BAB IV ANALISIS PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS PENELITIAN"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status Hukum IV.1 Aspek Yuridis Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional telah mengakui dan menjamin keberadaan hak-hak masyarakat adat sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 sebagai hasil perubahan UUD 1945 yang kedua, yang berbunyi : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. Selain diatur dalam Pasal 18 B ayat 2 tersebut, maka semua yang terkait dengan sumber daya alam termasuk yang dipunyai oleh masyarakat adat diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam.ideologi hak menguasai negara tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat tersebut harus dimanfaatkan untuk jangka panjang baik untuk saat ini maupun untuk generasi yang akan datang, maka pemanfaatan harus dilaksanakan dengan tetap berdasarkan kepada pemanfaatan yang lestari, sesuai dengan ketentuan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UUPK No. 41 Tahun Pemanfaatan sumber daya alam tersebut juga harus tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dengan ketentuan dalam konstruksi kepentingan nasional. 66

2 Pada prinsipnya pengaturan tentang masyarakat hukum adat ini diatur oleh UUPA terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Seperti yang telah kita lihat di atas bahwa pengaturan masyarakat adat di dalam UUPA tidak begitu mendetail, mengingat bahwa UUPA adalah peraturan pokok yang hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UUPA sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat, Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Namun mengingat beragamnya hukum adat yang ada di Indonesia, pemberlakuan kriteria seperti tersebut di atas sulit dilakukan. Di satu daerah masyarakat hukum adat ada yang beberapa unsur dipenuhi sementara unsur lain tidak dipenuhi, begitu juga sebaliknya untuk daerah lain yang mempunyai masyarakat hukum adat. Dengan disebutkannya hak ulayat dalam UUPA maka terdapat pengakuan terhadap hak ulayat, tetapi pengakuan itu merupakan pengakuan yang bersyarat yang meliputi : a. Dalam kenyataannya masih ada pengertian masyarakat adat diakui hak ulayatnya, tetapi jika pemerintah akan memberikat hak ulayat tersebut kepada pihak lain maka masyarakat adat berhak untuk mendapatkan ganti rugi (recognity). Masalahnya adalah bagaimana pemerintah bisa mengakui bahwa hak ulayat tersebut masih ada, jika pemerintah belum pernah menginventarisir hak ulayat yang masih eksis dan pemerintah tidak pernah bertanya langsung kepada masyarakat adat setempat tentang hak ulayat mereka. b. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, UUPA tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara tersebut. Yang kemudian secara sepihak oleh Presiden dalam bentuk Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, kepentingan nasional dan negara itu ditafsirkan secara luas menjadi untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat bamyak dan keentingan pembangunan. 67

3 c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan undang-undang lain yang lebih tinggi. Dari ketentuan ini bias dipermasalahkan apa yang dimaksud dengan peraturan yang lebih tinggi. Dari ketentuan dalam Pasal 3 UUPA ini bisa dilihat adanya pengaturan hak ulayat secara ambiguitas, dimana satu pihak mengakui keberadaannya sedang di pihak lain membatasi keberadaannya. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan seperti yang diatur dalam Pasal 1, dengan demikian meskipun di dalam tanah dikelola dan dikuasai masyarakat adat terdapat bahan-bahan galian, berdasarkan pasal tersebut mereka tidak berwenang untuk menguasai atau mempergunakannya karena hak menguasai seluruh bahan galian tambang ada pada negara. Negara mengatur pemberian atau distribusi hak pengusahaan atau pemanfaatannya kepada individu atau badan hukum tertentu secara terpiha melalui Kuasa Pertambangan. Hal ini dapat diiterpretasikan bahwa jika satu pihak telah memiliki kuasa pertambangan di suatu wilayah tertentu, dimana wilayah tersebut melekat hak milik atas tanah dari orang lain atau dari masyarakat adat maka dapat dipastikan pemegang kuasa pertambangan tidak akan terhenti kegiatannya hanya karena tidak mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau masyarakat adat, bahkan jika perlu dapat melakukan perbuatan yang merugikan bagi pemilik tanah asalkan tersedia uang ganti rugi. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat 1 4 memuat mekanisme penentuan ganti rugi bagi pemilik tanah akibat kegiatan pertambangan dari pemegang kuasa pertambangan dimana mekanisme tersebut juga tidak memungkinkan ada pilihan lain bagi pemilikm tanah untuk melepaskan haknya kepada pemegang kuasa pertambangan. Ketidakkonsistenan pemerintah dalam merumuskan aturan main serta paradigm pengelolaan yang sektoral merupakan akhir dari kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 yang member izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan secara terbuka pada hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Secara eksplisit Pasal 38 No

4 Tahun 1999 melarang dilakukannya pertambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung. Sikap pemerintah dengan memberikan izin kepada 13 perusahan tambang untuk menambah pemasukan negara sangat bisa dipahami sebagai upaya yang bukan merupakan keniscayaan pembangunan. Tetapi pembangunan berkelanjutan tidak boleh mengabaikan undang-undang yang sudah ada, dalam hal ini tetap harus berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Sehubungan dengan keberadaan masyarakat hukum adat di Kasepuhan Ciptagelar, ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan : 1. Masyarakat Adat Ciptagelar sebagai subyek 2. Masyarakat adat Ciptagelar mempunyai obyek 3. Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar Ad.1 Masyarakat Adat Ciptagelar sebagai Subyek Komunitas adat Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300 tahun yang lalu sejak perpindahan dari wilayah Bogor, mereka menerapkan tradisi adat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh Kerajaan Pajajaran terdapat di daerah Kasepuhan Ciptagelar ini, yaitu dengan pola bercocok tanam. Pada saat itu datang utusan dari Kerajaan Pajajaran untuk memberikan penyuluhan pertanian, sehingga saat ini Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas adat yang memiliki dasar kehidupan adat di bidang pertanian. Masyarakat Ciptagelar sebanyak ± 160 Kepala Keluarga yang mayoritas beragama Islam, mempunyai mata pencaharian utamanya adalah sebagai petani dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan agrikultur. Hal ini terlihat dari wilayah Ciptagelar yang 85 % merupakan sawah, ladang 10 % dan 5 % dipergunakan untuk kebun. Penduduk Ciptagelar menanam padi di sawah pribadi dan sawah komunal yang telah dibagi-bagi penggarapannya oleh Ketua Adat. 69

5 Sawah Ladang Kebun 0 % Gambar IV.1. Grafik Penggunaan Tanah Kasepuhan Ciptagelar Ad. 2 Masyarakat Adat Ciptagelar mempunyai Obyek Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul membuka lahan dan menetap pertama sekali di sekitar Gunung Halimun pada tahun 1902 hingga Luas lahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang diakui hingga saat ini lebih kurang Ha, berada di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan pusat Kesatuan Adat Banten Kidul mempunyai luas lahan lebih kurang seluas 6 Ha yang dihuni oleh sekitar 160 Kepala Keluarga. Penguasaan tanah adat di Kasepuhan Ciptagelar menurut aturan adat dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : a. Wilayah Olahan (cultivation area) b. Wilayah Non Olahan (non-cultivation area) Wilayah Olahan adalah daerah atau lahan yang dapat dipergunakan anggota masyarakat adat sebagai tempat pemukiman dan tempat pertanaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Olahan dapat dibagi atas : - tanah milik adat ; - tanah bukan milik adat. 70

6 Wilayah yang bukan adat adalah wilayah yang tidak dimiliki oleh adat, sudah menjadi penguasaan masyarakat di luar masyarakat adat. Wilayah Non Olahan adalah daerah atau lahan yang tidak boleh dipergunakan oleh masyarakat adat maupun pihak adat. Ad. 3 Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Secara struktural Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan Tatanan kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berasal dari dua buah sumber aturan, yaitu : 1. Aturan adat istiadat 2. Kebijakan Ketua Adat Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh masyarakat adat Ciptagelar, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama). 71

7 IV.2 Aspek Teknis Menurut masyarakat adat Ciptagelar yang masih menganut prinsip penentuan wilayah Kasepuhan Ciptagelar terbentang sejauh mata memandang. Prinsip ini masih banyak digunakan pada banyak wilayah adat di Indonesia. Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar secara khusus mendefinisikan batas wilayah adat Ciptagelar secara global. Wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan pendapat Ketua Adat Abah Anom seluas ± Ha, menurut data yang telah diolah pada Bab III seluas ± Ha, yang mana wilayah tersebut dibatasi oleh hutan yang terdiri dari hutan tutupan, hutan titipan, dan hutan garapan. Letak dari batas hutan-hutan tersebut tidak dapat ditentukan secara pasti (general boundary). Selain hutan masyarakat Ciptagelar memakai obyek batas dalam membatasi wilayahnya pada tempat-tempat tertentu. Contohnya penggunaan pohon hanjuang (Cordyline sp) dan pohon palem botol (Mascarena lagenicaulis) dalam menandai batas wilayah dan bidang tanah warga Ciptagelar. Biasanya batas tersebut ditandai dengan adanya pematang, atau timbunan tanah di sisi terluar lahan garapan warga. Sedangkan batas antar hutan ditandai dengan adanya pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Tanda batas antar hutan di lapangan adalah sebagai berikut : Hutan tutupan dengan hutan titipan berupa arca, pohon tertentu dan patung. Hutan garapan dengan garapan warga, biasanya berupa pohon tertentu atau sisi terluar garapan dan gundukan tanah. Hutan titipan dan garapan berupa pohon tertentu atau sisi terluar garapan dan gundukan tanah. Leuweung tutupan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang sama sekali tidak boleh diganggu dan dimasuki oleh pemangku adat dan seluruh warga kasepuhan. Bagi masyarakat adat kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung tetapi juga sebagai hutan perlindungan alam yang mutlak tidak boleh diganggu gugat dari awal hingga akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi yang berfungsi sebagai resapan air (leuweung sirah cai) dan sebagai pusat ekosistem. 72

8 Leuweung titipan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat adat dan tidak boleh diambil kayunya kecuali untuk keperluan adat. Hanya para pemangku adat yang boleh masuk ke kawasan hutan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada namun hanya untuk keperluan adat. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang (awisan) dan sebagai alokasi lahan garapan untuk huma dan kebun. Aturan adat mengharuskan dalam setiap penebangan satu pohon harus mengganti dengan pohon yang baru dan setiap penggunaan sumber daya alam di dalam hutan titipan harus mendapat ijin dari Ketua Adat dan hanya untuk keperluan adat. Leuweung garapan adalah wilayah hutan di Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka untuk aktifitas masyarakat dan keperluan adat dan hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk keperluan warga. Aturan adat yang mengharuskan dalam setiap penebangan pohon harus diganti dengan pohon yang baru juga berlaku di leuweung garapan ini. Leuweung tutupan Leuweung titipan Leuweung garapan Gambar IV.2 Batas antara hutan tutupan, hutan titipan dan hutan garapan Ketiga jenis hutan menurut masyarakat hukum adat tersebut di atas dapat diketahui batas-batasnya oleh masyarakat adat dengan cara : 73

9 1. Dari ketinggian hutan tersebut, pada umumnya hutan tutupan berada di atas dari hutan titipan dan hutan garapan. 2. Batas antara hutan tutupan, hutan titipan dan hutan garapan dengan pemukiman biasanya hutan garapan berbatasan langsung, sedangkan hutan tutupan berada jauh di puncak gunung. 3. Derajat kehijauan warna tumbuhan, hutan tutupan warnanya lebih pekat dari hutan titipan dan hutan garapan. Hutan-hutan di atas merupakan batas wilayah bukaan penduduk Ciptagelar dengan wilayah hutan tersebut. Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat Ciptagelar biasanya ditandai dengan adanya jalan setapak atau berbatasan dengan tepi hutan dan pemukiman. Batas wilayah Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi oleh ketiga hutan tersebut yang mana batas tersebut merupakan batas umum (general boundary). General boundary merupakan suatu bentuk batas yang hanya memperlihatkan suatu batas melalui pendekatan yang tidak presisi, contohnya adalah batas yang didefinisikan dalam obyek natural seperti hutan. Gambar IV.3 Peta Wilayah Ciptagelar dan TNGHS 74

10 Pada Gambar IV.3 terlihat bahwa batas terluar dari wilayah Kasepuhan Ciptagelar yang berada di luar TNGHS terdiri dari hutan serta lahan terbuka, demikian juga halnya dengan batas terluar Kasepuhan Ciptagelar yang berada di dalam TNGHS adalah hutan. Sejak tahun 1942 pembukaan hutan di dalam kawasan TNGHS sudah dilarang oleh pihak kehutaan. Adapun wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar di luar kawasan TNGHS adalah generasi awal yang tinggal memang di luar kawasan TNGHS. Wilayah bukaan Kasepuhan Ciptagelar akan semakin bertambah seiring dengan sifat masyarakat yang semi nomaden dan populasi masyarakat yang terus bertambah, namun luasan wilayah Kasepuhan Ciptagelar adalah tetap oleh karena perpindahan penduduk yang didasarkan kepada wangsit dari leluhur yang diterima ketua Adat masih di dalam wilayah Kasepuhan Ciptagelar yang ± Ha itu dan pembukaan hutan garapan maupun hutan titipan dapat diantisipasi oleh aturan adat yang mengharuskan setiap warga yang menebang pohon dan membuka lahan akan menggantinya dengan menanam pohon yang baru di sekitar itu juga, sehingga kelestarian hutan akan tetap terjaga. Di samping itu perpindahan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar hanya dimungkinkan di dalam hutan garapan dan apabila hutan garapan telah habis baru berpindah ke hutan titipan. Pengakuan masyarakat adat atas luas wilayah sebesar Ha menimbulkan reaksi dari pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), karena luas TNGHS setelah diperluas mencapai Ha, ini berarti hampir 2/3 wilayah TNGHS adalah termasuk wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar. IV. 3 Pranata Adat Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat (Kolot Girang) sebagai jabatan yang paling tinggi dan memiliki peranan utama dalam menjalankan pemerintahan. Secara struktural Ketua Adat memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat sampai ke daerah. Ketua Adat didampingi oleh sesepuh induk (baris kolot induk) yang 75

11 merupakan ketua dari baris kolot lainnya yang tugasnya sebagai penasehat serta sesepuh dari Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu juga sebagai mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Ketua Adat. Kolot lembur merupakan pemimpin dari kampung-kampung yang ada di kasepuhan. Peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan sehari-hari masyarakat adat Ciptagelar, peran tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Wangsit merupakan perintah tertinggi yang tidak boleh ditentang atau ditolak. Sebagai contoh adalah proses perpindahan lokasi kasepuhan dan proses penetuan batas wilayah daerah pemukiman, garapan dan daerah hutan. Peran Ketua Adat ini juga dapat lihat dari menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh warga, misalnya ada perselisihan antar warga kesepuhan maka terlebih dahulu disampaikan kepada kolot lembur atau sesepuh adat, apabila masalah tersebut belum juga dapat diselesaikan maka disampaikan kepada Ketua Adat. Ketua Adat memberikan keputusan yang bersifat mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh warganya. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, peran Ketua Adat juga sangat dibutuhkan oleh warga, misalnya warga hendak menanam padi, membuka lahan, bepergian jauh, harus terlebih dahulu mendapat restu dari warga yang hendak menjalankan aktifitas tersebut. Aturan adat istiadat memang sudah ada sejak lama dan turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Contoh : adanya larangan untuk memasuki wilayah hutan tutupan dan hutan titipan. Kebijakan Ketua Adat sangat dihormati oleh masyarakat adat Ciptagelar, baik itu dari wangsit ataupun dari hasil pemikiran Ketua Adat sendiri. Contoh : adanya aturan adat yang mengharuskan warganya untuk menyumbangkan satu ikat padi untuk disimpan di leuit si jimat (lumbung bersama).disini terlihat peran Ketua Adat sangat besar dalam proses kehidupan masyarakat adat Ciptagelar, peran Ketua Adat tersebut biasanya sering dikaitkan dengan wangsit. Secara harafiah wangsit berarti bisikan atau himbauan yang bersifat gaib dari leluhur atau nenek moyang masyarakat Ciptagelar. 76

12 IV. 4 Penguatan Status Hukum Masyarakat Adat Ciptagelar Setelah dianalisis dari Aspek Yuridis yaitu UUPA,UUPK dan dibahas dari Aspek Teknis serta pranata adat Kasepuhan Ciptagelar jika dihubungkan dengan pendaftaran tanah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, maka terdapat 4 (empat) alternatif penyelesaiannya : 1. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar di-enclave (dikeluarkan) dari TNGHS. Wilayah kasepuhan yang luasnya ± Ha, ada baiknya dikeluarkan dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sehingga masyarakat adat tersebut dapat memiliki tanah dan mendaftarkannya pada Kantor Pertananahan Nasional Kabupaten Sukabumi. Melalui jalan alternatif ini dapat dengan mudah di jalankan, namun kemungkinan besar Pihak TNGHS tidak begitu saja dapat mengeluarkan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, selain prosedur yang memakan waktu lama, pihak TNGHS biasanya harus menyediakan lahan pengganti yang telah dikeluarkan, karena ada juga kecenderungan agar wilayah kehutanan tidak berkurang. 2. Tetap berada dalam pengolahan wilayah TNGHS. Oleh karena sulit untuk mencapai jalan afternatif yang pertama, pada umumnya wilayah yang masuk dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) akan tetap termasuk dalam wilayah TNGHS dan pengelolaannya pun masih di bawah wewenang dari pihak kehutanan. Namun jika dipandang dari segi keperdataan, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak mempunyai hak milik atau hak lain yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), mereka hanya mempunyai hak pengelolaan hutan yang berada di bawah pengawasan TNGHS. 3. Dijadikan sebagai Wilayah Cagar Budaya Untuk menjadikan wilayah Kasepuhan Ciptagelar sebagai Wilayah Cagar Budaya sebenarnya tidak begitu sulit, namun peran dari Pemerintah Daerah sangat diharapkan, karena untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah Cagar 77

13 Budaya harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 yang mengatur tetang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, seperti yang terdapat pada masyarakat adat Kampar, Baduy dan Kutai. 4. Masyarakat adat Ciptagelar dipindahkan dari wilayah TNGHS Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dipindahkan keluar dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), namun alternatif ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan kemungkinan besar masyarakat adat kasepuhan tidak mau dipindahkan ke tempat yang lain di luar TNGHS, mengingat mereka telah lama menetap dan bertempat tinggal di wilayah TNGHS, sehingga ikatan sosio ekonomi mereka telah mengakar kuat di wilayah tersebut. Untuk lebih jelasnya, alternatif wilayah Kasepuhan Ciptagelar ini dapat kita lihat pada table di bawah ini : Tabel IV.1 Alternatif Wilayah Kasepuhan Ciptagelar No. Alternatif Kebaikan Keburukan 1 Wilayah Kasepuhan Ciptagelar di-enclave (dikeluarkan) dari TNGHS 2 Wilayah Kasepuhan Ciptagelar tetap berada - Masyarakat adat dapat memiliki hak atas tanah seperti yang diatur dalam UUPA - Batas penguasaan dan pengelolaan kedua belah pihak jelas - Wilayah TNGHS akan semakin terjaga - Wilayah hutan akan tetap (tidak berkurang) - Kepemilikan tanah dimungkinkan secara individu, tidak lagi komunal - Luas wilayah hutan semakin sempit - Masyarakat adat tidak mempunyai hak atas 78

14 di bawah TNGHS - Mudah mengkoordinir Pengelolaannya tanah - Perambahan hutan akan cenderung semakin meningkat 3 Wilayah kasepuhan ditetapkan sebagai Wilayah Cagar Budaya 4 Masyarakat Ciptagelar dipindahkan keluar TNGHS - Budaya lokal akan tetap terjaga dan lestari - Keberadaan masyarakat adat dapat diakui - Batas wilayah adat dan TNGHS akan terlihat jelas - Dapat dijadikan tempat wisata alam dan wisata budaya - Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang jelas - Dapat dijadikan sebagai obyek wisata - Luas TNGHS tidak berkurang - Pengelolaan hutan akan semakin mudah - Batas wilayah adat dan TNGHS tidak terlihat dengan jelas - Wilayah TNGHS akan semakin kecil - Akan menimbulkan konplik kepentingan - Memerlukan lahan sebagai lahan pengganti - Memerlukan biaya yang besar - Kemungkinan besar masyarakat adat tidak mau, karena adanya ikatan sosio ekonomi 79

15 Dari Tabel IV. 1 di atas dapat disimpulkan bahwa alternatif nomor 3 yaitu menjadikan wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar sebagai Wilayah Cagar Budaya sebagai pilihan yang terbaik karena memiliki kebaikan yang lebih besar dibandingkan dengan keburukan. Peran dari Pemerintah Daerah dalam hal ini sangat dibutuhkan mengingat suatu daerah masyarakat adat dinyatakan sebagai Wilayah Cagar Budaya harus dengan berupa keputusan Peraturan Daerah. Untuk lebih jelasnya prosedur penguatan masyarakat adat dinyatakan sebagai Wilayah Cagar Budaya sesuai dengan hierarki (tata urutan) yang terdapat pada Tap MPR RI No.III/MPR/2000 sebagai berikut : UUD 1945 Psl 18 B Tap MPR Undang Undang UUPA dan UUPK Perpu Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Daerah Gambar IV. 4. Prosedur Penguatan Status Hukum Masyarakat Adat 80

16 Mengingat Peraturan Pemerintah mengenai masyarakat hukum adat belum ada (masih berupa Rencana Peraturan Pemerintah) sementara di dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 tidak ada diatur mengenai Keputusan Menteri maka Peraturan Menteri Negara Agraraia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dapat diberlakukan sesuai dengan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966. Namun demikian bukan berarti bahwa permasalahan batas wilayah antara Kasepuhan Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat diselesaikan dengan sendirinya. Mengingat perbedaan luas antara pengakuan masyarakat adat dengan luas zona tradisional yang diberikan oleh pihak TNGHS sangat jauh berbeda. Untuk itu perlu diadakan musyawarah yang lebih mendalam membahas batas wilayah masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Pihak TNGHS guna mencapai penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak. Dalam mencapai penyelesaian dengan musyawarah ini diharapkan pihak ketiga ikut terlibat, misalnya : pakar ahli hukum adat, Lembaga Sosial Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan pihak akademisi agar kesepakatan yang dihasilkan lebih bersifat komprehensip. 81

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dalam tugas akhir ini meliputi, persiapan, pengumpulan data dan pengolahan data yang terdiri dari subbab masing-masing. Untuk lebih jelas alur penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian Bab I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, juga dikenal sebagai negara " multi cultural " yang memiliki lebih dari 250 kelompok

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

Bab IV Analisis. Batas

Bab IV Analisis. Batas Bab IV Analisis IV.1 Analisis Batas Tanah Garapan Dikaitkan Dengan Konsep Batas Mengacu pada penjelesan mengenai batas suatu bidang tanah garapan warga Kasepuhan Ciptagelar dan dikaitkan dengan konsep

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda. Berbagai macam suku bangsa tersebut tersebar kedalam berbagai wilayah adat

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008) BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan hingga didapatkan karakteristik sistem kepemilikan lahan yang berlaku dalam hukum pertanahan adat di wilayah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis yang mengurusi masalah pertanahan adat yang dipegang teguh dan dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat adat. Hukum

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa Masyarakat

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai hasil analisis perbandingan sistem kepemilikan lahan di Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga (Bab 4.1), dan perbanding sistem kepemilikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL Oleh: Gurniwan Kamil Pasya ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah sebagai akibat banyak perusahaan kayu yang membabat hutan secara besar-besaran,

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, tanah juga menjadi tempat

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa ke masa semakin canggih dan mudah untuk diakses. Kita sebagai manusia tidak dapat menghindari perkembangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) 3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat I. PEMOHON 1. IR. Abdon Nababan (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)........ Pemohon I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT DESA DALAM MENJAGA DAN MEMELIHARA HUTAN

PERAN SERTA MASYARAKAT DESA DALAM MENJAGA DAN MEMELIHARA HUTAN PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR KECAMATAN CIDAUN DESA CIBULUH Jl. Lurah Bintang No. 129 Cibuluh, Cidaun, Cianjur 43275 PERATURAN DESA CIBULUH NOMOR : 01/Perdes-cb/IV/2003 Tentang PERAN SERTA MASYARAKAT DESA

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh Eko Wahyu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR KECAMATAN CIDAUN DESA NEGLASARI Jl. Negla No. Neglasari Cidaun 43275

PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR KECAMATAN CIDAUN DESA NEGLASARI Jl. Negla No. Neglasari Cidaun 43275 PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR KECAMATAN CIDAUN DESA NEGLASARI Jl. Negla No. Neglasari Cidaun 43275 PERATURAN DESA NEGLASARI NOMOR : 04/Perdes-NS/IV/2003 Tentang PERAN SERTA MASYARAKAT DESA DALAM MENJAGA

Lebih terperinci

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 9.1. Kondisi Ekonomi Perluasan kawasan TNGHS telah mengakibatkan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi,

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan memiliki peranan besar dalam perekonomian nasional, antara lain sebagai penghasil devisa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Gambaran Umum Desa Pangradin Desa Pangradin adalah salah satu dari sepuluh desa yang mendapatkan PPAN dari pemerintah pusat. Desa Pangradin memiliki luas 1.175 hektar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

MAKALAH HUKUM ADAT. Tanah Adat di Desa Tenganan, Bali. Oleh : Didik Sugianto ( )

MAKALAH HUKUM ADAT. Tanah Adat di Desa Tenganan, Bali. Oleh : Didik Sugianto ( ) MAKALAH HUKUM ADAT Tanah Adat di Desa Tenganan, Bali Oleh : Didik Sugianto (134704009) UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN PMP-KN PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2014 Kata Pengantar Dengan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Taman Nasional Gunung Halimun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAMPAR NOMOR : 12 TAHUN1999 TENTANG HAK TANAH ULAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI II KAMPAR Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO Menimbang : 1. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku Sunda, suku yang memiliki

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kondisi kehidupan masyarakat di Jawa Barat, atau suku Sunda tidak terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh para leluhur mereka.

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR :. TAHUN TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR :. TAHUN TENTANG RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR :. TAHUN TENTANG KOMPENSASI ATAS TANAH, BANGUNAN DAN TANAMAN YANG DILINTASI TRANSMISI TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Latar Belakang Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup manusia tidak mungkin dilepaskan dari tanah, tiap membicarakan eksistensi manusia, sebenarnya secara tidak langsung kita juga berbicara tentang tanah.

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanah diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat makhluk-makhluk yang diciptakannya beraktifitas, termasuk manusia.

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN KAPUAS HULU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology. Abdulharis, R., Sarah, K.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat. tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang

BAB I PENDAHULUAN. didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat. tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya tidak dapat terlepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PENETAPAN DANA KOMPENSASI KEPADA MASYARAKAT DIDALAM DAN SEKITAR HUTAN DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci