HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber berhasil dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer berdasarkan Huang et al. (2008). Keberhasilan amplifikasi sebesar 86,67%, karena dari total 330 sampel yang berhasil diamplifikasi sebanyak 286 sampel. Sampel yang tidak berhasil diamplifikasi dapat disebabkan DNA yang terambil dari sampel tidak mencukupi keberhasilan amplifikasi, sampel yang sudah didistribusi terlalu lama disimpan dalam refrigerator, saat mencampur yang tidak sesuai prosedur, dan mengelektroforesis hasil PCR yang sudah lama disimpan. Menurut Muladno (2002), denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagal pada proses amplifikasi. Selain itu, konsentrasi enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA pada sekuens yang bukan target. Hasil amplifikasi fragmen gen Pit1 exon 3 sapi dari semua lokasi divisualisasikan pada gel agarose 1,5% (Gambar 4). M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 200 234 100 Keterangan : M = Marker 100 bp; 1-14 = sampel sapi FH Gambar 4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen Pit1 Exon 3 Gen Pit1 memiliki panjang sekuen nukleotida 5.787 pb, yang terdiri atas enam exon dan dipisahkan lima intron (Bastos et al., 2006a). Berdasarkan pasangan 17
primer yang digunakan, panjang produk hasil amplifikasi fragmen gen Pit1 exon 3 adalah 234 pb. Panjang fragmen ini sesuai dengan Huang et al. (2008). Posisi penempelan pasangan primer pada sekuan gen Pit1 exon 3 disajikan pada Gambar 5. Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan kondisi penempelan primer pada gen target dan kondisi thermocycler (suhu denaturasi, annealing, dan ekstensi). Selain itu, juga bergantung pada interaksi komponen pereaksi PCR dalam konsentrasi yang tepat (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini adalah 60 o C selama 45 detik sesuai dengan yang disarankan oleh Mitra et al. (1995) bahwa penempelan primer (annealing) terjadi pada suhu 60 o C, namun digunakan waktu yang berbeda, yaitu selama 40 detik. Keragaman Gen Pit1 StuI Exon 3 Keragaman gen Pit1 exon 3 diketahui dengan menentukan alel dan genotipe pada setiap individu melalui pendekatan PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi StuI. Enzim tersebut hanya mengenali situs pemotongan enam basa, yaitu AGG CCT. Penentuan alel A dan C ditunjukkan dengan jumlah dan ukuran fragmen yang terpotong. Huang et al. (2008) menyatakan jika hasil PCR-RFLP gen Pit1 exon 3 terdapat dua alel yakni alel A (234 bp) dan alel C (37 bp, 197 bp). Namun, pada penelitian ini didapatkan Alel A sepanjang 234 bp dan Alel C sepanjang 38 bp dan 196 bp. Perbedaan fragmen antara alel A dan C diakibatkan oleh mutasi yang menyebabkan enzim StuI tidak mengenali situs pemotongan basa baru. Perbedaan fragmen gen Pit1 exon 3 dapat dilihat berdasarkan sekuen gen Pit1 exon 3 (dalam Gene Bank, kode akses : GU325800) yang terdapat pada Gambar 5. Mutasi dapat terjadi pada level DNA akibat perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T = Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk substitusi (transisi atau transversi), delesi (hilang), atau insersi dan inversi (Nei, 1987). Terjadi mutasi substitusi transversi berdasarkan perbedaan situs pemotongan basa pada masingmasing alel (Gambar 5). Substitusi transversi antara basa pirimidin, yaitu C (sitosin) menjadi basa purin, yaitu A (adenin) mengubah situs pemotongan enzim restriksi StuI. Perubahan basa tersebut menyebabkan asam amino proline berubah menjadi asam amino histidine (CCU-proline; CAU-histidine) sehingga mutasi berefek non synonymous. Non synonimous terjadi pada situs aktif protein dan menyebabkan perubahan asam amino (Nei, 1987 ; Paolella, 1997). 18
Forward 1 gagggataat tacaaatggt ccttttcttg ttgttacagg gagcttaagg CCTtgtcttt 61 ataagtttcc tgaccacacg ctgagtcatg gttttcctcc catgcatcag cctctccttt 121 cagaggatcc tacagccgct gatttcaagc aggagctcag gcggaaaagc aaattgatcg 181 aagagccaat agacatggat tctccagaaa tccgagaact tgaaaagttt gccaatgagt 241 ttaaagtgag aagaattaag ctaggtaggt gcttgttaac agctgtggga cacac Reverse Alel A: -----gagcttaaggcattgtcttt----- Alel C: -----gagcttaagg CCTtgtcttt----- Keterangan : Alel A mempunyai basa A pada posisi basa ke 40 Alel C mempunyai basa C pada posisi basa ke 40 Gambar 5. Posisi Penempelan Primer (Cetak Tebal dan Garis Bawah), Perbedaan, dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi StuI Berdasarkan Sekuen Gen Pit1 Exon 3 (Terjadi Mutasi pada Basa ke-40) (Gene Bank Code: GU325800) Genotipe gen Pit1 exon 3 dapat diketahui dengan melihat panjang fragmen ruas gen Pit1 exon 3 menggunakan agarosa 2% (Gambar 6). Fragmen yang memiliki satu pita dikenal dengan AA. Genotipe AA diketahui jika pita berada pada 234 bp. Genotipe ini memiliki satu fragmen karena mutasi dari basa C ke basa A sehingga situs potong AGG CCT tidak lagi dikenali oleh enzim StuI. Fragmen yang memiliki dua pita dikenal dengan CC. Genotipe CC jika pita berada pada 196 bp dan 38 bp. Fragmen gabungan (memiliki tiga pita) dengan genotipe AC (234 bp, 196 bp, dan 38 bp). Individu bergenotipe AA dan CC dikenal sebagai individu yang homozigot, sedangkan individu bergenotipe AC dikenal sebagai individu yang heterozigot. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dua macam alel pada kelima lokasi, yaitu alel A dan alel C. Dua macam alel ini menyebabkan terbentuknya tiga macam genotipe, yaitu AA, AC, dan CC pada sapi FH di BBIB Singosari, BPPT Cikole, dan KPSBU Pasir Kemis, kemudian ditemukan dua macam genotipe, yaitu AC dan CC pada sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber. Hasil yang didapat menyatakan bahwa sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber tidak ada yang bergenotipe AA, hal ini dapat dikatakan bahwa sapi FH dari lokasi tersebut hanya sedikit yang bermutasi pada gen Pit1 StuI exon 3. Genotipe CC merupakan genotipe yang tidak mengalami mutasi, dapat disimpulkan bahwa sapi FH dari kelima lokasi tersebut lebih banyak yang tidak bermutasi (normal) pada gen Pit1 StuI exon 3. 19
M CC CC CC CC CC CC CC CC CC AC CC AA CC 200 100 234 196 Keterangan: M = Marker 100 bp; AA = 234 bp; AC = 234 bp, 196 bp, dan 38 bp; dan CC = 196 bp dan 38 bp Gambar 6. Pola Pita Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 Exon 3 Sapi FH dengan Enzim Restriksi StuI Menggunakan Metode PCR- RFLP Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen Pit1 StuI dapat dilihat pada Tabel 3. Frekuensi genotipe CC memiliki nilai yang paling besar di antara frekuensi genotipe yang lain pada sapi FH dari kelima lokasi tersebut. Frekuensi alel C memiliki nilai yang paling besar di antara frekuensi alel yang lain pada sapi FH dari kelima lokasi tersebut. Tabel 3. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen Pit1 Exon 3 pada Sapi Friesian Holstein Asal Sampel Jumlah Sampel Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel AA AC CC A C BIB Lembang 14 0,000 (0) 0,071 (1) 0,929 (13) 0,036 0,964 BBIB Singosari 25 0,040 (1) 0,120 (3) 0,840 (21) 0,100 0,900 BPPT-SP Cikole 81 0,111 (9) 0,136 (11) 0,753 (61) 0,179 0,821 KPSBU Pasir Kemis 93 0,022 (2) 0,043 (4) 0,935 (87) 0,043 0,957 KPSBU Cilumber 73 0,000 0,068 0,932 0,034 0,966 (0) (5) (68) Total 286 0,042 (12) 0,084 (24) 0,874 (250) 0,084 0,916 Keterangan: ( ) adalah jumlah sampel sapi 20
Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada sapi FH dari BIB Lembang memiliki genotipe CC terbanyak dengan frekuensi 0,929; begitupun dengan sapi FH dari BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber memiliki genotipe CC terbanyak dengan frekuensi masing-masing 0,840; 0,753; 0,935; dan 0,935 (Gambar 8). Secara keseluruhan dari lima lokasi tersebut, genotipe CC yang paling banyak dimiliki oleh sapi FH dengan rataan frekuensi 0,874. Sapi FH yang berasal dari BIB Lembang dan BBIB Singosari merupakan sapi pejantan; dan kemungkinan sapi tersebut dijadikan sapi pejantan unggul terseleksi sifat produksi susu tinggi yang aktif digunakan dalam inseminasi buatan (IB). Sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber terdapat tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu AA, AC, dan CC, sehingga hanya terdapat dua tipe alel yang ditemukan, yaitu alel A dan C. Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Hasil analisis frekuensi alel menunjukkan seluruh sapi FH dari kelima lokasi tersebut memiliki alel C lebih banyak dibandingkan dengan alel A. Sapi FH dari BIB Lembang memiliki alel C yang lebih banyak dibandingkan dengan alel A dengan frekuensi 0,964; begitupun dengan sapi FH dari BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber dengan frekuensi masing-masing 0,900; 0,821; 0,957; dan 0,966 (Gambar 7). Nei (1987) menyatakan bahwa suatu alel termasuk polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99; namun jika terjadi sebaliknya maka bersifat monomorfik atau seragam. Berdasarkan hasil yang didapat maka sapi FH dari lima lokasi tersebut merupakan polimorfik karena nilai frekuensi alelnya berada di bawah 0,99. Semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002). 21
A C Frekuensi Alel 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 BIB BBIB BPPT PK Cilum Asal Sampel Keterangan : BIB = BIB Lembang ( ), BBIB = BBIB Singosari ( ), BPPT = BPPT-SP Cikole ( ), PK = KPSBU Pasir Kemis ( ), dan Cilum = KPSBU Cilumber ( ) Gambar 7. Frekuensi Alel Gen Pit1 StuI Exon 3 pada Sapi FH AA AC CC Frekuensi Genotipe 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 BIB BBIB BPPT PK Cilum Asal Sampel Keterangan : BIB = BIB Lembang ( ), BBIB = BBIB Singosari ( ), BPPT = BPPT-SP Cikole ( ), PK = KPSBU Pasir Kemis ( ), dan Cilum = KPSBU Cilumber ( ) Gambar 8. Frekuensi Genotipe Gen Pit1 StuI Exon 3 pada Sapi FH Keseimbangan Hardy-Weinberg Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak, yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Keseimbangan variasi genotipe penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (χ2). Analisis Chi-Kuadrat dapat digunakan 22
untuk mengetahui keseimbangan frekuensi genotipe (p 2, 2pq, q 2 ) atau frekuensi alel (p dan q) pada suatu populasi ternak. Hasil analisis Chi-Kuadrat pada sapi FH dari lima lokasi tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Berdasarkan Uji χ 2 Asal Sampel (ekor) χ 2 Hitung χ 2 Tabel BIB Lembang (14) Td BBIB Singosari (25) 2,778 tn BPPT-SP Cikole (81) 23,443 n 3,84 KPSBU Pasir Kemis (93) 21,207 n KPSBU Cilumber (73) Td Keterangan : tn = tidak nyata; n = nyata; dan Td = tidak dapat dihitung Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi FH dari BIB Lembang dan KPSBU Cilumber tidak dapat dihitung, hal ini dikarenakan jumlah genotipe pada sapi yang diteliti tersebut tidak memenuhi asumsi untuk dianalisis keseimbangan Hardy- Weinberg. Derajat bebas χ2 merupakan hasil pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel (Allendorf dan Luikart, 2007). Sementara jumlah genotipe yang dimiliki sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber hanya dua sehingga menghasilkan derajat bebas 0. Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi dari BBIB Singosari tidak berbeda nyata, hal ini dikarenakan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tabel, berarti sapi FH dari lokasi tersebut berada dalam keseimbangan Hardy- Weinberg. Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi FH dari BPPT-SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis berbeda nyata, hal ini dikarenakan nilai χ 2 hitung lebih besar dari nilai χ 2 tabel, berarti sapi FH dari dua lokasi tersebut tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Sapi FH dari BBIB Singosari berada dalam keadaan keseimbangan, hal ini dapat dikatakan bahwa seleksi yang dilakukan bukan berdasarkan seleksi gen Pit1 exon 3. Sapi FH dari BPPT-SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis berada dalam keadaan tidak seimbang. Hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang dipakai tidak cukup besar dan sistem perkawinan yang diterapkan adalah sistem perkawinan buatan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) sehingga tidak lagi memenuhi kaidah keseimbangan Hardy-Weinberg yang mengacu kepada sistem perkawinan acak. 23
Heterozigositas Pendugaan nilai heterozigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya (Marson et al., 2005). Nilai heterozigositas harapan (He) didapat untuk mengetahui perbedaan nilai tersebut terhadap nilai heterozigositas pengamatan (Ho). Hasil analisis heterozigositas pada lima populasi sapi FH tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas Harapan (He) Gen Pit1 StuI exon 3 pada Sapi FH Asal Sampel (ekor) Ho He BIB Lembang (14) 0,071 0,069 BBIB Singosari (25) 0,120 0,180 BPPT-SP Cikole (81) 0,136 0,294 KPSBU Pasir Kemis (93) 0,043 0,082 KPSBU Cilumber (73) 0,068 0,066 Nilai heterozigositas gen Pit1 StuI exon 3 pada sampel sapi FH di lima lokasi diperoleh berdasarkan frekuensi alel. Heterozigositas disebut juga sebagai rataan keragaman genetik. Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik (Marson et al., 2005). Berdasarkan hasil analisis nilai heterozigositas sapi FH dari lima lokasi, nilai heterozigositas tertinggi adalah sapi FH dari BPPT-SP Cikole, yaitu sebesar 0,136 dan nilai heterozigositas terendah adalah sapi FH dari KPSBU Pasir Kemis, yaitu sebesar 0,043. Secara rataan nilai Ho lebih kecil dibandingkan dengan nilai He, hal ini dapat mengindikasikan bahwa variasi gen Pit1 exon 3 pada lima lokasi tersebut adalah rendah. Frekuensi genotipe CC (homozigot) yang lebih tinggi di BIB Lembang dan BBIB Singosari mengakibatkan tingginya frekuensi genotipe CC di BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir kemis, dan KPSBU Cilumber karena ketiga lokasi ini mendapatkan semen untuk melakukan perkawinan dari BIB Lembang dan BBIB Singosari sehingga meningkatkan homozigositas dan menurunkan heterozigositas yang ada. Selain itu, menurut Javanmard et al. (2005) nilai heterozigositas kurang dari 0,5 mengindikasi bahwa variasi gen dalam suatu populasi adalah rendah. Avise 24
(1994) menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. 25