4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

3. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

Universitas Sumatera Utara, ( 2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

PENDAHULUAN Latar Belakang

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. INFORMASI METEOROLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Iklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

I. INFORMASI METEOROLOGI

V. HASIL. clan di mulut utara Selat Bali berkisar

2) The Lecturer at Department of Fisheries Resource Utilization Faculty of Fisheries and Marine Resources,University of Riau.

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

4 PERIKANAN PELAGIS KECIL YANG BERBASIS DI PANTAI UTARA JAWA

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BULETIN PSP ISSN: X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

PENGARUH SEBARAN SUHU UDARA DARI AUSTRALIA TERHADAP SUHU UDARA DI BALI. Oleh, Erasmus Kayadu

5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi oleh angin musim (monsoon) yaitu angin musim barat dan angin musim timur. Pada saat musim barat (Desember Februari) SPL di Laut Jawa dipengaruhi oleh massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan dan bergerak mendorong massa air yang berasal dari Laur Flores dan Selat Makassar. Hal ini berdampak pada distribusi SPL di Laut Jawa (Gambar 6). Musim barat adalah musim dimana bumi belahan utara sedang berlangsung musim dingin dan bumi belahan selatan sedang berlangsung musim panas (Nontji, 2005). Bulan Desember merupakan awal dari musim barat dimana terlihat SPL Laut Jawa masih relatif hangat dengan kisaran SPL antara 30 C - 31 C (Gambar 6). Laut Jawa bagian timur terlihat lebih hangat dari pada Laut Jawa bagian barat yang didominasi oleh SPL sebesar 31 C. Pada wilayah Laut Jawa bagian barat memiliki SPL yang relatif lebih rendah dari daerah Laut Jawa bagian lainnya dengan nilai SPL lebih rendah dari 30 C. Hal ini diduga terjadi karena masih adanya pengaruh dari massa air musim sebelumnya yaitu musim peralihan 2 dimana arah angin pada bulan Desember masih dominan bertiup dari arah timur ke barat. Bulan Januari dan Februari merupakan puncak dari musim barat dimana angin secara penuh sudah mengarah ke timur menyusuri Laut Jawa ke arah Laut Flores dan Selat Makassar. 26

L Musim Barat Musim Peralihan 1 Catatan : (A. = Januari) (B. = Februari)(C. = Maret) (D. = April) (E. = Mei) (L. = Desember) Gambar 6. Distribusi SPL Musim Barat dan Musim Peralihan 1 Tahun 2006 27

28 Bulan Januari SPL Laut Jawa menunjukkan penurunan suhu yang cukup signifikan. Bulan ini SPL rata-rata berkisar antara 27 C - 29 C. Penurunan ini terlihat jelas dengan adanya massa air yang bersuhu dibawah 28 C yang berada di Laut Jawa bagian tengah, sedangkan massa air dengan suhu besar dari 30 C hanya berada di perairan di Selatan Kalimantan Selatan.(Gambar 6). Bulan Februari SPL di Laut Jawa menunjukkan terjadinya peningkatan dengan rata-rata SPL berkisar antara 29 C 31 C dengan SPL yang lebih hangat yang berada di Laut Jawa bagian timur. Bulan Maret merupakan awal dari musim peralihan 1 (Maret Mei) dimana angin barat masih berhembus tetapi kecepatannya sudah berkurang. Pada daerah Ujung Timur Laut Jawa terjadi benturan arah angin yang menuju ke arah barat yang berbenturan dengan arah angin yang menuju ke arah timur. Pada bulan Maret SPL Laut Jawa penyebarannya sudah tidak beraturan dengan kisaran SPL antara 29 C 30 C. SPL yang masih tinggi terdapat pada daerah-daerah disekitar Pesisir Utara Jawa dan Selatan Kalimantan dan semakin rendah SPL menuju perairan lepas pantai. Bulan April dan bulan Mei arah angin sudah tidak menentu. Khususnya pada bulan Mei angin musim timur sudah mulai masuk ke perairan Laut Jawa sedangkan angin musim barat peranannya sudah sangat lemah. Hal ini menyebabkan melemahnya arus yang bergerak dari arah barat ke arah timur sehingga SPL di Laut Jawa cenderung hangat. Bulan April SPL Laut Jawa berkisan antara 31 C 32 C. Suhu yang masih tinggi terlihat nyata pada laut bagian Selatan Pulau Kalimantan dengan suhu maksimum sebesar 32 C.

29 Masih tingginya SPL ini disebabkan karena sedikitnya pergerakan air yang melintasi Laut Jawa akibat hilangnya pengaruh dari angin musim barat dan belum besarnya pengaruh dari angin musim timur. Air laut ini terkesan diam menempati kolom perairan Laut Jawa sehingga pengaruh dari faktor meteorologi seperti suhu udara dan intensitas sinar matahari menyebabkan perlahan-lahan SPL Laut Jawa meningkat. Nontji (2005), menyatakan pada musim peralihan arus sudah mengalir ke arah barat di pantai Selatan Kalimantan dan di lepas pantai Utara Jawa arus sudah mengalir ke arah timur sehingga dibeberapa tempat terjadi olakan (eddies). Bulan Mei memperlihatkan terjadinya penurunan SPL dengan rentang nilai 30 C - 31 C. Penurunan ini terjadi di daerah perairan Laut Jawa bagian timur. Hal ini diduga terjadi karena mulai adanya pengaruh dari musim timur yang membawa massa air yang bersuhu lebih rendah. Musim timur (Juni Agustus) ditandai dengan terjadinya tekanan udara yang tinggi di atas daratan Australia dan tekanan udara yang rendah di atas daratan Asia sehingga arah angin pada musim timur bergerak dari timur ke barat. Pergerakan arah angin ini menyebabkan arus yang membawa massa air dari Laut Flores dan Selat Makassar melintasi perairan Laut Jawa menuju Laut Cina Selatan. Massa air yang bergerak ini mempunyai SPL yang cukup rendah jika dibandingkan dengan SPL pada musim barat (Gambar 7). Pengaruh dari musim timur sudah terasa sejak bulan Juni dimana dari Gambar 7 dapat dilihat SPL dengan nilai 29 C mulai memasuki perairan Laut Jawa mulai dari perairan Selatan Kalimantan Selatan sampai perairan Utara Pulau Madura. Secara perlahan massa air yang dingin ini mendorong massa air yang lebih hangat dengan SPL sebesar 30 C kearah Laut Jawa bagian barat.

Musim Timur Musim Peralihan 2 Catatan : (F. = Juni) (G. = Juli) (H. = Agustus) (I. = September) (J. = Oktober) (K. = November) Gambar 7. Distribusi SPL Musim Timur dan Musim Peralihan 2 Tahun 2006 30

31 Pada bulan Juli SPL Laut Jawa berkisar antara 28 C - 29 C. Massa air dengan SPL sebesar 28 C yang berasal dari Selat Makassar dan Laut Flores memasuki Laut Jawa sampai ke perairan Selatan Kalimantan Tengah. Massa air ini mendorong massa air dengan SPL sebesar 29 C sampai ke perairan Utara Jawa Barat. Bulan Agustus merupakan bulan puncak dari musim timur yang ditandai dengan turunnya SPL Laut Jawa sampai suhu 27 C pada perairan Utara Pulau Madura. Massa air dengan suhu 28 C terdorong oleh angin sampai ke perairan Utara Jawa Tengah. Massa air dengan suhu 29 C hanya terlihat disebagian kecil pesisir Utara Jawa Barat. Musim peralihan 2 terjadi antara bulan September November. Bulan September dan Oktober musim peralihan 2, angin masih didominasi oleh angin musim timur dan pada bulan November yang merupakan akhir dari musim peralihan 2, angin di Laut Jawa arahnya sudah tidak menentu karena adanya dorongan angin yang berasal dari arah barat sebagai pertanda akan dimulainya angin barat. Bulan September SPL Laut Jawa masih stabil dikisaran suhu 28 C. Penyebaran SPL yang relatif rendah ini mencapai perairan lepas pantai Utara Jawa Barat. Pada daerah perairan Utara Pulau Madura SPL yang terlihat lebih rendah dengan suhu sekitar 27 C. SPL dengan suhu 29 C hanya terlihat di daerah pesisir pantai. Hal ini diduga terjadi akibat adanya pengaruh suhu dari daerah daratan. Bulan Oktober SPL Laut Jawa menunjukkan terjadinya peningkatan. massa air dengan SPL 29 C mulai memasuki Laut Jawa mendorong massa air yang bersuhu 28 C menuju Selata Makassar dan Laut Flores. Bulan November SPL Laut Jawa naik pada kisaran suhu 29 C - 30 C. Disepanjang daerah pesisir

32 pantai menunjukkan suhu yang lebih hangat dan penurunan suhu massa air semakin turun menuju parairan lepas pantai. Bulan November merupakan akhir dari musim peralihan 2. dan pada bulan berikutnya siklus pergerakan massa air di Laut Jawa kembali berulang setiap tahunnya. Perbedaan yang signifikan antara musim peralihan 1 dan 2 dapat dilihat pada SPL rata-rata yang mendominasi perairan. Pada musim peralihan 2, SPL yang terdapat di Laut Jawa lebih rendah jika dibandingkan dengan SPL pada musim peralihan 1. Hal ini terjadi karena pada musim timur, massa air yang bergerak masuk perairan Laut Jawa yang berasal dari Selat Makassar dan Laut Flores mempunyai SPL lebih rendah jika dibandingkan dengan massa air yang masuk ke Luat Jawa pada musim barat. Sehingga pemanasan massa air yang tertahan di Laut Jawa pada musim peralihan 1 dan 2 dalam jangka waktu yang sama menyebabkan SPL pada musim peralihan 2 lebih rendah jika di bandingkan dengan SPL pada musim peralihan 1. Siklus pergerakan massa air di Laut Jawa selama rentang waktu penelitian menunjukkan pola yang hampir sama setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan penyebaran SPL di Laut Jawa tahun 2007-2010 (Lampiran 1) menunjukkan pola yang hampir sama dengan tahun 2006 (Gambar 6 dan Gambar 7). Perbedaan yang terlihat terdapat adanya kecenderungan naiknya SPL di Laut Jawa dari tahun 2009-2010. Kanaikkan SPL ini menyebabkan naiknya suhu rata-rata di Laut Jawa setiap bulannya. Distribusi SPL Laut Jawa jika dilihat secara multi waktu tertera seperti terlihat pada Gambar 8. Dalam kurun waktu tahun 2006 2010 rata-rata SPL perairan Laut Jawa dari citra satelit MODIS berkisar antara 27,9 C 31,4 C. Hal

33 ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karif (2010), dimana rata-rata SPL Laut Jawa dari citra satelit MODIS yang terekam berkisar antara 27,11 C 31,73 C. Hal ini tidak berbeda jauh juga dilaporkan oleh Nontji (2005), dimana SPL Laut Jawa berkisar antara 28 C - 31 C. Rata-rata SPL mengikuti pola pergerakan angin musim yang ada di perairan Laut Jawa. SPL terendah terjadi pada saat musim barat dan musim timur sedang SPL tertinggi terjadi pada musin Peralihan 1 dan 2. Gambar 8. Fluktuasi SPL rata-rata bulanan Januari 2006 Desember 2010 Pada musim barat (Desember Februari) SPL Laut Jawa berkisar antara 28,49 C 30,65 C, sedangkan untuk musim timur (Juli Agustus) SPL berkisar pada nilai 27,96 C 30,10 C. Musim peralihan 1 (Maret Mei) rata-rata SPL berkisar antara 29,46 C 31,49 C dan musim peralihan 2 (September November) berada pada nilai suhu 28,01 C 30,65 C (Lampiran 3)

34 Dari Gambar 8, terlihat ada beberapa bulan yang menunjukkan nilai SPL yang cukup tinggi atau cukup rendah dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. SPL tertinggi terlihat terjadi pada bulan Maret 2007, Maret 2009, dan Maret 2010. Bulan-bulan in merupakan bulan dimana puncak dari musim peralihan 1. Sebagai mana yang telah dijelaskan diatas, musim peralihan 1 merupakan musim dengan nilai SPL tertinggi setiap tahunnya. Untuk SPL terendah terlihat terjadi pada bulan Agustus 2006, Agustus 2007, Agustus 2008. Bulan-bulan ini merupakan bulan dari puncak musim timur yang membawa massa air yang lebih dingin dari Selat Makassar dan Laut Flores menuju Laut Jawa. Dalam kurun waktu 5 tahun, pergerakan rata-rata SPL di Laut Jawa cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dapat terlihat pada trend SPL pada Gambar 8 dimana terjadi trend SPL yang naik dari tahun 2006 2010. Kenaikan SPL di Laut Jawa ini berkisar 1 C dalam jangka waktu 5 tahun atau 0.2 C setiap tahunnya. Siregar dan Gaol (2010) menyebutkan telah terjadi kenaikan SPL di perairan Laut Jawa sebesar 0,1 C setiap tahunnya dari tahun 2001-2010. Pada musim barat tahun 2006 sampai akhir musim peralihan 2 tahun 2008 rata-rata SPL di Laut Jawa cenderung stabil dan peningkatan SPL tidak terlalu signifikan dari tahun-ketahunnya. Tetapi pada awal musim barat 2009 sampai akhir musim peralihan 2 tahun 2010, kenaikan SPL di Laut Jawa lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan ini diduga disebabkan oleh faktor-faktor meteorologi seperti kenaikan suhu udara yang terjadi di Laut Jawa dalam kurun waktu tahun 2009-2010.

35 4.2 Distribusi Klorofil-a secara Spasial dan Temporal Fitoplankton dapat hidup subur pada perairan disekitar muara sungai atau diperairan lepas pantai dimana terjadi air naik (upwelling). Pada dua lokasi ini terjadi proses penyuburan lingkungan perairan akibat masuknya zat hara dari luar kelingkungan tersebut. Perairan Laut Jawa merupakan perairan yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman Laut Jawa sekitar 40 meter. Laut Jawa merupakan laut yang kaya akan kandungan zat hara kerena disepanjang pesisir pantai yang berada di Laut Jawa bermuara sungai-sungai besar yang membawa zat hara dari daratan ke wilayah perairan laut khususnya di pesisir pantai Selatan Kalimantan (Hadikusumah, 2008). Musim barat merupakan musim angin yang membawa banyak hujan sedangkan musim timur sedikit membawa hujan (Nontji, 2005). Pada awal musim barat sekitar bulan Desember penyebaran klorofil-a di Laut Jawa berkisar antara 0.1 mg/m³ 3 mg/m³ (Gambar 9). Penyebaran klorofil-a terkonsentrasi di perairan Selatan Pulau Kalimantan dan konsentrasi klorofil-a akan terus menurun menuju perairan lepas pantai. Perairan lepas pantai sendiri menunjukkan konsentrasi klorofil yang kecil dari 0,5 mg/m³. Untuk perairan Utara Pulau Jawa, penyebaran konsentrasi klorofil-a relatif kecil. Bulan Januari dan Februari merupakan puncak dari musim barat. Intensitas curah hujan yang tinggi pada bulan-bulan ini mempengaruhi penyebaran klorofil-a (Gambar 12) akibat dari banyaknya zat hara yang dibawa oleh aliran sungai yang bermuara di Laut Jawa. Pada Bulan Januari, konsentrasi klorofil-a di Selatan Kalimantan mencapai 3,5 mg/m³ dan di perairan Utara Jawa sebesar 1,5 mg/m³.

Musim Barat Musim Peralihan 1 Catatan : (A. = Januari) (B. = Februari)(C. = Maret) (D. = April) (E. = Mei) (L. = Desember) Gambar 9. Distribusi Klorofil-a Musim Barat dan Musim Peralihan 1 Tahun 2006 36

37 Daerah penyebaran klorofil-a dengan konsentrasi kecil dari 0,5 mg/m³ pada bulan Januari menyempit dan hanya terdapat di Tengah Laut Jawa. Untuk bulan Februari, penyebaran klorofil-a terlihat memiliki kontur yang lebih rapat. Konsentrasi klorofil-a paling besar terdapat di perairan Selatan Kalimantan Selatan dengan konsentrasi besar dari 3,5 mg/m³. Perairan Laut Jawa bagian barat yang berbatasan langsung dengan Pulau Sumatera mengalami kenaikan konsentrasi klorofil-a. Hal ini terlihat dengan adanya sebaran klorofil-a sampai konsentrasi 3 mg/m³ pada perairan ini. Memasuki musim peralihan 1 (Maret Mei) penyebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa masih cukup besar. Hal ini terjadi karena masih adanya pengaruh dari musim barat. Pada bulam Maret terlihat penyebaran klorofil-a masih cukup besar khususnya di daerah perairan Selatan Kalimantan dan Barat Laut Jawa (Gambar 9). Perairan Laut Jawa sudah didominasi oleh konsentrasi klorofil-a kecil dari 0,5 mg/m³. Pada bulan April dan Mei terlihat penyebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa tidak berbeda jauh dengan bulan Maret. Klorofil-a dengan konsentrasi kecil dari 0,5 mg/m³ masih mendominasi Luat Jawa dengan penyebaran hampir diseluruh perairan lepas pantai. Konsentrasi klorofil-a yang relatif besar masih terjadi di perairan Selatan Pulau Kalimantan dan bagian Barat Laut Jawa. Untuk perairan Utara Pulau Jawa konsentrasi klorofil-a terlihat kecil dengan nilai berkisan antara 0,5 mg/m³ 1 mg/m³ didaerah sepanjang pesisir pantai.

Musim Timur Musim Peralihan 2 Catatan : (F. = Juni) (G. = Juli) (H. = Agustus) (I. = September) (J. = Oktober) (K. = November) Gambar 10. Distribusi Klorofil-a Musim Timur dan Musim Peralihan 2 Tahun 2006 38

39 Memasuki musim timur (Juni Agustus), penyebaran klorofil-a terlihat cukup besar pada bulan Juni. Klorofil-a dengan konsentrasi berkisar antara 0,5 mg/m³ - 1 mg/m³ memasuki perairan lepas pantai Laut Jawa. Akibatnya perairan dengan konsentrasi klorofil-a kecil dari 0,5 mg/m³ terlihat luasannya menyempit. Pada bulan Juli dan Agustus, Laut Jawa perlahan-lahan kembali didominasi oleh konsentrasi klorofil-a dengan nilai kecil dari 0,5 mg/m³. Konsentrasi klorofil-a yang cukup besar hanya tersebar di parairan Selatan Pulau Kalimantan. Musim Peralihan 2 (September November) merupakan musim dengan curah hujan yang cukup sedikit (Gambar 12). Hal ini berdampak pada penyebaran konsentrasi klorofil di Laut Jawa. Pada bulan September terlihat penyebaran konsentrasi klorofil-a hampir merata dengan nilai kecil dari 0,5 mg/m³ (Gambar 10). Konsentrasi klorofil cukup besar hanya terlihat di perairan Selatan Kalimantan saja. Untuk penyebaran klorofil-a bulan Oktober dan November hampir sama dengan bulan September. Penyebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa akan berulang setiap tahunnya mengikuti musim angin dan curah hujan yang turun di Indonesia khususnya di Pulau Kalimanatan yang memiliki banyak sungai besar yang bermuara di Laut Jawa. Pola penyebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa tahun 2007-2010 (Lampiran 2) hampir sama dengan pola penyebaran konsentrasi klorofil-a pada tahun 2006 (Gambar 9 dan Gambar 10). Secara multi waktu kandungan klorofil-a yang dapat terdeteksi dari citra satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Gambar 11. Kandungan konsentrasi klorofil-a rata-rata di perairan Laut Jawa berkisar antara 0,22 mg/m³ - 1,15 mg/m³. Trend konsentrasi klorofil-a yang terdapat di Laut Jawa menunjukkan terjadinya penurun yang tidak signifikan dalam kurun waktu tahun 2006-2010. Nilai

40 konsentrasi klorofil setiap bulannya berfluktuasi mengikuti musim angin yang sedang berlangsung. Gambar 11. Fluktuasi Klorofil-a rata-rata bulanan Januari 2006 Desember 2010 Angin musim membawa pengaruh besar terhadap curah hujan. Oleh karena itu, jumlah curah hujan yang terjadi pada setiap musim angin juga berpengaruh terhadap konsentrasi klorofil-a yang terdeteksi. Pada musim penghujan khususnya pada musim barat terjadi kenaikan konsentrasi klorofil-a yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena banyaknya masukkan zat hara yang terbawa oleh aliran sungai akibat tingginya curah hujan pada musim barat. Sungai-sungai ini sebagian besar bermuara di Laut Jawa khususnya di perairan Selatan Kalimantan. Sebaliknya pada musim kemarau khususnya musim peralihan 2, curah hujan yang turun relatif sedikt sehingga zat hara yang terbawa oleh aliran sungai menuju Laut Jawa sedikit. Hal ini berakibat turunnya konsentrasi klorofil-a yang terdapat di Laut Jawa.

41 Curah hujan yang terjadi di Luat Jawa diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Data Curah hujan didapat dari 2 stasiun pengamatan, yaitu: stasiun meteorologi Serang Banten dan stasiun meteorologi Maritim Perak II, Surabaya. Dari data curah hujan yang terekam pada kedua stasiun meteorologi dari Januari 2005 Desember 2010 memiliki pola curah hujan yang hampir sama pada setiap musim angin. Intensitas curah hujan pada kedua stasiun pengamatan dan konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Curah Hujan dan Konsentrasi Klorofil-a di Laut Jawa Konsentrasi klorofil-a maksimum setiap tahunnya terjadi pada musim barat (Desember- Februari) dan awal musim peralihan 1 (Maret). Peningkatan intensitas curah hujan yang terekam pada kedua stasiun pengamatan pada bulanbulan ini diiringi dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a (Gambar 12). Nilai maksimum klorofil-a yang tercatat terjadi pada bulan Februari 2009 dengan

42 konsentrasi klorofil-a sebesar 1,15 mg/m³ (Lampiran 4). Hal ini diduga terjadi karena besarnya intensitas curah hujan seperti yang terekam pada stasiun Perak II dimana bulan Februari 2009 merupakan bulan dengan nilai curah hujan terbesar dalam rentang waktu 2006 2010 yaitu 458 mm (Lampiran 5). Memasuki musim peralihan 1, curah hujan sedikit bervariasi. Pada stasiun Serang Banten terjadi fluktuasi rata-rata curah hujan yang menggambarkan kenaikan pada bulan-bulan tertentu. Sedangkan untuk stasiun Perak II pada musim peralihan 1, curah hujan cenderung turun dari tahun-ketahunnya. Secara garis besar terjadi penurunan rata-rata curah hujan pada saat musim peralihan 1 jika dibandingkan dengan rata-rata curah hujan pada musim barat. Keadaan ini juga berdampak pada konsentrasi klorofil-a dimana terjadi fluktusi nilai rata-rata klorofil-a di Laut Jawa pada bulan-bulan musim peralihan 1 setiap tahunnya. Musim timur dan awal bulan dari musim peralihan 2, rata-rata curah hujan pada kedua stasiun meteorologi mengalami penurunan yang sangat drastis. Dapat dilihat rata-rata curah hujan terendah terjadi sekitar bulan Juli September dimana rata-rata curah hujan bisa mencapai angka 0 mm. Bulan-bulan ini merupakan puncak dari bulan musim kemarau di Indonesia. Untuk konsentrasi klorofil-a pada musim timur memperlihatkan terjadinya peningkatan pada bulan Juni dan kembali menurun pada bulan Juli dan Agustus. Peningkatan konsentrasi klorofil-a pada awal musim timur diduga terjadi karena masih adanya pengaruh dari musim peralihan 1 dimana curah hujan pada musim angin ini masih cukup tinggi. Pada musim peralihan 2 (September November) nilai konsentrasi klorofil-a yang terdapat di Laut Jawa mencapai titik minimumnya. Tercatat nilai

43 minimum klorofil-a terjadi pada bulan November 2010 dengan nilai 0,22 mg/m³. Bulan-bulan pada musim peralihan 2 merupakan bulan-bulan kering dimana pengaruh dari musim timur sudah mulai hilang sedangkan curah hujan yang turun disekitar perairan Laut Jawa mencapai titik minimumnya (Gambar11). Secara garis besar intensitas curah hujan dapat menggambarkan bulanbulan basah (curah hujan 150 mm/bulan) dan bulan -bulan kering (curah hujan < 150 mm/bulan) di perairan Laut Jawa. Bulan basah yang terekam oleh kedua stasiun BMKG berkisar antara bulan Desember April (musim barat dan peralihan 1) sedangkan bulan kering terjadi antara bulan Mei November (musim timur dan peralihan 2). Peristiwa ini menyebabkan konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa akan menurun secara drastis (musim timur dan peralihan 2) karena material-material atau zat hara yang masuk ke parairan melalui aliran sungai akan berkurang akibat berkurangnya debit air yang mengalir di sungai menuju laut. Sedangkan keadaan sebaliknya terjadi pada musim barat dan awal musim peralihan 1 dimana konsentrasi klorofi-a mencapai nilai maksimumnya. Runoff dari daratan yang kaya akan zat hara masuk ke perairan laut melalui aliran sungai yang debit airnya cukup besar akibat dari curah hujan yang tinggi. 4.3 Tangkapan per Unit Upaya (CPUE) Ikan Pelagis Utama di Laut Jawa Laut Jawa merupakan salah satu perairan yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar khususnya perikanan tangkap. Hasil tangkapan ikan yang terdapat di Laut Jawa berupa sumber daya ikan pelagis dan demersal dimana ikan pelagis lebih mendominasi pada daerah ini. Hasil tangkapan yang digunakan adalah data statistik PPN Pekalongan, Jawa Tengah dari Bulan Januari 2006 Desember 2010. Pelabuhan perikanan ini merupakan salah satu pusat pendaratan

44 hasil tangkapan ikan di Laut Jawa. Ikan yang didaratkan di PPN Pekalongan didominasi oleh ikan pelagis yang sebagian besar ditangkap menggunakan alat tangkap pukat cincin (purse seine), pukat cincin kecil (mini purse seine) dan jaring insang (gill net) (Lampiran 6). Menurut Chodriyah dan Tuti (2010), daerah penangkapan purse seine Pekalongan meliputi perairan Laut Jawa (Utara Tegal, Karimunjawa, Bawean, Masalembo, Matasiri, dan Kangean), perairan Laut Cina Selatan, dan Perairan Selat Makassar. Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pekalongan didominasi oleh lima jenis ikan, yaitu: ikan layang (Decapterus Spp.), lemuru (Sardinella sirm), tongkol (Enthynnus affinis), banyar/kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), dan tembang (Sardinella Spp)(Lampiran 7). Selain ikan-ikan tersebut hasil tangkapan lainnya berupa ikan demersal dan ikan pelagis kecil lainya. Nilai produksi hasil tangkapan kelima spesies ikan berfluktusi berdasarkan musim penangkapan ikan dimana setiap spesies ikan memiliki musim penangkapan ikan yang berbeda-beda. Laju produksi hasil tangkapan yang didaratkan setiap bulannya dihitung dengan membagi total produksi ikan yang didaratkan dengan jumlah kapal yang melakukan penurunan hasil tangkapan di PPN Pekalongan. Nilai ini lebih dikenal dengan istilah Catch per Unit Effort (CPUE). Nilai CPUE didapatkan setelah dilakukan standarisasi alat tangkap yang digunakan. Ikan layang merupakan komoditas tangkapan utama yang didaratkan di PPN Pekalongan. Berdasarkan penelitian Zamroni dan Suwarso (2009), hasil tangkapan utama armada pukat cincin yang didaratkan pada PPN Pekalongan dari tahun 2002 2007 menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma) merupakan spesies yang dominan dengan persentase mencapai 42

45 58% dari total hasil tangkapan. Musim penangkapan ikan layang terjadi antara bulan Mei September dan November Desember (Chodriyah dan Tuti, 2010). Nilai CPUE ikan layang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Layang (Decapterus Spp.) Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat nilai CPUE ikan layang terbesar terjadi pada bulan September 2009 dengan nilai 11,94 ton/trip sedangkan nilai CPUE terendah ikan layang terjadi pada bulan Juni 2010 dengan nilai 0,12 ton/trip (Lampiran 8). Secara umum dari tahun 2006 2010 nilai CPUE ikan layang terlihat meningkat pada bulan Juli Desember dan terus mengalami penurunan pada bulan Januari Juni. Walaupun demikian terdapat beberapa bulan pada tahun tertentu yang menunjukkan hal yang sebaliknya dimana nilai CPUE ikan layang yang seharusnya mengalami penurunan tetapi pada kenyataannya CPUE ikan layang mengalami kenaikan. Trend nilai CPUE ikan layang secara garis besar mengalami penurunan dari tahun 2006-2010. Nugroho (2006)

46 menyatakan bahwa telah terjadi penurunan produksi ikan layang yang berasal dari perikanan pukat cincin yang tertangkap di perairan Laut Jawa dan sekitarnya. Ikan lemuru yang terdapat di Laut Jawa merupakan spesies Sardinella sirm dimana tubuhnya memiliki bintik-bintik berderet memanjang dari kepala ke ekor. Penyebaran lemuru jenis ini terkonsentrasi di pantai Utara Jawa (Nontji, 2005). Musim penangkapan ikan lemuru terjadi pada bulan Desember - Januari dan berlanjut sampai bulan Maret. Nilai CPUE ikan lemuru tahun 2006 2010 dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Lemuru (Sardinella sirm) Dari Gambar 14 dapat dilihat nilai CPUE ikan lemuru 5 tahun terakhir berfluktuasi berdasarkan musim penangkapan dengan trend nilai CPUE yang meningkat. Nilai CPUE tertinggi terjadi sekitar bulan Desember Februari setiap tahunnya. Bulan-bulan ini merupakan bulan bertiupnya angin musim barat di Indonesia. Setelah itu, bulan selanjutnya nilai CPUE ikan lemuru berkurang dengan signifikan dan mulai naik lagi sekitar bulan Oktober dan November. Nilai CPUE ikan lemuru terbesar terjadi pada bulan Februari 2009 dengan nilai 6,89

47 ton/trip. Hal ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Nontji (2005), yang menyatakan lemuru yang berada di Selat Bali muncul sekitar bulan September Oktober dan mencapai puncaknya bulan Desember Januari. Ikan lemuru berkurang jumlahnya pada bulan Februari Maret dan akan hilang populasinya pada bulan berikutnya hingga muncul pada musim selanjutnya. Gambar 15. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Tongkol (Enthynnus affinis) Ikan tongkol menempati urutan ke tiga ikan dengan jumlah terbanyak yang didaratkan di PPN Pekalongan. Nilai CPUE ikan tongkol bervariasi setiap bulannya dan menunjukkan trend yang meningkat dalam waktu 5 tahun terakhir. Nilai CPUE tertinggi ikan tongkol terjadi pada bulan Oktober 2010 dan diikuti pada bulan November 2010 dengan nilai berturut-turut 5,55 ton/trip dan 4,63 ton/trip. Nilai CPUE terendah terjadi pada bulan Mei 2008 dengan nilai 0,61 ton/trip. Dari Gambar 15 dapat dilihat musim penangkapan ikan tongkol ditandai dengan besarnya nilai CPUE terjadi sekitar bulan Februari April dan bulan Agustus - Oktober. Sedangkan musim paceklik tongkol ditandai dengan kecilnya nilai CPUE terjadi sekitar bulan Juni Juli. Secara umum nilai CPUE Ikan

48 tongkol berfluktuasi dalam kurun waktu 2006-2010 dimana terdapat kecenderungan kenaikan nilai CPUE dari tahun-ketahunnya. Ikan banyar atau lebih dikenal dengan nama ikan kembung lelaki memiliki daerah penyebaran yang luas. Ikan ini sering dijumpai di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai. Menurut Chodriyah dan Tuti (2010), musim penangkapan ikan banyar terjadi pada bulan Januari Mei. Dari Gambar 16 dapat dilihat nilai CPUE tertinggi ikan banyar rata-rata tiap tahunnya terjadi sekitar bulan Maret Mei (musim peralihan 1) dan bulan Juli Agustus (musim timur). Musim peceklik ikan banyar terjadi sekitra bulan Desember Februari (musim barat). Dari tahun 2006 2010, nilai CPUE ikan banyar di PPN Pekalongan memperlihatkan trend menurun dimana terlihat terjadi fluktuasi nilai CPUE pada setiap bulannya mengikuti bulan-bulan penangkapan ikan banyar. Gambar 16. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) Ikan tembang merupakan ikan yang hidup di perairan pantai (Nontji, 2005). Daerah penyebaran ikan tembang cukup luas. Hampir diseluruh perairan Indonesia ikan jenis ini dapat ditemukan terutama didaerah Kalimantan Selatan,

49 Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan dan Laut Arafuru. Musim penangkapan ikan tembang terjadi sekitar bulan Juni atau Juli dan bulan September November. Bulan Desember Mei merupakan bulan yang kurang baik untuk penangkapan ikan tembang (Chodriyah dan Tuti, 2010). Gambar 17. Fluktuasi dan Trend CPUE Ikan Tembang (Sardinella Spp) Dari Gambar 17 dapat dilihat nilai CPUE tertinggi ikan tembang terjadi sekitar bulan April Juli. Untuk bulan-bulan paceklik ikan tembang terjadi sekitar bulan Desember Februari yang ditandai dengan turunnya nilai CPUE ikan tembang. Dalam jangka waktu 5 tahun terakhir terlihat trend nilai CPUE ikan tembang terjadi peningkatan. Peningkatan hasil tangkapan ikan tembang yang signifikan terjadi pada bulan Oktober 2008 dan Juni 2010. 4.4 Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Secara tidak langsung SPL berpengaruh terhadap nilai CPUE hasil tangkapan beberapa jenis ikan pelagis tertentu. Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai sifat stenohalin, yaitu hidup pada perairan dengan salinitas yang sempit, biasanya sekitar 31-33 (Nontji, 2005). Musim timur dan musim

50 peralihan 2 membawa dampak kenaikan salinitas perairan dan penurunan SPL di Laut Jawa. Masuknya massa air dari samudera pasifik melalui Selat Makassar dan Laut Flores yang memiliki salinitas yang tinggi dan suhu air yang rendah mempengaruhi hasil tangkapan ikan layang secara keseluruhan. Ikan layang merupakan tangkapan utama di Laut Jawa. Dari Gambar 18 dapat dilihat secara umum nilai CPUE ikan layang akan menurun disaat nilai SST meningkat yang mengindikasikan terjadinya penurunan salinitas perairan. Fenomena ini terlihat jelas saat bulan Januari Juni (musim barat dan peralihan 1) yang merupakan bulan-bulan dimana hasil tangkapan ikan layang mencapai nilai minimumnya seperti yang terjadi pada bulan April 2008, April 2009, April 2010. Pada bulan Juli Desember merupakan musim penangkapan ikan layang. Meningkatnya salinitas perairan dan penurunan SPL menyebabkan pada bulanbulan ini nilai CPUE ikan layang cenderung naik seperti pada bulan Juli- September 2006 dan Agustus-Oktober 2009. Gambar 18. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang

51 Secara tidak langsung terdapat hubungan antara SPL dengan nilai CPUE ikan layang yang dapat dilihat dengan menggunakan korelasi pearson yang dilambangkan dengan (r). Korelasi antara SPL dengan CPUE ikan layang paling besar terjadi pada musim timur dengan nilai r sebesar -0,83 dengan koefisien determinasi sebesar 0,69. Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang cukup erat antara SPL dengan CPUE ikan layang pada musim timur dimana pada musim ini SPL Laut Jawa rendah dan salinitas perairan tinggi. Musim peralihan 1 merupakan musim dengan nilai korelasi yang paling kecil dengan nilai r sebesar -0,24 dengan koefisien determinasi sebesar 0,06. Gambar 19. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Banyar Hampir sama dengan ikan layang, ikan banyar atau ikan kembung lelaki beruaya pada perairan dengan salinitas 33-35. Seperti yang telah dijelaskan diatas, salinitas perairan Laut Jawa akan meningkat pada musim timur dengan suhu perairan yang relatif rendah. Dari gambar 19 dapat dilihat pada bulan Desember-Maret 2007 terjadi penurunan nilai CPUE yang diiringi dengan

52 kenaikan SPL. Bulan-bulan ini merupakan bulan musim peralihan 1 dimana masih ada pengaruh dari musim barat yang memiliki salinitas perairan yang rendah. Bulan April Juli 2008 memperlihatkan terjadinya kenaikan nilai CPUE ikan banyar. Kenaikan nilai CPUE ini diikuti dengan penurunan SPL Laut Jawa dimana bulan-bulan ini sedang berlangsung akhir dari musim peralihan 1 dan awal dari musim timur. Sebagaimana telah diketahui, musim timur membawa massa air bersuhu rendah ke perairan Laut Jawa tetapi memiliki salinitas yang tinggi. Untuk komoditas ikan banyar, korelasi antara SPL dengan nilai CPUE paling besar terjadi pada musim timur dengan nilai r sebesar -0.42 dan nilai r ² sebesar 0.17. Sedangkan korelasi terendah terjadi pada musim peralihan 1 dengan nilai korelasi pearson sebesar -0,1. Ikan tongkol merupakan ikan pelagis yang hidup pada perairan hangat dan hidup bergerombol. Ikan tongkol dewasa hidup maksimal pada suhu 29 C. Perairan Indonesia khususnya Laut Jawa merupakan perairan yang relatif hangat sepanjang tahunnya. Keberadaan ikan tongkol di perairan Laut Jawa cukup stabil. Hal ini terlihat seperti pada Gambar 20 dimana sepanjang dari tahun 2006-2010 nilai CPUE ikan tongkol di Laut Jawa cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Terdapat fluktuasi nilai CPUE ikan tongkol setiap bulannya dimana SPL Laut Jawa juga berfluktuasi mengikuti musim angin yang sedang berlangsung. Korelasi antara SPL dengan nilai CPUE ikan tongkol paling besar terjadi pada musim peralihan 2 dengan korelasi pearson sebesar 0,46 dan koefisien determinasi sebesar 0.21. Sebaliknya korelasi antara SPL dengan nilai CPUE ikan tongkol paling kecil terjadi pada musim timur dengan korelasi pearson sebesar

53-0.12 denga koefisien determinasi sebesar 0.01. Gambar 20. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Ikan lemuru dan ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis yang keberadaannya tergantung pada plankton yang merupakan makanan utama kedua jenis ikan ini (Nontji, 2005). Korelasi antara SPL dengan Nilai CPUE ikan lemuru dan ikan tembang terlihat kurang jelas seperti yang terlihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Berbeda-bedanya respon ikan pelagis terhadap SPL ini menunjukkan bahwa setiap ikan memiliki karakteristiknya sendiri terhadap SPL dan pola angin musim yang berpengaruh terhadap musim penangkapan ikan di Laut Jawa.

54 Gambar 21. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Lemuru Gambar 22. Hubungan antara SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Tembang 4.5 Hubungan antara Konsentrasi Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Kandungan klorofil-a pada suatu perairan sangat erat kaitannya dengan berjalannya rantai makanan. Kandungan klorofil-a yang tinggi pada perairan akan meningkatkan produktifitas zooplankton, sehingga tercipta suatu rantai makanan

55 yang menunjang produktifitas ikan diperairan. Tingginya konsentrasi klorofil dapat mengindikasikan perairan tersebut kaya akan sumberdaya ikan. Ikan pelagis umumnya merupakan ikan filter feeder, yaitu: jenis ikan pemakan plankton. Ikan lemuru dan ikan tembang merupakan ikan-ikan yang dikenal dengan istilah ikan sardine (Nontji, 2005). Keberadaan plankton sebagai makanan utama sangat mempengaruhi keberadaan kedua ikan ini. Hubungan antara rata-rata konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dengan nilai CPUE ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 23. Nilai CPUE ikan lemuru akan meningkat pada musim barat dan musim peralihan 1 dimana pada bulan-bulan tersebut memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi. Hal ini dapat dilihat terjadi pada bulan Desember-Februari 2008, 2009 dan 2010. Sebaliknya nilai CPUE ikan lemuru akan menurun pada musim timur dan musim peralihan 2 seperti yang terlihat pada bulan Juni-Oktober 2010. Gambar 23. Hubungan antara Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Lemuru

56 Korelasi antara konsentrasi klorofil-a dengan CPUE ikan lemuru paling besar terjadi pada musim barat dengan nilai r sebesar 0.61 dan nilai r² sebesar 0.37. Sedangkan korelasi terendah terjadi pada musim peralihan 2 dengan korelasi pearson sebesar -0,01. Hal ini dapat terjadi karena pada musim barat dan musim peralihan 1 merupakan musim yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga masukkan zat hara dari aliran sungai yang bermuara di Laut Jawa membawa dampak meningkatnya konsentrasi klorofil-a. Naiknya nilai konsentrasi klorofil-a tidak langsung berdampak pada naiknya nilai CPUE, tetapi membutuhkan beberapa waktu sehingga fitoplankton yang mengandung klorofil-a telah dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai sumber makanan. Berikutnya zooplankton akan dimanfaatkan oleh ikan-ikan kecil sebagai bahan makanan atau dimakan langsung oleh ikan pelagis. Kejadian ini dapat terlihat pada hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan nilai CPUE ikan tembang (Gambar 24). Gambar 24. Hubungan antara Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Tembang

57 Dari Gambar 24 dapat dilihat terdapat jeda waktu antara naiknya nilai konsentrasi klorofil-a dengan naiknya nilai CPUE ikan tembang. Pada Bulan Februari 2009, konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa mencapai nilai maksimum sedangkan nilai CPUE ikan tembang mulai naik pada bulan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan April tahun yang sama. Terdapat rentang waktu sekitar satu sampai dua bulan antara mulai naiknya nilai CPUE ikan tembang dengan konsentrasi klorofil-a maksimum diperairan Laut Jawa. Untuk korelasi antara kedua variabel paling besar terjadi pada musim peralihan 1 dengan nilai sebesar -0.76 dan koefisien korelasi sebesar 0.57. Hubungan antara klorofil-a dengan ikan tembang memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Hal ini diduga terjadi karena adanya rentang waktu antara puncak dari konsentrasi klorofil-a dengan nilai maksimum CPUE ikan tembang sehingga menyebabkan korelasi antara kedua variabel bernilai minus. Ikan tongkol merupakan ikan yang dapat hidup optimal pada suhu 29 C. Keberadaan ikan tongkol secara langsung kurang dipengaruhi oleh keberadaan konsentrasi klorofil-a. Dari Gambar 25 dapat dilihat kenaikan nilai CPUE ikan tongkol pada musim timur diiringi dengan penurunan konsentrasi klorofil-a. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pada musim timur merupakan musim dimana konsentrasi klorofil-a rendah di perairan Laut Jawa. Pada bulan Juli September 2006 dan bulan Agustus Oktober 2010 terlihat terjadi kenaikan nilai CPUE ikan tongkol yang diikuti dengan penurunan konsentrasi klorofil-a. Korelasi antara konsentrasi klorofil-a dengan nilai CPUE ikan tongkol paling besar terjadi pada musim timur dengan nilai sebesar -0,55 dan koefisien determinasi sebesar 0.30.

58 Gambar 25. Hubungan antara Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Ikan layang dan ikan banyar merupakan jenis ikan yang hidup pada perairan dengan salinitas tinggi dan merupakan faktor pembatas dalam penyebaran kedua jenis ikan ini di Laut Jawa. Ikan layang dan ikan banyar akan meningkat nilai CPUEnya pada musim timur dimana perairan Laut Jawa mendapat masukkan massa air dari Selat Makassar dan Laut Flores. Massa air ini memiliki salinitas yang tinggi jika dibandingkan dengan massa air yang masuk perairan Laut Jawa pada musim barat. Konsentrasi klorofil-a sendiri pada musim timur relatif rendah jika dibandingkan denga musim barat. Secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 26 dan Gambar 27 dimana kenaikan nilai CPUE ikan layang dan ikan tembang akan diiringi dengan rendahnya nilai konsentrasi klorofil-a terutama pada musim timur.

59 Gambar 26. Hubungan antara Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang Gambar 27. Hubungan antara Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Banyar