BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN KEGIATAN SPP

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Tabel Triangulasi. Fokus 1. Evaluasi Masukan (Evaluation Input) a. Prosedur Pelaksanaan SPP. Wawancara Dokumentasi Observasi

Panduan Wawancara. Universitas Sumatera Utara

(PNPM : : PJOK,

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Kegiatan. perencanaan program sudah berjalan dengan baik.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang, sebagai negara berkembang

PENJELASAN VI PENULISAN USULAN DAN VERIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Perdesaan (PNPM-MP) salah satunya ditandai dengan diberlakukannya UU No. 6

BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PENYELENGGARAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DESA KEMANG

BAB III PELAKSANAAN UTANG PIUTANG EMAS DI KEBOMAS GRESIK

LAMPIRAN. Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam. Nama :... Peran di PNPM-MPd :...

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sekretariat PNPM MP Kecamatan Ranomeeto, maka adapun hasil penelitian. yang didapatkan dapat digambarkan sebagai berikut:

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

2015 PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI PROGRAM MICROFINANCE PADA KELOMPOK SIMPAN PINJAM PEREMPUAN (SPP)DALAM MENINGKATKAN EKONOMI

BUKU PEGANGAN PELATIH MASYARAKAT PENINGKATAN KUALITAS KEGIATAN KESEHATAN DALAM PNPM MANDIRI PERDESAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDES) Sejarah Singkat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI ANTARA UNIT PENGELOLAAN KEGIATAN DAN KELOMPOK MASYARAKAT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan penyediaan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin. memberdayakan masyarakat (BAPPENAS, Evaluasi PNPM 2013: 27).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bagi seluruh rakyat Indonesia dan di dalam undang-undang Dasar 1945,

BAB V PROFIL RELAWAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM KERANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN 1 Nani Zulminarni 2

Oleh: Elfrida Situmorang

PENGARUH FAKTOR PENDORONG TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Indonesia yang tergolong miskin. Bagi mereka mencari kredit mandiri

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Desa Limehe Timur adalah salah satu dari sembilan desa di Kecamatan

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 28 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB III GAMBARAN UMUM SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) DESA TUNGU KECAMATAN GODONG KABUPATEN GROBOGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

BAB IV DISKUSI, BEKERJASAMA DAN BERAKSI BERSAMA MASYARAKAT. (Dinamika Proses Pendampingan Masyarakat)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan pedesaan merupakan bagian integral dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

V. DAMPAK PERGULIRAN DANA SPP TERHADAP UMKM. 5.1 Keragaan Penyaluran Pinjaman Dana Bergulir SPP

BAB IV IMPLEMENTASI SPP (SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

SOLUSI DANA AMANAH MASYARAKAT

BAB IV GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Lokasi Letak dan Keadaan Fisik

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci

Laki-laki Perempuan Jumlah

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB VI PERSEPSI RELAWAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Telah banyak kebijakan pemberdayaan ekonomi keluarga miskin. yang diprogramkan pemerintah sebagai langkah efektif dalam upaya

BUPATI BANTUL PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Koperasi Al Mawaddah. Berdasarkan analisis data penelitian dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV terdapat salah satu tujuan negara

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

WALIKOTA SAWAHLUNTO PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG. PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN KECAMATAN PREMBUN DESA BAGUNG

P R O F I L PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERDESAAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahasan utama dalam penelitian ini. Minimnya lapangan pekerjaan, pembangunan

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Jalan Aspal Pusong Menuju Desa Wisata

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 9 Tahun : 2015

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Jurnal Paradigma, Vol. 6 No. 1, April 2017 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kompleks yang dihadapi negara Indonesia. Untuk menidak lanjuti masalah

BAB IV GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. 4.1 Gambaran Umum kelurahan Simpang Baru Kondisi Geografis Kelurahan Simpang Baru

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 41 TAHUN : 2008 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 103 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM-MP) DI DESA SONOWANGI KECAMATAN AMPELGADING KABUPATEN MALANG

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

KOPERASI UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA DI DESA BULU KECAMATAN SEMEN KABUPATEN KEDIRI

BAB VI KARAKTERISTIK DAN TAHAPAN PERKEMBANGAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT KELURAHAN SITUGEDE

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. penelitian. Hal ini dilakukan berdasarkan bahwa mereka dapat memberikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan sturktural dan kemiskinan kesenjangan antar wilayah. Persoalan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN DESA NANGGUNG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA NANGGUNG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

Transkripsi:

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN 5.1 Faktor Internal Menurut Pangestu (1995) dalam Aprianto (2008), faktor internal yaitu mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu dalam penelitian ini mencakup umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. 5.1.1 Umur Kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) lebih dikhususkan pada perempuan yang telah menikah. Tidak ada kategori umur tertentu untuk bergabung menjadi anggota kelompok ini. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah pengurus yang tergolong dalam umur dewasa lebih banyak dibandingkan anggotanya. Keadaan ini berbeda pada anggota, karena sebagian besar anggota tergolong pada umur dewasa lanjut. Sebaran anggota SPP menurut umur tampak pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Umur Tahun 2011 Golongan Usia Dewasa 20 80 9 36 Dewasa Lanjut 5 20 16 64 25 100 25 100 Sebagian besar pengurus dalam kelompok, tergolong pada umur dewasa. Hal tersebut dikarenakan perempuan yang tergolong usia dewasa lanjut enggan menjadi pengurus. Alasan mereka tidak menjadi pengurus yaitu kurangnya kemampuan dalam membaca dan menulis, serta rendahnya pemahaman dalam pengisian administrasi. Selain itu, sebagian besar perempuan yang tergolong umur dewasa lanjut mengaku kurang memahami peraturan-peraturan yang berlaku dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Oleh sebab itu, dalam pemilihan pengurus lebih mengutamakan perempuan yang tergolong usia dewasa.

40 5.1.2 Pendidikan pendidikan pengurus lebih tinggi dari pada anggotanya. Sebagian besar pengurus bersekolah sampai tingkat SMA atau pernah bersekolah di universitas, sedangkan sebagian besar anggota hanya bersekolah sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Sebaran anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) menurut tingkat pendidikan tampak pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pendidikan Tahun 2011 Pendidikan Rendah 5 20 20 80 Sedang 5 20 2 8 Tinggi 15 60 3 12 25 100 25 100 Salah satu kriteria pemilihan pengurus dalam kelompok yaitu tingkat pendidikan formal. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi lebih berpeluang menjadi pengurus dalam kelompok. Biasanya perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi, lebih dapat menyerap informasi dengan cepat dibanding mereka yang hanya memperoleh pendidikan yang rendah. Banyaknya administrasi yang harus dikerjakan oleh masing-masing kelompok merupakan salah satu penyebab pendidikan formal menjadi kriteria dalam pemilihan pengurus. Malta (2008) pada penelitiannya mengemukakan bahwa tingkat pendidikan menentukan kemampuan seseorang, khususnya dalam mencari informasi, sebagai tambahan pengetahuan. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh seseorang membantu dalam pengembangan pola pikir dan daya nalar seseorang. Oleh karena itu, pendidikan formal dalam pemilihan pengurus kelompok perlu dipertimbangkan untuk kelancaran kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). 5.1.3 Jenis Pekerjaan Sebagian besar anggota bekerja sebagai pedagang. Keadaan tersebut berbeda pada pengurus, karena hanya sedikit pengurus yang bekerja sebagai pedagang. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua perempuan yang meminjam dana pada kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) digunakan untuk modal usaha. Penggunaan pinjaman untuk usaha lebih banyak pada anggota

41 dibandingkan pengurus. Sebaran anggota SPP menurut jenis pekerjaan tampak pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2011 Pekerjaan Berdagang 12 48 19 76 Tidak Berdagang 13 52 6 24 25 100 25 100 Terdapat beberapa perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) lebih memilih bekerja di bidang lain yaitu sebagai buruh pabrik, Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru honorer, dan buruh tani dibandingkan menjadi pedagang. Selain itu, terdapat juga perempuan yang tidak bekerja, karena mereka hanya sebagai ibu rumah tangga. Dalam pengangsuran pinjaman, perempuan yang tidak bekerja hanya bergantung kepada suami. Pada kenyataannya dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) tidak membatasi pekerjaan perempuan anggota SPP, baik berdagang maupun bukan pedagang. Setiap perempuan yang sudah menikah dan sekiranya mampu dalam pengangsuran pinjaman dapat meminjam dana tanpa dilihat pekerjaannya. Beragam jenis usaha yang dijalankan oleh perempuan yang bekerja sebagai pedagang yaitu pangan, jasa, dan pertanian. Sebagian besar dari pengurus dan anggota menjalankan usaha pada jenis usaha pangan. Jenis usaha pangan yang dijalankan antara lain: (1) usaha makanan rames; (2) usaha es; dan (3) usaha sembako. Banyak perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) lebih memilih menjalankan jenis usaha pangan karena lebih mudah dalam penjualan dan tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. Sebaran anggota SPP yang berdagang menurut jenis usaha pada tampak pada Tabel 8.

42 Tabel 8. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Jenis Usaha Tahun 2011 Jenis Usaha Pangan 9 76 17 89 Jasa 1 8 0 0 Pertanian 2 16 2 10 12 100 19 100 Modal merupakan faktor penting dalam menjalankan sebuah usaha. Sumber modal dapat diperoleh dari berbagai pihak. Kategori modal usaha dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu modal dari kegiatan SPP dan modal bukan dari kegiatan SPP. Sebagian besar perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) yang bekerja sebagai pedagang telah memiliki usaha sebelum bergabung dalam kegiatan SPP. Mereka menggunakan pinjaman dana untuk perkembangan usaha bukan menjadi modal awal. Hampir semua perempuan yang bekerja sebagai pedagang telah menjalankan usahanya lebih dari tiga tahun. Namun, terdapat juga beberapa perempuan yang mengaku tetap meminjam modal dari bank keliling dengan alasan pencairan dana pinjaman lebih cepat dibandingkan meminjam dana pada kegiatan SPP. Sebaran anggota SPP yang berdagang menurut modal usaha tampak pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Modal Usaha Tahun 2011 Permodalan Modal dari 2 17 3 16 SPP Modal dari 10 83 16 84 pihak lain 12 100 19 100 Pemasaran adalah tahapan proses usaha setelah memproduksi barang. Pemasaran barang-barang usaha dapat dikategorikan menjadi dua yaitu menjual sendiri atau dijual ke distributor. Sebaran anggota SPP yang berdagang menurut modal usaha tampak pada Tabel 10.

43 Tabel 10. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pemasaran Produk Usaha Tahun 2011 Pemasaran Menjual 10 83 18 95 sendiri Menjual ke 2 17 1 5 distributor 12 100 19 100 Sebagian besar perempuan baik pengurus maupun anggota lebih memilih menjual barang dagangannya sendiri dari pada dijual ke distributor. Alasan para perempuan memilih menjual sendiri barang dagangannya karena lebih praktis dan keuntungan yang diperoleh juga lebih banyak dari pada dijual ke distributor. Beberapa perempuan memilih menjual barang dagangannya dengan cara berkeliling. Cara penjualan seperti ini lebih banyak digunakam oleh mereka yang menjalankan jenis usaha makanan olahan yang harus terjual dalam waktu singkat. Pengelolaan usaha adalah cara mengelola usaha yang dijalankan oleh penjual. Kategori pengelolaan usaha dapat dibagi menjadi dua yaitu berkelompok dan individu. Semua perempuan yang tergabung dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) mengelola usahanya secara individu. Pada kegiatan SPP tidak terdapat kegiatan usaha yang dikelola secara kelompok. Status kelompok dalam kegiatan SPP hanya digunakan untuk mempermudah dalam administrasi dan menyaluran dana pinjaman. 5.1.4 Pendapatan Tidak semua perempuan yang tergabung dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) mempunyai penghasilan. Keadaan ini lebih banyak dialami oleh pengurus dibandingkan anggotanya. Sebaran anggota SPP menurut tingkat pendapatan tampak pada Tabel 11.

44 Tabel 11. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pendapatan Tahun 2011 Pendapatan Tidak 9 36 3 12 Berpenghasilan Berpenghasilan 12 48 16 64 Rendah Berpenghasilan 4 16 6 24 Tinggi 25 100 25 100 Sebagian besar tingkat pendapatan perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) tergolong rendah. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan yang dipilih pengurus maupun anggota lebih banyak pada sektor informal. Alasan memilih sektor informal karena tingkat pendidikan mereka yang rendah. Perempuan yang memilih bekerja sebagai pedagang, hanya menjual barang dagangan dalam jumlah sedikit sehingga pendapatannya pun rendah. Bagi perempuan yang tidak berpenghasilan, dalam pengangsuran pinjaman hanya bergantung kepada penghasilan suami. Mereka mengaku bingung memilih jenis usaha yang akan dijalankan, sehingga mereka tidak membuka usaha. Pada kegiatan SPP pun jarang dilaksanakan pelatihan usaha. Pada hal pelatihan tersebut penting untuk menambah ketrampilan perempuan dalam mengembangkan usahanya. 5.2 Faktor Eksternal Menurut pangestu (1995) dalam Aprianto (2008) faktor eksternal yaitu hubungan yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran yang dapat mempengaruhi partisipasi. Faktor eksternal dalam penelitian ini adalah pengaruh peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD. Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut. 5.2.1 Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) pada kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) adalah memandu perempuan dalam mengikuti kegiatan SPP pada tahap perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil, dan evaluasi. Penilaian perempuan berbeda-beda mengenai pengaruh peran

45 KPMD dalam kegiata SPP. Pengaruh peran KPMD berdasarkan penilaian perempuan anggota SPP tampak pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pengaruh Peran KPMD Tahun 2011 Peran KPMD Rendah 7 28 10 40 Sedang 8 32 7 28 Tinggi 10 40 8 32 25 100 25 100 Perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) mempunyai penilaian yang berbeda-beda mengenai pengaruh peran Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Sebagian pengurus menilai bahwa KPMD mempunyai peran yang tinggi pada kegiatan SPP. Keadaan ini berbeda dengan penilaian anggota, sebagian dari anggota menilai rendah peran KPMD. dalam kelompok mempunyai akses yang lebih besar untuk berhubungan dengan KPMD maupun pengurus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) tingkat desa atau kecamatan. Hal tersebut mengakibatkan pengurus lebih merasakan dan mengetahui keterlibatan KPMD dalam kegiatan SPP dari pada anggota. KPMD merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan SPP. Seharusnya pihak KPMD menjadi wadah bagi para perempuan dalam menyalurkan aspirasinya. Namun, pada faktanya terdapat beberapa perempuan yang kurang merasakan keterlibatan KPMD dalam kegiatan SPP. 5.2.2 Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Peran Tim Pengelola Kegiatan (TPK) pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) adalah mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di desa dan mengelola administrasi, serta keuangan PNPM Mandiri Perdesaan. Sebagian besar perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) baik pengurus maupun anggota menilai bahwa pengaruh peran TPK dalam kegiatan SPP tergolong sedang. Pengaruh peran TPK berdasarkan penilaian perempuan anggota SPP tampak pada Tabel 13.

46 Tabel 13. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pengaruh Peran TPK Tahun 2011 Peran TPK Rendah 14 56 8 42 Sedang 11 44 17 68 Tinggi 0 0 0 0 25 100 25 100 Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dibantu oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) memberikan sosialisasi sebelum dilaksanakan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) di desa. Selain itu, TPK juga merupakan salah satu pihak yang menandatangani proposal pengajuan dana kelompok SPP. Apabila proposal pengajuan dana tidak mendapatkan persetujuan dari TPK, maka proposal belum dapat diajukan ke tingkat kecamatan. Semua kegiatan yang didanai oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan harus mendapatkan persetujuan dari TPK. Namun dalam pelaksanaannya, yang bertanggung jawab dalam kegiatan SPP adalah Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Hal tersebut menyebabkan penilaian perempuan terhadap peran TPK dalam kegiatan SPP tergolong sedang. 5.2.3 Kepala Desa Peran Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di desa. Semua perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) baik pengurus maupun anggota menilai bahwa pengaruh peran Kepala Desa dalam kegiatan SPP tergolong rendah. Pengaruh peran Kepala Desa berdasarkan penilaian perempuan anggota SPP tampak pada Tabel 14.

47 Tabel 14. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pengaruh Peran Kepala Desa Tahun 2011 Peran Kepala Desa Rendah 25 100 25 25 Sedang 0 0 0 0 Tinggi 0 0 0 0 25 100 25 100 Kepala Desa bertugas mengawasi jalannya kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Sama halnya dengan Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Kepala Desa juga menjadi salah satu pihak yang menandatangi proposal pengajuan dana. Apabila belum mendapatkan persetujuan dari Kepala Desa maka proposal belum dapat diajukan ke pihak kecamatan. Kepala Desa tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan SPP, karena segala urusan yang berhubungan dengan kegiatan SPP diserahkan kepada Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Walaupun demikian, Kepala Desa harus mengetahui seluruh kegiatan yang didanai oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Hal ini dikarenakan Kepala Desa mempunyai kewenangan untuk mengetahui seluruh kegiatan yang dilaksanakan di wilayah kepemimpinannya. 5.2.4 Badan Permusyawarahan Desa (BPD) Badan Permusyawarahan Desa (BPD) berperan sebagai lembaga yang mengawasi proses dari setiap tahapan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, termasuk sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian di desa. Sebagian besar perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) menilai bahwa BPD mempunyai pengaruh yang rendah dalam kegiatan SPP. Pengaruh peran BPD berdasarkan penilaian perempuan anggota SPP tampak pada Tabel 15.

48 Tabel 15. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Pengaruh Peran BPD Tahun 2011 Peran BPD Rendah 24 96 25 25 Sedang 1 4 0 0 Tinggi 0 0 0 0 25 100 25 100 Badan Permusyawarahan Desa (BPD) bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan SPP dan tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Hal ini dikarenakan segala urusan yang berhubungan dengan kegiatan SPP diserahkan kepada Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Walaupun pihak BPD bukan pihak yang dimintai persetujuan dalam proposal pengajuan dana, tetapi pihak BPD harus mengetahui keberlangsungan kegiatan SPP di desa. Biasanya BPD diikutsertakan dalam setiap rapat yang berhubungan dengan kegiatan SPP. 5.3 Partisipasi Perempuan Menurut Cohen dan Uphoff (1979), partisipasi dibedakan menjadi empat tahapan yaitu: (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan; (3) partisipasi dalam pemanfaatan hasil; dan (4) partisipasi dalam evaluasi. Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut. 5.3.1 Tahap Perencanaan Partisipasi pada tahap perencanaan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) adalah keikutsertaan perempuan yang dilihat dari kehadiran, keterlibatannya dalam berpendapat, dan pembuatan aturan kegiatan. partisipasi pengurus pada tahap perencanaan tampak lebih tinggi dibandingkan anggotanya. Sebaran anggota SPP menurut tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dapat dilihat pada Tabel 16.

49 Tabel 16. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Tahap Perencanaan Tahun 2011 partisipasi Rendah 1 4 5 20 Sedang 6 24 7 28 Tinggi 18 72 13 52 25 100 25 100 Sebagian besar perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) tergolong tinggi partisipasinya pada tahap perencanaan. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) didampingi oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) tingkat kecamatan melakukan sosialisasi kepada para perempuan anggota SPP. Perempuan yang mengikuti sosialisasi diberi kesempatan untuk bertanya atau memberikan saran untuk kebaikan pelaksanaan kegiatan SPP. Terdapat aturanaturan pokok tertulis yang wajib ditaati oleh para perempuan anggota SPP sesuai dengan Panduan Teknis Operasional (PTO) kegiatan SPP, antara lain: (1) penentuan bunga dalam pengangsuran; (2) jumlah orang setiap kelompok; dan (3) jumlah angsuran. anggota SPP setiap kelompok yaitu minimal lima orang dan maksimal 15 orang. Dalam pembentukan kelompok, para perempuan diberi kebebasan untuk memilih anggotanya. Namun, untuk mempermudah pengumpulan uang angsuran, mereka biasanya membentuk kelompok yang anggotanya bertempat tinggal pada Rukun Warga (RW) yang sama. Masingmasing kelompok mempunyai hak untuk menyusun peraturan yang berlaku di kelompok, contohnya penentuan waktu pengangsuran. Waktu pengangsuran setiap kelompok berbeda-beda. Hal tersebut disesuai dengan waktu pencairan pinjaman dan kesepakatan setiap kelompok. 5.3.2 Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok (SPP) adalah keikutsertaan perempuan yang dilihat dari peminjaman dana, ketepatan dalam penggunaan dana, akses dan kontrol terhadap kegiatan, serta ketepatan dalam pengangsuran dana pinjaman. Sebagian besar perempuan anggota SPP tergolong pada tingkat partisipasi yang tinggi. Namun jumlah pengurus yang tergolong pada

50 tingkat partisipasi tinggi lebih banyak dibandingkan anggota. Sebaran anggota SPP menurut tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan tampak pada Tabel 17. Tabel 17. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Tahap Pelaksanaan Tahun 2011 partisipasi Rendah 1 4 1 4 Sedang 2 8 10 40 Tinggi 22 88 14 56 25 100 25 100 dituntut lebih aktif dibandingkan anggotanya karena pengurus harus mengetahui administrasi dan semua hal yang berhubungan dengan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Semua perempuan anggota SPP meminjam dana pada kegiatan SPP. Maksimal jumlah peminjaman pada periode pertama adalah Rp 1.000.000,00, sedangkan pada periode kedua yaitu Rp 3.000.000,00. Sebagian besar kelompok SPP telah melakukan peminjaman sebanyak dua periode. Pencairan dana pada setiap kelompok berbeda-beda, sesuai dengan penyerahan proposal pengajuan dana. Jadi, semakin cepat proposal diajukan ke pihak kecamatan, semakin cepat pula pencairan dana pinjaman. Beberapa perempuan anggota SPP mengaku bahwa pinjaman tidak digunakan untuk modal usaha melainkan untuk keperluan lainnya. Pengangsuran pinjaman setiap kelompok cenderung lancar. Hal tersebut dikarenakan setiap anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) mempunyai kesadaran untuk membayar angsuran setiap bulannya. Apabila terdapat satu anggota yang tidak bisa membayar angsuran, biasanya pengurus berinisiatif untuk membayarkannya terlebih dahulu, namun dengan catatan anggota tersebut akan menggantinya. Walaupun telah mempunyai kesadaran untuk membayar angsuran, namun setiap bulan apabila telah mendekati tanggal pengangsuran, pengurus tetap mengingatkan para anggotanya untuk membayar angsuran, seperti yang diungkapkan oleh LYT (pengurus kelompok) sebagai berikut:

51 Tanggal mengangsur kelompok saya setiap tanggal 20, jadi kalau sudah mendekati tanggalnya, saya sering mengingatkan anggota lain. Kebetulan rumah kami berdekatan jadi hanya berbicara satu kali dengan suara yang keras semua anggota sudah mendengar. Pembayaran angsuran bulanan menjadi kriteria pihak kecamatan dalam menilai keberhasilan kegiatan SPP. Apabila terdapat kemacetan dalam pengangsuran akan berdampak pada semua kegiatan yang didanai oleh program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) karena bantuan dana dapat diberhentikan. 5.3.3 Tahap Menikmati Hasil Partisipasi pada tahap menikmati hasil kegiatan Simpan Pinjam kelompok Perempuan (SPP) adalah keterlibatan perempuan yang dilihat dari kemudahan akses peminjaman dana. Sebagian besar perempuan anggota SPP mengaku bahwa peminjaman dana pada kegiatan SPP tergolong mudah. Sebaran anggota SPP menurut tingkat partisipasi pada tahap menikmati hasil tampak pada Tabel 18. Tabel 18. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Tahap Menikmati Hasil Tahun 2011 partisipasi Rendah 0 0 0 0 Sedang 6 24 4 16 Tinggi 19 76 21 84 25 100 25 100 Tidak terdapat perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) yang mengalami kesulitan dalam peminjaman dana. Sebagian besar perempuan yang tergabung dalam kegiatan SPP mendapatkan dana sesuai dengan jumlah yang tertulis pada proposal pengajuan dana. Pihak Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dalam memutuskan jumlah pinjaman akan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) penghasilan, (2) penjelasan usaha yang akan dijalankan, dan (3) latar belakang keuangan perempuan tersebut. Biasanya Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) akan memberitahukan pihak UPK, jika terdapat perempuan yang mempunyai latar belakang keuangan yang kurang baik atau sering berhutang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemacetan dalam pengangsuran pinjaman.

52 Persyaratan peminjaman dana dalam kegiatan SPP tergolong mudah, karena tidak ada jaminan. Setiap kelompok membuat pengajuan proposal yang akan diajukan ke tingkat kecamatan. Pada pembuatan proposal pengajuan dana, tidak jarang yang lebih terlibat adalah pengurus dibandingkan anggotanya. Hal tersebut dikarenakan pengurus lebih memahami pembuatan proposal pengajuan dana. Beberapa perempuan mengaku bahwa waktu pencairan pinjaman periode pertama relatif lebih lama dibandingkan periode kedua. Tidak sedikit kelompok telah mendapatkan pinjaman dana selama dua periode yaitu tahun 2009 dan 2010. 5.3.4 Tahap Evaluasi Tahap evaluasi kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) adalah keikutsertaan perempuan yang dilihat dari keterlibatannya dalam kegiatan identifikasi masalah, pelaksanaan, pelaporan kegiatan, dan mencari solusi permasalahan. Sebagian besar pengurus lebih tinggi tingkat partisipasinya dalam tahap evaluasi dibandingkan anggota. Sebaran anggota SPP menurut tingkat partisipasi pada tahap evaluasi tampak pada Tabel 19. Tabel 19. Sebaran SPP PNPM Mandiri Perdesaan Berdasarkan Tahap Evaluasi Tahun 2011 partisipasi Rendah 2 8 17 68 Sedang 2 8 4 16 Tinggi 21 84 4 16 25 100 25 100 kurang dilibatkan pada tahap evaluasi dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Indentifikasi masalah dan pembuatan laporan bulanan lebih banyak dilakukan pengurus. Apabila terdapat permasalahan dalam kelompok, pengurus langsung melaporkan pada pihak kecamatan. Sebagian besar anggota tidak mengetahui masalah administrasi pada kegiatan SPP, karena yang mengurusi semua masalah administrasi adalah pengurus kelompok. Namun ada beberapa kelompok yang semua masalah administrasi dikerjaan oleh satu orang pengurus. Pada hal di setiap kelompok terdapat tiga orang pengurus yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara. Jadi pengurus lainnya hanya terdaftar sebagai

53 pengurus pada administrasi, namun dalam kenyataannya tidak menjalankan tugasnya dengan baik, contohnya kelompok Usaha Mandiri. Pada kelompok ini, ketua mengurusi semua administrasi dan keuangan kelompok. Bendahara dan sekretaris tidak mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan. Tampak anggota mempunyai rasa percaya yang besar terhadap pengurus karena kedekatan secara personal. Apabila terdapat potongan pinjaman untuk membeli keperluan administrasi, para anggota tidak meminta daftar potongan secara rinci. Rasa saling percaya antara pengurus dan anggota menjadi landasan dalam menjalankan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). 5.4 Hubungan Faktor Internal dalam Kegiatan SPP Terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara umur dengan tingkat pendidikan perempuan. Artinya semakin lanjut usia, ternyata semakin rendah tingkat pendidikan perempuan. Dahulu orang-orang desa kurang menyadari akan pentingkan pendidikan, apalagi untuk kaum perempuan sehingga kurang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Akibatnya, banyak perempuan yang hanya berpendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) atau bahkan tidak tamat SD. Tidak jarang pula, perempuan yang tergolong dewasa lanjut kurang lancar dalam membaca dan menulis. Hubungan faktor internal dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) tampak pada Tabel 20. Tabel 20. Hubungan Faktor Internal dalam Kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2011 Faktor Internal (X1) Umur (X1.1) Pendidikan Pendapatan (X1.4) (X1.2) Umur (X1.1) 1.000 -.464 **.110 Pendidikan (X1.2) 1.000.133 Pendapatan (X1.4) 1.000 Keterangan ** berhungan pada taraf nyata 0,01 Pata Tabel 20. tampak bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara umur dan tingkat pendapatan, maupun tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan. Artinya tidak selalu semakin lanjut usia perempuan semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Tak sedikit perempuan yang tergolong dewasa lanjut memperoleh pendapatan yang lebih rendah dari golongan usia yang lebih muda. Hal ini dikarenakan sebagian besar mereka hanya berjualan dengan jumlah dagangan

54 yang sedikit sehingga pendapatan yang diperolehnya pun sedikit, seperti yang diungkapkan oleh MNS (anggota) sebagai berikut Usaha di Desa Petir susah berkembangnya, ramainya kalau baru buka saja. Apalagi di sini banyak yang menjual makanan olahan, jadi siapa yang menjual dengan harga murah itulah yang laku. Keadaan serupa terlihat pada hubungan antara tingkat pendidikan perempuan dengan tingkat pendapatannya. pendidikan bukan faktor utama yang mempengaruhi pendapatan perempuan. Kemauan dan pengalaman untuk menjalankan usaha pada perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) mempengaruhi tingkat pendapatan. Terdapat perempuan anggota SPP yang hanya menamatkan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), namun tingkat pendapatannya sama dengan atau lebih dari perempuan yang tingkat pendidikannya tinggi. 5.5 Hubungan Faktor Internal dengan Partisipasi Perempuan Sebagian besar pengurus yang tergolong pada tingkat pendidikan yang tinggi ternyata semakin tinggi pula partisipasinya dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Tampak bahwa pengurus yang pendidikannya tinggi, biasanya dituntut untuk lebih aktif dalam kelompok dari pada pengurus yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan mereka dipandang lebih berpengalaman dan dapat mengatur kelompoknya. Keadaan yang sama juga terjadi pada anggota, karena anggota yang memperoleh tingkat pendidikan yang tinggi ternyata partisipasinya juga tinggi. anggota yang tergolong pada tingkat pendidikan tinggi relatif sedikit, namun tidak menjadi kendala bagi mereka untuk berpartisipasi. Mereka lebih terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan SPP dibandingkan anggota yang tergolong pada tingkat pendidikan yang rendah. Tidak sedikit pengurus tergolong pada umur dewasa. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala bagi pengurus yang tergolong dewasa lanjut untuk berpartisipasi pada kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Ternyata semua pengurus yang tergolong dewasa lanjut menunjukkan partisipasi yang tinggi. Mereka dianggap lebih berpengalaman dan menjadi panutan bagi pengurus yang lain. Hal ini mendorong mereka untuk lebih berpartisipasi pada kegiatan SPP. Keadaan berbeda terjadi pada anggota, anggota bukan pengurus

55 yang tergolong pada umur dewasa lanjut cenderung tingkat partisipasinya sedang atau rendah. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan mereka dalam membaca dan menulis, sehingga mereka lebih berpartisipasi dalam peminjaman dan pengangsuran. Mereka menyerahkan semua hal-hal administrasi kepada pengurus. yang tergolong pada tingkat pendapatan yang tinggi, tampak tinggi pula partisipasinya dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Mereka cenderung akan membayar angsuran tepat waktu dan lebih fokus dalam melaksanakan tugasnya. Mereka mengaku lebih banyak waktu untuk mengerjakan tugas-tugas dalam kegiatan SPP karena mereka tidak harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Keadaan ini berbeda pada anggota, sebagian besar anggota tergolong pada tingkat pendapatan yang rendah, ternyata partisipasinya dalam kegiatan SPP tergolong tinggi. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa pinjaman dana dalam kegiatan SPP sangat bermanfaat. Pinjaman dalam kegiatan SPP dapat menambah modal usaha atau mencukupi keperluan lainnya. Walaupun mereka harus bekerja keras untuk mencari penghasilan, namun mereka tetap meluangkan waktu untuk aktif dalam kegiatan SPP. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) tingkat kecamatan memberitahukan bahwa perempuan anggota SPP akan mendapatkan jumlah pinjaman yang lebih besar pada periode berikutnya jika aktif dalam kegiatan SPP. Hal tersebut menjadi salah satu alasan anggota untuk berpartisipasi dalam kegiatan SPP. Terdapat hubungan yang nyata antara faktor internal dengan partisipasi perempuan dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Hasil hubungan faktor internal dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan SPP tampak pada Tabel 21.

56 Tabel 21. Hubungan Faktor Internal dengan Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2011 Tahapan Partisipasi Faktor Internal (X1) Partisipasi (Y1) Perencanaan (Y1.1) Pelaksanaan (Y1.2) Menikmati Hasil (Y1.3) Evaluasi (Y1.4) Umur (X1.1).326*.304 *.382 **.207.015 -.252 -.017 -.348 * -.095 -.218 Pendidikan(X1.2).078.168.174.148 -.255 Pendapatan(X1.4) Keterangan ** berhubungan pada taraf nyata 0,01 * berhubungan pada taraf nyata 0,05 Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara umur perempuan dengan partisipasi perempuan. Artinya semakin dewasa umur perempuan, semakin tinggi pula tingkat partisipasinya pada kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Sebagian besar perempuan anggota SPP tergolong pada usia dewasa dan termasuk usia produktif, sehingga berpeluang besar untuk lebih aktif dalam kegiatan SPP. Selanjutnya tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan juga terdapat hubungan yang nyata dan positif dengan umur, namun hubungan antara tahap pelaksanaan dengan umur lebih signifikan. Hal tersebut dikarenakan perempuan yang tergolong usia dewasa lebih mempunyai kontrol dan terlibat aktif dalam tahap pelaksanaan. Mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar pada kegiatan SPP. Walaupun tidak menjadi pengurus dalam kelompok, namun mereka ingin terlibat banyak pada tahapan-tahapan kegiatan SPP. Selain itu, terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara tingkat pendidikan dengan tahap pelaksanaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan ternyata semakin rendah partisipasinya pada tahap pelaksanaan. Sebagian besar perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) yang memperoleh pendidikan tinggi tidak menggunakan dana pinjaman untuk modal usaha. Mereka lebih memilih bekerja di bidang lain dari pada membuka usaha. Pada hal penggunaan pinjaman yang tepat menjadi salah satu kriteria penilaian dalam tahap pelaksanaan. Selain pengurus, anggota SPP yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih individualis, sehingga kurang perduli kepada anggota lain, contohnya mereka jarang menegur anggota

57 lain jika tidak membayar angsuran. Seperti yang diungkapkan oleh UKL (anggota) sebagai berikut: Pengangsuran pinjaman itu tanggung jawab masing-masing individu. Jadi saya tidak pernah menegur anggota lain jika mereka telat membayar angsuran, itu urusan masing-masing. Perempuan anggota SPP yang mempunyai pendidikan yang tinggi sebenarnya mempunyai potensi untuk lebih mensukseskan kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Mereka diharapkan dapat mengembangkan ide-ide baru untuk membantu perempuan yang tergolong Rumah Tangga Miskin (RTM). Namun kenyataannya berbeda, alasan mereka mengikuti kegiatan SPP lebih karena ingin mendapatkan pinjaman. Keterlibatan mereka dalam kegiatankegiatan yang berhubungan dengan SPP tergolong rendah. Seperti yang diungkapkan SHR seorang Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD): Tidak semua perempuan anggota SPP pendidikannya rendah. Terdapat beberapa perempuan anggota SPP yang pernah bersekolah di universitas. Namun, mereka lebih fokus terhadap profesinya. Jadi keterlibatan pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan SPP relatif rendah. Tidak semua perempuan anggota SPP bekerja sebagai pedagang walaupun ikut meminjam dana pada kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Alasan-alasan perempuan anggota SPP tidak bekerja sebagai pedagang antara lain: (1) bekerja di bidang lain; (2) bingung menentukan jenis usaha yang akan di jalankan; dan (3) tidak mempunyai keinginan untuk membuka usaha. Hal tersebut tidak menjadi kendala bagi para perempuan untuk bergabung dalam kegiatan SPP. Pekerjaan tidak menjadi kriteria dalam pemilihan anggota SPP. Bagi perempuan yang tidak bekerja pun dapat menjadi anggota, asalkan mampu mengangsur pinjaman setiap bulan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan tingkat desa khususnya Kader Pemberdayaan masyarakat Desa (KPMD) tidak melakukan pembinaan bagi perempuan anggota SPP yang tidak membuka usaha. KPMD tidak lagi bertanggung jawab terhadap pinjaman setelah dana pinjaman dibagikan kepada perempuan anggota SPP. Jadi pengelolaan pinjaman diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing perempuan anggota SPP. Hubungan antara jenis pekerjaaan dengan tingkat partisipasi perempuan pada kegiatan SPP tampak pada Tabel 22.

58 Tabel 22. Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2011 Jenis Pekerjaan (X1.3) Partisipasi (Y1) Berdagang Tidak Berdagang Rendah 3,2 0 Sedang 29,1 42,1 Tinggi 67,7 57,9 100,0 100,0 Perempuan anggota Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) yang bekerja sebagai pedagang lebih tinggi partisipasinya dalam kegiatan SPP. Hal ini dikarenakan perempuan yang bekerja sebagai pedagang lebih antusias dalam mengikuti kegiatan SPP. Mereka merasa bahwa kegiatan SPP sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha yang dijalankan. Syarat peminjaman yang mudah dan bunga yang rendah menjadi alasan mereka mengikuti kegiatan SPP. Selain itu, perempuan anggota SPP yang bekerja sebagai pedagang berpeluang besar untuk aktif dalam kegiatan SPP karena mereka lebih banyak bekerja di rumah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama terdapat hubungan yang nyata dan nyata antara faktor internal dengan tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) terbukti. Hal tersebut dapat dilihat pada variabel umur perempuan yang berhubungan nyata dan positif perempuan. dengan tingkat partisipasi 5.6 Hubungan Faktor Eksternal dengan Partisipasi Perempuan Penilaian pengurus dan anggota tentang pengaruh peran Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Kepala Desa, dan Badan Permusyawarahan Desa (BPD) tidak mempengaruhi partisipasinya dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Ternyata sebagian besar pengurus dan anggota tergolong pada tingkat partisipasi tinggi, walaupun penilaian terhadap pengaruh peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD rendah. Mereka berpartisipasi lebih dikarenakan kesadaran diri sendiri bukan dorongan pihak lain. Walaupun peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD rendah tidak menjadi kendala bagi pengurus dan anggota untuk berpartisipasi

59 dalam kegiatan SPP. Hubungan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi perempuan pada kegiatan SPP tampak pada Tabel 23. Tabel 23. Hubungan Faktor Eksternal dengan Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2011 Tahapan Partisipasi Faktor Eksternal (X2) Y1 ( Y1.1 (Perenca Y1.2 (Pelaksa Y1.3 (Menikmati Y1.4 (Evaluasi) Partisipasi) naan) naan) Hasil) KPMD(X2.1).144.242.052.159.157 TPK(X2.2) -.052 -.212.024 -.090.005 Kepala -.103 -.106 -.089 -.096 -.109 Desa(X2.3) BPD(X2.4) -.260 -.258 -.160 -.198 -.290 * Keterangan : * berhubungan pada taraf nyata 0,05 Faktor eksternal tidak menunjukkan hubungan yang nyata dan positif dengan tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP). Jadi belum tentu pengaruh peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD yang tinggi akan meningkatkan partisipasi perempuan anggota SPP. Sebagian besar perempuan anggota SPP menilai bahwa pengaruh peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD belum maksimal dalam kegiatan SPP. KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD aktif mengikuti kegiatan musyawarah pada kegiatan SPP, namun kurang memberikan pencerahan dalam permasalahan-permasalahan yang dihadapi para perempuan. Para perempuan lebih memilih untuk mengadukan semua permasalah dalam kegiatan SPP ke Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dibandingkan pengurus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) tingkat desa. partisipasi perempuan yang tinggi dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) lebih disebabkan oleh dukungan dari masing-masing anggota kelompok khususnya pengurus. Kedekatan secara personal antara pengurus dan anggota memudahkan pengurus mempengaruhi anggotanya untuk aktif dalam kegiatan SPP. Apabila diadakan rapat mengenai kegiatan SPP di tingkat desa, biasanya masing-masing anggota saling mengingatkan dan datang secara bersama-sama. Jadi pengaruh peran KPMD, TPK, Kepala Desa, dan BPD kurang dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiataan SPP.

60 Jika dilihat pertahapan partisipasi terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara peran Badan Permusyawarahan Desa (BPD) dengan tahap evaluasi. Semakin tinggi peran BPD dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP), ternyata semakin turun partisipasi perempuan pada tahap evaluasi. BPD sering memberikan motivasi pada saat rapat yang dihadiri oleh perempuan anggota SPP agar mereka selalu memanfaatkan kegiatan SPP secara maksimal. Hal tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan semangat perempuan dalam mengikuti kegiatan SPP. Kenyataannya pemberian motivasi tersebut kurang efektif, banyak perempuan anggota SPP yang lebih mengabaikannya. Hal ini dikarenakan mereka menganggap BPD tidak mempunyai andil yang besar dalam kegiataan SPP. Pada Uraian di atas dapat membuktikkan bahwa hipotesis kedua terdapat hubungan nyata dan positif antara faktor eksternal dengan tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) tidak terbukti.