BAB III METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab IV Analisis. Batas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

III. METODE PENELITIAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

Bab III Pelaksanaan Penelitian

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

PENGUATAN STATUS HUKUM MASYARAKAT CIPTAGELAR MELALUI IDENTIFIKASI BATAS DAN VISUALISASI SPASIAL TANAH ADAT TESIS RODSLOWNY L. TOBING NIM :

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

SURAT EDARAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR S.75/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

III. METODE PENELITIAN

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

HUKUM AGRARIA NASIONAL

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

Transkripsi:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dalam tugas akhir ini meliputi, persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data yang terdiri dari subbab masing-masing. Untuk lebih jelas alur penelitian ini, berikut digambarkan bagan alir penelitian pada Gambar 1. Diagram Bagan Alir di bawah ini : Gambar III.1. Bagan Alir Penelitian 25

III.1 Persiapan Pada tahap ini meliputi penentuan lokasi penelitian yaitu masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan identifikasi masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Metode yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu dengan menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang mana data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, dan kalau pun ada angka-angka hanya bersifat sebagai penunjang untuk mempermudah memahami penelitian. Oleh karena yang diteliti adalah permasalahan yang bersifat sosial, data yang diperoleh meliputi catatan lapangan, foto, dokumen, hasil wawancara sehingga perlu penelitian yang bersifat holistik, dinamis dan mendalam untuk mengetahui keberadaan masyarakat adat Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas masyarakat adat yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang mana akhir-akhir ini banyak menimbulkan konflik pertanahan yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak. Masyarakat adat merasa mempunyai wilayah adat selaus ± 70.000 Ha, sedangkan BPTNGHS sebagai pihak pengelola Tamana Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas ± 113.357 Ha merasa khawatir dengan populasi masyarakat adat yang semakin berkembang dan sifat yang semi nomaden ( berpindah-pindah). III. 1.1 Lokasi Penelitian Kasepuhan Ciptagelar adalah Pusat Pemerintahan Kesatuan Adat Banten Kidul yang terletak di Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Kasepuhan Ciptagelar terletak di wilayah Kampung Sukamulya berjarak lebih kurang 14 Km dari Desa Sirnaresmi, sedangkan dari Cisolok ke Ciptagelar berjarak lebih kurang 27 Km dan dari Kabupaten Sukabumi berjarak 103 Km dan dari Bandung sebagai ibu kota provinsi berjarak lebih kurang 203 Km. 26

Komunitas masyarakat adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama kali sekitar tahun 1902 hingga 1942 di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Gambar III.2. Lokasi Penelitian Kasepuhan Ciptagelar (Peta TNGHS 2005). Komunitas ini sangat unik terlihat dari tata cara kehidupan mereka yang semi nomaden yang telah berpindah sebanyak 10 kali berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat (Kuntari dan Badil, 2005), dimana kehidupan semi nomaden ini merupakan tradisi Kasepuhan Adat Banten Kidul dari dulu sampai saat ini. Mereka melakukan perpindahan beberapa kali yang berawal dari daerah Lebak Parang lalu berpindah ke daerah Lebak Pino berpindah kembali menuju daerah Tegal Lumbuh selanjutnya berpindah ke daerah Pasir Talaga hingga akhirnya menetap di daerah Bojong Cisono, Banten yang terletak di wilayah selatan Gunung Halimun dengan dipimpin oleh Aki Rusdi. Perpindahan berikutnya yang tercatat adalah menuju daerah Cicemet. Dengan dipimpin oleh Abah Arjo mereka melakukan perpindahan ke desa Cicadas di daerah Sirnaresmi. Selama beberapa lama menetap, mereka akhirnya melakukan perpindahan lagi menuju daerah Ciganas dan melakukan perpindahan kembali ke di Desa Linggarjati sebuah Desa yang terletak dekat Desa Cisarua. 27

Kesatuan Adat Banten Kidul mempunyai pusat pemerintahan di Kasepuhan Ciptagelar. Pemberian nama Ciptagelar ketika perpindahan dari Kasepuhan Ciptarasa ke daerah Cicemet dan terakhir kali perpindahan dari daerah Kasepuhan Ciptarasa ke daerah Kasepuhan Ciptagelar pada tahun 2001 dan menetap sampai sekarang. III.1.2 Alat-Alat Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : - Perangkat keras (hardware) 1 (satu) unit laptop processor Centrino + memory 512 MB, Printer Canon Pixma ip 1700 GPS Handheld Kamera Semipro Fujifilm Finefix S5700 - Perangkat lunak (software) Microsoft Word, Excel, Autodesk Map 2004, Arcviuw 3.3, Photoshop CS 2. III.2 Pengumpulan Data Pada penelitian ini data yang dikumpulkan terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu : 1. Data Primer : data yang diambil langsung dari lapangan, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masrarakat adat Ciptagelar, observasi dan dokumentasi langsung ke daerah penelitian serta beberapa titik koordinat di daerah Kasepuhan Ciptagelar yang dianggap dapat mewakili daerah penelitian.. Data Primer dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu : a. Masyarakat Adat Ciptagelar b. Wilayah Adat Ciptagelar c. Pranata Adat Ciptagelar 28

A. Masyarakat Adat Ciptagelar Kesatuan Adat Banten Kidul terdiri dari beberapa kasepuhan, antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Sirnaresmi, Ciptamulya, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung, dan Citorek. Pusat pemerintahan Adat Banten Kidul ini terletak di daerah Kasepuhan Ciptagelar. Nama Ciptagelar memilik arti Cipta yang menggelar yang artinya sang ketua adat bernama Encup Sucipta yang mendirikan atau menggelar Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar mempunyai seorang Ketua Adat yaitu Encup Sucipta yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom dan saat ini Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar telah diganti oleh Abah Egi Sugriana anak dari Abah Anom. Secara kekuasaan Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar memimpin keseluruhan kasepuhan yang ada di Kesatuan Adat Banten Kidul. Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar yang saat ini terdiri dari lebih 560 kampung, sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak perpindahan dari wilayah Bogor, mereka menerapkan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh Kerajaan Pajajaran terdapat di daerah Kasepuhan Ciptagelar ini, yaitu dengan pola bercocok tanam. Pada saat itu datang utusan dari Kerajaan Pajajaran untuk memberikan penyuluhan pertanian, sehingga saat ini Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas adat yang memiliki dasar kehidupan adat di bidang pertanian. Contohnya tradisi seren taun, adanya pamali dalam mengolah tanah garapan, adanya penghormatan kepada Dewi Sri yang diwujudkan dalam bentuk padi serta adanya aturan adat mengenai hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan yang berkaitan erat dengan pertanian masyarakat Ciptagelar (Ki Karma, 2007). Masyarakat adat Ciptagelar masih menerapkan aturan adat dan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-hari, salah satu tradisi yang unik yaitu kehidupan masyarakatnya yang semi nomaden, maksudnya adalah tradisi Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah sesuai wangsit yang diterima oleh Ketua Adat dalam jangka waktu yang relatif lama. Perpindahan masyarakat adat ini dari suatu tempat ke tempat lain masih dalam lingkup batas tanah adat (Kuntari dan Badil 2005). 29

Mata pencaharian utama masyarakat Ciptagelar sebagai petani dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar yang 85 % merupakan sawah, ladang 10 % dan 5 % untuk keperluan kebun. Masyarakat adat Ciptagelar menanam padi di sawah pribadi dan sawah komunal yang telah dibagi-bagi penggarapannya. Sebagai bentuk tanggung jawab kepada Kasepuhan Ciptagelar mereka menyisihkan sebagian dari hasil panennya untuk disimpan di leuit (lumbung padi). Menurut kepercayaan masyarakat adat Ciptagelar, perpindahan yang diterima oleh Ketua Adat melalui wangsit itu harus dituruti, karena apabila tidak dituruti maka taruhannya adalah nyawa Ketua Adat Ciptagelar (Ki Upat, 2007). Gambar III.3. Rumah warga kasepuhan Gambar III.4. Leuit si Jimat Masyarakat Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang sangat menjaga kelestarian alam serta menghormati lingkungan. Hal ini terlihat dari tradisi dan budaya setempat dimana ada larangan menebang pohon di tempat-tempat tertentu, larangan mengambil kayu bakar langsung dari pohonnya serta gerakan penanaman bibit pohon yang jumlahnya mencapai 16.000 pohon di hutan sekitar Kasepuhan Ciptagelar. Penanaman pohon ini sehubungan dengan perpindahan Kasepuhan Ciptagelar dari Ciptarasa yang membuka hutan untuk keperluan jalan. Sebagai masyarakat yang mendiami daerah hutan, mereka percaya bahwa dengan adanya keselarasan hidup antara manusia dengan kehidupan alam sekitar akan menjadikan kehidupan bahagia dan sejahtera. 30

B. Wilayah Adat Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama sekali di sekitar Gunung Halimun pada tahun 1902 hingga 1942 (Sucipta, 2007). Luas lahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang dikuasai hingga saat ini lebih kurang 70.000 Ha, berada di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Luas lahan yang dipergunakan untuk pemukiman di sekitar alun-alun kasepuhan lebih kurang seluas ± 6 Ha yang dihuni oleh sekitar 160 Kepala Keluarga. Penguasaan tanah adat di Kasepuhan Ciptagelar menurut aturan adat dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu (Abdulharis.dkk, 2007) : - Wilayah Olahan (cultivation area) - Wilayah Non Olahan (non-cultivation area) Wilayah Olahan adalah daerah atau lahan yang dapat dipergunakan anggota masyarakat adat sebagai tempat pemukiman dan tempat pertanaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Olahan dapat dibagi atas : tanah milik adat ; tanah bukan milik adat. Gambar III.5. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar (Sumber : Google Earth, 2008) 31

Wilayah yang bukan adat adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat, sudah menjadi penguasaan masyarakat di luar masyarakat adat. Wilayah adat Kesatuan Banten Kidul terbagi menjadi 3 (tiga) bagian atau jenis, yaitu : 1. Wilayah adat yang dialokasikan untuk aktifitas umum adat Kasepuhan Ciptagelar. Contoh : Pusat Kasepuhan Ciptagelar, yang merupakan alun-alun kasepuhan, terdiri dari ( Ekspedisi Geografi Indonesia, 2005 ) : 1.Imah Gede 7. Mushola 2. Pangkemitan 8. Studio Radio Kasepuhan 3. Ajeng Wayang Golek 9. Leuit Si Jimat 4. Balai Pertemuan Adat 10. Podium Adat 5. Ajeng Jipeng 11. Leuit 6. Mess Pamswakarsa TNGHS Untuk lebih jelasnya, Pusat Kesepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam diagram 2 berikut : Gambar III.6. Diagram Alun-alun Kasepuhan Ciptagelar 32

2. Wilayah adat yang diolah oleh masyarakat adat. Hasil dari tanah adat yang diolah masyarakat ini dipergunakan untuk keperluan adat. Contoh : Sawah dan ladang milik adat. 3. Wilayah adat yang dipergunakan untuk kepentingan penduduk. Penduduk berhak membangun rumah tempat tinggal dan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Non Olahan adalah daerah atau lahan yang tidak boleh dipergunakan oleh masyarakat adat maupun pihak adat. Untuk lebih jelasnya, penguasaan tanah oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini : Gambar III.7. Diagram Penguasaan Tanah Adat Ciptagelar (Abdulharis,2007) 33

Wilayah hutan adat Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari tiga jenis leuweung (hutan) yaitu (Abdulharis dkk, 2007) : 1. Leuweung tutupan (hutan larangan) 2. Leuweung titipan (hutan kepercayaan) 3. Leuweung garapan (hutan produksi) Leuweung tutupan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama sekali tidak boleh diganggu dan dimasuki oleh pemangku adat dan seluruh warga kasepuhan. Bagi masyarakat adat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung tetapi juga sebagai hutan perlindungan alam yang mutlak tidak boleh diganggu gugat dari awal hingga akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi yang berfungsi sebagai resapan air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat ekosistem. Leuweung titipan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat adat dan tidak boleh diambil kayunya kecuali untuk keperluan adat. Hanya para pemangku adat yang boleh masuk ke kawasan hutan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada namun hanya untuk keperluan adat. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang (awisan) dan sebagai alokasi lahan garapan untuk huma dan kebun. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu pohon harus mengganti dengan pohon yang baru dan setiap penggunaan sumber daya alam di dalam hutan titipan harus mendapat ijin dari Ketua Adat dan hanya untuk keperluan adat. Leuweung garapan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktifitas masyarakat dan keperluan adat dan hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk keperluan warga. Aturan adat yang mengharuskan dalam setiap penebangan pohon harus diganti dengan pohon yang baru juga berlaku di leuweung garapan ini (Saptariani, 2003). C. Pranata Adat Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan 34

memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Namun bukan berarti sifat kepemimpinan Ketua Adat bersifat diktator, melainkan harus memperhatikan aspirasi dan keadaan para warganya dan mereka yakin bahwa Ketua adat memikirkan kesejahteraan warga. Secara struktural Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan. Jika ada persoalan dalam masyarakat adat, misalnya konflik tanah maka akan ditangani terlebih dahulu oleh kolot lembur di daerah, jika gagal maka akan dibawa ke sesepuh induk untuk menyelesaikan persoalan, dan jika gagal juga maka Ketua Adat yang mengambil keputusan sebagai penentu. Tata cara kehidupan yang sangat menghormati alam terlihat dari aturan adat dan larangan-larangan (pamali) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ciptagelar. Berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat, sesepuh induk serta masyarakat Cipatagelar, terdapat beberapa pamali yang sangat ditaati oleh penduduknya diantaranya adalah : Dilarang memperjualbelikan beras dan produk-produk yang terbuat dari beras, maksudnya adalah agar masyarakat Ciptagelar tidak kekurangan makanan dan tidak melakukan pembukaan hutan menjadi sawah dengan semena-mena. Adanya larangan untuk menjadikan lokasi-lokasi tertentu sebagai tempat tinggal, lokasi tersebut adalah : 1. Sirah cai, merupakan sebuah hulu dari mata air 2. Lemah gunting, merupakan pertemuan dua sungai kecil. Penduduk Ciptagelar percaya bahwa adanya pertemuan dua sungai kecil merupakan pertemuan dari dua kekuatan mistis, dan hal itu sangat berbahaya bagi yang menempatinya. 35

3. Pematang, merupakan gundukan tanah atau jalan kecil yang biasanya terletak di tengah ladang/sawah. 4. Tempat-tempat angker yang mengandung unsur-unsur gaib : mipit amit ngala menta, mangan halal, make kudu anu suci, kudu bagus tekad, ucap jeung lampah mengandung arti filosofi kehidupan manusia harus mengutamakan kebaikan dalam hidupnya. Tidak boleh memasuki serta menebang pohon di dalam hutan tutupan dan hutan titipan karena hal ini dianggap angker. Semua pamali tersebut berasal dari dua buah sumber aturan, yaitu : - Aturan adat istiadat - Kebijakan Ketua Adat Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh masyarakat adat Ciptagelar, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit sijimat (lumbung bersama).disini terlihat peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan masyarakat adat Ciptagelar, peran Ketua Adat tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Secara harafiah wangsit berarti bisikan atau himbauan yang bersifat gaib dari leluhur atau nenek moyang masyarakat Ciptagelar. Untuk lebih jelasnya, Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar dapat digambarkan dalam diagram berikut : 36

Gambar III.8. Diagram Struktur Pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar Pada tingkat Pusat Pemerintahan maupun Daerah juga ada pejabat pejabat yang turut berperan dalam menjalankan roda tata pemerintahan dan tata kelola ada. Jabatan- jabatan tersebut biasanya antara lain : mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian dari serangan hama dan gaib), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer. Di beberapa kampung juga terdapat pengawal keamanan dan ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lembur jika bepergian dinas (Ruhiyat, 2005). Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki pujangga keratin yang bertugas untuk membunyikan kecapi buhun sambil berpantun untuk menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kesatuan Adat Banten Kidul dari Bogor hingga sampai di perkampungan Ciptagelar yang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pantun-pantun tersebut berisikan doa agar masyarakat Ciptagelar terlindungi dan dibebaskan dari segala malapetaka. 37

2. Data Sekunder : data yang diperoleh bukan langsung dari lapangan, dibagi atas 4 (empat) bagian : A. Data Yuridis B. Data Ciptagelar C. Data TNGHS D. Data Citra Satelit Georeference A. Data Yuridis 1. Hukum Adat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Sebagaimana telah diketahui bahwa undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mengakhiri dualisme perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang bersifat unifikasi yang didasarkan kepada hukum adat. ( Parlindungan, 1989). Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No. 5 Tahun 1960 mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 adalah Undang-undang nasional yang secara fundamental mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Pengaruhnya terhadap hukum adat sangat besar sekali karena sebelumnya hukum adat adalah merupakan hukum yang berlaku bagi mayoritas penduduk Indonesia. Prinsip pokok dari UUPA terdapat dalam pasal 5 UUPA dinyatakan sebagai berikut (Abdurrahman, 1984).: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat itu : a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa. 38

b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialieme Indonesia. c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan lainnya. d. Harus mengindahkan unsur-unsur pada hukum agama. Begitu juga halnya dengan Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi. Selain di dalam pasal 3 dan pasal 5 UUPA yang mengatur prinsip pokok hak ulayat masyarakat hukum adat, ada beberapa pasal lain dalam UUPA yang mengatur tentang hal ini, antara lain : pasal 2 ayat 4, pasal 22 ayat 1, pasal 26 ayat 1, pasal 56, pasal 58, pasal VI Konversi, pasal VII Konversi. Bahkan dalam penjelasan UUPA (Tambahan Lembaran Negara No. 2043), pernyataan yang mengatur tentang hukum adat ini dapat ditemukan secara tersebar, misalnya dalam Penjelasan Umum Bagian II, Penjelasan Umum Bagian III dan penjelasan pasal 3, penjelasan pasal 5, penjelasan pasal 22. Pelaksanaan hak ulayat ini tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya karena tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Demikian pula tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih oleh masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang. Apabila hal ini terjadi maka akan ada negara dalam negara ( Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat, Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria / 39

Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, dimana dalam Pasal 1 memberikan pengertian Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dan sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan tanah ulayat adalah sebidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum kerena kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan. Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan dalam kehidupan sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempat mengambil keperluan hidup sehari-hari. c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan. Penguasaan tanah atas bidang-bidang tanah oleh warga masyarakat hukum adat dimungkinkan secara perseorangan atau pribadi. Bila warga masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah menurut hukum adat yang berlaku itu 40

menghendaki, hak atas tanahnya dapat didaftar menurut ketentuan UUPA. Bagi instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakathukum adat yang bersangkutan, penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA baru dapat diberikan setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warga sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. 2. Hukum Adat Dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan Dalam Pasal 1 angka 6 pengertian hutan adat ialah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pada Pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 ditetapkan bahwa : a. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari - Hutan Negara - Hutan Hak b. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dapat berupa hutan adat c. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya d. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan ke dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dari negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. 41

Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan pengelolaan hutan. Dalam Pasal 37 ayat 1 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya dan pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 67 ayat 1 yaitu : 1. Masyarakatnya masih dalam paguyuban atau rechtsgemeenschap ; 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat ; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas ; 4. Ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang harus ditaati 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan hidup sehari-hari. Dalam Pasal 67 ayat 1 ditetapkan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak : - Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan - Melakukan krgiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang - Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan dalam Penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan memepertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat di daerah yang bersangkutan serta instansi lain yang terkait. 42

B. Data Ciptagelar Data sekuder yang berhubungan dengan obyek penelitian yang sebagian besar data diambil dari internet yang sifatnya sebagai penunjang untuk memperluas wawasan peneliti terhadap obyek penelitian yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Data Ciptagelar ini diambil dan dipilih sehubungan dengan perkembangan Kasepuhan Ciptagelar tahun 2005 sampai tahun 2007. Beberapa data hasil download dari internet disampaikan dalam Daftar Lampiran. C. Data Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS ) Data TNGHS ini terbagi atas 2 bagian, yaitu : 1. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2. Pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar 1. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional yang ada di Indonesia, secara geografis terletak diantara 106 12 58 BT - 106 45 50 BT dan 06 32 14 LS - 06 55 12 LS. Wilayah administrasi TNGHS meliputi tiga wilayah adminstratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu : 1. Kabupaten Bogor, terdiri dari 9 kecamatan. 2. Kabupaten Sukabumi, terdiri dari 8 kecamatan. 3. Kabupaten Lebak, terdiri dari 9 kecamatan. Dalam ketiga kabupaten tersebut terdapat 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS dan 314 kampung yang berada dalam kawasan TNGHS serta jumlah penduduk 99. 782 jiwa.(ghsnp MP- JICA, 2005). 43

Tabel III.1. Jumlah Kabupaten dan Penduduk di kawasan TNGHS Jumlah Penduduk hasil survey yang dilaksanakan oleh Tim Survey GHSNP MP JICA Tahun 2005 NO Kabupaten Jumlah Penduduk 1 Kabupaten Bogor 36,944 2 Kabupaten Sukabumi 26,443 3 Kabupaten Lebak 36,395 Jumlah 99,782 Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki sejarah yang panjang yang berkaitan langsung dengan kondisi lingkungan serta perkembangan masyarakat di dalamnya, termasuk masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Berdasarkan sejarah perkembangannya Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ini berubah status, luas dan namanya, berikut ini dijelaskan perubahan tersebut (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yokyakarta, 2006 ) : 1. Pada masa penjajahan Belanda tahun 1924 1934 Kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 Ha di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda. Gambar III. 9. Kawasan Gunung Halimun ( Sumber : Encarta Student, 2008). 44

2. Pada tahun 1935 1961 status hutan lindung kawasan Gunung Halimun berubah status menjadi cagar alam di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1977, semua hutan lindung di Provinsi Jawa Barat harus diserahkan kepada PPA (Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam) yang kemudian berubah menjadi PHPA. 3. Kawasan Cagar Alam Gunung Halimun kemudian diperluas menjadi 40.000 Ha pada tahun 1979 dan pengelolaannya tetap berada di bawah PPA. 4. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992, kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan cagar alam Gunung Halimun berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan pengelolaannya diserahkan kepada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Gambar III.10. Kawasan TNGHS Lama dan Baru (TNGHS, 2005) 5. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan Kawasan TNGH dan Perubahan kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung 45

Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan menjadi 113.357 Ha dan pengelolaannya berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun ( BTNGH ). Dengan keluarnya Surat Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) semula 40.000 Ha yang meliputi sebagian besar hutan Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea yang terletak di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS ) dengan luas 113.357 Ha. 2. Pandangan TNGHS terhadap Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu masyarakat adat yang tinggal menetap di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan TNGHS. Pandangan yang berbeda ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan luas yang sangat jauh berbeda mengenai Kasepuhan Ciptagelar. Pada bab III.3.2.1 telah diterangkan bahwa luas Kasepuhan Ciptagelar sekitar 70.000 Ha (Sucipta, 2007) sedangkan menurut pihak TNGHS luas Kasepuhan Ciptagelar hanya sekitar 5.000 Ha (Kuswara, 2007). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, maka kawasan hutan negara seluas 73.357 Ha yang merupakan kawasan hutan produksi pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi seluas 16.785,22 Ha, di Kabupaten Bogor seluas 18.378,68 Ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 Ha dan kawasan 46

TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006 ). Tabel III.2. Perubahan Hutan Produksi menjadi lahan TNGHS No Kabupaten Luas Perubahan (dalam Ha) 1. Kabupaten Bogor 18.378,68 2. Kabupaten Sukabumi 16.785,22 3. Kabupaten Lebak 27.049,04 Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu komunitas adat yang tinggal menetap di dalam dan sekitar Barat Laut Gunung Halimun bagian Selatan. Masyarakat adat Ciptagelar memiliki kebiasaan hidup yang berpindah-pindah (semi nomaden) sesuai dengan wangsit yang datang dari para leluhur melalui mimpi Ketua Adatnya. Hutan di kawasan TNGHS merupakan cadangan bagi tempat berpindahnya masyarakat adat di kemudian hari. Dengan adanya kebiasaan hidup yang berpindah-pindah ini, pihak TNGHS merasa khawatir, karena semakin hari hutan di kawasan TNGHS akan semakin sedikit. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak TNGHS melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap Kasepuhan Ciptagelar dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut dengan luas 5.000 Ha.Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam Zona Tradisional tersebut dilakukan melalui survey lapangan dan musyawarah dengan pihak Kasepuhan Ciptagelar. Letak zona tradisional yang telah dibuat oleh TNGHS diperuntukan untuk Kasepuhan Ciptagelar dapat dilakukan dengan overlay antara Peta Topografi Jabar-Banten dengan Peta Lokasi TNGHS serta Peta Rancangan Zonasi yang dikeluarkan oleh TNGHS. Dengan data peta yang sangat terbatas overlay dilakukan dengan cara manual dan hasilnya tentu kurang memuaskan. Namun sebagai bahan untuk visualisasi hasil overlay yang dilakukan dapat dipergunakan untuk membantu menggambarkan lokasi Kasepuhan Ciptagelar sebagaimana gambar di bawah ini : 47

Gambar III.11. Wilayah TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar Panjang batas yang telah diidentifikasi oleh pihak TNGHS sepanjang tahun 1982 adalah 154,47 Km yang mana panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 Km, dan sepanjang 1170 Km diantaranya telah dilakukan deliniasi batas ( TNGHS, 2007 ). D. Citra Satelit Landsat Thematic Mapper Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berada jauh dari pusat pemerintahan, sehingga untuk menentukan letak / posisisi kasepuhan Ciptagelar diperlukan citra satelit yang telah dikoreksi (georeference) dan dengan bantuan GPS Handled tentunya. Dengan bantuan citra satelit landsat thematic mapper yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat Direktorat Penatagunaan Tanah. Citra landsat tersebut berupa data softcopy yang mempunyai skala 1 : 50.000 untuk wilayah daerah Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya yang telah dikoreksi (georeference). 48

III. 3 Pengolahan Data Pada tahap ini, akan dibahas tentang hukum adat dalam UUPA,dalam UUPK dan data yang telah diperoleh di lapangan berupa hasil wawancara, observasi dan dokumentasi menyangkut keberadaan masyarakat adat Ciptagelar akan ditinjau dari aspek masyarakat adat Ciptagelar, wilayah adat Ciptagelar, pranata adat dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan keberadaan masyarakat adat tersebut. Sehubungan masyarakat adat tersebut berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak maka akan dibahas juga mengenai TNGHS dan untuk mengetahui posisinya diperlukan citra satelit landsat yang dioverlay dengan peta TNGHS. III.3.1 Peta Lokasi TNGHS dan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas adat yang msih teguh memegang adat istiadat dari lelehur. Peranan Ketua Adat (kolot girang) sangat berperan dalam kehidupan sehari hari masyarakat kasepuhan. Dapat dikatakan semua sendi sendi kehidupan yang ada dalam masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari ijin atau restu Ketua Adat. Demikian juga halnya dengan prinsip hidup komunitas masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang masih bersifat semi nomaden (berpindah-pindah) berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat. Pusat kasepuhan telah berpindah sebanyak 10 kali berdasarkan wangsit yang diterima oleh Ketua Adat dan batas kasepuhan juga didasarkan kepada wangsit yang diterima, kemudian disampaikan kepada sesepuh induk dan diteruskan kepada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Sesuai dengan data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah untuk mendapatkan wilayah Kasepuhan Ciptagelar, antara lain dari kampung-kampung yang termasuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, batas pemukiman, pemanfaatan citra landsat TM, hutan tutupan, hutan titipan, hutan garapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : 49

Gambar 3.12. Prosedur penentuan batas Wilayah Kasepuhan Ciptagelar Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar yang saat ini terdiri dari lebih 560 kampung, yang mana khusus Kasepuhan Ciptagelar mempunyai wilayah lebih besar dari wilayah lain mempunyai 160 Kepala Keluarga, sehingga apabila setiap anggota keluarga dapat mengusahakan lahan garapan 2 Ha (Perpu No. 56 Tahun 1960), maka setiap keluarga dapat mempunyai lahan garapan seluas 10 Ha dengan asumsi bahwa setiap keluarga mempunyai anggota keluarga 5 orang. Dengan demikian buffer dalam penentuan batas wilayah adat akan lebih besar dibandingkan dengan kampung-kampung yang lain. 50

Berdasarkan hasil identifikasi wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, didapatkan bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki wilayah adat seluas ± 68.027 Ha. Luas wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar ini didapat berdasarkan hasil pengolahan beberapa titik koordinat yang diambil dari lapangan kemudian dimasukkan ke dalam citra landsat yang telah dikoreksi. Penyebaran masyarakat adat yang telah berpindah sebanyak 10 kali juga mempengaruhi wilayah adat, yang mana daerah tersebut didapat dari bantuan peta Rupa Bumi Indonesia. Perpindahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dilakukan sesuai dengan wangsit yang diterima oleh sesepuh girang (Ketua Adat) ke tempat yang telah ditunjukan oleh leluhur yang mana perpindahan tersebut masih di dalam batas tanah Kasepuhan Ciptagelar. Lokasi perpindahan Kasepuhan Ciptagelar adalah sebagai berikut : 1. Lebak Parang 2. Lebak Pinoh 3. Tegal Lumbuh 4. Pasir Talaga 5. Desa Bojong Cisono 6. Cicemet 7. Desa Cicadas 8. Desa Ciganas 9. Desa Linggarjati 10. Ciptarasa 11. Ciptagelar. Menurut Ayatrohaedi (2003), Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, perpindahan Kasepuhan Ciptagelar dapat ditafsirkan sebagai perpindahan penduduk yang lebih disebabkan oleh berkurangnya jumlah air tanah, sumber daya alam serta tingkat kesuburan tanah. Secara logika dan keilmuan, hal tersebut merupakan hal penting yang mempengaruhi proses perpindahan pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar. Hal ini terlihat dari proses perpindahan menuju lokasi yang lebih subur dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi disbanding daerah sebelumnya. Perpindahan Kasepuhan Ciptagelar tersebut membutuhkan lahan yang luas untuk 51

mobilitas dan lahan pemukiman serta pertaniannya. Walaupun membutuhkan lahan yang cukup luas, penduduk kasepuhan tidak pernah melakukan ekspansi ke luar lahan adat. Luas lahan adat yang diakui oleh kasepuhan tidak pernah bertambah dan berkurang. Oleh karena itu, batas wilayahnya pun tidak pernah berubah. Yang berubah adalah letak pusat kasepuhan dan batas-batas antara satu persil dengan persil lainnya. Tetapi teori ini dibantah oleh masyarakat Ciptagelar, dimana perpindahan tersebut semata-mata dilakukan atas dasar wangsit yang telah diterima oleh Ketua Adat yang merupakan perintah dari leluhur mereka yang datang melalui mimpi. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya variasi selang waktu antar perpindahan yang membuktikan bahwa perpindahan tersebut bukan karena kesuburan tanah, selain itu lokasi yang baru terkadang berada di atas lahan garapan dan sawah masyarakat yang tingkat produktifitas tanah sudah berkurang dan daerah yang ditinggalkan masih terdapat masyarakat yang tidak ingin pindah karena mempunyai lahan pertanian yang masih subur. Penduduk Ciptagelar yang mayoritas beragama Islam berjumlah sekitar 160 Kepala Keluarga. Untuk lebih jelasnya, batas batas tersebut dapat dilihat dalam Gambar III.13, III.14, III.15, III.16 sebagai berikut : Kebun masyarakat Hutan titipan Jalan Setapak Gambar III.13. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan 52

Secara fisik antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh obyek batas yang berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Obyek batas pohon yang biasa dipakai penduduk Ciptagelar berupa pohon hanjuang (cordyline sp) dan pohon botol (mascarena legenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam pada batas yang telah ditentukan. Hutan Garapan Pemukiman Gambar III.14. Batas antara hutan garapan dengan pemukiman Gambar III.15. Batas antara hutan dengan lahan garapan. 53

Alasan digunakannya pohon hanjuang sebagai batas karena batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah dipotong atau ditebang sampai habis, tumbuhan tersebut akan bertunas kembali dan akan tumbuh sebagaimana biasanya, sehingga batas tersebut tidak akan hilang (Sucipta, 2007). Selain itu biasanya pohon hanjuang (cordyline sp) dipergunakan sebagai batas antara pemukiman atau perumahan yang satu dengan yang lain atau sebagai pembatas antara pemukiman dengan lahan garapan. Hal ini dimungkinkan juga karena pohon hanjuang pohon yang susah mati dan tahan lama serta tidak memerlukan tempat yang besar. Sedangkan untuk pohon palem botol (mascarena legenicaulis) biasanya dipergunakan untuk pembatas antara lahan garapan dengan lahan garapan, hal ini disebabkan oleh karena pohon botol yang besar juga agar dapat terlihat dengan jelas dari kejauhan dan pohon palem botol ini juga tidak mudah mati atau terserang penyakit. Gambar III.16. Batas pemukiman berupa pohon hanjuang 54

Untuk mengetahui ketepatan posisi dalam pengamatan dan pengecekan dicari referensi obyek-obyek yang jelas pada citra maupun pada peta topografi yang bersifat permanen, misalnya persimpangan jalan, lekukan sungai atau jembatan, Untuk daerah yang tidak mempunyai obyek yang jelas digunakan alat GPS Untuk lebih memastikan posisi letak dari Kasepuhan Ciptagelar dan penyebaran dari masyarakat adat tersebut dalam penelitian ini juga diambil beberapa titik koordinat untuk mewakili posisi Kasepuhan Ciptagelar, seperti yang terdapat pada tabel berikut ini : Tabel III. 3. Daftar titik koordinat Kasepuhan Ciptagelar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 X Y H Area 668167 9240500 756 B412 668105 9240538 758 B413 668012 9240582 759 B414 665797 9247210 1245 BTSTP2 665854 9247212 1233 BTSTPP 664610 9248520 1014 CICEMT 664567 9248514 1044 CIPULS IMHGD 665523 9247776 1144 (Ciptagelar) 666945 9232632 186 JLR1 661952 9238910 498 JLR2 660106 9244058 638 KNTRDS 666291 9247558 1274 MKAM 667991 9240384 730 P-DDNG 663463 9230876 108 P3AN-1 666164 9230172 39 P3AN-2 666718 9230034 6 SBHHTL 663900 9248222 1054 SNRMTS 660097 9243238 661 TRMNL 660032 9241806 669 WRKOP 667578 9240356 703 WSMA 55

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut ini : Garapan Pemukiman (sawah,ladang) Pemukiman Garapan (sawah,ladang) Garapan (sawah,ladang) Hutan Primer (hutan tutupan, titipan) Garapan (sawah,ladang) Pemukiman Garapan (sawah,ladang) Hutan Primer (hutan tutupan, titipan) Garapan (sawah,ladang) Pemukiman Gambar III.17. Citra satelit Landsat daerah Sukabumi (BPN,2006) Gambar III.18. Daerah penyebaran Kasepuhan Ciptagelar 56

Luas wilayah adat tersebut telah mendekati luas yang dinyatakan oleh Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar yang menyebutkan luas wilayahnya sebesar 70.000 Ha (Sucipta, 2007). Kasepuhan Ciptagelar Gambar III.19. Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dalam Citra Landsat Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi seluas ± 70.000 Ha, luas garapan masyarakat adat yang terdapat di wilayah ulayat adat tersebut dapat dideliniasi seluas ± 36.096 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : 57

Gambar III.20. Wilayah garapan masyarakat adat Berdasar pada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan wilayah adat, batas-batas wilayah adat dan tata cara penentuan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, dapat diidentifikasi wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar. Gambar III.21. Lokasi Kasepuhan Ciptagelar dan TNGHS. 58

Dengan mempertimbangkan pola perpindahan pusat pemerintahannya, juga dengan mengidentifikasi lokasi kampung-kampung yang termasuk kedalam Kasepuhan Ciptagelar, maka akan didapatkan keseluruhan wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Setelah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi dengan cara melakukan delineasi batas berdasarkan data-data yang telah dianalisis, yang berupa kampungkampung terluar yang masih merupakan bagian dari Kasepuhan Ciptagelar kemudian wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan wilayah Zona tradisional yang terdapat di dalam citra landsat dioverlay satu sama lain sehingga menghasilkan gambar sebagai berikut. Untuk mengetahui lebih jelas batas terluar dari wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, maka hasil overlay antara delineasi batas wilayah adat dengan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Zona Tradisional dijadikan dalam sebuah peta yang menggambarkan ketiga wilayah tersebut dengan skala 1 : 50.000. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada peta berikut : Gambar III.22. Peta TNGHS dan Kasepuhan Ciptagelar 59

Dengan adanya batas wilayah Kasepuhan Ciptagelar tersebut, dapat diketahui objek batas terluar dari wilayah bukaan Kasepuhan Ciptagelar dengan cara melakukan overlay antara peta tersebut dengan hasil pengolahan citra landsat. Citra tersebut memiliki resolusi spasial 15 m dan telah diolah sehingga terklafisikasi menjadi 3 klasifikasi yaitu hutan, lahan bukaan serta yang terakhir adalah tubuh air. III. 3.2 Konsepsi dan Aspek Legal Masyarakat Adat Pada prinsipnya pengaturan tentang masyarakat hukum adat ini diatur oleh UUPA terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat itu : 1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa. 2. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia. 3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan lainnya. 4. Harus mengindahkan unsur-unsur pada hukum agama. Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi. Seperti yang telah kita lihat di atas bahwa pengaturan masyarakat adat di dalam UUPA tidak begitu mendetail, mengingat bahwa UUPA adalah peraturan pokok yang hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat, Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 60

Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Pada Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempat mengambil keperluan hidup sehari-hari. 3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati para warga persekutuan. Pada Pasal 4 ayat 3 UUPK dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan dalam Pasal 5 ayat 3 ditetapkan bahwa hutan adat masih ada sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 67 ayat 1 yaitu : 1. Masyarakatnya masih dalam paguyuban atau rechtsgemeenschap ; 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat ; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas ; 4. Ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang harus ditaati; 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan hidup sehari-hari 61

Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan dalam Penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan memepertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat di daerah yang bersangkutan serta instansi lain yang terkait. Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat seperti yang telah dibahas dalam Bab II dan ketentuan dalam UUPA dan UUPK maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : a. Terdapat masyarakat yang teratur ; b. Menempati suatu tempat teratur ; c. Ada kelembagaan yang mengatur kehidupannya ; d. Memiliki kekayaan bersama ; e. Susunan masyarakat bedasarkan pertalian suatu keturunan dan atau berdasarkan lingkungan daerah ; f. Hidup secara komunal dan gotong royong. Keberadaan masyarakat hukum adat tersebut di atas, dapat kita generalisasi kriteriakriteria untuk lebih memudahkan suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya harus memenuhi 3 (tiga) aspek utama, antara lain : 1. Subyek, komunitas masyarakat adat harus mempunyai sekumpulan orang yang hidup di suatu daerah atau berdasarkan garis keturunan. 2. Obyek, komunitas masyarakat adat mempunyai wilayah atau batas daerah yang jelas, walaupun secara nyata batas-batas tersebut tidak dengan tegas digambarkan. 3. Pranata Adat, masyarakat adat tersebut dalam kehidupannya sehari-hari mempunyai aturan yang baku yang ditaati dan dipatuhi. Selain itu mempunyai struktur organisasi adat yang mempunyai Ketua Adat sebagai pucuk pimpinan masyarakat adat. 62

III.3.3 Keberadaan Masyarakat Adat Ciptagelar Hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama (komunal) dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama oleh para warga masing-masing. Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 yang biasa disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) mengatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila hak ulayat suatu masyarakat hukum adat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya dengan ditetapkannya kawasan hutan lindung Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dalam UUPK mengenai hak ulayat dan hak-hak perorangan sama dan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam UUPA yang pada dasarnya memberikan pengakuan hak ualayat dengan syarat keberadaan (eksistensi) hak tersebut menurut kenyataannya masih ada. Dalam hal ini pelaksanaan hak ulayat itupun harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA). Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, perlu diperhatikan kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, antara lain : 1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat ; 2. Adanya tanah / wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan obyek hak ulayat ; 3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat tersebut ke dalam pengertian hutan negara tidaklah meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggotaanggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan itu, sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada. 63

Gambar III.23. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar (BPN, 2006) Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak perpindahan dari wilayah Bogor, menerapkan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam kawasn Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas ± 6 Ha dengan jumlah penduduk 160 Kepala Keluarga. Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak melakukan pembagian zona dan pendekatan terhadap Kasepuhan Ciptagelar dengan harapan pihak kasepuhan terus berada di dalam zona tersebut. Penempatan Kasepuhan Ciptagelar dalam Zona Tradisional seluas ± 5.000 Ha dilakukan melalui survey lapangan dan musyawarah dengan pihak Kasepuhan Ciptagelar. Panjang batas yang telah diidentifikasi oleh pihak TNGHS sepanjang tahun 1982 adalah 154,47 Km yang mana panjang keseluruhan batas TNGHS adalah ± 1280 Km, dan sepanjang 1170 Km diantaranya telah dilakukan deliniasi batas (TNGHS, 2007). 64

Gambar III.24. Patok batas TNGHS dengan pemukiman Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan. 65