Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang

PEMAHAMAN AKTIVIS PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN (STUDY DI MALANG)

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

P E N E T A P A N. Nomor : 7/Pdt.P/2013/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

ANAK LAHIR DILUAR NIKAH (SECARA HUKUM) BERBEDA DENGAN ANAK HASIL ZINA 1. Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012.

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Farhan Asyhadi 1.

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI. TENTANG STATUS ANAK di LUAR NIKAH

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB III ISI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN. 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1 Hatinya yang

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN. Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Retna Gumanti 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVII/2010, anak tidak sah, hubungan keperdataan.

P E N E T A P A N. Nomor : 24/Pdt.P/2013/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr.

PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

PENETAPAN Nomor /Pdt.P/2015/PA.Sgr. DUDUK PERKARA

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

PENETAPAN Nomor /Pdt.P/2015/PA.Sgr. DUDUK PERKARA

Nomor 0435/Pdt.G/2014/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr.

PENETAPAN Nomor /Pdt.P/2015/PA.Sgr.

bismillahirrahmanirrahim

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG STATUS ANAK DI LUAR KAWIN

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

P E N E T A P A N. Nomor : 360/Pdt.P/2010/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. (uji materil) undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki dengan

PENETAPAN. Nomor : 0019/Pdt.P/2010/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PENETAPAN Nomor : 5/Pdt.P/2017/PA.Kras DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN MK NO 46/ PUU-VIII/2010, MEROMBAK HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

P E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh:

PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor: 0100/Pdt.P/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA

PENETAPAN. NOMOR XXXX/Pdt.P/2014/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAAHIRRAHMANIRRAHIIM

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 612/Pdt.P/2012/PA.Spg. Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut sebagai para Pemohon;

P E N E T A P A N Nomor : 53/Pdt.P/2010/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN. Nomor /Pdt.P/2015/PA.Sgr. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor : 21/Pdt.P/2012/PA. Sgr. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

P E N E T A P A N. Nomor : 72/Pdt.P/2011/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor 0133/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN PENETAPAN Nomor : 36/Pdt.P/2011/PA.NTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

bismillahirrahmanirrahim

P E N E T A P A N. Nomor : 06/Pdt.P/2012/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor : 121/Pdt.P/2013/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA TENTANG DUDUK PERKARANYA

P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Oleh: Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H.

ب س م الل ه ال رح م ن ال رح ي م

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

P E N E T A P A N. Nomor : 31/Pdt.P/2012/PA.Spg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

PENETAPAN Nomor 49/Pdt.P/2015/PA.Lt DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa

bismillahirrahmanirrahim

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. STUDI KOMPARASI PERKAWINAN SIRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN Oleh : Natasia Abigail Gaus 2

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

P E N E T A P A N. Nomor : 0097/Pdt.P/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

PENDAFTARAN ITSBAT NIKAH DI KJRI CHICAGO

Transkripsi:

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu putusan yang Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengakuaakan ada permasalahan baru yang timbul darn anak diluar perkawinan mengejutkan, walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yan timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Atas dasar hal tersebut di atas, penulis hendak mencoba membedakan kedudukan anak lahir diluar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika menggunakan analisis hukum, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus HJ.Aisyah Mochtar alias Machica si plantun lagu ilalang itu, maka ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama,persoalan status anak yang lahir diluar perkawinan dari kasus Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir diluar perkawinan, dan anak yang sah dalam persfektif bahasa, Undang-undang dan persfektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga, menyangkut kewenangan Pengadilan Agama. Bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat, disini akan menjurus pada persoalan yuridis materil dan yuridis formil. Bagaimana pengertian anak yang lahir diluar perkawinan sebelum dan sesudah putusan MK, disini akan tampak pergeseran makna. Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agam dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syart sah maupun sebagai syarat pelengkapan. Akan tetapi, dalam Undang-undang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada ada,, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh Undang-undang. Bagaimana Posisi anak yang lahir tanpa perkawinan (anak lahir dari perzinahan), apakah betul mereka menerima hukuman sebagai dosa warisan? Apakah betul mereka terlantar hukuman sebagai dosa warisan? Disini akan dilihat dari kenyataan yang kita sebutkan, terutama kita lihat dari sudut logika hukum dalam pembahasannya. B. Kasus Posisi

Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (HJ.Aisyah Mochtar alias Mochica binti H.Mochtar Ibahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs.Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H.MoCHTAR Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.Moerdiono. Lebih jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kec. Yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan bin Moerdiono. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut mengatakan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh tuntutan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU NO 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan pe rdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya. Para pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada intinya: 1. Bahwa menurut para pemohon, ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan kasus perkawinan dan status anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1; 2. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam Undang-undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1 adalah sah dan sesuai dengan Rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai Rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2; UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan pemohon 1 menjadi anak diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang -undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan

permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. 3. Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Menurut Putusan MK No.46/PUU-VII/2010 Tanggal 17 februari 2012, menyatakan bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang -undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Pasal 43 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan ayahnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46 /PUU-VII/2010 tanggal 17 Februari 2012, itu bersifat abstrak ( in abstrakto). Yang Inkonkrito adalah putusan Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis bahwa putusan MK tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan syari ah. Sehubungan dengan itu, Ketua MK Mahfud M.D., mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan : Bahwa yang dimaksu Majelis dengan frasa Anak diluar perkawinan bukan anak hasil zina, melainkan hasil nikah sirri. Hubungan perdata yang diberikan kepada anak diluar perkawinantidak bertentangan dengan nasab,waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak diluarperkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan

hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fiqih. Klarifikasi mahfudz M.d itu sudah benar, karena putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang telah menikah dengan Moerdiono sesuai dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974, pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan machica yang sudah menikah dengan Moerdiono sangat naif bila diterapkan untuk kasus perzinahan, hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang mengatakan bahwa:... perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju. Kasus ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah. ANAK INDONESIA DAN PROBLEMATIKANYA A. PERKAWINAN YANG TIDAK TERCATAT Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjukan sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin dibawah tangan, kawin syar i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan syariat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975. Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena tidak terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah, tetapi kurang sempurna. Ketidak sempurnaan itu dapat dilihat

dari ketentuan pasal 7 ayat (3) KHI. Dalm penjelasan umum pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan dikalangan terbatas, dimuka pak kiyai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya pasal 1 ayat 2 UU 01 tahun 1974). suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak perempuan. Pernikahan apapun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah. Permasalahannya jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk pologami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono-gini, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, distu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, dilain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak. 1) Kenyataan yang ada di masyarakat indonesia sangat banyak anak yang lahir diluar perkawinan yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama, tetapi tidak tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk memenuhi ketentuan yang berlaku di indonesia terutama pengesahan (itsbat) nikah sangat diperlukan untuk melihat ketentuan perkawinan dari berbagai undang-undang yang berlaku di indonesia sebagai berikut: 2) Pasal 28-B ayat (1) undang -undang dasar 1945 yang berbunyi: detiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 3) Pasal 10 ayat (1) undang -undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), yang berbunyi : setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah; 4) Pasal 42 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi: anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah;

5) Pasal 2 ayat (1) undang -undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan dalam pasal-pasal ayat tersebut diatas, harus dipedomani dalam proses pengesahan (itsbat) nikah, begitu juga dalam proses pengesahan anak yang lahir diluar perkawinan. Pedoman pengesahan (itsbat) niikah dapat dilihat pada pasal 7 KHI sebagai berikut: Ayat (1): perkawi nan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah; Ayat (2): dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya kepengadilan agama; Ayat (3): itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan a. Adanya perkawinan alam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya kata nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974; dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974; Dalam mengakomodir putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 disamping hal-hal yang tersebut dalam pasal 7 ayat (3) diatas, itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama, ditambah satu poin lagi, dengan untuk keperluan pengesahan anak. Hal ini berlaku bagi pengesahan (itsbat) nikah untuk semua kasus perkawinan yang dianggap belum sah atau perkawinan yang dipersengketakan baik yang untuk perkawinan non poligami, maupun untuk perkawinan poligami. Khusus untuk pengesahan (itsbat) poligami harus berpedoman kepada: 1) Undang-undang nomor 1tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 3 (2), pasal 4(1), pasal 4 (2), pasal 5 (1), dan pasal 5 (2) 2) Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan: pasal 40 dan pasal 41 Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tentunya diberlakukan bagi persyaratan izin poligami dalam kondisi yang masih memungkinkan, namun jika sudah tidak memungkinkan lagi seperti halnya kasus Machica dengan Moerdiono (yang telah wafat), maka pertimbangan hukum secara arif diserahkan kepada penilaian dan pandangan serta pendapat hakim untuk mengabulkan atau tidak, sejalan dengan pasal

43 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan: apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk ber istri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. Akan tetapi produk dari pengadilan dalam kasus ini bukan lagi izin poligami, tetapi penetapan pengesahan (itsbat) nikah dengan status poligami untu k keperluan melengkapi persyaratan pengesahan anak. Pemerikasaan terhadap persyaratan yang mengatur tentang izin poligami hanya diperlukan sebagi dukungan terhadap pengesahan (itsbat) nikah dengan status poligami, bukan untuk penetapan izin poligami. Bahkan bisa jadi pemeriksaan terhadap pengesahan (itsbat) nikah dengan status poligami tersebut, tidak di perlukan lagi penetapan tersendiri cukup digabungkan dengan amar putusan tentang pengesahan anak. Itu sudah menjadi kewenangan hakim.