BAB IV PEMBAHASAN. Perbedaan Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Orang Pribadi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PEMBAHASAN. Langkah-langkah yang akan dilaksanakan adalah: yang diperoleh dari bisnis restoran berbentuk franchise

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PERUBAHAN BENTUK USAHA (STUDI KASUS DI RESTORAN T)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan

BAB 3 OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN. method atau cara, hak kekayaan intelektual, logo, merek (dagang) atas franchise

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perencanaan Pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 yang. diterima karyawan dengan menggunakan Metode Net

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru)

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui.

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Evaluasi Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran negara yang ditujukan

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

3 Tipe Perhitungan Pajak Penghasilan

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE

BAB IV. Analisis Hasil Dan Pembahasan

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu:

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam rangka pemanfaatan Undang-Undang Perpajakan secara optimal untuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO.

BAB IV PEMBAHASAN. (foreign activities) dalam dua cara; melakukan transaksi dalam mata uang asing atau

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan. Umum dann Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Penerapan Tax Planning pada Rumah Sakit Pondok Indah

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Pada PT Multi Indocitra Tbk

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Laporan laba rugi fiskal Sebagai Dasar penghitungan Pajak Penghasilan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PEMBAHASAN. melakukan perubahan-perubahan pada peraturan perpajakan di Indonesia. Perubahan

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Laporan laba rugi fiskal Sebagai Dasar penghitungan Pajak Penghasilan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA dengan akta notaris Adri Dwi Purnomo, SH. Nomor 24/2006. Yang

Ruang Lingkup Jasa Konstruksi

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS

PAJAK WP ORANG PRIBADI

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN 1771

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Laporan Keuangan Fiskal Sebagai Dasar Penghitungan Penghasilan

2013, No

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

a. Rp ,00 d. Rp ,00 b. Rp ,00 e. Rp ,00.

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO

LEMBAR ISIAN HASIL PEMERIKSAAN PROGRAM PENGKAJIAN PENGISIAN SPT WAJIB PAJAK BADAN. 6. Status Badan : (a) Pusat (b) Pusat (c) BUT

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jaya

BAB XXI AKUNTANSI PERPAJAKAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS

SPT TAHUNAN SEBELUM MENGISI BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA "X" PADA

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

Penghasilan Lainnya Bulan... Tahun... Biaya (Rp) Jumlah Bruto (Rp) (1) (2) (3) (4) (5) (6)

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA

ABSTRAK. : Pajak Penghasilan, Laporan Keuangan Komersial, Laporan Keuangan Fiskal, Rekonsiliasi Fiskal.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Alasan Perusahaan dalam Strategi tax planning PPh 21 Lebih. Memilih Menggunakan Natura dan kenikmatan.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Perbedaan Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Orang Pribadi dengan Badan Hukum Yang menjadi subjek pajak penghasilan dapat berupa orang pribadi dan badan. Kedua subjek pajak tersebut memiliki perlakuan pajak penghasilan yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada cara menghitung PPh yang terutang. Berikut adalah pembahasannya: IV.1.1 Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Orang Pribadi Terdapat 2 perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha orang pribadi, yaitu wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan. Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 14 ayat (2), wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Apabila wajib pajak orang pribadi tersebut tidak memberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, maka wajib pajak orang pribadi tersebut dianggap memilih 56

menyelenggarakan pembukuan. Apabila wajib pajak orang pribadi tersebut menyelenggarakan pencatatan, maka penghasilan neto dapat dihitung dari : Peredaran Bruto (Omzet) x Norma Penghitungan Penghasilan Neto Gambar 4.1 Penghitungan Penghasilan Neto Pada Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pencatatan Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 16 ayat (2) Besarnya norma penghitungan penghasilan neto ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan lokasi atas kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilaksanakan. Setelah penghasilan kena pajak diperoleh, penghasilan neto tersebut dikurangkan dengan PTKP dan hasilnya merupakan penghasilan kena pajak. Besar kecilnya PTKP tergantung pada status wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan. Penghasilan kena pajak ini kemudian dikalikan dengan tarif progresif yang ada dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a) untuk mengetahui besarnya PPh yang terutang. Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran bruto (x) Norma penghitungan penghasilan neto (=) Penghasilan neto (-) PTKP (=) Penghasilan kena pajak (x) Tarif pasal 17 ayat 1 huruf a (=) PPh yang terutang 57

Wajib pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) juga dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan. Wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki laporan keuangan sendiri. Jenis laporan keuangan yang diperlukan sebagai dasar dalam menghitung pajak penghasilan adalah Laporan Laba Rugi. Namun, tidak semua akun dalam laporan laba rugi yang di buat oleh wajib pajak orang pribadi diakui dalam laporan laba rugi secara fiskal. Biasanya perbedaan itu dapat dilihat pada bagian biaya. Salah satu contoh biaya dalam kasus Restoran T yang tidak diakui dalam laporan laba rugi secara fiskal, namun diakui dalam laporan laba rugi yang dibuat oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu biaya seragam. Hal ini dikarenakan seragam yang dibeli oleh wajib pajak orang pribadi tidak digunakan untuk keamanan (misalnya seragam untuk protekom ataupun satpam). Melainkan seragam untuk dikenakan oleh para pramusaji. Karena adanya perbedaan ini, maka diperlukan rekonsiliasi fiskal untuk mengitung besarnya PPh yang terutang. Setelah malakukan rekonsiliasi, maka akan diperoleh laporan laba rugi secara fiskal sehingga dapat menghitung besarnya penghasilan neto. Dimana peredaran bruto dikurangkan dengan biaya yang diakui dan kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada). Objek penghasilan - Biaya yang diakui - Kompensasi kerugian (PPh 4 ayat 1) (pasal 6 ayat 1 dan pasal 9 ayat 1 huruf c, d, e, dan g) Gambar 4.2 Penghitungan Penghasilan Neto Pada Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 16 ayat (1) 58

Hasilnya kemudian dikurangkan dengan PTKP wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, maka akan diperoleh penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak ini dikalikan dengan tarif progresif yang ada dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a) untuk memperoleh besarnya PPh yang terutang. Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran bruto (-) Biaya yang diakui (-) Kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada) (=) Penghasilan neto (-) PTKP (=) Penghasilan kena pajak (x) Tarif pasal 17 ayat 1 huruf a (=) PPh yang terutang IV.1.2 Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Badan Hukum Perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha badan hukum tidak berbeda jauh dengan perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan. Berikut adalah perhitungan PPh untuk wajib pajak badan: Peredaran bruto (-) Biaya-biaya yang diakui (-) Kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada) (=) Penghasilan kena pajak 59

(x) Tarif pasal 17 ayat (2a) (=) PPh yang terutang (-) Kredit pajak (=) PPh Kurang Bayar (Lebih Bayar) Apabila wajib pajak badan memiliki peredaran bruto lebih kecil dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta), maka seluruh penghasilan kena pajak mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Apabila wajib pajak badan memiliki peredaran bruto antara Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta) hingga Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka hanya sebagian penghasilan kena pajak saja yang memperoleh fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari 25%. Dan apabila wajib pajak badan memiliki peredaran bruto lebih dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka penghasilan kena pajaknya tidak memperoleh fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1). IV.2 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan, pembukuan dan badan hukum. Penghitungan dilakukan dengan menganalisis laporan laba rugi yang diperoleh dan dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku. Berikut adalah perinciannya: 60

IV.2.1 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pencatatan Restoran T pada tahun 2011 memiliki peredaran bruto atau omzet sebesar Rp 1.690.119.364. Dan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP- 536/PJ.,/2000 norma penghitungan penghasilan bruto untuk jenis usaha rumah makan di Jakarta adalah sebesar 25%. Dimana pemilik Restoran ini belum menikah dan tidak memiliki tanggungan (TK/0). Dengan demikian, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang. Berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran Bruto Rp 1.690.119.364 Norma Penghitungan Penghasilan Neto 25% x Penghasilan Neto Rp 422.529.841 PTKP (TK/0) Rp 15.840.000 Penghasilan Kena Pajak Rp 406.689.841 Penghasilan Kena Pajak (Pembulatan) Rp 406.689.000 PPh yang terutang: 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000 25% x Rp 156.689.000 = Rp 39.172.250 + Total PPh yang terutang Rp 71.672.250 Jadi, Pak Indra selaku pemilik Restoran T wajib membayar PPh yang terutang selama tahun 2011 sebesar Rp 71.672.250. 61

IV.2.2 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Laporan Laba Rugi Komersial Rekonsiliasi Fiskal Sales Rp 1,690,119,364 Rp 1,690,119,364 COGS Rp 643,641,396 Rp 643,641,396 Gross profit Rp 1,046,477,968 Rp 1,046,477,968 Expenses: Payroll exp. Rp 572,258,338 ( Rp 256,029,667) (1) Rp 316,228,671 General service exp. Rp 153,712,556 (Rp 248,750) (2) Rp 153,463,806 Marketing exp. Rp 23,728,332 Rp 23,728,332 Office exp. Rp 6,708,014 Rp 6,708,014 Fixed charges Rp 216,000,000 (Rp 96,000,000) (3) Rp 120,000,000 Operating exp: Product test Rp 297,500 Rp 297,500 Uniform exp. Rp 73,900 ( Rp 73,900) (4) Rp - Utility Rp 46,457,000 Rp 46,457,000 Kitchen utensil Rp 6,290,825 Rp 6,290,825 Royalte fee Rp 18,447,805 - (5) Rp 18,447,805 Repair maintenance exp. Rp 14,259,963 Rp 14,259,963 Freight exp. Rp 13,532,500 Rp 13,532,500 Gues supplies Rp 9,307,179 Rp 9,307,179 Kitchen supplies Rp 30,404,605 Rp 30,404,605 Cleaning supplies Rp 5,422,000 Rp 5,422,000 Total expenses Rp 1,116,900,517 Rp 764,548,200 Other income Rp 2,666,800 Rp 2,666,800 Profit (Loss) Rp (67,755,749) Rp 284,596,568 Tabel 4.1 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang priadi yang menyelenggarakan pembukuan, yaitu: 62

Penghasilan Neto Rp 284.596.568 PTKP (TK/0) Rp 15.840.000 Penghasilan kena pajak Rp 268.756.568 pembulatan Rp 268.756.000 PPh yang terutang: 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000 25% x (Rp 268.756.000 Rp 50.000.000 Rp 200.000.000) = Rp 4.689.000 + Total PPh yang terutang Rp 37.189.000 Jadi, besarnya PPh yang terutang selama tahun 2011 pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 37.189.000. 63

IV.2.3 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Badan Hukum Laporan Laba Rugi Komersial Rekonsiliasi Fiskal Sales Rp 1,690,119,364 Rp 1,690,119,364 COGS Rp 643,641,396 Rp 643,641,396 Gross profit Rp 1,046,477,968 Rp 1,046,477,968 Expenses: Payroll exp. Rp 572,258,338 (Rp 256,029,667) (1) Rp 316,228,671 General service exp. Rp 153,712,556 (Rp 1,839,750) (2) Rp 151,872,806 Marketing exp. Rp 23,728,332 Rp 23,728,332 Office exp. Rp 6,708,014 Rp 6,708,014 Fixed charges Rp 216,000,000 (Rp 96,000,000) (3) Rp 120,000,000 Operating exp: Product test Rp 297,500 Rp 297,500 Uniform exp. Rp 73,900 (Rp 73,900) (4) Rp - Utility Rp 46,457,000 Rp 46,457,000 Kitchen utensil Rp 6,290,825 Rp 6,290,825 Royalte fee Rp 18,447,805 (Rp 18,447,805) (5) Rp - Repair maintenance exp. Rp 14,259,963 (Rp 14,259,963) (6) Rp - Freight exp. Rp 13,532,500 Rp 13,532,500 Gues supplies Rp 9,307,179 Rp 9,307,179 Kitchen supplies Rp 30,404,605 Rp 30,404,605 Cleaning supplies Rp 5,422,000 Rp 5,422,000 Total expenses Rp 1,116,900,517 Rp 730,249,432 Other income Rp 2,666,800 Rp 2,666,800 Profit (Loss) Rp (67,755,749) Rp 318,895,336 Tabel 4.2 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Badan Hukum Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis Karena peredaran bruto Restoran T selama tahun 2011 sebesar Rp 1.690.119.364, maka seluruh penghasilan kena pajaknya mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Dimana PPh yang terutang dapat dihitung sebagai berikut: PPh yang terutang = 50% x 25% x Rp 318.895.000 = Rp 39.861.875. 64

Jadi, PPh yang terutang pada Restoran T yang berbentuk badan hukum selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 39.861.875. Berdasarkan Tabel 4.1 dan 4.2 terdapat perbedaan antara laporan laba rugi komersial dengan laporan laba rugi fiskal. Dimana perbedaan tersebut dapat terlihat pada bagian biaya yang diakui dalam laporan laba rugi komersial, namun tidak diakui dalam laporan laba rugi fiskal. Untuk mengubah laporan laba rugi komersial menjadi laporan laba rugi fiskal perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Namun sebelum melakukan rekonsiliasi fiskal, perlu mengetahui akun-akun yang terdapat dalam laporan laba rugi yang dibuat oleh pihak Restoran T. Hal ini diperlukan agar dapat mengetahui akun-akun mana saja yang dapat diakui sebagai biaya dan yang tidak dapat diakui sebagai biaya. Dengan kata lain, dapat mengetahui akun-akun mana saja yang perlu direkonsiliasi. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing akun tersebut: 1. Sales merupakan akun atas penjualan makanan dan minuman. Besarnya sales Restoran T selama tahun 2011 adalah Rp 1.690.119.364. 2. Cost of Good Sold (COGS) merupakan akun atas biaya bahan baku yang terpakai dalam membuat makanan dan minuman. Besarnya COGS Restoran T selama tahun 2011 adaah Rp 643.641.396. 3. Payroll & related expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 572.258.338. Akun ini terdiri dari biaya gaji sebesar Rp 318.592.167, uang makan karyawan sebesar Rp 54.851.500, biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak Restoran T untuk karyawan sebesar Rp 4.833.875, Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp 16.934.999, uang lembur sebesar 65

Rp 15.948.297, biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000, dan transportasi karyawan sebesar Rp 7.292.500. Biaya gaji sebesar Rp 318.592.167 terdiri dari gaji untuk direktur utama (owner) sebesar Rp 42.000.000 selama tahun 2011. 4. General service expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 153.712.556. Akun ini terdiri dari pajak reklame sebesar Rp 14.500.000, biaya listrik sebesar Rp 84.756.504, biaya pam sebesar Rp 30.603.324, biaya telepon, fax, internet sebesar Rp 11.686.234, iuran kebersihan sebesar Rp 1.800.000, biaya calmic yang digunakan untuk mengusir lalat sebesar Rp 5.638.494, biaya jasa pembasmi hama sebesar Rp 1.591.000, dan biaya transportasi untuk delivery sebesar Rp 3.137.000. Untuk biaya telepon, fax, internet di dalamnya terdapat biaya pulsa sebesar Rp 497.500 yang digunakan karyawan untuk menunjang tugasnya. 5. Marketing expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 23.728.332. Akun ini terdiri dari promotional materials seperti banner dan brosur sebesar Rp 17.767.327, advertisement expenses sebesar Rp 4.319.500, dan promotion expenses sebesar Rp 1.641.505. 6. Office expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 6.708.014. Akun ini terdiri dari credit card charges atau administrasi bank sebesar Rp 3.331.614, dan biaya print dan fotokopi untuk menunjang kinerja karyawan sebesar Rp 3.376.400. Credit card charges atau administrasi bank merupakan biaya yang terjadi apabila customer melakukan pembayaran dengan debit card ataupun credit card, namun jumlah pembayaran tidak mencapai batas minimal yang telah ditetapkan. Akibatnya, pihak bank tidak mentransfer 66

seluruh pembayaran customer kepada pihak Restoran T sehingga mengurangi besarnya sales. 7. Fixed charges selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 216.000.000. Akun ini terdiri dari biaya sewa tempat Restoran T sebesar Rp 96.000.000, cicilan bank yang termasuk bunga sebesar Rp 120.000.000, dan penyusutan harta berwujud yang tidak dimasukan besarnya atau jumlahnya. 8. Operating expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 144.493.277. Akun ini terdiri dari: a. Product test sebesar Rp 297.500 merupakan akun atas biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses pembuatan menu atau resep baru. b. Uniform expenses sebesar Rp 73.900 merupakan akun atas biaya seragam yang diperuntukan bagi para pramusaji. c. Utility sebesar Rp 46.457.000 merupakan akun yang teridiri dari biaya gas sebesar Rp 33.120.000, biaya air galon sebesar Rp 5037.000, dan biaya es batu sebesar Rp 8.300.000. d. Kitchen utensil sebesar Rp 6.290.825 merupakan biaya untuk membeli peralatan makan dan minum seperti piring, mangkok, sendok, garpu, dan gelas. e. Royalty fee sebesar Rp 18.447.805 merupakan akun yang terdiri dari royalti Restoran T dan royalti sate. f. Repair maintenance expenses sebesar Rp 14.259.963 merupakan akun atas biaya jasa perbaikan peralatan seperti service AC, komputer, motor, dan genset. 67

g. Freight expenses sebesar Rp 13.532.500 merupakan akun atas biaya pengiriman bumbu. h. Gues supplies sebesar Rp 9.307.179 merupakan akun yang terdiri dari biaya tisu, struk kasir untuk bill dan buku nota untuk mencatat pemesanan. i. Kitchen supplies sebesar Rp 30.404.605 merupakan akun yang terdiri dari biaya sambel, minyak, kecap, bawang goreng, areng, dan plastic sampah. j. Cleaning supplies sebesar Rp 5.422.000 merupakan akun yang teridiri dari biaya pembersih lantai, sabun cuci tangan dan piring. 9. Other income merupakan akun atas pendapatan dari hasil penjualan kulit dan kepala kambing. Besarnya other income selama tahun 2011 adalah Rp 2.666.800. Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat beberapa akun yang harus direkonsiliasi. Untuk rinciannya, berikut adalah akun-akun yang harus direkonsiliasi: 1. Dalam akun payroll & related expenses, terdapat akun atas gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan dan biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T. Dimana semua akun tersebut harus direkonsiliasi positif sejumlah Rp 256.029.667 pada Tabel 4.1 dan pada Tabel 4.2. Hal itu dikarenakan pihak Restoran T tidak melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 21 yang terutang pada karyawan dan imbalan sehubungan dengan jasa tenaga ahli (jasa konsultasi pengembangan Restoran T). Rekonsiliasi positif sejumlah Rp 256.029.667 pada Tabel 4.1 68

diperoleh dari biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000 ditambah dengan total dari gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan yang seharusnya terutang PPh 21 sebesar Rp 102.224.667, dan gaji atas direktur utama (owner) sebesar Rp 42.000.000. Sedangkan rekonsiliasi positif sebesar Rp 256.029.667 pada Tabel 4.2 diperoleh dari biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000 ditambah dengan total dari gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur yang seharusnya terutang PPh 21 sebesar Rp 144.224.667. 2. Pada Tabel 4.1 dalam akun general service expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 248.750 yang merupakan 50% dari biaya pulsa yang tidak diakui secara fiskal. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-09/PJ.42/2002. Untuk biaya jasa pembasmi hama tidak dilakukan rekonsiliasi positif, karena Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan tidak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23. Hanya wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan yang ditunjuk oleh Kepala KPP saja yang dapat melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 23 atas jasa pembasmi hama. Dengan kata lain, pihak dari Restoran T dapat mengakui biaya jasa pembasmi hama sebagai pengurang peredaran bruto. Pada Tabel 4.2, dalam akun general service expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 1.839.750. Rekonsiliasi positif tersebut terdiri dari Rp 248.750 yang merupakan 50% dari biaya pulsa yang tidak diakui secara fiskal dan Rp 1.591.000 yang merupakan biaya jasa pembasmi hama. Untuk 69

wajib pajak badan, wajib melakukan pemotongan PPh 23 atas jasa pembasmi hama. Karena pihak Restoran T tidak melakukan pemotongan atau pemungutan tersebut, maka biaya jasa pembasmi hama harus direkonsiliasi positif. 3. Baik pada Tabel 4.1 maupun 4.2, terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 96.000.000 pada akun fixed charges. Hal ini dikarenakan terdapat biaya sewa tempat atau bangunan sebesar Rp 96.000.000 yang merupakan PPh final. Sehingga biayanya tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto. 4. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-29/PJ.4/1995, akun uniform expenses (biaya seragam) dapat diakui sebagai biaya apabila digunakan untuk keselamatan kerja seperti seragam untuk satpam ataupun protekom. Namun, akun biaya seragam ini dimaksudkan untuk para pramusaji. Sehingga biaya seragam ini tidak dapat diakui sebagai biaya dalam fiskal dan perlu direkonsiliasi positif sebesar Rp 73.900 pada Tabel 4.1 dan 4.2. 5. Pada Tabel 4.1, tidak terjadi rekonsiliasi pada akun royalty fee. Hal ini dikarenakan pihak dari Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki bukti pembayaran atas royalti yang telah dibayarkan. Sedangkan untuk Tabel 4.2, terjadi rekonsiliasi sebesar Rp 18.447.805 karena pihak dari Restoran T berbentuk badan tidak melakukan pemotongan PPh 23 atas royalti yang telah dibayarkan. Sehingga biaya royalti tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto. 70

6. Pada Tabel 4.2 dalam akun repairment maintenance expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 14.259.963 yang merupakan biaya jasa service peralatan. Biaya jasa service peralatan termasuk dalam objek PPh 23 dan pihak dari Restoran T berbentuk badan seharusnya memotong PPh 23. Namun, karena Restoran T berbentuk badan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan, maka biaya jasa ini tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto. Sedangkan pada Tabel 4.1, Restoran T sebagai orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan tidak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23 sehingga biaya ini dapat diakui dan tidak perlu direkonsiliasi positif. Setelah akun-akun tersebut direkonsiliasi, maka akan diperoleh laporan laba rugi secara fiskal dan dapat dihitung PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum. IV.3 Analisa Laporan Laba Rugi Restoran T Berdasarkan analisa, besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum tersebut sebenarnya dapat diperkecil lagi. Dengan ketentuan biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T dan total dari biaya gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan yang seharusnya terutang PPh 21 dipotong atau dipungut PPh 21 oleh pihak Restoran T. Dengan memungut atau memotong PPh 21, pihak Restoran T dapat menjadikan akunakun tersebut sebagai biaya sehingga dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang. 71

1. Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat (1) bagian (d), Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa. Jika pihak dari Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 atas jasa konsultasi pengembangan Restoran T, maka besarnya PPh 21 yang dipotong atau dipungut = Rp 111.805.000 x 50% x 5% = Rp 2.795.125 2. Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat (1) bagian (a), baik Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ataupun badan hukum wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai. Jika pihak dari Restoran T melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 tersebut, maka Tabel 4.3 dan 4.4 adalah perhitungan PPh 21 yang terutang pada karyawan: 72

Nama Status Ph. Bruto B. Jabatan Ph. Neto PTKP PKP PPh 21 Abdullah * TK/0 Rp 19,045,000 Rp 952,250 Rp 18,092,750 Rp 15,840,000 Rp 2,252,000 Rp 135,120 Samsul * TK/0 Rp 13,479,667 Rp 673,983 Rp 12,805,684 Rp 11,880,000 Rp 925,000 Rp 55,500 Ainy * TK/0 Rp 19,200,000 Rp 960,000 Rp 18,240,000 Rp 15,840,000 Rp 2,400,000 Rp 144,000 Pungki TK/0 Rp 17,500,000 Rp 875,000 Rp 16,625,000 Rp 9,240,000 Rp 7,385,000 Rp 369,250 Yanto TK/0 Rp 13,500,000 Rp 675,000 Rp 12,825,000 Rp 11,880,000 Rp 945,000 Rp 47,250 Vera TK/0 Rp 14,250,000 Rp 712,500 Rp 13,537,500 Rp 6,600,000 Rp 6,937,000 Rp 346,850 Alloy TK//2 Rp 5,250,000 Rp 262,500 Rp 4,987,500 Rp 1,540,000 Rp 3,447,000 Rp 172,375 Total Rp 102,224,667 Rp 1,270,345 Tabel 4.3 Penghitungan PPh 21 Untuk Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Analisis Penulis yang Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 Nama Status Ph. Bruto B. Jabatan Ph. Neto PTKP PKP PPh 21 Abdullah * TK/0 Rp 19,045,000 Rp 952,250 Rp 18,092,750 Rp 15,840,000 Rp 2,252,000 Rp 135,120 Samsul * TK/0 Rp 13,479,667 Rp 673,983 Rp 12,805,684 Rp 11,880,000 Rp 925,000 Rp 55,500 Indra TK/0 Rp 42,000,000 Rp 2,100,000 Rp 39,900,000 Rp 15,840,000 Rp 24,060,000 Rp 1,203,000 Ainy * TK/0 Rp 19,200,000 Rp 960,000 Rp 18,240,000 Rp 15,840,000 Rp 2,400,000 Rp 144,000 Pungki TK/0 Rp 17,500,000 Rp 875,000 Rp 16,625,000 Rp 9,240,000 Rp 7,385,000 Rp 369,250 Yanto TK/0 Rp 13,500,000 Rp 675,000 Rp 12,825,000 Rp 11,880,000 Rp 945,000 Rp 47,250 Vera TK/0 Rp 14,250,000 Rp 712,500 Rp 13,537,500 Rp 6,600,000 Rp 6,937,000 Rp 346,850 Alloy TK/2 Rp 5,250,000 Rp 262,500 Rp 4,987,500 Rp 1,540,000 Rp 3,447,000 Rp 172,375 Total Rp 144,224,667 Rp 2,473,320 Tabel 4.4 Penghitungan PPh 21 Untuk Restoran T Berbentuk Badan Hukum Sumber data: Analisis Penulis yang Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 Keterangan: *) Tidak memiliki NPWP sehingga tarif penghitungan PPh 21 20% lebih tinggi daripada yang memiliki NPWP. 73

Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum juga dapat diperkecil dengan memasukan biaya penyusutan harta berwujud dalam akun fixed charges. Hal ini dikarenakan biaya penyusutan dapat diakui sebagai biaya yang sesuai dengan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6. Dan berikut adalah perhitungan besarnya penyusutan dalam tahun 2011: Bulan Nama Barang Masa Manfaat Harga Penyusutan Februari mesin pompa air 4 tahun Rp 2,324,000 Rp 1,065,167 Maret kompor mawar 4 tahun Rp 500,000 Rp 208,333 Maret rombong sate 4 tahun Rp 1,596,000 Rp 665,000 April komputer utk adm 4 tahun Rp 1,800,000 Rp 675,000 Mei kamera cctv 4 tahun Rp 10,850,000 Rp 3,616,667 Agustus aircurtain 4 tahun Rp 2,500,000 Rp 520,833 Nov mesin serut es 4 tahun Rp 1,000,000 Rp 83,333 Total Rp 6,834,333 Tabel 4.5 Penghitungan Penyusutan Dengan Metode Saldo Menurun (Double Declining Method) Sumber data: Analisis Penulis Berdasarkan Ketentuan Terkait Bulan Nama Barang Masa Manfaat Harga Penyusutan Februari mesin pompa air 4 tahun Rp 2,324,000 Rp 532,583 Maret kompor mawar 4 tahun Rp 500,000 Rp 104,167 Maret rombong sate 4 tahun Rp 1,596,000 Rp 332,500 April komputer utk adm 4 tahun Rp 1,800,000 Rp 337,500 Mei kamera cctv 4 tahun Rp10,850,000 Rp 1,808,333 Agustus aircurtain 4 tahun Rp 2,500,000 Rp 260,417 Nov mesin serut es 4 tahun Rp 1,000,000 Rp 41,667 Total Rp 3,417,167 Tabel 4.6 Penghitungan Penyusutan Dengan Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Sumber data: Analisis Penulis Berdasarkan Ketentuan Terkait 74

Untuk Tabel 4.5 besarnya biaya penyusutan dihitung berdasarkan metode saldo menurun (double declining method). Karena semua harta berwujud tergolong dalam kelompok 1, maka tarif yang digunakan adalah sebesar 50%. Sedangkan pada Tabel 4.6 menggunakan metode garis lurus (straight line method). Karena semua harta berwujud tergolong dalam kelompok 1, maka tarif yang digunakan adalah sebesar 25%. Dimana penyusutan tahun 2011 dihitung dengan cara jumlah dari bulan pembelian hingga bulan pada akhir tahun dibagi dengan jumlah bulan dalam setahun dikalikan dengan harga beli dan dikalikan dengan tarif. Untuk tahun 2011, biaya penyusutan sebaiknya menggunakan metode saldo menurun (double declining method) karena dapat mengurangi profit lebih besar daripada menggunakan metode saldo menurun (straight line method). Dan metode ini harus diterapkan secara taat asas. Selain memotong atau memungut PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa dan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, serta mengakui biaya penyusutan harta berwujud, Restoran T berbentuk badan hukum juga perlu melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23. Karena dengan memotong atau memungut PPh 23, Restoran T berbentuk badan hukum dapat mengakui biaya yang menjadi objek PPh 23 dan besarnya pemotongan atau pemungutan tersebut dapat dijadikan kredit pajak (pengurang PPh yang terutang). Berikut adalah perhitungan PPh 23 apabila Restoran T berbentuk badan hukum melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23 atas jasa pembasmi hama, royalti dan jasa service peralatan: 75

1. Jasa pembasmi hama PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 1.591.000 x 2% = Rp 31.820 2. Royalti PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 18.447.805 x 15% = Rp 2.767.171 3. Jasa service peralatan PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 14.259.963 x 2% = Rp 285.199 IV.4 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T yang Sebenarnya Yang dimaksud dengan penghitungan pajak penghasilan di Restoran T yang sebenarnya adalah penghitungan pajak penghasilan yang terutang dimana pihak Restoran T baik yang berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan maupun badan hukum mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Yaitu dengan melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 21 (untuk bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum) dan PPh 23 (untuk bentuk usaha badan hukum). Dengan melakukan pemotongan atau pemungutan atas PPH 21 dan PPh 23, maka biaya-biaya yang tadinya tidak dapat diakui menjadi dapat diakui. Sehingga akan mempengaruhi besarnya PPh yang terutang, yaitu besarnya PPh yang terutang akan semakin berkurang. Berikut adalah penghitungan PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan 76

badan hukum bila pihak dari Restoran T mematuhi peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. IV.4.1 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan yang Sebenarnya Laporan Laba Rugi Komersial Rekonsiliasi Fiskal Sales Rp 1,690,119,364 Rp 1,690,119,364 COGS Rp 643,641,396 Rp 643,641,396 Gross profit Rp 1,046,477,968 Rp 1,046,477,968 Expenses: Payroll exp. Rp 572,258,338 Rp 42,000,000 Rp 530,258,338 General service exp. Rp 153,712,556 Rp 248,750 Rp 153,463,806 Marketing exp. Rp 23,728,332 Rp 23,728,332 Office exp. Rp 6,708,014 Rp 6,708,014 Fixed charges Rp 216,000,000 Rp 96,000,000 Rp 120,000,000 Operating exp: Product test Rp 297,500 Rp 297,500 Uniform exp. Rp 73,900 Rp 73,900 Rp - Utility Rp 46,457,000 Rp 46,457,000 Kitchen utensil Rp 6,290,825 Rp 6,290,825 Royalte fee Rp 18,447,805 Rp 18,447,805 Repair maintenance exp. Rp 14,259,963 Rp 14,259,963 Freight exp. Rp 13,532,500 Rp 13,532,500 Gues supplies Rp 9,307,179 Rp 9,307,179 Kitchen supplies Rp 30,404,605 Rp 30,404,605 Cleaning supplies Rp 5,422,000 Rp 5,422,000 Total expenses Rp 1,116,900,517 Rp 978,577,867 Other income Rp 2,666,800 Rp 2,666,800 Profit (Loss) Rp (67,755,749) Rp 70,566,901 Tabel 4.7 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Bila Melakukan Pemotongan PPh 21 Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis 77

Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang priadi yang menyelenggarakan pembukuan yang sebenarnya, yaitu: Penghasilan Neto Rp 70.556.901 PTKP (TK/0) Rp 15.840.000 Penghasilan kena pajak Rp 54.716.901 pembulatan Rp 54.716.000 PPh yang terutang: 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000 15% x (Rp 54.716.000 - Rp 50.000.000) = Rp 707.400 + Total PPh yang terutang Rp 3.207.400 Jadi, besarnya PPh yang terutang selama tahun 2011 pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 3.207.400. 78

IV.4.2 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Badan Hukum yang Sebenarnya Laporan Laba Rugi Komersial Rekonsiliasi Fiskal Sales Rp 1,690,119,364 Rp 1,690,119,364 COGS Rp 643,641,396 Rp 643,641,396 Gross profit Rp 1,046,477,968 Rp 1,046,477,968 Expenses: Payroll exp. Rp 572,258,338 Rp 572,258,338 General service exp. Rp 153,712,556 Rp 248,750 Rp 153,463,806 Marketing exp. Rp 23,728,332 Rp 23,728,332 Office exp. Rp 6,708,014 Rp 6,708,014 Fixed charges Rp 216,000,000 Rp 96,000,000 Rp 120,000,000 Operating exp: Product test Rp 297,500 Rp 297,500 Uniform exp. Rp 73,900 Rp 73,900 Rp - Utility Rp 46,457,000 Rp 46,457,000 Kitchen utensil Rp 6,290,825 Rp 6,290,825 Royalte fee Rp 18,447,805 Rp 18,447,805 Repair maintenance exp. Rp 14,259,963 Rp 14,259,963 Freight exp. Rp 13,532,500 Rp 13,532,500 Gues supplies Rp 9,307,179 Rp 9,307,179 Kitchen supplies Rp 30,404,605 Rp 30,404,605 Cleaning supplies Rp 5,422,000 Rp 5,422,000 Total expenses Rp 1,116,900,517 Rp 1,020,577,867 Other income Rp 2,666,800 Rp 2,666,800 Profit (Loss) Rp (67,755,749) Rp 28,566,901 Tabel 4.8 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Badan Hukum Bila Melakukan Pemotongan PPh 21 dan PPh 23 Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha badan hukum yang sebenarnya, yaitu: PPh yang terutang = 50% x 25% x Rp 28.566.000 = Rp 3.570.750. 79

IV.5 Analisa Perbandingan Pajak Penghasilan yang Terutang Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan adalah sebesar Rp 71.672.250. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan ini dipengaruhi oleh besarnya peredaran bruto dan status wajib pajak orang pribadi (PTKP). Semakin besar peredaran bruto maka semakin besar pula PPh yang terutang. Apabila PTKP pemilik Restoran T semakin besar maka dapat mengurangi PPh yang terutang. Hal ini berdasarkan pada cara penghitungan PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan. Dengan demikian dapat disimpulkan, apabila penjualan makanan dan minuman dari Restoran T semakin meningkat, maka akan memperbesar PPh yang terutang. Untuk yang berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 37.189.000. Apabila pihak Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 dan PPh 23, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 3.207.400. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini dipengaruhi oleh besarnya penghasilan neto, status wajib pajak orang pribadi (PTKP) dan penghasilan kena pajak. Semakin besar penghasilan neto dan penghasilan kena pajak menyebabkan PPh yang terutang semakin besar. Sedangkan besarnya PPh yang terutang dalam bentuk badan hukum adalah Rp 39.861.875. Apabila pihak Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 dan PPh 23, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 3.570.750. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk badan hukum ini dipengaruhi oleh 80

peredaran bruto. Apabila peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajaknya mendapat fasilitas pengurangan tarif. Apabila peredaran bruto antara Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka hanya sebagian dari penghasilan kena pajak yang memperoleh pengurangan tarif. Dan apabila peredaran bruto lebih dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajaknya tidak memperoleh pengurangan tarif. Dengan memperoleh pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%, maka dapat memperkecil PPh yang terutang. Berdasarkan dari faktor yang mempengaruhi besarnya PPh yang terutang, dapat dilihat bahwa bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan yang paling tidak menyenangkan. Dan dapat dibuktikan dari hasil perhitungan dimana peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) bahwa besarnya PPh yang terutang dalam bentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan paling besar daripada bentuk usaha lainnya. Sedangkan untuk bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan maupun badan hukum tidak dapat dikatakan lebih baik. Hal ini dikarenakan baik tidaknya salah satu bentuk usaha tersebut tergantung pada kasus yang dialami. Untuk kasus Restoran T yang peredaran bruto pada tahun 2011 tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki PPh yang terutang dalam jumlah lebih kecil. 81