkan masalah kapasitas berlebih, yang berkaitan dengan overfishing (Fauzi 2005). 2.3 Kapasitas dan Kapasitas Berlebih (Excess Capacity) Kapasitas didefinisikan sebagai jumlah keluaran (output) yang dapat dihasilkan oleh suatu sistem produksi dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, kemampuan suatu unit produksi (input) untuk menghasilkan sejumlah produk (output) pada periode waktu tertentu (Chase et al. 2001). Menurut Pascoe dan

17 Herrero (2004), konsep kapasitas dapat diartikan berdasarkan pendekatan teknis (engineering), teknologi, dan ekonomi. Berdasarkan konsep teknologi diartikan sebagai output potensial maksimum yang dapat diproduksi oleh perusahaan atau industri, dengan teknologi, stok kapital dan faktor produksi lainnya tanpa keterbatasan faktor produksi dalam jangka pendek. Hal ini ditegaskan Johansen (1968) diacu Kirkley et al. (2001), kapasitas merupakan jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan teknologi, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi. Kapasitas output didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat diproduksi dengan menggunakan faktor produksi variabel (penggunaannya tidak dibatasi) dan faktor produksi tetap (fixed input) pada suatu teknologi tertentu (Johansen 1968 diacu Kirkley et al. 2001). Secara grafis, konsep kapasitas disajikan dalam bentuk kurva produksi (Gambar 3). Dalam bentuk fungsi, kurva produksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Y = g (X,Z)... (1) Keterangan : Y = ouput X = faktor input variable Z = faktor input tetap g = menunjukkan bentuk teknologi dalam memproduksi suatu tingkat output maksimum dengan menggunakan sejumlah input. Ilustrasi Gambar 3, menunjukkan output maksimum (YA) dicapai dengan menggunakan sejumlah input variabel (XA) dan sejumlah Z input tetap pada teknologi tertentu.

18 Y A Outpu Y=g (X,Z) 0 X Input X Gambar 3 Kurva fungsi produksi. Kapasitas penangkapan ikan (fishing capacity) lebih kompleks untuk didefinisikan karena hasil tangkapan (output pada usaha perikanan tangkap) sangat tergantung pada tingkat populasi ikan, semakin besar populasi ikan maka semakin besar hasil tangkapan, dan sebaliknya (Kirley and Squires 1999). Kapasitas penangkapan (fishing capacity) dapat didefiniskan sebagai jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal pada suatu periode tertentu (musim atau tahunan) pada tingkat biomasa dan struktur populasi, serta pada teknologi tertentu (FAO 1998; Wiyono 2005). Kapasitas penangkapan ikan telah menjadi pembicaraan utama pada masyarakat perikanan internasional. Hal ini disebabkan banyak terjadi kelebihan kapasitas penangkapan (overcapacity) dan kelebihan input (excees capacity) pada perikanan dunia yang dapat mengancam sumberdaya ikan atau krisis perikanan global (Vestergaard 2005). Menurut Fauzi (2005), kelebihan kapasitas di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: (1) tidak sehatnya sektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumberdaya ikan dan lingkungan menjadi lebih persisten; (2) eksploitasi sumberdaya ikan dengan intensif melebihi titik lestarinya agar armada perikanan terus beroperasi pada armada begitu padat, maka pengurangan armada akan sulit dilakukan baik secara politis maupun sosial; dan (3) menimbulkan inefisiensi dan memicu economic

19 waste sumberdaya yang ada disamping menimbulkan komplikasi pengelolaan perikanan, terutama dalam situasi akses terbuka (open access). Kapasitas berlebih diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu. Kapasitas berlebih yang berlangsung terus menerus dalam jangka panjang pada akhirnya akan menyebabkan over fishing, yang ditandai dengan gejala pada suatu sumberdaya ikan, antara lain: (1) hasil tangkapan nelayan yang terus menurun, (2) daerah penangkapan (fishing ground) semakin jauh dan (3) ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil (Widodo 2003). Hal senada dikatakan Murdiyanto (2004), tingkat pemanfaatan berlebih melewati nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (CPUE). Kapasitas berlebih tidak selalu disebabkan oleh teknologi penangkapan modern dengan armada kapal yang besar dan cepat, tetapi kapasitas berlebih dapat terjadi pada perikanan skala kecil. Seperti halnya di Indonesia, peningkatan armada penangkapan ikan skala kecil di perairan pantai telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan kapasitas berlebih dan pengurangan kelebihan jumlah upaya penangkapan (Berkes et al. 2001). Dengan kata lain, kapasitas berlebih terjadi bukan karena secara teknologi namun lebih kepada ketidakefisienan pengoperasian perikanan skala kecil yang disebabkan berlebihnya input perikanan tangkap dibandingkan dengan sumberdaya yang ada (Wiyono dan Wahju 2006). Pemecahan masalah kapasitas berlebih merupakan tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Konsep pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan (capacity utilization dan capacity measurement) merupakan salah satu terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Konsep ini mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi dan rekonstruksi pembangunan perikanan tangkap di masa mendatang (Fauzi 2005).

20 2.4 Pengukuran Kapasitas Penangkapan Ikan Ada berbagai metode untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan, namun metode peak to peak dan data envolopment analysis (DEA) cukup dapat diandalkan untuk diaplikasikan terkait ekonomi-teknologi. Metode peak to peak sangat cocok digunakan pada kondisi data bersifat ekstrim, misalnya data tersedia hanya produksi dan jumlah kapal. Sedangkan metode DEA adalah model matematika non-parametrik dengan teknik linier programing berorientasi pada input dan output yang pertama kali diperkenalkan Charnes, Cooper and Rhodes pada tahun 1978 dan kemudian dikembangkan Fare et al. (1989; 1994) dan disarankan untuk perikanan oleh Kirley dan Squires (1999). Food and Agricultural Organization (FAO) dan International Plan of Action (IPOA) merekomendasikan DEA sebagai alat yang layak untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan (Kirley et al. 2001). Model DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (Dyson et al. 1990 diacu Fauzi dan Anna 2005). Model DEA memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pendekatan model ini mampu mengestimasi kapasitas dibawah kendala kebijakan tertentu, seperti misalnya Total Allowable Catch (TAC), pajak, ukuran kapal dan sosioekonomi. Keistimewaan DEA lainnya dapat mengakomodasi multiple input dan multiple output. Hal ini sangat berguna untuk pengkajian di perikanan yang sifatnya multi-spesies dan multi-gear (Kirkley and Squires 1999). Sedangkan keterbatasan DEA berupa kesulitan menemukan pembobotan yang seimbang antara input dan output dan mengalami kesulitan dalam uji hipotesis statistik, seperti stochastic frointer dan fungsi Cobb-Douglas. Kelemahan DEA lainnya adalah ketika sejumlah input (variabel maupun tetap) dan output dikeluarkan dalam analisis akan sangat berpengaruh pada nilai efisiensi perusahaan (Fauzi dan Anna 2005). Kemampuan DEA untuk mengakomodasi multiple input dan multiple output pertama kali diajukan oleh Charnes et al. (1978) dengan cara memasukan faktor pembobot dari setiap input dan output yang digunakan, seperti persamaan berikut: r u r v ro Maxh o ( u, v ) =... (2) u v i i io

21 Subject to urvrj r 1 v x i i i i ur u x i vi u x i ij io io ε ε, j = 0, 1,2,..., J... (3), r = 1,2,, R. (4), i = 1,2,..., I. (5) Keterangan : v rj = jumlah output r yang diproduksi oleh DMU j x ij = jumlah input i yang diproduksi oleh DMU j u r = bobot dari output r v i = bobot dari input i Estimasi rasio memberikan sebuah ukuran efisiensi teknis (TE) dari masingmasing decision making unit (DMU). Akan tetapi terdapat kendala dalam pemecahan persamaan di atas karena berbentuk fraksional. Dengan cara linearisasi maka persamaan diatas dapat dipecahkan dan menghasilkan persamaan seperti berikut: Max u, vwo urvro...(6) Subject to I i= 1 = r v = 1... (7) ix io u r = ε v i = ε, r = 1,2,, R. (8), i = 1,2,..., I. (9) Selanjutnya Farë et al. (1994) melakukan variasi pengembangan dari pendekatan linear programming untuk model efisiensi, produktivitas dan kapasitas. Model yang dikembangkan Farë et al. tersebut antara lain inputoriented technical efficiency dan output-oriented technical capacity. Golany dan Roll (1989) diacu Anna (2003), menyatakan bahwa ada tiga tahapan penggunaan DEA yaitu: (1) mendefinisikan dan menyeleksi DMU, seluruh unit dengan tujuan, penggunaan input dan output yang dihasilkan harus

22 sama; (2) menentukan variabel input dan output DMU; dan (3) mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya. 2.5 Musim Penangkapan Ikan Fluktuasi hasil tangkapan dipengaruhi oleh keberadaan ikan, jumlah upaya penangkapan dan tingkat keberhasilan operasi penangkapan ikan. Respon ikan terhadap musim antar lain akan mendekati atau menjauhi suatu daerah penangkapan, menyebar atau bergerombol dan terjadinya perubahan stok perikanan karena kondisi oceanografi. Respon upaya penangkapan ikan terhadap musim di antaranya kebanyakan ikan yang ditangkap, keadaan cuaca dan keuntungan yang diperoleh. Hasil tangkapan tidak hanya dipengaruhi oleh kelimpahan ikan pada suatu saat, tetapi tergantung juga kepada jumlah unit dan efisiensi unit alat tangkap, lamanya operasi penangkapan dan ketersediaan yang ditangkap (Laevastu dan Favorite 1988). Untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisien diperlukan adanya informasi yang tepat, seperti saat musim penangkapan ikan yang baik. Informasi mengenai pola musim penangkapan ikan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksanaan operasi penangkapan. Perhitungan pola musim penangkapan ikan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan bulanan. Pola musim penangkapan dapat dianalisis dengan mengggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving avarage) yang dikemukakan Dajan (1986). Keuntungan menggunakan metode rata-rata bergerak yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan dan dapat menghilangkan trend atau kecenderungan yang bisa dijumpai pada metode deret waktu. Kelemahan dari metode ini tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data. 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan perlagis di Kabupaten Bangka baru dilakukan oleh Febrianto (2008), dengan fokus penelitian potensi ikan tenggiri dengan menggunakan metode surplus produksi. Hasil

23 penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di perairan Kabupaten Bangka telah melebihi hasil tangkapan lestari (MSY) dan total produksi MEY, sehingga diduga sumberdaya ikan tenggiri telah mengalami gejala overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Penelitian untuk menghitung kapasitas penangkapan dengan menggunakan model data envelopment analysis (DEA) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya: 1) Tingley et al. (2002), menggunakan model DEA untuk menganalisis kapasitas penangkapan multi-purpose dan multi-gear di English Chanel. Hasil analisisnya menyatakan perhitungan CU dan TE multi output lebih akurat dibandingkan dengan perhitungan single output. 2) Kirley et al. (2003), menggunakan model DEA output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Semenanjung Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih sebesar 249.194 pounds dan direkomendasikan sebanyak 10 kapal tidak efisien sehingga perlu ditarik dari perairan tersebut. 3) Fauzi dan Anna (2005), menggunakan model DEA single output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil di pesisir DKI Jakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih pada perikanan bubu, muroami dan pancing, sehingga diperlukan intervensi pengurangan input untuk alat tangkap tersebut. 4) Sularso (2005), menggunakan model DEA single output output oriented untuk menganalisis alternatif pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perikanan pukat udang di Arafura saat itu telah mengalami overfishing, sehingga direkomendasikan alternatif pengelolaan berupa penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan pengaturan kuota. 5) Wiyono dan wahyu (2006), menggunakan model DEA single output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil pantai dengan studi kasus unit perikanan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pancing ulur tidak optimal dan telah terjadi kapasitas berlebih.

24 6) Desniarti (2007), menggunakan model DEA single output untuk menganalisis kapasitas perikanan pelagis di pesisir Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah melebihi MSY, sedangkan pemanfaatan ikan pelagis besar masih kurang dari produksi optimal. 7) Efendi (2007) dan Hufiadi (2008), menggunakan model DEA input oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Laut Jawa. Hasil penelitian keduanya menunjukkan kondisi perikanan pukat cincin di Laut Jawa telah mengalami kapasitas berlebih dan overfishing. Perbedaan kedua penelitian ini, pada penelitian Efendi hanya menggunakan single output sedangkan Hufiadi menggunakan DEA single dan multi output. Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis tingkat kapasitas unit penangkapan ikan skala kecil menurut musim di perairan pantai timur Kabupaten Bangka. Metode yang digunakan adalah model DEA output oriented dengan perhitungan single dan multi output. Penelitian ini juga mengkaji pola musim penangkapan ikan yang diduga turut berpengaruh terhadap tingkat kapasitas unit penangkapan ikan skala kecil.