7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil"

Transkripsi

1 7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Terdapat 3 komponen utama dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu 1) teknologi (sumberdaya manusia dan armada), 2) sumberdaya ikan, 3) lingkungan. Interaksi diantara ketiga komponen tersebut akan menentukan perkembangan status perikanan tangkap. Tidak ada kegiatan perikanan tangkap yang bersifat statis, dimana pada umumnya perikanan akan berada dalam status belum berkembang dan berkembang. Status belum berkembang merupakan keadaan dimana pemanfaatan sumberdaya ikan rendah, sedangkan status berkembang, pemanfaatan sumberdaya ikan meningkat dengan meningkatnya upaya penangkapan (Garcia et al. 1999). Dalam tahapan berkembang beragam tindakan dilakukan oleh pelaku usaha perikanan tangkap (nelayan) untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penangkapan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan teknologi alat bantu penangkapan, merubah dimensi alat tangkap, meningkatkan jumlah hari operasi. Berbagai tindakan efisiensi operasi penangkapan ikan tersebut menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan produksi ikan. Pada sumberdaya ikan, tekanan terhadap ketersediaan untuk perikanan juga akan semakin meningkat. Fungsi ekologi dan fisiologi dalam aktivitas ikan menyebabkan distribusi ikan tersebar secara terbatas di perairan, dimana terdapat lokasi tertentu yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Operasi penangkapan ikan akan dilakukan pada lokasi yang memiliki konsentrasi ikan yang tinggi, konsentrasi ikan yang tinggi berada pada perairan yang juga memiliki produktivitas biologi tinggi (Garcia et al. 1999; Jennings et al. 2001). Dampaknya akan terjadi intensitas penangkapan ikan yang tinggi pada lokasi penangkapan tertentu. Sehingga fluktuasi produksi ikan merupakan dampak dari intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan yang juga menunjukkan dinamika armada penangkapan (Hilborn 1985; Sadhatomo 1991; Atmaja dan Nugroho 2006).

2 175 Trend intensitas penangkapan di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dievaluasi berdasarkan upaya penangkapan adalah gambaran intensitas kegiatan perikanan tangkap pada suatu wilayah perairan yang menjadi lokasi penangkapan. Trend upaya penangkapan signifikan meningkat di setiap zona, dimana zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Upaya penangkapan rata-rata dalam kurun waktu tahun di zona A sebesar unit; zona B sebesar 622 unit; dan zona C sebesar 150 unit. Produksi rata-rata dalam kurun waktu tahun , di zona A sebesar ,9 ton; zona B sebesar 7 906,6 ton; dan zona C sebesar 3 955,9 ton. Perbedaan jumlah upaya penangkapan dan produksi ikan mengindikasikan ketersediaan ikan pelagis kecil untuk perikanan di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Secara sederhana ketersediaan ikan pelagis kecil antara zona dapat diketahui. Pada zona B, upaya penangkapan sebesar 622 unit menghasilkan produksi sebesar ton. Pada zona A dengan upaya penangkapan setara zona B mampu menghasilkan produksi ikan sebesar ton. Pada zona C, total upaya penangkapan maksimal dalam kurun waktu tahun sebesar 470 unit menghasilkan produksi 4 029,6 ton. Pada zona A, setara dengan upaya penangkapan di zona C merupakan jumlah upaya penangkapan minimal dan menghasilkan produksi sebesar ,4 ton. Perbandingan sederhana tersebut menegaskan bahwa ketersediaan ikan pelagis kecil di zona A lebih besar dibandingkan zona B dan C. Trend menurun pada hubungan upaya penangkapan dengan CPUE, baik linear di zona A dan B, dan eksponensial di zona C mengindikasikan intensitas penangkapan di setiap zona cenderung mempengaruhi ketersediaan ikan pelagis kecil. Perubahan CPUE yang menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan juga telah terjadi di berbagai perairan di Indonesia yang dapat menjadi pengalaman penting. Sebagai contoh Laut Jawa, salah satu wilayah perairan yang telah mengalami lebih tangkap akibat peningkatan upaya penangkapan. Perikanan pelagis kecil di Laut Jawa yang dianalisis mulai tahun menunjukkan tingkat pengusahaan di perairan pantai telah mendekati maksimum, dimana jenis ikan pelagis kecil yang berada dekat pantai telah mengalami tekanan yang cukup tinggi dibandingkan jenis

3 176 ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik (Nurhakim et al. 1995). Selanjutnya tahun 1983 nelayan pukat cincin mulai memperluas daerah penangkapan dan pada tahun 1998 biomassa ikan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami penurunan sebesar 66% dari biomassa awal tahun 1976 dan hingga tahun 2004 biomassa ikan pelagis kecil terus mengalami penurunan. Selain perluasan daerah penangkapan juga menggunakan teknologi alat bantu penangkapan berupa rumpon dan lampu, dimana intensitas lampu yang digunakan dapat mencapai daya sebesar watt (Atmaja dan Nugroho 2006). Contoh lainnya di Selat Malaka, dimana perikanan pelagis kecil telah fully exploited (Nurhakim et al. 2007). Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dengan pukat cincin berpangkalan di Tanjung Balai dan beroperasi di Selat Malaka, melakukan perluasan daerah penangkapan ikan sampai ke perairan Aceh Timur selama periode Perluasan daerah penangkapan ikan dilakukan, karena perairan yang menjadi lokasi penangkapan selama ini, hasil tangkapan mulai berkurang. Perluasan daerah penangkapan ikan, selain meningkatkan tekanan upaya penangkapan, komposisi hasil tangkapan dominan juga berubah. Pada tahun 1997 jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap pukat cincin di Selat Malaka adalah jenis bayar dan kembung sebesar 56%. Pada periode tahun jenis ikan yang dominan adalah layang sebesar 49%. Jenis ikan layang adalah ikan pelagis kecil yang bersifat oseanik, sedangkan jenis ikan kembung lebih dekat ke pantai (Hariati 2006). Perubahan produksi ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan Selat Malaka adalah pelajaran penting untuk kegiatan perikanan tangkap pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Ketika efisiensi penangkapan dilakukan dengan merubah dimensi alat maupun kapal dan menambah kekuatan mesin, serta penggunaan alat bantu penangkapan akan menyebabkan kapasitas penangkapan meningkat. Namun ketika kapasitas penangkapan meningkat tanpa memperhatikan potensi produksi ikan pelagis kecil, maka kasus Laut Jawa dan Selat Malaka akan terjadi di semua perairan yang merupakan lokasi penangkapan termasuk kawasan perairan zona A, perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Jika memperhatikan kondisi perairan, perairan pantai

4 177 barat Sulawesi Selatan pada zona A, Laut Jawa dan Selat Malaka memiliki kemiripan, yaitu berada pada bagian paparan benua (continental shelf) yang relatif dangkal. Wilayah continental shelf merupakan wilayah distribusi ikan pelagis kecil (Longhutst dan Pauly 1987; Widodo 1997). Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di perairan pantai barat Sulawesi Selatan dilakukan oleh berbagai jenis alat tangkap, namun dari upaya penangkapan dan produksi, terdapat alat tangkap yang dominan di setiap zona, yaitu payang, pukat cincin, dan bagan perahu. Pola operasi unit penangkapan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan adalah one day trip. Struktur armada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa dicirikan oleh pukat cincin, baik ukuran kecil maupun besar. Pukat cincin berukuran besar (large seiners) mampu beroperasi sampai ke Selat Makassar (Januari-April) dan Laut Cina Selatan (Mei-Juni) dan pada bulan Agustus kembali terkonsentrasi di Laut Jawa (Potier dan Petit 1995). Pergerakan pukat cincin besar di Laut Jawa bergerak bebas mengikuti pergerakan migrasi ikan layang, sehingga terjadi perluasan daerah penangkapan ikan. Kemampuan pergerakan pukat cincin Laut Jawa didukung oleh armada yang mampu berada di laut 8-10 hari. Tidak terdapat pergeseran operasi penangkapan dari selatan ke utara atau sebaliknya di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, sebagaimana yang dilakukan pukat cincin besar Laut Jawa yang melakukan pergeseran timur ke barat dan sebaliknya. Pola operasi penangkapan ikan pelagis kecil antara Laut Jawa dan perairan pantai barat Sulawesi Selatan dalam perspektif ekologi, yaitu konsep pemangsaan, dimana alat tangkap adalah predator akan memburu mangsanya dengan bergerak bebas dikemukakan oleh Gillis dan Peterman (1998); Jennings et al. (2001); Gillis (2003); Walters dan Martell (2004); Hilborn (2007). Dari perspektif ekologi tersebut dapat dipahami mengapa dinamika armada penangkapan ikan berbeda pada setiap wilayah perairan. Evaluasi tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an (Dwiponggo 1983), DKP-LIPI (2001), dan Nurhakim et al. (2007) menyimpulkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di Selat Makassar, Sulawesi Selatan, telah maksimum atau moderate. Jika memperhatikan kajian tersebut dengan hasil penelitian ini yang juga menunjukkan status perikanan pelagis kecil di zona A dan B

5 178 telah mencapai optimum. Apakah status fully exploited atau over explioited tidak akan terjadi di perairan pantai barat Sulawesi Selatan, karena secara alami akan terjadi penyesuaian, baik upaya penangkapan ikan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Sulit untuk memastikan karena membutuhkan kajian ekologi, biologi dan ekonomi yang tidak dilakukan dalam penelitian ini, agar secara komprehensif dapat menjawab status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Namun yang dapat dilakukan adalah mempertahankan upaya penangkapan di setiap zona sebagaimana hasil analisis dalam penelitian ini. Perikanan pelagis kecil di zona C mempunyai keunikan karena karakteristik pantai yang terbuka dengan topografi kedalaman yang berbeda dari perairan pantai di zona A dan B. Pada perairan zona C dominan ikan layang, sehingga perikanan ikan pelagis kecil di zona C cenderung multispesies terbatas. Seyogianya akan lebih mudah untuk melakukan tindakan pengelolaan. Merujuk pada kesimpulan penelitian Najamuddin (2004) tingkat pemanfaatan ikan layang di Mamuju sebesar 27,32% dan Majene 77,52% (kedua daerah ini adalah zona C dalam penelitian ini). Pemanfaatan ikan layang di perairan zona C secara umum masih dapat dikembangkan namun seharusnya lebih dikonsentrasikan pada daerah Mamuju. Namun perubahan tahunan CPUE ikan pelagis kecil yang lebih besar di zona C dibandingkan zona A dan B perlu mendapat perhatian lebih konprehensif khususnya keadaan stok ikan pelagis kecil. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat kawasan perairan zona C saat ini sudah menjadi wilayah pemekaran provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Kecenderungan selama ini dalam wilayah administrasi baru adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Status perikanan pelagis kecil di setiap zona perairan pantai barat Sulawesi Selatan yang dipetakan menggunakan kurva produksi surplus, cenderung ke arah kanan kurva. Pemetaan dengan kurva produksi lestari, zona A dan B sudah mencapai titik optimum dibandingkan zona C. Status perikanan tangkap pelagis kecil tersebut mengindikasikan intensitas penangkapan ikan di setiap zona berbeda. Status perikanan di setiap zona memberikan perhatian kepada pengelola perikanan dalam hal ini adalah sehubungan dengan pembangunan perikanan untuk meningkatkan

6 179 produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan. Misalnya di zona B, jika pemberian insentif hanya berdasar pada trend produksi yang signifikan meningkat dalam kurun waktu tahun , maka dapat terjadi kekeliruan. Skala produksi perikanan berdasarkan kurva surplus di zona B, berada pada ton, dengan upaya penangkapan 600 unit. Dengan demikian jika insentif diberikan melebihi skala perikanan di zona B dapat berdampak terhadap produktivitas penangkapan, baik nelayan maupun sumberdaya ikan pelagis kecil. Demikian juga skala perikanan di zona C yang menunjukkan status perikanan yang belum mencapai optimum, namun harus memperhatikan gejala trend CPUE dan hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan. Trend CPUE di zona C menunjukkan perubahan tahunan yang lebih besar dibandingkan zona A dan B sebagaimana koefisien regresi, demikian juga trend hubungan CPUE dengan upaya penangkapan yang menunjukkan koefisien regresi yang lebih besar dibandingkan zona A dan B. Perbedaan ekosistem di perairan pantai barat Sulawesi Selatan juga berdampak terhadap kegiatan perikanan tangkap pelagis. Dampak tersebut sebagaimana dinamika hasil tangkapan dalam kurun waktu 30 tahun ( ), sehingga status perikanan pelagis kecil di zona A, B, dan C berbeda. Ikan pelagis kecil merupakan unit fungsional dalam suatu ekosistem, namun setiap spesies yang menyusun masingmasing komunitas pada suatu ekosistem berbeda sesuai daerah geografik (Odum 1994; Nybakken 1982). Secara geografis semakin tinggi lintang, maka suhu juga semakin meningkat (Longhurst dan Pauly 1987), sehingga dalam hubungan fungsional dengan faktor lingkungan merupakan pembatas distribusi ikan pelagis kecil pada suatu kawasan perairan. Hubungan fungsional tersebut yang menyebabkan adanya perbedaan pada setiap zona, dimana besarnya produksi di zona A dibandingkan zona B dan C, mengindikasikan ketersediaan ikan yang berbeda akibat hubungan fungsional sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian kegiatan perikanan tangkap yang ditentukan oleh ketersediaan ikan, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan kawasan dengan ekosistem yang berbeda. Sebagai gambaran, jika kondisi perikanan pelagis kecil di zona A diterapkan pada zona C yang dianggap belum optimum tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian maka

7 180 dapat menyebabkan perikanan pelagis kecil di zona C akan mengarah pada perikanan lebih tangkap. 7.2 Pola Distribusi dan Kelimpahan Ikan Pelagis Kecil Perairan pantai barat Sulawesi Selatan merupakan perairan Selat Makassar dengan sistim arus utama mengalir dari utara ke selatan, namun pada bagian selatan di lapisan permukaan pergerakan massa air dipengaruhi munson. Ketika munson barat aliran massa air berasal dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sedangkan pada munson timur aliran massa air berasal dari Laut Banda. Aliran massa air pada lapisan permukaan Selat Makassar berkorelasi dengan arah angin regional, dimana pada saat munson barat aliran massa dari Laut Jawa bergerak ke arah timur dengan salinitas rendah dan klorofil rendah mempengaruhi keadaan fisik lapisan permukaan Selat Makassar pada bagian selatan, sedangkan pada bulan Juli hingga September aliran massa air berasal dari Laut Banda dengan salinitas tinggi dan klorofil tinggi (Masumoto dan Yamagata 1993; Gordon et al. 2003; Gordon 2005). Pola aliran massa air di Selat Makassar akan mempengaruhi terhadap keadaan biofisik perairan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Kondisi biofisik perairan dalam penelitian ini adalah suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil. SPL dan klorofil merupakan variabel utama yang mempengaruhi aktivitas ikan (Nybakken 1982). Suhu dapat digunakan untuk mendeterminasi distribusi ikan, serta mempengaruhi pertumbuhan larva (Laevastu dan Hayes 1981; Peltonen et al. 2007; Martin et al. 2008). Klorofil adalah indikator produktivitas primer berkaitan dengan rantai makanan, dimana ikan pelagis kecil umumnya pemakan plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton (Grahame 1987; Odum 1994; Nybakken 1982; Gaol et al. 2004; Fréon et al. 2005; Peltonen et al. 2007; Martin et al. 2008). Penggunaan skala waktu yang berbeda dalam analisis hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan (produksi, produktivitas, dan densitas), karena respon ikan tidak terjadi sesaat terhadap perubahan SPL dan klorofil, tetapi dapat saja respon ikan dapat terjadi kemudian, sebagai akibat, misalnya klorofil hubungannya dengan rantai makanan. Ikan pelagis kecil memiliki mobilitas tinggi dan cenderung terkonsentrasi pada area yang sesuai dengan kebutuhan kondisi

8 181 lingkungan (Fréon et al. 2005). Dalam batas tertentu, prilaku ikan dapat berubah sebagai respons terhadap fluktuasi kondisi lingkungan (Agenbag et al. 2003). Analisis produksi, produktivitas, dan densitas hubungannya dengan fluktuasi SPL dan klorofil dilakukan pada setiap zona, karena setiap zona memiliki keunikan ekosistem, selain itu penyebaran ikan tidak terbatas pada areal yang sempit. Perubahan kondisi oseanografi di perairan Indonesia di pengaruhi munson, sehingga akan terjadi perubahan yang tetap dalam setahun, namun setiap perairan memiliki variasi perubahan yang berbeda (Birowo, 1982). Sebagaimana di zona A, Selat Makassar pada bagian selatan di pengaruhi munson, sedangkan zona C sepanjang tahun massa air mengalir secara tetap dari utara ke selatan (Birowo 1982; Nontji 1987; Masumoto dan Yamagata 1993). Keunikan ekosistem, dimana variasi perubahan SPL dan klorofil di setiap zona berbeda sebagaimana ditunjukkan koefisien keragaman dan hasil citra satelit berdasarkan analisis GIOVANNI (Lampiran 14 dan 15). Keunikan ekosistem dalam kesatuan geografi menjadi penting untuk menganalisis kawasan perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Variasi perubahan SPL dan klorofil-a harus dapat didefinisikan agar dengan tepat dapat mengklarifikasi hubungannya dengan kelimpahan ikan pada suatu wilayah perairan. Berbagai penelitian sebelumnya yang memanfaatkan data citra satelit untuk mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi hubungannya dengan kelimpahan ikan di berbagai perairan Indonesia, selama ini dilakukan dengan menggunakan parameter statistik mean, antara lain dilakukan oleh Rahardjo et al. (1998), Halid et al. (2004), Gaol et al. (2004), Hendiarti et al. (2005), Amri et al. (2006), Almuas dan Jaya (2006), Anggraini (2008), Amri (2008). Selain itu variasi data perubahan kondisi oseanografi seharusnya juga dapat didefinisikan menggunakan parameter statistik lainnya, baik ukuran pemusatan data maupun ukuran penyebaran data. Penggunaan mean untuk mendefinisikan serangkaian data tentu mempunyai keunggulan, yaitu sifat objektif dari individu berlainan akan dihasilkan nilai yang sama. Namun kelemahan mean adalah mudah dipengaruhi oleh nilai ekstrim, baik besar maupun kecil (Budiyuwono 1995). Dengan demikian penggunaan berbagai parameter statistik lainnya penting diketahui, sehingga dapat diketahui parameter statistik yang

9 182 tepat untuk digunakan dalam mengklarifikasi fluktuasi SPL dan klorofil hubunganganya dengan kelimpahan ikan. Khususnya dalam mengevaluasi perubahan dalam suatu kawasan perikanan yang luas dan dalam jangka waktu yang panjang. Analisis menggunakan grafik biplot dengan mengkategorikan keberadaan ikan pada tinggi dan rendahnya SPL digunakan untuk mengetahui respon ikan yang juga dapat digunakan dalam peramalan daerah penangkapan ikan dengan cara yang cepat. Sebagaimana di zona A, parameter statistik ukuran pemusatan data mean, median, dan modus pada skala waktu musim menunjukkan keberadaan ikan berdasarkan produktivitas berada pada SPL rendah sampai tinggi dengan klorofil rendah (tipe 10). Tipologi ini mengindikasikan bahwa untuk zona A, tingginya klorofil tidak selalu dapat diasosiasikan dengan keberadaan ikan yang banyak. Hasil analisis korelasi pada skala waktu kuartal kategori kalender di zona A, signifikan kelimpahan ikan dengan fluktuasi SPL dengan produktivitas, sedangkan di zona B kelimpahan ikan signifikan dengan fluktuasi klorofil. Pada skala waktu kuartal kategori musim, kelimpahan ikan di zona A signifikan dengan fluktuasi SPL dan klorofil yang diklarifikasi dengan parameter statistik modus dan produktivitas. Pada skala waktu kuartal kategori musim, kelimpahan ikan di zona B signifikan dengan fluktuasi klorofil. Perbedaan signifikan antara skala waktu kuartal kategori kalender dan musim pada zona A, mengindikasikan adanya perbedaan respons ikan terhadap variasi fluktuasi SPL dan klorofil. Respons ikan terhadap perubahan lingkungan untuk menyesuaikan peran fungsional dalam suatu ekosistem, jika tidak sesuai atau tidak dapat menyesuaikan, maka ikan akan mencari habitat yang sesuai dengan kebutuhan atau peran fungsionalnya (Odum 1994; Laevastu dan Hayes 1981; Agenbag et al. 2003). Tataran dalam peran fungsional ikan pelagis kecil pada suatu ekosistem berkaitan dengan tingkatan tropik. Sebagaimana kesimpulan penelitian Hatta (2010), bahwa biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor, sehingga harus melewati ikan planktivor. Penelitian tingkatan tropik tersebut dilakukan pada bagan rambo yang di operasikan pada perairan Barru. Kategori ikan planktivor adalah ikan teri dan

10 183 tembang, sedangkan ikan omnivor adalah pepetek, layang, dan kembung. Dari penelitian tersebut menunjukkan dalam lokasi yang terbatas setiap spesies memiliki peran fungsional yang berbeda, dimana dalam setiap tingkatan tropik ada proses yang terjadi. Dengan demikian hubungan dengan signifikansi SPL dan klorofil pada skala waktu yang berbeda, karena adanya peran fungsional dalam tingkatan tropik, dimana tinjauan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Fluktuasi kelimpahan ikan di laut adalah fenomena umum, karena ikan cenderung berada atau terkonsentrasi pada kondisi lingkungan sesuai aktivitas, dimana faktor lingkungan ikan berkaitan dengan faktor biologi dan nonbiologi (Rounsefell 1975; Laevastu dan Hayes 1981; Nybakken 1982). Penentuan kelimpahan ikan digunakan data hasil tangkapan, karena unit penangkapan ikan akan beroperasi pada lokasi atau area dimana ikan terkonsentrasi. Namun teori penangkapan juga menunjukkan populasi ikan akan berubah dengan meningkatnya upaya penangkapan. Sehingga fluktuasi populasi ikan merupakan fungsi dari besaran populasi dan kapasitas lingkungan. Kapasitas lingkungan berkaitan dengan rekruitmen dan mortalitas alami, dimana kesimbangan populasi akan berubah dengan meningkatnya intensitas penangkapan (Sette 1961 dalam Rounsefell 1975). Kompleksitas dalam mekanisme ekosistem untuk menilai signifikansi perubahan kondisi oseanografi dengan kelimpahan ikan harus dilakukan pada kawasan yang memiliki intensitas penangkapan ikan yang relatif tinggi. Intensitas penangkapan tinggi sebagaimana zona A, mengindikasikan kestabilan hubungan kelimpahan ikan dengan fluktuasi perubahan lingkungan. Selain itu evaluasi hubungan kelimpahan ikan dengan fluktuasi perubahan biofisik lingkungan seharusnya dilakukan dengan pendekatan kawasan, karena perubahan kondisi biofisik lingkungan laut berkaitan dengan sirkulasi massa air. Seperti zona A dan B, walaupun berada pada aliran massa air Selat Makassar yang mengalir dari utara ke Selatan, di lapisan permukaan di pengaruhi munson. Dengan demikian kajian dalam penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mengamati kegiatan perikanan tangkap pada kondisi ekosistem yang berbeda kaitannya dengan perubahan kondisi oseanografi. Penelitian ini juga memperlihatkan

11 184 pentingnya mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi menggunakan parameter statistik dengan pendekatan skala waktu yang berbeda. Selain itu resolusi data juga penting menjadi perhatian, misalnya data produksi ikan dalam bulanan akan lebih baik untuk mendefinisikan perubahan kondisi oseanografi. sehingga perubahan keberadaan atau distribusi ikan pelagis kecil dapat terpantau untuk kepentingan tindakan pengelolaan perikanan tangkap. Dengan demikian perubahan dalam kegiatan perikanan tangkap, baik karena upaya penangkapan maupun kondisi oseanografi dapat dievaluasi guna tindakan pengelolaan perikanan tangkap. Akhir-akhir ini perubahan iklim menjadi perhatian dunia termasuk dampaknya terhadap perikanan (Barange 2002; Brander 2007; Syahailatua 2008). Selain trend, para peneliti memfokuskan monitoring terhadap anomali dari parameter lingkungan, misalnya suhu dan curah hujan. Anomali tersebut dipahami sebagai penyimpangan nilai rata-rata. Dalam penentuan pola distribusi ikan dikaitkan dengan SPL dan klorofil, penelitian ini menggunakan pendekatan sederhana yaitu dengan menerapkan 2 kategori hasil pengukuran relatif tinggi dan rendah, sehingga menghasilkan 11 tipologi (Gambar 52, hal 122). Penelitian selanjutnya dapat menerapkan pendekatan yang membagi hasil pengukuran parameter lingkungan menjadi 3 kategori, yaitu 1) diatas normal; 2) normal; 3) di bawah normal, sehingga akan terbentuk 9 kuadran. Kombinasi dari distribusi ikan dalam 9 kuadran tersebut akan menghasilkan lebih banyak tipe distribusi dari yang dihasilkan penelitian sekarang. Hasil penelitian lanjutan tersebut diharapkan menjawab dampak perubahan iklim terhadap distribusi ikan. Penelitian ini memiliki keunikan tersendiri, karena menganalisis hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan kondisi ekosistem yang berbeda pada perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Selain itu melakukan eksplorasi hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan menggunakan biplot dengan 4 kuadran dan juga parameter statistik. Penelitian sebelumnya lebih menekankan pada perairan pantai barat secara keseluruhan, namun kenyataanya memiliki tipikal perairan pantai yang berbeda dari utara ke selatan. Perbedaan tipikal perairan pantai akan berdampak terhadap distribusi ikan sebagai akibat adanya interaksi antara biotik dan yang

12 185 menyusun suatu ekosistem. Sistem kehidupan dalam suatu ekosistem menyebabkan adanya aliran energi sehingga membentuk hubungan fungsional dalam suatu tatanan dalam tingkatan tropik (Nybakken 1982), dimana akan berbeda pada setiap perairan. Mengklarifikasi perubahan SPL dan klorofil untuk mengetahui hubungannya dengan aspek perikanan menggunakan parameter statistik dalam penelitian ini menunjukkan bah bukan hanya parameter statistik mean saja yang dapat digunakan sebagaimana sering digunakan dalam penelitian ini. Namun parameter statistik modus juga dapat digunakan untuk mengklarifikasi hubungan SPL dan klorofil dengan aspek perikanan. Aspek perikanan adalah produksi, produktivitas, dan densitas, dimana yang tepat dapat digunakan sesuai hasil penelitian ini adalah produktivitas. Produktivitas adalah ukuran kemampuan suatu unit penangkapan untuk mendapatkan sejumlah produksi, dengan demikian produktivitas adalah proporsional dari sejumlah ikan yang menjadi tujuan penangkapan dalam suatu perairan. Variabel yang telah digunakan dalam penelitian ini, baik aspek perikanan maupun kondisi oseanografi dapat menjadi rujukan untuk digunakan dalam tindakan pengelolaan perikanan tangkap, khususnya perikanan pelagis kecil.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 6 HUUNGN SUHU PERMUKN LUT DN KLOROFIL DENGN PRODUKSI IKN PELGIS KEIL DI PERIRN PNTI RT SULWESI SELTN 6.1 Pendahuluan lasan utama sebagian spesies ikan berada di suatu perairan disebabkan 3 hal pokok, yaitu:

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Pelagis Kecil Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 4 HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 4.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya ikan yang mempunyai

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988).

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988). 177 10 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum ini secara keseluruhan membahas rangkuman pembahasan tentang keberlanjutan pembangunan perikanan (sustainable development). Keberlanjutan merupakan pembangunan yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak 5 PEMBAHASAN Hasil penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan dengan menggunakan single output (total tangkapan) berdasarkan bulan ( Agustus 2007 Juli 2008) menunjukkan bahwa hanya ada 1 2 unit kapal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI ADRIANI GUHAR L231 07 032 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya sudah sejak lama diketahui sebagai perlakuan yang efektif untuk tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Ben-Yami,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi dalam 2 tahapan berdasarkan waktu kegiatan, yaitu : (1) Pelaksanaan penelitian lapangan selama 2 bulan (September- Oktober

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km 2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin,

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN (AN EVALUATION ON SMALL PELAGIC FISH PRODUCTION FROM WESTERN COASTAL WATERS OF SOUTH SULAWESI) Alfa F.P Nelwan

Lebih terperinci

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN SKRIPSI WARDA SUSANIATI L 231 7 2 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG KJIN HUUNGN HSIL TNGKPN IKN CKLNG (Katsuwonus pelamis) DENGN KLOROFIL-a PD WPP 714, WPP 715, DN WPP 716 SEGI FISHING GROUND NELYN DI ITUNG sia*, Moh. Zaini, M. Zainul rifin Politeknik Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM Tujuan Pengelolaan Perikanan Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM suadi@ugm.ac.id Tujuan Pengelolaan tenggelamkan setiap kapal lain kecuali milik saya (sink every other boat but mine)

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal 73 5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Secara temporal sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun 2008-2010 memperlihatkan adanya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati Deskripsi MK DPI Mata kuliah ini menjelaskan tentang posisi DPI dan manfaatnya bagi kegiatan perikanan, serta berbagai hal yang berkaitan dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : 187 192 ISSN 1411-4674 MAKANAN IKAN PELAGIS PLANKTIVOR PADA BAGAN TANCAP DENGAN INTENSITAS CAHAYA LAMPU BERBEDA Food of Planktivor Pelagic Fish in the

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci