VI ALOKASI PRODUK. Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun Petani Padi Ladang Cara Panen

dokumen-dokumen yang mirip
VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alokasi Produk

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

ANALISIS TATANIAGA BERAS

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

STATISTIK HARGA PRODUSEN GABAH

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

Boks 1 PROFIL PETANI PADI DI MALUKU

SURVEI LUAS PANEN DAN LUAS LAHAN TANAMAN PANGAN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VII ANALISIS PENDAPATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Ciherang

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional.

BAB VI. IDENTITAS KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI PRODUK DAN MARKETED SURPLUS PADI DI KABUPATEN KARAWANG

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN III 2008)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden dalam penelitian ini dibahas berdasarkan jenis

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

Sisvaberti Afriyatna Dosen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang ABSTRAK

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

VII ANALISIS KEPUASAN PETANI MITRA TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL dan PEMBAHASAN

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS DENGAN SISTEM TEBASAN DAN TANPA TEBASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan.

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014

menghasilkan limbah yang berupa jerami sebanyak 3,0 3,7 ton/ha.

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

KEMITRAAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS MARKETABLE SURPLUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SUPPLY SERTA KETERSEDIAAN BERAS DI KOTA BENGKULU

BPS PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

Produksi Tanaman Pangan Provinsi Papua Tahun 2015 (Berdasarkan Angka Ramalan II 2015)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dan sumber devisa negara, pendorong pengembangan wilayah dan sekaligus

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Desa Penelitian Letak Geografis dan Topografis Desa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang dianggap sudah mewakili dari keseluruhan petani yaitu sebanyak 250 orang

PELAKSANAAN KEMITRAAN PT. MEDCO INTIDINAMIKA DENGAN PETANI PADI SEHAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III PETANI DAN HASIL PERTANIAN DESA BENDOHARJO. A. Monografi dan Demografi Desa Bendoharjo

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

POLA USAHATANI PADI, UBI JALAR, DAN KATUK UNTUK MENGAKUMULASI MODAL DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI

karbohidrat asal beras. Bahan sumber karbohidrat lain belum secara umum digunakan.

Perilaku Petani pada Hasil Panen Gabah di Nusa Tenggara Barat

BAB IV METODE PENELITIAN

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. tanggungan keluarga, luas lahan, status kepemilikan lahan, pengalaman bertani,

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

Boks 2. Pembentukan Harga dan Rantai Distribusi Beras di Kota Palangka Raya

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

I. PENDAHULUAN. Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah,

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

Gambar 10. Sebaran Usia Petani Responden

PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2015 (BERDASARKAN ANGKA SEMENTARA 2015)

Transkripsi:

6.1 Alokasi Produk (Hasil Panen) VI ALOKASI PRODUK Dari hasil pengamatan di lapangan, alokasi produk atau hasil panen baik petani padi sawah maupun petani padi ladang antara lain di antaranya: natura panen, share pemilik lahan, natura pengaturan air, penjualan, dan penyimpanan (stock). 1. Natura Panen (bawon) Natura panen adalah potongan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk membayar tenaga kerja saat memanen lahan padi miliknya. Berdasarkan hasil pengamatan, hanya tenaga kerja saat panen saja yang dibayar dengan sistem natura. Untuk tenaga selama proses budidaya dibayar dengan uang tunai. Variasi cara panen petani padi di Kabupaten Karawang antara lain : Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun 2010 Petani Padi Ladang Cara Panen (n) (%) Panen Sendiri 16 53,30 Bawon 14 46,70 Jumlah 30 100,00 Petani Padi Sawah (n) (%) Bawon 50 83,30 Tebas dan Panen Sendiri 3 5,00 Bawon dan Tebas 2 3,30 Bawon dan Panen Sendiri 5 8,30 Jumlah 60 100,00 Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa pada petani padi sawah, variasi sistem panen lebih beragam dari petani padi ladang. Hal ini disebabkan petani padi sawah yang menggunakan lebih dari satu cara panen mempunyai persil lebih dari satu sehingga memungkinkan cara panennya berbeda-beda setiap persil.

a. Panen Sendiri Panen sendiri adalah cara panen petani oleh anggota keluarga petani itu sendiri. Cara panen ini biasanya digunakan oleh petani yang mengusahakan lahan kurang dari 1 hektar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan jika dipanen oleh keluarga sendiri maka tidak perlu biaya untuk membayar tenaga kerja untuk pemanenan dan hasil yang didapat juga akan lebih banyak dan pasti. b. Bawon ( Panen Natura) Bawon adalah istilah panen natura di Kabupaten Karawang di mana sistem pembayaran tenaga kerja panennya menggunakan proporsi hasil panen yang didapat dari lahan yang dipanen. dari total 90 petani responden, yang menggunakan sistem panen ini sebanyak 71 petani (78,9%), mayoritas dari petani pola usahatani padi sawah. Ada 2 sistem panen bawon yang dikenal di Kabupaten Karawang, yaitu sistem ceblok atau sitem tertutup, dan bradagan atau sitem terbuka. Sistem tertutup yaitu sistem bawon yang proses pemanenannya hanya dikuasai oleh satu kelompok saja sedangkan sistem terbuka yaitu sistem bawon yang pelaksanaan panennya boleh dilakukan oleh siapa saja. Sistem tertutup punya konsekuensi tambahan, yaitu kelompok yang ingin memanen lahan seorang petani, mereka harus melakukan penyemaian. Namun dalam pelaksanaannya kini, sitem ceblok atau tertutup lebih sering digunakan karena sistem terbuka atau bradagan sangat rawan kecurangan dalam kegiatan pembagian hasil panennya. Proporsi hasil panen yang digunakan bervariasi, antara lain : 1:7, 1:6, dan 1:5. Proporsi 1:7 dan 1:6 biasanya dipakai oleh petani padi sawah sedangkan proporsi 1:5 biasanya digunakan oleh petani padi ladang. Besaran real natura yang harus dikeluarkan petani pada musim tanam yang diamati, yaitu 1,43 ton untuk petani padi sawah dan 0,28 ton untuk petani padi ladang. Proporsi dari produksi kotornya sendiri yaitu 14 persen pada petani padi dsawah dan 15% pada petani padi ladang. Dari hasil pengamatan, alasan petani melakukan sistem panen bawon, yaitu :

Tabel 24. Sebaran Jumlah Petani Berdasarkan Alasan Penggunaan Sistem Panen Natura (bawon) Tahun 2010 Alasan (n) (%) Kurang Tenaga Kerja 15 21,10 Menghemat Biaya Panen 12 16,90 Tanggung Jawab Sosial 23 32,40 Kepastian hasil 21 29,60 Jumlah 71 100,00 Alasan menghemat biaya panen timbul akibat petani kekurangan uang tunai untuk membayar tenaga kerja sehingga pembayaran secara natura lebih dipilih petani. Alasan kurangnya tenaga kerja disebabkan lahan yang diusahakan petani terlalu luas untuk dipanen oleh anggota keluarga petani sehingga petani lebih memilih menggunakan sistem natura untuk memanen lahannya. Selain itu, buruh tani setempat lebih senang dibayar menggunakan sistem natura dibandingkan sistem lainnya, seperti Rp/kg atau upah harian. Sistem natura dinilai lebih adil dan manusiawi oleh tenaga kerja maupun pemilik lahan dikarenakan proses pemanenan adalah proses yang lebih lama dari kegiatan usahatani lainnya. Selain itu, petani bisa menghemat biaya pengangkutan, karena biaya natura sudah termasuk biaya pengangkutan hasil panen baik itu ke tempat penyimpanan gabah petani, maupun ke tempat tengkulak. Pemanenan dengan sistem natura atau bawon ini juga memberikan hasil yang lebih pasti bagi petani dan pemanen. Jika dipanen dengan sistem tebas, maka petani tidak tahu berapa sebenarnya hasil yang didapat karena hasil panennya dibeli dengan sistem borongan sehingga hasil yang didapat tergantung pada tawarmenawar petani dengan penebas. Kepastian hasil ini juga disebabkan karena petani biasanya mempekerjakan buruh tani yang sudah sangat dikenalnya, agar kecurangan yang terjadi saat pemanenan bisa diminimalisir. Namun kebanyakan petani beralasan mereka melakukan sistem panen bawon karena merasa ada tanggung jawab sosial terhadap buruh tani di sekitar mereka. Sebenarnya, memanen dengan dengan sistem pembayaran tunai sepert Rp/kg atau upah harian bisa memberikan lebih banyak hasil terhadap petani, tetapi karena alasan sosial tersebut petani lebih banyak yang menggunakan sistem bawon ini.

c. Tebas Sistem tebas atau borongan dilakukan petani dengan menjual padinya kepada pembeli beberapa hari sebelum dipanen. Petani tidak tahu pasti berapa hasil padi yang didapatnya, karena hasil yang didapat tergantung dari tawarmenawar petani denagn pembeli atau yang biasa disebut penebas. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa sistem tebas hanya dilakukan oleh petani petani padi sawah di Kabupaten Karawang. Dari hasil diskusi dengan tokoh petani setempat juga didapat bahwa kini petani mulai meninggalkan cara panen ini karena diniali melanggar ajaran agama. Menurut ulama setempat, cara tebas termasuk transaksi yang melanggar aturan jual beli karena nilai barang yang ditransaksikan tidak pasti nilainya, hanya berdasarkan perkiraan atau tebakan pembeli. Dalam transaksi tebas, padi atau hasil panen yang dibeli penebas dari petani nilainya tidak berdasarkan berapa banyak atau hasil timbangan saat panen, tetapi berdasarkan perkiraan penebas dan petani beberapa hari sebelum padi dipanen. 2. Natura pengaturan air Berdasarkan pengamatan, pembayaran natura pengaturan hanya dilakukan oleh petani padi sawah. Hal ini disebabkan pada budidaya padi ladang tidak memerlukan banyak air dan hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya. Meskipun lahan sawah di Kabupaten Karawang telah dilengkapi dengan sistem irigasi teknis, tetapi dalam pelaksanaannya perlu adanya pihak yang mengatur jalannya aliran air ke setiap lahan petani. Hal ini disebabkan jika irigasi digunakan secara bersama-sama, maka air irigasi yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mengairi lahan sawah petani sehingga perlu ada pihak yang mengatur distribusinya. Pemerintah desa telah menyediakan perangkat khusus yang menangani masalah distribusi pengairan. Petugas ini di namakan Mitra Cai (mitra air) atau ulu-ulu dalam bahasa setempat. Sebagai imbalannya, petani menyisishkan 20-30 kilogram gabahnya untuk setiap hektar lahannya saat panen atau dengan proporsi 1 persen dari produksi total.

3. Natura Pemilik Lahan Pembayaran natura pemilik lahan hanya dilakukan oleh petani penggarap, khususnya penggarap dengan sistem sakap. Bagian yang disisihkan yaitu setengah dari hasil produksi bersih, yaitu produksi kotor yang telah dipotong natura panen dan pengaturan air. Pembagian hasil 50:50 yang paling lazim dilakukan antara pemilik lahan dan petani penggarap karena biaya produksi pun ditanggung oleh kedua belah pihak. Hasil panen yang dibagi pun hasil panen bersih. Artinya, marketable surplus lah yang dibagi rata oleh petani penggarap dan pemilik lahan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya petani pada pola usahatani sawah saja yang harus mengeluarkan natura ini. Hal itu disebabkan pada pola usahatani padi ladang, meskipun status penguasaan lahan petani seluruhnya penggarap, tetapi petani tidak perlu mengeluarkan natura untuk pemilik lahan, karena lahan tersebut dipinjamkan secara cuma-cuma, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Besaran atau jumlah rata-rata yang secara real dikeluarkan yaitu sebanyak 0,32 ton atau 3 persen dari total produksi. Rendahnya proporsi ini disebabkan petani yang status penguasaaan lahannya sebagai penggarap pada pola usahatani padi sawah sangat sedikit dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan miliknya sendiri. 4. Marketable surplus Marketable surplus adalah hasil produksi bersih yang bisa dijual karena telah dipotong natura panen, pengaturan air, dan pemilik lahan jika itu petani penggarap. Meskipun bisa dijual seluruhnya, tetapi petani baik itu padi ladang maupun padi sawah masih menyisihkan sebagian hasil panen mereka untuk kebutuhan benih musim tanam selanjutnya, konsumsi rumah tangga, dan cadangan. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menerjemahkan dan menganalisis dari marketable dan marketed surplus itu sendiri. Seperti yang terlihat pada Gambar 6 dan 7, bahwa proporsi marketable surplus antara pola usahatani padi sawah dan ladang relatif sama. Keduanya mempunyai marketable surplus sebesar 85 persen dari produksi total.

3% 1% 14% natura pemilik lahan natura pengaturan air 85% natura panen marketable surplus (GKP) Gambar 6. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Karawang MT Akhir 2010 Namun, meskipun besaran proporsi dari marketable surplus yang hampir sama, natura-natura yang dikeluarkan antara pola usahatani padi sawah dan ladang sangat berbeda. pada pola usahatani padi sawah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, petani harus mengeluarkan natura untuk panen, pengaturan air, dan pemilik lahan. Lain halnya dengan pola usahatani padi ladang, yang harus mengeluarkan natura hanya untuk pemanenan saja. 15.20% 84.70% natura panen marketable surplus Gambar 7. Alokasi Natura Petani Pola Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang MT Akhir 2010

Proporsi natura panen pada pola usahatani padi ladang yang lebih besar lah yang menyebabkan besaran marketable surplus pada padi ladang sma dengan pola usahatani padi sawah. Pada pola usahatani padi sawah, proporsi natura panen sebesar 1:6, sedangkan pada pola usahatani padi ladang sebesar 1:5. Hal itu menyebabkan meskipun pengeluaran natura pada pola usahatani padi ladang lebih sedikit jenisnya, tetapi pegeluaran natura yang lebih besar untuk pemanenan, menyebabkan besaran marketable surplus yang timbul sama. 5. Marketed surplus (Penjualan) Marketed surplus adalah kelebihan dari produksi yang dijual oleh petani. Selain untuk disimpan, hasil panen padi juga dijual oleh petani. Berdasarkan pengamatan, ada dua waktu petani menjual hasil panennya, yaitu: jual panen (sekaligus) dan jual bertahap. Jual sekaligus adalah penjualan gabah petani setelah panen dilaksanakan, yakni kurang dari 7 hari (Ellis et all 1992). Sedangkan jual bertahap adalah penjualan gabah bertahap adalah penjualan gabah yang telah disimpan petani lebih dari 7 hari dan telah mengalami proses penjemuran. Gabah yang dijual saat panen atau jual sekaligus adalah gabah kering panen. Artinya, gabah tersebut belum melalui proses penjemuran. Kadar air gabah pun masih tinggi, yaitu 25-30 persen. Lain halnya dengan gabah yang dijual bertahap. Gabah yang dijual bertahap adalah gabah yang telah dijemur hingga kadar airnya mencapai 14-15 persen atau gabah kering giling (GKG). Selain itu, gabah yang dijual ini merupakan stok cadangan petani atau kelebihan dari stok konsumsi yang disimpan petani. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dari besaran marketable surplus yang muncul, petani tidak menjual seluruh produknya, tetapi disimpan sebagian sebagai stok atau cadangan. Stok atau cadangan tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain benih, konsumsi, dan penjualan bertahap. Proporsi marketable surplus yang dijual pada periode pengamatan yaitu sebesar 67 persen pada pola usahatani padi sawah dan 10 persen pada pola usahatani padi ladang.

18% marketed surplus (GKP) distok 67% Gambar 8. Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 Proporsi marketed surplus dari marketable surplus yang lebih kecil pada pola usahatani padi ladang disebabkan karena pada pertani padi ladang, mereka mengusahakan padi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Sehingga, proporsi yang dialokasikan lebih besar dibandingkan petani pada pola usahatani padi sawah. 9.70% 75% marketed surplus (GKP) distok Gambar 9. Alokasi Marketable Surplus Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010

Marketed Surplus erat kaitannya dengan luas lahan atau skala produksi. Hal itu disebabkan secara teori semakin luas lahan yang diusahakan, maka marketed surplus bisa semakin tinggi. Tabel 25. Hubungan Luas Lahan Padi Petani dengan Proporsi Marketed surplus Tahun 2010 Luas Lahan Rata-rata % marketed surplus padi sawah Rata-rata % marketed surplus padi ladang < 1 ha 58,20 2,00 1-2 ha 57,40 0 2-3 ha 51,70 0 3-4 ha 71,00 0 >5 ha 79,40 36,70 Dapat dilihat pada Tabel 25 bahwa luas lahan mempengaruhi jumlah marketed surplus berbanding lurus dengan luas lahan yang dikuasai. Namun ada perbedaan di mana marketed surplus petani sawah yang luasan lahannya kurang dari 1 ha lebih besar daripada yang luasannya 1-2 dan 2-3 hhektar. Hal tersebut disebabkan hasil panen petani yang luas lahannya kurang dari satu hektar lebih sedikit dibandingkan petani dengan luasan 1-2 dan 2-3 hektar sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, petani tersebut harus menjual lebih banyak hasil panennya. Selain itu, pada pola usahatani padi ladang, yang melakukan penjualan dalam bentuk GKP hanya pada petani dengan luasan kurang dari satu hektar dan lebih dari 5 hektar, hal itu disebabkan pada luasan lebih dari 5 hektar, petani telah cenderung telah bersifat komersil, sehingga petani mengusahakan padi bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk mendapatkan keuntungan. 6. Stok Stok adalah persediaan yang disimpan agar bisa digunakan sewaktuwaktu. Berdasarkan pengamatan, stok gabah masih dilakukan oleh petani, baik itu petani padi sawah maupun padi ladang. Jenis stoknya, antara lain: stok benih, stok konsumsi, dan stok cadangan. a. Stok Benih Dari total 90 responden, 53 petani melakukan stok benih atau menyisihkan sebagian produknya untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam

selanjutnya. Keperluan benih petani relatif tidak jauh berbeda di setiap musim. Petani padi sawah memerlukan 20-30 kilogram benih setiap hektarnya, sedangkan petani padi ladang memerlukan 50-60 kilogram benih tiap hektarnya. Namun, hanya petani padi sawah yang menyisihkan sebagian hasil panennya untuk stok benih musim selanjutnya. Alasan petani melakukan stok benih, antara lain : Tabel 26. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Melakukan Stok Benih Tahun 2010 Alasan Petani Melakukan Stok Benih (n) (%) Harga Benih di Luar Mahal 7 13,20 Petani mempercayai kualitas gabah sendiri lebih baik dari pada benih lain 14 26,00 Hasil lebih pasti bila menggunakan benih dari hasil panen 22 42,00 Sulit Mendapat Benih dari Luar 1 2,00 Sudah Tahu Cara Menangkarkan Benih 9 16,98 Jumlah 53 100,00 Sebanyak 13 persen petani melakukan stok benih karena harga benih dari luar mahal. Hal tersebut disebabkan jika petani menggunkan benih dari hasil panen, maka biaya untuk membeli benih bisa dihemat. Harga benih di toko atau kios terdekat yaitu Rp 6000 Rp 7000 per kilogram. Petani bisa menghemat Rp 120.000 Rp. 140.000 tiap hektarnya untuk membeli benih jika menggunakan benih dari hasil panen musim sebelumnya. 16 persen petani beralasan bahwa mereka melakukan stok benih karena mereka telah tahu bagaimana cara menangkarkan benih. Hal itu disebabkan karena penyuluh setempat sering melakukan penyuluhan bagaimana cara memilih benuh dari lahan para petani. Bila petani ingin mengganti varietas untuk musim berikutnya, maka petani bisa menukar benihnya dengan petani lain yang menyimpan stok benih varietas yang ingin ditanam petani untuk musim selanjutnya. Dua alasan dengan persentase tertinggi petani melakukan stok benih yaitu hasil lebih pasti menggunakan benih sendiri dan petani percaya bahwa kualitas benih sendiri daripada benih dari luar. Hal itu timbul akibat seringnya petani mengalami kegagalan di masa lampau saat meggunakan benih yang bersala dari luar atau membeli dari kios atau bantuan benih dari pemerintah. Benih yang

berasal dari hasil panen sendiri bisa memberikan kepastian mengenai kualitas maupun hasil yang akan didapat petani dibandingkan benih yang dibeli dari luar atau bantuan pemerintah. Tabel 27. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Petani Tidak Melakukan Stok Benih Tahun 2010 Alasan Tidak Melakukan Stok Benih (n) (%) jika stok kualitas tidak bagus 6 20,00 kualitas gabah kurang bagus untuk benih 24 80,00 Jumlah 30 100,00 Tidak dilakukannya stok benih oleh petani padi ladang disebabkan oleh kurang baiknya kualitas gabah padi ladang untuk digunakan sebagai benih musim tanam berikutnya. Saat ini varietas padi lokal seperti gajah, dan bulu sudah jarang digunakan oleh petani ladang di Kabupaten Karawang. petani ladang saat ini lebih suka menggunakan benih padi seperti varietas yang ditanam petani padi sawah, seperti Ciherang dan IR 64. Oleh karena itu, untuk keperluan benih, petani ladang di Kabupaten Karawang mendapatkannya dari kios terdekat atau membeli dari petani padi sawah. b. Stok Konsumsi Untuk konsumsi beras rumah tangga, petani baik ladang maupun sawah masih menggunakan beras dari hasil panen yang disimpan. Ada 49 petani padi sawah yang mengonsumsi beras dari hasil panen, sedangkan seluruh petani padi ladang mengonsumsi beras dari hasil panennya. Ada dua jenis konsumsi beras di tingkat rumah tangga petani di Kabupaten Karawang, yaitu konsumsi makan, dan konsumsi sosial. Konsumsi makan adalah konsumsi makan anggota keluarga yang masih jadi tanggungan petani sedangkan konsumsi sosial adalah konsumsi makan non tanggungan petani, keperluan keagamaan, dan adat istiadat. Yang termasuk konsumsi non tanggungan petani yaitu konsumsi makan pekerja di sawah, dan keluarga atau kerabat yang bukan tanggungan petani tetapi ikut mengonsumsi padi dari petani. Konsumsi keagamaan yaitu zakat fitrah, sedangkan konsumsi adat istiadat yaitu konsumsi beras untuk memberi pihak lain lain sedang mangadakan acara adat, seperti pernikahan, atau kematian. Di Kabupaten Karawang terdapat budaya yang disebut

lawangan. Budaya ini mengharuskan rumah tangga memmberikan sumbangan berupa sejumlah beras kepada pihak yang sedang mengadakan upacara adat dan pihak yang menerima bantuan beras itu harus mengembalikan jika pihak yang memberi sumbangan beras mengadakan upacara adat. Tabel 28. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Stok Konsumsi Tahun 2010 Petani Padi Ladang Petani Padi Sawah Alasan Melakukan Stok Konsumsi (n) (%) (n) (%) Harga Beras di Luar Mahal 11 13,41 8 9,76 Kualitas Beras di Toko Lebih Jelek 0 0,00 2 2,44 Lebih Bangga Mengonsumsi yang Ditanam Sendiri 15 18,29 23 31,71 Kebiasaan/Budaya 4 4,88 14 17,07 Kebutuhan Sendiri Harus Didahulukan 0 0,00 2 2,44 Jumlah 30 36,59 49 63,41 Faktor kebanggaan adalah alasan utama petani dalam melakukan stok konsumsi. Meskipun kualitas beras dari hasil lahannya belum tentu lebih baik dari kualitas beras dari luar, tetapi petani merasa lebih bangga jika mengonsumsi beras hasil dari padi yang ditanamnya sendiri. Kemudian alasan ekonomi dan kebiasaan yang membuat petani melakukan stok untuk konsumsi. c. Stok Cadangan Berdasarkan hasil pengamatan, petani di Kabupaten Karawang pada umumnya tidak mengalokasikan khusus sebagian gabah hasil panennya untuk stok cadangan. Petani tidak menyimpan kebutuhan konsumsinya secara pas, tetapi menyimpan lebih banyak dari kebutuhan konsumsi. kelebihan atau selisih inilah yang disebut stok cadangan yang dijual secara bertahap. Dari jumlah yang distok, petani biasanya menjual produknya tersebut (marketed surplus) dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Tujuan penjualan pun bermacam-macam, terutama yang bersifat insidental dan memerlukan jumlah uang yang cukup besar, seperti membayar uang sekolah anak dan membayar cicilan kredit. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian juga dalam menerjemahkan marketed surplus, karena penjualan petani bukan hanya di waktu panen, tetapi juga di waktu jeda ke musim tanam selanjutnya juga petani melakukan penjualan.

Dari hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa petani pola usahatani padi sawah memiliki proporsi penjualan stok gabah yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani pada pola usahatani padi ladang. 6% 73% 21% benih konsumsi marketed surplus (GKG) Gambar 10. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Sawah MT Akhir 2010 Dari Gambar 10 dan 11, dapat dilihat bahwa petani padi sawah rata-rata menjual 73 persen gabah yang disimpannya, sedangkan petani padi ladang ratarata hanya menjual 28 persen dari stok gabahnya. Hal ini dikarenakan petani ladang memmpunyai skala produksi yang lebih kecil. Hal ini mengakibatkan jumlah yang distok pun lebih kecil, sehingga bila dipotong untuk konsumsi, maka proporsi yang bisa dijual pada padi ladang lebih kecil atau sedikit. Selain itu, pola tanam padi ladang yag hanya setahun sekali menyebabkan priode waktu konsumsi rumah tangga padi ladang lebih lama dibandingkan padi sawah yang pola tanamnya dua kali setahun.

28.20% konsumsi 71.80% marketed surplus (GKG) Gambar 11. Alokasi Stok Petani Pola Usahatani Padi Ladang MT Akhir 2010 Namun, jika dilihat dari proporsi keseluruhan, marketed surplus bertahap atau dalam bentuk GKG pada pola usahatani padi sawah masih jauh lebih kecil dari pada marketed surplus dalam bentuk gabah kering panen atau GKP. Proporsi marketed surplus GKP pada pola usahatani padi sawah adalah sebesar 67 persen dan marketed surplus dalam bentuk GKG sebesar 11 persen. Berbeda dengan pola usahatani padi ladang yang proporsi marketed surplus dalam bentuk GKPnya lebih kecil dibandingkan marketed surplus dalam bentuk GKG. Proporsi marketed surplus GKP pada pola usahatani padi ladang adalah sebesar 11 persen dan marketed surplus GKG sebesar 21 persen. 5.1 Perilaku Stok Petani Bagian perilaku stok petani ini akan membahas bagai mana petani memperlakukan gabah yang disimpannya sebagai stok. 5.1.1 Akses penjemuran Sebelum menyimpan gabah, petani perlu melakukan penjemuran untuk menurunkan kadar air agar gabah yang disimpan tetap bagus kualitasnya meski disimpan lama. Para petani menjemur gabahnya hingga kadar air gabah mencapai kadar 14%-15%. Dengan kadar air seperti itu, kualitas gabah akan tetap baik hingga masa simpan satu tahun. Dari gabah kering panen hingga menjadi gabah kering simpan atau giling, penyusutan berat gabah petani rata-rata mencapai 20%.

Artinya, jika satu ton gabah kering panen dijemur, maka akan menghasilkan ratarata 800 kilogram gabah kering giling. Waktu penjemuran yang diperlukan untuk mencapai kadar air yang diperlukan yaitu dua hari, dengan asumsi sinar matahari terik sepanjang hari. Jika matahari kurang terik, maka waktu penjemuran bisa mencapai tiga sampai empat hari. Tabel 29. Sebaran Petani Berdasarkan Akses Penjemuran Gabah Tahun 2010 Tempat Menjemur Gabah Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang (n) (%) (n) (%) Milik Sendiri (lantai jemur/ halaman) 40 46,50 26 30,23 Penggilingan (RMU) 2 2,32 4 4,65 Lapangan/Tempat Umum 14 16,27 0 0 Jumlah 56 65,09 30 34,01 Umumnya (76,73%) petani menjemur gabah hasil penennya di lahan mereka sendiri, baik itu di halaman rumah maupun di lantai jemur. Sisanya sebanyak 14 persen dan 6 persen petani menjemur gabah mereka di penggilingan dan tempat umum. Petani yang menjemur gabah di penggilingan, mereka bisa menggunakan fasilitas lantai jemur milik penggilingan terdekat dengan konsekuensi mereka juga hasrus menitipkan gabah yang akan mereka stok dan menggilingnya di penggilingan tersebut. Untuk petani yang menjemur di tempat umum, mereka mengunakan lapangan umum terdekat, atau di pinggir jalan raya dengan alat bantu terpal agar tidak banyak kotoran yang bercampur dengan gabah yang dijemur. 5.1.2 Akses penyimpanan Setelah melewati proses penjemuran, gabah akan melalui proses penyimpanan. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa lokasi yang dipakai petani untuk menyimpan stok gabahnya.

Tabel 30. Sebaran Petani Berdasarkan Lokasi Stok Gabah Tahun 2010 Lokasi Menyimpan Stok Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang Gabah (n) (%) (n) (%) Gudang (milik sendiri) 20 23,25 1 1,16 Dapur 16 18,60 0 0 Dalam Rumah 18 20,93 25 29,06 Penggilingan 1 1,16 4 4,65 Gudang (dititipkan) 1 1,16 0 0 Jumlah 56 65,10 30 34,90 Mayoritas petani menyimpan stok gabahnya di rumah baik itu spesifik, yaitu di dalam dapur (16%), maupun tidak secara spesifik (49,99%). Sisanya, petani ada yang menyimpannya di ruangan khusus, yaitu gudang (24,41%) dan diditipkan di penggilingan dan gudang milik petani lain. Hal ini sesuai atau sama dengan Ellis et al (1992) yang menunjukkan bahwa 95% petani menyimpan stok gabah mereka di rumah. Dari Tabel 30 juga dapat disimpulkan bahwa petani padi sawah lebih mempunyai banyak akses tempat penyimpanan stok gabah dibandingkan petani padi ladang. Tabel 31. Rata-rata Luas Tempat Simpan Gabah Berdasarkan Luas Lahan yang Diusahakan Petani Tahun 2010 Kategori Luas Rata-rata Luas tempat Menyimpan Gabah (m 2 ) Lahan Petani Sawah Petani Ladang <0,49 ha 11,00 6,00 0,5-0,99 ha 5,40 7,00 1-1,99 ha 6,87 7,87 2-4,99 ha 15,05 227,00 >5 ha 38,25 50,00 Selain itu, berdasarkan Tabel 31, luas tempat menyimpan gabaha petani relatif berbanding lurus dengan luas lahan padi yang diusahakan. Semakin luas lahan padi yang diusahakan, maka semakin luas pula tempat yang disediakan petani untuk menyimpan persediaan atau stok gabahnya. 5.1.3 Bentuk Penyimpanan dan Masa Penyimpanan Stok Petani di Kabupaten Karawang seluruhnya menyimpan stok dalam bentuk gabah kering gimpan. Hal itu disebabkan jika stok disimpan dalam bentuk gabah

kering akan lebih awet dan kualitasnya tidak akan berubah. Jika disimpan dalam bentuk beras, maka masa simpannya akan menjadi lebih pendek. Untuk kebutuhan konsumsi, petani menggiling gabah secara berkala atau sedikit-demi sedikit tergantung kebutuhan. Petani ladang rata-rata menggiling gabah sitap 24 hari sedangkan petani padi sawah rata-rata mengging gabah setiap 18 hari. Lebih tingginya frekuensi penggilingan gabah petani padi sawah disebabkan karena akses penggilingan di sekitar padi sawah yang lebih mudah dan kebutuhan beras sosial petani padi sawah lebih tinggi sehingga agar kualitas beras yang dihasilkan baik, maka petani padi sawah menggiling gabah lebih sering daripada petani padi ladang. Masa simpan terlama gabah petani yaitu satu musim. Setelah satu musim, gabah dapat dipastikan habis, baik itu dikonsumsi maupun dijual. Jika dalam jangka waktu satu musim gabah tidak dijual, maka kualitas gabah akan turun dan bila dijual pun harganya akan lebih rendah dari gabah yang baru dipanen. 7. Cara Penjualan Hasil Panen Di Kabupaten Karawang, ada tiga cara penjualan hasil panen petani, antara lain: tebas, sekaligus, dan bertahap. Cara penjualan tebas adalah penjualan panen secara borongan. Hasil panen hanya melalui perkiraan penebas dan harga borongan didapat atas hasil tawar-menawar antara penebas dan petani. Setelah transaksi berlangsung, maka petani lepas dari tanggung jawab pemanenan, karena pemanenan akan dilakukan oleh penebas. Cara penjualan sekaligus adalah cara penjualan yang dilakukan sesaat setelah pemanenan. Nilai transaksi berdasarkan hasil panen yang didapat petani. Tanggung jawab pemanenan ada di petani. Pada petani lahan sawah, pembeli dalam hal ini tengkulak biasanya menjemput gabah yang akan dibelinya hingga ke lahan petani, sehingga transaksi biasanya dilakukan di lahan petani. Lain halnya dengan penjualan bertahap. Pada cara penjualan ini, petani juga melakukan penjualan di lahan seperti penjualan sekaligus, tetapi tidak semua gabah yang dipanen dijual, melainkan disimpan, dan baru dijual di kemudian hari. Dari informasi yang didapat di lapangan, cara panen tidak mempengaruhi jumlah marketed surplus. Yang dipengaruhi adalah penghasilan atau uang tunai hasil penjualan panen. Hal tersebut disebabkan dari ketiga cara penjualan, harga

yang dipakai saat transaksi berbeda-beda. Harga penjualan dengan tebas umumnya lebih rendah karena cara pembelian ini bersifat borongan. Pemanenan pun dilakukan oleh pembeli atau penebas sehingga perlu biaya tambahan. Harga cara penjualan sekaligus adalah harga gabah kering panen atau gabah basah. Sedangkan penjualan bertahap menggunakan harga gabah basah dan gabah kering panen sehingga hasil penjualannya akan lebih banyak karena harga gabah kering simpan umumnya lebih tinggi dari gabaha kering panen atau gabah basah. Tabel 32. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Penjualan Hasil Panen Tahun 2010 Cara Penjualan Padi Sawah Padi Ladang (n) (%) (n) (%) tidak menjual 1 1,00 17 19,00 Bertahap 33 37,00 12 13,00 Sekaligus 21 23,00 1 1,00 tebas dan bertahap 4 4,00 0 0,00 tebas dan sekaligus 1 1,00 0 0,00 Jumlah 60 67,00 30 33,33 Petani di Kabupaten Karawang, baik itu petani padi sawah maupun padi ladang paling banyak melakukan penjualan secara bertahap (45%), kemudian diikuti dengan penjualan secara sekaligus (23%). Untuk cara penjualan kombinasi antara tebas, bertahap, dan sekaligus, hal itu dilakukan oleh petani yang mempunyai lahan lebih dari satu persil sehingga memungkinkan petani tersebut menerapkan cara penjualan yang berbeda untuk setiap persilnya. Untuk petani yang menjual hasil panennya secara sekaligus, petani tersebut umumnya melakukan penjualan saat panen atau beberapa hari setelah panen. Hal tersebut dimungkinkan karena tengkulak di sana juga telah terbiasa menjemput hasil panen yang kan dibelinya hingga ke lahan atau ke pinggir jalan yang terdekat dari lahan petani. Itu cukup menguntungkan petani karena bisa menghemat biaya pengangkutan dan pengemasan. Di musim terakhir (akhir 2010), ada petani yang tidak melakukan penjualan hasil panen. Untuk petani padi sawah, hal tersebut dikarenakan lahannya puso total sehingga padinya tak bisa dipanen sama sekali. Lain halnya

dengan petani padi ladang. Meraka tidak melakukan penjualan karena hasil panennya habis untuk konsumsi rumah tangga. Tabel 33. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Mengunakan Cara Penjualan Tebas Tahun 2010 Alasan (n) (%) Mengurangi risiko 2 40,00 Lebih Praktis 3 60,00 Jumlah 5 100,00 Alasan mengurangi risiko muncul karena sistem tebas biasa digunakan oleh petani yang letak sawahnya berada jauh dari kediaman petani. Beberapa hari menjelang panen petani tersebut biasanya menjual padinya secara borongan. Hal itu disebabkan karena jika tidak dijual secara borongan, tindak pencurian sering muncul jika sawah petani tidak diawasi. Jika dijual secara tebas, maka risiko pencurian tersebut bisa dihindari dan tanggung jawab pemanenan berpindah ke penebas sehingga petani tidak perlu repot untuk memanen. Alasan lain yang timbul dari petani adalah petani tersebut tidak ingin repot. Jika hasil panennya dijual secara tebas, maka petani langsung mendapat uang hasil penjualan padinya tersebut sehingga tidak perlu repot memanen dan menjual ke tengkulak. Tabel 34. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Melakukan Penjualan Bertahap Tahun 2010 Padi Sawah Padi Ladang Alasan Jula Bertahap (n) (%) (n) (%) Untuk Keperluan Sosial 2 4,08 0 0 Motif jaga-jaga 20 40,80 12 24,78 Kebiasaan/Budaya 2 4,08 0 0 Menunggu harga baik 13 25,53 0 0 Jumlah 37 55,22 12 24,78 Alasan petani yang menjual hasil panennya secara bertahap yaitu yang terbanyak adalah karena motif jaga-jaga (64%). Selanjutnya, alasan petani yaitu menunggu harga baik (25,5%), kebiasaan atau budaya (4,08%, dan untuk keperluan sosial (4,08%). Alasan motif jaga-jaga yaitu petani bisa menjual gabah

yang mereka simpan jika dalam jangka waktu satu musim ada kebutuhan mendadak. Dengan kata lain, stok gabah cadangan ini berfungsi sebagai aktiva lancar petani yang bisa dijual sewaktu-waktu. Motif jaga-jaga di sini juga ada yang maksudnya untuk keperluan modal musim selanjutnya. Jika pada musim tanam selanjutnya petai kurang biaya untuk membayar faktor produksi seperti tenaga kerja, maka petani juga bisa menjual gabah yang disimpannya. Alasan menunggu harga baik berlaku bagi petani yang sudah bersifat komersial, artinya petani tersebut menginginkan hasil panennya dijual pada saat harga lebih tinggi dari harga panen. Saat pertengahan musim tanam selanjutnya, atau dua sampai tiga bulan setelah panen, biasannya harga gabah terutama gabah kering simpan akan naik karena pasokan gabah ke pasaran menurun. Di saat itu lah petani biasanya menjual gabah yang disimpannya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Alasan kebudayaan dan keperluan sosial adalah petani yang konsumsi beras untuk keperluan sosialnya tinggi, biasanya setiap akan mengonsumsi beras tersebut, petani bisa menggunakan atau menggiling hasil panennya agar tidak perlu membeli beras dari pasar. Tabel 35. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Penjualan Cara Sekaligus Tahun 2010 Alasan (n) (%) Kebutuhan Uang Tunai 15 62,50 Petani Enggan Melakukan Kegiatan Pasca Panen 9 37,50 Jumlah 24 100,00 Berdasarkan pengamatan, penjualan dengan cara sekaligus hanya digunakan oleh petani padi sawah. Alasan petani melakukan penjualan sekaligus yaitu karena kebutuhan uang tunai. Hal tersebut dikarenakan modal untuk membiayai usahatani petani tersebut pada musim itu sebagian besar berasal dari modal pinjaman. Pinjaman tersebut harus segera dibayar setelah panen. Oleh karena itu, agar bisa membayar cicilan utang tersebut, maka petani melakukan penjualan secara sekaligus.

Tabel 36. Distribusi Jumlah Petani Berdasarkan Proporsi Modal Sendiri Petani Terhadap Modal Total Tahun 2010 Tebas proporsi modal sendiri Sekaligus (n) Tidak menjual (n) Bertahap (n) Tebas dan bertahap (n) dan sekaligus (n) <25% 7 0 0 0 1 25-50% 2 1 2 0 0 51-75% 4 0 2 0 0 <75% 1 0 1 0 0 100% 9 17 39 5 0 Jumlah 13 18 42 4 1 Dari Tabel 36 dapat dilihat bahwa petani yang melakukan penjualan secara sekaligus, sebagian besar modalnya berasal dari pinjaman. Proporsi pinjamannya pun lebih dari lima puluh persen dari modal total petani. Alasan lainnya, petani tidak mau repot melakukan penjemuran dan penyimpanan. Kalaupun melakukan, petani hanya menjemur dan menyimpan hasil panen hanya untuk simpanan keperluan konsumsi rumah tangga atau dalam jumlah yang kecil. Ada perbedaan yang cukup mencolok dalam bentuk penjualan hasil panen antra petani padi sawah dan ladang. Petani padi sawah lebih banyak menjual hasil panennya lebih banyak dalam bentuk gabah kering panen, sedangkan petani padi ladang lebih banyak dalam bentuk gabah kering giling. Dari hasil pengamatan dan data di lapangan, perbedaan perilaku penjualan petani tersebut salah satunya disebabkan status usahatani petani. Petani padi sawah umumnya menjadikan usahatani padi sebagai matapencaharian utama sedangkan petani padi ladang seluruhnya menjadikan usahatani padinya sebagai usahatani sampingan. Bagi petani padi sawah, hasil panen harus segera dijual agar hasil penjualannya bisa segera dipakai untuk berbagai keperluan. Sedangkan bagi petani padi ladang, usahatani padi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras rumah tangga. Jika ada lebih, maka petani baru menjualnya. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, petani padi ladang lebih mengandalkan pada penjualan hasil kebun, seperti pisang dan jeruk.

Perbedaan status usahatani tersebut terlihat dari luasan padi yang diusahakan. Petani padi sawah umumnya mengusahakan lebih dari satu hektar sawah sedangkan petani padi ladang umumnya hanya mengusahakan kurang dari satu hektar. Penyebab lainnya yaitu kapasitas petani dalam menyimpan hasil panennya. Umumnya petani hanya bisa menyimpan sebagian kecil hasil panennya akrena akses penyimpanan hasil panen juga lebih banyak di dalam rumah yang kapasitasnya kecil pula. Dengan produktivitas lahan yang lebih rendah daripada lahan sawah, proporsi hasil panen yang mampu disimpan petani ladang akan lebih besar daripada petani padi sawah. 6.1.2 Saluran Pemasaran Gabah Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembeli gabah petani masih disominasi oleh tengkulak. Ada juga petani padi sawah yang menjual sebagian hasil panennya ke penangkar benih, dalam hal ini Balai Besar Padi, sedangkan semua petani padi ladang menjual gabahnya kepada tengkulak. Tengkulak di Kabupaten Karawang bukan hanya sekedar berperan sebagai pengumpul gabah petani saja, tetapi mereka berperan sebagai pengolah. Hal itu disebabkan tengkulak di Kabupaten Karawang pasti mempunyai alat penggilingan beras sehingga mereka membeli gabah kering panen atau giling dari petani dan menjual beras kepada lembaga pemasar selanjutnya. Tabel 37. Sebaran Petani Berdasarkan Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010 Saluran Pemasaran Gabah Petani Padi Sawah Petani Padi Ladang (n) (%) (n) (%) Tengkulak/pengggilingan 57 65,51 28 32,18 Tengkulak dan Penangkar Benih 2 2,29 0 0 Jumlah 59 67,80 28 32,2 Ada beberapa alasan mengapa petani memilih menjual gabahnya kepada tengkulak. Alasan-alasan petani tersebut dapat dilihat di Tabel 38.

Tabel 38. Sebaran Petani Berdasarkan Alasan Pemilihan Tengkulak Sebagai Saluran Pemasaran Gabah Petani Tahun 2010 Alasan (n) (%) Ikatan Kerja sama 3 3,45 Meminjam Uang 6 6,89 Kebutuhan Uang Tunai Secara Cepat 57 65,51 Lebih Mudah 21 24,13 Jumlah 87 100,00 Alasan kebutuhan uang tunai dan kemudahan proses penjualan menjadi alasan utama petani menjual gabahnya kepada tengkulak. Hal tersebut disebabkan saat panen, tengkulak tidak segan-segan menjemput gabah yang akan dibelinya langsung ke lahan sawah petani. Sedangkan untuk petani padi ladang, tengkulak adalah satu-satunya saluran pemasaran yang apling dekat dan mudah diakses karen umumnya lapan dan tempat tinggal petani padi ladang berada di pedalaman atau aksesnya jauh dari perkotaan.