HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Perah FH di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keragaman Protein Plasma Darah

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

4 Hasil dan Pembahasan

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN LAKTOFERIN (LTF EcoRI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI DAN BET CIPELANG

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH MspI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN β-laktoglobulin PADA SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI KPSBU LEMBANG SKRIPSI RATNA YUNITA HANDAYANI

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. telah banyak dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena munculnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V STUDI KASUS: HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a)

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN ATP BINDING CASSETTE (ABCG2 PstI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP WINDA TRISTIA NOVITASARI

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

Elektroforesis Hasil Amplifikasi Analisis Segregasi Marka SSR Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan Primer Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Burung walet sarang

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN APO VERY LOW DENSITY LIPOPROTEIN-II (ApoVLDL-II SfcI) PADA AYAM LOKAL DENGAN METODE PCR-RFLP ADY MULYANA

MINGGU VI UJI CHI SQUARE. Dyah Maharani, Ph.D.

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

REKAYASA GENETIKA. By: Ace Baehaki, S.Pi, M.Si

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. ISOLASI DNA GENOM PADI (Oryza sativa L.) KULTIVAR ROJOLELE,

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR (FSHR Alu-1) PADA SAPI LOKAL INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

menggunakan program MEGA versi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Isolasi DNA genom tanaman padi T0 telah dilakukan pada 118

Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan Reseptor (GHR) pada Sapi Perah Friesian Holstein

DNA FINGERPRINT. SPU MPKT B khusus untuk UI

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN -KASEIN (CSN2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH, SAANEN DAN PERSILANGANNYA DENGAN METODE PCR-SSCP

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

BIO306. Prinsip Bioteknologi

KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber berhasil dilakukan dengan metode PCR menggunakan primer berdasarkan Huang et al. (2008). Keberhasilan amplifikasi sebesar 86,67%, karena dari total 330 sampel yang berhasil diamplifikasi sebanyak 286 sampel. Sampel yang tidak berhasil diamplifikasi dapat disebabkan DNA yang terambil dari sampel tidak mencukupi keberhasilan amplifikasi, sampel yang sudah didistribusi terlalu lama disimpan dalam refrigerator, saat mencampur yang tidak sesuai prosedur, dan mengelektroforesis hasil PCR yang sudah lama disimpan. Menurut Muladno (2002), denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagal pada proses amplifikasi. Selain itu, konsentrasi enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA pada sekuens yang bukan target. Hasil amplifikasi fragmen gen Pit1 exon 3 sapi dari semua lokasi divisualisasikan pada gel agarose 1,5% (Gambar 4). M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 200 234 100 Keterangan : M = Marker 100 bp; 1-14 = sampel sapi FH Gambar 4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen Pit1 Exon 3 Gen Pit1 memiliki panjang sekuen nukleotida 5.787 pb, yang terdiri atas enam exon dan dipisahkan lima intron (Bastos et al., 2006a). Berdasarkan pasangan 17

primer yang digunakan, panjang produk hasil amplifikasi fragmen gen Pit1 exon 3 adalah 234 pb. Panjang fragmen ini sesuai dengan Huang et al. (2008). Posisi penempelan pasangan primer pada sekuan gen Pit1 exon 3 disajikan pada Gambar 5. Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan kondisi penempelan primer pada gen target dan kondisi thermocycler (suhu denaturasi, annealing, dan ekstensi). Selain itu, juga bergantung pada interaksi komponen pereaksi PCR dalam konsentrasi yang tepat (Viljoen et al., 2005). Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini adalah 60 o C selama 45 detik sesuai dengan yang disarankan oleh Mitra et al. (1995) bahwa penempelan primer (annealing) terjadi pada suhu 60 o C, namun digunakan waktu yang berbeda, yaitu selama 40 detik. Keragaman Gen Pit1 StuI Exon 3 Keragaman gen Pit1 exon 3 diketahui dengan menentukan alel dan genotipe pada setiap individu melalui pendekatan PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi StuI. Enzim tersebut hanya mengenali situs pemotongan enam basa, yaitu AGG CCT. Penentuan alel A dan C ditunjukkan dengan jumlah dan ukuran fragmen yang terpotong. Huang et al. (2008) menyatakan jika hasil PCR-RFLP gen Pit1 exon 3 terdapat dua alel yakni alel A (234 bp) dan alel C (37 bp, 197 bp). Namun, pada penelitian ini didapatkan Alel A sepanjang 234 bp dan Alel C sepanjang 38 bp dan 196 bp. Perbedaan fragmen antara alel A dan C diakibatkan oleh mutasi yang menyebabkan enzim StuI tidak mengenali situs pemotongan basa baru. Perbedaan fragmen gen Pit1 exon 3 dapat dilihat berdasarkan sekuen gen Pit1 exon 3 (dalam Gene Bank, kode akses : GU325800) yang terdapat pada Gambar 5. Mutasi dapat terjadi pada level DNA akibat perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T = Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk substitusi (transisi atau transversi), delesi (hilang), atau insersi dan inversi (Nei, 1987). Terjadi mutasi substitusi transversi berdasarkan perbedaan situs pemotongan basa pada masingmasing alel (Gambar 5). Substitusi transversi antara basa pirimidin, yaitu C (sitosin) menjadi basa purin, yaitu A (adenin) mengubah situs pemotongan enzim restriksi StuI. Perubahan basa tersebut menyebabkan asam amino proline berubah menjadi asam amino histidine (CCU-proline; CAU-histidine) sehingga mutasi berefek non synonymous. Non synonimous terjadi pada situs aktif protein dan menyebabkan perubahan asam amino (Nei, 1987 ; Paolella, 1997). 18

Forward 1 gagggataat tacaaatggt ccttttcttg ttgttacagg gagcttaagg CCTtgtcttt 61 ataagtttcc tgaccacacg ctgagtcatg gttttcctcc catgcatcag cctctccttt 121 cagaggatcc tacagccgct gatttcaagc aggagctcag gcggaaaagc aaattgatcg 181 aagagccaat agacatggat tctccagaaa tccgagaact tgaaaagttt gccaatgagt 241 ttaaagtgag aagaattaag ctaggtaggt gcttgttaac agctgtggga cacac Reverse Alel A: -----gagcttaaggcattgtcttt----- Alel C: -----gagcttaagg CCTtgtcttt----- Keterangan : Alel A mempunyai basa A pada posisi basa ke 40 Alel C mempunyai basa C pada posisi basa ke 40 Gambar 5. Posisi Penempelan Primer (Cetak Tebal dan Garis Bawah), Perbedaan, dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi StuI Berdasarkan Sekuen Gen Pit1 Exon 3 (Terjadi Mutasi pada Basa ke-40) (Gene Bank Code: GU325800) Genotipe gen Pit1 exon 3 dapat diketahui dengan melihat panjang fragmen ruas gen Pit1 exon 3 menggunakan agarosa 2% (Gambar 6). Fragmen yang memiliki satu pita dikenal dengan AA. Genotipe AA diketahui jika pita berada pada 234 bp. Genotipe ini memiliki satu fragmen karena mutasi dari basa C ke basa A sehingga situs potong AGG CCT tidak lagi dikenali oleh enzim StuI. Fragmen yang memiliki dua pita dikenal dengan CC. Genotipe CC jika pita berada pada 196 bp dan 38 bp. Fragmen gabungan (memiliki tiga pita) dengan genotipe AC (234 bp, 196 bp, dan 38 bp). Individu bergenotipe AA dan CC dikenal sebagai individu yang homozigot, sedangkan individu bergenotipe AC dikenal sebagai individu yang heterozigot. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dua macam alel pada kelima lokasi, yaitu alel A dan alel C. Dua macam alel ini menyebabkan terbentuknya tiga macam genotipe, yaitu AA, AC, dan CC pada sapi FH di BBIB Singosari, BPPT Cikole, dan KPSBU Pasir Kemis, kemudian ditemukan dua macam genotipe, yaitu AC dan CC pada sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber. Hasil yang didapat menyatakan bahwa sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber tidak ada yang bergenotipe AA, hal ini dapat dikatakan bahwa sapi FH dari lokasi tersebut hanya sedikit yang bermutasi pada gen Pit1 StuI exon 3. Genotipe CC merupakan genotipe yang tidak mengalami mutasi, dapat disimpulkan bahwa sapi FH dari kelima lokasi tersebut lebih banyak yang tidak bermutasi (normal) pada gen Pit1 StuI exon 3. 19

M CC CC CC CC CC CC CC CC CC AC CC AA CC 200 100 234 196 Keterangan: M = Marker 100 bp; AA = 234 bp; AC = 234 bp, 196 bp, dan 38 bp; dan CC = 196 bp dan 38 bp Gambar 6. Pola Pita Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 Exon 3 Sapi FH dengan Enzim Restriksi StuI Menggunakan Metode PCR- RFLP Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen Pit1 StuI dapat dilihat pada Tabel 3. Frekuensi genotipe CC memiliki nilai yang paling besar di antara frekuensi genotipe yang lain pada sapi FH dari kelima lokasi tersebut. Frekuensi alel C memiliki nilai yang paling besar di antara frekuensi alel yang lain pada sapi FH dari kelima lokasi tersebut. Tabel 3. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen Pit1 Exon 3 pada Sapi Friesian Holstein Asal Sampel Jumlah Sampel Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel AA AC CC A C BIB Lembang 14 0,000 (0) 0,071 (1) 0,929 (13) 0,036 0,964 BBIB Singosari 25 0,040 (1) 0,120 (3) 0,840 (21) 0,100 0,900 BPPT-SP Cikole 81 0,111 (9) 0,136 (11) 0,753 (61) 0,179 0,821 KPSBU Pasir Kemis 93 0,022 (2) 0,043 (4) 0,935 (87) 0,043 0,957 KPSBU Cilumber 73 0,000 0,068 0,932 0,034 0,966 (0) (5) (68) Total 286 0,042 (12) 0,084 (24) 0,874 (250) 0,084 0,916 Keterangan: ( ) adalah jumlah sampel sapi 20

Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada sapi FH dari BIB Lembang memiliki genotipe CC terbanyak dengan frekuensi 0,929; begitupun dengan sapi FH dari BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber memiliki genotipe CC terbanyak dengan frekuensi masing-masing 0,840; 0,753; 0,935; dan 0,935 (Gambar 8). Secara keseluruhan dari lima lokasi tersebut, genotipe CC yang paling banyak dimiliki oleh sapi FH dengan rataan frekuensi 0,874. Sapi FH yang berasal dari BIB Lembang dan BBIB Singosari merupakan sapi pejantan; dan kemungkinan sapi tersebut dijadikan sapi pejantan unggul terseleksi sifat produksi susu tinggi yang aktif digunakan dalam inseminasi buatan (IB). Sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber terdapat tiga genotipe yang teridentifikasi, yaitu AA, AC, dan CC, sehingga hanya terdapat dua tipe alel yang ditemukan, yaitu alel A dan C. Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Hasil analisis frekuensi alel menunjukkan seluruh sapi FH dari kelima lokasi tersebut memiliki alel C lebih banyak dibandingkan dengan alel A. Sapi FH dari BIB Lembang memiliki alel C yang lebih banyak dibandingkan dengan alel A dengan frekuensi 0,964; begitupun dengan sapi FH dari BBIB Singosari, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan KPSBU Cilumber dengan frekuensi masing-masing 0,900; 0,821; 0,957; dan 0,966 (Gambar 7). Nei (1987) menyatakan bahwa suatu alel termasuk polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99; namun jika terjadi sebaliknya maka bersifat monomorfik atau seragam. Berdasarkan hasil yang didapat maka sapi FH dari lima lokasi tersebut merupakan polimorfik karena nilai frekuensi alelnya berada di bawah 0,99. Semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002). 21

A C Frekuensi Alel 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 BIB BBIB BPPT PK Cilum Asal Sampel Keterangan : BIB = BIB Lembang ( ), BBIB = BBIB Singosari ( ), BPPT = BPPT-SP Cikole ( ), PK = KPSBU Pasir Kemis ( ), dan Cilum = KPSBU Cilumber ( ) Gambar 7. Frekuensi Alel Gen Pit1 StuI Exon 3 pada Sapi FH AA AC CC Frekuensi Genotipe 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 BIB BBIB BPPT PK Cilum Asal Sampel Keterangan : BIB = BIB Lembang ( ), BBIB = BBIB Singosari ( ), BPPT = BPPT-SP Cikole ( ), PK = KPSBU Pasir Kemis ( ), dan Cilum = KPSBU Cilumber ( ) Gambar 8. Frekuensi Genotipe Gen Pit1 StuI Exon 3 pada Sapi FH Keseimbangan Hardy-Weinberg Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak, yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Keseimbangan variasi genotipe penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (χ2). Analisis Chi-Kuadrat dapat digunakan 22

untuk mengetahui keseimbangan frekuensi genotipe (p 2, 2pq, q 2 ) atau frekuensi alel (p dan q) pada suatu populasi ternak. Hasil analisis Chi-Kuadrat pada sapi FH dari lima lokasi tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) Berdasarkan Uji χ 2 Asal Sampel (ekor) χ 2 Hitung χ 2 Tabel BIB Lembang (14) Td BBIB Singosari (25) 2,778 tn BPPT-SP Cikole (81) 23,443 n 3,84 KPSBU Pasir Kemis (93) 21,207 n KPSBU Cilumber (73) Td Keterangan : tn = tidak nyata; n = nyata; dan Td = tidak dapat dihitung Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi FH dari BIB Lembang dan KPSBU Cilumber tidak dapat dihitung, hal ini dikarenakan jumlah genotipe pada sapi yang diteliti tersebut tidak memenuhi asumsi untuk dianalisis keseimbangan Hardy- Weinberg. Derajat bebas χ2 merupakan hasil pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel (Allendorf dan Luikart, 2007). Sementara jumlah genotipe yang dimiliki sapi FH di BIB Lembang dan KPSBU Cilumber hanya dua sehingga menghasilkan derajat bebas 0. Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi dari BBIB Singosari tidak berbeda nyata, hal ini dikarenakan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tabel, berarti sapi FH dari lokasi tersebut berada dalam keseimbangan Hardy- Weinberg. Analisis Chi-Kuadrat (X 2 ) pada sapi FH dari BPPT-SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis berbeda nyata, hal ini dikarenakan nilai χ 2 hitung lebih besar dari nilai χ 2 tabel, berarti sapi FH dari dua lokasi tersebut tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Sapi FH dari BBIB Singosari berada dalam keadaan keseimbangan, hal ini dapat dikatakan bahwa seleksi yang dilakukan bukan berdasarkan seleksi gen Pit1 exon 3. Sapi FH dari BPPT-SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis berada dalam keadaan tidak seimbang. Hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang dipakai tidak cukup besar dan sistem perkawinan yang diterapkan adalah sistem perkawinan buatan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB) sehingga tidak lagi memenuhi kaidah keseimbangan Hardy-Weinberg yang mengacu kepada sistem perkawinan acak. 23

Heterozigositas Pendugaan nilai heterozigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya (Marson et al., 2005). Nilai heterozigositas harapan (He) didapat untuk mengetahui perbedaan nilai tersebut terhadap nilai heterozigositas pengamatan (Ho). Hasil analisis heterozigositas pada lima populasi sapi FH tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Heterozigositas Harapan (He) Gen Pit1 StuI exon 3 pada Sapi FH Asal Sampel (ekor) Ho He BIB Lembang (14) 0,071 0,069 BBIB Singosari (25) 0,120 0,180 BPPT-SP Cikole (81) 0,136 0,294 KPSBU Pasir Kemis (93) 0,043 0,082 KPSBU Cilumber (73) 0,068 0,066 Nilai heterozigositas gen Pit1 StuI exon 3 pada sampel sapi FH di lima lokasi diperoleh berdasarkan frekuensi alel. Heterozigositas disebut juga sebagai rataan keragaman genetik. Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik (Marson et al., 2005). Berdasarkan hasil analisis nilai heterozigositas sapi FH dari lima lokasi, nilai heterozigositas tertinggi adalah sapi FH dari BPPT-SP Cikole, yaitu sebesar 0,136 dan nilai heterozigositas terendah adalah sapi FH dari KPSBU Pasir Kemis, yaitu sebesar 0,043. Secara rataan nilai Ho lebih kecil dibandingkan dengan nilai He, hal ini dapat mengindikasikan bahwa variasi gen Pit1 exon 3 pada lima lokasi tersebut adalah rendah. Frekuensi genotipe CC (homozigot) yang lebih tinggi di BIB Lembang dan BBIB Singosari mengakibatkan tingginya frekuensi genotipe CC di BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir kemis, dan KPSBU Cilumber karena ketiga lokasi ini mendapatkan semen untuk melakukan perkawinan dari BIB Lembang dan BBIB Singosari sehingga meningkatkan homozigositas dan menurunkan heterozigositas yang ada. Selain itu, menurut Javanmard et al. (2005) nilai heterozigositas kurang dari 0,5 mengindikasi bahwa variasi gen dalam suatu populasi adalah rendah. Avise 24

(1994) menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. 25